Anda di halaman 1dari 5

1.

Pengertian Wadiah

Definisi wadi’ah menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah


dengan, “mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan
ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalui isyarat.” Misalnya, seseorang
berkata kepada orang lain, “Saya titipkan tas saya ini kepada Anda,” lalu orang itu
menjawab, “Saya terima.” Maka sempurnalah akad wadi’ah.
Wadiah menurut Ihkwan Abidin Basri (2007) adalah akad seseorang kepada
pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara layak (menurut
kebiasaan).
Menurut PSAK 59, Wadi’ah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan
dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki Bank
bertanggung jawab atas pengembalian titipan.

2. Hukum Dan Dalil yang Melandasi Wadiah


Landasan Hukum dari Al Quran :
a. Firman Allah SWT QS An-Nisa (4) : 58
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran
yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi
Maha Melihat. ”
b. Firman Allah SWT, QS Al Maidah (5) : 1
“Wahai orang-orang yang beriman, penuhilah akad kalian...”
c. Firman Allah SWT An Nisa’: 6
“Kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu
adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka.”
Landasan Hukum dari Hadist :
Hadist riwayat Abu Dawud dan Al Tirmidzi
“Tunaikanlah amanat itu kepada orang yang memberi amanat kepadamu dan
janganlah kamu mengkhianati orang yang mengkhianatimu”
Hukum Menerima Benda Titipan
Hukum menerima benda titipan ada empat macam yaitu sunat, haram, wajib
dan makruh. Secara lengkap akan dijelaskan sebagai berikut:
a. Sunat, disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya
bahwa dia sanggup menjaga benda-benda yang dititipkan kepadanya, salah satu
bentuk tolong menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al quran.
b. Wajib, diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya
bahwa dirinya sanggup menerima dan menjaga benda benda tersebut, sementara
orang lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda
benda tersebut.
c. Haram, apabila seseorang tidak kuasa atau tidak sanggup memelihara benda
titipan. Bagi orang seperti itu diharamkan menerima benda titipan, sebab dengan
menerima benda titipan, berarti memberi kesempatan kerusakan atau hilangnya
benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak yang menitipkan.
d. Makruh, bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu
menjaga benda titipan, tetapi dia kurang yakin pada kemampuannya maka bagi
orang seperti ini makruh hukumnya menerima benda benda titipan, sebab
dikhawatirkan dia akan berkhianat terhadap yang menitipkan dengan cara merusak
benda titipan atau menghilangkannya.

3. Rukun dan Syarat Wadiah


Rukun Wadi’ah
Menurut Hanafiah, rukun wadi’ah hanya satu, yaitu ijab qabul. Sedangkan
menurut jumhur ulama, rukun wadi’ah itu ada empat :
- Barang yang dititipkan (wadiah)
- Orang yang menitipkan (mudi’ atau muwaddi’)
- Orang yang menerima titipan (muda’ atau mustawda’)
- Ijab qabul (sighat)
Syarat-Syarat Wadi’ah
a. Syarat-Syarat Untuk Benda Yang Dititipkan Syarat-syarat benda yang dititipkan
sebagai berikut :
1) Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa untuk disimpan. Apabila
benda tersebut tidak bisa disimpan, maka wadi’ah tidak sah sehingga apabila hilang,
tidak wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiyah.
2) Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang
mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai mal, walaupun najis. Apabila benda
tersebut tidak memiliki nilai, maka wadi’ah tidak sah.
b. Syarat- Syarat Sighat
Sighat akad adalah ijab dan qabul. Syarat sighat adalah ijab harus dinyatakan
dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya
dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus
disertai dengan niat. Contoh lafal yang sharih: “Saya titipkan barang ini kepada
Anda”. Sedangkan contoh lafal sindiran (kinayah). Seseorang mengatakan, “Berikan
kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab: “Saya berikan mobil ini kepada Anda”.
Kata “berikan” mengandung arti hibah dan wadi’ah (titipan). Dalam konteks ini arti
yang paling dekat adalah “titipan”. Contoh ijab dengan perbuatan: Seseorang
menaruh sepeda motor di hadapan seseorang tanpa mengucapkan kata-kata apa
pun. Perbuatan tersebut menunjukan penitipan (wadi’ah). Demikian pula qabul
kadang-kadang dengan lafal yang tegas (sharih), seperti: “Saya terima” dan
adakalanya dengan dilalah (penunjukan), misalnya sikap diam ketika barang ditaruh
di hadapannya.
c. Syarat orang yang menitipkan (Al-Mudi’)
1) Berakal
2) Baligh, Syarat ini dikemukakan oleh Syafi’iyah. Dengan demikian menurut
Syafi’iyah, wadi’ah tidak sah apabila dilakukan oleh anak yang belum baligh masih di
bawah umur. Tetapi menurut Hanafiah baligh tidak menjadi syarat wadi’ah sehingga
wadi’ah hukumnya sah apabila dilakukan oleh anak mumayyiz dengan persetujuan
dari walinya atau washiy-nya.
d. Syarat orang yang dititipi (Al-Muda’)
Syarat orang yang dititipi (muda’) adalah sebagai berikut :
1) Berakal, tidak sah wadi’ah dari orang gila dan anak yang masih di bawah umur.
2) Baligh, syarat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak
menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia
sudah mumayyiz.
3) Malikiyyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat
mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya.

4. Macam-macam Wadiah
Dalam Islam wadi’ah dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
1) Wadiah yad amanah adalah akad penitipan barang di mana pihak penerima
titipan tidak diperkenankan menggunakan barang uang yang dititipkan dan tidak
bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan
diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima.
2) Wadi’ah yad Dhamanah adalah titipan terhadap barang yang dapat dipergunakan
atau dimanfaatkan oleh penerima titipan. Sehingga pihak penerima titipan
bertaggung jawab terhadap risiko yang menimpa barang sebagai akibat dari
penggunaan atas suatu barang, seperti risiko kerusakan dan sebagainya. Tentu saja
penerima titipan wajib menegmbalikan barang yang dititipkan pada saat diminta
oleh pihak yang menitipkan.

5. Hukum Keuntungan dalam Wadiah


Ulama berbeda pendapat mengenai pengambilan laba atau bonusnya,
perbedaan itu adalah:
a. Menurut ulama Syafi’iyah, tidak boleh mengambil keuntungan atau bonus yang
tidak disyaratkan diawal akad dari pemanfaatan barang yang dititipkan dan akadnya
bisa gugur.
b. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Malikiyah boleh menerima laba yang
diberikan oleh orang yang dititipi.
c. Sedangkan apabila imbalan yang diterima dari bank berupa bunga, maka ulama
Hanafiah mengatakan keuntungan tersebut harus disedekahkan, sedangkan menurut
ulama Maliki keuntungan tersebut harus diserahkan ke baitul mal (kas negara).

6. Contoh Aplikasi wadiah dalam Lembaga keuangan Syariah


Dalam penerapannya, produk bank Syariah dengan akad wadiah menerapkan
prinsip wadiah yad amanah dan wadiah yad dhamanah. Terkait dengan kedua
produk tersebut, dalam pelaksanaannya perbankkan Syariah lebih menerapkan
prinsip wadiah yad dhamanah. Padahal, akad wadiah yad dhamanah secara nama
tidak ditemukan dalam literatur fikih klasik dan apabila dibedah prinsip iniditemukan
dua akad yang sifatnya bertentangan namun dipaksakan.
Adanya unsur dua akad dalam prinsip wadi’ah yad dhamanah, karena di dalam
praktiknya baik produk Giro Wadi’ah ataupun Tabungan Wadi’ah, bank meminta
pihak penitip (nasabah) memberikan kewenangan kepada pihak bank untuk
mengelola titipan/asetnya, dan bank memiliki hak penuh atas hasil yang diperoleh
dari pemanfaatan titipan nasabah, dengan kata lain bank tidak dikenai tanggung
jawab (kewajiban) membagi hasilnya.

Anda mungkin juga menyukai