Revisi Uas Estetika - Nofansyah

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS PUISI “HIDUP DI DUNIA HANYA SEKALI” KARYA SUTAN SYAHRIR

ALISJAHBANA DENGAN MENGGUNAKAN TEORI SEMIOTIKA JURIJ


MIKHAILOVICH LOTMAN

Mata Kuliah Estetika Sastra dan Budaya

Diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Estetika Sastra dan


Budaya

OLEH:
NOFANSYAH
13010219410004

MAGISTER SUSASTRA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
2019
Pengantar

Karya sastra merupakan cerminan dari kehidupan masyarakat, oleh karena


itu karya sastra memiliki makna simbolis yang perlu diungkap dengan model
semiotika. Sebagai karya yang bermediakan bahasa, karya sastra memiliki bahasa
yang sangat berbeda dengan bahasa baik yang digunakan dalam kehidupan sehari-
hari maupun bahasa karya ilmiah. Dalam karya sastra, penulis memiliki
kebebasan menggunakan gaya bahasa yang dipilih sesuai dengan yang
dikehendaki tanpa harus mempertimbangkan kehendak dari luar dirinya.
Kebebasan inilah yang menyebabkan seorang penulis mampu memberikan
pandangan dan gagasannya secara leluasa tanpa harus merasa khawatir terhadap
tata bahasa yang digunakannya. Dalam estetika, karya sastra merupakan
keindahan yang ada dalam sebuah karya sastra. Munculnya sebuah estetika dalam
sebuah karya, merupakan hasil penikmatan yang terjadi saat sebuah karya sastra
dibaca dan diartikan sebagai suatu cerminan pada dunia nyata, atau sebuah karya
fiksi yang sebenarnya mustahil di kenyataan, namun dapat terjadi di dalam sebuah
karya sastra.
Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra yang ditulis menggunakan
gaya bahasa tersendiri. Tanda-tanda dalam puisi mempunyai banyak interpretasi
makna dan memiliki pluralitas makna yang luas tergantung penilaian pembaca
puisi yang dikaji salah satunya yaitu puisi “Hidup di Dunia Hanya Sekali” karya
Sutan Syahrir Alisjahbana. Setiap pembaca sastra harus menyadari bahwa ia
sedang berhadapan dengan puisi yang berbeda dengan teks bacaan lain. Penelitian
puisi ini menggunakan pendekatan teori semiotika Lotman.
Alasan saya sebagai peneliti tertarik memilih puisi karya Sutan Syahrir
yang berjudul “Hidup di Dunia Hanya Sekali” karena puisi ini memotivasi saya
untuk berjuang dan berusaha keras agar hasil yang saya dapat juga memuaskan,
lalu puisi ini juga menarik karena setiap pemilihan kata dalam tiap barisnya,
memberikan waktu untuk berpikir sejauh mana dapat memaknai puisi ini dalam 2
sampai 3 kali membacanya, tidak bisa mendapatkan maknanya mendalam hanya

2
karena sekali membacanya. berdasarkan latar belakang Sutan Syahrir, karya
puisinya menggambarkan pada zaman itu indonesia masih ada penjajahan. Sosok
Sutan Syahrir tak asing di telinga masyarakat Indonesia. Tokoh pergerakan
nasional Indonesia ini terkenal gigih dalam perjuangannya mewujudkan
kemerdekaan Indonesia sejak zaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang,
hingga membangun Indonesia pasca-kemerdekaan. Perdana menteri yang terkenal
cerdas ini mengalami banyak sekali hal pahit dalam hidupnya. Bahkan, Syahrir
wafat dalam kondisi menjadi tahanan perang. Maka, dalam setiap karya Sutan
Syahrir, ia mengajak dan memberikan motivasi anak muda untuk semangat
berjuang dalam hidup ini, karena hidup di dunia ini hanya sekali, maka lakukan
sesuatu yang bermanfaat bagi sesama manusia agar ada hal-hal yang
baik ,bermakna untuk dikenang sepanjang masa. Perbanyaklah berbuat baik,
karena kelak balasan yang diterima dan dicatat oleh Tuhan untuk kita sebagai
manusia yang senantiasa berdoa kepada-Nya, maka akan menerima balasan
kebaikan juga.

3
ISI

Semiotik Model Jurij Mikhailovic Lotman

Menurut Lotman, tujuan utama penelitian secara semiotik adalah


menemukan jagat pikiran yang dimodelkan oleh karya seni. semiotika Lotman
pernah sedikit dibicarakan Faruk, H.T. dalam tesisnya yang dibukukan dengan
judul Hilangnya Pesona Dunia: Siti Nurbaya, Budaya Minang, Struktur Sosial
Kolonial (1999). Faruk menyinggung tentang penerapan medan semantik, oposisi
biner, hubungan penanda dan makna pada novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli
ini. Kemudian pada disertasinya, Faruk juga membicarakan sedikit perihal teori
Lotman juga romantisisme lebih mendalam yang dibukukan dengan judul Novel-
Novel Indonesia Tradisi Balai Pustaka 1920- 1942 (2002). Faruk menyimpulkan
bahwa novel-novel Indonesia tradisi Balai Pustaka dalam periode 1920-1942
merupakan kelanjutan tradisi yang lebih besar, yaitu tradisi romantik Barat yang
masuk ke Indonesia, baik melalui lembaga-lembaga pendidikan maupun media
massa. Oleh karena itu, di dalamnya ditemukan satuansatuan sintaktik atau
kontinum material nonsistemik yang serupa dengan yang terdapat dalam tradisi
yang lebih besar tersebut, seperti oposisi biner antara akhirat/surga dengan dunia,
desa dengan kota, alam dengan kebudayaan/manusia, malam dengan siang, dan
sebagainya.
Contoh yang sangat jelas terhadap aplikasi semiotika Lotman adalah
analisis yang dilakukan oleh H.M.J. Maier terhadap cerpen Sunat karya Pramudya
Ananta Toer dengan judul Failure of a Hero, An Analysis of Pramudya Ananta
Tur’s Story (1982). Dalam analisis ini, Maier menekankan adanya pertentangan
(oposisi biner) yang membingkai struktur konseptual cerpen Sunat, yang
direalisasikan lewat tokoh ‗aku‘. Oposisi itu berupa pertentangan antara inner
yakni budaya Jawa, rumah, ibu, dan outer yaitu Islam, dunia luar, ayah. Sunat
merupakan inisiasi bagi Aku‘ tidak saja dari dunia anak-anak ke dunia dewasa,
tetapi dari dunia awa‖, dari rumah yang aman kepada dunia Islam, dunia laki-laki,
dunia baru yang chaos. Keinginan Aku untuk menjadi Jawa sejati sekaligus Islam

4
Sejati setelah Sunat ternyata membangkitkan pertanyaan-pertanyaan tentang
esensi hidup.
Yuri Lotman (1977:9; Noth, 1990:309) memandang seni (sastra) sebagai
secondary modeling system dan dibangun di atas model bahasa (secondary
modelling system, like all semiotic system, are constructed on model of language).
Bagi Lotman, sastra merupakan bahasa tersendiri sebagaimana bahasa kimia,
fisika, atau matematika, akan tetapi karena sastra tersebut menggunakan bahasa
yang dipakai sehari-hari pada suatu lokasi, maka ia akan menjadi model
kehidupan dalam tataran aktivitas semiotiknya.
Seni pada dasarnya adalah usaha menghadirkan apa dunia pengalaman,
apa yang partikular, konkrit. Ia terikat pada yang inderawi, yang perseptual. Oleh
karena itu, tidaklah mengherankan apabila produk-produk seni tari, seni drama,
seni lukis, maupun seni patung amatlah dekat dengan objek-objek konkret yang
ada dalam dunia pengalaman. Semuanya cenderung mimetik dan ikonik, dalam
arti mempunyai kedekatan dan hubungan persamaan dengan objekobjek dari
dunia pengalaman itu (Faruk, 2000:179).
Menurut Lotman (1990:16), in the history of art this is especially common,
since every innovatory work of art is sui genaris a work in a language that is
unknowon to the audience and which has to be reconstructed and mastered by its
addressees, di dalam sejarah seni telah diketahui secara umum, bahwa setiap
karya seni terobosan merupakan hal yang unik dan berharga dalam bahasa yang
dikenal oleh audiensinya dan harus direkonstruksi dan direka ulang oleh (apa
yang diistilahkan oleh Lotman sebagai) addressee-nya, penulisnya, karena
semiotik bekerja atas tanda-tanda, upaya familiarisasi dianggap dapat membantu
memahami puisi atau karya sastra sebagai sebuah mekanisme semiotik.
Tugas utama penelitian semiotik adalah to find a series of thinking object,
compare them, and to deduce the invariant feature of intelligence (Lotman,
1990:2); untuk menemukan rangkaian-rangkaian pemikiran tentang obyek,
membandingkan diantaranya, dan kemudian menarik kesimpulan variasi-variasi
yang ada. Lotman tidak menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan intelegensia,
tetapi kemudian mereduksinya ke dalam fungsi-fungsi berikut:

5
1. the transmission of available information (that is, of text): transmisi dari
informasi yang dikehendaki);
2. the creation of new information, that is, of texts which are not simply
deducible according to set algorithms from already existing information, but
which are to some degree unpredictable : kreasi informasi baru, yakni kreasi
makna teks;
3. memory, that is, the capacity to preserve and reproduce information
(texts); memori, yaitu kapasitas untuk menyimpan dan mereproduksi
informasi.

Bagi Lotman, sastra adalah secondary modelling system. Penggunaan frase


tersebut berarti menggunakan lebih dari sekedar bahasa natural, yang menrupakan
primary modelling system, sebagai material atau medium, melainkan menjadikan
bahasa natural (dalam penelitian ini contohnya bahasa Indonesia) sebagai modal
untuk membahasakan atau memodelkan sebuah jagat (universe). Sastra
menjadikan bahasa natural sebagai bahasa yang baru. Bahasa yang baru ini
menempati posisi secondary.
Menurut Lotman (1977:14) bahasa tidak hanya merupakan sistem
komunikasi, tetapi juga sebuah sistem pemodelan (modelling system), atau lebih
dari itu, kedua fungsinya dihubungkan tanpa terpisah. Dengan menjadikan sastra
sebagai model kehidupan (Eco dalam Lotman, 1990: x), maka Lotman
meletakkan semiotika ini sebagai semiotika kebudayaan. Model adalah sebuah
objek yang diterima yang menggantikan objek yang sesungguhnya dalam proses
persepsi.
Pada level secondary, otomatisasi menjadi runtuh: sistem yang seharusnya
membentuk teks menjadi kesatuan yang koheren dan signifikan tidak diketahui
lagi ketika pembaca mulai membaca. Hal tersebut, sesungguhnya sudah
disinggung oleh kaum formalis. Penyimpangan, penyalahan dan penciptaan tanda
serta relasi antartanda dalam karya sastra menciptakan makna yang tidak otomatis
lagi seperti bahasa sehari-hari. Victor Shklovsky, dalam Art id Technic

6
menyebutnya dengan defamiliarisasi (Selden, 1996:5). Ada tanda-tanda yang tidak
umum diketahui oleh awam, yang membutuhkan beberapa wawasan tertentu
untuk memecahkan beberapa masalah.

Pendekatan Semiotik Model Roland Barthes dalam Puisi “Sajak Ibu”

Lotman dengan perspektifnya yang disebut semiotika kebudayaan


menawarkan kepada kita sebuah pemahaman sebuah karya novel sebagai sebuah
model budaya yang mendekati keutuhan. Semiotika kebudayaan memiliki tugas
menemukan sebuah rangkaian objek-objek pemikiran, membandingkan, dan
mendeduksi kandungan-kandungan invarian intelegensi di dalam karya sastra
(Gumilar, 2009: 171). Oleh karena itu, tanda-tanda yang merangkai struktur
dicurigai bukanlah hanya sebagai referensi bahasa saja, tetapi mesti juga
dipandang dalam nuansa makna yang lebih luas dan lebih kompleks.
Sebagai sebuah bahasa, sastra juga memiliki fungsi utama, yaitu alat untuk
berkomunikasi. Lotman (1977:15) menunjukkan bahwa di dalam karya sastra (art)
tersirat : (1) sebuah pesan (message), yang dipancarkan kepada pembaca; (2)
sebuah bahasa, yakni sistem abstrak, yang umum bagi pengirim dan penerima,
yang memungkinkan tindak komunikasi terjadi. Selanjutnya, Lotman (1990:63)
berpendapat a text and its readership are in a relationship of mutual activation: a
text strives to make its readers conform to itself, to force on them its own system
of codes, and the readers respond in the same way. The text as it were contains an
images of its ‘own’ text bahwa sebuah teks, dalam hal ini sastra dan
pembacaannya berada dalam aktivasi mutual, masing-masing saling
menghidupkan ―switching the other on‖, masing-masing berusaha
menerjemahkan yang lain ke dalam bahasanya sendiri: teks berusaha memasukkan
sistem kode-kode yang terhubung dengan obyeknya, obyeknya dipaksa untuk
terbuka memamerkan apa saja yang bisa tergarap oleh teks dan para pembaca
merespon dengan cara yang sesuai.
Gumilar menegaskan bahwa sistem kode para interpreter ini selalu
asimetris terhadap rigiditas (kekakuan) sistem kode teks; selalu ada kelonggaran
yang menghasilkan sebuah surplus of meaning ‗makna tambah‘ (dalam istilah

7
Ricoeur). Interaksi teks pembaca sesungguhnya mensyaratkan sebuah situasi
pengertian dalam sebuah situasi ketidakpedulian; anything could be changed
(Lotman, 1990:79), segalanya bisa berubah, sehingga kemungkinan pergeseran
teks dan makna akan menyebabkn proses (saling) pengaruh mempengaruhi antara
kedua situasi lalu menumbuhkan informasi yang nyaris baru.
Dengan menyebut adanya aktivasi mutual, maka Lotman mengisyaratkan
adanya proses resepsi sebagaimana dimaksud Iser. Kajian respon estetik yang
dikemukakan Iser berpusat pada pertanyaan mendasar menyangkut proses
pemaknaan teks yang dihasilkan melalui hubungan teks dengan pembacanya. Iser
(1987: x) mempertanyakan: bagaimana dan dalam kondisi apa sehingga sebuah
teks bermakna bagi pembacanya. Pertanyaan mendasar tersebut setidaknya
mengimplikasikan dua hal penting menyangkut (1) cara atau tindakan pembacaan
dan (2) interaksi antara teks dan pembaca yang diwujudkan melalui potensi
pembacaan.

Hidup di Dunia Hanya Sekali

Mengapa bermenung mengapa bermurung?


Mengapa sangsi mengapa menanti?
Menarik menunda badai dahsyat
seluruh buana tempat ngembara
Ria gembira mengejar berlari
anak air di gunung tinggi
memburu ke laut sejauh dapat
Lihat api merah bersorak
naik membubung girang marak
mengutus asap ke langit tinggi!

Mengapa bermenung mengapa bermurung?


Mengapa sangsi mengapa menanti?
Hidup di dunia hanya sekali
Jangkaukan tangan sampai ke langit
Masuk menyelam ke lubuk samudra
Oyak gunung sampai bergerak
Bunyikan tagar berpancar sinar
Empang sungai membanjiri bumi
Aduk laut bergelombang gunung
Gegarkan jagat sampai berguncang

8
Jangan tanggung jangan kepalang

Lenyaplah segala mata yang layu


Bersinarlah segala wajah yang pucat
Gemuruhlah memukul jantung yang lesu
Gelisahlah bergerak tangan
Terus berusaha selalu bekerja

Punah
Punahlah engkau segala yang lesu
Aku hendak melihat
api hidup dahsyat bernyala,
menyadar membakar segala jiwa.
Aku hendak mendengar
jerit perjuangan garang menyerang
langit terbentang hendak diserang.
Aku hendak mengalami
bumi berguncang orang berperang
Urat seregang mata menantang.

Puisi karya Sutan Syahrir ini mengajak pembacanya untuk kembali


bersyukur terhadap apa yang telah kita terima dan alami selama ini. Melalui 4 bait
puisi tersebut, pada baris pertama kata bermenung mengandung diksi perasaan
sedih dan memiliki masalah yang dipertegas dengan kata dan bermurung. Dalam
baris pertama ini terbentuk konotasi dari ali bahwa ketika seseorang sedih dan
memiliki masalah berat seseorang sedih dan memiliki banyak pikiran atau
masalah. Sementara secara denotasi apabila ada orang yang merenung dan
murung orang tersebut memiliki masalah dalam hidupnya. Pada baris kedua kata
sangsi dalam KBBI (2015) kata sangsi diartikan sebagai bimbang atau ragu-ragu.
Sementara menanti mengandung diksi menunggu. Dalam kalimat “mengapa
sangsi mengapa menanti?” secara denotasi mengapa seseorang ragu dan hanya
menunggu tanpa melakukan sesuatu. Baris ke 3 “menarik” mengandung diksi
membawa atau mengambil. sementara “menundai badai dasyat” mengandung
diksi menghalagi suatu masalah atau menunda masalah besar yang pada akhirnya
pasti datang cepat maupun lambat. Penerapan teori semiotika Lotman, ialah
pemilihan model diksi yang digunakan sebagai simbol yang menggantikan kata

9
sebenarnya yang biasa digunakan dalam sehari-hari. Bahasa yang disebutkan
Lotman sebagai secondary modelling system.
Pada baris ke 3 ini, penjelasan melalui teori Lotman, yaitu berada pada
pemilihan model kata yang menggambarkan makna implisit sebenarnya yang
diungkapkan melalui perasaan yang memunculkan estetika tersendiri saat
menggunakan diksi tersebut. Pada dasarnya, estetika juga muncul saat sebuah
karya itu indah dan memunculkan imajinasi yang indah bagi para penikmatnya.
Makna tersebut juga bisa menggambarkan sebuah kisah tragis yang digambarkan
oleh puisi Sutan Syahrir pada masa perjuangan saat masih terjadi penjajahan pada
zaman itu.
Baris ke 4 “seluruh buana tempat mengembara” dalam arti denotasi
memberi gambaran bahwa didunia ini semua tempat dapat disinggahi. Pemilihan
kata “buana” memberikan kesan puitis yang dalam terhadap “dunia”. Kalimat
pada baris ke 4 dipertegas dengan pernyataan mengenai gambaran duia. Kalimat
“Ria gembira mengejar berlari” pada kalimat ini ali menggambarkan bahwa
didunia terdapat kebahagiaan ketika kita mengejar apa yang kita inginkan. Baris
ke 5 dan ke 6 “anak air di gunung tinggi membuu ke laut sejauh dapat” dalam
kalimat tersebut mengandung denotasi air ditempat kecil dari jarak jauh yang ada
di pegunungan juga berjalan menuju lautan yang lebih luas. Kalimat terakhir bada
baris ke 7, 8 dan 9 “Lihat api merah bersorak naik membumbung girang marak
mengutus asap ke langit tinggi” mengandung denotasi semangat yang berkobar-
kobar untuk mencapai tujuan.
Pada baris ke 4 ini, dianalisis melalui teori semiotika Lotman ini
merupakan penerapan “kreasi informasi baru, yakni kreasi makna teks” ,
disebutkan demikian karena pemilihan kalimat diksi memunculkan sebuah kreasi
makna teks yang digambarkan. Jadi, pengungkapan puisi tersebut menyita
perhatian pembaca untuk membayangkan dan mengimajinasikan sebuah tempat
dan perasaan sebagai sebuah makna semangat untuk mengapai cita-cita yang
sudah dikreasikan sejak masa kecil, dengan membayangkan pula keindahan Alam
untuk mencapai ketenangan dalam diri. Membayangkan betapa sejuknya jika
berada di gunung, dan melihat pemandangan dasar lautan. Hal ini juga

10
menggambarkan, boleh mencintai dan memiliki cita-cita setinggi langit, namun
juga tak lupa untuk saling menjaga perasaan sesama manusia, karena dalamnya
lautan bisa diukur, sedangkan dalamnya hati seorang manusia tidak ada yang tahu.
Paragraf ke dua pada baris ke 3,4 dan 5 “Hidup di dunia hanya sekali
Jangkaukan tangan sampai ke langit Masuk menyelam ke lubuk samudra” pada
kalimat ini mengandung denotasi kehidupan yang kita jajani hanya sekali
sehingga kita harus berusaha keras sejauh mungkin dengan memaksimalkan
kemampuan kita. Kata “Langit” dan “samudra” memiliki diksi “jauh atau sangat
jauh” atau sangat tinggi. Kalimat selanjutnya “oyak gunung sampai bergetar”
pada kalimat ini mengandung denotasi usaha besar yang dilakukan. Pada paragraf
ini penulis memberikan tekanan-tekanan semangat berkobar-kobar secara terus
menerus yang di gambarkan melalui kebesaran alam yang ada dapat memporak-
porandakan dunia. Denotasi dari kalimat ini adalah kerja keras yang dilakukan
terus menerus dalam skala besar dapat memberikan hasil yang besar juga.
Dalam penerapan teori semiotika Lotman, pemilihan diksi dan frasa dalam
bait tersebut terlihat bahwa pengungkapan makna yang disampaikan secara
implisit oleh Sutan Syahrir, Sebenarnya bagi sebagian para pembaca yang belum
pernah membaca puisi ini, atau hanya membacanya sekali, makna ini mungkin
akan sulit terungkap karena simbol yang digunakan untuk mengungkapkan
motivasi masih tidak nampajika dibaca pertama kali oleh pembaca, unsur estetika
adalah yang pertama kali muncul dalam benak pembaca saat membaca beberapa
kalimat tersebut. Makna tersirat yang pertama kali muncul adalah berpetualang
menjelajah keindahan alam. Namun, jika dilihat dari sisi pesan yang disampaikan
adalah merupakan perjuangan, gapailah dengan usaha besar, maka yang diperoleh
juga besar.
Paragraf ketiga memberikan motivasi dari hasil yang di dapat ketika telah
berusaha keras. Dimana semua hal yang memberikan kesedihan dapat
diselesaikan sehingga setiap orang tidak perlu lagi merasa sedih. Sementara pargaf
terakhir berisi ajakan untuk bersama-sama berjuang dan mewujudkan mimpi.
Dalam puisi ini Sutan Syahrir banyak mengibaratkan penggunaan kata yang
berhubungan dengan alam seperti anak air, gunung, asap, langit, samudra dan

11
lain-lain untuk menegaskan apa yang ingin ia sampaikan. Sesuai dengan analisis
semiotika Lotman dimana penggunaan kata ganti yang menggunakan kata alam
mengajak pembaca agar lebih banyak berpikir.
Melalui semiotika Lotman yang menggunakan kata-kata kiasan
membutuhkan tingkat intelegensi tertentu untuk dapat memahami puisi Sutan
Syahrir ini. Puisi Hidup di Dunia Hanya Sekali kental terasa aroma perjuangan
dari setiap baitnya. Pada bait pertama digambarkan api merah bersorak
menggambarkan semangat perjuangan dalam memperjuangkan kemerdekaan.
Pada bait kedua ajakan Sutan Syahrir untuk berdoa dalam menyikapi suasana
peperangan tercantum pada baris Jangkaukan tangan sampai ke langit.
Setiap karya puisi tentu dipengaruhi oleh kondisi saat puisi tersebut
diciptakan, Sutan Syahrir yang merupakan penulis puisi era perjuangan, banyak
menyiratkan pesan-pesan khusus pada puisinya termasuk puisi ini. Sutan Syahrir
mengharapkan adanya doa dan ketiadaan penyesalan dalam melakukan
perjuangan. Melalui puisi yang dipaparkan, Sutan Syahrir mengobarkan semangat
para pembaca dalam kondisi peperangan yang termasuk juga bagi para korban
perang. Ia senantiasa menyampaikan pesan kekhawatirannya atas hidup yang
tidak berguna. Menurutnya, hanya ada satu yang pasti, Merdeka atau Mati.
Puisi ini merupakan puisi yang memiliki unsur penggugah asa paling
besar. Dari bait pertama hingga bait terakhir berisikan motivasi, semangat, dan
harapan yang berkobar-kobar. Pada bait pertama, penulis seakan-akan mengajak
pembaca untuk ikut bergembira, menjelajah, dan mengembara. Pada bait kedua
penulis mengajak agar pembaca memiliki mimpi yang besar dan berusaha
mewujudkannya, tidak diam saja tanpa melakukan apa-apa. Pada bait ketiga
penulis mengajak pembaca untuk bangkit dari kemalasan atau kesedihan, dan
mengajak bekerja atau berjuang bersama. Pada bait terakhir, penulis menegaskan
kembali untuk mengajak berjuang bersama, dengan semangat yang lebih besar
dari sebelumnya. Ia ingin semua rakyat bangkit dan melawan penjajah,
menghancurkan segala yang mengekang dan menuju kebebasan serta
kemenangan.

12
13
KESIMPULAN

Berdasarkan analisis semiotika Lotman yang telah dilakukan pada puisi berjudul
“Hidup di Dunia Hanya Sekali” karya Sutan Syahrir dapat disimpulkan bahwa di
dalam puisi tersebut terdapat unsur-unsur alam yang digunakan sebagai kiasan
kata. Sutan Syahrir menyampaikan pesan mendalam dalam bulatan prosa dan kata
yang dibaluti oleh semangat juang para pejuang di masanya. Puisi tersebut
membuat para pembacanya kembali mengingat apa yang sedang mereka
perjuangkan saat ini. Pesan yang ingin disampaikan oleh Sutan Syahrir cukup
mudah untuk dipahami oleh masyarakat Indonesia yang mengalami masa-masa
perjuangan, agar tiada penyesalan dalam setiap langkah mereka. Do’a harus
dijadikan pegangan, apakah yang menjadi tujuan dari perjuangan mereka tersebut
merupakan tujuan sebenar-benarnya hidup.

14
REFERENSI

Chandler, Daniel (2007). Semiotics The Basics. Perancis: Taylor & Francis e-
Library
Faruk (1999). Hilangnya Pesona Dunia. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia
Iser, Wolfgang (1987). The Act of Reading: a Theory of Aesthetic Response. The
John Hopkins University Press: Baltimore London.
Lotman, Yuri M (1977). The Structure of The Artistic Text. Michigan: University
of Michigan;
------------------- (1990). Universe of The Mind: A Semiotic Theory of Culture.
London: I.B. Tauris & Co. Ltd
Maier, H (1982). The Failure of A Hero. An Analysis of Pramudya Ananta Turs
Short Story Sunat. In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 138
(1982), no: 2/3, Leiden, 317-345
Pradopo, Rachmat Djoko (2012). Beberapa Teori Sastra Teori Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Selden, Raman., Peter Widdowson, & Peter Brooker (2005). A reader’s Guide to
Contemporary Literary Theory. UK: Pearson Education Limited
Wibowo, Indiwan (2013). Semiotika Komunikasi - Aplikasi Praktis Bagi
Penelitian Dan Skripsi Komunikasi. Jakarta : Penerbit Mitra Wacana
Media

15

Anda mungkin juga menyukai