Anda di halaman 1dari 9

KEDUDUKAN PERTH TREATY DALAM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL SETELAH

BERPISAHNYA TIMOR TIMUR DARI INDONESIA1

Anggie Stellamaris Tumbel2

Emma V. T Senewe3
emmasenewe@unsrat.ac.id
Imelda Amelia Tangkere4

ABSTRAK

Treaty between the Government of the Australia and the Government of the Republic of Indonesia establishing an
Exclusive Economic Zone Boundary and Certain Seabed Boundaries, yang dikenal dengan perjanjian Indonesia-
Australia Perth Treaty 1997, yang dilakukan kedua pihak pada Maret 1997 di kota Perth, Australia. Posisi Negara
Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki batas maritim dengan negara tetangga mewajibkan Indonesia untuk
menyelesaikan perbatasan maritimnya, agar tidak terjadi tumpang tindih kedaulatan dengan negara tetangga. Setelah
terjadi pemisahan Timor Timur dari Indonesia pada tahun 2002, perjanjian ini belum diratifikasi dikarenakan masih
mengandung wilayah Timor Timur. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui kedudukan Perth Treaty dalam
peraturan hukum nasional dan hukum internasional yang mengatur mengenai perjanjian internasional. Penelitian ini
menggunakan metode pendekatan yuridis normatif dimana hukum dikonsepsikan sebagai apa yang tertulis dalam
peraturan perundang-undangan (law in books), selanjutnya data dan infomasi yang diperoleh sebagai bahan primer dan
sekunder sebagai bahan rujukan bidang hukum kemudian dideskripsikan dan diintegrasikan agar memperoleh informasi
yang akurat untuk menjawab permasalahan. Adapun hasil penelitian kedudukan Perth Treaty menurut hukum nasional
masih dalam tahap penandatanganan kedua belah pihak, tetapi belum sampai pada tahap pengesahan perjanjian
sebagaimana yang diatur dalam UU Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional , bahwa perjanjian ini perlu
diratifikasi dalam bentuk peraturan peraturan perundang-undangan.

Kata Kunci : Perth Treaty, Perjanjian Internasional, Ratifikasi

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan Hukum Internasional dilihat dari
terjalinnya interaksi masyarakat internasional dari
suatu negara dunia yang merupakan kehidupan
bersama dari negara-negara yang merdeka dan
sederajat. Hubungan yang terjalin ini mempermudah
kebutuhan masyarakat bahkan negara diberbagai
lingkup lapangan kehidupan yang mengakibatkan
timbulnya hubungan yang tetap antara kedua belah
pihak, dan karena kebutuhan itu timbul hubungan
timbal balik yang sifatnya perlu diatur untuk
memelihara dan mengatur hubungan tersebut.
Untuk menerbitkan, mengatur dan memelihara
hubungan internasional ini, dibutuhkan hukum guna
menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam
setiap hubungan yang teratur. Hubungan antara orang
atau kelompok orang yang tergabung dalam ikatan
kebangsaan atau ketatanegaraan yang berlainan itu
dapat merupakan hubungan tak langsung atau resmi
yang dilakukan oleh para pejabat negara yang
mengadakan berbagai perundingan atas nama negara

1
Artikel Skripsi
2
Mahasiswa Fakultas Hukum Unsrat, NIM 19071101206
3
Fakultas Hukum Unsrat, Doktor Ilmu Hukum
4
Fakultas Hukum, Magister Ilmu Hukum
dan meresmikan persetujuan yang dicapai dalam 52’14,1” Selatan, Garis Bujur 102 derajat, 34’12,7”
perjanjian antarnegara.5 Timur untuk titik C.
Merujuk pada Statuta Mahkamah Internasional Kemudian titik C1, C2, C3 yang dalam
pasal 38 ayat (1) huruf (a), Sengketa Internasional yang perjanjian ini merupakan wilayah yang berbatasan
timbul harus mendasarkan pada Hukum Internasional langsung antara Indonesia dibagian Timor Timur dan
yakni menerapkan traktat dan kebiasaan yang ada berbatasan dengan Australia, yang dalam artiannya
kemudian merupakan pengakuan akan trakrat sebagai sekarang wilayah C1, C2, C3 sudah menjadi wilayah
salah satu sumber formal, maka perjanjian perbatasan antara Timor Leste dengan Australia sejak
internasional dapat digolongkan sebagai salah satu wilayah Timor Timur berpisah dari Indonesia, dalam
sumber Hukum Internasional. Yang kemudian perjanjian ini wilayah C1, C2, C3 yang dibentangkan
perjanjian internasional menjadi tolak ukur pada saat dengan kode Z28-Z36 sudah tidak diberlakukan lagi
diadakannya Konvensi Wina 1969 yang mengatur dalam perjanjian ini karena terdapatnya objek dari
mengenai perjanjian internasional publik antar Negara perjanjian Indonesia dan Australia yang bukan menjadi
sebagai subjek utama Hukum Internasional (Vienna bagian dari wilayah perbatasan Indonesia melainkan
Convention on the Law of Treaties). sudah menjadi wilayah perbatasan Timos Leste.
Penerapannya dalam Hukum Nasional yang Garis Besar isi perjanjian yan terdiri dari 1 pasal
dimaksud dengan perjanjian internasional adalah sebagai berikut :
perjanjian dalam bentuk dan sebutan apapun yan diatur 1. Mengatur mengenai perpanjangan daerah
oleh Hukum Internasional dan dibuat secara tertulis barat dari batas dasar laut (Article 1 : Western
oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan satu atau extension of the seabed boundary)
lebih negara, organisasi internasional atau subjek 2. Mengatur mengenai ketentuan titik batas
Hukum Internasional lainnya serta, menimbulkan hak lintang derajat Zona Ekonomi Eksklusif antar
dan kewajiban pada Pemerintah Republik Indonesia kedua negara (Article 2 : Exclusive Economic
yang bersifat hukum publik.6 Zone)
Selain itu penggolongan dalam membahas suatu 3. Mengatur batas wilayah perbatasan antar
perjanjian internasional sebagai sumber hukum formal pulau christmas dan pulau jawa di wilayah
ialah penggolongan perjanjian dalam treaty contract dasar lautnya (Article 3 : Christmas Island /
dan law making treaties.7 Java)
Treaty between the Government of the Australia 4. Mengatur mengenai adanya sistem referensi
and the Government of the Republic Indonesia geodesi 1984 yang harus diartikan sebagai laut
establishing an Exclusive Economic Zone Boundary mil internasional dengan kedalaman 1852
and Certain Seabed Boundaries (Perth, 14 Maret meter (Article 4 : Geodetic reference system)
1997), perjanjian perbatasan maritim yang meliputi 5. Mengatur mengenai hak yang ada di dasar laut
Zona Ekonomi Eksklusif dan batas landas kontinen (Article 5 : Seabed rights)
Indonesia dan Australia dari perairan selatan P.Jawa, 6. Mengatur mengenai hak yang ada di daerah
termasuk perbatasan maritim di Pulau Ashmore dan Zona Ekonomi Eksklusif (Article 6 :
Pulau Christmas.8 Exclusive economic zone rights)
Dalam Article 3 perjanjian ini yang mengatur 7. Mengatur mengenai perbatasan daerah yang
menganai Pulau Natal/Jawa, batas antara wilayah dasar tumpang tindih antar kedua belah pihak, serta
laut dan zona ekonomi eksklusif yan berbatasan adanya pengaturan mengenai upaya
dengan dan termasuk wilayah Australia dan wilayah konservasi, penelitian dan yang lainnya
dasar laut dan zona ekonomi eksklusif yan berbatasan (Article 7 : Areas of overlapping jurisdiction)
denan dan termasuk wilayah Kesatuan Republik 8. Mengatur mengenai zona kerjasama dimana
Indonesia adalah garis, dimuai pada titik Lintang 11 ini disepakati oleh negara yang
derajat, 10’24,6” Selatan, Garis Bujur 109 derajat, menandatanganinya (Article 8 : Zone of
01’25,8” Timur untuk titik C 1, mengalir dari sana cooperation)
kearah Barat Laut sepanjang geodesi hingga titik 9. Mengatur mengenai tindakan eksploitasi
Lintang 9 deg, 46’49,8” Selatan, Garis Bujur 105deg, deposit gang dilakukan di dasar laut tertentu
50’55,4” Timur untuk titik C 2, kemudian ke Barat (Article 9 : Exploitation of certain seabed
Laut disepanjang geodesi ke titik Lintang 8 derajat, deposits)
5
10. Mengatur mengenai tindakan penyelesaian
Mochtar Kusumaatmadja dan Etti R. Agoes, Pengantar sengketa atau perselisihan yang timbul di
Hukum Internasional, Penerbit P.T. Alumni, Bandung. 2003. antara kedua belah pihak (Article 10 : Dispute
hlm.113. settlement)
6
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan 11. Mengatur mengenai masa berlakunya
Luar Negeri Pasal 1 Angka 3 perjanjian (Article 11 : Entry into force).9
7
Mochtar Kusumaatmadja dan Etti R. Agoes, Pengantar
Hukum Internasional, Penerbit P.T. Alumni, Bandung.2003.
hlm 88
B. RUMUSAN MASALAH
8 1. Bagaimana kedudukan Perth Treaty setelah
Diponegoro Law Journal, Hambatan Indonesia Dalam
Meratifikasi Perjanjian Tentang Penetapan Batas Zona berpisanya wilayah Timor Timur dari Indonesia
Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Batas Dasar Laut Tertentu
9
Tahun 1997 Antara Indonesia dan Australia, Volume 8, https://www.austlii.edu.au/au.other/dfat/treaties/notinforce/
Nomor 4, Tahun 2019 1997/4.html diakses pada tanggal 17 Oktober 22.56 WITA
menurut peraturan hukum nasional yang berlaku Perjanjian Internasional. Kedua Undang-Undang
mengenai perjanjian Internasional ? dimaksud merupakan landasan hukum yang mengikat
2. Bagaimana kedudukan Perth Treaty dilihat dari bagi Pemerintah Pusat dan pelaku Hubungan dan
Hukum Perjanjian Internasional ? Kerjasama Luar Negeri lainnya, termasuk unsur-unsur
Daerah, dalam melaksanakan Hubungan dan
C. METODE PENELITIAN Kerjasama Internasional sebagai bagian dari konstruksi
Metode penelitian yang digunakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.13
penulisan Skripsi ini menggunakan metode pendekatan Praktek pembuatan perjanjanjian internasional
yuridif normatif. Penulisan hukum yuridis normatif di Indonesia mendasarkan pada Undang-Undang yang
disebut juga penelitian hukum doktrinal, dalam berlaku, pembuatan perjanjian internasional dilakukan
penelitian ini biasanya hukum dikonsepsikan sebagai melalui tahap penjajakan, perundingan perumusan
apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
(law in books) atau hukum dikonsepsikan sebagai Pembuatan perjanjian internasional dilakukan
kaidah atau norma yang merupakan patokan melalui tahap penjajakan, perundingan perumusan
berperilaku manusia yang dianggap pantas.10 naskah, penerimaan, dan penandatanganan.
Metode penelitian yang digunakan dalam Penandatanganan suatu perjanjian internasional
penulisan ini adalah metode penelitian hukum merupakan persetujuan atas naskah perjanjian
kepustakaan yang lazimnya disebut “Legal Research” internasional tersebut yang telah dihasilkan dan/atau
atau “Legal Research Instruction”, yaitu melakukaan merupakan pernyataan untuk mengikatkan diri secara
penelitiann kepustakaan dari berbagai bahan pustaka definitif sesuai dengan kesepakatan para pihak. 14
yang berhubungan dengan materi permasalahan.11 Proses peratifikasian suatu perjanjian sebagai
bentuk pengikatan diri terhadap suatu perjanjian
PEMBAHASAN internasional adalah suatu prosedur yang secara
A. Kedudukan Perth Treaty Menurut Peraturan progresif. Pembedaaan antara penandatanganan dan
Hukum Nasional Yang Berlaku ratifikasi mempunyai arti penting dan sejalan dengan
Perjanjian internasional sebagai satu domain prinsip-prinsip modern hukum publik, perbedaan
hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara tersebut dianggap perlu yang akan memungkinkan
nasional secara tidak langsung memberi satu sudut pejabat negara yang memiliki treaty making power
pandang bahwa eksistensi hukum internasional terkait untuk mengecek apakah para utusan delegasi
erat dengan keberadaan negara-negara nasional. ditugaskan merundingkan perjanjian tidak keluar dari
Lahirnya negara-negara di semua belahan bumi instruksi.
dikarenakan latar belakang sejarah, sosial, politik, Pemerintah Republik Indonesia mengikatkan
hukum, dan budaya yang berlainan satu sama lain diri pada perjanjian internasional melalui cara-cara
sehingga menciptakan tanda pengenal yang berfungsi sebagai berikut :
sebagai pemersatu sebagai suatu negara namun juga a. penandatanganan;
sebagai pembeda antara negara satu dengan negara b. pengesahan;
lainnya.12 c. pertukaran dokumen perjanjian/nota
Dalam rangka mendukung penyelenggaraan diplomatik;
perjanjian kerjasama internasional yang lebih terarah, d. cara-cara lan sebagaimana disepakati para
terpadu dan berlandaskan kepastian hukum yang lebih pihak dalam perjanjian internasional. 15
kuat, Pemerintah Indonesia telah memberlakukan Indonesia sendiri sebagai salah satu anggota
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang aktif masyarakat internasional tentunya membuat dan
Perjanjian Internasional. Kedua Undang-Undang meratifikasi perjanjian-perjanjian Internasional dengan
dimaksud merupakan landasan hukum yang mengikat mendasarkan dalam pasal 11 dalam undang-undang ini
bagi Pemerintah Pusat dan pelaku Hubungan dan mengatur mengenai proses pengesahan perjanjian
Kerjasama Luar Negeri lainnya, termasuk unsur-unsur internasional berupa undang-undang atau keputusan
Daerah, dalam melaksanakan Hubungan dan presiden.
Kerjasama Luar Negeri. Dalam rangka mendukung Pengesahan dengan undang-undang artinya
penyelenggaraan Hubungan dan Kerjasama Luar pengesahan perjanjian memerlukan persetujuan DPR
Negeri yang lebih terarah, terpadu dan berlandaskan apabila perjanjian berkenaan dengan :
kepastian hukum yang lebih kuat, Pemerintah a. masalah politik, perdamaian, pertahanan,
Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang dan keamanan negara;
Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri b. perubahan wilayah atau penetapan
dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang perbatasan wilayah negara RI;
10 c. kedaulatan dan hak berdaulat negara;
Amirudi dan H Zainal Asikin, Pengantar Metode
Penulisan Hukum, Raja Grafindo Prasada, Jakarta. Tahun
13
2012. Hlm 188. Balobe Law Journal, Perjanjian Kerjasama Internasional
11 Dalam Konstruksi Negara Kesatuan Republik Indonesia,
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjuan Singkat, Raja Grafindo Prasada, Volume 1 Nomor 1 tahun 2021
14
Jakarta. Tahun 2013. Hlm 23. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
12 Internasional Pasal 6 ayat (1)
Firdaus, Kedudukan Hukum Internasional Dalam Sistem
15
Perundang-Undangan Nasional Indonesia, Jurnal Ilmu Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perjanjian
Hukum 8, Nomor 1 tahun 2014 Internasional Pasal 3
d. hak azasi manusia dan lingkungan hidup; negara, tetapi berlaku selama negara pengganti
e. pembentukan kaedah hukum baru; dan menyatakan terikat pada perjanjian tersebut.19
f. pinjaman atau hibah luar negeri.16 Belum berlakunya Perth Treaty 1997 akibat
Pengesahan perjanjian internasional melalui mekanisme ratifikasi dapat digolong sebagai suatu
undang-undang dilakukan berdasarkan materi tantangan formil, mengingat kesimpangsiuran dari
perjanjian dan bukan berdasarkan bentuk dan nama pemberlakuan Perth Treaty 1997 lahir beriringan
(nomenclature) perjanjian. Klasifikasi menurut materi dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 24 Tahun
perjanjian dimaksudkan agar tercipta kepastian hukum 2000 tentang Perjanjian Internasional, sehingga
dan keseragaman atas bentuk pengesahan perjanjian mekanisme ratifikasi harus diselaraskan dengan
internasional dengan undang-undang. peraturan perundangundangan yang sedang berlaku.
Mulai berlakunya perjanjian internasional antara Selanjutnya tantangan lainnya tidak terlepas dari
perjanjian yang satu dengan yang lainnya tergantung kemerdekaan wilayah Timor Timur dari Indonesia,
kesepakatan para pihak. Pada praktek pembuat segmen-segmen tertentu yang telah diatur dalam Perth
perjanjian internasional mulai berlakunya perjanjian Treaty 1997 perlu untuk disesuaikan kembali dengan
selalu tercantum secara jelas dalam setiap naskah perubahan wilayah kedaulatan dari Indonesia pasca
perjanjian dan mulai berlakunya berdasarkan kemerdekaan Timor Timur menjadi Timor Leste.
kesepakatan pihak yan mengadakan perjanjian tersebut.
Indonesia sendiri selain perjanjian internasional yang B. Kedudukan Perth Treaty Dilihat Dari Hukum
perlu disahkan dengan undang-undang atau keputusan Perjanjian Internasional
presiden, Pemerintah Republik Indonesia dapat Perjanjian internasional sebagai sumber hukum
membuat perjanjian internasional yang berlaku setelah yang utama yang mengatur perjanjian internasional
penandatanganan atau pertukaran dokumen adalah Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on
perjanjian/nota diplomatik, atau melalui cara-cara lain The Law of The Treaties). Konvensi ini berisi prinsip-
sebagaimana disepakati oleh para pihak pada perjanjian prinsip dan ketentuan hukum yang mengatur perjanjian
tersebut. Suatu perjanjian internasional mulai berlaku antara negara, mulai dari syaratan, amandemen,
dan mengikat para pihak setelah memenuhi ketentuan modivikasi, mulai berlakunya perjanjian, pembatalan,
sebagaimana dimaksud dalam perjanjian tersebut.17 interprestasi, penarikan diri, penundaan dan
Perjanjian berakhirnya karena adanya pengakhiran perjanjian.
perubahan-perubahan keadaan yang fundamental Konsiderans merupakan dasar yang dijadikan
terhadap hal-hal yang menjadi dasar keterikatan para alasan untuk pembentukan konvensi ini. Apa yang
pihak terhadap perjanjian ataupun perubahan mendasar tertera dalam konsiderans merupakan pertimbangan
tersebut mempengaruhi objek perjanjian tersebut. yang didasarkan pada fakta yang ada, atau asas hukum
Proses berakhirnya di Indonesia, perjanjian yang telah dikenal masyarakat internasional, dan apa
internasional berakhir apabila: yang diinginkan oleh masyarakat internasional dengan
a. terdapat kesepakatan pada pihak melalui dibuatnya konvensi ini. Konsideransi pertama dalam
prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian; konvensi wina 1969 “Considering the fundamental
b. tujuan perjanjian tersebut telah tercapai; role of treaties in history of internasional relations”,
c. terdapat perubahan mendasar yang Ketentuan ini jelas menunjukan bahwa masyarakat
mempengaruhi pelaksanaan perjanjian; internasional mengakui pentingnya perjajian
d. salah satu pihak melaksanakan atau melanggar internasional dalam sejarah hubungan internasional.20
ketentuan perjanjian; Konsideransi kedua, “Recognizing the ever-
e. dibuat suatu perjanjian baru yang increasing of treaties as a source oh international law
menggantikan perjanjian lama; and as a meansof developing peaceful co-operation
f. muncul norma-norma baru dalam hukum among nations, whatever their constitutional and
internasional; social systems”, ketentuan ini menunjukkan bahwa
g. objek perjanjian hilang; masyarakat internasional mengakui pentingnya
h. terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan perjanjian internasional sebagai sumber hukum
nasional.18 internasional. Perjanjian internasional dapat merupakan
Perjanjian internasional yang berakhir sebelum sarana untuk mengembangkan kerja sama antara
waktunya, berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak bangsa-bangsa untuk mencapai kerja sama secara
mempengaruhi penyelesaian setiap pengaturan yang damai tanpa memperhatikan sistem ketatanegaraan
menjadi bagian perjanjian dan belum dilaksanakan atau sistem sosialnya.21
secara penuh pada saat berakhirnya perjanjian tersebut. Konvensi Wina 1969 dengan tegas menyatakan
Perjanjian internasional tidak berakhir karena suksesi bahwa konvensi ini hanya mengatur perjanjian antar
negara, dengan maksud bahwa hanya negaralah yang
dapat menjadi peserta dalam perjanjian internasional,
melainkan konverensi mengganggap perlu mengatur
16
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2000 tentang Perjanjian perjanjian yang diadakan oleh organisasi-organisasi
Internasional Pasal 10 atau badan internasional secara tersendiri. Penggunaan
17
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian 19
Internasional Pasal 15 Balobe Law Journal, Op.Cit
20
18
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Suwardi dan Kurnia, Op.Cit. hlm.5
21
Internasional Pasal 18 Ibid
istilah perjanjian internasional seperti traktar (treaty), peserta merupakan negara yang tidak terlibat dalam
pakta (pact), konvensi (convention), piagam (statute), perjanjian internasional, maka dari itu sebuah
charter, deklarasi, protokol, agreement, secara yuridis perjanjian tidak menciptakan baik kewajiban atau hak
semua istilah ini tidak mempunyai arti tertentu, dengan untuk negara ketiga tanpa persetujuan.26
perkataan lain semuanya merupakan perjanjian Proses penandatanganan dalam Konvensi Wina
internasional.22 menegaskan praktek ini, yang dinyatakan dalam pasal
Menurut hukum perjanjian internasional, 12, persetujuan negara untuk diikat suatu perjanjian
persetujuan negara untuk terikat secara hukum pada dapat dinyatakan dalam bentuk penandatanganan wakil
perjanjian dapat dinyatakan dengan penandatanganan negara tersebut, bila perjanjian itu sendiri yang
(signature), ratifikasi (ratification), akseptasi menyatakannya, bila terbukti bahwa negara-negara
(acceptance), approval, akseski (accession), atau cara yang ikut berunding menyetujuinya demikian, bila
lain sesuai dengan kesepakatan para pihak peserta fullpowers wakil-wakil negara menyebutkan demikian
perjanjian sebagaimana tertuang dalam pasal 11 atau dinyatakan dengan jelas waktu perundingan.27
Kovensi Wina 1969.23 Tugas dari para perwakilan negara tersebut
“Capacity of states to conclude treaties, every adalah “purpose of adopting or authenticating the text
State prossesses capaciy to conclude trieties”, of a treaty or for the purpose of expressing the consent
Ketentuan ini menegaskan bahwa negara sebagai of the State to be bound by a treaty”. Dengan melihat
subjek hukum internasional mempunyai kapasitas tugas dari para pejabat tersebut dalam mewakili negara
untuk membuat perjanjian. Negara yang diartikan tersebut dapat kita lihat gambaran umum mengenai
disini sebagai negara berdaulat. Tahapan yang dilalui proses pembentukan perjanjian internasional:
untuk pembuatan perjanjian internasional, perundingan a. Adoption of the text , dopsi teks perjanjian
(negotiation), penandatanganan (signature), dan bila adalah bentuk persetujuan semua negara yang
diperlukan tahap ratifikasi.24 terlibat dalam penyusunan perjanjian
Konvensi tahun 1969 ini menentukan tentang internasional, untuk konferensi internasional
siapa yang berhak untuk mewakili negaranya. Hal ini proses adopsi teks perjanjian dapat dilakukan
ditentukan dalam Pasal 7, ketentuan dalam pasal 7 ayat jika tercapai dua pertiga dari negara yang
(1) jelas menunjukkan bahwa yang berhak diberi kan terlibat, kecuali ditentukan lain oleh
kewenangan penuh (full powers) pada seorang yang konferensi tersebut.
berhak mewakili negaranya dan merupakan b. Authentication of the text, teks perjanjian ini
pengamanan dasar sebagai wakil negaranya dalam ditetapkan sebagai otentik dan definitif dengan
melakukan tindakan-tindakan atas nama negaranya prosedur seperti dapat diberikan dalam teks
untuk berunding, menerima, dan mengesahkan suatu atau disepakati oleh negara berpartisipasi
perjanjian. Pada saat permulaan perkembangannya, dalam pembuatannya perjanjian tersebut.
maka permintaan adanya full powers ini selalu diminta c. Consent to be bound, untuk terikat dengan
dalam mewakili negaranya, persyaratan ini masih tetap sebuah perjanjian, persetujuan dari Negara
diperlukan dalam pembuatan perjanjian formal.25 untuk terikat pada perjanjian dapat dinyatakan
Konvensi Wina 1986 membagi peran negara dengan tandatangan, pertukaran instrumen,
dalam perjanjian internasional kedalam. Negara Pihak ratifikasi, penerimaan, persetujuan atau aksesi,
Pengertian negara pihak (party) dapat dilihat dalam atau dengan cara lain yang disepakati.28
Pasal 2 (g) Konvensi Wina 1969 “Party means a
Statewhich has consented to be bound by the treaty Bentuk tindakan yang menyatakan suatu negara
and for which the treaty is in force” Sedangkan terikat pada perjanjian internasional seperti
pengertian pihak (party) juga ditemukan dalam pasal 2 penandatanganan (signatured), persetujuan dari negara
(g) konvensi wina 1986: “party” means a State or an untuk terikat oleh perjanjian dinyatakan oleh tanda
international organization which has consented to be tangan perwakilan apabila perjanjian menyatakan
bound by the treaty and for which the treaty is in force. bahwa tanda tangan akan memiliki efek mengikatnya
Negara pihak adalah Negara yang menyatakan terikat perjanjian, jika tidak ditetapkan, negara yang terlibat
pada ketentuan yang diatur dalam perjanjian negosiasi sepakat bahwa tanda tangan harus memiliki
internasional. Negara bukan pihak pengertian negara efek terikatnya negara dalam perjanjian internasional.
bukan pihak (third state) dapat dilihat dalam Pasal 2 Efek tanda tangan muncul dari kekuatan penuh
(h) konvensi wina 1969: “third state” means a State perwakilannya. Pertukaran instrumen-instrumen
not a party to the treaty. Sedangkan pengertian negara (exchange of instruments constituting a treaty).
bukan pihak (third state) dalam pasal 2 (h) konvensi Persetujuan dari Negara untuk terikat oleh perjanjian
wina 1986 “third state” and “third organization” didasari oleh instrumen yang dipertukarkan apabila
mean respectively: a State, or an international instrumen menetapkan bahwa pertukaran tersebut akan
organization, not a party to the treaty”. Negara bukan memiliki efek mengikatnya perjanjian internasional
atau jika negara-negara itu sepakat bahwa pertukaran
22
Mocthar dan Etty, Op.Cit. hlm. 119
23
https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/
buktipenelitian_10287010_2A145207 diakses pada Jumat, 10
26
Maret 2023 pukul 02.49 WITA Refelksi Jurnal Ilmu Hukum, Op.Cit.hlm. 171
24 27
Suwardi Kurnia, Op.Cit.hlm 24 Kholis, Op.Cit.hlm. 37
25 28
Ibid Refelksi Jurnal Ilmu Hukum Op.Cit. Hlm.172
instrumen dinyatakan sebagai syarat mengikatnya baik yang bilateral maupun yang multilateral, suatu
perjanjian internasional.29 saat karena adanya perubahan kepentingan atau
Ratification, acceptance or approval keadaan yang dapat menyebabkan para pihak dalam
persetujuan untuk terikat dengan sebuah perjanjian perjanjian merasa perlu untuk mengakhirinya atau
yang diungkapkan oleh ratifikasi, penerimaan atau menundanya.
persetujuan. Persetujuan dari negara untuk terikat Pasal 61 mengatur tentang tidak
dengan perjanjian yang diungkapkan oleh ratifikasi memungkinkannya melaksanakan suatu perjanjian.
ketika suatu perjanjian menentukan demikian, negara Pasal 61 ayat (1) menentukan bahwa tidak mungkinnya
yang bernegosiasi sepakat bahwa perjanjian harus melaksanakan perjanjian disebabkan karena hilang atau
diratifikasi, wakil dari negara telah menandatangani lenyapnya objek yang sangat diperlukan untuk
perjanjian untuk subyek ratifikasi, niat negara untuk pelaksanaan suatu perjanjian tersebut. Jika
menandatangani perjanjian tunduk pada ratifikasi ketidakmungkinan itu sifatnya sementara, maka hal ini
muncul dari kekuatan penuh perwakilannya atau bisa diminta hanya sebagai dasar
diungkapkan selama negosiasi. Persetujuan dari penangguhan/penundaan perjanjian. Jika
negara untuk terikat oleh perjanjian dinyatakan oleh ketidakmungkinannya melaksanakan perjanjian
penerimaan atau persetujuan di bawah kondisi serupa merupakan akibat dari pelanggaran yang dilakukan
dengan yang berlaku untuk ratifikasi.30 oleh pihak tersebut baik kewajiban menurut perjanjian
Penandatanganan suatu perjanjian internasional atau kewajiban internasional yang dimiliki oleh pihak
belum menciptakan ikatan bagi para pihaknya atau lainnya, maka ketidakmungkinan tersebut tidak
dapat dikatakan bahwa penandatanganan hanya mungkin dipakai dasar dari permohonan untuk
merupakan proses persetujuan sementara oleh negara pengakhiran atau pemutusan suatu perjanjian (Pasal 61
yang mengadakan perjanjian, “mean each cas the ayat (2). Supervening impossibility of performance
international act so named whereby a State establishes 1) A party may invoke the impossibility of
on the international plane its consent to be bound of performing a treaty as a ground for
the treaty”31, perjanjian itu sendiri mengharuskan terminating for terminating or withdrawing
supaya persetujuan diberikan dalam bentuk ratifikasi, from it if the impossibility result from the
bila terbukti bahwa negara-negara yang ikut berunding permanent disappearance or destruction of an
setuju, bila utusan-utusan negara menandatangani object indispensable for the execution of the
perjanjian tersebut dengan syarat untuk meratifikasi treaty. If the impossibility is temporary, it may
kemudian, serta fullpowers delegasi itu sendiri be invoke only as a ground for suspending the
menyatakan bahwa ratifikasi diharuskan kemudian.32 operation of the treaty;
Tentang modifikasi atau amandemen perjanjian 2) Impossibility of performance may not be
internasional “General rule regarding the amendment invoked by a party as a ground for
of treaties A treaty may be amended by agreement terminating, withdrawing from or suspending
between the parties. The rules laid down in Part II the operation of a treaty if the imposssibility
apply to such an agreement except in so far as the is the result or a breach by that party either of
treaty may otherwise provide”33, Pasal 39 ini an obligation under the treaty or of any other
menentukan ketentuan umum bahwa perjanjian bisa international obligation owed to any other.35
diamandemen dengan persetujuan di antara para pihak. Sehubungan dengan berakhirnya suatu
Hal ini sangat jelas dalam perjanjian bilateral perjanjian internasional sehubungan dengan tidak
persetujuan para pihak dalam perjanjian bilateral itu sahnya, penarikan diri atau penundaan suatu perjanjian,
disyarakan. Jadi amandemen dan modifikasi yang dalam konvensi wina pasal 65 menentukan tentang
diadakan dapat dinyatakan dengan exchange of note. prosedur yang harus diikuti karena adanya
Sering juga dirumuskan dalam MoU (Memorandum of ketidaksahan, pengakhiran, penarikan diri atau
Understanding) untuk dapat mempunyai dampak penundaan suatu perjanjian. Pasal 65 ayat (1)
administratif.34 menentukan perjanjian yang akan dinyatakan tidak sah
Ketentuan tentang konfirmasi dengan exchange karena adanya kecacatan dalam perjanjian atau untuk
of notes ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa mengakhiri atau menarik diri pihak yang bersangkutan
amandemen benar-benar dicatat dan ini memberi harus mengajukan keinginannya itu kepada pihak/
kepastian bahwa amandemen itu akan mempunyai pihak-pihak peserta lainnya tentang adanya tuntutan
kekuatan mengikat. Konvensi tahun 1969 tidak tersebut. Pemberitahuan tersebut harus disertai dengan
mengatur secara khusus tentang perubahan perjanjian alasan-alasan dan langkah-langkah yang akan diambil
bilateral. Berbeda dengan perjanjian multilateral yang sehubungan dengan perjanjian tersebut. Pasal 65 ayat
diatur dalam Pasal 40 dan 41. (2) menentukan setelah selesainya rentan waktu yang
Kesepakatan yang terjadi antara negara-negara ditentukan, kecuali dalam waktu tiga bulan setelah
yang dituangkan dalam suatu perjanjian internasional menerima pemberitahuan tersebut salah satu pihak
tidak diperbolehkan untuk mengajukan keberatan dan
29
Ibid pihak yang mengajukan usulan dapat mengambil
30
Ibid langkah-langkah sesuai dengan ketentuan dalam Pasal
31
Konvensi Wina 1969, Pasal 2 ayat 1 sub b 67.36
32
Kholis, Op.Cit.hlm.45
33 35
Konvensi Wina, Pasal 39 Konvensi Wina, Pasal 61
34 36
Suwardi dan Kurnia, Op.Cit.hlm 78 Suwardi dan Kurnia, Op.Cit. hlm. 56
Asas dasar dari suatu perjanjian internasional dengan dan termasuk wilayah Australia dan wilayah
dalam hukum kebiasaan internasional adalah asas dasar laut dan zona ekonomi eksklusif yan berbatasan
Pacta Sunt Servanda, merupakan norma dasar yang denan dan termasuk wilayah Kesatuan Republik
dalam konvensi wina dirumuskan “Every treaty force Indonesia adalah garis, dimuai pada titik Lintang 11
is binding upon the parties to it and must be performed derajat, 10’24,6” Selatan, Garis Bujur 109 derajat,
by then in good faith”.37 01’25,8” Timur untuk titik C 1, mengalir dari sana
Persyaratan bahwa suatu perjanjian harus kearah Barat Laut sepanjang geodesi hingga titik
didasarkan pada iktikad baik (good faith) adalah Lintang 9 deg, 46’49,8” Selatan, Garis Bujur 105deg,
merupakan asas dasar hukum. Dalam hukum kebiasaan 50’55,4” Timur untuk titik C 2, kemudian ke Barat
internasional telah diterima suatu prinsip, bahwa suatu Laut disepanjang geodesi ke titik Lintang 8 derajat,
hubungan internasional yang dituangkan dalam 52’14,1” Selatan, Garis Bujur 102 derajat, 34’12,7”
perjanjian internasional, serta kewajiban yang ada akan Timur untuk titik C.41
dipenuhi dengan baik oleh para pihak. Asas iktikad Kemudian titik C1, C2, C3 yang dalam
baik merupakan pusat konsep dari asas pacta sunt perjanjian ini merupakan wilayah yang berbatasan
servanda. langsung antara Indonesia dibagian Timor Timur dan
Asas ini juga dikemukakan dalam preambul berbatasan dengan Australia, yang dalam artiannya
Piagam PBB yang menyatakan “Recalling the sekarang wilayah C1, C2, C3 sudah menjadi wilayah
determination of the people of the United Nations to perbatasan antara Timor Leste dengan Australia sejak
establish conditions under which justice and respect wilayah Timor Timur berpisah dari Indonesia, dalam
for the obligations arising from treaties can be perjanjian ini wilayah C1, C2, C3 yang dibentangkan
maintained”. Selain dalam preambul Piagam PBB, dengan kode Z28-Z36 sudah tidak diberlakukan lagi
maka dalam Pasal 2 ayat (2) piagam dinyatakan “All dalam perjanjian ini karena terdapatnya objek dari
members, in order to ensure to all of them the rights perjanjian Indonesia dan Australia yang bukan menjadi
and benefits resulting from membership, shall fulfil in bagian dari wilayah perbatasan Indonesia melainkan
good faith the obligations assumed by them in sudah menjadi wilayah perbatasan Timos Leste.
accordance with the present Charter”.38
Hubungan antara Pasal 26 Konvensi dan Pasal 2 PENUTUP
ayat (2) Piagam PBB, persyaratan iktikad baik
menimbulkan suatu pembatasan lingkup dari aturan A. Kesimpulan
pacta sunt servanda, bahwa pemenuhan kewajiban 1. Kedudukan Perth Treaty 1997 berdasarkan
mensyaratkan adanya itikad baik adalah subjek dari peraturan yang berlaku sudah sampai pada tahap
keadaan bahwa pemenuhan kewajiban telah dijalankan penandatanganan oleh kedua belah pihak, tetapi
sesuai dengan piagam, serta para para pihak tidak belum sampai pada tahap pengesahan perjanjian
dipersyaratkan untuk melaksanakan perjanjian yang dimana perjanjian ini belum diratifikasi dalam
tidak sesuai dengan prinsip yang ada dalam piagam.39 bentuk peraturan perundang-undangan ataupun
Indonesia dan Australia membuat perjanjian keputusan presiden. Belum diratifikasinya
perbatasan di Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas perjanjian tersebut dikarenakan adanya objek yang
Laut Tertentu pada tahun 1997. Perjanjian ini telah hilang, dalam Pasal 3 perjanjian wilayah C1, C2,
ditandatangani oleh kedua belah pihak, tetapi belum C3 yang dibentangkan dengan kode Z28-Z36.
diratifikasi hingga saat ini. Ratifikasi adalah proses Peraturan yang mengatur mengenai Perjanjian
yang sangat penting dan perjanjian ini juga strategis Internasional dalam Undang-Undang Nomor 37
bagi pertahanan keamanan dan pemanfaatan sumber tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri, hanya
daya alam Indonesia. Dengan belum diratifikasinya menjelaskan gambaran besar mengenai pengertian
perjanjian batas wilayah di Zona Ekonomi Eksklusif perjanjian internasional, lebih jelas dikatakan dalam
dan dasar laut antara Indonesia dan Australia maka undang-undang tersebut bahwa perjanjian
akan timbul permasalahan-permasalahan.40 internasional selanjut diatur dalam undang-undang
Pelaksanaan itikad baik semata-mata tidak tersendiri, yaitu dalam Undang-Undang Nomor 24
hanya tertuju pada suatu perjanjian saja, tetapi harus tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.
diseimbangkan dengan adanya pemenuhan kewajiban 2. Kedudukan Perth Treaty dalam konvensi ini
antara para pihak yang membuat perjanjian sebagai juga dapat dibahas kembali sebagaimana yang
pernyataan berlakunya perjanjian (trearty in force) dan tercantum dalam pasal 61 mengenai tidak
kemudian diartikan sebagai suatu perjanjian yang sah memungkinkannya melaksanakan perjanjian
(valid treaty) dimana perjanjian tersebut sudah tersebut, dijelaskan kembali dalam pasal 61 ayat 1
didasarkan pada kesepakatan pada pihak yang bahwa tidak mungkinnya melaksanakan perjanjian
membuatnya secara sah. disebabkan karena hilangnya objek perjanjian.
Dalam Article 3 perjanjian ini yang mengatur Vienna Convention on The Law of The
menganai Pulau Natal/Jawa, batas antara wilayah dasar Treaties menjadi tolak ukur masyarakat
laut dan zona ekonomi eksklusif yan berbatasan internasional mengadakan perjanjian internasional.
37
Kedudukan Perth Treaty 1997 sudah melalui tahap
Konvensi Wina 1969, Pasal 26
38
Suwardi dan Kurnia, Op.Cit. hlm. 144 41
https://www.austlii.edu.au/au.other/dfat/treaties/
39
Ibid notinforce/1997/4.html diakses pada Senin, 13 Maret 2023,
40
Diponegoro Law Journal,Op.Cit. hlm. 2769 pukul 03.47 WITA
perundingan, penandatananan dan jika diperlukan
tahap ratifikasi, namun kaitannya dengan proses
peratifikasian dalam konvensi wina 1969 tidak
mengharuskan untuk diratifikasi. Tetapi konvensi
ini mengatur tentang modifikasi atau amandemen
ketika disepakati oleh kedua belah pihak saja,
namun tidak menjelaskan secara spesifik proses
bilateral, berbeda dengan halnya perjanjian
multilateral yang diatur dalam pasal 40 dan 41.

B. Saran
1. Perlu adanya upaya perundingan atau
pembahasan kembali terkait Perth Treaty 1997
karena adanya objek yang hilang dari perjanjian ini.
Undang-Undang yang berlaku perlu mengatur lebih
dalam mengenai modifikasi atau amandemen
perjanjian internasional yang dilakukan Indonesia.
Perlu diratifikasinya Perth Treaty 1997 karena
berdasarkan isi perjanjian tersebut, sudah
memenuhi salah satu unsur dalam Undang-Undang
Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian
Internasional pasal 10 huruf b.
2. Indonesia sebaiknya segera meratifikasi
Vienna Convention on The Law of The Treaties
1969, karena dalam Undang-Undang Nomor 24
tentang Perjanjian Internasional tidak mengatur
mengenai modifikasi atau amandemen perjanjian
internasional.
Dengan adanya konvensi wina 1969,
pemerintah Republik Indonesia dapat memastikan
kedudukan Perth Treaty, dengan terlebih dahulu
memperhatikan pasal 61 terkait modifikasi atau
amandemen perjanjian internasional karena
hilangnya objek perjanjian. Pemerintah Republik
Indonesia dapat mengikuti pasal 65 konvensi ini
yang menentukan tentang prosedur yang harus
diikuti karena adanya ketidaksahan, pengakhiran,
penarikan diri atau penundaan suatu perjanjian.
Kedudukan Perth Treaty jika dilihat dalam pasal 65
tersebut secara tidak langsung harus mengikuti
prosedur karena penundaan suatu perjanjian
internasional karena objek yang hilang.
2022
DAFTAR PUSTAKA Baloba Law Journal, Perjanjian Kerjasama
Internasional Dalam Konstruksi Negara
Buku: Kesatuan Republik Indonesia, Volume 1,
Amirudi dan Asikin H Zainal, 2012, Pengantar Nomor 1. Tahun 2021
Metode Penulisan Hukum, Jakarta:Raja Diponegoro Law Journal, Hambatan Indonesia
Grafindo Prasada Dalam Meratifikasi Perjanjian Tentang
Diantha I. Made Pasek, 2017, Buku ajar Hukum Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif
Internasional, Denpasar:Fakultas Hukum (ZEE) Dan Batas Dasar Laut Tertentu Tahun
Universitas Udayana 1997 Antara Indonesia dan Australia,
Kusumaatmadja Mochtar dan Agoes Etti R, 2003, Volume 8, Nomor 4, Tahun 2019
Pengantar Hukum Internasional, Bandung:P.T. Damos, Status Hukum Perjanjian Internasional
Alumni. Dalam Hukum Negara RI Tinjauan Dari
Mertokusumo Sudikno, 2003 Mengenal Hukum Perspektif Praktik Indonesia, Volume 5,
(Sebuah Pengantar), Yorgakarta:Liberty Nomor 3, Tahun 2008
Parthiana I Wayan, 2002, Hukum Perjanjian Danel Aditia Situngkir, Terkaitnya Negara Dalam
Internasional Bagian I, Bandung:Mandar Maju Perjanjian Internasional,Volume 2, Edisi 2,
Pratomo Eddy, 2011, Hukum Perjanjian tahun 2018
Internasional (Pengertian, Status Hukum, dan Firdaus, Kedudukan Hukum Internasional Dalam
Ratifikasi), Bandung:PT. Alumni Sistem Perundang-Undangan Nasional
Purnama Eddy, 2007 Negara Kedaulatan Rakyat, Indonesia. FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu
Analisis Terhadap Sistemm Pemerintahan Hukum 8, Nomor, 1 Tahun 2014
Indonesia dan Perbandingannya dengan Made Chintya Sastri Udiani, Dewa Gede Sudika
Negara-Negara Lain, Bandung:Nusamedia Mangku, Ni Putu Rai Yuliartini, Hukum
Roisah Kholis, 2015, Hukum Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Di
Internasional, Malang:Setara Press. Dalam Menyelesaikan Sengketa
Soekanto Soerjono dan Mamuji Sri, 2013, Internasional, Volume 4, Issue 2, Tahun 2022
Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjuan Nurul Atika, Upaya Pemerintah Indonesia Dalam
Singkat, Jakarta:Raja Grafindo Prasada Menjaga Wilayah Negara Perbatasan
Suwardi Sri Setianingsih dan Kurnia Ida, 2019, Indonesia, Jom FISIP Volume 4 Nomor 1
Hukum Perjanjian Internasional, Jakarta:Sinar Februari Tahun 2107
Grafika Refleksi Hukum Jurnal Ilmu Hukum, Terikatnya
Whittington Keith E. Keleman R Daniel dan Negara Dalam Perjanjian Internasional,
Caldeira Gregory A, 2021, Hukum Volume 2 Nomor 2, April 2018, Halaman 167
Internasional dan Hubungan Internasional, – 180
Nusamedia Sigit Ritanto, Kedaulatan Negara Dalam Kerangka
Hukum Internasional Kontemporer, Journal
Perundang-Undangan: Yustisia Vol. 1 Nomor 3 September-
Statuta Mahkamah Internasional 1995
Desember 2012
Konvensi Wina 1969 (Vienna Convention on the Law
Veriena, Indonesia Dalam Penerapan Hukum
of Treaties 1969)
Isi Perjajian Indonesia-Australia Perth Treaty 1997
Berdasarkan Aliran Monisme, Dualisme, dan
(Treaty between the Government of the Campuran. Jurnal Sesi, Volume 2, Nomor , Tahun
Australia and the Government of the Republic 2016
of Indonesia establishing an Exclusive
Economic Zone Boundary and Certain Seabed Sumber Lainnya:
www.kemenhan.go.id/Perbatasan Maritim RI-Australia
Boundaries)
https://www.austlii.edu.au/au.other/dfat/treaties/notinforce/
Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang 1997/4.html
Hubungan Luar Negeri http://e-journal.uajy.ac.id/17135/3/HK121092.pdf
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang http://repository.unpas.ac.id/27978/5/G.%20BAB%20II.pdf
Perjanjian Internasional Kajian Teori Hukum Perjanjian Internasional
http://repository.unmuhjember.ac.id/6028/4/BAB%20I.pdf
Jurnal: https://yustitia.unwir.ac.id Journal Paham Kedaulatan Negara
Arcelinocent Emile Pangemanan dan Anak Agung Ditinjau Dari Sifat Hukum Internasional, Siti Sumartini
https://lintar.untar.ac.id/repository/penelitian/
Banyu Perwita, Diplomasi Pertahanan
buktipenelitian_10287010_2A145207
Maritim Indonesia : Kerjasama Kemaritiman
Indonesia-Australia Dalam “PLAN OF
ACTION FOR THE IMPLEMENTATION OF
THE JOINT DECLARATION ON MATIMIE
COORPERATION 2018-2022” Jurnal
Maritim Indonesia Volume 10 Nomor 1 April

Anda mungkin juga menyukai