Anda di halaman 1dari 5

Slides 15 – Key of Solvency

1. Solvency is the ability of a company to meet its long-term debts and other financial
obligations.
2. Solvency is one measure of a company’s financial health since it demonstrates a
company’s ability to manage operations into the foreseeable future.
3. Investors can use ratios to analyze a company's solvency.
4. When analyzing solvency, it is typically prudent to conjunctively assess liquidity
measures as well, particularly since a company can be insolvent but still generate
steady levels of liquidity.
Kunci Solvabilitas
1. Solvabilitas adalah kemampuan perusahaan untuk memenuhi hutang jangka
panjang dan kewajiban keuangan lainnya.
2. Solvabilitas adalah salah satu ukuran kesehatan keuangan perusahaan karena
menunjukkan kemampuan perusahaan untuk mengelola operasi di masa
mendatang.
3. Investor dapat menggunakan rasio untuk menganalisis solvabilitas perusahaan.
4. Saat menganalisis solvabilitas, biasanya bijaksana untuk menilai ukuran likuiditas
secara konjungtif juga, terutama karena perusahaan dapat bangkrut tetapi masih
menghasilkan tingkat likuiditas yang stabil.

Slide 16 – Solvency Regulation


There are several regulations for solvency in Indonesia, such as:
1. POJK Nomor 71 Tahun 2016, about financial health insurance companies and
reinsurance companies. Pasal 1, ayat (12), menyatakan tingkat solvabilitas adalah
selisih antara jumlah aset yang diperkenankan dikurangi dengan jumlah liabilitas.
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2016, on the Prevention and treatment of financial
crisis (UU PPKSK).
 Bagian 4 dari pasal 21-29, menjelaskan seputar penanganan permasalahan
solvabilitas bank sistemik.
 Bagian 5 dari pasal 30-31, menjelaskan seputar penanganan permasalahan
solvabilitas bank non-sistemik.
3. POJK Nomor 72 Tahun 2016, financial health insurance companies and reinsurance
companies with sharia principles. Pasal 1, ayat (23), menyatakan tingkat solvabilitas
dana tabarru’ dan dana tanahud adalah selisih antara jumlah aset yang
diperkenankan dari dana tabarru’ dan dana tanahud dikurangi dengan liabilitas dari
pengelolaan dana tabarru’ dan dana tanahud.
Dana Tabarru’ adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para pemegang polis
atau peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai dengan perjanjian asuransi syariah
atau perjanjian reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor
40 Tahun 2014 tentang Perasuransian.
Dana Tanahud adalah kumpulan dana yang berasal dari kontribusi para pemegang polis
atau peserta anuitas program pensiun syariah, qardh dari dana perusahaan, dan/atau Dana
Tanahud dari reasuransi atas produk anuitas program pensiun syariah, beserta hasil
investasinya, yang penggunaannya sesuai dengan perjanjian anuitas syariah untuk
program pension atau perjanjian reasuransi syariah atas anuitas syariah untuk program
pensiun.

Slide 17 – Bank sistemik dan Non Sistemik


A systemic Bank is a bank that, due to the size of its assets, capital, and liabilities; the breadth
of its network or the complexity of transactions on banking services; and its linkages with
other financial sectors, if disrupted or failed, could result in the failure of other banks or
financial services sectors, both operationally and financially. There are several banks that
qualified as systemic banks, such as Bank BRI, Bank BCA, Bank Danamon, etc.
Banks that have smaller assets, limited transactions and have few branches or only centered
in certain areas will of course fall into the category of non-systemic banks. Banks that have
little interaction with other financial institutions will certainly be categorized as non-systemic
banks because their failure will not have a direct impact on the course of the banking system
in a country.
In the event of a failure in a non-systemic bank that results in bankruptcy, the resulting effect
will certainly not hurt the national economic situation to, for example, cause a potential crisis
or monetary chaos. Bank Century, which was designated as a failed bank, had a systemic
impact on parliamentarians and observers who differed from the government. For five years,
the discussion of banks endless systemic impact. It finally stopped when SBY's government
was replaced by Jokowi's government. Reflecting on the case of Bank Century, now there are
new developments. In line with the ratification of the law (UU) Prevention and handling of
the financial system crisis (PPKSK), it will be known earlier which banks fall into the
category of systemic and non-systemic.
In addition, the determination of these criteria is also regularly evaluated by the government.
Therefore, the systemic and non-systemic status of a bank can change according to the
condition and financial situation of the country concerned.
Bank sistemik adalah bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban; luas jaringan atau
kompleksitas transaksi atas jasa perbankan; serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain
yang jika mengalami gangguan atau gagal dapat mengakibatkan gagalnya bank lain atau
sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial. Ada beberapa bank yang
lolos sebagai bank sistemik, seperti Bank BRI, Bank BCA, Bank Danamon, dll.
Bank-bank yang memiliki aset lebih kecil, transaksi terbatas dan memiliki cabang sedikit atau
hanya berpusat di daerah tertentu tentu saja akan masuk kategori bank non-sistemik. Bank
yang memiliki sedikit interaksi dengan lembaga keuangan yang lain tentu akan dikategorikan
sebagai bank non-sistemik karena kegagalannya tidak akan berdampak langsung terhadap
jalannya sistem perbankan secara keselurahan dalam suatu negara.
Apabila terjadi kegagalan pada bank non-sistemik yang mengakibatkan kebangkrutan, maka
efek yang dihasilkan pastinya tidak akan sampai melukai situasi perekonomian nasional
hingga, misalnya, menimbulkan potensi krisis atau kekacauan moneter. Bank Century yang
ditetapkan sebagai bank gagal berdampak sistemik menjadi bulan-bulanan parlemen dan
pengamat yang berbeda dengan pemerintah. Selama lima tahun, pembahasan bank
berdampak sistemik tak berujung. Akhirnya berhenti ketika pemerintahan SBY digantikan
oleh pemerintahan Jokowi. Berkaca pada kasus Bank Century, sekarang ini ada
perkembangan baru. Sejalan dengan disahkannya undang-undang (UU) Pencegahan dan
Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), maka akan lebih awal diketahui bank mana
yang masuk kategori sistemik dan nonsistemik.
Di samping itu, penetapan kriteria ini juga selalu dievaluasi secara berkala oleh pemerintah.
Karena itulah status sistemik dan non-sistemik dari suatu bank bisa berubah-ubah sesuai
dengan kondisi dan situasi keuangan negara yang bersangkutan.

Slide 18 – UU PPKSK
As a legal basis for relevant institutions to coordinate in maintaining and creating financial
system stability. The issuance of the PPKSK law established the Financial System Stability
Committee (KSSK) consisting of the Minister of Finance, Governor of Bank Indonesia,
Chairman of the Board of Commissioners of the Financial Services Authority, and Chairman
of the Board of Commissioners of the Deposit Insurance Agency.
PPKSK law regulates the role of KSSK which includes:
 coordination of monitoring and maintenance of financial system stability.
 addressing the financial crisis; and
 handling of systemic bank problems, both in conditions of normal financial
system stability and financial system crisis conditions.
Sebagai landasan hukum bagi lembaga-lembaga terkait untuk berkoordinasi dalam
menjaga dan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Penerbitan UU PPKSK dibentuk
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang beranggotakan Menteri Keuangan,
Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua
Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan.
UU PPKSK mengatur peran KSSK yang meliputi:
 koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan;
 penanganan krisis sistem keuangan; dan
 penanganan permasalahan bank sistemik, baik dalam kondisi stabilitas sistem
keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan.

Slide 19 – Pengawasan serta persiapan penanganan permasalahan bank dalam


rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan. / Financial Crisis
Management

1. Bank sistemik diwajibkan untuk memenuhi ketentuan khusus mengenai rasio


kecukupan modal dan rasio kecukupan likuiditas, menyusun rencana aksi (recovery
plan) yang memuat kewajiban pemegang saham pengendali dan/atau pihak lain untuk
menambah modal bank serta kewajiban memiliki jenis utang tertentu yang dapat
dikonversi menjadi modal.
2. Apabila terdapat bank yang mengalami kesulitan likuiditas, maka dapat mengajukan
permohonan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) kepada BI. Dalam pemberian
PLJP, Otoritas Jasa Keuangan melakukan penilaian mengenai pemenuhan persyaratan
solvabilitas dan tingkat kesehatan bank. BI bersama OJK melakukan penilaian
mengenai pemenuhan persyaratan agunan dan perkiraan kemampuan bank untuk
mengembalikan PLJP.
3. Dalam hal terdapat bank yang mengalami permasalahan solvabilitas dan ditetapkan
sebagai Bank Dalam Pengawasan Intensif (BDPI), OJK memberitahukan kepada
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk melakukan persiapan penanganan. Dalam
hal kondisi bank memburuk dan ditetapkan sebagai Bank Dalam pengawasan khusus
(BDPK), OJK meminta LPS meningkatkan intensitas persiapan penanganan Bank.
Bentuk koordinasi OJK dengan LPS, antara lain pertukaran data dan informasi terkini,
pemeriksaan bersama terhadap bank, dan kegiatan lain dalam rangka persiapan
resolusi oleh LPS.
4. Dalam hal penanganan tidak dapat mengatasi permasalahan solvabilitas dan bank
ditetapkan sebagai bank yang tidak dapat disehatkan, maka:
1) Bagi bank selain bank sistemik, OJK menyerahkan penanganan bank kepada
LPS.
2) Bagi bank sistemik, OJK meminta penyelenggaraan rapat KSSK disertai
dengan rekomendasi langkah penanganan permasalahan bank. Rapat KSSK
memutuskan penyerahan bank kepada LPS dan menetapkan langkah yang
harus dilakukan oleh anggota KSSK lainnya untuk mendukung pelaksanaan
penanganan bank oleh LPS.
5. Penanganan permasalahan solvabilitas bank oleh LPS dilakukan dengan cara
mengalihkan aset dan/atau kewajiban bank kepada bank penerima (metode purchase
and assumption), mengalihkan sebagian aset dan/atau kewajiban bank kepada bank
perantara, melakukan penyertaan modal sementara, maupun likuidasi (khusus bagi
bank selain bank sistemik).
6. Dalam hal diputuskan perubahan status stabilitas sistem keuangan dari kondisi normal
menjadi kondisi krisis sistem keuangan, selain upaya-upaya penanganan
permasalahan likuiditas dan solvabilitas sebagaimana dijelaskan di atas, Program
Restrukturisasi Perbankan juga diselenggarakan oleh LPS untuk penanganan
permasalahan bank.

Slide 20 – Risiko Solvabilitas/ Solvency Risk


Risiko Solvabilitas Bank
According to Kasmir (2008: 229) the solvency ratio of the bank is a measure of the bank's
ability to find sources of funds to finance its activities usually also said this ratio is a measure
to see the wealth of the bank to see the efficiency for the management of the bank.
Menurut Kasmir (2008:229) Rasio solvabilitas bank merupakan ukuran kemampuan bank
dalam mencari sumber dana untuk membiayai kegiatannya biasa juga dikatakan rasio ini
merupakan alat ukur untuk melihat kekayaan bank untuk melihat efisiensi bagi pihak
manajemen bank tersebut. Risiko Solvabilitas adalah bentuk resiko yang dialami pihak
perbankan jika jumlah aktiva tidak cukup atau lebih kecil dari pada jumlah hutangnya. Untuk
mengukur risiko solvabilitas maka digunakan rasio-rasio antara lain:
 Risk Assets Ratio
Risk asset ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur kemungkinan
penurunan risk assets. Rumus untuk mencari risk assets ratio adalah sebagai berikut:

Semakin besar rasio ini maka kemungkinan bank bermasalah semakin kecil.
 Secondary Risk Ratio
Secondary risk ratio merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur penurunan
asset yang mempunyai risiko lebih tinggi. Rumus untuk mencari secondary risk ratio
adalah sebagai berikut:

Semakin besar rasio ini maka kemungkinan bank bermasalah semakin kecil.

Anda mungkin juga menyukai