Anda di halaman 1dari 21

KEGIATAN BELAJAR 4

IMAN KEPADA QADA’ DAN QADAR

A. Capaian Pembelajaran Mata Kegiatan


Pada kegiatan belajar terakhir (keempat) ini, Saudara diharapkan mampu
menganalisis hakikat iman kepada Qada’ dan Qadar, dalil dan hikmahnya. Selain itu,
mampu mengkontekstualisasikannya di dalam kehidupan beragama secara moderat.

B. Subcapaian Pembelajaran Mata Kegiatan


1. Menjelaskan perbedaan qada’ dan qadar.
2. Memberikan contoh qada’ dan qadar.
3. Mengidentifikasi sikap atau perilaku yang mencerminkan iman kepada qada’
dan qadar.
4. Merumuskan hikmah beriman kepada qada’ dan qadar.

C. Uraian Materi
1. Konsep Iman kepada Qada’ dan Qadar
a. Pengertian Iman kepada Qada’ dan Qadar
Qada’ secara bahasa berarti ketetapan, perintah, kehendak,
pemberitahuan dan penciptaan. Allah berfirman:
َ َ َ َ
ُ ُ َ َ َ َّ َْ ْ ََ ْ ْ ْ ُ َ َ ْ ُ ُ َ َ ُ َ ْ ً ْ ُ ُ ُ َ َ ُ َّ َ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َ َ َ
‫الخيرة ِمن أم ِر ِهم ومن يع ِ اهلل ورسوله‬ِ ‫َوما كان ِل ُمؤ ِم ٍن ولا مؤ ِمن ٍة ِإذا قضى اهلل ورسوله أمرا أن يكون لهم‬
ً ً َ َ َّ َ ْ َ َ
)36 :‫ (الأحزاب‬.‫فقد ضل ضلالا ُم ِيينا‬

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi
mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah
dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Q.S. Al-Ahzab:
36)
Adapun secara istilah sebagaimana menurut Asy’ariyah, qada’ adalah
keinginan (iradah) Allah tentang segala sesuatu pada zaman azali (tidak
diketahui permulaannya).
Dan qadar, secara bahasa berarti kepastian, peraturan dan ukuran. Allah
berfirman:

54
َ َ ُ ْ ُ َُ َّ
ً ‫اوات َو ْالأَ ْرض َو َل ْم َيَّتخ ْذ َول ًدا َو َل ْم َي ُك ْن ل ُه َشريك في ْال ُملْك َو َخ َل َق ُكَّل َش ْيء َف َقَّد َر ُه َت ْقد‬
.‫يرا‬ َ ‫الس َم‬
َّ ‫ك‬ ‫ل‬ ‫م‬ ‫ه‬ ‫ل‬ ‫ي‬ ‫ذ‬
ِ ٍ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ‫ال‬

)2 :‫(الفرقان‬

“Yang memiliki kerajaan langit dan bumi, tidak mempunyai anak, tidak ada sekutu bagi-
Nya dalam kekuasaan (Nya), dan Dia menciptakan segala sesuatu, lalu menetapkan
ukuran-ukurannya dengan tepat.” (Q.S. Al-Furqan: 2)
Sedangkan secara Istilah, qadar adalah perwujudan ketetapan (qada)
Allah terhadap segala sesuatu dengan ukuran dan bentuk tertentu sesuai
dengan keinginan-Nya.
Dengan demikian, iman kepada qada dan qadar dapat diartikan
keyakinan yang sungguh-sungguh bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh
seluruh makhluk, baik yang sengaja, seperti makan, minum, duduk, berdiri
ataupun yang tidak disengaja seperti jatuh, terpeleset, pingsan dan sebagainya
telah ditetapkan oleh Allah sejak zaman azali dan sudah ditulis di dalam lauhul
mahfudz (papan tulis yang terpelihara). Allah SWT berfirman:

َ َ َّ ْ ُ ُ ْ َ ََ َ ْ َ
َ َّ َ َ َ ََٰ َّ َ َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ
.‫اهلل ي ِسير‬
ِ ‫اب ِمن قب ِل أن نبرأها ِإن ذ ِلك على‬
ٍ ‫ما أصاب ِمن م ِصيب ٍة ِفي الأر ِض ولا ِفي أنف ِسكم ِإلا ِفي ِكت‬

)22 :‫(الحديد‬

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri
melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q.S. Al-Hadid: 22)
Kendatipun demikian, kita tetap disuruh Allah untuk berusaha
semaksimal mungkin agar kita mendapat kebajikan dan berhasil. Sebab, tidak
seorang pun yang mengerti bahwa dia akan ditakdirkan apa atau dengan kata
lain kita tidak dapat mengetahui qada’, yang kita ketahui hanya qadar. Allah
berfirman:
َْ ًَ ْ َ َ َْ َْ َ َْ ْ َ ُ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ ُ َ ُ َ َ َّ ُ ْ ُ َ ْ َ َّ َّ
‫ام َو َما تد ِري نفس َماذا تك ِس ُب غدا َو َما تد ِري‬
ِ ‫إن اهلل ِعنده ِعلم الساع ِة وين ِزل الغيث ويعلم ما ِفي الأرح‬
َ َ
َ َ َ َّ َّ ُ ُ َ ْ َْ
)34 :‫ (لقمان‬.‫نفس ِبأي أر ٍض تموت ِإن اهلل ع ِليم خ ِبير‬
ِ

“Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari kiamat,
dan Dia-lah Yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam Rahim.

55
Dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui apa yang akan diperolehnya (perbuatan
Allah yang akan terjadi pada dirinya) besok. Dan tiada seorangpun yang dapat
mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (Q.S. Luqman:34)
Karena itu kita jangan menyerah atau pasrah terhadap perbuatan Allah
yang belum terjadi (qada). Baru setelahnya perbuatan Allah itu terjadi (qadar)
dalam hati kita harus ada kepasrahan atau kerelaan. Inilah sebetulnya yang
disebut ridha yang terjadi setelah tawakal. Tetapi bukan tidak mungkin terjadi
qadar-qadar Allah lainnya bagi kita, baik qadar-qadar-Nya yang baik maupun
yang buruk sesuai dengan kehendak-Nya. Maka kita harus tetap berusaha
semaksimal mungkin dengan harapan terjadi pada diri kita qadar-qadar yang
baik, akan tetapi semua hasil akhirnya diserahkan kepada kehendak dan
kekuasaan Allah.

b. Perbedaan Qada’ dan Qadar


Perbedaan qada’ dan qadar sebetulnya sudah kita pahami dari
pengertiannya masing-masing di atas. Jika qada’ merupakan kehendak Allah
tentang segala sesuatu pada zaman azali, maka qadar merupakan realisasinya
atau perwujudan qada’ dalam ukuran dan bentuk tertentu. Jika qada’
merupakan perbuatan Allah pada tahap pengetahuan dan kehendak Alah,
maka qadar merupakan perbuatan Allah pada tahap realisasi dengan
kekuasaan-Nya sesuai dengan pengetahuan dan kehendak-Nya. Adapun
gabungan keduanya disebut dengan istilah taqdir.
Oleh karena itu qada’ masih bisa berubah, tetapi bukan diubah,
sementara qadar tidak bisa berubah lagi, tetapi mungkin ada qadar-qadar yang
lain sebagai realisasi dari suatu qada’. Qada’ yang berubah terkait usaha
manusia manusia disebut qada’ mu’allaq, sementara qada yang tidak berubah
lagi disebut qada mubram.

c. Rukun Iman kepada Qada’ dan Qadar


Ada empat tingkatan yang menjadi prinsip dasar atau rukun dari iman
kepada Qada‘ dan Qadar, yaitu:

1.) Al-‘Ilmu

56
Yaitu percaya bahwa Ilmu (pengetahuan) Allah itu sangat luas meliputi
segala sesuatu yang ada di alam semesta, apa yang belum terjadi dan apa yang
akan terjadi. Serta hal-hal spesifik yang ada pada makhluk seperti Rizki dan
usia. Allah berfirman:
َ َ
ً ْ َ ُ َ َ ْ َ َ َّ َّ َ
)12 :‫ (الطلاق‬.‫هلل قد أحاط ِبك ِل ش ْى ٍء ِعلما‬ ‫وأن ٱ‬

“Dan ilmu Allah benar-benar meliputi segala sesuatu.” (Q.S. At-Talaq: 12)

2.) Al-Kitabah
Yaitu percaya bahwa Allah telah menuliskan segala sesuatu sebelum
segala sesuatu tersebut terjadi di lauh al-mahfuzh, termasuk apakah seseorang
itu ahli surga atau ahli neraka. Allah berfirman:
َ َ َّ ْ ُ ُ ْ َ ََ َ ْ َ
َ َّ َ َ َ ََٰ َّ َ َ ْ َ ْ ْ َ ْ َ ْ َ ُ ‫اب م ْن‬
َ َ َ
.‫اهلل ي ِسير‬
ِ ‫ى‬‫ل‬ ‫ع‬ ‫ك‬ ‫ل‬‫ذ‬
ِ ِ‫ن‬‫إ‬ ‫ا‬ ‫ه‬ ‫أ‬ ‫ر‬ ‫ب‬ ‫ن‬ ‫ن‬‫أ‬ ‫ل‬ِ ‫ب‬ ‫ق‬ ‫ن‬ ‫م‬ ‫اب‬ ‫ت‬ ‫ك‬ ‫ي‬
ِ ٍ ِ ِ ِ ‫ف‬ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫إ‬ ‫م‬ ‫ك‬‫س‬ِ ‫ف‬ ‫ن‬‫أ‬ ‫ي‬ ‫ف‬ِ ‫ا‬ ‫ل‬ ‫و‬ ‫ض‬ِ ‫ر‬ ‫أ‬‫ال‬ ‫ي‬‫ف‬ ‫ة‬‫يب‬
ِ ٍ ِ ‫ص‬ ‫م‬ ِ ‫ص‬ ‫أ‬ ‫ما‬

)22 :‫( الحديد‬

“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri, melainkan
telah tertulis dalam kitab (lauh mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.
Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (Q.S. Al-Hadid: 22)

3.) Al-Masyi‘ah
Yaitu percaya kehendak Allah yang berlaku pada setiap makhlukNya.
Kehendak Allah-lah yang menjadi penentu atau pengendali nasib setiap
makhluk, apa yang dikehendaki Allah terjadi, dan apa yang tidak dikehendaki
Allah tidak terjadi. Allah berfirman:
َ َّ َ
َ َ ََٰ ْ ُ َّ‫اء ٱ‬
َ ‫ون إلا أن يَ َش‬ ُ ََ ََ
)29 :‫ (التكوير‬.َ ‫هلل َر ُّب ٱلعل ِمي‬ ِ ‫وما تشاء‬

“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila
dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (At-Takwir: 29)

4.) Al-Khalqu
Yaitu Percaya bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu. Bahwa
semua yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan atau makhluk Allah. Yang
diciptakan oleh Allah dari tiada menjadi ada. Allah Berfirman:
َ ُ َ َ ُ َ ُ ُ َ ُ َّ
)62 :‫ (الزمر‬.‫اهلل خا ِلق ك ِل ش ْي ٍء َوه َو عل َٰى ك ِل ش ْي ٍء َو ِكيل‬

57
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia Maha Pemelihara segala sesuatu.” (Q.S.
Az-Zumar: 62)

58
d. Yang Terkait dengan Qada’ dan Qadar
1) Bebaskah Manusia atau Terikat?
Sudah lama menjadi renungan manusia, bebaskah dia bertindak
dalam hidup ini atau terikatkah dia dengan satu ketentuan yang tidak
dapat dilanggar. Bahkan menurut penyelidikan ahli-ahli, pertanyaan
kepada soal bebas atau tidak ini, terlahir lebih dahulu daripada
kepercayaan akan adanya Tuhan. Bahkan sebelum adanya kepercayaan
kepada Yang Maha Kuasa, terlebih dahulu pertanyaan tentang bebas atau
tidak inilah yang timbul dalam pikiran manusia, sejak pikiran itu tumbuh.
Bila telah dipikir dan direnungkan, pastilah sudah bahwa manusia
tidaklah bebas di dunia ini. Segala rancangan yang dilakukannya di dalam
ikhtiar hidupnya hanya dapat berjalan jika sesuai dengan rancangan yang
lebih besar, sehingga kemudian ternyata bahwa rancangan manusia itu
hanya bagian kecil saja daripada rancangan yang besar.
Lebih dahulu lahirlah seseorang manusia ke atas dunia ini. Dia lahir
tidaklah atas kehendaknya sendiri. Bahkan orang tua, lingkungan, zaman
dan tempat dia dilahirkanpun tidak bisa diusahakan. Rupa dan bentuk
bukanlah pilihan kita. Demikian tinggi dan rendahnya ukuran badan kita.
Orang yang datang belakangan hanyalah menuruti hukum sebab akibat
yang telah berlaku lebih dahulu pada orang tua yang melahirkannya, dan
orang tuapun menerima hukum sebab akibat yang lebih dahulu
daripadanya. Pada diri seseorang ada yang disebut pribadi. Kadang-
kadang kita ingin serupa dengan pribadi orang lain. Keinginan tinggal
keinginan dan kita masih tetap kita juga. Banyak manusia, walaupun di
tempat dan lingkungan mana dia hidup, ingin berpindah ke dalam
suasana yang lain, tetapi dia tidak dapat mencapai itu. Dia tetap dia, dan
kesan lingkungan tidak dapat dibantah atau dilawannya. Banyak pula
pekerjaan yang dilakukan dengan suatu usaha sengaja, dan tidak
disengaja. Tetapi setelah dilihat dan diperhitungkan, ternyata yang tidak
disengaja kadang-kadang lebih dominan nilainya. Sebab yang tidak
disengaja tadilah yang sebenarnya tertulis buat dilalui.
Sudah lama menjadi renungan manusia, bebaskah dia bertindak
dalam hidup ini atau terikatkah dia dengan satu ketentuan yang tidak
dapat dilanggar. Bahkan menurut penyelidikan ahli-ahli, pertanyaan
kepada soal bebas atau tidak ini, terlahir lebih dahulu daripada

59
kepercayaan akan adanya Tuhan. Bahkan sebelum adanya kepercayaan
kepada Yang Maha Kuasa, terlebih dahulu pertanyaan tentang bebas atau
tidak inilah yang timbul dalam pikiran manusia, sejak pikiran itu tumbuh.
Bila telah dipikir dan direnungkan, pastilah sudah bahwa manusia
tidaklah bebas di dunia ini. Segala rancangan yang dilakukannya di dalam
ikhtiar hidupnya hanya dapat berjalan jika sesuai dengan rancangan yang
lebih besar, sehingga kemudian ternyata bahwa rancangan manusia itu
hanya bagian kecil saja daripada rancangan yang besar.
Lebih dahulu lahirlah seseorang manusia ke atas dunia ini. Dia lahir
tidaklah atas kehendaknya sendiri. Bahkan orang tua, lingkungan, zaman
dan tempat dia dilahirkanpun tidak bisa diusahakan. Rupa dan bentuk
bukanlah pilihan kita. Demikian tinggi dan rendahnya ukuran badan kita.
Orang yang datang belakangan hanyalah menuruti hukum sebab akibat
yang telah berlaku lebih dahulu pada orang tua yang melahirkannya, dan
orang tuapun menerima hukum sebab akibat yang lebih dahulu
daripadanya. Pada diri seseorang ada yang disebut pribadi. Kadang-
kadang kita ingin serupa dengan pribadi orang lain. Keinginan tinggal
keinginan dan kita masih tetap kita juga. Banyak manusia, walaupun di
tempat dan lingkungan mana dia hidup, ingin berpindah ke dalam
suasana yang lain, tetapi dia tidak dapat mencapai itu. Dia tetap dia, dan
kesan lingkungan tidak dapat dibantah atau dilawannya. Banyak pula
pekerjaan yang dilakukan dengan suatu usaha sengaja, dan tidak
disengaja. Tetapi setelah dilihat dan diperhitungkan, ternyata yang tidak
disengaja kadang-kadang lebih dominan nilainya. Sebab yang tidak
disengaja tadilah yang sebenarnya tertulis buat dilalui.

2) Hukum Sebab dan Akibat


Manusia telah menggunakan pikiran dan akalnya buat mencari
pokok pangkal segala sesuatu. Timbullah suatu istilah dalam alam filsafat
yang terkenal dengan kata sebab-akibat. Dalam ilmu kalam istilah yang
populer digunakan adalah illat dan ma‘lul. Si anu, kata hukum sebab
akibat, menjadi orang jahat karena dalam penyelidikan ilmu keturunan
manusia telah ditemukan bahwa pada nenek moyangnya yang keempat
ada seorang penjahat besar. Keturunan jahat neneknya yang keempat
itulah kemudian yang telah tinggal dalam darahnya. Sebab itu dia jahat.

60
Si anu menjadi orang baik, karena lingkungannya adalah baik. Ayahnya
adalah orang baik dan masyarakat lingkungannyapun baik pula.
Nabi Muhammad saw. menjadi rasul, karena memang sudah ada
lembaga yang menunggunya. Dia dilahirkan di Mekah, di dekat Ka‘bah,
yang memang telah menjadi pusat keagamaan sejak dahulu. Nenek
moyangnya sejak nabi Ibrahim, Isma‘il sampai kepada Qushai dan bahkan
sampai pada Abdul Mutthalib telah ada juga dasar agamanya. Bila mana
hukum sebab akibat itu kita teliti sampai kepada hulunya, tentu mau tidak
mau kita akan bertemu dengan sebab pertama. Itulah yang bernama ‘yang
menyebabkan segala sebab’ atau ‘musabbibul Asbab’. Pada akhirnya kita
akan mengakui bahwa masih ada pencipta yang disebut sebagai sebab
pertama Yang Maha Berkuasa menentukan pembahagian sebab. Pada-
Nya terhimpun segala qudrat. Kesanggupan kita hanya menelaah saja,
tetapi tidak sanggup turut menentukan sebab pertama itu. Sebab akibat
yang dapat kita ketahuipun hanyalah yang dapat kita lihat. Alangkah
kecilnya diri kita, buat sanggup melihat segala soal di dalam alam yang
sangat luas ini.
Berkuasakah manusia? Jika kita katakan berkuasa, hingga manakah
batas kekuasaannya? Senantiasa kita lihat bahwa manusia diberi
kekuasaan atau dipinjami kekuasaan. Jadi bukan dia yang empunya
kekuasaan itu. Berapa banyak diplomat yang tinggi-tinggi, ahli negara
yang ulung, berusaha hendak mengelakkan perang. Di mana- mana
diserukan seruan damai, perdamaian dunia, co-existensi dan sebagainya.
Tetapi, semakin maju mereka berjalan kemuka, semakin dekat pula
kekhawatiran yang ditakutinya itu. Dia tidak sanggup mengelak kepada
yang lain. Kelihatan bahwa dia hanya menjadi alat daripada program
besar yang sedang berlaku.
Bukan itu saja bahkan berkali-kali, beratus ribu kali manusia
berbuat seakan- akan dia pun berkuasa. Fir‘aun justru pernah mengatakan
dirinya “Ana Rabbukum-ul a‘la”, sayalah Tuhanmu yang paling tinggi.
Akan tetapi keruntuhan manusia-manusia seperti itu juga akhirnya sangat
menyedihkan. Dengan demikian jelas bahwa dia sendiri tidak punya
kuasa apa-apa menahan perjalanan takdir yang sudah tertentu. Dia dapat
awas buat beberapa waktu, tetapi bilamana takdir datang, tidak ada
kesanggupannya sedikitpun jua buat menahannya. Apa yang

61
dikerjakannya serba salah. Apa program yang diaturnya serba tidak tepat.
Memang, apabila kita berpikir sementara atau selintas seakan-akan ada
kekuasaan pada kita, seakan-akan kita mempunyai kebebasan
bertindak. Tetapi marilah kita lepaskan sejenak kehidupan ramai ini, dan
pergi ketempat yang lebih luas atau lebih tinggi. Di sana kita akan
mendapat kesan: “Apalah artinya manusia ini “. Ibarat kita naik kepada
sebuah kapal besar hendak berlayar, mulanya kita merasa kagum dan
tercengang melihat kepintaran manusia yang membuat kapal itu. Cukup
segala alat-alat kehidupan selama dalam pelayaran dengannya.
Kemudian datang waktunya kitapun berlayar. Kian lama kapal itu kian
ketengah lautan. Mulailah terasa betapa kecilnya tanah daratan, kian lama
kian hilang. Dan kitapun berada dalam lautan besar. Allahu Rabbi besar
dan luasnya lautan itu.

3) Adakah Manusia Bebas dan Kuasa?


Setelah kita perhatikan segala hal itu dengan seksama, niscaya
kita akan mengaku bahwa kita tidak ada kuasa apa-apa. Kebebasan kita
sangat terbatas. Kita bebas hanyalah dalam lingkungan qudrat dan iradat
Tuhan sebagaimana telah disampaikan lebih dahulu, soal bebas atau
tidaknya manusia di dalam alam ini sudah lama menjadi bahan diskusi
ahli-ahli pikir, baik dalam dunia filsafat ataupun dalam dunia agama.
Di dalam Islam, terkait bebas tidaknya manusia di alam ini ada dua
aliran, yakni Qadariyah dan Jabariyah. Kaum Qadariyah meskipun
namanya kaum Qadar, yang awalnya menetapkan adanya qadar dalam
diri manusia yakni yang baik dari Allah sementara yang buruk dari diri
manusia, belakangan berubah pengertian, yakni berpandangan bahwa
manusia bebas mempergunakan pikiran dan berbuat sendiri. Buruk dan
baik nasib kita, janganlah selalu dipertanggungjawabkan kepada Tuhan.
Nasib kita adalah di tangan kita sendiri. Karena kita tidak belajar dari
kecil, lalu setelah dewasa kita menjadi orang bodoh, janganlah Tuhan
disesali. Kita bergaul dengan orang-orang jahat, lalu kita menjadi penjahat
pula. Itu adalah kesalahan kita sendiri.
Adapun kaum Jabariyah, mencabut segala daya dan upaya dari diri
manusia. Kita di dunia ini hanyalah ibarat kapas diterbangkan angin.
Angin takdir yang mutlak dan seragam. Sehingga jika kita baik, adalah

62
baik karena taqdir Tuhan, bukan karena ikhtiar usaha kita. Jika kita
menjadi jahat, adalah karena ditaqdirkan jahat oleh Tuhan. Miskin dan
kaya, naik dan jatuh, mulia dan hina, semuanya mutlak di bawah kuasa
Tuhan Semesta Alam.
Tetapi kalau kita telusuri lebih jauh kitab yang besar-besar dari
sejarah alam pikiran filsafat Islam, sebenarnya tidak ada perbedaan itu.
Apalagi, Al- Qur‘an sendiri sebagai pedoman hidup seorang muslim
sudah menunjukkan sudut-sudut daripada kedua jalan pikiran itu.
Seluruh kekuasaan itu adalah ditangan Tuhan: Sesungguhnya Allah,
adalah atas tiap-tiap sesuatu maha berkuasa (Q.S. Al-Baqarah: 20).
Demikian nyatanya bahwa kekuasaan Tuhan itu tidak terbatas. Sehingga
kita telah mengurangi kekuasaan Tuhan, kalau kita katakan bahwa Tuhan
tidaklah menjadikan yang buruk, tidaklah menjadikan miskin, dan
tidaklah menjadikan bodoh. Tetapi untuk ta‘adduban, untuk sopan-santun
kita kepada Tuhan, ada pula caranya sendiri yang harus kita lalui. Banyak
kejadian yang memang Tuhan menjadikan, sekali-kali tidak kuasa orang
lain menjadikannya, tetapi tidaklah sanggup mulut orang yang beradab
mengatakan bahwa itu dijadikan Tuhan. Dan memanglah amat janggal
kalau sekiranya seorang durjana, yang ketika hendak dipotong
tangannya, menjalankan hukum pencuriannya, dia mengatakan tak usah
hukum dijalankan, sebab dia mencuri ini adalah atas kehendak qudrat
iradat Tuhan.(Hamka, 1978: 304-305)
Pendirian Jabariyah, atau disebut Jahmiyah, bertentangan dengan
pendirian Qadariyah, terutama bagi orang yang lemah imannya. Apalah
artinya kita berusaha di dalam hidup ini. Karena kita hanyalah
menjalankan taqdir yang tertulis saja. Bergerak kata Tuhan, kitapun
bergerak. Diam kata Tuhan, kitapun diam! Kaya kata Tuhan, kitapun
kaya. Jatuh kata Tuhan, kitapun jatuh. Mungkin kaum Jahmiyah sendiri
tidaklah berpendirian sampai demikian. Pendirian menjadi runcing di
antara kedua belah pihak, biasanya apabila telah dicampuri oleh
kepentingan-kepentingan lain.

4) Manusia sebagai Bahagian dari Alam


Terang sudah bahwa seluruh kekuasaan adalah di tangan Tuhan.
Tuhan mempunyai peraturan sendiri untuk mengatur alam yang maha

63
luas itu. Pokok undang- undang dasar yang meliputi semuanya ialah
qudrat dan iradat. Qudrat dan iradat berkembang kepada beberapa jalan,
yang dinamai sunnatullah. Kadang- kadang kita namai apa yang sanggup
kita lihat dari sunnatullah itu dengan istilah ‘sebab-akibat’. Yang kita
ketahui dari hukum sebab-akibat itu hanya sedikit sekali. Ibarat sebuah
pemerintahan besar, namun tetap mempunyai rahasia-rahasia yang tidak
boleh diketahui oleh rakyat banyak. Tuhan pun seperti demikian atas
hamba-hamba-Nya.
Siapakah manusia? Manusia adalah sebahagian dari alam, yang
merupakan isi bumi. Manusia hanya ada dalam bumi. Dia ditempa dari
tanah, sebagaimana halnya benda-benda bernyawa yang lain, dalam
bumi. Memang ada pula di atara ahli pikir, seperti Darwin (teori Darwin),
yang mengatakan bahwa mungkin asal-usul manusia itu sama dengan
monyet. Lalu di antara beribu macam makhluk itu, kepada manusia pula
diberikan Tuhan suatu alat yang menurut penyelidikan, belum diberikan
Tuhan kepada yang lain. Alat itu adalah akal.
Siapa sebenarnya yang empunya akal itu? Ibarat barang yang lain
yang ada pada diri manusia, mungkin seseorang akan mengatakan
bahwa dialah yang empunya. Tetapi, kalau dipikirkan lebih dalam, tidak
ada yang dipunyai menusia secara mutlak. Akal itu sendiri, sepintas lalu,
boleh dikatakan sebagai alat seseorang untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya, dan barang itu tidak lebih dari sebuah pinjaman dari Tuhan.
Akal adalah kepunyaan Allah yang dipinjamkan-Nya kepada diri
manusia, karena akal itu akan dipergunakan oleh manusia dalam
mengetahui wujud Allah dan sifat-sifat-Nya.
Tidak ada kekuasaan penuh dari manusia mempergunakan
akalnya sendiri, bila yang demikian benar di luar batas ketentuan yang
telah ada. Kemudian pertanyaan berikutnya adalah: adakah pada manusia
itu kemerdekaan? Demikian pertanyaan yang timbul dari hati seseorang.
Sekarang pertanyaan itu kita kembalikan kepada pertanyaan pula, yakni
pernahkan tuan merasa bahwa tuan merdeka?

5) Adil atau Aniaya?


Ada orang yang telah bersusah payah berusaha, namun dia masih
miskin juga. Ada pula orang jujur, tetapi hidup teraniaya. Ada pula orang

64
pengadu untung, dalam segala zaman dia memperoleh kedudukan. Apakah
ini adil? Jika caranya manusia berpikir hanya menurut ukuran diri sendiri,
tidak dibawa kepada ukuran yang lebih besar, segala sesuatu akan tampak
tidak adil. Ketidakadilan bukanlah terdapat dalam soal itu sendiri, akan tetapi
terdapat dalam jiwa manusia, karena manusia bersangkutan egoistis sendiri.
Contoh sederhana, yaitu pada setiap tanggal 17 Agustus bangsa Indonesia
memperingati Hari Kemerdekaan RI dan menjadikannya Hari Besar Nasional.
Hari itu merupakan hari di mana bangsa Indonesia dibebaskan dari penjajah.
Tetapi dalam hati bangsa Belanda, justru hari itu adalah hari perkabungan.
Orang Indonesia adalah hamba Tuhan, sebagaimana orang Belandapun
adalah hamba Tuhan, sebagaimana orang Yahudipun hamba Tuhan.
Demikianlah perbandingan tinjauan atas keadilan kalau diserahkan kepada
bangsa-bangsa, dan lebih dari demikian kalau diserahkan kepada
perseorangan setiap manusia. Oleh sebab itu, keputusan tentang adil dan
tidak adil, nyatalah sebuah diskusi yang mendapat jalan buntu jika diserahkan
kepada “banyak tangan”.

6) Manusia Tidak Berkuasa


Manusia diberi akal. Tetapi kebebasan dan kemerdekaan itu amat
terbatas. Kekuasaan tertinggi dan mutlak tetaplah di tangan Tuhan. Kalau
Tuhan berkehendak, ditujukannya akal manusia itu kepada suatu jurusan,
atau dicabutnya dari jurusan lain. Kadang-kadang manusia tidak sadar akan
hal itu. Itu sebabnya Tuhan mendatangkan para Rasul, Nabi dan Kitab-Kitab,
buat menuntun kesadaran manusia tadi. Akal itu adalah pemberian Allah
kepada manusia untuk dijadikan sebagai alat mencapai rahasia Sunnah Allah
yang maha besar dan maha luas. Pergunakanlah akal itu dengan sebaik-
baiknya!
Kalau manusia tidak berkekuasaan penuh, bukanlah itu berarti tidak
adil. Sebaliknya, jika berkuasa penuh, maka justru itulah yang lebih tidak adil.
Sebab hal itu akan menimbulkan pecahnya kesatuan “komando” alam dan
timbullah kekacauan yang lebih-lebih tidak dapat dipikirkan. Ini seandainya
jika manusia itu turut berkuasa semua. Kalau dia berkuasa, berdiri sendirikah
kekuasaan itu atau bergabungkah ia dengan kekuasaan Tuhan? Kedua-
duanya tidak mungkin. Kalau dikatakan kekuasaan yang berdiri sendiri,
nyata bahwa kita tak sanggup keluar dari batas kita. Memakai akal sendiripun

65
nyatalah tidak sanggup keluar dari batas “pandangan akal” itu. Pendeknya
mustahil.
Kalau bergabung, itupun mustahil. Tak dapat diterima oleh akal.
Sebab, yang demikian harus terlebih dahulu menolak bahwa akal itu dari
Allah. Yakni, bahwa akal itu adalah ciptaan manusia sendiri. Dan akal itupun
sebanyak manusia itu sendiri dan berbagai ragam pula. Ini juga dapat
menimbulkan chaos (kacau- balau). Jalan pikiran yang sehat adalah kesatuan
kekuasaan, kesatuan qudrat dan iradat, kesatuan qadla dan qadar. Semua,
seratus persen, dalam kekuasaan-Nya. Tetapi, kita tidaklah ibarat kapas
diterbangkan angin semau-maunya. Manusia sudah diberi amanat oleh
Tuhan dan diberi bekal, yakni akal. Ini semua sebagai sarana menggapai
sunnah-Nya.
Hubungan seluruh umat manusia dengan Tuhannya, dapat diibaratkan
dengan satu divisi angkatan perang. Semua tentara tunduk kepada komando
yang satu. Yang bertanggung jawab paling tinggi adalah jenderalnya. Dan
setiap tentara bertanggung jawab pula dalam lingkungan yang diperintahkan
kepadanya, dengan alat yang dipinjamkan ke tangannya. Mereka disuruh
bertempur habis-habisan, sampai terdapat kemenangan. Beribu-ribu tentara
bisa saja mati. Tentara yang sudah mati tidak ditanya mengapa dia mati.
Negaranya mendapat kemenangan, tetapi anaknya menjadi piatu dan istrinya
menjadi janda. Tidak dapat dikatakan bahwa itu tidak adil. Oleh sebab itu,
semua manusia ini adalah juyusy Allah, tentara Tuhan. Tuhanlah jenderal dari
segala jenderal. Tepat sekali apa yang disebut dalam kitab Taurat bahwa
Tuhan adalah “Tuhan segala tentara”.(Hamka, 1978: 307) Bahkan kadang-
kadang ada tentara yang dijadikan sebagai umpan, dijadikan korban beribu-
ribu banyaknya, untuk suatu strategi yang lebih besar. Ada pula yang
dijadikan sebagai tim penggempur, ada yang dijadikan tentara sipil, memakai
tanda-tanda juga didada dan di lehernya, tetapi dia di garis belakang. Orang
yang tidak mengerti rahasia ketentaraan, tentu akan membantah. Padahal,
bantahan adalah melawan disiplin. Ada orang yang dinaikkan Tuhan, pada
lahirnya. Ada yang miskin, yang bodoh, yang jahat. Ada yang nasibnya secara
lahirnya kelihatan baik. Padahal pada batinnya hanya sama semuanya. Apa
perbedaan antara hamba Allah yang kaya dengan yang miskin? Apa
perbedaan di antara yang bodoh dengan yang pintar? Kadang- kadang orang
kaya lebih banyak keperluannya, sebab itu dia tidak merasa tenteram dengan

66
kekayaan. Oleh sebab itu, ukuran susahnyapun sama dengan orang miskin.
Kadang-kadang orang pintar sampai “darah tinggi”, karena terlalu banyak
yang dipikirkan, dan orang bodoh hanya duduk bersiu-siul.
Oleh sebab itu, supaya pikiran sendiri jangan bertele-tele dan tidak ada
ujungnya, maka tidak ada jalan lain lagi kecuali mempergunakan akal
pemberian Allah itu. Karena kalau engkau tidak diberi-Nya akal, misalnya
engkau ditakdirkan-Nya gila, tidak pulalah diwajibkan-Nya engkau berpikir
lagi. Pergunakan akal itu. Pergunakan pikiran itu! Lalu serahkan kepada
Tuhan, gantungkan kepada Tuhan, tawakal kepada Tuhan, takwa kepada
Tuhan. (Hamka, 1978: 308)
Engkau adalah makhluk asal dari tanah, bersama dengan yang lain.
Tetapi engkau bukanlah kapas diterbangkan angin. Dan engkau berbeda
dengan binatang lain. Keutamaanmu adalah karena akal itu. Karena akal,
engkau sadar bahwa engkau ada. Engkau sadar bahwa adamu jauh berbeda
dengan adanya makhluk yang lain.

7) Ayat-ayat Takdir dan Ikhtiar


Ada beberapa ayat al-Qur‘an yang menunjukkan kecenderungan umat
manusia dalam menggunakan pikirnya. Beberapa di antaranya disalinkan di
bawah ini:
1. Ayat-ayat taqdir:
“Telah mengunci Allah atas hati mereka dan atas pendengaran mereka, dan atas
penglihatan mereka telah tertutup, dan bagi mereka azab yang berat. (Q.S. Al-
Baqarah: 7)

“Dan tidaklah akan memberi manfaat kepada kamu nasihat-nasihatku sekalipun aku
mau memberi nasihat kepada kamu jika Allah ta‟ala berkehendak menyesatkan
kamu. Dialah Tuhan kamu dan kepada-Nyalah kamu akan kembali semuanya (Q.S.
Hud: 34).

“Maka apakah engaku (engkau hendak merubah nasib) orang-orang yang telah pasti
atasnya kalimat siksa? Apakah engkau (Muhammad) hendak mengeluarkan orang
yang telah dalam neraka? (Q.S. Az-Zumar: 19)

67
“Dan sesungguhnya telah mengutus Kami seorang Rasul untuk tiap- tiap ummat,
untuk menyerukan sembahlah Allah, dan jauhilah Taghut Kemudian di antara
mereka ada yang diberi hidayat Allah dan diantara mereka ada pula orang yang telah
pasti akan kesesatan (Q.S. An-Nahl: 36)

“Tetapi kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki
Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana.” (Q.S Ad-Dahr: 30)

2. Ayat-ayat ikhtiar
“Sesungguhnya kami, telah menunjukkan kepadanya jalan lurus. Ada yang bersyukur
dan ada pula yang kufur.” (Q.S. Ad-Dahr: 3)

“Sungguh, inilah jalanku yang lurus, maka ikutilah oleh kamu akan di. Dan janganlah
mengikut jalan-jalan lain,yang akan menceraiberaikan kamudari jalanNya.
Demikianlah diwasiatkaNya kepadamu supaya kamu bertaqwa.” (Q.S. Al-An‘am:
153)

“Maka barang siapa menghendaki beriman, maka hendaklah dia beriman. Dan barang
siapa yang menghendaki kafir, maka biarkanlah dia kafir.” (Q.S. Al-Kahfi: 29)

“Ðan barang siapa berbuat kejahatan dan menganiaya akan dirinya, kemudian itu
memohon ampunan kepada Allah, niscaya dia akan mendapatkan Allah Maha Pemberi
Ampun dan Penyayang. Dan barang siapa berbuat dosa, maka sesungguhnya dia
mengerjakannya untuk kesulitan dirinya sendiri. Dan adalah Allah Maha Mengetahui
dan Maha Bijaksana.” (Q.S An-Nisaa‘: 110-111)

“Sesungguhnya Allah tidaklah akan merobah apa yang ada pada suatu kaum, sebelum
mereka merobah apa yang ada pada diri mereka. (Q.S. Ar-Ra‘d:11)
Kedua pasangan ayat ini, lima ayat taqdir dan lima ayat ikhtiar, adalah
benar. Keduanya dalam al-Qur‘an, dan tidak ada perlawanan. Kalau timbul
persangkaan bahwa dia berlawanan, bukanlah seperti yang demikian adanya,
melainkan pikiran kita yang memikirkannya justru yang berlawanan.
Janganlah sebahagian saja dipegang, tetapi peganglah dalam keseluruhannya.
Ingatlah bahwasannya segala aspek kehidupan yang pelik-pelik ini
telah muncul karena pada diri kita ada akal. Dengan melihat ayat ikhtiar itu,

68
kita dapat merasakan bahwa pada kita ada kebebasan. Demikian pula, dengan
melihat ayat-ayat taqdir di atas, tidaklah kita lupa daratan, bahwa kebebasan
itu terbatas. Ibarat kebebasan seorang warga dalam satu negara. Dia bebas
dalam lingkungan undang-undang. Oleh karena itu, pada hakikatnya tidaklah
bebas, dalam pengertian mulak.

2. Hikmah Iman kepada Qada’ dan Qadar


Di antara hikmah yang dapat kita petik dari iman kepada qada‘ dan qadar,
sebagai berikut:
1) Tawakal kepada Allah ketika melakukan usaha (yang menjadi sebab
tercapainya maksud), dan tidak menggantukan pada usaha tersebut. Karena
segala sesuatu terjadi pada hakikatnya karena kehendak Allah.
2) Iman kepada Qada‘ dan Qadar, menjadikan manusia tidak merasa sombong
dan ujub jika maksud usahanya tercapai, karena dia yakin bahwa
keberhasilannya adalah karunia dari Allah dan telah ditakdirkan oleh Allah.
3) Tenang dan nyaman (secara psikologis) dengan apa yang terjadi padanya
yang merupakan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa, maka dia tidak akan
gundah dengan hilangnya sesuatu yang dia sukai atau ketika mendapatkan
sesuatu yang dia benci.
4) Menganggap ringan dan menerima setiap musibah dengan Ridho, karena
yakin bahwa itu merupakan ketentuan Allah, maka sepenuhnya diserahkan
dan dikembalikan kepada Allah.
5) Iman kepada Qada‘ dan Qadar dapat menjauhkan diri dari perbuatan Syirik,
karena orang yang beriman kepada Qada‘ dan Qadar meyakini bahwa alam
semesta beserta isinya ini berasal dari tuhan Yang Esa dan satu-satunya Tuhan
yang Wajib disembah.

D. Kontekstualisasi Materi Iman kepada Qada dan Qadar dalam Moderasi


Beragama
Iman kepada qada’ dan qadar dapat diartikan keyakinan yang sungguh-
sungguh bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh seluruh makhluk, baik yang
sengaja, seperti makan, minum, duduk, berdiri ataupun yang tidak disengaja
seperti jatuh, terpeleset, pingsan dan sebagainya telah ditetapkan oleh Allah sejak
zaman azali dan sudah ditulis di dalam lauhul mahfudz (papan tulis yang
terpelihara). Kendatipun demikian, kita tetap disuruh Allah untuk berusaha

69
semaksimal mungkin agar kita mendapat kebajikan dan berhasil. Sebab, tidak
seorangpun yang mengerti bahwa dia akan ditakdirkan apa atau dengan kata lain
kita tidak dapat mengetahui qada’, yang kita ketahui hanya qadar.

Oleh karena itu, kita jangan menyerah atau pasrah terhadap perbuatan
Allah yang belum terjadi (qada). Baru setelahnya perbuatan Allah itu terjadi
(qadar) dalam hati kita harus ada kepasrahan atau kerelaan. Inilah sebetulnya
yang disebut ridha yang terjadi setelah tawakal. Tetapi bukan tidak mungkin
terjadi qadar-qadar Allah lainnya bagi kita, baik qadar-qadar-Nya yang baik
maupun yang buruk sesuai dengan kehendak-Nya. Maka kita harus tetap
berusaha semaksimal mungkin dengan harapan terjadi pada diri kita qadar-qadar
yang baik, akan tetapi semua hasil akhirnya diserahkan kepada kehendak dan
kekuasaan Allah.

Pemahaman perilaku yang berusaha semaksimal mungkin agar senantiasa


berperilaku baik dan tidak menghasilkan perbuatan buruk seperti ini dalam
moderasi beragama adalah sikap Ishlah yang memahami kehidupan harus
dijalani untuk menciptakan kondisi aman.

Ishlah adalah upaya yang dilakukan untuk menghilangkan terjadinya


kerusakan, dan perpecahan antara manusia dan melakukan perbaikan dalam
kehidupan manusia sehingga tercipta kondisi yang aman, damai, dan sejahtera
dalam kehidupan masyarakat. Karena itu, dalam terminologi Islam secara umum,
Ishlah dapat diartikan sebagai suatu aktifitas yang ingin membawa perubahan
dari keadaan yang buruk menjadi keadaan yang baik.

Ishlah juga dapat difahami sebagai suatu tindakan atau gerakan yang
bertujuan untuk merubah keadaan masyarakat yang rusak akhlak dan akidah,
menyebar ilmu pengetahuan dan memerangi kejahilan. Ishlah juga menghapus
bid’ah dan khurafat yang memasuki agama dan mengukuhkan akidah tauhid.
Dengan ini manusia akan benar-benar menjadi hamba Allah Swt yang
menyembah-Nya. Masyarakat Islam juga menjadi masyarakat yang memandu
kearah keadilan dan persamaan.

Saudara selanjutnya temukan nilai-nilai moderasi beragama dari materi


iman kepada malaikat dan hari akhir ini, seperti nilai tawasuth, dan tasamuh.
Lakukan analisa saudara terhadap 2 nilai moderasi beragama tersebut.

E. Latihan
Untuk memperdalam pemahaman Saudara di atas, kerjakan latihan
berikut:

70
1. Jelaskan apakah perbedaan qada’ dan qadar serta berikan contoh masing-
masing?
2. Jelaskan pakah paham Jabariyah dan Qadariyah berkaitan dengan
perbuatan manusia?
3. Jelaskan apa hikmah beriman kepada qada’ dan qadar?

F. Referensi Tambahan
1. Jenal Bustomi, Ilmu Tauhid: Mengikis Fanatisme Kelompok Merekat Persatuan
Umat, Cetakan ke-3, Bandung: Media Jaya Abadi, 2022.
2. Mulyana Abdullah, “Implementasi Iman kepada Al-Qada’ dan Al-Qadar
dalam Kehidupan Umat Muslim,” Jurnal Pendidikan Agama Islam-Ta’lim,
Vol. 18, No. 1, 2020.
https://ejournal.upi.edu/index.php/taklim/article/view/32814
3. J. Nabiel Aha Putra dan Ali Mutawakil, “Qada’ dan Qadar Perspektif Al-
Qur’an Hadis dan Implikasinya terhadap Pendidikan Islam,” Jurnal
Pendidikan Agama Islam, Vol. 7, No. 1, 2020. esis, 2015.
http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/jpai/article/view/11232

71
PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (PBL)

Saudara yang yang baik hati, untuk memberikan pemahaman dan implementasi
pembelajaran berbasis masalah (PBL). Pada bagian ini Saudara diminta untuk
merancang dan melaksanakan PBL tersebut. Langkah-langkah yang harus dijalankan
adalah:

1. Temukan apa satu masalah yang dipandang menggelisahkan Saudara dalam


kehidupan sehari-hari dikaitkan dengan masalah-masalah akidah Islam?
2. Jelaskan apa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya masalah tersebut,
baik secara internal maupun eksternal?
3. Jelaskan apa langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah
di atas, ditinjau dari dimensi teoretik dan langkah-langkah kongkrit secara rinci
dan jelas sehingga masalah di atas dapat diselesaikan dengan baik?

Selamat Bekerja, Semoga Berhasil

72
DAFTAR PUSTAKA

Abduh, Muhammad. Risalah Tauhid, terj. H. Firdaus, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Abu Hasan al-Asy’ari, Al-Luma bi at-Tahqiq Hamudah Gharabah, 1955.
Achmad Farichi, dkk., Agama Islam, Jakarta: Yudhistira, 2005.
Akbar S. Ahmed, Living Islam, From Samarkand to Stornoway, New York: Fact on File
Inc., 1994.
Al-Baijuri, Ibrahim, Tuhfat al-Murȋd ‘alâ Jauharati Tauhȋd, Surabaya: Sirkat Nur Asia,tt.
Al-Ghazali, Imam, Ringkasan Ihya Ulumuddin terj. Zeid Husein Al-Hamid. Jakarta:
Pustaka Amani, 2007.
Al-Yasiin, Jasim Muhammad bin Muhalhal, Al Jadawil al-jami‘ah fi al-ulum an-
nafi‘ah. Libanon: Muassah Rayyan, 2010.
Bachrum B., Akidah Akhlak, Yogyakarta: Kota Kembang, 2005.
Bustomi, Jenal, Ilmu Tauhid Mengikis Fanatisme Kelompok Merekat Persatuan Umat,
Bandung: Media Jaya Abadi, 2022.
Departemen Agama, Al-Qur‘an dan Terjemahnya, 2004.
Fathurrahman, Oman, Tanbîh Al-Mâsyi Menyoal Wahdatul Wujud, Bandung: Mizan,
1999.
Hamka, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.
Hawa, Sa’id, Tarbiyatunâ ar-Rûhiyah, Kairo: Dar as-Salam, 2015.
Idris, M. Muslih. Et.al, Akidah Akhlak 3, Jakarta: Departemen Agama RI, 1998.
Isma‘il, Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, Bandung: Pustaka, 1995.
Kementerian Agama Republik Indonesia, Buku Siswa Akidah Akhlak Pendekatan Saintifik
Kurikulum 2013 untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas VII, Jakarta: Kementerian
Agama, 2014.
Kementerian Agama Republik Indonesia, Buku Siswa Akidah Akhlak Pendekatan
Saintifik Pendekatan Saintifik Kurikulum 2013 untuk Madrasah Tsanawiyah Kelas
XII, Jakarta: Kementerian Agama, 2014.
Munawwir, Ahamd Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,
Yogyakarta: PP Al-Munawwir, 1984.
Shihab, Quraish, Islam Yang Saya Pahami, Tangerang: Lentera Hati 2018.
Sirait, Sangkot, Rukun Iman antara Keyakinan Normatif dan Penalaran Logis, Yogyakarta:
Suka Press 2014.

73
Wahid, Abdul et. all., Militansi ASWAJA & Dinamika Pemikiran Islam, Malang: Aswaja
Centre UNISMA, 2001.
Zakaria, Aceng, Pokok-Pokok Ilmu Tauhid, Garut: Ibnu Azka Press, 2018.

74

Anda mungkin juga menyukai