Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/315619040

TIPOLOGI FAÇADE RUMAH TINGGAL KOLONIAL BELANDA DI KAYUTANGAN-


MALANG

Article · July 2008

CITATIONS READS

10 1,929

3 authors, including:

Antariksa Sudikno
Brawijaya University
315 PUBLICATIONS   449 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Jurnal Visual View project

ngadas village View project

All content following this page was uploaded by Antariksa Sudikno on 25 March 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


TIPOLOGI FAÇADE RUMAH TINGGAL KOLONIAL BELANDA
DI KAYUTANGAN - MALANG

Arthantya Dwi Karisztia, Galih Widjil Pangarsa, Antariksa


Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Brawijaya,
Jalan Mayjen Haryono 167, Malang 65145
E-mail: arta_23@yahoo.com

ABSTRAK
Tujuan studi ini adalah untuk mendapatkan tipologi façade rumah tinggal kolonial Belanda
yang ada di kawasan bersejarah Kayutangan. Metode yang digunakan dalam studi ini adalah
deskriptif. Penentuan sampel bangunan dilakukan secara purposif dengan analisisnya adalah
façade (atap, dinding, dan lantai), dan metode analisis kualitatif-deskriptif dengan pendekatan
tipologi. Hasil studi ditemukan bahwa macam atap yang digunakan pada rumah tinggal, yaitu
perisai, pelana, dan gevel. Tipologi dinding dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu
dinding polos, dinding dengan ornamen batu kali, dan dinding dengan ornamen batu tabur. Elemen
bukaan pada rumah tinggal ditemukan empat jenis, yaitu pintu, jendela, bouvenlight, dan lubang
angin. Jenis pintu dan jendela yang paling banyak ditemukan adalah jenis rangkap ganda dengan
tipe gantung samping dengan bahan kayu sebagai bahan pembentuknya. Teritisan pada façade
letaknya dikelompokkan menjadi dua, yaitu di sepanjang lebar façade dan di atas bukaan saja.
Lantai pada keseluruhan kasus bangunan menggunakan bahan teraso dengan perbedaan
ketinggian 30-60 cm dari permukaan tanah. Elemen façade bangunan yang paling besar rentan
terhadap perubahan dinding (hampir 70% berubah), sedang elemen façade yang paling tidak
rentan terhadap perubahan adalah atap
Kata kunci: tipologi, façade, rumah tinggal

ABSTRACT
The aims of this study are to find the typology of Dutch colonial house façade in historical
area of Kayutangan. This study used descriptive method. A sample building has been made
purposively through analyzing the façade (roof, wall, and floor), and used descriptive-qualitative
analysis method with typology approach. The study finds that the roof variations used in the
colonial house at the area are shield, saddle and gevel. Wall typology has been classified into two
groups: plain, ornamental with river stone, and ornamental with spreading stone. Opening element
in the colonial house at the area involves four types, door, window, bouvenlight, and wind hole. The
most often used door and window types submit to the double-fold with wooden-side hanger as the
frame. Façade eaves may be grouped into two, along the façade wide and above the opening. The
floor in all building cases applies the terrace materials with different heights of 30-60 cm above the
ground surface. The greatest element of building façade seems susceptible to the wall modification
(almost 70 % changes), while the strongest façade element against modification appears to be the
roof.
Keywords: typology, façade, house

Pendahuluan
Belanda masuk dan menguasai Kota Malang pada tahun 1767. Belanda datang ke
Malang mendirikan benteng pertahanan sebagai pusat kekuatan bangsa Belanda. Tahun
1821 Belanda mulai memantapkan kedudukannya di Kota Malang. Permukiman yang
dulu didirikan bangsa Belanda yang letaknya dekat dengan benteng pertahanan, mulai
bergeser dan meluas ke luar dari area benteng tersebut. Pada tahun 1826-1867
kedudukan Belanda makin kuat, sehingga praktis bentuk Kota Malang mulai diatur sesuai
dengan kepentingan bangsa kolonial Belanda (Hadinoto & Soehargo 1996:17). Tahun
1882, bangsa Belanda mulai membangun rumah tinggal di sebelah alun-alun kota untuk

64 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008


membangun citra kolonial. Alun-alun kota dipilih sebagai pusat pengembangan citra
kolonial tersebut, karena alun-alun di kota-kota yang terdapat di Pulau Jawa merupakan
“pusat kota”. Selain itu oleh Belanda alun-alun dijadikan pusat kontrol dalam Kota Malang.
Arsitektur kolonial di Kota Malang secara nyata mendapat pengaruh besar dari
langgam arsitektur kolonial yang berkembang dengan pesat di Hindia-Belanda. Pengaruh
corak arsitektur kolonial ini terlihat pada kehidupan budaya arsitektur rumah tinggal di
Kota Malang. Tidak semua langgam pada arsitektur kolonial dapat diterapkan pada iklim
Kota Malang, hanya langgam tertentu yang dapat diadaptasikan dengan iklim lokal yang
mayoritas digunakan pada bangunan kolonial di Kota Malang. Ciri khas gaya bangunan
kolonial yang dibangun bangsa Belanda terutama terlihat jelas pada façade bangunan.
Daerah Kayutangan merupakan kawasan pertumbuhan perekonomian bangsa
Belanda di Kota Malang. Kawasan Kayutangan merupakan pusat perekonomian bangsa
Belanda, yang kemudian menjadi pusat kebudayaan bagi bangsa Belanda yang
perkembangannya diikuti oleh bangsa pribumi. Pengaruh perekonomian Belanda yang
tinggi berdampak besar pada kehidupan masyarakat. Dampak dari perekonomian itu
kemudian memunculkan satu pola ruang gerak masyarakat pada area belakang kawasan
pertokoan Kayutangan. Masyarakat membentuk pola spasial ruang dengan mendirikan
rumah-rumah tinggal yang kemudian membentuk satu pola permukiman. Permukiman
yang dibentuk, secara tidak langsung mengadopsi gaya arsitektur Belanda yang memang
pada masa itu menduduki dan menguasai Kota Malang.
Pusat Kota Malang pada tahun 1914 terletak di kawasan Kayutangan hingga alun-
alun Kota Malang. Daerah permukiman orang Eropa terletak di sebelah barat daya alun-
alun Kota Malang (Taloen, Tongan, Sawahan, dan sebagainya). (Hadinoto & Soehargo
1996:42) Rumah tinggal yang ada di kawasan Kayutangan merupakan bagian dari
kawasan permukiman bangsa Belanda yang pada waktu menguasai Kota Malang.
Arsitektur kolonial di daerah Kayutangan merupakan perluasan pembangunan dan
perluasan budaya arsitektur kolonial di Kota Malang.
Rumah tinggal yang dibangun oleh Belanda pada masa penjajahan di kota Malang,
merupakan keinginan penjajah untuk bermukim dan menguasai Kota Malang.
Permukiman yang dibangun oleh bangsa Belanda pertama kali di area sebelah barat
daya alun-alun Kota Malang (Kayutangan). Belanda menggotong gaya dan nilai
bangunan yang kental sekali dengan gaya kolonial (Hadinoto & Soehargo 1996:42).
Façade bangunan merupakan salah satu titik ukur penentuan ciri dari suatu
bentukan bangunan. Façade bangunan ini sangat berperan aktif pada pengidentifikasian
gaya bangunan. Façade pada bangunan kolonial secara visual berbeda dengan façade
bangunan yang mengusung gaya arsitektur nusantara. Ciri yang paling menonjol tampak
pada penggunaan barisan kolom pada rumah tinggal kolonial Belanda yang tidak
diaplikasikan pada khasanah arsitektur nusantara.
Façade menjadi peran media komunikasi keserbaragaman kultur budaya
masyarakat. Façade bangunan rumah tinggal kolonial yang dibangun di daerah koloni
Belanda tentunya mengalami adaptasi, baik itu terhadap iklim (karena hal tersebut
berhubungan langsung dengan penghawaan dan pencahayaan dalam bangunan yang
menentukan kenyamanan pada bangunan), maupun budaya setempat.
Arsitektur kolonial di Indonesia merupakan fenomena budaya yang unik, tidak
terdapat di tempat lain, juga pada negara-negara bekas koloni yang lain, karena arsitektur
kolonial yang berkembang di Indonesia terdapat percampuran budaya antara Belanda
dengan budaya Indonesia yang beraneka ragam desain arsitektur Belanda memiliki
kekhasan, bangunan yang ada berusaha mengadaptasikan pada kondisi lokal dan iklim
setempat pada setiap desainnya (Sumalyo 1993:9).
Berdasar latar belakang di atas, maka permasalahan dalam studi ini dapat
dirumuskan, yaitu “bagaimana tipologi façade rumah tinggal kolonial Belanda di
Kayutangan-Malang?” Tujuan dilakukannya studi ini, adalah untuk mengidentifikasi dan
menganalisis tipologi façade rumah tinggal kolonial Belanda di Kayutangan - Malang.

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008 65


Tinjauan Pustaka
1. Tipologi arsitektur
Tipologi dapat didefinisikan sebagai sebuah konsep yang memilah sebuah
kelompok objek berdasarkan kesamaan sifat-sifat dasar, atau dapat diartikan pula bahwa
tipologi adalah tindakan berfikir dalam rangka pengelompokkan (Moneo dalam
Sulistijowati 1991:11). Tipologi arsitektur dibangun dalam bentuk arsip dari ”given tipes”,
yaitu bentuk arsitektural yang disederhanakan menjadi bentuk geometrik. “Given tipes”
dapat berasal dari sejarah, tetapi dapat juga bersal dari hasil penemuan yang baru
(Palasello dalam Sulistijowati 1991:13). Menurut Sulistijowati (1991:12), pengenalan
tipologi akan mengarah pada upaya untuk mengkelaskan, mengelompokkan atau
mengklasifikasikan berdasar aspek atau kaidah tertentu. Aspek tersebut antara lain:
1. Fungsi (meliputi penggunaan ruang, struktural, simbolis, dan lain-lain);
2. Geometrik (meliputi bentuk, prinsip tatanan, dan lain-lain); dan
3. Langgam (meliputi periode, lokasi atau geografi, politik atau kekuasaan, etnik dan
budaya, dan lain-lain).

2. Tinjauan façade bangunan


Bagian bangunan dan arsitektur yang paling mudah untuk dilihat adalah bagian
wajah bangunan atau yang lebih dikenal dengan sebutan façade bangunan. Bagian
façade bangunan ini juga sering disebut tampak, kulit luar ataupun tampang bangunan,
karena façade bangunan ini merupakan yang paling sering diberi penilaian oleh para
pengamat tanpa memeriksa terlebih dahulu keseluruhan bangunan baik di keseluruhan
sisi luar bangunan, maupun pada bagian dalam bangunan. Penilaian tersebut tidak hanya
dilakukan oleh para arsitek tetapi juga masyarakat awam (Prijotomo 1987:3).
Komposisi suatu façade, dengan mempertimbangkan semua persyaratan
fungsionalnya (jendela, pintu, sun shading, bidang atap) pada prinsipnya dilakukan
dengan menciptakan kesatuan yang harmonis dengan menggunakan komposisi yang
proporsional, unsur vertikal dan horisontal yang terstruktur, material, warna dan elemen-
elemen dekoratif. Hal lain yang tidak kalah penting untuk mendapatkan perhatian yang
lebih adalah proporsi bukaan-bukaan, tinggi bangunan, prinsip perulangan,
keseimbangan komposisi yang baik, serta tema yang tercakup ke dalam variasi (Krier
1988:72).
Menurut Krier (1988:78) elemen-elemen arsitektur pendukung façade, yaitu sebagai
berikut :
1. Pintu
Pintu memainkan peranan yang menentukan dalam menghasilkan arah dan makna
yang tepat pada suatu ruang. Ukuran umum yang digunakan adalah perbandingan
proporsi 1:2 atau 1:3. Ukuran pintu selalu memiliki makna yang berbeda, misalnya
pintu berukuran pendek untuk masuk ke dalam ruangan yang lebih privat. Posisi
sebuah pintu dapat dipengaruhi oleh fungsi, bahkan pada batasan-batasan tertentu,
yang memiliki keharmonisan geometris dengan ruangan tersebut.
2. Jendela
Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penataan jendela façade, yaitu
sebagai berikut :
• Proporsi geometris façade;
• Penataan komposisi;
• Memperhatikan keharmonisan proporsi geometri;
• Karena distribusi jendela pada façade, salah satu efek tertentu dapat dipertegas
atau bahkan dihilangkan; dan
• Jendela dapat bergabung dalam kelompok-kelompok kecil atau membagi façade
dengan elemen-elemen yang hampir terpisah dan membentuk simbol tertentu.

66 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008


Tipe jendela dapat diklasifikasikan ke dalam satu atau kombinasi dari beberapa tipe
dasar terutama dalam hubungannya dengan pengaturan aliran udara. Jendela
dibagi ke dalam empat kategori, yaitu sebagai berikut:
• Tipe putar, horisontal dan vertikal;
• Tipe gantung, gantung samping, atas, bawah;
• Tipe lipat; dan
• Tipe sorong/geser, vertikal dan horizontal.
3. Dinding
Penataan dinding juga dapat diperlakukan sebagai bagian seni pahat sebuah
bangunan. Bagian khusus dari suatu bangunan dapat diekspos dengan latar depan
dan latar belakang dapat ditentukan
4. Atap
Atap merupakan mahkota bangunan yang disangga badan bangunan, yaitu dinding.
5. Sun Shading
Façade beradaptasi dengan cuaca karena adanya ornamen di atas tembok, yaitu
teritisan atau biasa disebut sun shading.
Menurut Lippsmeier (1980:74-90) elemen façade dari sebuah bangunan yang
sekaligus merupakan komponen-komponen yang mempengaruhi façade bangunan
adalah:
1. Atap;
2. Dinding; dan
3. Lantai.

3. Tinjauan rumah tinggal


Rumah tinggal merupakan kebutuhan primer yang berkedudukkan penting sebagai
salah satu naungan hidup. Rumah tinggal merupakan salah satu komponen terkecil dari
perkembangan dunia arsitektur. Arsitektur rumah sebagai hasil kebudayaan merupakan
perpaduan suatu karya seni dan pengetahuan tentang bangunan, tempat manusia tinggal
dan menjalankan aktifitasnya di dalamnya. Dalam suatu rumah, tidak hanya keindahan
bangunan saja yang ditampilkan, segala hal yang berhubungan dengan keamanan dan
kenyamanan juga harus dapat terpenuhi, arsitektur juga membicarakan berbagai aspek
tentang keindahan, kenyamanan, dan konstruksi bangunan (Tutuko 2003:24).
Menurut Silas dalam Moedjiono (1989:21), pada Vancuover Declaration on human
Settlement yang diselenggarakan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 1976,
fungsi rumah tinggal terbagi sebagai berikut:
1. Untuk keamanan (security);
2. Untuk ketersendirian (privacy); dan
3. Untuk perlindungan (protection).

4. Tinjauan arsitektur kolonial Belanda


Arsitektur kolonial, adalah arsitektur yang dibangun selama masa kolonial, ketika
Indonesia menjadi negara jajahan bangsa Belanda pada tahun 1600-1942, yaitu 350
tahun penjajahan Belanda di Indonesia (Rachmawati 1990:15).
Arsitektur kolonial menyiratkan adanya akulturasi diiringi oleh proses adaptasi
antara dua bangsa berbeda. Proses adaptasi yang dialami oleh dua bangsa terbentuk
dengan apa yang dinamakan arsitektur kolonial. Hal ini mencakup penyelesaian masalah-
masalah yang berhubungan dengan perbedaan iklim, ketersediaan material, cara
membangun, ketersediaan tenaga kerja, dan seni budaya yang terkait dengan estetika.
Ditinjau dari proses akulturasi yang terjadi, terdapat dua faktor yang mempengaruhi
terbentuknya arsitektur kolonial Belanda, yaitu faktor budaya setempat dan faktor budaya
asing Eropa/Belanda (BAPPEKO 2005:II,5-7).

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008 67


5. Karakter arsitektur kolonial Belanda
Pendapat Akihary (1990), Handinoto & Soehargo (1996), dan Nix (1994), dapat
disimpulkan bahwa arsitektur kolonial Belanda dibagi menjadi dua periode:
1. Arsitektur sebelum abad XVIII; dan
2. 2. Arsitektur setelah abad XVIII.
Gaya bangunan menurut Nix (1994:268) terdiri dari enam macam, yaitu sebagai
berikut:
1. Indische Empire Style;
2. Voor 1900;
3. NA 1900;
4. Romantiek;
5. Tahun 1915-an; dan
6. Tahun 1930-an.

6. Variabel bangunan arsitektur kolonial Belanda di Indonesia


Elemen-elemen bangunan bercorak Belanda yang banyak digunakan dalam
arsitektur kolonial Hindia Belanda antara lain (Handinoto & Soehargo 1996:165-177):
1. Gevel (gable) pada tampak depan bangunan;
2. Tower;
3. Dormer;
4. Windwijzer (Penunjuk angin);
5. Nok Acroterie (Hiasan puncak atap);
6. Geveltoppen (Hiasan kemuncak atap depan);
7. Ragam hias pada tubuh bangunan; dan
8. Balustrade.

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam studi ini, adalah metode deskriptif, analisa kualitatif-
deskriptif dengan pendekatan tipologi. Penentuan sampel dilakukan secara purposive
sampling dengan analisisnya adalah façade rumah tinggal kolonial (berupa: atap, dinding,
dan lantai), sedang variabel pembentuknya yang mempengaruhi (bahan pembentuk,
ornamen hias, periode berdirinya rumah tinggal). Sampel terpilih berjumlah 15 buah
(Gambar 1)

68 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008


Sample G1
Sample G2

Sample PR1 Sample PR2

Sample PL3
Sample PL1

Sample PL4
Sample PL2

Sample PR4
Sample PR3

Sample PR6 Sample PR5

Sample PRG Sample PLPRG Sample PLPR


Gambar 1. Peta persebaran sampel penelitian.

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008 69


Hasil dan Pembahasan
1. Tipologi berdasar bentukkan atap
Bagian paling atas pada façade bangunan adalah atap, sesuai dengan teori atap
adalah ruang yang tidak jelas, yang paling sering dikorbankan demi eksploitasi volume
bangunan.
Kasus yang ditemukan pada rumah tinggal kolonial di Kayutangan ini justru
berbanding terbalik dengan teori yang ada. Atap pada kasus rumah tinggal kolonial di
Kayutangan merupakan bagian yang paling dipertahankan kemurnian bentuknya dari
awal bangunan itu berdiri.
Pada wilayah kajian dan pada kasus terpilih, mayoritas atap yang digunakan terbagi
menjadi tiga, yaitu antara lain :
1. Perisai (PR);
2. Pelana (PL); dan
3. Gevel (G).
Kasus yang paling banyak ditemukan adalah pemakaian atap perisai pada façade
bangunan. Ditemukan sembilan rumah tinggal kolonial di Kayutangan yang menggunakan
jenis atap perisai, yaitu pada kasus PR1, PR2, PR3, PR4, PR5, PR6, PRG, PLPRG, dan
PLPR. Atap perisai pada kasus menggunakan bahan penutup berupa genteng karang
pilang dicat coklat. Atap perisai cenderung digunakan pada kasus yang dibangun pada
awal rumah tinggal kolonial mulai tumbuh di Kayutangan, sehingga pada
perkembangannya bentukan tersebut menjadi bentukan atap mayoritas pada kasus ini.
Pemakaian atap pelana pada façade rumah tinggal kolonial di Kayutangan
ditemukan enam rumah tinggal, yaitu kasus PL1, PL2, PL3, PL4, PL4, PLPRG, dan
PLPR. Dilihat pada beberapa kasus terdapat permainan bidang geometris pada bagian
atap pelana (Gambar 2).

Gambar 2. Ornamen pada kasus atap


pelana.

Atap pelana cenderung digunakan pada kasus yang dibangun pada periode tahun
1920-an.
Atap gevel ditemukan pada wilayah kajian berjumlah empat kasus, yaitu kasus
G1,G2,PRG, dan PLPRG. Atap gevel cenderung digunakan pada kasus yang dibangun
pada periode tahun 1920-an.
Kasus seperti kasus PRG (menggabungkan atap perisai dan gevel) , PLPRG
(menggabungkan atap pelana, perisai dan gevel), dan PLPR (menggabungkan atap

70 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008


pelana dan perisai) menggabungkan berbagai bentuk atap menjadi satu bagian dari
façade.
Tipologi listplank pada kasus di Kayutangan terbagi atas berornamen dan polos.
Empat belas kasus menggunakan jenis listplank polos, sedangkan kasus PR2
menggunakan listplank dengan ornamen (Gambar 3).

Gambar 3. Ornamen pada listplank.

2. Tipologi berdasar elemen pada dinding


Ditinjau dari tekstur dinding pada kasus terbagi menjadi dua, yaitu bertekstur halus
dan bertekstur kasar. Hal ini dikarenakan permainan ornamen batu pada bidang dinding.
Terlihat pada kasus PL1 dan PR6 menggunakan batu kali sebagai bagian dari dinding
bangunan bagian bawah (Gambar 4).

Gambar 4. Ornamen batu kali pada


dinding.

Teritisan pada kasus yang ada di wilayah Kayutangan tiga belas kasus letak
teritisan sepanjang lebar façade bangunan sedangkan dua kasus, yaitu PL1 dan PLPR
teritisan letaknya selebar bukaan (Gambar 5).

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008 71


Gambar 5. Peletakkan teritisan pada
bagian atas elemen bukaan.

Lubang angin untuk kasus di Kayutangan ini terbagi atas dua jenis, yaitu berbentuk
persegi dan berbentuk lengkung. Bentuk lubang angin lengkung hanya ditemui pada
kasus PL2, sedangkan empat belas kasus yang lain menggunakan bentukan persegi
pada lubang anginnya. Lubang angin pada kasus yang berda di Kayutangan mayoritas
berbentuk persegi dengan permainan aksen garis.
Bouvenlight pada kasus yang ditemukan di Kayutangan terbagi menjadi dua, yaitu
bouvenlight yang terbuat dari besi tempa dan bouvenlight yang terbuat dari kusen kayu
dan kaca. Bouvenlight yang terbuat dari besi tempa untuk kasus PR2 dan PR3 memiliki
motif ornamen bergaya art nouveou yang tampak adalah ornamen sulur (Gambar 6).

Gambar 6. Motif sulur pada bouvenlight.


Jenis pintu pada lima belas kasus yang ditemukan di Kayutangan ini, keseluruhan
pintu pada façade utama terbagi atas, antara lain :
1. Pintu rangkap ganda (kasus G1, PL1,PL4, PR1,PR3, PR5, PLPRG) ;
2. Pintu ganda (kasus G2, PL2, PL3, PR2, PR4, PR6, PRG, PLPR); dan
3. Pintu tunggal (kasus PL4, PR1, PR2, PR6).
Bahan material yang digunakan pada pintu rangkap pada lapis terluar berupa kayu
masif, sedang lapis terdalam berupa kusen kayu dan kaca. Bahan material pada pintu

72 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008


jenis ganda, yaitu berupa kusen kayu dan kaca. Pintu tunggal menggunakan bahan
material berupa kayu masif yang dicat (Gambar 7).
Jenis jendela pada lima belas kasus yang ditemukan di Kayutangan ini, jendela
pada façade utama terbagi menjadi, antara lain :
1. Jendela rangkap ganda (kasus G1, PL1, PL3, PL4, PR1, PR3, PR5, PRG,
PLPRG, PLPR) ;
2. Jendela ganda (kasus G2, PL2, PR2, PR6); dan
3. Jendela tunggal (kasus PR4, PLPR).
Jenis jendela yang ditemukan pada kasus kelima belas kasus semuanya
menggunakan jenis gantung samping, tetapi pada kasus G2 ditemukan jendela jenis
lipat. Bahan material yang digunakan pada jendela rangkap pada lapis terluar berupa
kayu masif sedang lapis terdalam berupa kusen kayu dan kaca. Bahan material pada
jendela jenis ganda dan tunggal, yaitu berupa kusen kayu dan kaca (Gambar 8).

Gambar 7. Tipologi pintu. Gambar 8. Tipologi jendela.

Berdasarkan atas tinjauan teori mengenai gaya, pada kasus Kayutangan terbagi
menjadi empat tipe, yaitu (Gambar 9):
1. Pra 1900 (pada kasus PR2 dan PR3);
2. Pasca 1900 (pada kasus PLPRG);
3. Tahun 1920-an (kasus PLPR,G1, G2, PRG, PL3, PL4, PR1); dan
4. Tahun 1930-an (kasus PL1, PL2, PR4, PR5, PR6).

arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008 73


Pra 1900

Pasca 1900

1920-an

1930-an
Gambar 9. Tipologi gaya.

74 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008


3. Tipologi lantai
Lantai menggunakan penutup dari teraso yang bisa dapat menyerap panas,
sehingga ruang yang ada di dalamnya cenderung lebih dingin, selain itu ubin juga kedap
air dan keras, sehingga dapat menjaga dan mengatur temperatur dan kelembaban udara
di dalam ruangan. Perbedaan ketinggian lantai luar dengan lantai dalam pada rumah
tinggal ini dimaksudkan untuk dapat mengurangi pasir/debu yang terbawa angin dari luar
masuk ke dalam ruangan. Lantai pada keseluruhan kasus menggunakan bahan teraso
dengan perbedaan ketinggian 30-60 cm dari permukaan (Gambar 10).

Gambar 10. Peninggian pada lantai.

Kesimpulan
Bahwa macam atap yang digunakan pada rumah tinggal kolonial di Kayutangan,
yaitu perisai, pelana, dan gevel. Tipologi dinding dikelompokkan menjadi dua kelompok,
yaitu dinding polos, dinding dengan ornamen batu kali dan dinding dengan ornamen batu
tabur.
Elemen bukaan ditemukan empat jenis, yaitu pintu, jendela, bouvenlight, dan lubang
angin. Jenis pintu dan jendela yang paling banyak ditemukan adalah jenis rangkap ganda
dengan tipe gantung samping dengan bahan kayu sebagai bahan pembentuknya.
Teritisan pada fasade letaknya dikelompokkan menjadi dua, yaitu di sepanjang lebar
fasade dan di atas bukaan saja.
Lantai pada keseluruhan kasus menggunakan bahan teraso yang bisa dapat
menyerap panas, sehingga ruang yang ada di dalamnya cenderung lebih dingin. Selain
itu, ubin juga kedap air dan keras, sehingga dapat menjaga dan mengatur temperatur dan
kelembaban udara di dalam ruangan. Dengan perbedaan ketinggian 30-60 cm dari
permukaan tanah.
Tipologi gaya yang dapat ditemukan pada kasus rumah tinggal Kayutangan terbagi
atas empat gaya, yaitu gaya pra 1900, pasca 1900, 1920-an dan 1930-an.
Elemen fasade bangunan yang paling besar rentan terhadap perubahan adalah
dinding (hampir 70% berubah), sedangkan elemen fasade yang paling tidak rentan
terhadap perubahan adalah atap.

Daftar Pustaka
BAPPEKO. (2005). Studi Membuat Kriteria Karakter Desain Bangunan Berarsitektur
Lama/Kuno atau Bersejarah. Laporan Fakta dan Analisa. Malang: Fakultas Teknik
Universitas Brawijaya. (Tidak dipublikasikan).
Handinoto & Soehargo, P.H. (1996). Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda
di Malang. Surabaya: Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat,
Universitas Kristen PETRA.
Krier, R. (1988). Architectural Composition. London: Academy Edition
arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008 75
Lippsmeier, G. (1980). Bangunan Tropis (Edisi ke-2). Jakarta: Erlangga
Moedjiono, Z. (1989). Studi Pendahuluan Dalam Rangka Mencari Konsepsi Arsitektur
Rumah Tinggal yang Sesuai Dengan Hakekat Pembangunan Manusia Indonesia
Seutuhnya. Tidak dipublikasikan. Surabaya: Pusat Penelitian Institut Teknologi
Sepuluh November.
Nix, T. (1994). Sumbangan Tentang Pengetahuan Bentuk Dalam Perancanaan dan
Perancangan Kota Terutama Di Indonesia. Disertasi. Bandung: Fakultas Teknik,
Universitas Tarumanegara.
Prijotomo, J. (1987). Komposisi Olah Tampang Arsitektur Kampung (Telaah Kasus
Kampung di Surabaya). Tidak dipublikasikan. Surabaya: Pusat Penelitian Institut
Teknologi Sepuluh November.
Rachmawati, M. (1990). Studi Olah Tampang Bangunan Kolonial (Rumah Tinggal di
Malang). Tidak dipublikasikan. Surabaya: Pusat Penelitian Institut Teknologi Sepuluh
November.
Sulistijowati, M. (1991). Tipologi Arsitektur Pada Rumah Kolonial Surabaya (Dengan
Kasus Perumahan Plampitan dan Sekitarnya). Tidak dipublikasikan. Surabaya:
Pusat Penelitian Institut Teknologi Sepuluh November.
Sumalyo, Y. (1993). Arsitektur Kolonial Belanda Di Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Copyright © 2008 by Antariksa

76 arsitektur e-Journal, Volume 1 Nomor 2, Juli 2008

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai