Chapter Raihani Isu Pendidikan
Chapter Raihani Isu Pendidikan
net/publication/343976466
CITATIONS READS
0 31,681
1 author:
Raihani Raihani
State Islamic University of Sultan Syarif Kasim Riau
39 PUBLICATIONS 596 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
ISLAM AND CITIZENSHIP EDUCATION: The Narratives of Citizenship Education Teachers in Salafi Schools View project
All content following this page was uploaded by Raihani Raihani on 30 August 2020.
Editor:
Raihani, dkk. | i
Meneroka Ragam Isu
Kekinian Pendidikan
Penulis:
Raihani, Anri Saputra, Muharrama
Trifiriani, dkk.
Penata Letak:
LovRinz Desk
Desain sampul:
LovRinz Desk
ISBN: 978-623-289-096-1
Raihani, dkk. | xi
ISU-ISU KONTEMPORER PENDIDIKAN
INDONESIA
Raihani, dkk. | 1
sebuah perubahan menjadi berita yang tersebar luas, seorang
guru mengambil waktu untuk menceritakan peristiwa tersebut di
dalam kelas. Pun, para siswa juga akan berbincang dengan rekan-
rekannya tentang hal itu. Walaupun mungkin tidak berdampak
masif terhadap proses pendidikan, pengaruh terhadapnya pasti
akan ada. Apalagi jika peristiwa-peristiwa yang terjadi berkaitan
erat dengan pendidikan seperti perubahan politik nasional maupun
lokal. Hal ini sudah pasti akan berkontribusi terhadap perubahan-
perubahan kebijakan, struktur dan kepemimpinan pendidikan yang
pada akhirnya berdampak pada banyak dimensi dari pendidikan di
sekolah. Mungkin saja dengan perubahan kebijakan, misalnya,
kurikulum sekolah akan mengalami perubahan, pendekatan
pembelajaran oleh guru bertransformasi ke arah yang
menyesuaikan dengan tuntutan kebijakan, suasana pendidikan di
sekolah berwujud secara berbeda dari sebelumnya, dan pada
akhirnya proses pembelajaran yang dialami oleh siswa juga akan
berubah.
Bab pertama dari buku ini akan mengetengahkan isu-isu
penting kontemporer dalam konteks pendidikan Indonesia. Sebuah
isu dapat dikatakan ―isu‖ dan ―kontemporer‖ manakala ia bersifat
kekinian dan berdampak massif terhadap masyarakat. Di samping
dapat dilihat dari rentang waktu yang singkat dari sekarang ke
masa lalu, ―kekinian‖ dapat berarti bahwa sebuah isu sudah
banyak dibicarakan, diperhatikan, dan bahkan diteliti sejak puluhan
tahun lalu dan masih terus menarik perhatian karena banyak
Raihani, dkk. | 3
bahkan bertentangan satu sama lain yang dapat menciptakan
kebimbangan dan keraguan di kalangan pelajar Muslim.
Sebahagian mungkin mampu mengambil salah satu dari
keduanya, tapi sebahagian yang lain diliputi kegalauan yang tak
berujung. Jika keberpihakan mereka jatuh kepada sains yang lebih
rasional dan akhirnya membuat mereka jauh dari agama yang
dianggap tidak logis, maka inilah kekacauan dan mala petaka
besar menimpa generasi Muslim sekarang. Begitupun pula
sebaliknya, mereka bias saja menghindari sains modern karena
dianggap bertentangan secara frontal dengan doktrin-doktrin
agama.
Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan dikotomi ini,
gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan akhirnya mencuat.
Islamisasi pengetahuan adalah sebuah proses untuk
mengembalikan semua warisan keilmuan ke dalam perspektif
Islam (Al-Faruqy, 1982). Sementara itu, Naquib al-Attas (1979)
menyatakan bahwa Islamisasi: ―the deliverance of knowledge from
its interpretations based on secular ideology and from meanings
and expressions of the secular‖. Islamisasi adalah proses
―pembebasan‖ pengetahuan dari interpretasinya yang berbasis
pada ideologi sekuler dan dari pemaknaan dan ekpresi yang
bersifat sekuler. Jadi, Islamisasi mempunyai tujuan agar segala
pengetahuan yang sudah, sedang dan akan dikembangkan harus
berbasis pada epistimologi Islami sebagai lawan atau vis-à-vis
epistimologi sekuler yang mencerabut pengetahuan dari dimensi-
Raihani, dkk. | 5
dalam pengertian sederhananya adalah proses pengIslaman.
Sementara integrasi adalah proses menyatu-padukan antara dua
atau lebih hal yang berbeda. Oleh karena itu, dalam terminiloginya,
integrasi dalam konteks pembahasan bab ini dapat dimaknai
sebagai sebuah upaya menyatupadukan dua konsep dan jenis
keilmuan, yaitu ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman baik pada
tataran filosofis maupun praktis. Pada tataran filosofis, upaya
integrasi dilakukan dengan menganalisa kembali fondasi
bangunan keilmuan masing-masing dan mengupayakan
pemaduan melalui beragam pendekatan. Sementara pada tataran
praktis, upaya integrasi diupayakan dalam bentuk reformasi
kurikulum dan proses pembelajaran. Kedua upaya ini sampai
sekarang masih butuh perhatian yang seksama dari segenap pihak
yang mendukung integrasi keilmuan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa upaya melakukan
integrasi antara ilmu-ilmu keIslaman dan sains modern sudah
dilakukan di berbagai level pendidikan dan kurikulum di Indonesia.
Pada tingkat universitas, upaya integrasi keilmuan sudah terjadi
sejak lama khususnya di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI)
dan melahirkan satu gagasan besar dalam konteks reformasi
perguruan tinggi yaitu ubah status dari Institut Agama Islam
kepada Universitas Islam. Ubah status ini menunjukkan adanya
keinginan untuk mengatasi persoalan keilmuan yang sebelumnya
terbelah antara umum atau sekuler dan Islam. Dengan universitas,
idealnya, tidak ada dikotomi tersebut, dan sebagai gantiya semua
Raihani, dkk. | 7
seragam dan solid. Artinya, di luar madrasah dan lembaga
pendidikan Islam, upaya integrasi masih dilakukan secara sporadis
dan banyak bergantung pada masing-masing guru atau dosen.
Dari pengmanatan penulis, ada beberapa catatan yang perlu
diperhatikan ketika melihat fenomena responsif terhadap isu
integrasi keilmuan ini, antara lain:
1. Upaya implementatif integrasi keilmuan masih belum
menyentuh semua bidang keilmuan apalagi mata kuliah.
Disinyalir masih banyak mata kuliah yang diajarkan dengan
sumber referensi pengetahuan yang dikembangkan atas dasar
semangat sekulerisme atau sebaliknya. Ini menyebabkan
proses imparsi pengetahuan dalam kelas menjadi tidak
integratif.
Raihani, dkk. | 9
yang dibutuhkan untuk upaya integrasi ini dibentuk melalui
proses belajar yang ada di lembaga-lembaga riset ini.
Raihani, dkk. | 11
Dari keempat kebijakan di atas, bagi masyarakat umum,
penghapusan UN merupakan kebijakan yang sudah diharapkan
oleh banyak orang sejak lama. UN selama ini dianggap hanya
menciptakan masalah dalam proses pendidikan di sekolah dan
keresahan di kalangan orangtua siswa, sementara hasil UN juga
tidak mencerminkan realitas hasil belajar siswa. Selain itu, UN
selama ini tidak sensitif terhadap kesenjangan proses pendidikan
di mana standar proses di semua daerah tidak sama. Oleh karena
itu, keberanian Nadiem Makarim menghapuskan UN layak
diapresiasi walaupun program penggantinya harus tetap diamati
dan dikontrol secara seksama. Konsep asesmen baru yang
dicanangkan mirip dengan sistim asesmen yang dilakukan di luar
negeri terutama di Australia. Di negara ini, tidak ada UN, tetapi ada
NAPLAN atau National Assessment Program – Literacy and
Numeracy. Dari bahasanya ini adalah ujian nasional, akan tetapi
hasilnya hanya dipergunakan untuk mengetahui kesenjangan antar
sekolah yang akan dijadikan informasi untuk meningkatkan
kualitas belajar sehingga kesenjangan bisa diperkecil. Apakah
asesmen baru Nadiem ini akan berhasil, tentu publik harus
menunggu waktu cukup lama karena program ini baru akan
dilaksanakan mulai tahun 2021.
Merdeka Belajar episode kedua difokuskan pada reformasi
di perguruan tinggi yang disebut dengan ―Kampus Merdeka‖ yang
mempunyai empat kebijakan (Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2020a). Pertama, perguruan tinggi yang sudah
Raihani, dkk. | 13
para pengamat, Kampus Merdeka yang digagas tidaklah seperti
harapan banyak pihak, yaitu penguatan otonomi kampus dan
kebebasan mimbar akademik kampus. Fenomena yang terjadi
selama beberapa tahun terakhir adalah adanya sentralisasi
kewenangan dalam urusan perguruan tinggi yang membuat iklim
demokrasi kampus memburuk. Kebebasan berpendapat dalam
lingkup kampus dihantui oleh penerapan UU ITE yang cenderung
represif dan salah sasaran seperti yang terjadi pada seorang
dosen di perguruan tinggi di Aceh. Intinya, Kampus Merdeka yang
diusung bukanlah upaya mereformasi perguruan tinggi agar lebih
demokratis dan otonomis.
Episode ketiga dari reformasi Merdeka Belajar ini adalah
peningkatan kualitas layanan Dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) yang meliputi penyaluran BOS langsung ke sekolah,
penggunaan BOS lebih fleksibel, nilai satuan BOS meningkat, dan
pelaporan BOS yang diperketat agar lebih transparan dan
akuntabel (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020b).
Penyaluran langsung BOS ke sekolah adalah sebuah terobosan
yang cerdas karena selama ini dana BOS harus mampir dulu ke
Rekening Kas Umum Daerah sebelum disalurkan ke sekolah. Ini
akan mempercepat proses dan juga mengurangi resiko perilaku
korupsi baik dari pihak sekolah maupun Pemda. Dana BOS, dalam
kebijakan baru ini, juga dapat dipergunakan untuk membiyai guru
honor yang mempunyai NUPTK dengan porsi yang lebih besar dari
sebelumnya. Di samping itu, satuan dana BOS akan dinaikkan.
1
Penulis belum menemukan referensi langsung dari Kemendikbud
mengenai episode keempat ini, dan hanya mendapatkan informasi dari
media massa.
Raihani, dkk. | 15
DIVERSITAS DAN KESENJANGAN
Isu pendidikan lainnya di Indonesia adalah masalah
keragaman dan kesenjangan. Walaupun isu ini sudah sejak dahulu
ada, akan tetapi isu ini masih tetap menjadi masalah besar dalam
pemerataan pendidikan di Indonesia. Kesenjangan antara kualitas
pendidikan urban dan rural utamanya menjadi keprihatinan kronis
bagi pemerhati pendidikan di tengah derasnya dorongan untuk
menyeragamkan hasil pendidikan melalui berbagai jenis evaluasi.
Untungnya, sekarang kementerian pendidikan sudah meniadakan
UN dan mencoba untuk lebih memperhatikan kesenjangan ini.
Kesenjangan muncul karena diversitas atau keragaman
yang tidak terkelola dengan baik. Keragaman dihasilkan oleh
identitas-identitas yang melekat pada manusia (Ang, Brand, Noble,
& Wilding, 2002; Machacek, 2003). Ada identitas yang sifatnya
bawaan (given) seperti karakteristik rasial dan ada yang sifatnya
dikonstruksi (constructed) seperti karakteristik kelas sosial.
Seseorang biasanya mempunyai identitas berganda karena ras,
suku, agama, afiliasi politik, kelas sosial dan lain-lain. Namun,
pada ghalibnya, orang sering mengelompokkan manusia
berdasarkan pada identitas-identitas kelompok baik berupa ras,
suku, dan agama. Dalam dunia pendidikan, keragaman seperti ini
merefleksikan kondisi sosial masyarakat di mana para siswa
datang dari beragam latar belakang. Adalah kebijakan dan praktis
pemerintah di suatu negara dalam menyikapi dan mengelola
Raihani, dkk. | 17
Berefleksi pada keterlibatan penulis dalam sebuah penelitian
besar yang diinisiasi oleh Bank Dunia dalam tiga tahun berturut-
turut 2016, 2017 dan 2018 dalam topik peningkatan kualitas
mengajar guru di daera terpencil di Kalimantan Barat dan Nusa
Tenggara Timur, maka kesenjangan kualitas pendidikan ini sangat
nyata dan memprihatinkan. Hampir di semua indikator, proses
pendidikan di daerah terpencil sangat tertinggal jika dibandingkan
dengan proses yang sama di daerah perkotaan. Misalnya,
kehadiran para siswa yang masih bergantung pada kepentingan
ekonomi orangtua. Jika musim tanam dan panen, maka sebagian
siswa akan dilibatkan untuk membantu orangtua di sawah atau
ladang. Perhatian orangtua terhadap pendidikan anak sangat
rendah. Demikian pula, fasilitas belajar mulai dari gedung yang
kadang tidak layak, ruang kelas bocor, fasilitas kelas yang tidak
memadai, dan tiadanya perpustakaan sekolah. Bahkan, tingkat
kehadiran para guru di banyak daerah terpencil ini masih rendah
karena tempat tinggal mereka yang jauh dari sekolah, sementara
akses ke sekolah dari rumah jauh dengan jalan yang masih belum
beraspal dan terjal. Jadi, dari fakta ini, bagaimana bisa berharap
bahwa kualitas pendidikan mereka di daerah terpencil ini akan bisa
setara dengan yang berada di daerah perkotaan atau pedesaan
sekalipun.
Raihani, dkk. | 19
menjadi guru di rumah. Orangtua mahasiswa harus menyediakan
uang lebih agar anak-anaknya bisa membeli paket internet yang
tidak murah agar bisa terus ikut pembelajaran. Siswa dan
mahasiswa nampaknya mengalami tingkat stress yang tinggi
karena banyaknya tugas yang harus dikerjakan karena guru-guru
ingin memastikan bahwa pelajaran yang mereka berikan diserap
oleh anak-anak dengan cara memberi penugasan. Dan bagi yang
menggunakan platform pembelajaran yang tidak memungkinkan
tatap muka online, maka penugasan itulah menjadi strategi favorit
para guru dan dosen. Bisa dibayangkan jika setiap guru dalam
setiap minggunya memberi tugas kepada para siswa dan
mahasiswa, berapa tugas perhari yang harus mereka selesaikan.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis setelah
mengamati fenomena ketergagapan sebagian besar praktisi
pendidikan menghadapi konsekuensi Covid-19 ini. Pertama,
sebagian besar lembaga pendidikan nampaknya mengalami
ketidaksiapan dalam banyak hal termasuk tata kelola, fasilitas,
pendanaan dan sumber daya manusia. Dalam hal tata kelola, bisa
jadi ini hal yang dapat dimaklumi, regulasi akademik untuk
pelaksanaan pembelajaran daring tidak disiapkan meskipun
tuntutan untuk itu sebetulnya tidak datang sekonyong-konyong
pada saat pandemi covid ini. Kebutuhan pembelajaran daring
semakin tinggi ketika kecanggihan IT semakin memungkinkan dan
mobilitas manusia semakin tinggi. Dalam konteks di Riau, musibah
asap yang menjadi satu hal reguler setiap tahun di mana proses
Raihani, dkk. | 21
daring tanpa jaringan yang bagus. Dalam laporan beberapa
observer, ada yang menyiasatinya dengan pembelajaran melalui
siaran Radio Republik Indonesia (RRI) lokal. Akan tetapi, akankah
pembelajaran dengan cara ini efektif? Sulit untuk mengatakan iya.
Dalam konteks ini, status kaya miskin dari orangtua siswa tidak
berpengaruh banyak. Berbeda dengan kelompok kedua, akses
terhadap pembelajaran daring terhambat oleh ketidakmampuan
untuk membeli jaringan atau kuota internet. Banyak orangtua
harus menata ulang keuangan domestik untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan gaya baru anak-anak mereka. Namun, bagi
mereka yang taraf ekonominya tidak bisa dipaksanakan untuk
ditata ulang tentu tidak bisa berbuat banyak. Mirisnya, angka
kemiskinan ini akan terus bertambah sebagai dampak nyata dari
pandemi ini.
Ketiga, ke depan bisa jadi pembelajaran daring di semua
level pendidikan akan menjadi ―new normal‖ (kenormalan baru)
dalam dunia pendidikan. Tidak selamanya kita akan bersembunyi
menghindari virus ini dan mengorbankan upaya penghidupan yang
normal seperti dulu. Orang pasti akan keluar dari kungkungan ini.
Tapi, mereka harus menyesuaikan diri dengan kenormalan baru
yaitu mengikuti protokol kesehatan secara ketat. Jika
pembelajaran daring tidak jadi pilihan dan sekolah dan kampus
akan dibuka kembali, pertanyaannya adalah siapkah lembaga-
lembaga tersebut dengan segala fasilitas untuk menjamin protokol
kesehatan dipenuhi? Jika tidak, tentu ini akan melahirkan ledakan
PENUTUP
Pendidikan sebagai sebuah proses kehidupan sepanjang
hayat di kandung badan akan selalu mengalami perubahan.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan pendidikan dan orang
belajar untuk berubah atau mengimbangi perubahan tersebut.
Tanpa perubahan, pendidikan tidak berhasil. Dalam proses
perubahan yang terjadi sepanjang masa itu, dunia pendidikan
dihadapkan pada hal-hal baru yang harus direspon secara efektif
dan fruitful. Artinya, hal-hal baru yang menjadi tantangan tersebut
harus dapat dikonversi menjadi keberhasilan-keberhasilan baru
yang akan semakin menunjang perubahan. Keengganan untuk
merespons persoalan-persoalan baru lambat laun akan membuat
pendidikan (lembaga atau proses) mati suri dan hanya berkutat
dengan gambaran kehebatan yang dipersepsikan sendiri.
Raihani, dkk. | 23
REFERENSI
Raihani, dkk. | 25