Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

PENDAPATAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM


Disusun untuk memenuhi tugas
MATA KULIAH: EKONOMI MAKRO ISLAM
Dosen Pengampu: Ustz. Vina Fithriana Wibisono, S.H, M.H

Rizky Fathur Nurrohman


Yoga Putra Pratama

422021322121

SEMESTER 4
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH (HES)
UNIVERSITAS DARUSSALAM GONTOR (UNIDA)
BAB I

PENDAHULUAN

Setiap negara di dunia ini mempunyai konsepsinya sendiri-sendiri mengenai arah


perkembangan perekonomiannya. Untuk itu, mereka pun telah memilih corak atau sistem
perekonomian yang dirasa cocok dengan keadaannya masing-masing. Semua sistem
perekonomian yang dewasa ini terdapat di dunia, niscaya ada penganutnya. Suatu negara
menganut sistem ekonomi Kapitalisme, sedang yang lain memandang bahwa sistem Fasismelah
yang terbaik sementara ada pula yang memilih sistem ekonomi Sosialisme atau bahkan
Komunisme. Hingga saat ini yang mulai banyak dilirik adalah sistem ekonomi Islam, yang
sebenarnya telah ada sejak Islam ada.

Di dalam teori ekonomi, pendapatan nasionl merupakan salah satu bagian yang menarik
perhatian untuk dibicarakan. Pendapatan nasional sampai saat ini masih tetap dianggap orang
sebagai pilar utama penyangga politik ekonomi. Artinya, ke arah peningkatan pendapatan
nasional itulah hampir semua kebijaksanaan di bidang perekonomian difokuskan.1

Setiap kegiatan ekonomi dalam suatu negara pasti berkaitan dengan pendapatan
nasional. Tingkat perkembangan ekonomi suatu negara juga dapat dilihat dari pendapatan
nasionalnya. Usaha-usaha pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh setiap negara pasti
diarahkan untuk meningkatkan kestabilan pendapatan nasional.

Maka dari itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pengertian pendapatan nasional,
ruang lingkup pendapatan nasional, metode perhitungannya, serta pandangan ekonomi Islam
terhadap pendapatan nasional itu sendiri.

1
Suherman Rosyidi, Pengantar Teori Ekonomi (Pendekatan Kepada Teori Ekonomi Mikro &Makro),
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006: hlm 99.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP PENDAPATAN NASIONAL

Secara sederhana pendapatan nasional dapat diartikan sebagai jumlah barang dan jasa
yang dihasilkan suatu negara pada periode tertentu biasanya satu tahun. Istilah yang terkait
dengan pendapatan nasional beragam antara lain; produk domestic bruto (gross domestic
product/GDP), produk nasional bruto (gross national product/GNP), serta produk nasional neto
(net national product/NNP).2
Perhitungan pendapatan nasional akan memberikan perkiraan GDP secara teratur yang
merupakan ukuran dasar dari performansi perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa.
Selain itu perhitungan pendapatan nasional juga berguna untuk menerangkan kerangka kerja
hubungan antara variabel makroekonomi, yaitu; output, pendapatan, dan pengeluaran.

Gambar diatas menjelaskan tentang adanya dua arus (flow), yaitu barang dan uang

1. Arus barang berupa penyerahan faktor produksi dari rumah tangga konsumen ke rumah
tangga produsen (1) dan penyerahan barang-barang dan jasa dari rumah tangga produsen
ke rumah tangga konsumen(4)
2. Sedangkan arus (flow) uang terjadi penerimaan pendapatan yang diperoleh rumah tangga
konsumen dari rumah tangga produsen (2) pengeluaran yang dilakukan rumah tangga
konsumen pada rumah tangga produsen (3)

2
Nurul Huda, dkk, Ekonomi Makro Islam, Jakarta,: Kencana Prenada Media Group, 2009: hlm 21.

2
Beberapa istilah mengenai pendapatan nasional:

 Produk Domestik Bruto (PDB) : Nilai barang dan jasa dalam suatu negara yang
diproduksikan oleh faktor produksi milik warga negara tersebut dan negara asing.
 Produk Nasional Bruto (PNB) : Nilai barang dan jasa yang dihitung dalam pendapatan
nasional hanyalah barang dan jasa yang diproduksikan oleh faktor-faktor produksi yang
dimiliki oleh warga negara itu sendiri.
 Pendapatan Nasional Harga Berlaku : Pendapatan nasional yang dihitung dengan harga
berlaku, yakni nilai barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan dari suatu negara dalam
satu tahun dan dinilai menurut harga-harga yang berlaku pada tahun tersebut.
 Pendapatan Nasional Harga Tetap (Riil) : Pendapatan nasional yang dihitung dengan Harga
tetap, yakni harga barang-barang dan jasa-jasa yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang
seterusnya digunakan (sebagai patokan) untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan
pada tahun-tahun berikutnya.
 Pendapatan Nasional Harga Pasar : Pendapatan nasional yang dihitung dengan harga pasar,
yakni apabila perhitungan nilai barang itu menggunakan harga yang dibayar oleh pembeli.
 Pendapatan Nasional Harga Faktor : Pendapatan nasional yang dihitung bergantung pada
jumlah pendapatan faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan barang tersebut.

B. PENDAPATAN NASIONAL DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Pendekatan ekonomi konvensional menyatakan GDP atau GNP riil dapat dijadikan
sebagai suatu ukuran kesejahteraan ekonomi atau kesejahteraan pada suatu negara. Pada waktu
GNP naik, maka diasumsikan bahwa rakyat secara materi bertambah baik posisinya dan
sebaliknya, tentunya setelah dibagi dengan jumlah penduduk (GNP per kapita). Kritik terhadap
GNP sebagai ukuran kesejahteraan ekonomi muncul dan para pengkritik mengatakan bahwa
GNP per kapita merupakan ukuran kesejahteraan yang tidak sempurna. Sebagai contoh, jika nilai
output turun sebagai akibat orang-orang mengurangi jam kerja atau menambah waktu
istirahatnya tentunya hal itu bukan menggambarkan keadaan orang itu menjadi lebih buruk.

Penggunaan GDP riil per kapita sebagai ukuran kesejahteraan suatu negara masih
digunakan. Beberapa keberatan penggunaan GDP riil per kapita sebagai indikator kesejahteraan
suatu negara sebagai berikut:

3
1. Umumnya hanya produk yang masuk pasar yang dihitug dalam GNP. Produk yang
dihasilkan dan dikonsumsi sendiri, tidak tercakup dalam GNP
2. GNP juga tidak menghitung nilai waktu istirahat padahal ini sangat besar pengaruhnya
dalam kesejahteraan. Semakin kaya seseorang akan semakin menginginkan waktu
istirahat
3. Kejadiian buruk seperti bencana alam tidak dihitung dalam GNP. Padahal kejadian
tersebut jelas mengurangi kesejahteraan
4. Masalah polusi juga sering tidak dihitung dalam GNP. Banyak sekali pabrik-pabrik yang
dalam kegiatan produksinya menghasilkan polusi air maupun udara. Ini jelas akan
merusak lingkungan

Bagaimana ekonomi Islam mengkritis perhitungan GDP rill per kapita yang dijadikan
sebagai indikator bagi kesejahteraan suatu negara. Satu hal yang membedakan sistem ekonomi
Islam dan sistem ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah adalah
kesejahteraan yang hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana komponen rohaniah
masuk dalam pengertian falah. Al falah dalam pengertian Islam mengacu pada konsep Islam
tentang manusia itu sendiri. Namun, lebih sering kesejahteraan itu diwujudkan pada peningkatan
GNP yang tinggi, yang apabila dibagi dengan jumlah penduduk akan menghasilkan per capita
income yang tinggi. Jika hanya itu ukurannya, maka kapitalis modern akan mendapat angka
maksimal. Akan tetapi, pendapatan per kapita yang tinggi bukan satu-satunya komponen pokok
yang menyusun kesejahteraan. Ia hanya merupakan necessary condition dalam isu kesejahteraan
dan bukan sufficient condition.

Dalam Islam, esensi manusia ada pada ruhaniahnya. Karena itu, seluruh kegiatan
duniawi termasuk dalam aspek ekonomi diarahkan tidak saja untuk memenuhi tuntutan fisik
jasadiyah melainkan juga memenuhi kebutuhan ruhani di mana roh merupakan esensi manusia.3

Maka dari itu, selain harus memasukkan unsur falah dalam menganalisis kesejahteraan,
perhitungan pendapatan nasional berdasarkan Islam juga harus mampu mengenali bagaimana
interaksi instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan
umat.

3
Nasution, dalam Nurul Huda dkk, Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009:
hlm 28.

4
Pada intinya, ekonomi Islam harus mampu menyediakan suatu cara untuk mengukur
kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sosial Islam. 4
Setidaknya ada empat hal yang semestinya bisa diukur dengan pendekatan pendapatan nasional
berdasarkan ekonomi Islam, sehingga tingkat kesejahteraan bisa dilihat secara lebih jernih dan
tidak bias. Empat hal tersebut adalah:5

1. Pendapatan nasional harus dapat mengukur peyebaran pendapatan individu


rumah tangga

Kendati GNP dikatakan dapat mengukur kinerja kegiatan ekonomi yang terjadi di pasar,
GNP tidak dapat menjelaskan komposisi dan distribusi nyata dari output perkapita. Semestinya,
prperhitungan pendapatan nasional Islami harus dapat mengenali penyebaran alamiah dari output
perkapita tersebut, karena dari sinilah nilai-nilai sosial ekonomi Islami bisa masuk. Jika
penyebaran pendapatan individu secara nasional bisa didetekti secara akurat, maka akan dengan
mudah dikenali seberapa besar rakyat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

 Barangkali inilah yang menjelaskan, ketika pemerintahan SBY memberikan Bantuan


Tunai Langsung (BLT) kepada rakyat miskin, terjadi banyak ketidakpuasan, karena daftar yang
nyata dari rakyat yang dikatagorikan miskin sesungguhnya sangat tidak akurat. Penghitungan
dari BPS didasarkan pada survei yang kurang mencermikan kenyataan sesungguhnya, sementara
angka GNP memang tidak dapat digunakan untuk mendeteksi jumlah penduduk miskin.
 Demikian pula GNP tidak mampu mendeteksi kegiatan produksi yang tidak
ditransaksikan di pasar. Itu artinya kegiatan produktif keluarga yang langsung dikonsumsi dan
tidak memasuki di pasar tidak tercatat di dalam GNP. Padahal kenyataan ini sangat
mempengaruhi kesejahtraan individu. Sesungguhnya angka ini bisa diperoleh melalui satu survei
nasional yang menyeluruh. Pendapatan per kapita yang diperoleh melalui survei demikian, bisa
diduga, akan menghasilkan angka yang lebih besar daripada GNP per kapita.
 Persoalan lainnya adalah, di dalam penghitungan GNP konvensional, produksi barang-
barang mewah memiliki bobot yang sama dengan produksi barang-barang kebutuhan pokok.
Maksudnya, produksi beras yang menghasilkan uang Rp 10 juta, sama nilainya dengan produksi
perhiasan emas yang juga menghasilkan Rp 10 juta. Maka untuk lebih mendekatkan pada ukuran

4
Mannan, dalam Ibid., hlm 29.
5
Nasution, dalam Ibid

5
kesejahteraan, ekonomi Islam menyarankan agar produksi kebutuhan pokok memiliki bobot
yang lebih berat daripada produksi barang-barang mewah.

2. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Produksi di Sektor Pedesaaan.


 Sangatlah disadari bahwa tidak mudah mengukur secara akurat produksi komoditas
subsisten, namun bagaimanapun juga perlu satu kesepakatan untuk memasukkan angka produksi
komoditas yang dikelola secara subsisten tersebut ke dalam penghitungan pendaptan nasional.
Komoditas subsisten ini, khususnya pangan, sangatlah penting di negara-negara muslim yang
baru dalam beberapa dekade ini masuk dalam percaturan perekonomian dunia.
 Satu contoh betapa tidak sempurnanya perkiraan produksi komoditas subsisten ini
adalah, kita tidak pernah benar-benar dapat mengetahui berapa sesungguhnya pendapatan
masyarakat desa dari sektor subsisten ini. Oleh karena itu sangat dibutuhkan pembuat kebijakan
untuk mengambil keputusan, khususnya berkaitan dengan tingkat kesejahteraan rakyat lapisan
bawah yang secara masa memiliki jumlah terbesar.
 Untuk mengetahui tingkat produksi komoditas subsisten ini, harus diketahui terlebih
dahulu tingkat harga yang digunakan. Pada umumnya ada dua jenis harga pasar, yakni harga
yang secara nyata diterima petani atau diharapkan akan diterima oleh petani, dan satu set harga
lainnya adalah nilai yang dibayar oleh konsumen di pasar eceran. Peningkatan produksi
pertanian di tingkat rakyat pedesaan, umumnya justru mencerminkan penurunan harga produk-
produk pangan di tangan konsumen sub-urban, atau sekaligus mencerminkan peningkatan
pendapatan para pedagang perantara, yang posisinya berada di antara petani dan konsumen.
Ketidakmampuan mendeteksi secara akurat pendapatan dari sektor subsisten ini jelas satu
kelemahan yang harus segera diatasi, karena di sektor inilah bergantung nafkah dalam jumlah
besar, dan di sinilah inti masalah dari distribusi pendatapan.

3. Pendapatan Nasional Harus Dapat Mengukur Kesejahteraan Ekonomi Islami


 Kita sudah melihat bahwa angka rata-rata pendapatan per kapita tidak menyediakan
kepada kita informasi yang cukup untuk mengukur kesejahtraan yang sesungguhnya. Sangat
penting untuk mengekspresikan kebutuhan efektif atau kebutuhan dasar akan barang dan jasa,
sebagai persentase total konsumsi. Hal itu perlu dilakukan karena kemampuan untuk
menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan, perumahan, pelayanan kesehatan, pendidikan, air

6
bersih, rekreasi dan pelayanan publik lainnya, sesungguhnya bisa menjadi ukuran bagaimana
tingkat kesejahtraan dari suatu negara atau bangsa.
 Sungguh menarik untuk mengkaji apa yang dilakukan Nordhaus dan Tobin dengan
Measures for Economics Welfare (MEW), dalam konteks ekonomi barat. Kalau GNP mengukur
hasil, maka MEW merupakan ukuran dari konsumsi rumah tangga yang memberi kontribusi
kepada kesejahtraan manusia. Perkiraan MEW didasarkan kepada asumsi bahwa kesejahtraan
rumah tangga yang merupakan ujung akhir dari seluruh kegiatan ekonomi sesungguhnya sangat
bergantung pada tingkat konsumsinya.
Beranjak dari definisi konsumsi yang ada selama ini, kedua proffesor itu lalu membagi
jenis konsumsi ke dalam tiga katagori:
a.         Belanja untuk keperluan publik, seperti membuat jalan, jembatan, jasa polisi dll.
b.        Belanja rumah tangga, seperti membeli TV, mobil, dan barang-barang yang habis dipakai.
c.        Memperkirakan berkurangnya kesejahteraan sebagai akibat urbanisasi, polusi,
dan kemacetan.
Disamping tiga kategori di atas, kedua profesor itu juga mambuat tiga tambahan
pendekatan lagi, yakni:
a.       Memperkirakan nilai jasa dari barang-barang tahan lama yang dikonsumsi selama setahun.
b.      Memperkirakan nilai dari perkerjaan-pekerjaan yang dilakukan sendiri, yang tidak melalui
transaksi pasar.
c.       Memperkirakan nilai dari rekreasi.
Meski MEW ini diukur dalam konteks barat, konsep ini sebenarnya menyediakan
petunjuk-petunjuk yang berharga untuk memperkirakan level kebutuhan hidup minimum secara
islami.

4. Penghitungan Pendapatan Nasional Sebagai Ukuran Dari Kesejahteraan Sosial


Islami Melalui Pendugaan Nilai Santunan Antar Saudara dan Sedekah.
Kita tahu bahwa GNP adalah ukuran moneter dan tidak memasukkan transfers payments
seperti sedekah. Namun haruslah disadari, sedekah memiliki peran yang signifikan di dalam
masyarakat islam. Dan ini bukan sekedar pemberian suka rela kepada orang lain namun
merupakan bagian dari kepatuhan dalam menjalankan kehidupan beragama. Di dalam
masyarakat Islam, terdapat satu kewajiban menyantuni kerabat yang sedang mengalami kesulitan

7
ekonomi. Meski tidak mudah memperoleh datanya, upaya mengukur nilai dari pergerakan
semacam ini dapat menjadi informasi yang sangat bermanfaat untuk mendalami bekerjanya
system keamanan sosial yang mengakar di masyarakat islam.
 Di sejumlah negara muslim, jumlah dan kisaran dari kegiatan dan transaksi yang
didasarkan pada keinginan untuk melakukan amal kebajikan, memiliki peran lebih penting
dibanding negara barat. Tidak hanya karena luasnya kisaran dari kegiatan ekonomi yang diambil
alih oleh keluarga maupaun suku, tetapi juga ada begitu banyak ragam kewajiban santunan di
antara anggota keluarga. Tidak semuanya melibatkan jumlah uang yang besar, karena yang
terjadi kadang-kadang hanya merupakan hibah berupa barang atau jasa yang kecil nilainya. Ada
satu kesenjangan keterikatan antara jasa dan pembayaran, misalnya donasi untuk pemeliharaan
masjid, menggaji imam masjid, kegiatan pedesaan, dan lain-lain.
 Sehingga penting untuk menentukan sifat alami dan tingkatan dari amal shadaqah antar
saudara. Melalui peningkatan pencatatan dan sektor tambahan dari aktivitas ini dapat dikaji
untuk pengambilan keputusan.
 Dibanding amal sedekah yang sering dikeluarkan umat Islam kepada mereka yang
kurang beruntung, sesungguhnya lebih mudah mengestimasi zakat, satu kewajiban pembayaran
transfer yang paling penting di negara muslim. Kini sedang diupayakan mengukur pendapatan
dari zakat sebagai persentase dari GNP. Pengukuran ini akan sangat bermanfaat sebagai variabel
kebijakan di dalam pengambilan keputusan di bidang sosial dan ekonomi, sebagai bagian dari
rancangan untuk mengentaskan kemiskinan. Pendayagunaan peran zakat untuk mengatasi
masalah kemiskinan di negara-negara muslim kini tengah menjadi agenda negara-negara
tersebut.

8
BAB III

PENUTUP

Kegiatan ekonomi suatu negara dimulai saat perusahaan melakukan kegiatan produksi
yang menghasilkan output berupa barang dan jasa. Jumlah seluruh barang dan jasa yang
diproduksi perusahaan di suatu negara dalam jangka waktu satu tahun disebut output nasional
atau produk nasional. Selanjutnya perusahaan akan menjual barang dan jasa kepada rumah
tangga. Untuk membeli barang dan jasa tersebut, rumah tangga harus melakukan pengeluaran.
Jumlah seluruh pengeluaran yang dilakukan rumah tangga suatu negara untuk membeli barang
dan jasa dalam jangka waktu satu tahun disebut pengeluaran nasional.

Dari hasil penjualan barang dan jasa perusahaan harus membayar pada rumah tangga
sebagai balas jasa terhadap faktor-faktor produksi yang sudah digunakan dalam proses produksi.
Dengan demikian rumah tangga akan menerima pendapatan. Jumlah seluruh pendapatan yang
diterima rumah tangga sebagai balas jasa faktor-faktor produksi dalam jangka waktu satu tahun
inilah yang disebut pendapatan nasional.

Setiap negara akan selalu menghitung pendapatan nasionalnya. Tidak ada satu negara pun
di dunia ini yang tidak memandang penting masalah pendapatan nasional ini. Data pendapatan
nasional dapat memberikan informasi yang berguna mengenai berbagai aspek dari kegiatan
ekonomi.

Dalam pendekatan ekonomi konvensional menyatakan GDP atau GNP riil dapat
dijadikan sebagai suatu ukuran kesejahteraan ekonomi atau kesejahteraan pada suatu negara.
Ekonomi Islam mengkritisi perhitungan GDP rill per kapita yang dijadikan sebagai indikator
bagi kesejahteraan suatu negara. Satu hal yang membedakan sistem ekonomi Islam dan sistem
ekonomi lainnya adalah penggunaan parameter falah. Falah adalah kesejahteraan yang hakiki,
kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana komponen rohaniah masuk dalam pengertian
falah. Al falah dalam pengertian Islam mengacu pada konsep Islam tentang manusia itu sendiri.
Selain harus memasukkan unsur falah dalam menganalisis kesejahteraan, perhitungan
pendapatan nasional berdasarkan Islam juga harus mampu mengenali bagaimana interaksi
instrumen-instrumen wakaf, zakat, dan sedekah dalam meningkatkan kesejahteraan umat.
9
DAFTAR PUSTAKA

Huda, Nurul, dkk., Ekonomi Makro Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009

Rosyidi, Suherman, Pengantar Teori Ekonomi: Pendekatan Kepada Teori Ekonomi


Mikro&Makro, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006

Sukirno, Sadoni, Makroekonomi: Teori Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003

10

Anda mungkin juga menyukai