Ringkasan Jurnal Etnis
Ringkasan Jurnal Etnis
Ringkasan Jurnal Etnis
Indonesia telah menjadi negara yang multietnik sejak masa kolonial, dengan membagi
stratifikasi sosial dalam tiga golongan, yaitu; ras kulit putih (Belanda) dengan status kelas
sosial yang paling tinggi, ras timur asing atau kulit kuning (Arab, Cina, India) sebagai kelas
sosial kedua, dan ras pribumi sebagai kelas sosial yang paling rendah. Indonesia terdiri dari
sejumlah ras dengan jumlah, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang memiliki sejarah,
dalam kondisi kompleksitas ini tentu memiliki nilai-nilai yang baik yang tetap hidup dan
dianut hingga saat ini. Nilai-nilai ini mengandung pedoman hidup, norma-norma, etika, dan
estetika. Hal tersebut sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup dan martabat bangsa
Bangka. Mereka sudah berdomisili di beberapa wilayah tersebut dari masa nenek moyang
mereka. Kepulauan Bangka memiliki penduduk etnis Tionghoa yang cukup banyak. Ada
beberapa faktor yang membuat interaksi sosial masyarakat etnis Tionghoa dan Melayu
Bangka berjalan dengan lancar. Salah satunya di bidang agama. Islam sebagai agama
mayoritas memiliki peranan penting dalam interaksi sosial antar etnis. Menurut beberapa
informan agama Islam sebagai agama mayoritas memberikan dampak positif bagi interaksi
kedua etnis. Orang Melayu memberikan toleransi yang tinggi kepada agama lain,. Orang
Melayu Bangka yang mayoritas muslim memang mengikuti ajaran Islam yang universal dan
cinta damai. Etnis Tionghoa menganggap agama Islam sebagai agama alternatif yang baik,
maka tidak mengherankan apabila etnis Tionghoa ada yang menjadi mualaf, baik karena
keinginan dari diri sendiri (hidayah) maupun karena pernikahan. Etnis Tionghoa cenderung
1
tidak menganggap pernikahan antar etnis dan menjadi mualaf sebagai hal yang tidak pantas.
Kerukunan umat beragama di Bangka dapat terjaga karena masing-masing umat beragama
diberikan kebebasan dalam melaksanakan ibadah, kebebasan untuk memeluk suatu agama,
dan dukungan dari pemeluk agama lain saat merayakan hari besar keagamaan.
Masyarakat etnis Tionghoa dan Melayu memiliki semboyan yakni fan ngin, to ngin
jit jong, yang berarti ’pribumi Melayu, dan Tionghoa turunan semuanya sama dan setara’.
Karena itu, hubungan kekeluargaan antar warga Melayu dan Tionghoa di Bangka tidak secara
kebetulan, tetapi karena merasa sebagai satu keluarga besar yang diawali oleh hubungan para
Wujud akulturasi budaya berupa bahasa dapat diamati dari komunikasi penduduk
Lasem yang berbeda etnis maupun sesama etnis. Faktor bahasa merupakan hal yang cukup
signifi kan dalam menga ktualisasikan akulturasi. Dalam pergaulan sehari-hari, etnis
Tionghoa terutama yang bermukim di daerah perbatasan dengan negeri tetangga Malaysia
dan Singapura seperti Sumatera Utara, dan Kalimantan, mereka masih menggunakan bahasa
Mandarin yang kental dalam berkomunikasi sesamanya. Bahkan mereka tidak segan-segan
berbahasa Mandarin di dalam pesawat udara, kapal laut, dan bus, kendatipun WNI pribumi
lebih banyak berada di sana. Kenyataan ini terjadi kemungkinan karena dekatnya jarak
dengan negara tetangga tersebut, sehingga mereka dapat bepergian dalam waktu singkat ke
Kondisi ini sangat bertolak belakang dan jauh berbeda dengan etnik Tionghoa yang
berada di Pulau Jawa. Mereka fasih berbahasa Jawa, walaupun Bahasa Jawa ngoko alus.
Bahasa Jawa krama juga dimengerti dan bisa dipraktekkan oleh para generasi tua. Seperti
yang dilakukan oleh Njo Tjoen Hian (Sigit Wicaksono) yang sudah berumur lebih dari 80
tahun. Dia mengaku bisa berbahasa Jawa halus, namun ketika kemudian dalam wawancara
2
tersebut dilanjutkan dengan Bahasa Jawa halus, dia mengalami kesulitan, kalau harus
menerangkan dalam kalimat-kalimat panjang. Njo Tjoen Hian sendiri bisa berbahasa
Mandarin karena dia lahir sebelum ada larangan menggunakan adat istiadat Tionghoa.
Jawa ngoko Pesisiran dan bahasa Indonesia. Bahasa Mandarin digunakan hanya yang mudah
dan sudah umum diketahui oleh masyarakat luas. Menurutnya orang harus bisa menyesuaikan
diri dimanapun berada, dan harus menghormati budaya setempat, namun juga jangan dipaksa
Lasem mempunyai sejarah panjang toleransi dan harmonisasi antara penduduk asli
dengan para pendatang etnis Tionghoa. Lasem telah membuktikan bahwa sikap toleransi di
kalangan masyarakat Jawa sebagai pribumi dengan kelompok masyarakat Cina sebagai
pendatang sangat luar biasa. Percampuran kedua etnis tersebut tampak dalam berbagai sektor
kehidupan, terutama bidang ekonomi dan sosial. Kedatangan orang Cina di Lasem, kemudian
melahirkan kebudayaan baru. Kebudayaan ini merupakan intisari dari adat-istiadat Cina yang
kemudian diadopsi menjadi adat daerah yang tidak luntur dari budaya Tionghoa sendiri.
Respek masyarakat Jawa terhadap orang-orang Cina disebabkan anggapan bahwa masyarakat
Cina sebagai pedagang yang ulet dan terampil sehingga banyak pedagang lokal yang meniru
cara berdagang masyarakat Cina (Komunitas Rumah Buku Lasem, 2014: 24). Penduduk asli
di Lasem sangat menghormati adat istiadat dan kebudayaaan masyarakat Cina. Dalam
pembaurannya, masyarakat Cina di Lasem sangat menghormati adat istiadat penduduk asli
jawa sebagai pribumi, begitu juga hal yang sama dilakukan penduduk jawa sehingga
terjalinnya hubungan baik antara etnis Cina di Lasem dengan penduduk asli jawa.
3
terbukannya ruang-ruang sosial. Perkawinan silang antarwarga lintas etnik yang terdiri dari
orang Tionghoa, pribumi Jawa dan santri, terjadi sejak hadirnya orang Tionghoa di Lasem.
Dalam kehidupan keseharian, hubungan kerja sama saling membutuhkan juga terjadi antara
Meskipun pengusaha Tionghoa mayoritas sebagai majikan, akan tetapi hal ini tidak
menjadi instrument utama tentang dominasi orang Tionghoa di Lasem, dan sebaliknya
ketertundukan ekonomi pribumi Jawa dan Santri. Hubungan sosial antara orang Tionghoa
dan santri di Lasem terjalin dengan baik. Perasaan persaudaraan dipadu dengan kenyataan
sosial berupa perkawinan silang antara etnis Cina dengan Jawa. Hubungan harmonis itu
terjaga di kalangan elit Tionghoa (pengusaha dan pengurus organisasi), dan elit santri (kyai
dan pengasuh pesantren) untuk menjaga komunikasi dan meredam ancaman kekerasan.
Jurnal
No. Unsur Kebudayaan
Jurnal Sabda Jurnal “Akulturasi Budaya
cina dan islam dalam
arsitektur rumah ibadah di
kota Lasem”
4
3. Kesimpulan
Kedatangan etnis Cina di Lasem melahirkan kebudayaan dan pluralitas dalam
masyarakat. Pluralitas itu membentuk sebuah harmonisasi kerukunan dalam beragama dan
bersosial. Meskipun interaksi kedua etnis tersebut mengalami pasang surut, namun harmoni
dan toleransi itu senantiasa berjalan dengan baik. Harmoni dan toleransi masyarakat muslim
Lasem juga dapat lihat dari interaksi penduduk asli secara baik dengan para pendatang, baik
yang beragama muslim maupun non muslim yang kebanyakan dari etnis Cina.
Tak dapat pungkiri bahwa Indonesia memiliki banyak suku, agama, ras, etnis yang
masing-masing dari elemen masyarakat tersebut memiliki karakter, makna, norma, dan etika
yang berbeda-beda. Beberapa keanekaragaman yang ada di Indonesia tersebut dalam kondisi
kompleksitas ini tentu memiliki nilai-nilai yang baik yang tetap hidup dan dianut hingga saat
ini. Dari kedua jurnal tersebut yang merupakan studi dan survey kehidupan sosial antara etnis
cina dan pribumi di dua daerah yang berbeda menunjukan keharmonisan antara kedua etnis
tersebut. Dengan adanya komunikasi dan toleransi dalam masing-masing pribadi maka dapat
terhindarnya pertikaian atau perselisihan dalam kehidupan sosial. Kedatangan etnis Cina di
Lasem dan Banga melahirkan kebudayaan dan pluralitas dalam masyarakat. Pluralitas itu
membentuk sebuah harmonisasi kerukunan dalam beragama dan bersosial.
Harmoni dan toleransi masyarakat muslim dan non-muslim dari kedua wilayah juga
dapat lihat dari interaksi penduduk asli secara baik dengan para pendatang, baik yang
beragama muslim maupun non muslim yang kebanyakan dari etnis Cina. Terlihat juga dalam
berbagai bidang kehidupan sehari-hari seperti dalam bidang ekonomi, politik, agama,
pendidikan, dan sosial, kedua etnis saling memberikan hal positif sebagai sebuah
pembelajaran baru yamg menunjang kehidupan sosial dalam masyarakat. Masyarakat etnis
pribumi pun merasa bahwa semua turunan etnis yang berada di Indonesia setara dan tidak ada
bedanya. Hal tersebut menunjukan bahwa prinsip solidaritas membangun lingkungan yang
positif dalam hidup bermasyarakat terutama dalam hal suku, agama, dan ras. Dalam
kehidupan sehari-hari, harmoni terjaga karena beberapa faktor, yakni perkawinan silang,
perasaan bersaudara antarwarga, hingga terbukannya ruang-ruang sosial. Meskipun interaksi
kedua etnis tersebut mengalami pasang surut, namun harmoni dan toleransi itu senantiasa
berjalan dengan baik.