Anda di halaman 1dari 30

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/343976466

Isu-Isu Pendidikan Kontemporer

Chapter · July 2020

CITATIONS READS

0 31,681

1 author:

Raihani Raihani
State Islamic University of Sultan Syarif Kasim Riau
39 PUBLICATIONS   596 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

ISLAM AND CITIZENSHIP EDUCATION: The Narratives of Citizenship Education Teachers in Salafi Schools View project

Religious Education Approach View project

All content following this page was uploaded by Raihani Raihani on 30 August 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MENEROKA RAGAM ISU KEKINIAN
PENDIDIKAN

Editor:

Prof. Raihani, M.Ed., Ph.D.

Anri Saputra, S.Psi.

Raihani, dkk. | i
Meneroka Ragam Isu
Kekinian Pendidikan
Penulis:
Raihani, Anri Saputra, Muharrama
Trifiriani, dkk.

Penata Letak:
LovRinz Desk

Desain sampul:
LovRinz Desk

ISBN: 978-623-289-096-1

xii + 259 halaman;


14x20 cm
Copyright©Raihani, dkk., 2020
LovRinz Publishing

Cetakan 1, Juli 2020


ii |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan
Hak cipta dilindungi undang-undang
DAFTAR ISI

ISU-ISU KONTEMPORER PENDIDIKAN INDONESIA


Oleh: Raihani ................................................................................. 1

PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM


PERSPEKTIF PENDIDKAN ISLAM
Oleh: Anri Saputra ......................................................................... 26

KESENJANGAN PENDIDIKAN DI INDONESIA


Oleh: Muharrama Trifiriani ............................................................. 52

ISU-ISU PSIKOLOGI PENDIDIKAN KONTEMPORER


Oleh: Nike Wahyuni ........................................................................ 72

CYBERBULLYING PADA REMAJA


Oleh: Mela Rospita ......................................................................... 92

REMAJA DAN DRUG ABUSE: PENCEGAHAN BERBASIS


SEKOLAH
Oleh: Inas Zahra ............................................................................. 115

PENDIDIKAN KARAKTER DAN KENAKALAN REMAJA


Oleh: Alifiah Zahratul Aini ............................................................... 144

PERAN KELUARGA DALAM MENGATASI KENAKALAN


REMAJA
Oleh: Alfiatul Jannah ...................................................................... 168

x |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


PENDIDIKAN PEREMPUAN DI NEGARA BERKEMBANG
Oleh: Arindya Yulia Fitri Rodhia ..................................................... 184

PENDIDIKAN DAN DUNIA KERJA


Oleh: Devi Nurhani ......................................................................... 209

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 228

BIOGRAFI SINGKAT PENULIS ..................................................... 252

Raihani, dkk. | xi
ISU-ISU KONTEMPORER PENDIDIKAN
INDONESIA

Perubahan yang terjadi baik pada skala lokal, nasional dan


internasional sangat cepat terjadi dan menyentuh hampir semua
bidang kehidupan. Adalah perkembangan pesat Informasi,
Komunikasi dan Teknologi (ICT) yang memfasilitasi perubahan-
perubahan tersebut sehingga menjadi massif dan mendalam.
Melalui ICT, batas-batas wilayah geografis sudah tidak berarti lagi
karena manusia dengan teknologi mampu menembus batas-batas
tersebut hampir tanpa ada halangan. Dengan teknologi yang
semakin maju, hampir tidak ada peristiwa di pelosok manapun di
muka bumi ini tanpa diketahui oleh orang lain di belahan bumi
yang lain. Sebagai contoh, Arab Spring atau kebangkitan (ditandai
dengan pemberontakan) di dunia Arab yang berawal di Tunisia
dan Mesir, melalui media sosial, berhasil menginspirasi gerakan-
gerakan serupa di negara Arab lainnya. Walaupun Arab Spring
tidak berhasil menunjukkan perubahan yang positif di hampir
setiap negara tersebut kecuali kekacauan, berita tentang Arab
Spring tersebut mendunia, juga melalui bantuan ICT.
Perubahan-perubahan yang terjadi sedikit banyaknya pasti
akan berpengaruh terhadap dunia pendidikan. Paling tidak, ketika

Raihani, dkk. | 1
sebuah perubahan menjadi berita yang tersebar luas, seorang
guru mengambil waktu untuk menceritakan peristiwa tersebut di
dalam kelas. Pun, para siswa juga akan berbincang dengan rekan-
rekannya tentang hal itu. Walaupun mungkin tidak berdampak
masif terhadap proses pendidikan, pengaruh terhadapnya pasti
akan ada. Apalagi jika peristiwa-peristiwa yang terjadi berkaitan
erat dengan pendidikan seperti perubahan politik nasional maupun
lokal. Hal ini sudah pasti akan berkontribusi terhadap perubahan-
perubahan kebijakan, struktur dan kepemimpinan pendidikan yang
pada akhirnya berdampak pada banyak dimensi dari pendidikan di
sekolah. Mungkin saja dengan perubahan kebijakan, misalnya,
kurikulum sekolah akan mengalami perubahan, pendekatan
pembelajaran oleh guru bertransformasi ke arah yang
menyesuaikan dengan tuntutan kebijakan, suasana pendidikan di
sekolah berwujud secara berbeda dari sebelumnya, dan pada
akhirnya proses pembelajaran yang dialami oleh siswa juga akan
berubah.
Bab pertama dari buku ini akan mengetengahkan isu-isu
penting kontemporer dalam konteks pendidikan Indonesia. Sebuah
isu dapat dikatakan ―isu‖ dan ―kontemporer‖ manakala ia bersifat
kekinian dan berdampak massif terhadap masyarakat. Di samping
dapat dilihat dari rentang waktu yang singkat dari sekarang ke
masa lalu, ―kekinian‖ dapat berarti bahwa sebuah isu sudah
banyak dibicarakan, diperhatikan, dan bahkan diteliti sejak puluhan
tahun lalu dan masih terus menarik perhatian karena banyak

2 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


persoalan di sekitarnya yang belum terpecahkan, karena masih
terus berdampak terhadap praktek masa kini, atau karena
masyarakat mempunyai kebutuhan yang nyata terhadapnya.
Misalnya, persoalan integrasi antara nilai-nilai keIslaman dan sains
sampai sekarang masih relevan disebut sebagai isu kontemporer
walaupun wacana ini sudah dimulai sejak tahun 1970an. Para ahli
pendidikan Islam masih terus mendiskusikan, melakukan
penelitian tentang, tema-tema integrasi ini dengan tantangan yang
terus berkembang sesuai dengan derasnya arus perubahan yang
terjadi. Maka, isu-isu yang akan dibahas dalam bab ini mencakup
tema-tema berikut: integrasi Islam dan sains, merdeka belajar
Nadiem, diversitas dan kesenjangan, dan pendidikan di masa
Covid-19.

INTEGRASI ISLAM DAN SAINS


Malaise – begitu Ismail Raji al-Faruqy (1982)
menggambarkan tentang kekacauan yang terjadi pada pemuda-
pemuda Muslim yang kehilangan identitas keIslaman atau
terbelahnya kepribadian (split personality) yang disebabkan oleh
dualisme atau dikotomi ilmu pengetahuan – Islam dan umum. Satu
sisi mereka disuguhkan tentang ajaran-ajaran Islam yang dogmatis
melalui indoktrinasi tanpa adanya pengembangan daya kritis. Tapi
pada sisi lain, mereka juga mencerna sedemikian rupa sains-sains
modern yang empiris dan selalu menggunakan nalar (reasoning).
Pada sebagian aspek, kedua pengetahuan itu berbeda dan

Raihani, dkk. | 3
bahkan bertentangan satu sama lain yang dapat menciptakan
kebimbangan dan keraguan di kalangan pelajar Muslim.
Sebahagian mungkin mampu mengambil salah satu dari
keduanya, tapi sebahagian yang lain diliputi kegalauan yang tak
berujung. Jika keberpihakan mereka jatuh kepada sains yang lebih
rasional dan akhirnya membuat mereka jauh dari agama yang
dianggap tidak logis, maka inilah kekacauan dan mala petaka
besar menimpa generasi Muslim sekarang. Begitupun pula
sebaliknya, mereka bias saja menghindari sains modern karena
dianggap bertentangan secara frontal dengan doktrin-doktrin
agama.
Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan dikotomi ini,
gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan akhirnya mencuat.
Islamisasi pengetahuan adalah sebuah proses untuk
mengembalikan semua warisan keilmuan ke dalam perspektif
Islam (Al-Faruqy, 1982). Sementara itu, Naquib al-Attas (1979)
menyatakan bahwa Islamisasi: ―the deliverance of knowledge from
its interpretations based on secular ideology and from meanings
and expressions of the secular‖. Islamisasi adalah proses
―pembebasan‖ pengetahuan dari interpretasinya yang berbasis
pada ideologi sekuler dan dari pemaknaan dan ekpresi yang
bersifat sekuler. Jadi, Islamisasi mempunyai tujuan agar segala
pengetahuan yang sudah, sedang dan akan dikembangkan harus
berbasis pada epistimologi Islami sebagai lawan atau vis-à-vis
epistimologi sekuler yang mencerabut pengetahuan dari dimensi-

4 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


dimensi ketuhanan (divine dimensions). Dengan kata lain,
landasan epistimologi sekuler menihilkan fondasi ketuhanan dan
keimanan dalam pengetahuan baik pada proses
pengembangannya maupun aplikasinya. Oleh karena itu,
Islamisasi pengetahuan harus bertumpu pada prinsip tauhid, yaitu
sebuah keyakinan bahwa semua pengetahuan bersumber dari
Dzat Yang Maha Mengetahui dan diterapkan dengan cara-cara
yang tidak bertentangan dengan prinsip tersebut.
Konsep Islamisasi ini tumbuh bukan tanpa kritik dan
tantangan (Sulaiman, 2000). Di antara kritiknya adalah bahwa
kalau pengetahuan dianggap bersumber dari Tuhan, maka
sesungguhnya tidak perlu lagi Islamisasi. Jika masalahnya ada
pada pemanfaatan pengetahuan yang tidak sesuai dengan
landasan agama, maka yang diupayakan adalah perbaikan pada
bidang tersebut. Kritik yang lain adalah bahwa pengetahuan-
pengetahuan yang ada sekarang adalah buah kerja keras para
ilmuan dan sudah established atau mapan. Oleh karena itu,
Islamisasi hanya akan membuang waktu, energy dan dana saja.
Apalagi sumber daya intelektual Muslim untuk mampu menguasai
sains modern masih sangat kurang.
Walaupun demikian, bagi mereka yang tidak setuju dengan
konsep Islamisasi, sebagian mereka masih berfikir akan perlunya
pembenahan dikotomi pengetahuan yang terlanjur mapan dan
mengusulkan konsep integrasi sains modern dan ilmu-ilmu
keIslaman. Integrasi di sini dimaknai berbeda dari Islamisasi yang

Raihani, dkk. | 5
dalam pengertian sederhananya adalah proses pengIslaman.
Sementara integrasi adalah proses menyatu-padukan antara dua
atau lebih hal yang berbeda. Oleh karena itu, dalam terminiloginya,
integrasi dalam konteks pembahasan bab ini dapat dimaknai
sebagai sebuah upaya menyatupadukan dua konsep dan jenis
keilmuan, yaitu ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu keislaman baik pada
tataran filosofis maupun praktis. Pada tataran filosofis, upaya
integrasi dilakukan dengan menganalisa kembali fondasi
bangunan keilmuan masing-masing dan mengupayakan
pemaduan melalui beragam pendekatan. Sementara pada tataran
praktis, upaya integrasi diupayakan dalam bentuk reformasi
kurikulum dan proses pembelajaran. Kedua upaya ini sampai
sekarang masih butuh perhatian yang seksama dari segenap pihak
yang mendukung integrasi keilmuan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa upaya melakukan
integrasi antara ilmu-ilmu keIslaman dan sains modern sudah
dilakukan di berbagai level pendidikan dan kurikulum di Indonesia.
Pada tingkat universitas, upaya integrasi keilmuan sudah terjadi
sejak lama khususnya di perguruan tinggi keagamaan Islam (PTKI)
dan melahirkan satu gagasan besar dalam konteks reformasi
perguruan tinggi yaitu ubah status dari Institut Agama Islam
kepada Universitas Islam. Ubah status ini menunjukkan adanya
keinginan untuk mengatasi persoalan keilmuan yang sebelumnya
terbelah antara umum atau sekuler dan Islam. Dengan universitas,
idealnya, tidak ada dikotomi tersebut, dan sebagai gantiya semua

6 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


disiplin ilmu dirancang dengan integratif. Tidak ada ilmu umum,
dan tidak ada ilmu Islam. Semua ilmu dikembangkan dengan
semangat ketauhidan kepada Allah Swt, dan memberikan manfaat
kepada pembelajarnya agar semakin dekat kepada Sang Pencipta.
Dari upaya ini, di PTKI lahirlah konsep-konsep integrasi keilmuan
yang beragam secara istilah atau penamaan, namun mempunyai
esensi dan tujuan yang sama. Misalnya, di UIN Sunan Kalijaga
lahir konsep integrasi-interkoneksi yang dicetuskan oleh Prof. M.
Amin Abdullah. Di UIN Bandung, metafor yang dipakai untuk
menggambarkan integrasi keilmuan itu adalah roda pedati.
Sementara, di UIN Suska Riau, istilah yang dipakai adalah Spiral
Andromeda.
Di samping itu, upaya-upaya melahirkan konsep-konsep
filosofis di atas juga diikuti oleh upaya implementatif dalam ranah
kurikulum dan pembelajaran. Maka, seminar dan loka karya
dilakukan sedemikian rupa untuk melahirkan buku-buku daras
integratif dan strategi pembelajaran yang sesuai. Di UIN Suska, di
mana penulis aktif mengajar, nampak geliat dari para dosen untuk
melakukan integrasi dimaksud dalam kurikulum, silabus, dan
proses pembelajaran di kelas. Sedemikian rupa sebagian dosen
berusaha untuk mengembangkan mata kuliah integratif. Demikian
juga, di jenjang pendidikan yang lebih rendah seperti SMA, SMP
dan SD, upaya integrasi keilmuan antara sains dan Islam sudah
banyak diinisiasi, utama oleh guru-guru yang mempunyai
kesadaran religi yang baik, walaupun tidak nampak upaya

Raihani, dkk. | 7
seragam dan solid. Artinya, di luar madrasah dan lembaga
pendidikan Islam, upaya integrasi masih dilakukan secara sporadis
dan banyak bergantung pada masing-masing guru atau dosen.
Dari pengmanatan penulis, ada beberapa catatan yang perlu
diperhatikan ketika melihat fenomena responsif terhadap isu
integrasi keilmuan ini, antara lain:
1. Upaya implementatif integrasi keilmuan masih belum
menyentuh semua bidang keilmuan apalagi mata kuliah.
Disinyalir masih banyak mata kuliah yang diajarkan dengan
sumber referensi pengetahuan yang dikembangkan atas dasar
semangat sekulerisme atau sebaliknya. Ini menyebabkan
proses imparsi pengetahuan dalam kelas menjadi tidak
integratif.

2. Kalau dilihat dari struktur kurikulum, baik di tingkat sekolah


menengah dan perguruan tinggi, secara umum integrasi lebih
dimaknai sebagai jukstaposisi atau menyandingkan secara
setara masing-masing disiplin ilmu. Integrasi keilmuan tidak
terjadi pada tingkat konsep, akan tetapi dibiarkan para
siswa/mahasiswa untuk mencerna masing-masing mata
pelajaran untuk mengintegrasikan sesuai kemampuan dia.
Paling jauh, dosen atau guru di kelas yang berinisiatif untuk
melakukan integrasi dan menyajikannnya di dalam kelas
pembelajaran. Padahal, kurikulum tingkat sekolah dasar

8 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


memberikan contoh yang baik bagaimana integrasi dilakukan,
walaupun tidak secara spesifik antara Islam dan sains.

3. Kemampuan SDM terutama para guru dan dosen tidak merata.


Melakukan integrasi keilmuan bukanlah perkara mudah. Upaya
ini memerlukan pemahaman filosofis, konten keilmuan dan
pedagogis sekaligus. Karena spesialisasi yang harus dipunyai
oleh seorang dosen atau guru, maka penguasaan ilmu-ilmu
keIslaman dan sains sekaligus menjadi sulit, padahal ini
menjadi syarat utama seseorang mampu melakukan integrasi.
Walaupun hal ini dapat diatasi dengan team teaching, namun
pada prakteknya tidaklah seperti yang diharapkan. Penyamaan
persepsi dan pengetahuan masih menjadi kendala utama. Pada
akhirnya, upaya integrasi terlihat superfisial dengan hanya
mencarikan dalil-dalil agama untuk kebenaran sains.

4. Upaya integrasi keilmuan harus ditopang oleh lembaga riset


yang handal. Integrasi lahir dari sebuah scientific endeavor atau
pencarian dan penemuan ilmiah akan format pengetahuan baik
dari awal maupun proses penyatuan ilmu-ilmu yang sudah
eksis. Integrasi bukan hanya proses membaca beberapa buku
kemudian disatukan melalui sintesis. Oleh karena itu,
diperlukan lembaga dan fasilitas yang kuat untuk mendukung
upaya ini di mana para peneliti dapat mengembangkan diri
mereka untuk belajar dan berinovasi. Sumber daya manusia

Raihani, dkk. | 9
yang dibutuhkan untuk upaya integrasi ini dibentuk melalui
proses belajar yang ada di lembaga-lembaga riset ini.

5. Tata kelola di Indonesia tidak sepenuhnya mendukung upaya


integrasi keilmuan ini. Seperti disinyalir di atas, upaya integrasi
ini banyak diinisiasi di lembaga-lembaga pendidikan keIslaman
dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Namun, pada
lembaga-lembaga pendidikan umum, upaya ini sampai
sekarang tidak terdengar kecuali secara inisiatif orang per
orang guru atau dosen. Ada ketidakpercayaan dari banyak
pihak terhadap konsep, kepentingan dan upaya integrasi yang
dilakukan. Di samping itu, sisa-sisa persaingan politik Islam dan
nasionalis juga masih terasa ketika integrasi ini dibawa menjadi
kebijakan nasional. Beberapa tahun lalu, penulis mendengar
bahwa ada upaya untuk moratorium pendirian prodi-prodi
umum di peguruan tinggi Islam karena konsep integrasi yang
mereka anggap tidak jelas.
Singkatnya, integrasi ilmu-ilmu keIslaman dan sains ini
masih menjadi pekerjaan rumah yang besar bagi umat Islam di
Indonesia khususnya para pemikir dan praktisi pendidikan.
Sebagai sebuah konsep, integrasi ini akan terus berkembang
dengan variasi-variasi menarik dan menantang. Konsep-konsep ini
harus dapat ditarik ke ranah praktis dan terus dikembangkan
menjadi model-model integrasi yang solid dan dapat
dipertahankan.

10 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


MERDEKA BELAJAR
―Merdeka Belajar‖ adalah slogan baru yang digagas oleh
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan di periode kedua Presiden
Joko Widodo untuk menggambarkan reformasi yang dia inginkan.
Layaknya sinetron, ada empat episode dari gagasan Merdeka
Belajar ini (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2019). Pada
episode pertama, ada empat pokok kebijakan baru, yaitu: Ujian
Sekolah Berstandar Nasional (USBN), Ujian Nasional (UN),
Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), dan Peraturan
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Terkait kebijakan baru
USBN, ujian Sekolah dilaksanakan benar-benar oleh sekolah.
Sementara itu, UN digantikan dengan Asesmen Kompetensi
Minimum dan Survey Karakter yang dilakukan pada siswa kelas 4,
8, dan 11 yang bertujuan untuk peningkatan proses pembelajaran.
Dalam hal RPP, guru diarahkan secara bebas untuk membuat dan
merancang RPP sendiri yang lebih sederhana dan cukup satu
halaman. Diharapkan guru mempunyai lebih banyak waktu untuk
merancang evaluasi pembelajaran. Lalu, untuk PPDB, akan
diberlakukan sistim zonasi yang lebih longgar yaitu hanya 50% dari
jumlah siswa baru, jalur afirmasi 15%, jalur perpindahan 5%, dan
jalur prestasi 30%. Keempat kebijakan pada episode satu ini
dinyatakan dapat memberikan lebih banyak kemandirian dan
kebebasan kepada pelaku dan praktisi proses pendidikan yaitu
sekolah, guru dan siswa.

Raihani, dkk. | 11
Dari keempat kebijakan di atas, bagi masyarakat umum,
penghapusan UN merupakan kebijakan yang sudah diharapkan
oleh banyak orang sejak lama. UN selama ini dianggap hanya
menciptakan masalah dalam proses pendidikan di sekolah dan
keresahan di kalangan orangtua siswa, sementara hasil UN juga
tidak mencerminkan realitas hasil belajar siswa. Selain itu, UN
selama ini tidak sensitif terhadap kesenjangan proses pendidikan
di mana standar proses di semua daerah tidak sama. Oleh karena
itu, keberanian Nadiem Makarim menghapuskan UN layak
diapresiasi walaupun program penggantinya harus tetap diamati
dan dikontrol secara seksama. Konsep asesmen baru yang
dicanangkan mirip dengan sistim asesmen yang dilakukan di luar
negeri terutama di Australia. Di negara ini, tidak ada UN, tetapi ada
NAPLAN atau National Assessment Program – Literacy and
Numeracy. Dari bahasanya ini adalah ujian nasional, akan tetapi
hasilnya hanya dipergunakan untuk mengetahui kesenjangan antar
sekolah yang akan dijadikan informasi untuk meningkatkan
kualitas belajar sehingga kesenjangan bisa diperkecil. Apakah
asesmen baru Nadiem ini akan berhasil, tentu publik harus
menunggu waktu cukup lama karena program ini baru akan
dilaksanakan mulai tahun 2021.
Merdeka Belajar episode kedua difokuskan pada reformasi
di perguruan tinggi yang disebut dengan ―Kampus Merdeka‖ yang
mempunyai empat kebijakan (Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2020a). Pertama, perguruan tinggi yang sudah

12 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


terakreditasi A atau B dapat mendirikan secara langsung
mendirikan program studi baru. Kedua, program akreditasi akan
bersifat sukarela bagi perguruan tinggi yang ingin dan siap. Jika
tidak, maka perguruan tinggi dapat menggunakan nilai akreditasi
yang ada kecuali ada protes dari publik tentang kualitas perguruan
tinggi tersebut. Ketiga, Perguruan Tinggi Negeri Layanan BLU
dapat memutuskan sendiri apakah akan berubah ke PTN
Berbadan Hukum. Keempat, mahasiswa akan diberikan
kebebasan untuk belajar di luar kampus atau di masyarakat
selama satu tahun dan di prodi di luar prodi sendiri selama
setengah tahun.
Kebijakan-kebijakan pada episode dua ini sepintas
memberikan kelonggaran kepada perguruan tinggi untuk menata
kampusnya secara mandiri. Akan tetapi, kebijakan keempat jelas
akan merepotkan pihak kampus untuk menata ulang kurikulum,
merancang perubahan mindset para mahasiswa, dan juga
menjalin kerjasama dengan pihak luar kampus. Di samping
ketersediaan programnya, lebih pelik lagi adalah tantangan untuk
melakukan evaluasi terhadap program setahun di luar kampus
tersebut. Ada kekawatiran bahwa program ini tidak bisa berjalan
dengan baik karena waktunya terlalu lama yang bisa membuat
mahasiswa lalai akan kelanjutan kuliah mereka. Fenomena
mahasiswa mengalami prokrastinasi setelah Kuliah Kerja Nyata
(KKN) cukup tinggi membuat angka kelulusan tepat waktu mereka
rendah. Di samping itu, seperti yang banyak disampaikan oleh

Raihani, dkk. | 13
para pengamat, Kampus Merdeka yang digagas tidaklah seperti
harapan banyak pihak, yaitu penguatan otonomi kampus dan
kebebasan mimbar akademik kampus. Fenomena yang terjadi
selama beberapa tahun terakhir adalah adanya sentralisasi
kewenangan dalam urusan perguruan tinggi yang membuat iklim
demokrasi kampus memburuk. Kebebasan berpendapat dalam
lingkup kampus dihantui oleh penerapan UU ITE yang cenderung
represif dan salah sasaran seperti yang terjadi pada seorang
dosen di perguruan tinggi di Aceh. Intinya, Kampus Merdeka yang
diusung bukanlah upaya mereformasi perguruan tinggi agar lebih
demokratis dan otonomis.
Episode ketiga dari reformasi Merdeka Belajar ini adalah
peningkatan kualitas layanan Dana Bantuan Operasional Sekolah
(BOS) yang meliputi penyaluran BOS langsung ke sekolah,
penggunaan BOS lebih fleksibel, nilai satuan BOS meningkat, dan
pelaporan BOS yang diperketat agar lebih transparan dan
akuntabel (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, 2020b).
Penyaluran langsung BOS ke sekolah adalah sebuah terobosan
yang cerdas karena selama ini dana BOS harus mampir dulu ke
Rekening Kas Umum Daerah sebelum disalurkan ke sekolah. Ini
akan mempercepat proses dan juga mengurangi resiko perilaku
korupsi baik dari pihak sekolah maupun Pemda. Dana BOS, dalam
kebijakan baru ini, juga dapat dipergunakan untuk membiyai guru
honor yang mempunyai NUPTK dengan porsi yang lebih besar dari
sebelumnya. Di samping itu, satuan dana BOS akan dinaikkan.

14 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


Namun, di tengah wabah virus corona seperti saat bab ini ditulis,
bisa jadi realisasi dana BOS yang lebih tinggi akan terkendala
karena pemerintah sedang mengalihkan dana-dana yang mungkin
untuk penanganan wabah ini.
1
Episode keempat dari program Merdeka Belajar adalah
pembentukan organisasi-organisasi penggerak yang bertujuan
untuk meningkatkan kualitas sekolah-sekolah yang berada di
bawahnya. Nampaknya, pemerintah ingin melibatkan civil society
untuk ikut berperan membangun dan membenahi pendidikan di
negara ini secara lebih terstruktur. Ada dana yang disediakan
untuk membiyai organisasi-organisasi tersebut yang besarannya
bergantung pada jumlah sekolah yang ditangani. Karena program
ini sangat baru, dan pendaftaran organisasi yang akan mendapat
bantuan dana ini baru dimulai, akan sulit kiranya untuk
memberikan penilaian. Namun demikian, tantangan yang akan
dihadapi oleh pemerintah dalam program ini kemungkinan akan
berkaitan dengan penyaluran dan pemanfaatan dana yang besar,
monitoring dan evaluasi program, dan standarisasi proses dan
hasil pendidikan.

1
Penulis belum menemukan referensi langsung dari Kemendikbud
mengenai episode keempat ini, dan hanya mendapatkan informasi dari
media massa.

Raihani, dkk. | 15
DIVERSITAS DAN KESENJANGAN
Isu pendidikan lainnya di Indonesia adalah masalah
keragaman dan kesenjangan. Walaupun isu ini sudah sejak dahulu
ada, akan tetapi isu ini masih tetap menjadi masalah besar dalam
pemerataan pendidikan di Indonesia. Kesenjangan antara kualitas
pendidikan urban dan rural utamanya menjadi keprihatinan kronis
bagi pemerhati pendidikan di tengah derasnya dorongan untuk
menyeragamkan hasil pendidikan melalui berbagai jenis evaluasi.
Untungnya, sekarang kementerian pendidikan sudah meniadakan
UN dan mencoba untuk lebih memperhatikan kesenjangan ini.
Kesenjangan muncul karena diversitas atau keragaman
yang tidak terkelola dengan baik. Keragaman dihasilkan oleh
identitas-identitas yang melekat pada manusia (Ang, Brand, Noble,
& Wilding, 2002; Machacek, 2003). Ada identitas yang sifatnya
bawaan (given) seperti karakteristik rasial dan ada yang sifatnya
dikonstruksi (constructed) seperti karakteristik kelas sosial.
Seseorang biasanya mempunyai identitas berganda karena ras,
suku, agama, afiliasi politik, kelas sosial dan lain-lain. Namun,
pada ghalibnya, orang sering mengelompokkan manusia
berdasarkan pada identitas-identitas kelompok baik berupa ras,
suku, dan agama. Dalam dunia pendidikan, keragaman seperti ini
merefleksikan kondisi sosial masyarakat di mana para siswa
datang dari beragam latar belakang. Adalah kebijakan dan praktis
pemerintah di suatu negara dalam menyikapi dan mengelola

16 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


keragaman ini apakah melahirkan keadilan sosial atau
kesenjangan.
Di Indonesia, kesenjangan dalam bidang pendidikan
sebagian besar bukan diakibatkan oleh keragaman agama dan
suku, akan tetapi lebih kepada disparitas antara wilayah urban,
rural dan remote atau wilayah terpencil. Walaupun demikian,
bahwa kebanyakan wilayah rural dan remote banyak dihuni oleh
kelompok indigenous seperti di Papua dan Kalimantan Barat tidak
bisa diabaikan sebagai salah satu faktor dalam menganalisa
kesenjangan yang terjadi. Dalam pada itu, segregasi kualitas
pendidikan terjadi antara wilayah Jawa Bali dan luar Jawa Bali,
juga antara bagian Barat dan bagian Timur Indonesia di mana
faktor ekonomi dari daerah-daerah ini menentukan kualitas
pendidikan. Azizah (2015) mengurai lebih lanjut tentang
kesenjangan antara wilayah Barat dan Timur dengan melihat
Human Development Index (HDI). HDI untuk Papua pada tahun
2011 hanya mencapai 65.36 lebih rendah dari rerata nasional yang
mencapai 72.77 dan DKI Jakarta yaitu 77.97. Jika HDI dibenturkan
dengan rerata orang tak berpendidikan dalam satu wilayah, maka
wilayah Timur Indonesia merupakan wilayah yang lebih
uneducated (tak berpendidikan) dibandingkan dengan wilayah
Barat Indonesia: 35 berbanding 15. Tiga faktor yang berkontribusi
terhadap kesenjangan ini adalah rerata angka kemiskinan,
perkembangan Gross Domestic Product (GDP), dan kesenjangan
penghasilan.

Raihani, dkk. | 17
Berefleksi pada keterlibatan penulis dalam sebuah penelitian
besar yang diinisiasi oleh Bank Dunia dalam tiga tahun berturut-
turut 2016, 2017 dan 2018 dalam topik peningkatan kualitas
mengajar guru di daera terpencil di Kalimantan Barat dan Nusa
Tenggara Timur, maka kesenjangan kualitas pendidikan ini sangat
nyata dan memprihatinkan. Hampir di semua indikator, proses
pendidikan di daerah terpencil sangat tertinggal jika dibandingkan
dengan proses yang sama di daerah perkotaan. Misalnya,
kehadiran para siswa yang masih bergantung pada kepentingan
ekonomi orangtua. Jika musim tanam dan panen, maka sebagian
siswa akan dilibatkan untuk membantu orangtua di sawah atau
ladang. Perhatian orangtua terhadap pendidikan anak sangat
rendah. Demikian pula, fasilitas belajar mulai dari gedung yang
kadang tidak layak, ruang kelas bocor, fasilitas kelas yang tidak
memadai, dan tiadanya perpustakaan sekolah. Bahkan, tingkat
kehadiran para guru di banyak daerah terpencil ini masih rendah
karena tempat tinggal mereka yang jauh dari sekolah, sementara
akses ke sekolah dari rumah jauh dengan jalan yang masih belum
beraspal dan terjal. Jadi, dari fakta ini, bagaimana bisa berharap
bahwa kualitas pendidikan mereka di daerah terpencil ini akan bisa
setara dengan yang berada di daerah perkotaan atau pedesaan
sekalipun.

18 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


PENDIDIKAN DI MASA COVID-19
Isu yang paling terbaru adalah merebaknya wabah Corona
Virus Disease 2019 yang biasa disingkat dengan Covid-19. Virus
yang berasal dari Wuhan China ini sudah menyebar ke seluruh
dunia dan menjadi pandemi (wabah) hanya dalam hitungan bulan.
Hampir semua negara merekam kasus-kasus penularan yang
bermula dari luar (imported) kemudian berkembang menjadi
menyebar secara lokal (local transmission). Indonesia tak
terkecuali. Sampai bab ini ditulis jumlah kasus positif dan yang
meninggal secara konstan menaik, dan belum menunjukkan tanda-
tanda akan berakhir.
Dampak Covid-19 ini sangat besar terhadap ekonomi,
sosial, budaya dan pendidikan. Dalam bidang pendidikan, mutasi
pembelajaran dari tradisional tatap muka ke pembelajaran daring
terjadi sangat masif dan hampir di semua jenjang pendidikan. Para
guru, orangtua, siswa dan pengambil kebijakan tergagap dengan
perubahan ini. Mereka dipaksa untuk membiasakan diri dengan
platform pembelajaran online seperti Google Classroom, Zoom,
Google Meet, dan sebagainya yang membuat mereka harus
belajar dengan teknologi ini. Bagi para guru, memindahkan proses
belajar dari tradisional ke online membutuhkan upaya dan waktu
yang tidak sedikit. Rencana pembelajaran berubah. Strategi
pembelajaran disesuaikan. Evaluasinya harus lebih fleksibel, dan
sebagainya. Orangtua harus selalu menemani anak belajar secara
online khususnya anak-anak di tingkat dasar, dan mendadak

Raihani, dkk. | 19
menjadi guru di rumah. Orangtua mahasiswa harus menyediakan
uang lebih agar anak-anaknya bisa membeli paket internet yang
tidak murah agar bisa terus ikut pembelajaran. Siswa dan
mahasiswa nampaknya mengalami tingkat stress yang tinggi
karena banyaknya tugas yang harus dikerjakan karena guru-guru
ingin memastikan bahwa pelajaran yang mereka berikan diserap
oleh anak-anak dengan cara memberi penugasan. Dan bagi yang
menggunakan platform pembelajaran yang tidak memungkinkan
tatap muka online, maka penugasan itulah menjadi strategi favorit
para guru dan dosen. Bisa dibayangkan jika setiap guru dalam
setiap minggunya memberi tugas kepada para siswa dan
mahasiswa, berapa tugas perhari yang harus mereka selesaikan.
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis setelah
mengamati fenomena ketergagapan sebagian besar praktisi
pendidikan menghadapi konsekuensi Covid-19 ini. Pertama,
sebagian besar lembaga pendidikan nampaknya mengalami
ketidaksiapan dalam banyak hal termasuk tata kelola, fasilitas,
pendanaan dan sumber daya manusia. Dalam hal tata kelola, bisa
jadi ini hal yang dapat dimaklumi, regulasi akademik untuk
pelaksanaan pembelajaran daring tidak disiapkan meskipun
tuntutan untuk itu sebetulnya tidak datang sekonyong-konyong
pada saat pandemi covid ini. Kebutuhan pembelajaran daring
semakin tinggi ketika kecanggihan IT semakin memungkinkan dan
mobilitas manusia semakin tinggi. Dalam konteks di Riau, musibah
asap yang menjadi satu hal reguler setiap tahun di mana proses

20 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


pendidikan normal harus terhenti biasa dalam beberapa minggu
seharusnya sudah mampu ―memaksa‖ pengambil kebijakan
pendidikan untuk membuat regulasi permanen tentang
pembelajaran daring. Sayangnya, seiring dengan ketiadaan tata
kelola, fasilitas IT di sekolah atau di kampus utamanya terkait
layanan pembelajaran daring belum tersedia secara baik. Ini
biasanya disebabkan oleh masalah klasik yaitu pendanaan yang
tidak memberikan titik tekan pada hal ini. Lalu, sebagian besar
SDM pendidikan enggan untuk meningkatkan kualitas dalam hal
persentuhan mereka dengan IT sehingga, dari survey dan diskusi
penulis dengan puluhan mahasiswa, banyak dari mereka yang
tidak puas dengan kompetensi IT para dosen. Di antaranya
mereka mengeluhkan pembelajaran via Whatsapp yang cenderung
tidak efektif dan tidak efisien.
Kedua, persoalan kesenjangan seperti yang dikemukakan di
atas, di masa pandemi ini kembali mengemuka secara lebih kuat.
Ketika pembelajaran daring dilakukan konsekuensi utama adalah
termasuk jaringan, dana kutoa internet, dan IT literacy dari
orangtua siswa. Dua kelompok rentan masalah adalah: pertama,
mereka yang hidup di wilayah-wilayah di mana jaringan internet
dan bahkan listrik masih terbatas atau tidak ada, dan kedua,
mereka yang berada di sekitar garis kemiskinan. Kelompok
pertama mengalami kesulitan luar biasa bukan hanya dari sisi
orangtua dan siswa, tetapi juga dari pihak sekolah yang kesulitan
untuk mencari cara bagaimana menyampaikan pembelajaran

Raihani, dkk. | 21
daring tanpa jaringan yang bagus. Dalam laporan beberapa
observer, ada yang menyiasatinya dengan pembelajaran melalui
siaran Radio Republik Indonesia (RRI) lokal. Akan tetapi, akankah
pembelajaran dengan cara ini efektif? Sulit untuk mengatakan iya.
Dalam konteks ini, status kaya miskin dari orangtua siswa tidak
berpengaruh banyak. Berbeda dengan kelompok kedua, akses
terhadap pembelajaran daring terhambat oleh ketidakmampuan
untuk membeli jaringan atau kuota internet. Banyak orangtua
harus menata ulang keuangan domestik untuk memenuhi
kebutuhan pendidikan gaya baru anak-anak mereka. Namun, bagi
mereka yang taraf ekonominya tidak bisa dipaksanakan untuk
ditata ulang tentu tidak bisa berbuat banyak. Mirisnya, angka
kemiskinan ini akan terus bertambah sebagai dampak nyata dari
pandemi ini.
Ketiga, ke depan bisa jadi pembelajaran daring di semua
level pendidikan akan menjadi ―new normal‖ (kenormalan baru)
dalam dunia pendidikan. Tidak selamanya kita akan bersembunyi
menghindari virus ini dan mengorbankan upaya penghidupan yang
normal seperti dulu. Orang pasti akan keluar dari kungkungan ini.
Tapi, mereka harus menyesuaikan diri dengan kenormalan baru
yaitu mengikuti protokol kesehatan secara ketat. Jika
pembelajaran daring tidak jadi pilihan dan sekolah dan kampus
akan dibuka kembali, pertanyaannya adalah siapkah lembaga-
lembaga tersebut dengan segala fasilitas untuk menjamin protokol
kesehatan dipenuhi? Jika tidak, tentu ini akan melahirkan ledakan

22 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


kasus-kasus positif covid-19 yang besar. Jikapun ledakan-ledakan
ini bisa dihindari siapkah fasilitas kesehatan kita menampung
sebegitu banyak pasien? Cukupkah jumlah tenaga kesehatan kita
melayani pasien-pasien tersebut? Maka kebijaksanaan dalam
menimbang langkah apa yang tepat untuk keberlangsungan
pendidikan kita sangat diperlukan. Diperlukan kajian-kajian
mendalam agar keputusan yang diambil tidak disesali di kemudian
hari.

PENUTUP
Pendidikan sebagai sebuah proses kehidupan sepanjang
hayat di kandung badan akan selalu mengalami perubahan.
Perubahan adalah sebuah keniscayaan pendidikan dan orang
belajar untuk berubah atau mengimbangi perubahan tersebut.
Tanpa perubahan, pendidikan tidak berhasil. Dalam proses
perubahan yang terjadi sepanjang masa itu, dunia pendidikan
dihadapkan pada hal-hal baru yang harus direspon secara efektif
dan fruitful. Artinya, hal-hal baru yang menjadi tantangan tersebut
harus dapat dikonversi menjadi keberhasilan-keberhasilan baru
yang akan semakin menunjang perubahan. Keengganan untuk
merespons persoalan-persoalan baru lambat laun akan membuat
pendidikan (lembaga atau proses) mati suri dan hanya berkutat
dengan gambaran kehebatan yang dipersepsikan sendiri.

Raihani, dkk. | 23
REFERENSI

Al-Attas, Syed Muhammad Naguib (Ed.) (1979). Aims and


Objectives of Islamic Education. Jeddah: King Abdulaziz
University.
Al-Faruqy, Ismail Raji. (1982). Islamization of Knowledge: General
Principles and Workplan. Washington: International
Institute of Islamic Thought.
Ang, Ien, Brand, Jeffrey E, Noble, Greg, & Wilding, Derek. (2002).
Living Diversity: Australia's Multicultural Future.
Artarmon, NSW: Special Broadcasting Service.
Azizah, Yuni. (2015). Socio-Economic Factors on Indonesia
Education Disparity. International Education Studies,
8(12), 218-230.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2019). Merdeka Belajar.
Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020a). Buku Saku
Panduan Merdeka Belajar Kampus Merdeka. Jakarta:
Dirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud RI.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. (2020b). Merdeka
Belajar Episode Ketika: Perubahan Mekanisme BOS TA
2020. Jakarta: Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan.
Machacek, David W. (2003). Meaningful Diversity: A Culture of
Religious Pluralism. Paper presented at the The

24 |Meneroka Ragam Isu Kekinian Pendidikan


Religious Pluralism in Southern California Conference,
UC Santa Barbara.
Sulaiman, Said. (2000). Islamization of Knowledge: Background,
Models and the Way Forward. Nigeria: IIIT.

Raihani, dkk. | 25

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai