Anda di halaman 1dari 51

SEJARAH SIMANJUNTAK

FORUM KOMUNIKASI SIMANJUNTAK


Kantor Pusat,Gedung Paskal,JL.Letjen Suprapto No.38,Cempaka Putih,Jakarta Pusat,(021)4288
3838

 34 PERUMPAMAAN
 FALSAFAH-UMPASA-UMPAMA (B.Batak)
 FILSAFAT TENTANG PARTUTURAN
 MARUNJUK PANGOLI ANAK-PAMULI BORU
 PARATUR NI PARHUNDULON
 PENDIRI dan PENGURUS
 SEJARAH & SILSILAH SIMANJUNTAK
 SIBURSOKPATI
 SILSILAH SI RAJA BATAK (TAROMBO)
 SUMBER HUKUM ADAT BATAK
 UMPASA BATAK SIMALUNGUN (KUMPULAN)
 WISDOM (PETUAH)

Sabtu, 08 Juni 2013


SEJARAH SIMANJUNTAK

INDUK MARGA BATAK & CABANG-CABANGNYA

1 2
SIRAJA 1.Guru Tatea Bulan (Toga
BATAK  Datu)
2.Siraja Isumbaon  (Toga
Somba)

1. Keturunan Guru Tatea Bulan (Toga Datu)


2 3 4 5                      6 (yang tanda kurung)
1.Guru Tatea 1. Saribu Raja  1. Si Raja Lontung  1.Toga Sinaga (Bonor, Ompu Ratus,
Bulan Uruk)
2.Toga Situmorang (Pande, Lumban
Nahor,  
    Suhut ni Huta, Siringoringo, Rumapea,
    Sitohang)
3.Toga Pandiangan ( Pandiangan,
Samosir,
    Gultom, Harianja,  Pakpahan, Sitinjak)
4.Toga Nainggolan :
   Toga sibatu (Sibatuara, Parhusip)
   Toga Sihombar (Lbn.Nahor,
Lbn.Tungkup,
    Lbn. Raja, Lbn.  Siantar, Hutabalian)
5.Toga Simatupang (Togatorop, Sianturi,
   siburian)
6.Toga Aritonang (Ompu Sunggu,
Rajagukguk,
2. Si Raja Borbor     Simaremare)
7.Toga Siregar (Silo, Dongoran,
Silali /Ritonga /
    sormin, Siagian)

2. Palu Onggang (Pasaribu, Harahap, Parapat, Matondang,


LimbongMulana Langgat Limbong Sipahutar, Tarihoran, Saruksuk, Lubis,
Batubara,
Hutaruar;Hutabagas; Pulungan, Hutasuhut, Daulay).
3. Sagala Raja  Hutaurat.

Pase, Nilambean,
4. Malau Raja  Manik
&Damanik, Ambarita,
Gurning
SEJARAH SIMANJUNTAK

2. Keturunan Raja Isumbaon (Toga Sumba)

1 2 3 4
Siraja Batak  1.Guru Tatea Bulan
   (Toga Datu)

2.Siraja Isumbaon  1. Tuan Sorimangaraja 1. Naiambataon  (Tuan Sorbadijulu).


   (Toga Somba) 2. Si Raja Asiasi (x)   (PARNA); Parsadaan Raja Nai Ambaton)
3. Sangkar Somalidang (x) 2. Nairasaon (Tuan Sorbadijae)
    (x)Turunannya tidak jelas 3. Naisuanon (Tuan Sorbadibanua)

4 5                                            6 (yang tanda kurung)


1. Naiambataon 1. Simbolon Tua (Simbolon,Tinambunan,Tumanggor,Turutan,Pinayungan,Maha,Nahampun)
2. Tamba Tua (Tamba, Sidabutar, Sidabalok, Siadari, Sijabat)
3. Saragi Tua (Saing,Simalango,Simarmata,Nadeak,Sidabungke,Rumahorbo,Sitio,Napitu)
4. Munte Tua (Munte, Sitanggang, Sigalingging)

1. Raja Mangareak  (1. Manurung


2. Nairasaon      2. Raja Mangatur     (2. Sitorus
                                          3. Sirait
                                          4. Butarbutar

1. Tuan Sorba Dibanua


2. Raja Tunggul
3. Naisuanon   

4 5 6                        7 (yang tanda kurung)


1. Naisuanon   1. Sibagotni Pohan 1. Tuan Sihubil (Tampubolon)
Tn.Sorba Dibanua 2. Tuan Somanimbil (Siahaan, Simanjuntak, Hutagaol)
3. Tuan Dibangarna (Panjaitan, Silitonga, Siagian, Sianipar)
4. Sonak Malela (Simangunsong, Marpaung, Napitupulu, Pardede)

(Hutahaean, Aruan, Hutajulu, Sibarani, Sibuea,


2. Sipaet Tua             Pangaribuan, Hutapea)

(Silalahi, Sihaloho, Situngkir, Sondi, Sinabutar, Sinabariba,


3. Silahi Sabungan    Sinabang, Pintubatu, Tambun/Tambunan)

(Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, Manullang)


4. Si Raja Oloan      

(Sitompul, Hasibuan, Hutabarat, Panggabean, Simorangkir,  


 Hutagalung, Hutapea/Tobing)
1. Si Raja Sobu       
2. Raja Tunggul       
1. Sihombing (Silaban, Lumban Toruan, Nababan, Hutasoit)
2. Simamora (Purba, Manalu, Debataraja, Tuan Sumerhan)
2. Siraja Sumba      
(Marbun: Lbn.Batu, Banjar Nahor, Lbn. Gaol, Sibagariang,
Hutauruk, Simanungkalit, Situmeang)
SEJARAH SIMANJUNTAK

3. Siraja Naipospos

Diagram Silsilah Simanjuntak


7 (1) 8 (2) 9 (3) 10 (4) 11 (5)

1.Simanjuntak  1. Mardaup 1.Namora Tano    1. Pande Jereng


2. Mira Solaosan
(R.Marsundung)
2.Namora Sende  1. Dari Mangambat
2. Paranjak

1. Tuan Marhohak
3.Tuan Sibadogil  2. Raja Diam
3. Namora Tinungkun

2. Sitombuk 1. Datu Pijor


2. Datu Dolok
3. Tuan Guntar
4. Datu Silo
5. Pande Aek

1. Raja Odong    1. Raja Bolak Hambing


3. Hutabulu 
    (Raja Parhambing)
2. Tuan Nahoda Raja
3. Maharia Raja
    (Mangorong Bahut)
4. Raja Marleang
    (Marleang Bosi)
5. Raja Manorhap
    (Raja Situnggal)
6. Raja Maega;
    Gelar Op.Toga Oloan
7. Sitingkir Ulubalang;
    Gelar Partahi Oloan
    (Datu Malela)

1. Sibursok Ronggur
2. Sibursok Datu
3. Sibursok Pati .......
2. Tumonggo Tua 
SEJARAH SIMANJUNTAK

1. Sitingkir Ulubalang
    Gelar Partahi Oloan
    (Datu Malela)
2. Pallupuk
3. Guru Sosunggulon
4. Raja Sohatahutan
5. Raja Mandalo
6. Guru Marlohot
7. Raja Naposo          

 Note ; 7 (1) baca; Generasi ketujuh dari si raja Batak.....dan (1) generasi pertama dari Marga

Daftar isi
 A.  Lagenda Simanjuntak
  Awal Konflik
  Pesan Sibosihon Boru Sihotang
  Kelahiran R.Mardaup; R.Sitombuk; R.Hutabulu)
  Darah manusia untuk Ruma Gorga (Rumah Sakti)
  Pesan Sibosihon Boru Sihotang.
  Kematian Siboru Hagohan Naindo
  Tipu Muslihat (Parsuratan) versus Akal (Hutabulu)
       I.   Kisah Keturunan R.Mardaup
       II.  Kisah Keturunan R.Sitombuk
       III. Kisah Keturunan R.Hutabulu
            1. R.Odong
            2. Tumonggo Tua
                A. Kisah Keturunan Tumonggo Tua
                    1. Sibursok Ronggur
                    2. Sibursok Datu
                    3. Sibursok Pati
                B. Kisah Keturunan Sibursok Pati
                    1. Sitingkir Ulu Balang
                    2. Pallupuk
B. Kesimpulan

Lagenda
Nama siraja Batak, diucapkan didalam setiap ucapan “Tetua Adat”;
“Nungga Tuat Nadolok, manantan oppui. (Tuhan YME, mencipatkan awal manusia)
Oppui Siraja Batak, ditano panantananna. (Dialah Siraja Batak, ditanah ciptanNya)
Situbuhon anak nabisuk, sian tano panantananna. (melahirkan anak yang bijak, ditempat ia
diciptakan)
Ima sianjur mula-mula, (ditanah sianjur awalnya),
Sianjur mulajadi, mula hata,  (Sianjur awal penciptaan, awal perkataan),
mula patik, mula uhum, jala mulani harajaon”. (awal pesan moril, awal hukum, dan awal
kerajaan).
SEJARAH SIMANJUNTAK

Alkisah, Setelah kedua anak siraja Batak dewasa, di pagi hari dipanggilnyalah kedua anaknya;
anakku; bulanku sudah dekat, matahariku juga sudah makin redup,  pergilah kalian mengambil
makanan yang paling enak kepadaku, karena dengan begitu, maka hatikupun akan senang
memberkati kalian. Merekapun menurutinya lalu masing-masing pergi mengambil hewan yang
ter-enak untuk dihidangkan kepada ayahnya.

 Anak yang paling besar (Tatea Bulan) pergi ke tombak (hutan) sibisa,  dilihatnyalah musang
dan dengan cekatnya ditangkapnya. Dalam hatinya; musang ini dagingnya sangat enak dan
manis untuk dimakan, ayah pasti sangat senang untuk menikmatinya. Ia pun cepat-cepat pulang
lalu memanggangnya.

Tidak lama kemudian adiknya Sumbaon datang membawa lomok-lomok (anak babi kecil


tanggung) yang ditangkapnya dari tombak (hutan) sigala-gala, ia pun cepat-cepat pulang dan
segera mengerjakannya; sebahagian dipanggang, sebahagian lagi dimasak saksang, sementara
tulang-belulangnya dibuatkan soup.  Pada saat yang bersamaan mereka lalu menghidangkannya
kepada ayahnya;

Pertama sekali Tatea Bulan datang menghidangkan makanan kepada ayahnya seraya berkata;
Ayah ini daging musang makanan kesukaanmu, makanlah dengan senang hati. Ayahnyapun
memakannya. 
Selanjutnya anaknya yang nomor dua (Sumbaon) datang lagi dengan menghidangkan makanan
yang dibuatnya. Ayah ini lomok-lomok; ada yang dipanggang, ada yang dicincang (sangsang),
ada juga yang di sop. Ayahnyapun memakannya satu persatu, seraya berkata; sungguh sangat
enak panggang dan  saksangnya ini, begitu juga kuah sopnya, yang telah membuat hatiku
berbinar-binar untuk memberkati kalian, mendekatlah kemari katanya kepada kedua anaknya;  

Aku adalah ayahmu “Siraja Batak”; awal manusia ditanah Batak ini, aku juga penentu batas
hidup, arah dan kebesaran bagi anak-anakku. Karena aku adalah awal kebesaran yang pertama
hidup disini, maka kepadaku diberikan kuasa oleh Mulajadi Nabolon untuk menentukan arah
dan tujuan hidup generasiku.

Iapun memberkati anaknya “Tatea Bulan”.


Anakku; Dari makanan yang kau hidangkan kepadaku, hal itu pertanda sifat yang kau miliki
bahwa kepadamu akan kuberikan berkat talenta untuk memegang Pustaha Surat Agong.
Namamu sekarang bukan lagi “Tatea Bulan” tapi “Guru Tatea Bulan”, karena kamu adalah
pusat dari ilmu segala ilmu “nujum dan kegaiban” (Goarmu sonari dangbe “Tatea Bulan” alai
SEJARAH SIMANJUNTAK

gabe “Guru Tatea Bulan” nama, alana ingkon marguru toho do sude nasa par ruji-ruji-on nang
hadatuon). Dan Kepadamu kuberikan kuasa untuk membuka tabir hal-hal yang tersembunyi dan
yang akan terjadi kelak.

Lalu, Iapun memberkati anaknya Sumbaon.


Anakku; Dari makanan yang kau hidangkan kepadaku, dengan begitu lengkapnya, hal itu
pertanda sifat yang kau miliki bahwa kamu adalah ahli dalam memerintah (harajaon) kepadamu
akan kuberikan berkat talenta sebagai pemegang Pustaha Tumbaga Holing.  Namamu sekarang
bukan lagi “Sumbaon” tapi “Raja si Sumbaon (Rajai Sumbaon)”; setiap orang harus
bersembah sujud (hormat) kepadamu, karena kamu adalah sumber dari segala kerajaan.
Kepadamu kuberikan kuasa untuk menentukan kekayaan (hamoraon); keturunan (hagabeon)
dan kerajaan (hasangapon).

Selanjutnya; apabila ilmu dari kalian ingin dikuasai oleh keturunanmu, cara satu-satunya adalah bahwa
keturunan kalian harus saling kawin, sehingga genetika mereka akan bercampur, demikian juga ilmu
yang didapatkannya, artinya dengan perkawinan campur itu maka talenta yang kalian miliki akan
menyatu.  Tinggal perhatikan saja dari gen mana yang lebih kuat. Begitulah caranya agar keturunanmu
kelak tidak ada yang saling cemburu. Demikianlah tabir itu diberikan dan dibukakan Siraja Batak kepada
kedua anaknya sebelum Ia meninggalkan mereka “agar keturunan mereka tidak saling iri. Namun dapat
hidup makmur dan sejahtera”. 

Kalau ditilik dari Siraja Batak hingga ke turunannya Sibagot Nipohan bahwa mereka memberikan nama
kepada turunannya yang semuanya mempunyai arti dan makna. Untuk hal ini, kalau ditarik garis lurus
dari Siraja Batak hingga ke Tuan somanimbil, bahwa Tuan Somanimbil yang bermakna ia dan
turunannya (Raja Marsundung) tidak boleh manimbil (menyimpang) dari aturan kehidupan yang telah
digariskan. Dan apabila dilanggar maka akan ditentukan arahnya (sundungna), lihat saja kenyataan
sekarang ini bahwa anak Raja Marsundung ahirnya terbagi dua yaitu parhorbo jolo dan parhorbo pudi.
Pemberian nama ini (Somanimbil dan Marsundung) bukan asal diberikan tapi merupakan titah (goar
namarlapatan) yang akan terjadi kelak. Untuk meniliknya, tulisan ini yang menjelaskan perihal terjadinya
fakta tersebut;

A. LAGENDA RAJA SIMANJUNTAK (JOLO-PUDI = DEPAN-BELAKANG)

(Source ; diceritakan oleh Cyrus Jala Simanjuntak (1902-1975) dan Pdt.Ev. Saitun Roberth Hasiholan Simanjuntak (1946-2006)

Raja Marsundung (Simanjuntak), generasi ketujuh (7) dari Raja Batak, dan generasi pertama dari Marga
Simanjuntak. (lihat diagram silsilah). Raja Marsundung mempunyai istri pertama yang bernama Taripar
SEJARAH SIMANJUNTAK
Laut boru Hasibuan. Dari isteri pertama ini Raja Marsundung mendapatkan satu orang anak yaitu
Parsuratan Beberapa tahun setelah Taripar Laut boru Hasibuan meninggal, Raja Marsundung mengambil
isteri dari negeri Sihotang (dekat Pangururan Samosir) yang bernama Sobosihon boru Sihotang. Dengan
demikian sejak itu Si Parsuratan memiliki ibu tiri (panoroni). 

Dari isteri yang kedua ini lahirlah Mardaup, Sitombuk, Hutabulu dan dua orang anak perempuan. Salah
satu dari dua anak perempuan Raja Marsundung kemudian kawin dengan marga Sirait.
Rupanya hubungan antara Parsuratan dan ibu tirinya Sobosihon boru Sihotang kurang harmonis. Hal ini
dapat dimaklumi karena di orang Batak, antara anak tiri dengan ibu tirinya sering tidak ada
kecocokan/ kerukunan. Karena kondisi yang tidak menyenangkan ini, Parsuratan meninggalkan kampung
halamannya dan pergi ke kampung Tulangnya di Sigaol, desa Marga Hasibuan.

Menurut cerita orang-orang tua, Parsuratan cukup lama tinggal di Sigaol, bahkan sampai-sampai orang di
sana mengira dia bermarga Hasibuan. Kemudian Parsuratan mengawini boru tulangnya yakni Boru
Hasibuan. Beberapa lama kemudian Parsuratan mendengar berita bahwa bapaknya, Raja Marsundung
telah meninggal dunia. Parsuratan kemudian kembali pulang ke kampung halamannya di Parsuratan,
Paindoan Balige. Di Balige inilah kemudian Parsuratan menetap dan hidup berdekatan dengan ibu
tirinya, Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya yaitu Mardaup, Sitombuk dan Hutabulu serta dua
orang anak perempuan.

Salah satu keturunan Raja Marsundung dari isterinya Sobosihon boru Sihotang, yaitu anak yang tertua
(anak perempuan) sangat dekat dengan ibunya. Sebagai anak yang tertua, maka dialah yang selalu gigih
membantu ibunya sementara adik-adiknya masih kecil-kecil.
Karena Parsuratan magodang (artinya besar) di kampung tulangnya, maka dia tidak memiliki hubungan
yang dekat dengan bapaknya, sehingga setelah meninggal, tidak ada pesan dari Raja Marsundung
kepada Parsuratan terutama mengenai harta yang ditinggalkan.
Parsuratan menganggap bahwa harta berupa kerbau yang dipungka Raja Marsundung dengan Taripar
Laut boru Hasibuan. Disinilah malapetaka itu berawal (bonsir ni parbadaan i).

Selanjutnya karena kedua belah pihak yaitu Parsuratan dan Sobosihon boru Sihotang dan anak-anaknya,
memiliki sawah masing-masing, kepemilikan kerbau menjadi sangat penting (untuk membajak sawah).
Akhirnya timbullah emosi Parsuratan, yang berakibat meninggalnya putri sulung dari Sobosihon boru
Sihotang. Meninggalnya putri tercinta inilah yang menjadi sebab dari pertikaian/ perselisihan
antara Parsuratan (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Jolo) dengan Mardaup; Sitombuk;
Hutabulu (yang kemudian dikenal dengan Parhorbo Pudi) yang berlangsung hingga saat ini.
SEJARAH SIMANJUNTAK
Perselisihan ini sebenarnya sudah pernah dicoba untuk diselesaikan oleh saudara-
saudara R. Marsundung. yaitu Siahaan dan Hutagaol, bahkan oleh keturunan Si Bagot Ni Pohan. Namun
sampai saat ini belum terjadi penyelesaian.
Marga Simanjuntak adalah salah satu marga terbesar dikalangan suku batak hingga terkenal istilah
Simanjuntak na solot di ri (Simanjuntak ri) yang artinya dimana ada rumput (ri), disitu ada Simanjuntak.

Awal Konflik
Sebutan ‘Parhorbo Jolo - Pudi ini merupakan sindiran masyarakat karena pembagian warisan yang aneh
oleh Parsuratan terhadap ketiga adiknya. Sindiran tersebut muncul karena Parhorbo Jolo sebagai anak
sulung tidak adil membagi harta warisan (sawah dan kerbau) sepeninggal ayahanda di Balige. Dan juga
karena Parsuratan pernah hampir membunuh Simanjuntak Sitolu sada ina sewaktu Simanjuntak Sitolu
sada ina masih bayi. Awalnya kejadiannya waktu itu Ketika Mardaup lahir Parsuratan hampir
membunuhnya, namun gagal berkat antisipasi Ompu-nya Simanjuntak Sitolu sada ina yaitu Si Godang
Ulu (Sihotang) maka Mardaup selamat.

Kisah itu diketahui Simanjuntak Sitolu sada ina setelah mereka dewasa, namun Simanjuntak Sitolu sada
ina tetap tidak pernah menaruh dendam terhadap kakaknya atas pesan dari ibunda tercinta agar
Simanjuntak Sitolu sada ina tetap menganggap Parsuratan sebagai pengganti ayah.

Raja Marsundung Simanjuntak adalah anak kedua dari pasangan Tuan Somanimbil dan istrinya Boru
Limbong. Mereka mempunyai tiga anak, yaitu: Somba Debata Siahaan, menikah dengan Boru Lubis.
Raja Marsundung Simanjuntak, menikah dengan Boru Hasibuan lalu kemudian setelah Duda menikah
dengan Sobosihon boru Sihotang. Tuan Marruji Hutagaol, menikah dengan Boru Pasaribu

Raja Marsundung Simanjuntak menikah dengan Boru Hasibuan lalu mereka menetap di Hutabulu
(sekarang Parlumbanan). Mereka dikaruniai seorang putera bernama Parsuratan dan seorang puteri
bernama Sipareme. Kehidupan mereka diberkati dengan banyak sekali ternak kerbau hingga orang
sering menyebut Raja Marsundung dengan sebutan ‘Simanjuntak Parhorbo’.

Mautpun memisahkan dan Raja Marsundung menjadi Duda setengah umur.


Suatu saat dia sakit parah bahkan dia tak sanggup mengurus dirinya sendiri. Menurut adat Batak Toba
yang layak mengurus dia hanya Boru Lubis yang adalah istri abangnya (akang boru). Kalau Boru
Pasaribu yang adalah istri adiknya (anggi boru) pantang saling bicara dengan dia begitu juga
menantunya (parumaen) tidak boleh berbicara dengan dia sebab begitu adatnya.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Sementara puterinya sendiri, Sipareme segan mengurusnya sampai perkara yang sangat
sensitif. Kemudian Raja Marsundung pulih lalu Somba Debata Siahaan menganjurkan padanya agar dia
menikah lagi supaya ada yang mengurusnya kelak apabila dia sakit. Hal ini tidak disetujui Parsuratan dan
Tuan Marruji Hutagaol namun, karena fakta dan pengalaman pahitnya, Raja Marsundung setuju untuk
menikah lagi.

Pada masa itu ada istilah kalau ingin mencari istri pengganti maka sebaiknya pergi menyeberangi danau
Toba (versi asli: molo mangalului panoroni ba borhatma tu bariba ni tao Toba). Somba Debata Siahaan
dan Raja Marsundung pun berangkat ke daerah Si Raja Oloan. Di sana ada seorang lelaki yang agak
asing rupa fisiknya. Bentuk kepalanya besar dan dia dinamai Raja Si Godang Ulu Sihotang.

Keanehan ini juga tampak pada anak-anaknya sehingga terkadang mereka sering dikucilkan banyak
orang sampai-sampai walaupun puterinya sendiri Sobosihon berumur banyak belum ada laki-laki yang
mau melamarnya hingga Raja Marsundung melamarnya. Kedatangan Raja Marsundung melamar
Sobosihon sangat menggembirakan hati Raja Si Godang Ulu walaupun yang melamar puterinya adalah
seorang Duda yang sudah memiliki anak. Namun itu bukan persoalan baginya dan pernikahan secara
adat sepenuh (adat na gok) dilakukan. Wali pengantin prianya adalah Somba Debata Siahaan.
Sobosihon pun menjadi istri Raja Marsundung. Mereka bermukim di Parlumbanan (daerah ini merupakan
persawahan).

Setelah tiba waktunya bagi Sobosihon untuk melahirkan, beberapa hari sebelumnya dia telah memberi
kabar kepada ayahnya tentang keadaannya itu. Namun, perasaan sang calon ibu ini gelisah setelah
mendapat mimpi; ketika Sobosihon akan mandi di Aek Na Bolon, setelah dia membuka bajunya tiba-tiba
petir menyambar buah dadanya sebelah. Mimpi ini juga diberitahukan kepada Raja Si Godang Ulu.
Setelah mendengar kabar dan mimpi puterinya itu dia menyuruh menantu perempuannya (parumaen)
berangkat menemui puterinya di Parlumbanan Balige. Padahal menantunya ini baru lima hari selesai
melahirkan bayi perempuan namun, karena taat kepada mertuanya dia tetap bersedia pergi disertai tugas
dan pesan khusus dari Raja Si Godang Ulu.

Adapun tugas dan pesan itu;


      Memberitahu Sobosihon bahwa akan ada bahaya yang mengancam bayinya setelah dia bersalin.
     Apabila bayi yang lahir laki-laki maka bayi itu harus ditukarkan dengan bayi perempuan menantunya ini
dan bayi laki-laki itu harus dipangku dan disusui oleh menantu Raja Si Godang Ulu ini sampai bahaya
berlalu.
SEJARAH SIMANJUNTAK

      Kelak apabila kedua bayi itu sudah dewasa maka mereka sebagai berpariban telah dipertunangkan sejak
lahir (dipa-orohon).

Kelahiran “Mardaup; Sitombuk; dan Hutabulu”


Sesampainya di Parlumbanan, menantu Raja Si Godang Ulu atau yang disebut ‘Nantulang Na Burju’ oleh
Parhorbo Pudi ini, dia mendapati Sobosihon sedang bergumul dibantu dukun beranak (sibaso) untuk
bersalin. Lalu kemudian lahirlah bayi laki-laki dan setelah dimandikan sang bayi langsung ditukarkan
sesuai pesan tadi.
Diadakanlah acara makan bersama (pangharoanion) untuk syukuran kelahiran bayi itu. Seluruh
penduduk kampung diundang. Mendengar kabar bahwa adik tirinya adalah laki-laki maka Parsuratan
menjadi benci dan ingin membunuh adiknya itu sebab menurutnya kelak akan ada pewaris harta ayahnya
selain dia.

Parsuratan pun datang ke acara itu dan dia membawa pisau penyadap pohon enau di dalam sarung yang
terselip di pinggangnya. Kehadirannya membuat semua orang terharu sebab selama ini dia memusihi ibu
tirinya, namun di saat kegembiraan dirasakan dan dirayakan ibu tirinya dia turut hadir di sana. itulah
penilaian orang kebanyakan. Padahal Parsuratan hendak memanfaatkan momen ini untuk membunuh
adik tirinya. Lalu dia meminta supaya dia boleh memangku adiknya yang baru lahir itu. Dan bayi yang
telah bertukar tadi pun dipangkunya sampai bayi itu basah atau kencing. Parsuratan ingin mengganti kain
popok adiknya.

Inilah kesempatan bagi Parsuratan. Ketika mengganti kain popok adiknya maka dia berencana untuk
menyelipkan pisau ketika kain itu dipakaikan. Dia pun meminta kain pengganti itu pada Sobosihon.
Namun Sobosihon takut kalau-kalau Parsuratan tahu bahwa bayi yang dipangkunya bukanlah adiknya.
Dia mengatakan pada Parsuratan supaya biarlah ibu yang mengganti kainnya. Akan tetapi karena
Parsuratan tetap berkeras untuk mengganti kain adiknya maka orang banyak pun menyuruh Sobosihon
agar menurutinya.

Saat membuka kain basah bayi yang dipangkunya Parsuratan terperanjat karena bayi yang dilihatnya
bukanlah bayi laki-laki. Merasa niatnya sudah terbaca maka geramlah hatinya dan dia berdiri lalu
melangkahi bayi itu dan berjalan menghampiri Sobosihon dan berkata; “Orang mengatakan bahwa yang
lahir adalah adikku laki-laki tetapi engkau telah menipuku dengan memberi anak perempuan orang lain
untuk aku pangku, inilah bagianmu” Parsuratan menghujamkan pisau tepat di dada dan memotong buah
dada Sobosihon lalu setelah itu lari meninggalkan acara yang dalam keadaan kacau.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Parsuratan tidak berhasil menemukan dan membunuh adiknya tetapi buah dada Sobosihon ibu tirinya
telah menjadi tumbalnya (daupna) maka bayi laki-laki itu diberi nama Mardaup. Demikianlah Mardaup
diselamatkan ‘Nantulang Na Burju’ yang rela menyeberangi danau Toba demi menyampaikan pesan Raja
Si Godang Ulu. Itulah sebabnya sampai sekarang semua keturunan Simanjuntak dari Sobosihon sangat
menghormati keturunan dari Si Godang Ulu yaitu marga Sihotang.

Sobosihon melahirkan bayi perempuan. Kabar ini terdengar ke seluruh penduduk daerah Si Bagot Ni
Pohan. Namun hal ini tidak meresahkan hati Parsuratan sebab dalam tradisi Batak anak perempuan tidak
berhak dalam pembagian warisan. Jadi kelahiran adik tiri yang perempuan ini turut menggembirakan
Parsuratan. Sang bayi diberi nama Si Boru Hagohan Naindo. Selang beberapa tahun kemudian
Sobosihon melahirkan lagi.

Begini ceritanya sehingga sang bayi diberi nama Sitombuk. Tak henti-hentinya Parsuratan mengamati
kehidupan ibu tirinya yang dia anggap bisa mengurangi jatah harta warisan untuknya kelak. Dia bertanya
kepada orang pintar apa jenis kelamin bayi yang akan dilahirkan ibunya. Setelah mengetahui bahwa bayi
laki-laki jawabannya, dia berusaha merancang kecelakaan agar bayi itu tidak bernyawa saat dilahirkan.

Saat ayah dan ibunya tidak berada di rumah, dia bekerja keras untuk memotong kayu penghalang papan
yang ada tepat di sekeliling tiang tengah rumah (tiang siraraisan) dimana setiap ibu rumah tangga yang
hendak bersalin akan menyandarkan badannya di tiang itu dan kain pegangan yang dipakai untuk
bersalin juga digantungkan di situ. Adapun maksud Parsuratan supaya ketika ibunya bersalin kayu
penghalang papan itu rubuh ketika diduduki setelah itu sang bayi akan celaka terhimpit.

Apa yang terjadi? Ternyata kayu itu patah sebelum sang bayi lahir dan tembuslah lantai rumah itu.
Karena kaget setelah tergeletak di kolong rumah, seketika itu melahirkanlah Sobosihon dan bayinya
selamat. Bayi itu diberi nama Sitombuk. Tombus dalam bahasa Indonesia ‘tembus’. Papan lantai rumah
telah tembus dan kejadian itu pulalah yang membuat bayi dilahirkan selamat walau tanpa bantuan dukun
beranak.

Beberapa tahun berikutnya dengan bantuan dukun beranak lahirlah bayi perempuan yang kedua bagi
Sobosihon lalu oleh Raja Marsundung bayi itu diberi nama Si Boru Naompon. Sebelum proses
persalinan Parsuratan telah mengetahui dari orang pintar bahwa adiknya adalah perempuan. Hal ini tidak
menjadi masalah baginya walau ketamakan akan harta warisan masih memenuhi hati dan pikirannya
saat itu.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Rupanya kali ini Parsuratan pergi lagi bertanya kepada orang pintar perihal jenis kelamin adik tirinya yang
akan lahir. Jawaban dan pemberitahuan yang diterimanya bahwa adiknya adalah laki-laki. Dia teringat
akan permintaan orang Batak perihal rumah; “Jabu sibaganding tua, ima hatubuan ni anak dohot boru si
boan tua”. Artinya “Rumah tempat berbagai macam tuah adalah tempat lahirnya putera dan puteri
pembawa tuah”.

Kali ini Parsuratan ingin memusnahkan rumah tempat tinggal ayahnya dan ibu tirinya. Dia sendiri telah
mempunyai rumah setelah menikah dan pisah rumah dari orang tuanya (manjae). Dia hanya mempunyai
seorang anak laki-laki dan dia merasa posisinya kelak terancam jika semakin banyak anak laki-laki yang
dilahirkan ibu tirinya. Inilah yang membuat dirinya selalu ingin berbuat sesuatu untuk melenyapkan setiap
bayi laki-laki dari ibu tirinya.

Waktunya tiba dan Sobosihon akan melahirkan bayinya. Para ibu bersama dukun beranak telah
berkumpul dan memasuki rumah Raja Marsundung. Dari kejauhan Parsuratan mengamat-amati mereka.
Setelah melihat mereka telah masuk ke rumah maka Parsuratan membawa sulutan api. Dia membakar
atap rumah dari bagian dapur. Api menyala dan semua ornag berhamburan keluar rumah termasuk
Sobosihon. Dia panik sambil berteriak api..api..api..api.. Dia pun berpegangan pada batang bambu yang
berada di pinggir pekarangan rumahnya.

Tidak lama kemudian, orang-orang berdatangan ke sana dan berusaha bergotong-royong memadamkan
api. Perhatian orang teruju pada rumah yang mulai terbakar dan pada saat itu pula di bawah pohon
bambu lahirlah anak kelima dari Sobosihon yang kemudian diberi nama Hutabulu karena bayi itu
dilahirkan di bawah pohon bambu di kampungnya.

Walaupun selalu mendapat rintangan namun Sobosihon tetap tabah dalam setiap proses persalinannya
karena Raja Marsundung dan keluarga Somba Debata Siahaan terutama Boru Lubis sangat
memperhatikan dan mengasihinya.
Usia Raja Marsundung kira-kira telah lebih delapan puluh tahun lalu dia meninggal dunia. Kepergian
suaminya sangat membuat hati Sobosihon sedih sementara anak bungsu mereka masih menyusui dan
keempat anaknya yang lain masih belum cukup dewasa.

Bagi suku Batak Toba anak tertua adalah pengganti ayah bagi adik-adiknya. Yang paling kehilangan
sosok ayah hanya anak tertua. Parsuratan menggantikan kedudukan ayahnya dalam segala hal penting
dia menjadi kepala keluarga. Situasi ini dimanfaatkan Parsuratan untuk menguasai semua aspek
kehidupan ibu tiri dan adik-adiknya sehari-hari. Dia selalu bersikap diktator terhadap adiknya terutama
SEJARAH SIMANJUNTAK

yang laki-laki. Namun Sobosihon selalu mengingatkan anak-anaknya agar mereka selalu menghormati
abang tirinya yang adalah pengganti ayah.

Darah Manusia Untuk "Rumah Ukir Darah" (Ruma Gorga=Jabu Parsaktian)


Setelah beberapa tahun ayahnya meninggal Parsuratan memanfaatkan tenaga adik-adiknya untuk
mengusahakan semua kebun dan sawah peninggalan mendiang ayahnya dan dikelola seefektif mungkin.
Perekonomian Parsuratan pun meningkat. Dia kemudian membangun Rumah Ukir (ruma gorga=jabu
parsaktian). Setelah bangunan induk selesai maka proses berikutnya dalam pembangunan rumah ukir
tersebut adalah pembuatan ukiran.

Untuk mengukir relif rumah pada masa itu lazim digunakan darah manusia sebagai campuran pewarna
relif. Hal tersebut agar rumah itu mempunyai semangat atau ada keangkerannya. Mengingat Parsuratan
bukanlah seorang yang kuat dalam berperang maka tidak mungkin baginya mendapatkan darah manusia
dengan cara berperang melawan negeri lain.

Timbullah niat jahat Parsuratan terhadap saudara tirinya. Pada suatu sore dia meliahat kedua adik
perempuannya tampak akrab sebab memang Sipareme sudah gadis dan Hagohan Naindo mulai remaja.
Parsuratan ingin membunuh adik tirinya untuk diambil darahnya sebagai campuran pewarna rumah
ukirnya. Kedua adik perempuannnya ini sering sama-sama tidur dengan Sobosihon ibu mereka.

Hampir setiap malam keduanya menganyam tikar (mangaletek) dan bila sudah larut mereka tidur tanpa
menyalakan lampu. Sedangkan untuk menghindari gigitan nyamuk mereka menutup badannya dengan
tikar (marbulusan). Kebiasaan tidur marbulusan ini sampai sekarang masih dapat kita jumpai di beberapa
daerah di Tapanuli Utara. Demikianlah tiap malam cara kedua gadis ini menghabiskan waktu.

Tentang rencana jahat Parsuratan, untuk membedakan yang mana yang harus dibunuh maka kepada
Sipareme diberikan sebuah gelang yang terbuat dari gading. Konon gelang itu merupakan pusaka
pemberian dari mendiang Boru Hasibuan, ibu kandungnya Parsuratan. Lalu Sipareme pun memakai
gelang itu. Melihat gelang yang sangat putih dan menyala dalam gelap, Hagohan Naindo tertarik akan
gelang itu. Dia meminjam dan kemudian memakainya. Seperti biasanya mereka menganyam tikar
setelah malam tiba mereka tidur marbulusan dan gelang tadi masih di tangan Hagohan Naindo.

Malam itu menjelang subuh datanglah pembunuh bayaran ke rumah Parsuratan dengan membawa
pisau. Parsuratan berpesan pada pembunuh itu bahwa sekarang ada dua gadis yang tidur di rumah
ayahnya dan gadis yang tidak memakai gelanglah yang harus dibunuh. Pembunuh itupun melaksanakan
SEJARAH SIMANJUNTAK

tugasnya kemudian Sipareme dibunuh lalu darahnya ditampung dan diberikan kepada Parsuratan.
Sementara mayat Sipareme dibuang ke lembah yang tak dapat dituruni yaitu yang sekarang terletak di
lembah Sipintu-Pintu (perbatasan antara Balige dengan Siborong Borong).

Matahahari pun terbit dengan air mata dan tangisan Hagohan Naindo karena kakaknya telah hilang.
Demikianlah rencana jahat Parsuratan dimana dia hendak membunuh Hagohan Naindo tetapi yang
terbunuh adalah Sipareme yaitu adik kandungnya satu-satunya.
Melihat tindak-tanduk anak tirinya Sobosihon selalu bersusah hati, apalagi setelah Sipareme diketahui
dibunuh dan darahnya dijadikan campuran pewarna ukiran rumah Parsuratan. Hal ini membuat
Sobosihon jatuh sakit hingga penyakitnya parah. Saat penyakitnya semakin memburuk, dia dikelilingi
kelima anaknya, sedang Parsuratan seperti biasanya pergi ke sawah.

Pesan Sibosihon Boru Sihotang.


Saat itu Sobosihon berpesan :
Jangan lupakan apa yang telah dilakukan oleh abangmu Parsuratan akan tetapi, jangan balaskan
perbuatan jahatnya karena hanya Mula Jadi Na Bolon (Tuhan) sajalah yang akan membalaskannya.
Ingatlah akan hal ini;

      Parsuratan itu adalah abangmu sebagai ganti ayah bagimu, dimana dia duduk janganlah kamu
menghampiri dan jika kamu sedang duduk di suatu tempat kalau dia datang tinggalkanlah dia, karena dia
adalah ganti ayah bagimu yang harus kamu hormati.

     Jangan kamu menyusahkan hatinya walaupun dia menyusahkan kamu, bila kamu sedang menyalakan
api di dapur rumahmu atau dimana saja lalu asapnya terhembus angin ke rumahnya atau ke arah di
mana abangmu berada padamkanlah apimu itu supaya dia tidak mengeluarkan air mata karena asap
apimu walaupun kamu harus terlambat menyiapkan masakanmu.

     Jangan bertengkar dengan abangmu, sebab itu apabila tanamanmu ada yang condong tumbuh
mengarah ke pekarangan rumahnya seumpama tanaman pisangmu sedang tumbuh dan berjantung
maka lebih baik tebang saja itu dari pada setelah buahnya ada lalu diambil oleh anaknya dan kamu tidak
bisa menahan emosimu dan bertengkar.

Setelah menyampaikan pesannya Sobosihon menghembuskan nafas terkahir. Pesan inilah yang
kemudian sampai saat ini terus mewarnai pola hidup dari keturunan Mardaup, Sitombuk dan Hutabulu
SEJARAH SIMANJUNTAK

dan pesan-pesan tersebut sangat dihargai dan dituruti oleh seluruh keturunan Simanjuntak Si Tolu Sada
Ina.
Setelah beberapa tahun Sobosihon meninggal, keluarga Simanjuntak tiga bersaudara satu ibu ini dilanda
kesedihan karena Si Boru Hagohan Naindo gadis yang rupawan ini meninggal dunia dengan cara yang
menyedihkan.

Kematian Siboru Hagohan Naindo


Suatu hari pada musim panen Parsuratan telah menyabit sawahnya dan padinya telah dikumpulkan di
sawah hanya tinggal menunggu dibersihkan dari batangnya saja. Cara membersihkannya dengan
menginjak-injak batang padi yang ada bagian bulirnya (mardege). Untuk mardege biasanya dilakukan
secara bergotong-royong bersama para tetangga di waktu subuh supaya ketika matahari terbit dan panas
menyengat padi yang sudah dilepas dari jeraminya tinggal dijemur dan pada sore hari padi tinggal
dibersihkan dari sekam dengan bantuan angin (mamurpur).

Pada pagi yang naas itu Parsuratan beserta beberapa orang berangkat ke sawah untuk mardege.
Sebelum berangkat dia berpesan pada Si Boru Hagohan Naindo agar menyiapkan makan siang dan
membawanya ke sawah. Makan pagi telah dibawa istri Parsuratan. Sebenarnya ini adalah rencana
jahatnya terhadap adiknya. sebab sesungguhnya bekal makan pagi tidak jadi dibawa ke
sawah. Menjelang siang semua orang yang bergotong-royong bekerja di sawah sudah bersungut-sungut
karena rasa lapar dan mereka berkata; “Dimana adikmu yang akan membawakan makanan pagi ini,
kenapa dia belum datang juga?”.

Sebelumnya Parsuratan mengatakan pada mereka bahwa dia sudah berpesan pada adiknya agar makan
pagi dipersiapkan, namun sebenarnya tidak demikian. Sekira pukul sebelas atau menjelang teriknya
panas matahari (mareak hos ni ari) datanglah Si Boru Hagohan Naindo dengan membawa makanan
tetapi dia disambut dengan caci maki oleh semua orang.

Lalu Parsuratan mengambil hidangan yang dijunjung di atas kepala Si Boru Hagohan Naindo dan
langsung mencampakkan air panas ke wajahnya. Si Boru Hagohan Naindo meraung-raung kesakitan
wajahnya melepuh. Saat itu pula Parsuratan mengambil jerami dan menutupi badan Si Boru Hagohan
Naindo lalu menyulut jerami itu dengan api sehingga Si Boru Hagohan Naindo terbakar hidup-hidup.

Demikianlah Si Boru Hagohan Naindo mati dalam rasa sakitnya yang tak terperikan. Setelah tak
bernyawa dia ditanam tanpa sepengetahuan saudara-saudaranya. Namun, bagaimanapun setiap
perbuatan busuk akan tercium juga baunya. Salah seorang yang mengetahui pembunuhan itu berpihak
SEJARAH SIMANJUNTAK

kepada keturunan Sobosihon dan menceritakannya pada mereka. Hal ini sering membuat puteri (boru)
Simanjuntak yang mengetahui kisah ini merasa sakit hati terhadap Parhorbo Jolo hingga kini.

Kematian Si Boru Hagohan Naindo membuat Si Boru Naompon trauma untuk menjalani hidup tinggal di
Balige. Dia sering menangis mengingat tragedi maut yang dialami kedua kakaknya. Dia meminta pada
ketiga saudaranya agar dia diantar ke daerah Si Raja Oloan ke rumah Raja Si Godang Ulu Sihotang
(Ompungnya). Hal ini membuat ketiga saudaranya terharu.

Muncul persoalan. Siapa yang akan memasak makanan dan mengurus rumah apabila Si Boru Naompon
pergi? Hutabulu berkata pada abangnya; “Bukankah dulu abang Mardaup telah ditunangkan dengan
paribannya sejak lahir?. Sekarang abang ambil saja dia menjadi pendamping abang secepatnya agar ada
yang mengurus rumah dan memasak makanan untuk kita”. Perkataan ini membuka jalan pikiran ketiga
saudaranya dan sekaligus membuka jalan bagi Si Boru Naompon untuk dapat tinggal di kampung
Ompugnya. Lalu mereka berangkat ke sana.

Setelah Si Boru Naompon diantar kemudian ketiga bersaudara ini kembali ke Balige bersama pariban
yang telah menjadi istri Mardaup, yaitu Boru Sihotang cucu Si Godang Ulu yang kemudian melahirkan
tiga orang anak laki-laki:   
1. Na Mora Tano, kemudian menikah dengan Boru Sihotang.
2. Na Mora Sende, kemudian menikah dengan Boru Sihotang.
3. Tuan Si Badogil, kemudian menikah dengan Boru Siagian Pardosi.

Demikianlah kisah pertunangan antara Mardaup dengan paribannya yang sudah dipertunangkan dari
lahir dan kemudian berakhir dengan pernikahan setelah mereka dewasa.
Suatu saat terdengar kabar bahwa di Laguboti ada seorang gadis cantik puteri dari Raja Aruan dan cucu
dari Pangulu Ponggok. Gadis ini sangat pintar menyanyi dan merdu suaranya. Mendengar kabar
itu Sitombuk yang pintar bermain seruling bambu dan menguasai hampir semua lagu yang populer pada
zamannya, datang bertandang ke Laguboti.

Setibanya di sana dia kemudian meniup serulingnya. tanpa diketuk pintu rumah para gadis di Laguboti
telah terbuka untuknya bahkan kadang-kadang mereka datang melihat permainan suling itu dari dekat.
Pilihan si pemuda ganteng ini jatuh pada gadis tercantik dan yang pintar pula menyanyi. Setiap Sitombuk
bertandang ke Laguboti, kehadirannya ini selalu menjadi acara hiburan bagi muda-mudi setempat.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Sitombuk menyampaikan maksudnya ingin mempersunting Boru Aruan pada amang tuanya yaitu Somba
Debata Siahaan dan juga Mardaup abangnya. Sepeninggal mendiang Sobosihon, Parsuratan sudah tidak
perduli lagi terhadap keturunan Sobosihon.
Akhirnya pesta adat sepenuh pun (adat na gok) diadakan untuk memperistri Boru Aruan. Dari pernikahan
ini Sitombuk memperoleh seorang anak laki-laki bernama Raja Mangambit Tua.

Puteri dari Raja Marsundung yang hidup hanya Si Boru Naompon. Dia tinggal bersama ompungnya di Si
Raja Oloan. Suatu kali pada musim panen Mardaup dan Sitombuk sepakat untuk mengutus Hutabulu
berangkat ke rumah ompung mereka menjemput Si Boru Naompon menggunakan sampan kecil (solu
pardengke).
Tugu Sobosihon boru Sihotang
Kemudian Hutabulu tiba di rumah ompungnya dengan selamat. Dia memberitahukan bahwa maksud dan
tujuannya untuk menjemput Si Boru Naompon. Lalu Si Boru Naompon diberangkatkan oleh Tulang dan
ompungnya dengan acara makan khusus disertai doa agar kiranya Si Boru Naompon segera
menemukan jodoh (sirongkap ni tondi). Setelah itu berangkatlah mereka berdua menuju Balige.
                                                                                                                                               
Dalam perjalanan menggunakan sampan di danau Toba yang luas angin berhembus kencang. Hutabulu
berusaha mengayuh dayungnya agar sampan bergerak menuju arah yang dikehendaki. Tiba-tiba
dayungnya patah dan hanyut terbawa ombak. Dalam keadaan terombang-ambing sampan itu mengikuti
arah angin dan untuk menenangkan keadaan Si Boru Naompon bernyanyi; “Ue..luahon ahu da parau,
ulushon ahu da alogo manang tudiape taho, asalma tu topi tao”. Mendengar ada suara wanita bernyanyi,
seorang pemuda yang sedang berada di tengah danau Toba dekat bagian pantai Marom langsung
mengayuh sampannya menuju sumber suara itu.

Setelah mendekatkan sampannya dia melihat ada dua orang dalam sebuah sampan dan mereka tidak
mempunyai dayung. Setelah mengetahui bahwa keduanya bersaudara maka pemuda itu (Na Mora Jobi
Sirait) membawa mereka ke Marom dan beristirahat satu malam di sana. Keesokan harinya dengan
dayung baru serta dipandu Na Mora Jobi Sirait, mereka bertolak dari Marom menuju Balige. Inilah
pertemuan antara Si Boru Naompon dengan Na Mora Jobi Sirait dan dengan senang Na Mora Jobi Sirait
mengantar sampai ke Balige.

Beberapa hari kemudian mereka berdua sepakat untuk menikah. Na Mora Jobi Sirait pun pulang dan
memberitahukan hal itu pada orangtuanya yang sudah melihat kecantikan Si Boru Naompon. Dengan
senang mereka setuju dan mendukung permintaan puteranya lalu berangkat melamar Si Boru Naompon.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Parsuratan sudah semakin tua dan jika hendak pergi kemana-mana dia enggan pergi sendirian. Kadang-
kadang dia membawa anak tunggalnya kalau bepergian tetapi sering juga bersama adik tirinya yang
masih lajang yaitu Hutabulu. Suatu saat Parsuratan pergi dan Hutabulu ikut serta sebagai pembawa
kantongan (sitiop hajutna). Mereka berjalan mengikuti jalan setapak naik turun lembah.

Tipu Muslihat (Parsuratan) versus Akal (Hutabulu)


Ketika mereka berjalan didataran tinggi Silangit tiba-tiba Hutabulu melihat segumpal benda jatuh dari atas
dan dikerjarnya ke depan lalu ditangkap menggunakan ulos hande-handenya kemudian
dibungkusnya. Parsuratan melihat adiknya berlari dan berkata; “Adikku, benda apa yang tadi kamu
tangkap?”. Sahut adiknya; “Abang yang kuhormati, aku belum tahu apa yang kutangkap dan bungkus ini,
tetapi aku akan membukanya dan memberitahukan apa isi ulosku ini pada abang apabila kita sudah
kembali ke kampung kita, asalkan abang berjanji akan membagikan harta peninggalan mendiang ayah
kita”. Tanpa pikir panjang Parsuratan pun setuju.

Sebenanrnya Mardaup dan Sitombuk tidak pernah berani meminta bagian harta warisan pada abang
mereka. Setelah kembali ke kampung Hutabulu menceritakan pada kedua abangnya tentang apa yang
dia katakan pada abangnya dalam perjalanan dan juga tentang janji abangnya yang akan membagi harta
warisan. Tibalah waktunya, tua-tua kampung diundang datang berkumpul menyaksikan pertemuan itu.
Hutabulu menyatakan maksudnya pada kumpulan tua-tua itu (ria raja). “

Karena ada sesuatu yang jatuh dari atas dan kutampung lalu kubungkus dengan ulos hande-handeku
dan ini terjadi dalam perjalanan aku dan abang yang kuhormati sewaktu di Silangit. Abang kami ini ingin
mengetahui apa isi dari bungkusan ini yang aku sendiri juga belum tahu. Namun abang yang kuhormati
ini telah berjanji akan memberikan bagian warisan peninggalan mendiang ayah kami apabila aku
menunjukkan dan membagi benda yang akan kita lihat ini”. Perkataan tersebut dibenarkan oleh
Parsuratan dan disaksikan oleh semua orang yang berkumpul di halaman rumah Raja Marsundung ayah
mereka.

Maka dihadapan para tua-tua Hutabulu membuka bungkusan hande-handenya itu dan tampaklah abu
bekas sarang burung yang terbakar didalamnya. Setelah Parsuratan melihat dia mengatakan bahwa
bukannya dia tidak mau membagi warisan dan kemudian dia berkata; “Tunggu kalianlah dapat dulu dua
bulan”. Lalu kumpulan pun bubar dengan kesimpulan bahwa setelah dapat waktunya dua bulan baru
akan ada pembagian warisan.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Dua bulan kemudian Hutabulu mengumpulkan tua-tua kampung untuk melakukan ria raja. Di hadapan
ria Parsuratan berkata pada adiknya; “Mana bulan yang sudah kamu dapat, sudahkah ada dua?”. Semua
yang mendengarnya heran ternyata maksud dari ucapan Parsuratan pada ria raja sebelumnya bukanlah
mengenai tenggang waktu dua bulan, tetapi tentang mendapatkan dua buah bulan. Maka ria raja berakhir
dengan mengecewakan pihak tiga bersaudara seibu.

Dua minggu kemudian malam harinya ketika posisi bulan persis berada di atas di langit, pergilah
Hutabulu ke sumur tempat dimana dulu mendiang ayahnya biasa mandi. Dia menatap ke permukaan air
dalam sumur dan melihat bayangan bulan di situ. Segera dia bergegas menjumpai kedua abangnya dan
mengatakan bahwa dia baru saja menemukan dua buah bulan. Dengan rasa was-was kedua abangnya
dan Hutabulu kembali mengundang tua-tua kampung. Setelah semuanya hadir termasuk Parsuratan lalu
Hutabulu berdiri dan berkata;

“Amang raja na liat na lalo, lumobi di ho angkang raja na malo, didokhon ho dung dapot dua bulan asa
lehononmu parbagianan sian na pinungka ni amanta na hinan. On pe saonari ba nunga dapothu be alus
ni hatami raja bolon. Betama hita tu parmualan paridian ni amnta an”. Artinya; “Bapak-bapak sekalian
kumpulan yang terhormat, amat terlebih abang yang kuhormati, kamu berkata setelah dapat dua buah
bulan barulah kamu memberikan warisan dari mendiang ayah kita dan kini aku sudah menemukannya.
Marilah kita bersama-sama pergi ke sumur tempat madi ayah.

Seluruh yang hadir di situ berjalan menuju sumur. Setibanya di sana Hutabulu menunjuk ke permukaan
air didalam sumur dan terlihat ada bayangan bulan di situ, kemudian dia menunjuk ke arah atas dimana
juga terlihat ada bulan.
Akhirnya Parsuratan tidak dapat lagi mengelak dan dilakukanlah pembagian warisan setelah mereka
kembali ke halaman rumah. Lalu kemudian Parsuratan berkata; “Sekarang di hadapan tua-tua aku akan
membagi warisan peninggalan orang tua kita”. Beginilah pembagiannya:
1.     Mengenai sawah, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka tanah persawahan yang pertama
dialiri air adalah milikku dan karena ibu kita dua orang, maka tanah akan dibagi dua luasnya.
2.     Mengenai semua kerbau milik mendiang ayah kita, karena aku adalah anak dari istri pertama ayah, maka
paha depan (parJolo) setiap kerbau merupakan bagianku, sedangkan paha belakang adalah bagian
kamu bertiga anak istri ayah yang kemudian (parpudi).

Pembagian warisan itu ditetapkan di hadapan tua-tua kampung dan tidak ada seorang pun yang
berbicara menentang pembagian itu. Adapun lokasi sawah di kampung Parsuratan terletak di hulu
sumber air (Aek Bolon) yang mengairi persawahan di daerah itu, sedangkan sawah di kampung Hutabulu
SEJARAH SIMANJUNTAK

berada di hilir. Mengenai pembagian warisan ternak, di kalangan masyarakat Batak Toba bila hendak
membagi ternak berkaki empat, maka ternak itu dibagi dua dan selalu dibagi menjadi sebelah-sebelah
(sambariba). Namun Parsuratan membagi dengan cara paha depan (parJolo=Jolo) dan paha belakang
(parpudi=pudi).

Hal ini sangat aneh dan dibalik keanehan itu sebenarnya Parsuratan telah mengantisipasi ke depan
supaya hanya dia yang selalu memanfaatkan tenaga kerbau untuk membajak sawah dan menarik pedati
makanya dia membagi dengan cara yang demikian.
Jadi karna hanya satu-satunya peristiwa pembagian kerbau yang demikian anehnya, maka orang
kebanyakan sejak saat itu mengejek dengan sebutan ‘Parhorbo Jolo’ terhadap Parsuratan dan
keturunannya. Sedangkan kepada sitolu sada ina (ketiga bersaudara seibu), orang menyebut mereka
dengan ‘Parhorbo Pudi’. *******

I.  KISAH KETURUNAN MARDAUP.
Source ; pembanding http://simanjuntak.or.id     
                                                                                                  

Source ; diceritakan oleh Djalaluddin Simanjuntak M.13. Tg.Morawa, Medan.

Mardaup memiliki dua orang anak yang kaya raya di jamannya (Namora Tano dan Namora Sende).,
sementara anaknya yang ketiga Sibadogil diharapkannya untuk mengikuti kedua jejak abangnya. Akan
tetapi kebalikannya ia terima. Sehingga setelah kematiannya Sibadogil memisahkan diri dari kedua
abangnya.

1. Namora Tano, di jamannya dahulu kala, ia memiliki tanah yang sangat luas di sigumpar, bahkan
karena luasnya tanahnya sehingga banyaklah orang mengerjakan tanahnya dengan sistim bagi hasil
(mamola pinang) kepadanya. Bahkan penduduk diluar pinggiran sigumpar juga mamola pinang
kepadanya, karena bukan hanya tanah sigumpar saja yang dikuasainya, tapi diluar sigumpar juga
demikian. Demikianlah Ia digelari Namora Tano, karena luasnya tanah yang dimilikinya.

2. Namora Sende, bersamaan dengan itu pula, Ia mengikuti jejak langkah kesuksesan abangnya, tapi
dengan versi yang berbeda, Ia memiliki beberapa kerbau, dan kerbaunya disewakannya ke orang lain
untuk membajak sawah, disamping itu Ia juga melakukan pinjam-meminjamkan uang (pa-
anakkon hepeng=sen), sehingga lama kelamaan sen=uangnya sangat banyak, dan untuk memanggil
namanya agar lebih mudah digelarilah dia Namora Sende (sen=uang). Bahkan karena banyaknya
uangnya, iapun menyimpanan uangnya di poti eme (lumbung padi).
SEJARAH SIMANJUNTAK

3. Sibadogil, Adalah anak siampudan (bungsu)  dari Mardaup, Ia sangat dimanjakan bapaknya,


sehingga ia tidak sepintar dan setangguh kedua abangnya. Ahirnya kerjanya hanya membuat onar
(mandogili), baik terhadap keluarga maupun orang lain, sehingga digelarilah ia Sibadogil. Sepeninggal
Mardaup adiknya Ia tidak mendapat porsi lagi dihati kedua abangnya, bahkan berbalik
membencinya, sehingga ia pergi berpetualang ke sipahutar dan menetap lalu berketurunan disana
hingga ahir hayatnya.
Akan tetapi sepeninggal Namora Tano dan Namora Sende, keturunannya tidak sehebat mereka, yang
pada ahirnya tanah yang luas dan uang yang banyak menjadi ludes, akibatnya kehidupan merekapun
berbalik kebawah, sehingga banyak generasinya eksodus ke sipahutar dan onan runggu.

II.  KISAH KETURUNAN SITOMBUK.
Source ; diceritakan oleh Martohap Simanjuntak.S.15, Asal Onan Runggu, domisili Cimahi, Bandung.

Anak Sitombuk ada tiga orang dukun (datu), datu dahulu kala ada dua pengertian ada datu pengobati
dan ada pula datu penujum. Dalam hal ini datu dari anak Sitombuk bukan datu pengobati, tapi dia lebih
dikenal dengan datu penujum  

1. Datu Pijor, dikenal orang, karena ia seorang datu yang mampu memadukan kemampuan kedua datu
yang saling berseteru (mamijor=Pijor=Patri=menyambung dan memutus). Juga ia mampu
merenggangkan orang-orang disekitarnya termasuk orang lain.

2. Datu Dolok, Ia mampu mengetahui (yang tidak diketahui dukun lain). Ia digelari datu dolok, karena
kampungnya (hutana) didataran yang lebih tinggi (dolok). Dan untuk mempermudah pemanggilannya,
lama kelamaan disebutlah ia Datu Dolok.

3. Tuan Guntar, Ia digelari  orang Tuan karena ia gemar belajar, dan pada saat itu para cerdik pandai
digelari Tuan dalam bahasa melayu artinya yang berkemampuan, yang berkepintaran, yang diper-
tuan. Tuan guntar memang gemar belajar.

4. Datu Silo, Penamaan Datu Silo, disamping ia sebagai datu, tapi perawakannya bercahaya (silo),
sehingga ia digelari Datu Silo. Kemampuan Datu Pijor, Datu dolok dan Datu Silo tidak jauh berbeda,
karena sumber ilmu mereka sama.  Datu di jaman dahulu merupakan ranking hidup yang sangat dicari
orang, karena dengan dasar itu pula ia akan dikenal dan dihormati orang.

5. Pande Aek, Ia digelari Pande aek karena pekerjaannya sebagai penambak ikan sawah, sawah dan
tambak ikannya tidak pernah kekurangan air karena ia ahli menampung dan mendistribusikannya
SEJARAH SIMANJUNTAK

sehingga ikannya gemuk-gemuk. Di jamannya orang hanya membuat jalan air dari selokan (bondar)
biasa saja, yang sewaktu-waktu mudah rubuh karena diinjak binatang atau karena luapan air dsb. Tapi
sebaliknya Ia mampu membuat saluran air dari; tandiang (sejenis pohon pakis) dan bagot (enau) yang
tengahnya sudah dilubangi, lalu ditanamnya seperti pipa. Dan hampir tidak banyak orang tau darimana
asalnya air ketambaknya. Sehingga Ia dinamai Pande Aek, karena kepandaiannya membuat saluran
air ke tambak ikan dan sawahnya.

III.  KISAH KETURUNAN HUTABULU


(Source ; diceritakan oleh Cyrus Jala Simanjuntak (1902-1975) dan Pdt.Ev. Saitun Roberth Hasiholan Simanjuntak (1946-2006)

Adapun Hutabulu sejak remaja sering berkunjung ke daerah Si Raja Oloan ke rumah Ompungnya (Si
Godang Ulu Sihotang) baik itu karna mengantar jemput itonya (Si Boru Naompon) maupun hanya
sekedar bertandang ke sana.
Suatu ketika dia melihat seorang Boru Tulang yang sangat cantik dan boleh dikatakan gadis tercantik di
seluruh daerah Si Raja Oloan. Kemudian karena Hutabulu memang seorang pemuda pintar (simak kisah
bagaimana ketika dia menghadapi abang tirinya, dia selalu tampil piawai dalam pemikiran dan
pembicaraan) dan hal ini terdengar sampai ke daerah Si Raja Oloan. Boru Tulangnya tadi sudah pernah
berkunjung ke Balige, yaitu ke tempat amang borunya (ayahnya Hutabulu). Jadi merupakan pilihan yang
tepat jika Hutabulu mempersunting paribannya itu menjadi istrinya.

1. Raja Odong
Suatu saat sewaktu suami istri Hutabulu dan Boru Sihotang duduk-duduk di depan rumahnya,
melintaslah seorang yang buruk rupa dan Boru Sihotang menyeletuk; “Jelek sekali orang ini seperti beruk
aku lihat” (versi Toba; “Roa nai jolma on songon bodat huida”). Perkataan itu kedengaran oleh orang tadi
dan dia membalas; “Aku kamu bilang seperti beruk?. Biarlah lahir anakmu yang seperti beruk!” (versi
Toba; “Ahu didok ho songon bodat? Ba sai tubuma anakmu na songon bodat!”). Pada saat itu Boru
Sihotang sedang mengandung anak pertamanya dan perkataan orang tadi selalu mengiangiang di
telinganya.

Pada waktu akan melahirkan Boru Sihotang Na Uli pernah bermimpi ada seorang tua datang padanya
dan mengatakan bahwa yang akan lahir darinya adalah bayi laki-laki yang memiliki kesaktian sebab itu
tidak perlu kuatir atau kecewa apabila nantinya ada yang agak berbeda pada tubuhnya. Mimpinya ini
diberitahukan pada suaminya dan mereka berdua merasa was-was menantikan kelahiran anak pertama
mereka.
Tibalah harinya, setelah bersalin diketahui bahwa sang bayi memiliki bentuk tulang punggung lebih
panjang sekitar satu jari telunjuk dari bokongnya tampak seperti ekor yang pendek.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Dan saat itu Hutabulu melirik keluar jendela rumahnya, tampak ada seorang tua berdiri di halaman
rumahnya dan berkata; “Hei bapak, jangan bersusah hati karena anakmu itu adalah seorang anak
sakti” (versi Toba; “He amang, unang ho marsak alana anakmi nahasaktian”). Setelah berkata demikian
orang itu berubah menjadi londok dan langsung memanjat pohon enau kemudian hilang di antara
pelepah enau. Hutabulu spontan berteriak; “Raja Hodong..Raja Hodong....versi Toba; Raja Odong (“Raja
Pelepah..Raja Pelepah..Raja Pelepah..”). Setelah peristiwa itu bayi pertama itu pun diberi nama Raja
Odong. Secara fisik Raja Odong sangat tampan rupanya sebab ibunya cantik dan ayahnya tampan dan
gagah.

Raja Odong makin bertambah besar dan pada waktu dia belajar duduk ayahnya membuatkan bangku
pendek yang ditengahnya dilubangi tempat tulang Raja Odong yang seperti ekor itu. Tidak banyak orang
yang mengetahui keanehan ini karena masa itu belum ada celana. Pakaian orang Batak adalah ulos
yang dililitkan menutupi badan yang disebut heba-heba.

Setelah beberapa tahun kemudian istri Hutabulu kembali mengandung dan selama mengandung dia
selalu memohon tuah agar Mula Jadi Na Bolon (Tuhan) memberikan seorang anak laki-laki lagi tetapi
yang tidak mempunyai keanehan. Doanya pun terkabul dan lahirlah seorang anak laki-laki yang rupanya
sama persis seperti abangnya. Bahkan setelah dewasa kedua anak Hutabulu ini sama besarnya dan
banyak orang menyangka keduanya adalah saudara kembar.

Begitu lahir dan ternyata bayinya laki-laki maka dia diberi nama Tumonggo Tua (arti luas; Apa yang
diminta pasti terkabul; ‘Mendapat tuah melalui doa’). Setelah kedua anak ini semakin dewasa mereka
kelihatan tampan dan gagah melebihi ayah mereka. Banyak gadis yang tertarik dan jatuh cinta pada
mereka. Tetapi apabila berkenalan lebih jauh dengan keduanya maka akan diketahui bahwa Raja Odong
memiliki perbedaan dengan adiknya Tumonggo Tua.

Setelah sekian lama saling mencinta dengan Boru Sihotang paribannya, Tumonggo Tua ingin segera
menikah. Namun orang tuanya menganjurkan kalau dia boleh menikah setelah abangnya menikah. Satu-
satunya cara agar Tumonggo Tua dapat segera menikah adalah dengan mencarikan seorang calon istri
bagi abangnya. Lalu berangkatlah Tumonggo Tua dengan sampan ke pulau Samosir. Di sana konon
banyak gadis yang sampai berumur tua belum menikah karena ketatnya hukum bersaudara. Bagi
kesatuan marga keturunan Naiambaton yang banyak bermukim di Samosir sampai sekarang masih
tetap mempertahankan tradisi tidak boleh saling menikah antar sesama keturunan marga-marga Nai
Ambaton.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Selama diatas sampan dalam perjalanannya Tumonggo Tua selalu memohon kepada Mula Jadi Na
Bolon supaya dia bertemu dengan seorang gadis cantik untuk dilamar menjadi kakak ipar (angkang
boru). Ketika berada di tengah danau Toba tiba-tiba angin bertiup kencang sekali (alogo halisuksung) dan
menghantam sampannya hingga sampannya hancur. Dia mencoba sekuat tenaga berenang mencapai
daratan dan berhasil. Setelah berada di tepi danau Toba dia tak sadarkan diri dan pingsan.

Ombak berdebur laksana irama musik yang menyambut kedatangan Tumonggo Tua di situ di daerah
Lontung, yaitu di Muara (sekarang persis di tempat pemandian Puteri Raja Sianturi). Dia terbaring hingga
sore hari dia ditemukan oleh Si Boru Uli Basa Boru Sianturi yang hendak mengambil kain cucian yang
dijemur di tepi danau. Setelah melihat pemuda tampan itu Boru Uli Basa berkata;

“Kalau kamu memang manusia, siapakah namamu? Kalau kamu seorang yang memiliki kesaktian
maafkan aku tidak bermaksud menggangumu, tetapi kalau kamu manusia aku mau mendampingimu
seandainya kamu membawaku pergi bersamamu dan aku menjadi istrimu” (versi Toba; “Molo na jolma do
ho paboa ise goarmu. Molo na martua-tua do ho unangma muruk ho tu ahu ala ndang na manggugai ho
ahu, alai molo jolma do ho olo do ahu mandongani ho aut tung olo ho mamboan ahu tu hutam gabe
inantam”).

Samar-samar perkataan itu didengar oleh Tumonggo Tua yang mulai siuman. Lalu dia mulai membuka
matanya perlahan dan melihat ada seorang gadis cantik jelita di sebelahnya. Dia langsung mengucek
matanya seakan tidak percaya akan apa yang dilihatnya kemudian dengan suara pelan dia berkata;
“Apakah ini mimpi aku berada di sebelah puteri yang cantik. Sekiranya bukan mimpi apa gadis ini mau
kalau aku membawanya menjadi menantu orang tuaku? (versi Toba; “Na marnipi do ahu nuaeng di
lambung ni si boru na uli basa? Aut sura na so marnipi do ahu oloma nian boanonhu gabe parumaen ni
damang dohot dainang”).

Mendengar ucapan itu Boru Uli Basa langsung memegang tangan Tumonggo Tua lalu membangunkan
nya dan menuntun dia berjalan menuju rumah orang tua Boru Uli Basa sebab hari sudah sore.
Sesampainya di rumah, keluarga Boru Uli Basa bergembira kedatangan tamu seorang pemuda yang
tampan dan gagah. Dalam percakapan dengan orang tua Boru Uli Basa, Tumonggo Tua
memperkenalkan diri dan menjelaskan bahwa dia adalah cucu Raja Marsundung Simanjuntak dan anak
Hutabulu dari Balige. Dia juga menjelaskan bagaimana dia bisa ada di sana dan apa maksud dari
perjalanan jauhnya itu.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Mendengar penjelasan itu Boru Uli Basa merasa gembira dalam hatinya dia terpikat akan ketampanan
Tumonggo Tua. Setelah beberapa hari tinggal di daerah Lontung tejadi pembicaraan antara Tumonggo
Tua dan Boru Uli Basa yang intinya tentang kesediaan Boru Uli Basa agar menjadi menantu bagi orang
tua Tumonggo Tua. Jawaban dari Boru Uli Basa sangat jelas, yaitu dia mau dan bersedia. Akan tetapi
sebaliknya apabila Tumonggo Tua mendapat pertanyaan yang sama dia tidak menjawab secara jelas
bersedia namun dia menjawab pertanyaan itu dengan perkataan; “Tatap wajahku dan perhatikanlah
langkahku serta ketahuilah maksud kedatanganku” (versi Toba; “Berengma bohiku jala parateatehonma
pardalanhu huhut antusima sangkap ni haroroku”).

Boru Uli Basa memang calon menantu Hutabulu tetapi bukan untuk menjadi istri bagi Tumonggo Tua.
Memang Raja Odong dan Tumonggo Tua sangat mirip seperti saudara kembar disegala-galanya baik
dilihat dari rupa, cara berjalan bahkan juga cara berbicara dan dari suara semuanya sama. Sangat sulit
membedakan keduanya kecuali ini; Raja Odong memiliki kelebihan tulang belakang sepanjang jari
telunjuk. Perbedaan mereka ini dirahasiakan Tumonggo Tua demi harapan dia bisa direstui menikah
setelah abangnya menikah.

Setelah berjanji bahwa mereka akan kembali bertemu, Tumonggo Tua pamit dengan keluarga Boru Uli
Basa untuk pulang ke Balige dan nanti dia akan kembali datang bersama orang tuanya melamar Boru Uli
Basa.
Setibanya di Balige Tumonggo Tua menceritakan perjalanannya kepada abang dan orang tuanya.
Kemudian mereka menyusun rencana:
  Tumonggo Tua dan orang tuanya segera melamar puteri Raja Silala Lasiak yaitu Boru Uli Basa dan
selama mereka di sana sepanjang pembicaraan tidak boleh memanggil Tumonggo Tua dengan namanya
tetapi dengan nama Simanjuntak.
  Pesta pernikahan diadakan di rumah pihak pengantin wanita (dialap jual) dan yang mendampingi Boru Uli
Basa dalam acara adat sepenuh itu (ulaon na gok) adalah Tumonggo Tua hingga dalam perjalanan di
danau Toba sampai Balige. Bila sudah tiba di dermaga maka Tumonggo Tua turun dari perahu besar
(solu bolon) dan mengikatkan tali perahu di dermaga. Bersamaan dengan itu Raja Odong sudah siap dan
sesuai tanda Raja Odong langsung menggantikan posisi adiknya naik ke perahu untuk menuntun Boru
Uli Basa dan seterusnya mendampinginya menjadi suami bagi Boru Uli Basa.
  Pakaian yang dikenakan kedua abang beradik ini harus dibuat sama persis. Setelah mengikatkan tali
perahu di dermaga maka Tumonggo Tua harus menghilang untuk sementara waktu dan pergi ke daerah
Si Raja Oloan dan tinggal di sana di rumah Tulangnya sampai Boru Uli Basa melahirkan anak
pertamanya bagi Raja Odong.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Setelah rencana itu disepakati maka ditentukanlah kapan mereka akan berangkat. Rencana pun
dilaksanakan dan pesta pernikahan meriah di daerah Muara berlangsung mulus sesuai rencana. Setelah
itu mereka bertolak pulang menuju Balige melalui danau Toba. Sesampainya di dermaga di Balige yaitu
tepatnya di Lumban Bul Bul sekira jam tujuh malam dan keadaan seperti ini dalam bahasa Batak Toba
disebut urngum (jarak pandang mata tidak lagi memungkinkan melihat orang di kejauhan).

Di dermaga Raja Odong telah menunggu kedatangan rombongan keluarganya bersama Boru Uli Basa.
Setelah perahu besar itu tiba dan merapat ke dermaga, turunlah Tumonggo Tua untuk mengikatkan tali
perahu lalu langsung pergi menghilang di kegelapan dan kemudian Raja Odong langsung naik ke perahu
menjemput Boru Uli Basa serta berjalan berdampingan sampai ke rumah Hutabulu. Malam itu diadakan
acara penyambutan (pangharoanion). Mulai saat itu Raja Odong yang mendampingi Boru Uli Basa,
sedangkan adiknya sudah pergi sesuai rencana ke rumah Tulangnya.
Begitulah kisah pernikahan Raja Odong dengan Boru Uli Basa Boru Sianturi sehingga ada sindiran
seperti ini:
“Raja Odong papiu piu tali, tali ijuk sian bagot. Anggina manandangi, alai ibana diharoani jala mandapot”

Pekerjaan sehari-hari Raja Odong adalah memintal tali yang dibuat dari ijuk pohon enau. Konon pada
masa itu, tali buatan Raja Odong ini paling baik kualitasnya dan harga jualnya tinggi di pasar Balige dan
Laguboti bahkan sampai ke Porsea dan Siborong Borong. Raja Odong selalu duduk di bangku khusus
yang berlubang di tengahnya dan kemanapun dia pergi bangku itu selalu dibawanya.

Sejak menikah dengan Raja Odong, Boru Uli Basa tidak pernah bekerja di sawah. Pekerjaannya adalah
menggembalakan kambing. Ternak kambingnya gemuk-gemuk dan jika beranak sering sampai tiga atau
empat sehingga keluarga Raja Odong memiliki banyak sekali ternak kambing.
Kemudian bayi pertama lahir bagi keluarga Raja Odong dan anak pertama mereka ini diberi nama Raja
Bolak Hambing (Raja Parhambing). Demikianlah seterusnya mereka dikaruniai tujuh orang anak laki-laki:
1. Raja Bolak Hambing (Raja Parhambing)
2. Tuan Nahoda Raja
3. Maharia Raja (Mangorong Bahut)
4. Raja Marleang (Marleang Bosi)
5. Raja Manorhap (Raja Situnggal)
6. Raja Maega; Gelar Ompu Toga Oloan
7. Sitingkir Ulubalang; Gelar Partahi Oloan (Datu Malela)
SEJARAH SIMANJUNTAK

Namun sampai sekarang baru keturunan Raja Parhambing dan Tuan Nahoda Raja saja yang sudah
mengetahui bahwa mereka adalah keturunan dari Raja Odong.
Tentang Tumonggo Tua, setelah berita kelahiran anak pertama Raja Odong abangnya sampai
kepadanya, betapa bahagianya dia dan paribannya. Lalu setelah mendengar kabar baik itu mereka
berdua datang berkunjung ke Balige dan memastikan bahwa rombongan Hutabulu akan pergi melamar
Boru Sihotang (pariban Tumonggo Tua tersebut).

2. Tumonggo Tua  
(Source : St. Sudin Simanjuntak, H.17,  S.Datu, Lobutua-Hutabulu, Tahun 1980 dan Kasmin Nelson
Simanjuntak, H.15, S.Pati, Lobutua-Hutabulu, Th 1990).

Mendatangkan Hujan
Tumonggo tua adalah anak kedua dari Hutabulu, didalam kelahirannya dia dikaruniai keanehan “Na Tuk
Marpangidoan” (segala yang diminta/dimohonkannya kepada Sang Pencipta akan dikabulkan), sehingga
dia digelari orang disekitarnya Oppu Tumonggo Tua. Keanehan itu diketahui orang pada awalnya dikala
suatu ketika terjadi musim kemarau yang berkepanjangan. Hampir semua orang telah bermigrasi ke
arah Tebing Tinggi (Sumatera Timur), sawah sudah pada kering, tanaman ladang sudah pada mati,
kebakaran pinus telah terjadi setiap saat, hamparan pakis (sampilpil) juga sudah pada terbakar,
bahkan penduduk sudah mendekatkan huniannya di sekitar danau toba, agar dekat ke sumber air, akan
tetapi air sudah makin dangkal (bercampur lumpur), binatang-binatang disekitar danau toba sudah saling
berebut air, bahkan bangkai-bangkai binatang tergeletak di sana-sini (sekitar danau), sehingga sangat
sulit bagi manusia untuk hidup disekitar danau.

Ahirnya disepakatilah untuk bermigrasi, karena sudah tidak ada harapan hidup lagi, persediaan makanan


sudah makin menipis. Di malam hari ibu Tumonggo Tua berbincang dengan suaminya Hutabulu seraya
berkata; Kalaupun kita berangkat besok migrasi ke Angkola, persediaan makanan kita tidak mencukupi,
dan kita semua akan mati juga diperjalanan, sebaiknya kalian para lelaki saja dulu pergi ke
sana untuk mengambil makanan dan pulang lagi kesini kata ibu Tumonggo Tua. Kebetulan pembicaraan
itu didengar oleh Tumonggo Tua, maka Ia pun sedih, didalam hatinya hal itu benar adanya.

Tiba-Tiba Tumonggo Tua menyeletuk ke ibunya; Ibu sebelum ayah dan para lelaki dewasa pergi besok
pagi, alangkah baiknyalah kita melakukan Ritual Doa Dulu kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan), supaya
mereka selamat diperjalanan dan tiba ke tujuan. Baiklah kata ibunya. Tibalah besok paginya Tumonggo
Tua pun mengambil salapa (piring besar), iapun lalu mengisi beras tiga genggam; selanjutnya disamping
kanan beras di letakkannya daun sirih tujuh lembar;  disamping kiri beras diletakkannya buah pinang lima
SEJARAH SIMANJUNTAK
biji beserta daun pinang. Selanjutnya diletakkannya lagi  semangkuk Aek sitio-tio (air putih) di sebelah
(samping) kanan salapa. Semuanya ditaruhnya diatas batu yang tinggi.

Setelah itu Ia berdoa dengan kedua tangan menengadah keatas dan memohon kepada Mulajadi Nabolon
supaya hujan turun dan kehidupan berjalan normal sebagaimana sedia kala. Tidak lama setelah selesai
Ia Martonggo, matahari redup tertutup oleh awan dibawa angin, gemuruh saling bersahutan, mendung
tiba, sillam (petir) saling bersahutan. Tepat di sore hari hujan es (ambolas) datang, dan berlanjut ke hujan
biasa, lamanya hingga sembilan hari. Orang-orang disitupun sangat bergembira, karena ikan-ikan, hewan
binatang yang tadinya belum mati pada berkeluaran, sehingga kematian tidak terjadi karena sudah ada
ikan-ikan dan binatang yang dapat dimakan. Berita kesaktian Tumonggo Tua dengan cepatnya menyebar
ke setiap orang. 

Menyembuhkan penyakit kusta (aji si turtur) sekampung


Beberapa tahun kemudian terjadilah penyakit sampar Kusta (aji si turtur), banyaklah orang yang telah
berpatahan jari-jari tangan dan kakinya. Saling tuduhpun terjadi antar sesama, bahwa ada pangarasun di
kampung mereka. Kegaduhanpun terjadi selama beberapa tahun. Penyakit itupun dianggap penyakit
kutukan karena saat itu medis belum berfungsi sebagaimana sekarang ini. Sudah tujuh kali panen (7
tahun; karena sekali panen padi hanya sekali setahun) penyakit itu berlangsung. Masyarakat sudah
pasrah akan nasib mereka.
Suatu malam tiba-tiba ada seseorang berkata kepada temannya bahwa ia pernah menyaksikanakan
perbuatan Tumonggo Tua dikala mendatangkan hujan, temannyapun menyambut pembicaraannya lalu
mereka saling mengingat dan membenarkan hal itu.

Esok harinya datanglah beberapa orang mendatangi rumah Hutabulu seraya berkata; Bapak kalaulah
kiranya diperkenankan kami untuk bermohon, agar penyakit kutukan ini hilang dari kampung ini, agar
sudilah kiranya Tumonggo Tua bermohon kepada Mulajadi Nabolon supaya tidak terjadi lagi
kesengsaraan di kampung ini. (Bhs Toba; Molo tung siat nian pangidoan, asa dibahen anak niba ma nian

pangidoanna tu Mulajadi Nabolon, anggiat angka mara , sitaonon na adong di hutaon asa dipamago ma
nian). Dengan rasa tersentak Hutabulu tidak menghendaki anaknya sebagai Datu (Dukun), dan
menyatakan kepada mereka yang datang ke rumahnya; anak saya bukan dukun dan dia tidak
mempunyai kemampuan untuk itu. (Adapun maksud Hutabulu karena Dia tidak mau anaknya di perolok-
olok orang apabila tidak terjadi seperti harapan mereka). Dan istrinya Boru Sihotang juga berpendapat
yang sama dengan perkataan suaminya.

Akan tetapi Tumonggo Tua langsung ada disamping orang tuanya dan berkata; Ayah-Ibu biarkanlah saya
berbuat sebagaimana permintaan mereka, biarlah Mulajadi Nabolon nanti yang menentukanNya.
SEJARAH SIMANJUNTAK
Permintaan mereka tetap akan saya utarakan kepada Mulajadi Nabolon. Dengan rasa terharu dan tidak
ingin mengecewakan khalayak ramai tapi ingin juga melihat keistimewaan anaknya, maka di Iyakan.
Esok harinya tepat pada matahari terbit; Tumonggo Tua mengambil perlengkapannya untuk bermohon.
Disiapkannyalah diatas pinggan pasu (salapa) beras; Kapur sirih tiga ibu jari; daun sirih tujuh lembar; air
putih se mangkok (bokkor).

Lalu dipanjatkannyalah doa permintaan kepada Mulajadi Nabolon. Setelah selesai ia berdoa, atas
petunjuk (ilham) yang datang kepadanya; ia lalu berkata; agar semua yang berpenyakit kusta (aji si
turtur) harus mandi setiap hari, sampai penyakit lukanya sembuh ke mata air panas bumi yang
mengandung belerang (aek rangat), yang kebetulan ada disitu. Selang beberapa bulan penyakit orang
sekampung itupun sembuh dan nama Tumonggo Tua pun dikatakan orang “segala yang dimintakannya
pasti terjadi (na tuk marpangidoan).

Mengusir setan (begu nurnur; nasiar-siaron)


Beberapa tahun kemudian terjadi lagi malapetaka besar, banyak orang kerasukan setan; kesurupan dan
hantu bergentayangan di kampung dan ladang-ladang. Sehingga ketakuan satu sama lain terjadi
lagi, banyak orang ketakutan (berjalan sendirian ditengah haripun menjadi masalah). Antara anak yang
kerasukan setan dan orang tua sudah tidak harmonis lagi. Demikian juga orang tua yang kerasukan
setan dengan anaknya. Saling curiga, saling tuduh, saling menyalahkan dan saling tudingpun terjadi
sesama mereka. Ketenteraman hidup sudah sangat terganggu. Dan orang keladangpun ketakutan,
karena sehabis dari ladang banyak orang kena begu ladang (kesurupan hantu).

Ahirnya banyaklah orang terganggu kehidupannya. Bagi orang yang kesurupan setan, kadang mereka
berkeliaran tengah malam dan kadang sudah memakan kotorannya sendiri. Sehingga disepakatilah agar
dipasung supaya tidak mengganggu yang normal. Banyaklah diantara mereka yang dipasung di ladang
(sopo).
Suatu hari, merekapun mengingat perbuatan keajaiban Tumonggo Tua. Penduduk kampung itupun
datang lagi bermohon kepada Tumonggo Tua agar dibebaskan dari mala petaka kali ini. Orang Tua
Tumonggo Tua (Hutabulu) setuju akan hal itu. Esok harinya Tumonggo Tua melakukan Ritual
Permohonannya kepada Mulajadi Nabolon dengan mengambil sambong (baskom besar) lalu diisi air;

disamping kiri air itu diletakkannya daun sipilit;  disamping kanan air itu diletakkannya daun oppu-
oppu. Dengan kerendahan hati, lalu disampaikannya permohonannya ke Mulajadi Nabolon.

Setelah permohonannya disampaikanNya, maka ilhampun datang kepadanya dengan menghempaskan


sipilit dan oppu-oppu yang telah dicelupkan ke air (tawar) itu kepada pada orang yang tarbeang
SEJARAH SIMANJUNTAK
(dipasung) dan menyatakan; “Mulak maho tu namarsuru ho”, lalu orang yang kerasukan itu meraung-
raung kesakitan dan menangis, dan memohon ampun agar jangan disiksa, karena tawar dan sipilit+oppu-
oppu tadi dicambukkan ke seluruh tubuh yang kerasukan. Tidak lama setelah itu, sembuhlah yang
kerasukan tadi, dan pasungnyapun dibuka.
Demikianlah dilakukan Tumonggo Tua kepada semua yang kerasukan setan  dikampung itu.

Setelah semua yang terpasung dan yang kerasukan setan disembuhkannya, Ia lalu mengusir begu-
begu ladang (hantu ladang) lagi dengan memberikan darah sebaskom dan dipercikkan keseluruh ladang
yang ada penghuninya. Adapun darah itu diciptakannya dari campuran sirih, kapur dan daun gambir yang
telah diatup lalu ditumbuk hingga halus, lalu diperas kedalam air baskom hingga berwarna merah seperti
darah manusia.

Esok harinya terdengarlah kabar bahwa di kampung lain, bersamaan dengan pengusiran setan tersebut
oleh Tumonggo Tua, bahwa ada Dukun beserta istri dan anak tunggalnya meninggal dunia secara
mengenaskan yaitu dililit ular besar diladang saat mencari kayu bakar.

A.  KISAH KETURUNAN TUMONGGO TUA


1.  Sibursok Ronggur
Source; diceritakan oleh Batu Tahan Simanjuntak H.13, S.Ronggur, Jl.Gembira Ujung, Jakarta Selatan, Tahun 1986).

Adalah cucu Hutabulu, anak pertama dari Tumonggo Tua. Suatau ketika ibunya sudah bulannya mau
melahirkan, bersamaan dengan itupula bertepatan dimusim hujan, petir saling bersahutan sore harinya
dengan suara menggelegar, Ibunya kaget  lalu merebahkan diri di lantai rumah, tidak lama setelah itu ia
terlentang dan melahirkan anak lelaki. Setelah lahir dibuatlah namanya Sibursok Ronggur karena
Ronggur (petir) sudah menghentaknya untuk lahir.

Akan tetapi setelah dewasa sifat-sifatnya juga bagai Ronggur, karena suaranya juga


kebetulan sangat kuat (keras), bahkan pernah suatu ketika mereka (ia dan teman-temannya)
ketemu macan, dengan suara kerasnya ia menghentak macan itu, macan itupun lari ketakutan, sehingga
anekdotnya “alani gogoni soarana (ronggurna), babiat humbangpe lintum-marimpoti”. Keahliannya
berburu, dengan cara mangultop (meniup selongsongan bambu panjang) sehingga ia sangat disayangi
bapaknya, karena sering ia membawa burung hasil buruannya untuk dimakan ayahnya..

2. Sibursok Datu
Adalah cucu Hutabulu, anak Tumonggotua  yang kedua, Ia digelari Sibursok Datu karena dalam
kehidupannya dia gemar melakukan pengobatan-pengobatan (hadatuon) dan uji tanding hadatuon
SEJARAH SIMANJUNTAK

kepada datu-datu lainnya dan kebanyakan dimenangkannya sehingga dinamakanlah dia Sibursok (Inti)


Datu. Ia ahli dalam memindahkan angin dan mendatangkan hujan. Bahkan pernah suatu ketika
kampung Huta Ginjang dan Buat Nangge, dekat lobutua/hutabulu (kecamatan siborong-borong)
dibuatnya tidak kedatangan hujan, sementara di lobutua dibuatnya hujan, karena angin hujan
dipanggilnya ke lobutua, sehingga huta ginjang dan buat nangge kekeringan selama setahun.

Dan kejadian yang sama juga pernah dilakukannya di Purba Sinomba, dengan kedatangan hujan secara
terus menerus, sehingga marga Pasaribu dan Silitonga yang ada di Buat Nangge mengakui kemampuan
kekuatan magis (hadatuon) Sibursok Datu, karena pada saat hujan di Purba Sinomba,  ada beberapa
orang yang melihat bahwa Sibursok Datu ada disana, sehingga tersebarlah berita akan kemampuannya.

3. Sibursok Pati
Diceritakan oleh Kasmin Nelson Simanjuntak, H.15, S.Pati, Lobutua-Hutabulu, Th 1990.
Sibursok Pati  adalah cucu dari Hutabulu, anak ketiga (bungsu) dari Tumonggotua. Ia digelari Sibursok
Pati karena ia seorang yang gemar marpati-patian (janji dan sumpah) terhadap orang lain. Ia seorang
parpolung tubu (bijak bertutur kata), setiap kata-katanya akan menjadi ingatan dan panutan setiap orang.

Cerita pertama; Ibu Hamil


Suatu ketika ada seorang ibu dituduh berselingkuh dengan lelaki lain yang bukan suaminya. Maka si
perempuan itu hendak dibuang ke sungai si-gulang. (Binanga sigulang). Dahulu sungai itu sangat besar
arus dan airnya. (Sungai itu dinamai binanga sigulang karena seorang ibu hamil hendak
di gulang (di buang) kesitu.
Kebetulan pada saat itu Sibursok Pati melihatnya dan bertanya kepada halayak ramai disitu, dengan
beraninya dia menyapa mereka; karena dia sudah mendengar ucapan
mereka; gulang.... gulang.... gulangkon ma (buang....buang.....buangkan saja.....).
Apa sesungguhnya akar permasalahanya, mengapa kalian harus membuangnya ke sampuran ini ?.
Jawab salah sesorang Tetua Adat disitu; kampung ini telah dikotori oleh seorang wanita yang
hamil dari yang bukan suaminya (lelaki lain).
Baiklah kata Sibursok Pati; bolehkah saya bertanya kepada wanita ini, sebelum kalian mengambil
tindakan ?,  katanya kepada Tetua Adat itu.
Silahkan, lakukan saja, tutur Tetua Adat itu, yang diiyakan dengan serentak oleh masyarakat yang
mengiringnya.

Lalu Sibursok Pati menanyakan satu hal kepada si ibu itu.


Inang; coba ceritakan kepada saya perihal yang sebenarnya; betulkah tuduhan mereka itu kepadamu ?.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Lalu si wanita itu bertutur dengan suara yang terisak bercampur kesedihan; Tuduhan mereka sangat
pantas, karena saya juga tidak dapat membuktikan kepada mereka kenapa saya hamil, tapi permintaan
saya sebelum saya dibuang ke sampuran, perkenankanlah saya menceritakan apa yang sesungguhnya
yang saya alami; kami telah sepuluh tahun menikah, tapi tidak juga dikaruniai anak. Suami saya
sudah dua tahun meninggalkan saya, dan saya tidak tahu kemana perginya, kedua mertua saya dengan
waktu yang hampir bersamaan sudah tiga tahun meninggal dunia, suamiku adalah anak bungsu dari lima
bersaudara.
Untuk menghidupi kehidupan saya; saya bekerja sebagai penjual nenas di setiap pasar pekan (onan ari
selasa) di siborong-borong, dan hari jumat ke balige (onan balige)..

Suatau ketika di pasar pekan jumat (onan) Balige, saya termenung dan terduduk sembari meratapi nasib
ditempat saya berjualan, pada hari itu dagangan (boniaga) saya sepi dan tidak laku, walaupun dibawa
kerumah tetap akan busuk, sehingga saya berikan saja kepada orang yang lewat disitu. 
Dalam kesedihan saya itu saya berucap dalam hati saya ke Mulajadi Nabolon; Ue da ompung, tungna
bohama bagianku namangoluon, so laklak so singkoru, so anak -soboru na adong hujambari;
tungganidolikku pe sodianturehon be au, ia na mate nian asa binoto bangkena, ia na mangolu nanggo
pola adong nian baritana. (Tuhan, mengapalah demikian nasib hidupku, sampai saat ini kami belum juga
dikaruniai keturunan, suamikupun tidak memperdulikan aku (meninggalkanku), kalaulah ia mati dimana
mayatnya, kalaulah ia hidup beritanyapun tidak ada).

Kesedihan itulah selalu menyelimuti hatiku  lima tahun sejak kami menikah karena tidak juga dikaruniai
momongan. Suamiku pada dasarnya orang baik, dan tidak pernah menyakiti hatiku. Dalam pikiran
saya; kepergiannya adalah untuk mengusir kesedihannya saja. Selama kami berumah tangga hidup kami
bahagia dan tidak ada yang serius untuk dipermasalahkan dalam rumah tangga kami.
Bersamaan dengan kesedihan saya itu, ada suara datang ketelinga saya; pergilah ke pusuk buhit dan
ambillah masing-masing seteguk air dari tujuh mata air itu, minumlah ditempat itu juga, lalu usapkan juga
ke perutmu, dan bawalah sisanya pulang, lakukanlah itu berkali-kali, tapi sisakan sepertiga air itu, lalu
gantungkan dikamarmu agar kandunganmu terbuka.

Empat bulan kemudian perut saya membuncit, saya pun diselimuti rasa takut, sehingga saya pergi ke
saudara saya menanyakan kondisi perut saya. Hari berikutnya kami pergi ke dukun berobat, tapi
dinyatakan tidak ada penyakit, tapi tutur dukun itu; bahwa dia dapat berbicara dengan apa yang ada diisi
perut saya.
Kesimpulan dukun itu; saya berbadan dua.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Dengan rasa kurang percaya kami juga pergi ke sibaso (dukun beranak), jawaban sibaso itu bahwa saya
hamil, dan mengandung.  
Sehingga saya divonis oleh keluarga, bahwa saya berjinah (mangalangkup) dengan lelaki lain. Esok
harinya, saya diparaja (diserahkan ke raja tetua adat), dan kebetulan hari ini tuan datang dan
menanyakan saya. Demikianlah penjelasan saya Tuan.

Saya pun sudah rela atas hukuman yang ditimpakan kepada saya, tapi kalaulah boleh saya minta,
biarkanlah saya hidup (dibuang) ke hutan saja sampai anak ini lahir, setelah itu saya akan menyerahkan
diri saya kepada kalian untuk dirajam atau dibuang ke sampuran.
Sontak seketika suara lelaki dari dalam perut si ibu itu berbicara dan mengatakan; Molo ias do parrohaon
ni jolma, ndang adong na so tarpatupa Mulajadi, Molo sai mar-ingkon do hamuna songonna
dirohamunai, ulahon hamuma. (kalau bersih hati manusia, tidak ada yang tidak mungkin dihadapaNya,
tapi kalau kalian tetap pada pendirian kalian (membuang ibu ini), lakukan kalianlah.

Lalu Sibursok Pati angkat bicara; kita sudah mendengar penjelasan ibu ini dan anak yang dikandungnya.
Sekarang pertanyaan saya apakah kalian masih juga bersikeras untuk membuangnya ke sampuran ?.
Kalau yaa; angkatlah tangan kalian keatas untuk menyatakan setuju. Marilah kita berjanji dan
bersumpah. Barang siapa yang tidak percaya akan omongan (penjelasan yang sesungguhnya) ibu
ini; biarlah Ia mendapatkan kesusahan dan tidak mendapatkan turunan (siraraon jala purpur). Tapi
sebaliknya apabila ibu ini berbohong dan berkata palsu; biarlah ia mendapat kutukan yang seberat
beratnya dari Mulajadi Nabolon. (Marpati-patian ma hita; manang ise naso porsea di hatoranganni
inantaon, naso jadi tataponna natama jala purpur, suang songoni nang tu inantaon, molo namargabus
do ibana, asa ibanama na purpur).

Singkat cerita, walaupun telah dituturkan Sibursok Pati seperti itu, penduduk kampung itu tetap dengan
pendiriannya  untuk membuang si ibu hamil itu ke Aek sigaung (sungai Sigaung)
Pada saat mau eksekusi; tiba-tiba suara gemuruh dan petir yang sangat kuat datang dan
menyambar orang-orang yang ada disitu, sehingga badan, muka dan
kepala mereka gosong terbakar, kecuali si ibu dan Sibursok Pati yang selamat dari sengatan petir.
Selanjutnya si ibu itu dilepas ikatannya oleh Sibursok Pati. Pergilah, tidak ada lagi yang mengusikmu,
Mulajadi Nabolon (Tuhan) telah melepaskanmu, kata sibursok Pati, kepada si ibu itu. Dan si ibu itupun
menurutinya, Iapun dapat hidup normal sebagai mana sedia kala hingga anaknya lahir. 
Demikianlah ia digelari Sibursok Pati, karena tutur katanya ; marpati-patian (bersumpah janji kebenaran);
Hodo na purpur, manang na isedo na purpur. Tole tabahen pati-pati-anna. Dos nangkokna
dohot tuatna.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Terj; “kamu yang kena kutuk, atau siapa ?. Mari kita buat sumpah janjinya. 
Artinya; Apakah kamu yang benar atau sayakah yang benar”.
Kalau kamu yang benar, berarti saya siap menanggung resikonya tujuh turunan, sebaliknya
Kalau kamu yang salah, kamu juga harus siap menerima kutukan (purpur) tujuh turunan .

Cerita kedua; Hal Tanah.


Suatu ketika ada pertengkaran disuatu kampung sibuntuon dekat onan runggu, marga silitonga versus
marga simanjuntak. Silitonga mengatakan bahwa tanah itu telah mereka miliki sejak lama (oppu ni oppu,
3 hali ompu), ulos nasora busuk sian simatuana (simanjuntak).  Akan tetapi turunan ke empat dari marga
simanjuntak tetap mengklaim bahwa tanah itu miliknya, karena apa yang dikatakan silitonga (borunya) itu
tidak benar. Sehingga terjadilah perang antar marga sekampung. Mendengar hal itu mengadulah marga
simanjuntak yang ada di sibuntuon ke marga simanjuntak yang ada onan runggu dan yang di
lobutua/hutabulu.

Pada saat itu tersiarlah berita keseluruh marga simanjuntak, ahirnya berangkatlah Ia (Sibursok Pati)
beserta kedua abangnya sibursok ronggur dan sibursok datu  menuju sibuntuon. Tepat di hari sabtu
dibulan purnama, dibulan yang kesembilan, dilakukanlah kesepakatan agar selesai permasalahan
dengan melakukan ritual janji-sumpah dari kedua belah pihak didepan raja-raja bius (raja-raja/tetua adat
yang dihormati). Sebab kedua belah pihak yang bersengketa sangat susah didamaikan oleh marga-
marga yang ada di kampung itu. Kedua belah pihak diminta oleh Tetua Adat untuk menceritakan
kebenaran yang sesungguhnya tapi masing-masing pihak tetap mempertahankan kebenarannya masing-
masing, sebab saksi hidup sudah tidak ada lagi.

Setelah semua dari masing pihak diminta pendapatnya,  lalu tibalah giliran Sibursok Pati yang berbicara;
apakah kalian tetap pada pendirian kalian, atau kalian tidak berfikir untuk merubah pendirian kalian
perihal kebenaran yang kalian sengketakan ?.
Jawab mereka (pihak yang bersengketa) dengan yakinnya;
kami tetap pada pendirian kami, bahwa itu milik kami yang telah diberikan (ulos nasora busuk) mertua
kakek moyang kami kepada kami, kata pihak silitonga.

Simanjuntak juga menyatakan bahwa kakek moyangnya tidak pernah memberikannya.


Baiklah kata Sibursok Pati; karena kalian tetap pada pendirian kalian, sekarangpun akan saya mintakan
kepada Mulajadi Nabolon, agar kebenaran diperlihatkan.
Sudah siapkah kalian menerima efek yang buruk (purpur) dari pernyataan kalian itu ?. kata Sibursok Pati.
Kedua belah pihak menyatakan kami siap, berikanlah sangsinya, kata mereka serentak.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Apakah kalian tidak menyesal atas kekerasan hati (jogalni rungkung) kalian itu ?, tutur Sibursok Pati.
Tidak usah panjang lebar berbicara, sahut mereka lagi dengan suara lantang.

Baiklah kata Sibursok Pati; karena itu sekarang juga marpati-patian ma hamuna (berjanji sumpahlah
kalian).
Barang siapa yang menyatakan itu miliknya, padahal sesungguhnya bukan miliknya, maka ia harus siap
menerima mala petaka hidup tidak berketurunan (purpur). (Manang ise na namandok tanoi ugasanna,
hape sasintongna dang ugasanna, siraraon ma jaloonna (ndang marpinompar=purpur). Demikianlah
sumpah janji yang mereka sepakati didepan raja-raja dan tetua adat.

Dibulan itu juga dalam hitungan empatpuluh hari berlangsung, berjatuhanlah ternak (babi-sapi, kerbau)
marga silitonga ke lombang parsingiran oleh suara auman macan yang tidak jelas darimana asalnya.
Untuk mengingat kejadian itu dinamai oranglah lokasi maut itu lombang parsingiran, karena marga
silitonga harus membayar sumpah janjinya dengan kehilangan ternak dan turunannya.
Dan Sibursok Pati pun makin diakui orang kemampuannya untuk membuat sumpah janji (pati-patian)
kepada setiap orang yang berbuat semaunya (pajolo gogo, paudi uhum).

Dan masih banyak lagi cerita lainnya perihal Sibursok Pati, akan tetapi cerita yang paling menonjol
adalah kedua cerita diatas. 

B. KISAH KETURUNAN SIBURSOK PATI


1. Sitingkir Ulubalang, Gelar Partahi Oloan (Datu Malela)
Diceritakan oleh Kasmin Nelson Simanjuntak, H.15, S.Pati, Lobutua-Hutabulu, Th 1990.
(Pembanding ; St. Batu Tahan Simanjuntak Hutabulu No.13, S. Ronggur, Jl.Gembira Ujung, Jakarta Selatan).

Sitingkir Ulubalang adalah cucu dari Hutabulu, anak pertama Raja Sibursok Pati dari Ibu Boru Pakpahan.
Sedangkan Keenam adiknya mulai dari nomor dua hingga ketujuh lahir dari ibu Boru sihotang.
Ia digelari Sitingkir Ulubalang (versi Humbang), karena ia mampu melihat apa yang ada dihati orang.
Bahkan Raja sisingamangaraja x pernah mempercayainya menjadi hulubalang kerajaannya.
Kesaktiannya telah teruji didalam menumpas musuh-musuh raja di Angkola dan sekitarnya (sekarang
Tapsel). Ia bahkan mampu meramal kejadian yang akan terjadi dalam kerajaan.

Suatu ketika Ia dan Raja sm x sarapan pagi (manggadong), Ia mengungkapkan apa yang dilihatnya
dalam visi penglihatan mata batinnya kepada Raja sisingamangaraja x. Tuanku Raja dalam penglihatan
mata bathinku; ada dua kerjajaan saling berperang, singkat cerita; ada seorang raja dipenggal lehernya,
SEJARAH SIMANJUNTAK

dan yang memenggal itu, bisa dikatakan anaknya, bisa juga dikatakan ponakannya (anak dari adiknya
yang perempuan). Tapi begitu dipenggal lehernya, kepalanya langsung terbang ke istana raja.
(Rajanami dipamerenganni partondianku; adong dua harajaon marporang, jempek hata dohonon;
adongma sada raja digotap uluna, jala namanggotap i, boi dohonon anakna, boi do tong dohonon berena
(anakni ibotona). Dung digotap ulu ni Raja i, pintor habang do ulunai tu inganan ni harajaonna),
songonima rajanami partordingna. 

Namun Raja sisingamangaraja x tidak ambil pusing dengan perkataan hulu balangnya itu. Tapi beberapa
hari berikutnya Raja sisingamangaraja x menceritakannya kepada istrinya.  40 hari setelah penglihatan
Sitingkir Ulubalang itu, meledaklah perang antara kerajaan Raja sisingamangaraja x dengan kerajaan
Minangkabau yang dipimpin oleh Iman Bonjol (Pongki Nangolngolan adalah anaknya dari hasil
perkawinannya/marsubang dengan ibotonya). Dan benar adanya bahwa kepala Raja
sisingamangaraja x dipenggal oleh Iman Bonjol. Badannya tetap ditempat, tapi kepalanya terbang ke
rumah (istana)  Raja sisingamangaraja x.

Masa Kecil Hingga Dewasa


Nama Sitingkir Ulubalang adalah nama gelar (goar Tulut), nama yang dikenal orang. Ceritanya kenapa
namanya menjadi Sitingkir Ulubang, Gelar Partahi Oloan (Datu Malela) adalah sbb;
Nama awalnya adalah Sitingkir.  Ia adalah anak Sibursok Pati. Ibunya Boru Pakpahan. Setelah tiga tahun
kelahirannya Ibunya meninggal dunia. Sepeninggal Ibunya, Bapaknya Sibursok Pati berpetualang ke
daerah Angkola, di angkola terjadi musim paceklik akibat musim kemarau yang berkepanjangan,
sehingga Ia balik lagi ke Sianjur kampung halamannya. Pada saat kepergian ayahnya itulah Sitingkir
tinggal dirumah Bapa Tuanya Sibursok Ronggur. Bapa Tuanya sangat senang juga karena sekian lama
perkawinannya belum juga dikarunia anak.

Anehnya setelah dua kali panen padi (dua hali gotilon) istri Sibursok Ronggur mengandung, pada panen
ketiga ia telah melahirkan anak. Akan tetapi kasih sayangnya kepada Sitingkir tidak memudar,
bahkan Sibursok Ronggur menempatkannya sebagai anak sulungnya (Buhabaju).
Dalam lagenda Sibursok Ronggur dikatakan; Sitingkir anakki, anak buha bajuki, buhabaju ni anggiku, 
sidodo lungunki. (Sitingkir adalah anakku,  anak sulungku, anak sulung adikku juga, yang dapat melihat,
kesedihan hatiku).  Kondisi ini dapat dimaklumi karena sepeninggal ibunya Sitingkir, ia terkadang harus
tinggal ke bapa tuanya dan kadang ke oppungnya.

Si Raja Odong menginginkan Sitingkir cucunya, karena Ia pandai berburu, dan sering hasil buruannya
diberikannya ke oppungnya, bahkan Sitingkir lebih disayang Oppungnya dibanding anak biologisnya,
sangking sayangnya Si Raja Odong menempatkannya sebagai anak siampudan (anak bontot) dalam
SEJARAH SIMANJUNTAK

silsilah mereka.  Hal itu terjadi setelah ayahnya kawin lagi dengan Boru Sihotang. Dalam perjalanan
hidupnya tidak heran kalau Dia sangat disukai Ompungnya Si Raja Odong  dan Bapa Tuanya. Sehingga
dalam silsilah, kalau Dia mengatakan dirinya sebagai si Raja Odong atau Sibursok
Ronggur  atau Sibursok Pati; memang itulah dia. Dan itu sudah Titah Sibursok Pati kepada anak-naknya
yang enam orang dari ibu Boru Sihotang.

Setelah Ia dewasa, Ia telah banyak melakukan uji kemampuan hadatuon dan kekuatan fisik, dan dia
mampu mengalahkan lawan-lawannya. Hal itu terjadi karena memang sudah bawaan lahirnya.

Gelar Partahi Oloan


Suatu ketika terjadilah perang kampung antara Kampung Pangumbanbosi dengan Kampung Sipahutar
(Sekarang Kec.Sipahutar). Sitingkir dapat menerawang maksud dan tujuan mereka. Sitingkir pun
melakukan saran agar tidak gegabah untuk lebih dulu menyerang mereka, sebab kampung sipahutar
(marga sipahutar) sudah menyiapkan jebakan-jebakan ranjau di jalan dan diperbatasan kampungnya
(parik ni huta), akan tetapi mereka (Pangumbanbosi) tidak percaya dan tetap pergi menyerang, ahirnya
mereka banyak terjebak terjatuh ke lubang-lubang jebakan yang diatasnya dikamuflase kelihatan
sebagaimana jalan aslinya.

Tahun berikutnya Sitingkir merencanakan strategi baru, agar kampung mereka tidak merasa dilecehkan
lagi oleh kaum marga Sipahutar, akan tetapi orang-orang di kampung Pangumbanbosi sudah merasa
trauma akan kejadian itu. Akan tetapi Sitingkir dengan kemauan kerasnya tetap harus membuat kampung
sipahutar ditaklukkan, sebab mereka (pangumbanbosi) sudah sangat malu setelah kejadian tahun
sebelumnya. Sehingga disuatu hari Sitingkir pun mengumpulkan pemuda dan orang tua paruh baya,
mereka disuruh mengumpulkan sapi dan kerbau masing-masing, setelah terkumpul, ditengah malam
diberangkatkanlah 50 kerbau dan sapi menuju kampung sipahutar.

Ssetelah dekat kampung sipahutar mereka menaruh cabai di mata sapi dan kerbau, lalu mengikatkan
obor api yang besar di ekornya, selanjutnya sapi dipukul dan dilepas ke kampung. Sehingga sekeliling
kampung dan kampung itupun terbakar. Melihat sekeliling mereka terbakar, Orang sekampung
berhamburan keluar rumah. Sejak kejadian itu nama Sitingkir disebut-sebut orang (digelari) Partahi si-
oloan, yang dalam pemanggilan singkat sehari-hari dikatakan “Partahi Oloan” (Pemikirannya harus
dimaui). Karena kalau tidak dituruti perkataannya, maka mala petaka yang akan terjadi.
Berita kemampuan Sitingkir makin santer. Sehingga Sisingamangaraja x memanggilnya dan
menjadikannya Hulubalang Raja. (Ulu Balang), namanyapun selanjutnya dipanggil orang
menjadi Sitingkir Ulubalang.  
SEJARAH SIMANJUNTAK

Gelar Datu Malela


Disuatu Desa, Ia beserta teman-temannya pergi bertandang ke Samosir persisnya ke Urat. Disana
mereka dijamu para wanita-wanita sebaya mereka. Merekapun sepakat, agar mereka bisa lama tinggal
disana, mereka harus membantu keluarga si gadis untuk membajak sawah.
Kurang lebih sebulan lamanya mereka disitu (borhat dibulan tula, mulak muse dibulan tula). 
Setelah seminggu disana, tepat dihari minggu, mereka duduk-duduk dan minum di kedai kopi (lapo),
pada saat Sitingkir mau minum kopi, gelas yang dipegangnya langsung pecah, orang yang ada disitupun
langsung tersentak, karena pada dasarnya pembuatnya ada disekitar situ. Iapun tidak meresponsnya,
malah mengatakan kepada temannya; jolma namambaen on, Ima angka nahurang ulaon.  Sejak kejadian
itu; Mulailah ia digelari oleh temanya Datu.

Tiga bulan berikutnya, mereka pergi lagi ke suatu Desa di Pangaribuan, untuk  bertandang (melihat
wanita pujaan), seminggu lamanya mereka disana, berpindah tempat dari satu tempat ketempat lainnya.
Tepat di kampung Tungka (yang dikenal dengan pasar pekan (onan Tungka), terjadilah adu kekuatan
hadatuon, tapi Sitingkir belum mau menunjukkan kekuatan magisnya (hadatuon), akan tetapi temannya
sudah memberinya semangat agar ikut tanding, tapi ia belum juga mau, sehingga temannya mengatakan
dia Datu Maila-ila=Malela (slank ucapan).  Karena dia selalu malu kalau dikatakan Datu. Sebab dia
berfikir; kalau-kalau nanti bisa saya lakukan, kalau tidak bisa tentu saya yang mendapat malu. Hal itulah
yang selalu menghantui dirinya, sehingga ia selalu malu-mau (Maila-ila) menunjukkan kemampuannya.

Tapi kalau sudah terpaksa barulah dikeluarkannya kemampuannya. Setelah pembicaraan itu, bertepatan
dengan temannya mau berdiri beranjak dari tempat duduknya,  dilihatnyalah tikar menempel ke pantat
temannya, melihat hal itu Ia (sitingkir) merasa dipermalukan kemampuannya, dengan kemampuan
kekuatan magisnya Ia pun menghardik pembuatnya agar linglung, setelah linglung, diarahkannya
berjalan menuju kubangan kerbau,  selanjutnya dibuatnya terperosok jatuh tepat mukanya terjelembab ke
kotoran tai kerbau.  Melihat kejadian itu sontak para Datu disana mengakuinya sebagai datu yang sakti. 

2. Pallupuk
Diceritakan oleh Kasmin Nelson Simanjuntak, H.15, S.Pati, Lobutua-Hutabulu, Th 1990.
Pallupuk=berdiam; ada; menguasai; membuat tanda.
Ia Adalah cucu Tumonggotua, anak kedua dari Sibursok Pati dari ibu boru sihotang, Ia digelari Pallupuk
karena kemana ia pergi selalu meninggalkan tanda kebajikan. Ia adalah petarung yang sejati, Ia bahkan
mampu menaklukkan siapa saja yang merintanginya. Sudah bawaan lahirnya bahwa Ia tidak akan
pernah takut akan aji-ajian para dukun santet (datu pangaji/pangarasun) yang akan membuatnya celaka,
bahkan ia mampu mendatangi tempat para dukun untuk menantangnya berduel fisik apabila diketahuinya
datu itu telah berbuat kejahatan (padalan aji-ajian). Ia tidak bertentangan dengan para Datu yang berbuat
SEJARAH SIMANJUNTAK

kebaikan, akan tetapi musuh utamanya adalah para datu yang menyalahgunakan kemampuannya untuk
merusak orang lain. Ia sangat ahli menolak bala (tolak bala), mengusir setan (palaohon begu), dan
memindahkan setan (pabalihon begu) dari manusia ke kerbau dan satu tempat ketempat lainnya.

Kebijakan yang ia miliki;

Cerita Pertama; Sengketa Kerbau


Sudah menjadi kebiasaan atau tradisi di kampung Lobutua/Hutabulu, setelah selesai panen padi sawah
(gotilon) bahwa seluruh ternak sapi, kerbau akan dilepas ke sawah. Dan para pemilik kerbau tidak tiap
hari bersama ternaknya, ada yang sekali seminggu, sekali dua minggu, sekali tiga minggu, dan adapula
yang sekali sebulan. Dan berdasar itu pula bahwa ada dua orang penggembala (pemilik kerbau)
bermasalah. Dimana kedua belah pihak saling mengklaim, bahwa kerbau itu miliknya.

Anehnya masing-masing pihak dapat pula menunjukkan tanda yang mereka buat sebagai bukti
kepemilikannya. Mengakibatkan persoalan itu ahirnya berkepanjangan, sehingga sampai kepada Tetua
Adat kampung mereka masing-masing. Dan atas permintaan Tetua Adat kedua belah pihak ahirnya
disepakatilah; bahwa yang mereka anggap mampu untuk menyelesaikan perkara mereka, adalah
Pallupuk. Dihari yang ditentukan, didepan Tetua Adat konfrontir dan kebenaranpun dimulai.
Pallupuk bertanya kepada si Alosus; Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa
kerbau itu milikmu ?.
Alosus menjawab; kerbau ini sejak lahir telah saya tandai dengan memotong ujung kupingnya yang
sebelah kiri.
Pallupuk pun melihatnya dan benar adanya.
Pallupuk bertanya ; Dimanakah anda menggembalakannya selama ini ?.
Alosus menjawab; Di persawahan (hauma) aek bontar.

Selanjutnya; Pallupuk bertanya kepada si Patar; Anda mengklaim bahwa kerbau itu milikmu juga, Adakah
bukti yang bisa membenarkan ucapanmu itu ?,
Patar menjawab; kerbau ini sejak kecil telah saya tandai dengan menandai pahanya sebelah kanan
dengan besi bakar.
Pallupuk pun melihatnya dan benar adanya.
Pallupuk bertanya ; Dimanakah anda gembalakan selama ini ?.
Patar  menjawab; Di persawahan (hauma) danosorik.
Pallupuk bertanya kepada Alosus dan Patar ; Berapa jauhkan jarak antara kerbau kalian itu
digembalakan ?
Mereka berdua menjawab; Kurang lebih 5 km.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Ok baiklah; karena kalian saling mempertahankan pendapat dan pendirian kalian masing-masing, untuk
menyelesaikannya sekarang pun harus diambil kesepakatan, kata Pallupuk.
Pallupuk pun mengutarakan solusi untuk penyelesaian dan kebenarannya kepada mereka dan Tetua
Adat disitu seraya berkata; Kita telah mendengar bersama akan kebenaran ucapan dan alasan mereka
yang semuanya menunjukkan bukti-bukti dan fakta yang nyata, tapi dibalik itu masih tersimpan
kebenaran yang hakiki, untuk itulah saya berkesimpulan; agar terkuak kebenaran yang sesungguhnya,
maka saya akan memutuskan dengan persetujuan kalian para Tetua Adat disini.

Kita akan melepaskan kerbau ini; dan masing-masing pihak yang bersengketa akan mengumpulkan
kerbaunya disekitar sini, apabila kerbau ini menuju kepada kawanannya, maka Pemilik yang
sesungguhnya adalah yang dituju kerbau itu.
Tetua Adat dan masyarakat yang ada disitupun menyetujuinya.
Pallupuk lalu melepaskan kerbau itu, dan kerbau itu menuju kawanannya.
Si pencuri pun didenda harus membayar adat, dengan memotong babi (mam-babi i) sebagai hukuman
atas perbuatannya.

Cerita Kedua ; Sengketa Kuda


Di suatu pasar pekan (onan) Dolok Sanggul, setiap mendekati ahir tahun dan pertengahan tahun yaitu
pada saat orang tua mau menikahkan anak lelaki atau perempuannya (pangolihon anak manang
pamulihon boru) akan dilakukan jual beli kuda. Tiba-tiba ada dua orang bertengkar yaitu marga
sihombing dengan marga simamora. Mereka mengklaim kuda yang sama, sehingga cekcok mulut dan
perkelahianpun terjadi. Melihat hal itu, masyarakat setempat yang melihatnya ahirnya merelainya, dan
selanjutnya dibawalah ke Tetua Adat disitu, akan tetapi penyelesaian juga tidak kunjung selesai.

Didalam kebuntuan itu ahirnya ada seseorang angkat bicara; bahwa dia pernah mendengar nama
Pallupuk mampu menyelesaikan perkara besar seperti ini. Dan ahirnya Tetua Adat disitupun
menyetujuinya, dengan maksud agar Pasar (onan) mereka tetap terjaga nama baiknya.
Atas undangan tetua adat, dihari yang ditentukan, masing-masing pihak yang bersengketa pun di
konfrontir didepan Tetua Adat dan masyarakat setempat.

Pallupuk bertanya kepada Simamora ; Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa
kuda itu milikmu?
Simamora menjawab; kuda ini sejak lahir telah saya miliki, dan saya pelihara dengan baik.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Selanjutnya; Pallupuk bertanya kepada Sihombing; Anda mengklaim bahwa kuda ini milikmu juga,
Apakah ada bukti yang bisa membenarkan ucapanmu itu ?,
Sihombing menjawab; kuda ini sejak lahir telah saya miliki, dan saya pelihara dengan baik, akan tetapi
induk dan temannya telah saya jual tahun lalu untuk biaya hidup kami.

Ok baiklah; karena kalian saling mempertahankan pendapat dan pendirian kalian masing-masing, untuk
menyelesaikannya sekarang pun harus diambil kesepakatan, kata Pallupuk.
Pallupukpun mengutarakan solusi untuk penyelesaian dan kebenarannya kepada mereka dan Tetua Adat
disitu seraya berkata; Kita telah mendengar bersama akan kebenaran ucapan dan alasan mereka, agar
terkuak kebenaran yang sesungguhnya maka saya berpendapat dan berkesimpulan, tentu atas
persetujuan kalian dan para Tetua Adat disini.

Bahwa setiap penggembala pasti punya cara untuk memanggil ternaknya (kudanya). Kita akan
melepaskan kuda ini ke suatu tempat. Apabila kuda ini dapat mengenali suara pemiliknya, maka dialah
pemilik yang sesungguhnya.
Tetua Adat dan masyarakat yang ada disitupun menyetujuinya.
Pallupuk lalu melepaskan kuda itu ke suatu tempat, sipemilik yang sesungguhnyapun memanggilnya, dan
kudanya datang.  Selanjutnya Tetua Adat menghukum si pencuri, dengan adat setempat.

Cerita ketiga ; Mengusir Setan


Dijaman dahulu kala, sebelum adanya agama datang, animisme penyembaan berhala adalah jalan pintas
yang sering dilakukan orang, karena efek dan manfaatnya jelas dan instan secepat kita merasakan
memakan cabai. Ritual persembahan-demi persembahan dilakukan orang hanya untuk mengejar
hadatuon (baca; dukun aji-ajian atau santet), habeguon (baca; kekuatan magis) dan hamoraon sumbaon
(baca; kekayaan dengan tumbal), hal itu dilakukan oleh masyarakat setempat karena efek instan yang
didapatkannya dari apa yang dia sembah.

Akan tetapi efek terhadap yang melakoninya hanya sementara saja, dan akan selalu memakan korban
dengan meminta tumbal sesuai dengan permintaan yang meminta.  Adalah yang anak lelaki dan
perempuan kesayangannnya diambil oleh sumbaon; ada juga yang anak perempuan kesayangannya
menjadi istri begu ganjang (setan); ada juga anak lelakinya setelah dewasa menjadi istri ular jadi-jadian
(ulok sumbaon). Ciri ciri penyembah berhala itu sangat aneh dilihat oleh orang yang tidak melakoninya;
dan mereka melihat keanehan seperti; anaknya cacat atau seperti beloon tapi hartanya banyak. Akan
tetapi hal itu tidak akan bertahan lama apabila permintaan sumbaon (yang disembah) tidak dituruti.
Selanjutnya akan berganti lagi kepada pemain baru yang melakukan ritual sumbaon lagi.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Anehnya  anak yang tidak melakonipun mulai di usik oleh setan, dan ketenangan penduduk yang tidak
melakoninyapun mulai terganggu, sampar penyakit, kesurupan membantingkan dirinya dan memakan
kotoran pun sudah mulai terjadi. Korbanpun sudah sangat banyak berjatuhan dari tahun ke tahun. Melihat
hal itu bagi yang berfikiran akal sehat, mereka satu sama lain saling diskusi dan mencari solusi kepada
datu bolon (dukun sakti), agar mampu mengusir atau memindahkan atau melenyapkan sumbaon itu dari
kampung mereka.  Singkat cerita satu demi satu dukun dari kampung lain dipanggil untuk mengusir atau
melenyapkan sumbaon tsb, akan tetapi dukun yang datang kalah kuat sehingga tetap saja tidak ada
hasilnya.

Keputus asaanpun mulai menyelimuti penduduk disitu, hingga tiba pada titik puncaknya mereka
menyerah dan tidak mampu lagi membiayai dukun pengusir setan.
Beberapa tahun kemudian kebetulan Pallupuk berkunjung ke situ karena ada keluarganya kawin dengan
marga siagian, melihat keanehan penduduk disitu bahwa sudah banyak orang melakukan pesta
ritual sumbaon (sinomba), Pallupuk pun menyelidikianya, dan kesimpulannya bahwa sumbaon itu
memang ada dan kekuatan magisnya sangat kuat.  Didalam hatinya bahwa tidak ada yang lebih kuat dari
Mulajadi Nabolon (TYME).

Bertepatan dimusim kemarau panjang Pallupuk membakar lokasi sumbaon (yang ditumbuhi pohon
beringin dan Pohon Ara) yang sangat besar melingkar ditengah ujung perkampungan itu.  Melihat hal itu
masyarakat pengikut sumbaon (penyembah) melarang Pallupuk, hingga terjadilah perkelahian, dan
perkelahian itu dapat dimenagkan Pallupuk dengan Andalu sebagai senjatanya. Setelah semua lokasi
sombaon itu terbakar, maka Pallupuk membuat lokasi itu sebagai kandang kerbau kerabat dan
saudaranya, karena menurutnya hanya kerbau yang dapat membersihkan dan mengusir setan.
Sejak saat itu masyarakat tenang dan sombaon itupun tidak ada lagi, demikianlah ia
dinamai Purbasinomba, karena dijaman dahulu ada dilokasi itu tempat penyembahan berhala.
Artinya (Purba=dahulu kala (na ujui); yang memiliki kemampuan (parroha sian purba); (Sinomba = yang
disembah). Purbasinomba artinya Dahulukala disini adalah tempat orang menyembah berhala. 
Demikianlah Pallupuk dikenal sebagai penakluk maut (sialo-begu).

Cerita ketiga ; Menentukan kepemilikan tanah


Disuatu kampung di sidikalang, ada tiga orang mengklaim tanah yang sama. Si Barutu menyatakan
bahwa tanah itu adalah miliknya. Si Tanjung dan Si Topu juga mengatakan menyatakan hal yang sama.
Ketiganya pernah mengusahakan tanah itu, dan ketiganya  juga pernah meninggalkannya. Ahirnya
percekcokanpun terjadi hingga terjadi ke perkelahian apabila salah satu dari mereka hendak
mengusahakan tanah itu. Alhasil mereka tidak bisa menggunakan tanah itu. Tibalah puncak perkelahian
mereka, salah satu dari mereka terjadi saling bacok, mengakibatkan sampailah kepada tetua adat.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Kebetulan Pallupuk ada disitu (sedang bertandang), melihat keramaian orang berkumpul disitu,


Ia memberanikan diri untuk menyelesaikan pertikaian mereka, dan sebahagian penduduk kampung situ
memang sudah pernah mendengar perihal kebijakan Pallupuk untuk menyelesaikan perkara-perkara
besar, akan tetapi wajah dan tampangnya belum mereka kenal.
Mendengar Pallupuk memperkenalkan diri, sontak tetua adat dan masyarakat disana menaruh harapan,
agar masalah itu dapat diselesaikannya.

Pallupuk bertanya kepada si Barutu;


Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa tanah itu milikmu ?.
Jawab si Barutu; tanah itu sejak dahulu sayalah pemiliknya, buktinya pada saat saya kerjakan tidak ada
yang keberatan.

Pallupuk bertanya kepada si Tanjung;


Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa tanah itu milikmu ?.
Jawab si Tanjung; 30 tahun lalu saya pernah sebagai petani jagung dan padi ladang terluas dikampung
ini, dan hasilnya saya ambil dari tanah itu.

Pallupuk bertanya lagi kepada Sitopu;


Bagaimana dengan anda, Adakah bukti yang bisa anda tunjukkan kepada kami disini bahwa tanah itu
milikmu ?.
Sitopu menjawab; Tuan-tuan saya juga pernah menanam jeruk dan kopi terluas dikampung ini, dan
hasilnya juga pernah saya nikmati selama puluhan tahun, tapi nasib harus membuat saya tidak
mengusahakan lagi tanah itu, akibat kena hama tanaman.

Ok baiklah; karena kalian saling mempertahankan pendapat dan pendirian kalian masing-masing, untuk
menyelesaikannya sekarang pun harus diambil kesepakatan, kata Pallupuk.
Pallupuk pun berkata; Kita telah mendengar bersama akan ucapan dan alasan mereka, yang semuanya
menunjukkan bukti-bukti dan fakta mereka, tapi dibalik itu masih tersimpan kebenaran yang hakiki.  Agar
terkuak kebenaran yang sesungguhnya.
Ada petuah moyang kita dahulu mengatakan (podani sijolo-jolo tubu);

Sinuan bulu diparik ni huta, (ditanam bambu dibatas kampung; artinya pertanda batas kampung)
Sinuan sipilit diparbalokan, (ditanam sipilit dibatas lahan; art. pertanda batas tanah kita dengan orang
lain)
Sinuan pinasa dipoguni huta, (ditanam nagka ditengah kampung; artinya pertanda ada penduduk)
SEJARAH SIMANJUNTAK

Nagabe tanda ni ugasan. (itulah semua pertanda dari kepemilikan)

Pertanyaan saya sekarang kepada kalian bertiga; adakah kalian pernah menanam itu semua ?
Jawab mereka bertiga; Tidak.
Baiklah, Apabila dari kalian Tidak,  maka pemiliknya adalah bukan kalian.
Beruntunglah kalian pemiliknya tidak pernah mengusik kalian, padahal hasilnya sudah kalian nikmati dan
bahkan tidak pernah kalian tanyakan siapa pemilik yang sesungguhnya.

Masyarakat disitu beserta tetua adat, sangat kagum akan kepintaran Pallupuk meneyelesaiakan perkara
besar yang sangat rumit itu. Pallupukpun sangat dihormati di daerah itu.

Penyebaran Turunan Pallupuk


Pallupuk adalah cicit dari Hutabulu. Generasi Pallupuk sangat sedikit kelihatan dikampung halamannya.
Hal itu terjadi karena generasinya kebanyakan merantau dan berganti nama/marga menjadi Pohan. Hal
itu terjadi karena situasi dan kondisi alam yang kurang bersahabat akibat dari adanya perubahan cuaca
yang sangat ekstrim yaitu musim kemarau yang berkepanjangan (haleon potir), sehingga memaksanya
untuk meninggalkan kampung halamannya dengan eksodus besar-besaran ke daerah yang lebih stabil
curah hujannya seperti Sumatera Timur (dolok masihol) dan  angkola  (sekarang tapanuli selatan).

Keberadaan Pallupuk di angkola dengan menggunakan Nama/Marga Pohan (yang diambilnya dari kakek
moyangnya sibagot ni Pohan). Sehingga banyak turunan simanjuntak secara umum di angkola meng-
gunakan marga Pohan, maka simanjuntak di angkola diidentikkan dengan Pohan, walaupun ada bebe-
rapa dari turunan sibagot ni Pohan seperti Panjaitan dan Siahaan dan Hutagaol yang menggunakan
Marga Pohan, tapi jumlahnya sangat sedikit. 

Kalau yang dari bona pasogit secara spesipik tidak mengetahuinya, tapi kalau Pohan angkola menge-
tahuinya. Yang paling nyata kalau pada saat kita kenalan lebih mendalam kepada mereka (Pohan) di
angkola, terutama yang mengetahui sejarah dan lagendanya. Pada saat kita berkenalan kepada Pohan,
lalu kita katakan; Horas aku “Simanjuntak Pallupuk, kalau dia dari Pallupuk dia langsung menjawab
ke kita “namar kaha maranggi do hita”, beta ma tu bagas. (kita adalah kakak adik, kerumahlah dulu
kita)”.  Akan tetapi kalau Pohan yang bukan dari Pallupuk yang kita temui, maka mereka akan bingung
dengan kata Pallupuk. Nah untuk lebih halusnya lebih baik kita perkenalkan diri kita simanjuntak saja, lalu
selanjutnya dapat diperdalam lagi (sambil melihat situasi dan kondisi Pohan lawan bicara kita tsb).

Penulis adalah eks siswa SMAN 3, Padang Matinggi, angkola (tapsel) dan pada saat jalan-jalan ke Tano
Tombangan 1984 Tapsel, di daerah tersebut banyak dijumpai Simanjuntak dari generasi Pallupuk. Dan
SEJARAH SIMANJUNTAK

menurut cerita Marihot Pardomuan Pohan, yang Penulis temui di Desa si Abu bahwa pemuka Huta di
Angkola ini secara umum adalah turunan Simanjuntak Pallupuk yang tadinya menggunakan nama Pohan
yang selanjutnya menjadi Marga Pohan. Bahkan dia dikatakan Raja Pohan disini karena menguasai
sebahagian besar tanah Angkola ini. (Bisa dikatakan bahwa pemuka Pohan di angkola adalah generasi
dari Pallupuk).

Simanjuntak Pallupuk Menjadi Marga Nasution


Alkisah, ada lelaki saudagar paruh baya yang kaya raya di Padang Matinggi, Padang Sidempuan,
Tapanuli Selatan. Areal perdagangannya Sipirok, Padang Sidempuan dan Panyabungan. Setiap minggu
Ia mengangkut barang dagangannya dengan kereta kuda, kadang 3 kereta, kadang lima keterta sesuai
kebutuhan. Setiap ketera kuda diusung oleh seorang pegawinya. Suatu ketika sepulang dari Panya-
bungan di daerah Siabu, Ia disantroni segerombolan perampok. Kereta kuda dan uang hasil penjualan
barang dagangannya ludes diambil semua oleh perampok. Dan bahkan 7 orang pegawainya mati
ditempat dibunuh oleh perampok, sementara si saudagar kaya terkapar kena bacok di bahu dan kakinya.

Saat perkelhian itu kebetulan ada seorang lelaki Duda bermarga Simanjuntak dari turunan Pallupuk yang
baru ditinggal mati istrinya saat melahirkan anak satu-satunya. Dalam perjalanan tsb Ia menggendong
anaknya yang masih kecil  baru bisa berjalan (lehet mardalan) menuju Sipirok ke tempat mertuanya
marga Siregar. Melihat kejadian itu si lelaki Duda tersebut tersentak hatinya untuk menolong si orang tua
saudagar kaya tersebut. Perlahan diletakkannya anaknya dibawah pohon sembari berkata; anakku
jangan pergi dari sini, jangan menangis, ayah mau menolong orang tua disana sembari ditunjukkannya,
dan si anak sepertinya mengerti akan pesan ayahnya dan diam saja ditempatnya.

Dalam perkelahian dengan para perampok itu ahirnya 5 orang dari perampok itu mati dibuatnya, melihat
beberapa temannya mati maka perampok lainnya kabur. Akan tetapi si lelaki Duda tsb juga kena bacok,
demikian juga si saudagar yang sudah lebih dahulu terkapar. Akan tetapi sebelum ia meninggal ia
menghampiri anaknya dan membawanya ke si Saudagar kaya tsb lalu berpesan; Amang saya
Pohan (sebagaimana diceritakan sebelumnya bahwa Pohan adalah turunan Simanjuntak
Pallupuk) tolong berikan anak ini ke oppung baonya Siregar di Sipirok, ibunya meninggal saat melahirkan
anak ini, selama ini kami tinggal di Panyabungan, hidupku tidak lama lagi, berjanjilah. Si saudagar
menyahut; jangan mati,,,,,,jangan mati,,,,berusahalah untuk hidup. Lalu si Lelaki duda menjawab;  aku
tidak kuat lagi menahan sakit ini,,,,,,ini sudah takdir dari Mulajadi Nabolon. Lalu ia tidak bernyawa lagi.

Keesokan harinya di pagi hari para petani mau ke ladang melewati jalan itu, lalu mendapati seorang anak
menangis disamping ayahnya dan meminta makan karena kelaparan, sembari menggoyang-goyangkan
muka dan badan ayahnya. Petani desa itupun melihat satu persatu lelaki yang terkapar, dan didapatilah
SEJARAH SIMANJUNTAK

bahwa si saudagar kaya masih hidup dengan luka bacokan di kepala, tangan, dada dan punggungnya.
Lalu si petani tsb merawat mereka ke rumahnya beserta anak kecil itu. Sontak seketika tersiarlah berita
atas kejadian itu ke penduduk sekitar.

Dua hari berikutnya pesanpun disampaikan ke istri si saudagar kaya tsb, istri si saudagar kaya datang
menjemput suaminya dan sekalian beserta anak kecil itu kerumahnya.
Setelah dua bulan berlalu, luka si saudagar kaya sembuh kesehatannyapun pulih sebagaimana sedia
kala, iapun mengingat janjinya akan membawa si anak tersebut ke tempat oppungnya di sipirok, lalu
berkata ke istrinya; istriku besok anak ini akan kukembalikan ke oppungnya sesuai janjike ke ayahnya
sebelum ia menghembuskan napasnya yang terahir, ayahnya si anak inilah yang menolong nyawaku
hingga aku masih bisa hidup sampai saat ini, kata si saudagar kaya ke istrinya.

Mendengar suaminya berkata demikian; si istri mikanya kelihatan sedih, sebab selama anak itu
bersamanya, ia telah terhibur dibuat si anak itu karena kelucuan dan kepintaran si anak itu. Lalu berkata;
suamiku, biarlah anak ini beserta kita, hatiku telah bergembira ria sejak melihat anak ini, janganlah
tambahkan lagi kesusahan akan diriku, kita telah sepuluh tahun berumah tangga tapi tidak juga dikaruniai
anak, ini sudah kehendak Mulajadi Nabolon dengan menitipkan anak ini untuk menjadi anak kita, kata
istrinya.

Melihat kesungguhan istrinya untuk memiliki anak itu, maka si saudagar kaya itupun mengalah dan
memendam rasa bersalahnya akan janjinya kepada ayah si anak itu. Baiklah kata suaminya.
Kesenangan Istrinya itupun makin hari makin bertambah.
Anehnya dua tahun setelah kejadian itu, istri si saudagar kaya mengandung dan melahirkan anak lelaki.  

Kasih sayangnya terhadap anak angkatnya itu sangat dalam bahkan sedalam anak kandungnya, dan
apabila ia memperkenalkan anaknya kepada sanak saudara dan orang lain selalu diutarakannya inilah
anakku sikahaan=sihahaan=siahaan (maksudnya anak yang paling besar yaitu anak angkatnya).
Selanjutnya anak kandungnya yang kedua atau yang paling kecil dikatakan sianggian.

Karena ungkapan anak Siahaan itulah maka marga Siahaan menyatakan, bahwa anak itu adalah anak
mereka (siahaan).
Demikian juga selanjutnya
Karena ungkapan anak Sianggian itu juga marga Siagian menyatakan, bahwa anak kedua (bontot) itu
adalah anak mereka (siagian).
SEJARAH SIMANJUNTAK

Beberapa tahun kemudian sebelum si saudagar kaya meninggal dunia, Ia mengundang sanak saudara
dan famili terdekat beserta adik-adiknya. Setelah selesai makan malam, maka sisaudagar kaya
mengatakan kepada mereka semua bahwa; Anak angkatnya akan mendapatkan waris yang sama
dengan anak kandungnya. Sontak seketika; satu dari dua adik kandungnya tidak menerima putusan
abangnya itu.

Dua tahun kemudian meninggal dunialah si saudagar kaya itu, dan kesempatan tsb dimanfaatkan
adiknya yang tidak setuju untuk menyudahi si anak angkat abangnya dengan merencanakan untuk
membunuhnya. Agar tipu muslihatnya kelihatan cerdik maka disuruhnyalah anak kandungnya untuk
berteman dengan si anak angkat abangnya tsb.

Alasan untuk menyudahi si anak angkat sangatlah jelas; karena adik-adik si saudagar kaya turut serta
dalam usaha si saudagar kaya tsb, dan setiap tindakan adik sisaudagar kaya untuk menjual harta benda
si saudagar kaya selalu dihalang-halangi si anak angkat.

Disuatu malam diberilah order untuk membunuh si anak angkat, dengan memberikan ciri-ciri kepada si
pembunuh; bahwa yang dibunuh adalah anak lelaki yang rambutnya paling panjang diantara mereka
yang tidur.

Anehnya dimalam itu kepala sianak angkat gatal-gatal akibat kemasukan kutu busuk, karena tidak tahan
lagi akan gatalnya maka disuruhnyalah kedua adiknya untuk memotong rambutnya. Sesudah dipotong
barulah ia bisa tidur.

Keesokan harinya adik si saudagar kaya terkejut, karena melihat ada anak lelaki botak mirif si anak
angkat berjalan didepannya saat mau mandi ke pancuran, keheranannya itu segera dipastikannya
apakah yang mirif itu si anak angkat atau bukan. Setelah dilihatnya dengan teliti potongan kepala yang
diberikan kepadanya dimalam kejadian itu, ternyata adalah anaknya sendiri. Dengan rasa sedih buru-
buru kepalanya itu disatukannya ke badan anaknya.

Sehabis si anak angkat pulang mandi, ia segera berpura-pura memanggil anaknya kerumah si saudagar
kaya abangnya itu. Karena tidak ada sahutan, maka ia seolah mencari-cari, dan pura pura menanyakan,
tidak berapa lama kemudian mereka menemukan anaknya telah tergorok putus lehernya. Anak itupun
ditangisinya dengan sekuat tenaga seharian lamanya. Melihat kejadian itu, gemparlah keadaan di sekitar
kampung itu.
SEJARAH SIMANJUNTAK

Dengan nada keras Ia pun balik menuduh bahwa pelakunya adalah si anak angkat,  akan tetapi bukti
akan hal itu tidak ditemukan. Hal itu dilakukannya hanya untuk mengelabui perbuatan kotornya saja.
Belakangan diketahui oranglah bahwa ialah (adik si saudagar kaya) otak pelakunya, hal itu terbongkar
pada saat ia menagis dikuburan anaknya, yang dilakukannya pada saat orang sepi.
Ahirnya masyarakat setempat yang mengetahuinya lalu mengatakan si anak angkat
tsb Nasangtion (baca ; Nasaktion yang artinya orang sakti), yang ahirnya dalam ungkapan sehari-hari
dikatakan Nasution.

B. Kesimpulan ;
1.  Anak dari Sibursok Pati
Dari berbagai sumber.
Sibursok Pati memiliki tujuh anak yang beraneka ragam, sifat dan corak keanehan yang diberikan Yang
Maha Kuasa kepadanya; Ada yang sakti (1.Sitingkir Ulubalang, Gelar Partahi Oloan (Datu Malela) Ia
mampu melihat isi hati orang dan juga mampu meramal apa yang akan terjadi kelak. Ada yang
Bijak (2.Pallupuk); Ada yang gemar berkelahi (3.Guru Sosunggulon) apabila diutarakan suatu
permasalahan kepadanya pasti dilakoninya (pantang so disungguli pintor bingkas); Ada yang tidak kenal
takut akan mara bahaya setan (4.Raja Sohatahutan); Ada yang yang ahli sepat lidah (5.Raja
Mandalo) segala sesuatu baginya adalah benar adanya (versi humbang; mandalo=meng-iyakan semua
perkataan orang, yang penting kepentingannya tercapai); Ada yang gemar adu pendapat atau
patungtang (6.Raja Marlohot, Gelar Raja Sotaralo dan yang bungsu (7.Raja Naposo) ia tidak
pernah kelihatan tua. Walaupun ahirnya ia menikah, tapi tidak ada keturunan dari biologisnya, akan
tetapi ia mengangkat anak abangnya Raja Marlohot sebagai anaknya.

2.  Pemberian Nama (gelar) atau Goar Tulut.


Adapun pemberian nama sibursok kepada tiga anak Raja Tumonggotua; Ronggur; Datu; Pati, bukan
pemberian ayahnya, akan tetapi sibursok adalah goar tulut (gelar) yang diberikan masyarakat atau
panggilan orang sehari hari, karena mereka merupakan inti (versi humbang; si-bursok=inti) dari sesuatu
yang dimilikinya. Sibursok Ronggur; Suaranya sangat kuat, sehingga ia digelari; Babiat ni humbang pe
lintum marimpoti dibaen gogoni suarana. Sibursok Datu; karena ia dapat mengalahkan datu-datu (adu
kesaktian). Sibursok Pati ; karena hanya ia yang mampu marpati-patian (kata-kata sumpah janji) dan
terjadi.
Akan tetapi dari tujuh anak Sibursok Pati, hanya dua orang yang mempunyai lagenda
yang hidup yaitu Sitingkir Ulubalang dan Pallupuk.

Note; Apabila ada tulisan ini yang kurang tepat, akan diperbaiki sebagaimana mestinya.

**************
SEJARAH SIMANJUNTAK

Pesan Moril;
Anekdot sifat orang Batak yang negatif berdasarkan daerah dimana ia tinggal, Yang perlu
diperbaiki;  Elat-Teal-Late-Toal-Hosom-Rajani-Rereni

Elatni Angkola - Tealni Silindung - Lateni Simalungun - Toalni Toba - Hosomni Karo -
Rajani Samosir - Rereni Humbang

Elat-ni; Ia tidak suka melihat temannya maju


Elat rohana molo adong donganna maju.

Teal-ni; Apakah sudah ada yang membeli kalian ? Padahal dia sendiripun pengangguran.
Nungnga laku hamuna tahe ?, hape ibana pe somangan dopena.
Ai nungnga lakku tahe borumu nai ?, hape borunape nangngo pola sada dang adong
namanopot.

Late-ni; Benci hatinya melihat orang berhasil


Late rohana mamereng donganna hasea.
Atik ahape nanidokni si anu i......, molo dang lomo rohana mamereng, sai na salado sude.

Toal-ni; Memangnya sudah sekaya apa dia ?, padahal diapun tidak bisa berbuat.
Ai pintor naung boha haroa hamoraonnai ?, hape ibanape pogos.
Ai sadia haroha argani mobilnai ?, hape ibana nanggo pola manuhor sepeda pe dang boi

Hosom-ni; Kita pikir teman padahal hatinya busuk


Sai nirippu dongan hape rohana mangulohi.  

Raja-ni; Dia itu saudara dekatku, padalah saudara jauh


Apola ; lae ni, anak ni tulangku, sipaidau mai, sian oppu ni ompu namartinodohon.
Jala hami dopena i. Dokkon hamuma goarhu tu nasida.

Rere-ni; Menunjukkan kerendahan hati, setelah berkenalan, lalu ia mengajak orang itu


kerumahnya.
Molo marsitandaan, jolo tu jabuma hita manggadong,
SEJARAH SIMANJUNTAK

huhut dipahembang rere laho hundulan nasida, barupe mangkatai.

Anda mungkin juga menyukai