Ringkasan Jurnal Etnis

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nofansyah, 1310219410004

REVIEW JURNAL PERBANDINGAN KAJIAN KEBUDAYAAN


PERCAMPURAN BUDAYA JAWA DAN CINA
1. Sistem Bahasa, Agama dan Budaya

Indonesia telah menjadi negara yang multietnik sejak masa kolonial, dengan membagi

stratifikasi sosial dalam tiga golongan, yaitu; ras kulit putih (Belanda) dengan status kelas

sosial yang paling tinggi, ras timur asing atau kulit kuning (Arab, Cina, India) sebagai kelas

sosial kedua, dan ras pribumi sebagai kelas sosial yang paling rendah. Indonesia terdiri dari

sejumlah ras dengan jumlah, makna, dan karakter yang berbeda-beda yang memiliki sejarah,

ideologi, agama, tersusun sebagai sebuah struktur. Beberapa keanekaragaman Indonesia

dalam kondisi kompleksitas ini tentu memiliki nilai-nilai yang baik yang tetap hidup dan

dianut hingga saat ini. Nilai-nilai ini mengandung pedoman hidup, norma-norma, etika, dan

estetika. Hal tersebut sangat berpengaruh pada kelangsungan hidup dan martabat bangsa

apabila bangsa Indonesia mampu memanfaatkannya dengan baik.

Etnis Tionghoa terdapat di beberapa wilayah di Indonesia, termasuk di kepulauan

Bangka. Mereka sudah berdomisili di beberapa wilayah tersebut dari masa nenek moyang

mereka. Kepulauan Bangka memiliki penduduk etnis Tionghoa yang cukup banyak. Ada

beberapa faktor yang membuat interaksi sosial masyarakat etnis Tionghoa dan Melayu

Bangka berjalan dengan lancar. Salah satunya di bidang agama. Islam sebagai agama

mayoritas memiliki peranan penting dalam interaksi sosial antar etnis. Menurut beberapa

informan agama Islam sebagai agama mayoritas memberikan dampak positif bagi interaksi

kedua etnis. Orang Melayu memberikan toleransi yang tinggi kepada agama lain,. Orang

Melayu Bangka yang mayoritas muslim memang mengikuti ajaran Islam yang universal dan

cinta damai. Etnis Tionghoa menganggap agama Islam sebagai agama alternatif yang baik,

maka tidak mengherankan apabila etnis Tionghoa ada yang menjadi mualaf, baik karena

keinginan dari diri sendiri (hidayah) maupun karena pernikahan. Etnis Tionghoa cenderung

1
tidak menganggap pernikahan antar etnis dan menjadi mualaf sebagai hal yang tidak pantas.

Kerukunan umat beragama di Bangka dapat terjaga karena masing-masing umat beragama

diberikan kebebasan dalam melaksanakan ibadah, kebebasan untuk memeluk suatu agama,

dan dukungan dari pemeluk agama lain saat merayakan hari besar keagamaan.

Masyarakat etnis Tionghoa dan Melayu memiliki semboyan yakni fan ngin, to ngin

jit jong, yang berarti ’pribumi Melayu, dan Tionghoa turunan semuanya sama dan setara’.

Karena itu, hubungan kekeluargaan antar warga Melayu dan Tionghoa di Bangka tidak secara

kebetulan, tetapi karena merasa sebagai satu keluarga besar yang diawali oleh hubungan para

leluhur hingga saat ini.

Wujud akulturasi budaya berupa bahasa dapat diamati dari komunikasi penduduk

Lasem yang berbeda etnis maupun sesama etnis. Faktor bahasa merupakan hal yang cukup

signifi kan dalam menga ktualisasikan akulturasi. Dalam pergaulan sehari-hari, etnis

Tionghoa terutama yang bermukim di daerah perbatasan dengan negeri tetangga Malaysia

dan Singapura seperti Sumatera Utara, dan Kalimantan, mereka masih menggunakan bahasa

Mandarin yang kental dalam berkomunikasi sesamanya. Bahkan mereka tidak segan-segan

berbahasa Mandarin di dalam pesawat udara, kapal laut, dan bus, kendatipun WNI pribumi

lebih banyak berada di sana. Kenyataan ini terjadi kemungkinan karena dekatnya jarak

dengan negara tetangga tersebut, sehingga mereka dapat bepergian dalam waktu singkat ke

negara yang mayoritas penduduknya berasal dari Tionghoa.

Kondisi ini sangat bertolak belakang dan jauh berbeda dengan etnik Tionghoa yang

berada di Pulau Jawa. Mereka fasih berbahasa Jawa, walaupun Bahasa Jawa ngoko alus.

Bahasa Jawa krama juga dimengerti dan bisa dipraktekkan oleh para generasi tua. Seperti

yang dilakukan oleh Njo Tjoen Hian (Sigit Wicaksono) yang sudah berumur lebih dari 80

tahun. Dia mengaku bisa berbahasa Jawa halus, namun ketika kemudian dalam wawancara

2
tersebut dilanjutkan dengan Bahasa Jawa halus, dia mengalami kesulitan, kalau harus

menerangkan dalam kalimat-kalimat panjang. Njo Tjoen Hian sendiri bisa berbahasa

Mandarin karena dia lahir sebelum ada larangan menggunakan adat istiadat Tionghoa.

Namun, dalam kehidupan sehari-hari di rumah dengan keluarganya, ia menggunakan bahasa

Jawa ngoko Pesisiran dan bahasa Indonesia. Bahasa Mandarin digunakan hanya yang mudah

dan sudah umum diketahui oleh masyarakat luas. Menurutnya orang harus bisa menyesuaikan

diri dimanapun berada, dan harus menghormati budaya setempat, namun juga jangan dipaksa

untuk berganti ‘baju’ secara penuh.

2. Sistem Sosial dan Organisasi Sosial

Lasem mempunyai sejarah panjang toleransi dan harmonisasi antara penduduk asli

dengan para pendatang etnis Tionghoa. Lasem telah membuktikan bahwa sikap toleransi di

kalangan masyarakat Jawa sebagai pribumi dengan kelompok masyarakat Cina sebagai

pendatang sangat luar biasa. Percampuran kedua etnis tersebut tampak dalam berbagai sektor

kehidupan, terutama bidang ekonomi dan sosial. Kedatangan orang Cina di Lasem, kemudian

melahirkan kebudayaan baru. Kebudayaan ini merupakan intisari dari adat-istiadat Cina yang

kemudian diadopsi menjadi adat daerah yang tidak luntur dari budaya Tionghoa sendiri.

Respek masyarakat Jawa terhadap orang-orang Cina disebabkan anggapan bahwa masyarakat

Cina sebagai pedagang yang ulet dan terampil sehingga banyak pedagang lokal yang meniru

cara berdagang masyarakat Cina (Komunitas Rumah Buku Lasem, 2014: 24). Penduduk asli

di Lasem sangat menghormati adat istiadat dan kebudayaaan masyarakat Cina. Dalam

pembaurannya, masyarakat Cina di Lasem sangat menghormati adat istiadat penduduk asli

jawa sebagai pribumi, begitu juga hal yang sama dilakukan penduduk jawa sehingga

terjalinnya hubungan baik antara etnis Cina di Lasem dengan penduduk asli jawa.

Dalam hubungan antar masyarakat di kehidupan sehari-hari, harmoni terjaga karena

beberapa faktor, yakni perkawinan silang, perasaan bersaudara antarwarga, hingga

3
terbukannya ruang-ruang sosial. Perkawinan silang antarwarga lintas etnik yang terdiri dari

orang Tionghoa, pribumi Jawa dan santri, terjadi sejak hadirnya orang Tionghoa di Lasem.

Dalam kehidupan keseharian, hubungan kerja sama saling membutuhkan juga terjadi antara

orang Tionghoa dengan pribumi Jawa dan santri.

Meskipun pengusaha Tionghoa mayoritas sebagai majikan, akan tetapi hal ini tidak

menjadi instrument utama tentang dominasi orang Tionghoa di Lasem, dan sebaliknya

ketertundukan ekonomi pribumi Jawa dan Santri. Hubungan sosial antara orang Tionghoa

dan santri di Lasem terjalin dengan baik. Perasaan persaudaraan dipadu dengan kenyataan

sosial berupa perkawinan silang antara etnis Cina dengan Jawa. Hubungan harmonis itu

terjaga di kalangan elit Tionghoa (pengusaha dan pengurus organisasi), dan elit santri (kyai

dan pengasuh pesantren) untuk menjaga komunikasi dan meredam ancaman kekerasan.

A. Tabel Perbandingan Jurnal

Jurnal
No. Unsur Kebudayaan
Jurnal Sabda Jurnal “Akulturasi Budaya
cina dan islam dalam
arsitektur rumah ibadah di
kota Lasem”

1 Sistem Sosial ada ada

2 Agama dan Sistem Ritual ada ada

3 Sistem Mata Pencaharian ada ada

4 Sistem Pengetahuan ada ada

5 Sistem Teknologi Tidak ada Tidak ada

6 Bahasa ada ada

7 Seni ada ada

4
3. Kesimpulan
Kedatangan etnis Cina di Lasem melahirkan kebudayaan dan pluralitas dalam
masyarakat. Pluralitas itu membentuk sebuah harmonisasi kerukunan dalam beragama dan
bersosial. Meskipun interaksi kedua etnis tersebut mengalami pasang surut, namun harmoni
dan toleransi itu senantiasa berjalan dengan baik. Harmoni dan toleransi masyarakat muslim
Lasem juga dapat lihat dari interaksi penduduk asli secara baik dengan para pendatang, baik
yang beragama muslim maupun non muslim yang kebanyakan dari etnis Cina.

Tak dapat pungkiri bahwa Indonesia memiliki banyak suku, agama, ras, etnis yang
masing-masing dari elemen masyarakat tersebut memiliki karakter, makna, norma, dan etika
yang berbeda-beda. Beberapa keanekaragaman yang ada di Indonesia tersebut dalam kondisi
kompleksitas ini tentu memiliki nilai-nilai yang baik yang tetap hidup dan dianut hingga saat
ini. Dari kedua jurnal tersebut yang merupakan studi dan survey kehidupan sosial antara etnis
cina dan pribumi di dua daerah yang berbeda menunjukan keharmonisan antara kedua etnis
tersebut. Dengan adanya komunikasi dan toleransi dalam masing-masing pribadi maka dapat
terhindarnya pertikaian atau perselisihan dalam kehidupan sosial. Kedatangan etnis Cina di
Lasem dan Banga melahirkan kebudayaan dan pluralitas dalam masyarakat. Pluralitas itu
membentuk sebuah harmonisasi kerukunan dalam beragama dan bersosial.

Harmoni dan toleransi masyarakat muslim dan non-muslim dari kedua wilayah juga
dapat lihat dari interaksi penduduk asli secara baik dengan para pendatang, baik yang
beragama muslim maupun non muslim yang kebanyakan dari etnis Cina. Terlihat juga dalam
berbagai bidang kehidupan sehari-hari seperti dalam bidang ekonomi, politik, agama,
pendidikan, dan sosial, kedua etnis saling memberikan hal positif sebagai sebuah
pembelajaran baru yamg menunjang kehidupan sosial dalam masyarakat. Masyarakat etnis
pribumi pun merasa bahwa semua turunan etnis yang berada di Indonesia setara dan tidak ada
bedanya. Hal tersebut menunjukan bahwa prinsip solidaritas membangun lingkungan yang
positif dalam hidup bermasyarakat terutama dalam hal suku, agama, dan ras. Dalam
kehidupan sehari-hari, harmoni terjaga karena beberapa faktor, yakni perkawinan silang,
perasaan bersaudara antarwarga, hingga terbukannya ruang-ruang sosial. Meskipun interaksi
kedua etnis tersebut mengalami pasang surut, namun harmoni dan toleransi itu senantiasa
berjalan dengan baik.

Anda mungkin juga menyukai