Anda di halaman 1dari 48

Hadith of the Day

HOTD shalat faRdhu

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur'an) dan dirikanlah
shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan- perbuatan) keji dan mungkar. Dan
sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat
yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.
(QS. Al 'Ankabuut, 29 : 45)

Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:


Bahwa Rasulullah saw. masuk mesjid. Lalu seorang lelaki masuk dan melakukan salat.
Setelah selesai ia datang dan memberi salam kepada Rasulullah saw. Beliau menjawab
salamnya lalu bersabda: Ulangilah salatmu, karena sesungguhnya engkau belum salat.
Lelaki itu kembali salat seperti salat sebelumnya. Setelah salatnya yang kedua ia
mendatangi Nabi saw. dan memberi salam. Rasulullah saw. menjawab: Wa'alaikas
salam. Kemudian beliau bersabda lagi: Ulangilah salatmu, karena sesungguhnya engkau
belum salat. Sehingga orang itu mengulangi salatnya sebanyak tiga kali. Lelaki itu
berkata: Demi Zat yang mengutus Anda dengan membawa kebenaran, saya tidak dapat
mengerjakan yang lebih baik daripada ini semua. Ajarilah saya. Beliau bersabda: Bila
engkau melakukan salat, bertakbirlah. Bacalah bacaan dari Alquran yang engkau hafal.
Setelah itu rukuk hingga engkau tenang dalam rukukmu. Bangunlah hingga berdiri
tegak. Lalu bersujudlah hingga engkau tenang dalam sujudmu. Bangunlah hingga
engkau tenang dalam dudukmu. Kerjakanlah semua itu dalam seluruh salatmu.

Links:
[dalil-dalil tentang waktu shalat]
http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/7705101300-dalil-dalil-tentang-waktu-
shalat.htm
[hilang kOnsentRasi saat shOlat]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/27207
[tanya shOlat jama'ah]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/26349
[peRbedaan waktu untuk melaksanakan shalat faRdhu]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/10557
[shOlat faRdhu sepeRti seORang musafiR]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/7663
[kafiRkah meninggalkan shOlat?]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/7272
[wajibkah shalat faRdhu beRjamaah?]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/6784
[peRbedaan antaRa wajib dan faRdhu]
http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/5346
[pilihan menjama' shOlat atau shOlat di kendaRaan]
http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/6426154031-pilihan-menjama039-sholat-atau-
sholat-kendaraan.htm?other
[shalat dan hukumnya]
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=494
[sholat jama’ dan sholat qashar]
http://buletinislam.wordpress.com/2007/06/21/sholat-jama-dan-sholat-qashar-2/
[apakah boleh seseorang berdo'a ketika shalat fardhu ?]
http://www.almanhaj.or.id/content/1560/slash/0

http://orido.wordpress.com 1
Hadith of the Day

[beRsalaman [beRjabat tangan] setelah shalat]


http://www.almanhaj.or.id/content/1381/slash/0
[seputar hukum shalat jama dan qashar]
http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0
[kesalahan umum beRkaitan dengan shalat]
http://groups.yahoo.com/group/masjid_annahl/message/155

-perbanyakamalmenujusurga-

http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/7705101300-dalil-dalil-tentang-waktu-
shalat.htm

Dalil-Dalil Tentang Waktu Shalat

Jumat, 13 Jul 07 09:27 WIB

Assalamu'alaikum wr, wb.

Adakah di dalam Al-Quran dalil tentang waktu shalat? Ataukah hanya ada di dalam
hadits saja? Lalu bagaimana detail tiap waktu shalat yang sesungguhnya?

Sebelumnnya kami ucapkan terima kasih

Wassalamu'alaikum wr, wb.

Sudewo
sudewoprojo@gmai

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Di dalam Al-Quran sesungguhnya sudah ada sekilas tentang penjelasan waktu-waktu


shalat fardhu, meski tidak terlalu jelas diskripsinya. Namun paling tidak ada tiga ayat
di dalam Al-Quran yang membicarakan waktu-waktu shalat secara global.

Ayat Pertama:

ِ‫َوأَقِمِ الصّلَةَ طَرَفَيِ النّهَارِ وَ ُزلَفًا مِنَ اللّ ْيلِ إِنّ الْحَسَنَاتِ ُيذْهِبْنَ السّيّئَات‬
َ‫ذَِلكَ ذِكْرَى لِلذّاكِرِين‬

http://orido.wordpress.com 2
Hadith of the Day

"Dan dirikanlah shalat pada kedua tepi siang dan pada bahagian permulaan malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan perbuatan-perbuatan
yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat"(QS. Huud: 114)

Menurut para mufassriin, di ayat ini disebutkan waktu shalat, yaitu kedua tepi siang,
yaitu shalat shubuh dan ashar. Dan pada bahagian permulaan malam, yaitu Maghirb
dan Isya`.

Ayat kedua

َ‫ق اللّ ْيلِ وَقُ ْرءَانَ الْفَجْ ِر إِنّ قُ ْرءَان‬


ِ‫س‬َ َ‫س إِلَى غ‬
ِ ‫أَقِ ِم الصّلَ َة لِ ُدلُوكِ الشّ ْم‬
‫جرِ كَانَ مَشْهُودًا‬
ْ َ‫الْف‬
Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan Qur`anal
fajri. Sesungguhnya Qur`anal fajri itu disaksikan (QS. Al-Isra`: 78)

Menurut para mufassrin, di dalam ayat ini disebutkan waktu shalat yaitu sesudah
matahari tergelincir, yaitu shalat Zhuhur dan Ashar. Sedangkan gelap malam adalah
shalat Maghirb dan Isya` dan Qur`anal fajri yaitu shalat shubuh.

Waktu-waktu Shalat Fardhu di Dalam Al-Hadits

Sedangkan bila ingin secara lebih spesifik mengetahui dalil tentang waktu-waktu
shalat, kita bisa merujuk kepada hadits-hadits Rasululah SAW yang shahih dan qath`i.
Tidak kalah qath`inya dengan dalil-dalil dari Al-Quran Al-Karim. Di antaranya adalah
hadits-hadits berikut ini:

Dari Jabir bin Abdullah ra. bahwa Nabi SAW didatangi oleh Jibril as dan berkata
kepadanya, "Bangunlah dan lakukan shalat." Maka beliau melakukan shalat Zhuhur
ketika matahari tergelincir. Kemudian waktu Ashar menjelang dan Jibril berkata,
"Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW melakukan shalat Ashar ketika panjang
bayangan segala benda sama dengan panjang benda itu. Kemudian waktu Maghrib
menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW
melakukan shalat Maghrib ketika matahari terbenam. Kemudian waktu Isya`
menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW
melakukan shalat Isya` ketika syafaq (mega merah) menghilang. Kemudian waktu
Shubuh menjelang dan Jibril berkata, "Bangun dan lakukan shalat." Maka beliau SAW
melakukan shalat Shubuh ketika waktu fajar merekah/ menjelang. (HR Ahmad, Nasai
dan Tirmizy. )

Di dalam Nailul Authar disebutkan bahwa Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini
adalah hadits yang paling shahih tentang waktu-waktu shalat.

Selain itu ada hadits lainnya yang juga menjelaskan tentang waktu-waktu shalat. Salah
satunya adalah hadits berikut ini:

http://orido.wordpress.com 3
Hadith of the Day

Dari `Uqbah bin Amir ra bahwa Nabi SAW bersabda, "Ummatku selalu berada dalam
kebaikan atau dalam fithrah selama tidak terlambat melakukan shalat Maghrib, yaitu
sampai muncul bintang."(HR Ahmad, Abu Daud dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrak.)

Lebih Detail Tentang Waktu Shalat Dalam Kitab-kitab Fiqih

Dari isyarat dalam Al-Quran serta keterangan yang lebih jelas dari hadits-hadits
nabawi, para ulama kemudian menyusun tulisan dan karya ilmiah untuk lebih jauh
mendiskripsikan apa yang mereka pahami dari nash-nash itu. Maka kita dapati
deskripsi yang jauh lebih jelas dalam kitab-kitab fiqih yang menjadi masterpiece para
fuqoha. Di antaranya yang bisa disebutkan antara lain kitab-kitab berikut ini:

Kitab Fathul Qadir jilid 1 halaman 151-160,


Kitab Ad-Dur Al-Mukhtar jilid 1 halaman 331 s/d 343,
Kitab Al-Lubab jilid 1 halaman 59 - 62,
Kitab Al-Qawanin Al-Fiqhiyah halaman 43,
Kitab Asy-Syarhu Ash-Shaghir jilid 1 halaman 219-338,
Kitab Asy-Syarhul-Kabir jilid 1 halaman 176-181,
Kitab Mughni Al-Muhtaj jilid 1 halaman 121 - 127,
Kitab Al-Muhazzab jilid 1 halaman 51 - 54 dan Kitab Kasysyaf Al-Qanna` jilid 1 halaman
289 - 298.

Di dalam kitab-kitab itu kita dapati keterangan yang jauh lebih spesifik tentang waktu-
waktu shalat. Kesimpulan dari semua keterangan itu adalah sebagai berikut:

1. Waktu Shalat Fajr (Shubuh)

Dimulai sejak terbitnya fajar shadiq hingga terbitnya matahari. Fajar dalam istilah
bahasa arab bukanlah matahari. Sehingga ketika disebutkan terbit fajar, bukanlah
terbitnya matahari. Fajar adalah cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk
Timur yang muncul beberapa saat sebelum matahari terbit.

Ada dua macam fajar, yaitu fajar kazib dan fajar shadiq. Fajar kazib adalah fajar yang
`bohong` sesuai dengan namanya. Maksudnya, pada saat dini hari menjelang pagi, ada
cahaya agak terang yang memanjang dan mengarah ke atas di tengah di langit.
Bentuknya seperti ekor Sirhan (srigala), kemudian langit menjadi gelap kembali. Itulah
fajar kazib.

Sedangkan fajar yang kedua adalah fajar shadiq, yaitu fajar yang benar-benar fajar
yang berupa cahaya putih agak terang yang menyebar di ufuk Timur yang muncul
beberapa saat sebelum matahari terbit. Fajar ini menandakan masuknya waktu
shubuh.

Jadi ada dua kali fajar sebelum matahari terbit. Fajar yang pertama disebut dengan
fajar kazib dan fajar yang kedua disebut dengan fajar shadiq. Selang beberapa saat
setelah fajar shadiq, barulah terbit matahari yang menandakan habisnya waktu
shubuh. Maka waktu antara fajar shadiq dan terbitnya matahari itulah yang menjadi
waktu untuk shalat shubuh.

http://orido.wordpress.com 4
Hadith of the Day

Di dalam hadits disebutkan tentang kedua fajar ini:

"Fajar itu ada dua macam. Pertama, fajar yang mengharamkan makan dan
menghalalkan shalat. Kedua, fajar yang mengharamkan shalat dan menghalalkan
makan.." (HR Ibnu Khuzaemah dan Al-Hakim).

Batas akhir waktu shubuh adalah terbitnya matahari sebagaimana disebutkan dalam
hadits berikut ini.

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasululah SAW bersabda, "Dan waktu shalat shubuh
dari terbitnya fajar (shadiq) sampai sebelum terbitnya matahari." (HR Muslim)

2. Waktu Shalat Zhuhur

Dimulai sejak matahari tepat berada di atas kepala namun sudah mulai agak condong
ke arah barat. Istilah yang sering digunakan dalam terjemahan bahasa Indonesia
adalah tergelincirnya matahari. Sebagai terjemahan bebas dari kata zawalus syamsi.
Namun istilah ini seringkali membingungkan karena kalau dikatakan bahwa `matahari
tegelincir`, sebagian orang akan berkerut keningnya, "Apa yang dimaksud dengan
tergelincirnya matahari?"

Zawalus-Syamsi adalah waktu di mana posisi matahari ada di atas kepala kita, namun
sedikit sudah mulai bergerak ke arah barat. Jadi tidak tepat di atas kepala.

Dan waktu untuk shalat zhuhur ini berakhir ketika panjang bayangan suatu benda
menjadi sama dengan panjang benda itu sendiri. Misalnya kita menancapkan tongkat
yang tingginya 1 meter di bawah sinar matahari pada permukaan tanah yang rata.
Bayangan tongkat itu semakin lama akan semakin panjang seiring dengan semakin
bergeraknya matahari ke arah barat. Begitu panjang bayangannya mencapai 1 meter,
maka pada saat itulah waktu Zhur berakhir dan masuklah waktu shalat Ashar.

Ketika tongkat itu tidak punya bayangan baik di sebelah barat maupun sebelah
timurnya, maka itu menunjukkan bahwa matahari tepat berada di tengah langit.
Waktu ini disebut dengan waktu istiwa`. Pada saat itu, belum lagi masuk waktu
zhuhur. Begitu muncul bayangan tongkat di sebelah timur karena posisi matahari
bergerak ke arah barat, maka saat itu dikatakan zawalus-syamsi atau `matahari
tergelincir`. Dan saat itulah masuk waktu zhuhur.

3. Waktu Shalat Ashar

Waktu shalat Ashar dimulai tepat ketika waktu shalat Zhuhur sudah habis, yaitu
semenjak panjang bayangan suatu benda menjadi sama panjangnya dengan panjang
benda itu sendiri. Dan selesainya waktu shalat Ashar ketika matahari tenggelam di
ufuk barat. Dalil yang menujukkan hal itu antara lain hadits berikut ini:

Dari Abi Hurairah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Orang yang
mendapatkan satu rakaat dari shalat shubuh sebelum tebit matahari, maka dia
termasuk orang yang mendapatkan shalat shubuh. Dan orang yang mendapatkan satu

http://orido.wordpress.com 5
Hadith of the Day

rakaat shalat Ashar sebelum matahari terbenam, maka dia termasuk mendapatkan
shalat Ashar." (HR Muslim dan enam imam hadits lainnya).

Namun jumhur ulama mengatakan bahwa dimakruhkan melakukan shalat Ashar tatkala
sinar matahari sudah mulai menguning yang menandakan sebentar lagi akan terbenam.
Sebab ada hadits nabi yang menyebutkan bahwa shalat di waktu itu adalah shalatnya
orang munafiq.

Dari Anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, ..."Itu adalah shalatnya orang
munafik yang duduk menghadap matahari hingga saat matahari berada di antara dua
tanduk syetan, dia berdiri dan membungkuk 4 kali, tidak menyebut nama Allah
kecuali sedikit." (HR Jamaah kecuali Bukhari dan Ibnu Majah).

Bahkan ada hadits yang menyebutkan bahwa waktu Ashar sudah berakhir sebelum
matahari terbenam, yaitu pada saat sinar matahari mulai menguning di ufuk barat
sebelum terbenam.

Dari Abdullah bin Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan waktu shalat Ashar
sebelum matahari menguning."(HR Muslim)

Shalat Ashar adalah shalat Wustha menurut sebagian besar ulama. Dasarnya adalah
hadits Aisyah ra.

Dari Aisyah ra bahwa Rasulullah SAW membaca ayat, "Peliharalah shalat-shalatmu dan
shalat Wustha." Dan shalat Wustha adalah shalat Ashar. (HR Abu Daud dan Tirmizy dan
dishahihkannya)

Dari Ibnu Mas`ud dan Samurah ra berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Shalat
Wustha adalah shalat Ashar." (HR Tirmizy)

Namun masalah ini memang termasuk dalam masalah yang diperselisihkan para ulama.
Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar jilid 1 halaman 311 menyebutkan ada 16
pendapat yang berbeda tentang makna shalat Wustha. Salah satunya adalah pendapat
jumhur ulama yang mengatakan bahwa shalat Wustha adalah shalat ashar. Sedangkan
Imam Malik berpendapat bahwa shalat itu adalah shalat shubuh.

4. Waktu Shalat Maghrib

Dimulai sejak terbenamnya matahari dan hal ini sudah menjadi ijma` (kesepakatan)
para ulama. Yaitu sejak hilangnya semua bulatan matahari di telan bumi. Dan berakhir
hingga hilangnya syafaq (mega merah). Dalilnya adalah sabda Rasulullah SAW:

Dari Abdullah bin Amar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu Maghrib sampai
hilangnya shafaq (mega)." (HR Muslim).

Syafaq menurut para ulama seperti Al-Hanabilah dan As-Syafi`iyah adalah mega yang
berwarna kemerahan setelah terbenamnya matahari di ufuk barat. Sedangkan Abu
Hanifah berpendapt bahwa syafaq adalah warna keputihan yang berada di ufuk barat
dan masih ada meski mega yang berwarna merah telah hilang. Dalil beliau adalah:

http://orido.wordpress.com 6
Hadith of the Day

Dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Dan akhir waktu Maghrib
adalah hingga langit menjadi hitam." (HR Tirmizy)

Namun menurut kitab Nashbur Rayah bahwa hadits ini sanadnya tidak shahih.

5. Waktu Shalat Isya`

Dimulai sejak berakhirnya waktu maghrib sepanjang malam hingga dini hari tatkala
fajar shadiq terbit. Dasarnya adalah ketetapan dari nash yang menyebutkan bahwa
setiap waktu shalat itu memanjang dari berakhirnya waktu shalat sebelumnya hingga
masuknya waktu shalat berikutnya, kecuali shalat shubuh.

Dari Abi Qatadah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah tidur itu menjadi
tafrith, namun tafrith itu bagi orang yang belum shalat hingga datang waktu shalat
berikutnya." (HR Muslim)

Sedangkan waktu muhktar (pilihan) untuk shalat `Isya` adalah sejak masuk waktu
hingga 1/3 malam atau tengah malam. Atas dasar hadits berikut ini.

Dari Abu Hurairah ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Seandainya aku tidak
memberatkan umatku, aku perintahkan mereka untuk mengakhirkan/ menunda shalat
Isya` hingga 1/3 malam atau setengahnya.." (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Tirmizy).

Dari anas bin Malik ra bahwa Rasulullah SAW menunda shalat Isya` hingga tengah
malam, kemudian barulah beliau shalat." (HR Muttafaqun Alaihi).

Dari Ibnu Umar ra. bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Waktu shalat Isya` hingga tengah
malam"(HR Muslim dan Nasai)

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ahmad Sarwat, Lc

http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=494

Ahad, 05 Agustus 2007 - 06:15:05, Penulis : Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-
AtsariKategori : Seputar Hukum Islam

Shalat dan Hukumnya


[Print View] [kirim ke Teman]

Shalat, ibadah yang demikian utama ini ternyata banyak yang meninggalkannya.
Sebagian besar memang dilatari kemalasan, namun tak sedikit yang mengingkari
kewajibannya. Yang disebut belakangan kebanyakan menjangkiti sebagian dari mereka
yang belajar “Islam” ke negara-negara Barat.

Shalat sebagaimana yang kita ketahui merupakan tiang agama, seperti dinyatakan

http://orido.wordpress.com 7
Hadith of the Day

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam haditsnya:


ِ‫ َوذَرْوَةُ سَنَامِهِ ا ْلجِهَادُ فِي سَبِ ْيلِ ال‬،ُ‫ وَعَ ُموْدُهُ الصّلَة‬،ُ‫َرأْسُ اْلَمْرِ اْلِسْلَم‬
“Pokok dari perkara ini adalah Islam, tiangnya adalah shalat, dan puncaknya adalah
jihad fi sabillah.” (HR. Ahmad 5/231, At-Tirmidzi no. 2616 dan Ibnu Majah no. 3979,
dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih At-Tirmidzi dan Shahih
Ibnu Majah)
Secara bahasa, shalat berarti doa dengan kebaikan. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
ْ‫علَيْهِمْ إِنّ صَلَ َتكَ سَ َكنٌ لَهُم‬
َ ّ‫صل‬
َ ‫َو‬
“Shalatlah untuk mereka karena sesungguhnya shalatmu adalah ketenangan1 bagi
mereka.” (At-Taubah: 103)
Makna “bershalatlah untuk mereka” adalah berdoalah untuk mereka.2
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ّ‫ َوِإنْ كَانَ صَائِمًا َفلْ ُيصَل‬،ْ‫ َفإِنْ كَانَ ُمفْطِرًا َفلْيَطْعَم‬،ْ‫إِذَا ُدعِيَ َأحَدُكُمْ َفلْ ُيجِب‬
“Apabila salah seorang dari kalian diundang (untuk makan) maka hendaklah ia
memenuhi undangan tersebut. Bila ia dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah ia
makan (jamuan yang disediakan oleh tuan rumah, pen.). Namun bila ia sedang
berpuasa maka hendaknya ia mendoakan tuan rumah.” (HR. Muslim no. 1431)
Ibadah yang disyariatkan ini dinamakan dengan nama doa/shalat karena tercakup di
dalamnya doa-doa.
Adapun makna shalat dalam syariat adalah peribadatan kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala dengan ucapan dan perbuatan yang telah diketahui, diawali dengan takbir dan
diakhiri dengan salam, disertai syarat-syarat yang khusus dan dengan niat. (Al-Fiqhu
‘Alal Madzhabil Arba’ah, 1/160, Subulus Salam, 1/169, Asy-Syarhul Mumti’, 1/343,
Taudhihul Ahkam, 1/469, Taisirul ‘Allam, 1/109)
Ibnu Qudamah rahimahullahu menyatakan, bila dalam syariat disebutkan perkara
shalat atau hukum yang berkaitan dengan shalat maka shalat ini dipalingkan dari
maknanya secara bahasa kepada pengertian shalat secara syar’i3.
Shalat ini hukumnya wajib menurut Al-Qur`an, As-Sunnah, dan ijma’ (kesepakatan)
kaum muslimin.
Dari Al-Qur`an, kita dapatkan kewajibannya antara lain dalam:
‫خلِصِيْنَ لَهُ الدّيْنَ حُ َنفَاءَ َوُيقِيْمُوا الصّلَةَ َويُؤْتُوا‬
ْ ‫َومَا أُمِرُوا إِلّ لِيَعْبُدُوا الَ ُم‬
ِ‫الزّكَاةَ َو َذِلكَ ِديْنُ الْقَيّ َمة‬
“Tidaklah mereka itu diperintah kecuali agar mereka beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan agama untuknya dalam keadaan hanif (condong kepada tauhid dan
meninggalkan kesyirikan) dan agar mereka menegakkan shalat serta membayar zakat.
Yang demikian itu adalah agama yang lurus.” (Al-Bayyinah: 5)
Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
‫علَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتَابًا مَ ْوقُوْتًا‬
َ ْ‫إِنّ الصّلَةَ كَا َنت‬
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-
orang yang beriman.” (An-Nisa`: 103)
Dari As-Sunnah, shalat termasuk rukun Islam yang tersebut dalam hadits Ibnu ‘Umar
radhiyallahu 'anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
‫ شَهَادَةِ أَنْ لَ ِإلَهَ إِلّ الُ َوَأنّ ُمحَمّدًا رَسُ ْولُ الِ َوإِقاَ ِم‬:ٍ‫علَى خَمْس‬
َ ُ‫لسْلَم‬
ِ ْ‫بُنِيَ ا‬
َ‫الصّلَةِ َوإِيْتَاءِ الزّكَاةِ وَا ْلحَجّ َوصَوْمِ رَ َمضَان‬

http://orido.wordpress.com 8
Hadith of the Day

“Islam dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat laa ilaaha illallah dan
Muhammadan Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa
Ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 8 dan Muslim no. 113)
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Mu’adz radhiyallahu 'anhu saat
mengutusnya ke negeri Yaman untuk mendakwahkan Islam kepada ahlul kitab yang
tinggal di negeri tersebut:
ٍ‫صلَوَاتٍ فِي ُكلّ يَوْمٍ َولَ ْيَلة‬
َ َ‫علَيْهِمْ خَمْس‬
َ َ‫علِمْهُمْ أَنّ الَ افْتَرَض‬
ْ َ‫َفأ‬
“Ajarkanlah kepada mereka bahwa Allah memfardhukan kepada mereka lima shalat
dalam sehari semalam.” (HR. Al-Bukhari no. 1395 dan Muslim no. 121)
Dari sisi ijma’, umat ini telah sepakat akan wajibnya shalat lima waktu sehari
semalam. Tak ada seorang pun yang menentang kewajibannya, sampai-sampai ahlul
bid’ah pun mengakui kewajibannya. (Maratibul Ijma’, Ibnu Hazm, hal. 47, Al-Mughni,
kitab Ash-Shalah, Asy-Syarhul Mumti’, 1/345)
Ibadah yang satu ini memiliki banyak faedah yang tak terbatas, baik dari sisi agama
maupun dunia. Ibadah ini sangat bermanfaat bagi kesehatan, memberi dampak positif
dalam hubungan kemasyarakatan dan keteraturan hidup (Taisirul ‘Allam, 1/109). Di
dalamnya pun tercakup banyak macam ibadah. Selain doa, di dalamnya terdapat
dzikrullah, ada tilawah Al-Qur`an, berdiri di hadapan Allah Subhanahu wa Ta’ala,
ruku’, sujud, tasbih dan takbir. Karenanya, shalat merupakan induk/ puncak ibadah
badaniyyah (ibadah yang dilakukan oleh tubuh). (Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, 1/79)

Penyebutan Shalat dalam Al-Qur`An


Banyak sekali ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang menyebutkan tentang shalat.
Terkadang digabungkan penyebutannya dengan dzikir (mengingat Allah Subhanahu wa
Ta’ala) seperti dalam ayat berikut ini:
ُ‫إِنّ الصّلَةَ تَنْهَى عَنِ ا ْل َفحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ َولَ ِذكْرُ الِ أَكْبَر‬
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan untuk
mengingat Allah (berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) dengan banyak.”
(Al-‘Ankabut: 45)
‫َوَأقِمِ الصّلَةَ لِذِكْرِي‬
“Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku.” (Thaha: 14)
Terkadang penyebutannya digandengkan dengan zakat seperti dalam ayat:
َ‫َوَأقِيْمُوا الصّلَةَ وَآتُوا الزّكَاة‬
“Tegakkanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 110)
Terkadang pula digandengkan dengan kesabaran:
ِ‫وَاسْتَعِيْنُوا بِالصّبْرِ وَالصّلَة‬
“Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolong kalian….” (Al-Baqarah: 45)
Dan lain sebagainya.

Keutamaan Shalat dan Kedudukannya dalam Islam


Shalat yang selalu kita kerjakan setiap hari, memiliki kedudukan yang besar dan agung
dalam agama ini. Ibadah yang mulia ini disyariatkan pada seluruh umat, tidak hanya
pada umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana perintah Allah
Subhanahu wa Ta'ala kepada Maryam ibunda ‘Isa ‘alaihissalam:
َ‫سجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرّاكِعِ ْين‬
ْ ‫يَا مَرْ َيمُ اقْنُتِي لِرَ ّبكِ وَا‬
“Wahai Maryam, taatilah Rabbmu, sujud dan ruku’lah bersama orang-orang yang
ruku’.” (Ali ‘Imran: 43)

http://orido.wordpress.com 9
Hadith of the Day

Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan shalat, juga karena shalat merupakan
penghubung antara seseorang dengan Rabbnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menerima kewajiban ibadah ini langsung dari Allah Subhanahu wa Ta'ala tanpa
perantara, pada malam Mi’raj di Sidratul Muntaha di langit ketujuh, sekitar tiga tahun
sebelum hijrah ke Madinah. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/344, Taudhihul Ahkam, 1/469)
Begitu pentingnya shalat ini, sampai-sampai Allah Subhanahu wa Ta'ala memerintahkan
untuk menjaganya baik di waktu muqim (menetap di kediaman, tidak bepergian)
maupun di waktu safar (bepergian jauh/keluar kota), baik dalam keadaan aman
maupun dalam keadaan mencekam seperti situasi perang. Allah Subhanahu wa Ta'ala
berfirman:
ً ‫خفْتُمْ فَ ِرجَا‬
‫ل‬ ِ ْ‫ َفإِن‬.َ‫سطَى َوقُوْمُوا لِ قَانِتِيْن‬ ْ ُ‫صلَوَاتِ وَالصّلَةِ الْو‬ ّ ‫علَى ال‬
َ ‫حَافِظُوا‬
َ‫علّمَكُمْ مَا لَمْ تَكُوْنُوا تَ ْعلَمُ ْون‬
َ ‫أَوْ رُكْبَانًا َفإِذَا أَمِنْتُمْ فَاذْكُرُوا الَ كَمَا‬
“Jagalah oleh kalian semua shalat dan jagalah pula shalat wustha (shalat ‘Ashar).
Berdirilah karena Allah dalam shalat kalian dengan khusyu’. Jika kalian dalam keadaan
takut (bahaya) maka shalatlah sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila
kalian telah aman, sebutlah/ingatlah Allah sebagaimana Allah telah mengajarkan
kepada kalian apa yang belum kalian ketahui.” (Al-Baqarah: 238-239)
Allah Subhanahu wa Ta'ala pun mengancam orang-orang yang menyia-nyiakan shalat:
‫خلْفٌ َأضَاعُوا الصّلَةَ وَاتّبَعُوا الشّهَوَاتِ َفسَوْفَ َي ْلقَوْنَ غَيّا‬
َ ْ‫خلَفَ مِنْ بَ ْعدِهِم‬
َ ‫َف‬
“Lalu datanglah setelah mereka, pengganti yang jelek yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.”
(Maryam: 59)
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:
َ‫ الّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَتِهِمْ سَاهُوْن‬.َ‫صلّيْن‬
َ ‫فَوَ ْيلٌ ِللْ ُم‬
“Maka celakalah orang-orang yang shalat, yaitu mereka yang melalaikan shalat
mereka.” (Al-Ma’un: 4-5)
Yang perlu diketahui, shalat ini merupakan kewajiban pertama yang harus ditunaikan
seorang hamba setelah ia mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala. Sebagaimana hal ini ditunjukkan dalam ayat:
‫سلَخَ اْلَشْهُرُ ا ْلحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِيْنَ حَ ْيثُ َوجَدْتُمُوْهُمْ َوخُ ُذوْهُ ْم‬
َ ‫َفإِذَا ا ْن‬
َ‫حصُرُوْهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ ُكلّ مَ ْرصَدٍ َفإِنْ تَابُوا َوَأقَامُوا الصّلَةَ وَآ َتوُا الزّكَاة‬ ْ ‫وَا‬
ْ‫خلّوا سَبِ ْيلَهُم‬
َ ‫َف‬
“Apabila telah habis bulan-bulan Haram, bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana
saja kalian menjumpai mereka, tangkaplah mereka, kepung dan intailah di tempat
pengintaian. Jika mereka bertaubat dari kesyirikan mereka dan mendirikan shalat
serta menunaikan zakat maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan.” (At-
Taubah: 5)
Shalat yang dikerjakan dengan benar akan mencegah dari perbuatan kemungkaran:
ِ‫إِنّ الصّلَةَ تَنْهَى عَنِ الْ َفحْشَاءِ وَالْمُنْكَر‬
“Sesungguhnya shalat dapat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.”
(Al-‘Ankabut: 45)
Mengerjakan shalat juga akan menghapuskan kesalahan-kesalahan. Karena shalat
merupakan kebajikan utama, sementara kebajikan akan menghapus kejelekan:
ِ‫إِنّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السّيّئَات‬
“Sesungguhnya kebaikan-kebaikan akan menghapuskan kesalahan-kesalahan.” (Hud:

http://orido.wordpress.com 10
Hadith of the Day

114)
Di antara bukti yang menunjukkan bahwa shalat merupakan amalan yang tinggi dan
utama bila dibandingkan amalan-amalan lain adalah Allah Subhanahu wa Ta'ala
melarang seseorang melakukannya sampai ia mencuci anggota-anggota wudhunya,
ditambah dengan memerhatikan kebersihan badan seluruhnya. Demikian pula pakaian
dan tempat shalat harus suci/bersih dari kotoran/najis. Bila tidak mendapatkan air
atau udzur untuk menggunakannya, maka ia dapat menggantinya dengan tayammum.
(Ta’zhim Qadri Ash-Shalah, Al-Imam Al-Marwazi, 1/170)
Banyak hadits yang menyebutkan keutamaan dan tingginya kedudukan shalat dalam
agama ini, di antaranya:
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
،ِ‫صلُحَ سَائِرُ عَ َملِه‬َ ْ‫حت‬ َ ُ‫صل‬
َ ْ‫ َفإِن‬،ُ‫سبُ ِبهِ الْعَبْدُ يَوْمَ ا ْلقِيَامَةِ الصّلَة‬
َ ‫أَ ّولُ مَا ُيحَا‬
ِ‫َوِإنْ فَسَ َدتْ فَسَدَ سَائِرُ عَ َملِه‬
“Amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya. Bila
shalatnya baik maka baik pula seluruh amalnya, sebaliknya jika shalatnya rusak maka
rusak pula seluruh amalnya.” (HR. Ath-Thabarani dalam Al-Ausath, dishahihkan Asy-
Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no. 1358 karena banyak jalannya)
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
ْ ‫ مَا َتقُ ْولُ َذِلكَ يُ ْبقِي ِم‬،‫سلُ فِ ْيهِ ُكلّ يَوْمٍ خَمْسًا‬
‫ن‬ ِ َ‫أَ َرأَيْتُمْ لَوْ أَنّ نَهْرًا بِبَابِ َأحَدِكُمْ يَغْت‬
ُ‫صلَوَاتِ ا ْلخَمْسِ يَ ْمحُو ال‬ ّ ‫ فَ َذِلكَ مَ َثلُ ال‬:َ‫ قَال‬.ً‫ لَ يُ ْبقِي مِنْ دَ َرنِهِ شَيْئا‬:‫دَ َرنِهِ؟ قَالُوْا‬
‫بِ ِهنّ الْخَطَايَا‬
“Apa pendapat kalian bila ada sebuah sungai di depan pintu salah seorang dari kalian,
di mana dalam setiap harinya ia mandi di sungai tersebut sebanyak lima kali, apa yang
engkau katakan tentang hal itu apakah masih tertinggal kotoran padanya?” Para
sahabat menjawab, “Tentu tidak tertinggal sedikitpun kotoran padanya.” Rasulullah
bersabda, “Yang demikian itu semisal shalat lima waktu. Allah menghapus kesalahan-
kesalahan dengan shalat tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 528 dan Muslim no. 1520)

Jumlah Shalat Fardhu


Shalat diwajibkan setiap malam dan siangnya sebanyak lima kali. Inilah yang dikatakan
shalat fardhu4 atau shalat wajib. Shalat fardhu ini disebutkan dalam hadits Thalhah
bin ‘Ubaidillah radhiyallahu 'anhu, ia berkisah:
‫جلٌ مِنْ أَ ْهلِ َنجْدٍ ثَائِرُ الرّأْسِ ُيسْمَعُ دَوِيّ صَوْ ِتهِ وَلَ ُي ْفقَهُ مَا َيقُ ْولُ حَتّى‬ ُ ‫جَاءَ َر‬
ُ‫ خَمْس‬:َ‫سلّم‬ َ ‫علَيْهِ َو‬
َ ُ‫صلّى ال‬ َ ِ‫ َفقَالَ رَسُ ْولُ ال‬،ِ‫سَألُ عَنِ اْلِسْلَم‬ ْ ‫ َفإِذَا هُوَ َي‬،‫َدنَا‬
َ‫ إِلّ أَنْ َتطَوّع‬،َ‫ ل‬:َ‫علَيّ غَيْرَهُنّ؟ قَال‬ َ ْ‫ َهل‬:َ‫ َفقَال‬.ِ‫صلَوَاتٍ فيِ الْيَوْمِ وَاللّ ْيلَة‬ َ
“Datang seorang lelaki dari penduduk Najd dengan rambut yang kusut masai,
terdengar pekik suaranya yang keras (dari kejauhan) namun tidak dapat dipahami apa
yang ia katakan, hingga ia mendekat. Ternyata ia bertanya tentang Islam. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, ‘Shalat lima waktu sehari semalam.’ Orang itu
bertanya lagi, ‘Apakah ada shalat lain yang wajib aku tunaikan selain shalat lima
waktu tersebut?’ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali bila engkau hendak mengerjakan
shalat tathawwu’ (shalat sunnah)…’.” (HR. Al-Bukhari no. 46 dan Muslim no. 100)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan tentang shalat

http://orido.wordpress.com 11
Hadith of the Day

yang difardhukan kepada para hamba (yaitu shalat lima waktu, pent.).” (Nailul
Authar,1/398)
Lima shalat yang diwajibkan tersebut adalah shalat Subuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan
‘Isya. Kelima shalat ini hukumnya fardhu ‘ain, dibebankan kepada setiap muslim yang
mukallaf, laki-laki ataupun perempuan, orang merdeka ataupun budak. Di sana ada
pula shalat yang hukumnya fardhu kifayah yaitu shalat jenazah. Shalat ini hanya
dibebankan kepada orang yang hadir di tempat tersebut, bila sudah ada yang
menunaikannya maka gugurlah kewajiban bagi yang lain. (Al-Muhalla, 2/3)

Kepada Siapa Shalat Ini Diwajibkan?


Shalat diwajibkan kepada setiap muslim yang mukallaf, yakni yang telah baligh dan
berakal. Adapun orang yang belum baligh dan tidak berakal gugurlah darinya
kewajiban tersebut. Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu 'anha dari Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
ِ‫ع‬
‫ن‬ َ َ‫ و‬،َ‫عنِ الْمُبْ َتلَى حَتّى يَبْ َرأ‬
َ َ‫ و‬،َ‫ عَنِ النّائِمِ حَتّى َيسْتَ ْيقِظ‬:ٍ‫ُرفِعَ ا ْل َقلَمُ عَنْ ثَلَثَة‬
َ‫الصّبِيّ حَتّى يَكْبُر‬
“Diangkat pena dari tiga golongan: orang yang tidur sampai ia bangun, orang gila
sampai kembali akalnya atau sadar, dan anak kecil hingga ia besar.” (HR. Abu Dawud
no. 4398 dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Irwa`ul
Ghalil no. 297)
Dengan demikian orang yang tidur dan pingsan, orang gila, dan anak kecil, tidak
dibebankan kewajiban shalat atas mereka sampai hilang penghalang yang ada. Yakni
orang yang tertidur telah bangun dari tidur, orang yang pingsan telah siuman dari
pingsannya, orang gila telah pulih dari sakit gilanya atau telah kembali akalnya,
sedangkan anak kecil telah datang masa balighnya, di antaranya dengan tanda mimpi
basah (keluar mani) bagi anak laki-laki dan haid bagi anak perempuan5.
Digugurkan kewajiban shalat ini dari wanita yang sedang haid dan nifas. Bahkan haram
bagi mereka mengerjakan shalat sampai suci dari haid atau nifas. Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika ada yang bertanya sebab kaum wanita
dikatakan kurang agama dan akalnya:
‫ فَ َذِلكَ ُن ْقصَانُ دِيْنِهَا‬،ْ‫صلّ َولَمْ َتصُم‬
َ ‫َألَيْسَ إِذَا حَاضَتْ لَمْ ُت‬
“Bukankah jika wanita itu haid ia tidak melaksanakan shalat dan tidak puasa. Maka
itulah yang dikatakan kurang agamanya6.” (HR. Al-Bukhari no. 304 dan Muslim no. 238)
Terhadap shalat yang mereka tinggalkan dalam masa keluarnya darah tersebut, tidak
ada keharusan untuk menggantinya (meng-qadha) di hari yang lain saat suci,
berdasarkan hadits Aisyah radhiyallahu 'anha ketika ada seorang wanita bertanya
kepadanya: “Apakah salah seorang dari kami harus mengqadha shalatnya bila telah
suci dari haid?” Aisyah pun bertanya dengan nada mengingkari: “Apakah engkau wanita
Haruriyah? Kami dulunya haid di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau
tidak memerintahkan kami untuk mengganti shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 321 dan
Muslim no. 709)

Faedah
Orang yang tertidur atau lupa hingga terluputkan shalat wajib darinya, maka ia
mengerjakan shalat yang luput tersebut ketika terbangun atau ketika ia ingat. Hal ini
berdasarkan hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫صلّ إِذَا ذَكَرَهَا‬
َ ‫مَنْ َنسِيَ صَلَةً َفلْ ُي‬
“Siapa lupa dari mengerjakan satu shalat (fardhu) maka hendaklah ia kerjakan shalat

http://orido.wordpress.com 12
Hadith of the Day

tersebut ketika ingat.” (HR. Al-Bukhari no. 572 dan Muslim no. 684)
Dalam riwayat Muslim (no. 1567):
‫صلّهَا إِذَا ذَكَرَهَا‬
َ ‫غ َفلَ عَنْهَا َفلْ ُي‬
َ ْ‫إِذَا َرقَدَ َأحَدُكُمْ عَنِ الصّلَةِ أَو‬
“Apabila salah seorang dari kalian tertidur hingga luput dari mengerjakan satu shalat
atau ia lupa, maka hendaklah ia menunaikan shalat tersebut ketika ia ingat (terjaga
dari tidur).”

Shalat Anak Kecil


Walaupun anak kecil belum diwajibkan mengerjakan shalat hingga ia besar atau
baligh, namun dituntut dari walinya (orangtua atau pihak yang bertanggung jawab
mengasuh anak tersebut) agar memerintahkan si anak mengerjakan shalat ketika telah
mencapai usia tujuh tahun, dan menghukumnya dengan pukulan bila ia
meninggalkannya ketika telah berusia sepuluh tahun dalam rangka pengajaran dan
latihan, bukan karena pewajiban. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
‫عشْ ِر‬
َ ُ‫علَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاء‬
َ ْ‫ وَاضْرِبُوْهُم‬.َ‫مُرُوا أَوْلَدَكُمْ بِالصّلَةِ وَ ُهمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِ ْين‬
ِ‫ َوفَ ّرقُوْا بَيْنَهُمْ فِي الْ َمضَاجِع‬.َ‫سِنِ ْين‬
“Perintahkanlah anak-anak kalian untuk mengerjakan shalat ketika mereka telah
berusia tujuh tahun, dan pukullah mereka bila meninggalkan shalat pada saat mereka
telah berusia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud no.
495 dan lainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi
Dawud dan Irwa`ul Ghalil no. 247)
Al-Imam As-Syaukani rahimahullahu berkata, “Hadits ini menunjukkan wajibnya
memerintahkan anak kecil untuk mengerjakan shalat bila mereka telah mencapai usia
tujuh tahun, dan mereka dipukul bila tidak mau mengerjakannya pada usia sepuluh
tahun….” (Nailul Authar,1/413)

Hukum Meninggalkan Shalat


Bila yang meninggalkan shalat tersebut tidak meyakini kewajiban shalat maka ulama
sepakat bahwa orang tersebut kafir menurut nash/dalil yang ada dan ijma’. Namun
bila meninggalkannya karena malas maka ada perbedaan pendapat dalam hal ini.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Orang yang meninggalkan shalat karena
mengingkari kewajibannya maka orang itu kafir menurut kesepakatan kaum muslimin.
Ia keluar dari Islam, kecuali jika orang itu baru masuk Islam dan tidak berkumpul
dengan kaum muslimin sesaatpun yang memungkinkan sampainya berita tentang
wajibnya shalat padanya dalam masa tersebut. Bila ia meninggalkan shalat karena
malas-malasan sementara ia meyakini akan kewajibannya –sebagaimana keadaan
kebanyakan manusia, mereka tidak mengerjakan shalat karena malas padahal tahu
hukum shalat tersebut– maka ulama berbeda pendapat dalam masalah ini.” (Al-Minhaj,
2/257)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 “Ketenangan bagi mereka”, maksudnya kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu 'anhuma:


“Rahmat bagi mereka.” (Tafsir Ath-Thabari, 6/465)
2 Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir, hal. 589.
3 Sehingga dalam hal ini, batil dan sesatlah bila ada yang memaknakan shalat dengan
doa. Akibatnya ia enggan mengerjakan shalat sebagaimana yang dituntunkan, sembari
mengatakan, “Cukup bagi kita berdoa, tanpa melakukan gerakan-gerakan berdiri,
rukuk, dan sujud serta tanpa membaca bacaan-bacaan shalat.”

http://orido.wordpress.com 13
Hadith of the Day

4 Karena ada yang dinamakan shalat nafilah atau shalat tathawwu’ atau yang lebih
kita kenal dengan shalat sunnah.
5 Tanda-tanda baligh tidak terbatas dengan hal ini, karena ada anak perempuan telah
mencapai usia dewasa namun belum baligh karena mungkin ada penyakit pada dirinya,
maka masa balighnya dilihat pada tanda yang lain. Demikian pula anak laki-laki, ada
tanda baligh yang lainnya seperti suaranya berubah, tumbuh rambut pada kemaluan,
dan sebagainya.
6 Adapun wanita nifas hukumnya sama dengan wanita haid.
7 Seperti hadits Jabir bin Abdillah radhiyallahu 'anhuma ia berkata, "Aku pernah
mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ِ‫جلِ وَبَيْنَ الشّ ْركِ وَالْ ُكفْرِ تَ ْركَ الصّلَة‬
ُ ّ‫إِنّ بَ ْينَ الر‬
“Sesungguhnya antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah
meninggalkan shalat.” (HR. Muslim no. 242)
8 Orang yang menentang kewajiban shalat dihukumi kafir karena ia mendustakan Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ijma’ kaum
muslimin.
9 Akan datang pembahasan tersendiri dalam edisi mendatang –Insya Allah– tentang
hukum orang yang meninggalkan shalat karena malas-malasan.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/27207

Konsultasi : Shalat

Hilang konsentrasi saat sholat

Pertanyaan:

Pak Ustadz, ketika sedang sholat tiba-tiba konsentrasi hilang sehingga tidak nikmat
sholat tersebut. Apakah shalat itu perlu diulang dari awal untuk mencapai kekhusuan
sholat atau teruskan saja sambil berusaha untuk konsentrasi (khusu)?

Rahmat Budiman

Jawaban:

Assalamu alaikum wr.wb.


Semoga Allah mencurahkan rahmat dan petunjuk-Nya kepada kita semua.

Shalat khusyuk menjadi dambaan setiap orang yang beriman. Namun, tidak semua
orang bisa merasakan shalat khusyuk tersebut. Karena itu, di antara rahmat Allah
kepada kita, Dia mengatakan,

Celaka (wail) bagi orang yang shalat. Yaitu yang lalai dari shalatnya (QS al-Al-Maun)

http://orido.wordpress.com 14
Hadith of the Day

Dia tidak mengatakan "Celaka bagi orang yang shalat, yaitu yang lalai dalam
shalatnya" Sebab, lalai dari shalat menurut para ulama adalah lalai dan enggan
mengerjakannya atau tidak mengaplikasikan nilai-nilainya. Sementara, lalai dalam
shalat berarti tidak khusyuk dalam shalat. Inilah yang sulit bahkan nyaris tidak
mungkin dikerjakan oleh setiap orang yang shalat. Karena itu, kita harus bersyukur
karena Allah memakai redaksi yang pertama. Dia mengetahui kelemahan kita semua.
Karenanya pula, khusyuk bukan merupakan syarat sah shalat sehingga ketika shalat
yang kita kerjakan tidak diiringi kekhusyuan, tidak harus diulang selama rukun-
rukunnya terpenuhi.

Hanya saja kita memang harus terus berupaya untuk menjadikan shalat kita menjadi
khusyuk agar kriteria mukmin sejati seperti yang Allah sebutkan dalam surat al-
Mukminun ayat 2 terwujud. Di samping itu kita perlu membanyak shalat-shalat sunnah
untuk menututpi kekurangan yang terdapat pada shalat fardhu.

Selanjutnya di antara cara dan kiat untuk mencapai shalat yang khsuyuk adalah
sebagai berikut:

1. Memahami makna bacaan dalam setiap gerakan shalat.


2. Melakukan setiap gerakan secara thumakninah (tenang) tidak terburu-buru.
3. melaksanakan shalat di tempat yang tidak bising dan yang di depannya tidak
dipenuhi oleh banyak gambar.
4. Tidak shalat dalam kondisi sangat lapar, atau ingin buang hajat.
5. Memposisikan shalat yang dikerjakan sebagai shalat yang terakhir sehingga sesudah
itu seolah-olah kita tidak lagi bisa melaksanakan shalat karena mati.
6. Mengetahui rahasia dan hikmah di balik shalat.
7. meminta dan berdoa kepada Allah agar diberi kekhusyuan.

Itulah sejumlah cara yang bisa membantu kita untuk bisa khusyuk dalam melaksanakan
shalat.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Wassalamu alaikum wr.wb.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/14/cn/26349

Konsultasi : Shalat

tanya sholat jama'ah

Pertanyaan:

http://orido.wordpress.com 15
Hadith of the Day

saya seorang suami, memilih manakah saya sebagai seorang suami untuk sholat
jama'ah dimasjid ataukah jama'ah dirumah dengan istri??
saya masih agak bingung antara hadis yang menyatakan bahwa sampai orang buta-pun
tidak ada keringanan sedikitpun untuk tidak pergi ke masjid ketika mendengar adzan
sholat fardlu. dan bagaimana mensikapi hadist tersebut dengan Q.S Al- Baqarah ayat
43 "warkangu ma'arrakingin" dan rukuk lah bersama orang yang rukuk, padahal kalau
saya sholat dimasjid berarti saya membiarkan istri saya sholat sendiri dirumah???
jazakillah

wawan

Jawaban:

Assalamu alaikum wr.wb.

Semoga Allah mencurahkan rahmat-Nya kepadakita semua.

Pada dasarnya kedudukan shalat berjamaah di masjid bagi kaum laki-laki dan wanita
berbeda. Bagi laki-laki, shalat berjamaah di masjid hukumnya adalah sunnah
muakkadah dan bahkan ada yang sebagian ulama yang mengatakan wajib. Di samping
riwayat tentang sahabat buta yang tetap disuruh ke masjid, ada sebuah riwayat dari
dari Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Demi Yang Allah yang jiwaku di
tangan-Nya, suunguh aku berkeinginan untuk mengumpulkan kayu bakar kemudian
aku perintahkan shalat, azan dan memerintahkan seseorang menjadi imam, lalu aku
mendatangi orang yang tidak hadir dalam shalat jamaah dan aku bakar rumahnya.
Demi Allah yang jiwaku di tangan-Nya, seandainya salah seorang mereka tahu bahwa
dia akan mendapatkan daging yang gemuk atau dua daging tulang iga yang bagus,
pastilah mereka hadir shalat isya` berjamaah (HR. Bukhari dan Muslim).

Meski para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana istimbath hadits tersebut,
namun paling tidak melakukan shalat dimasjid tetap lebih utama.

Bahkan Al-Imam Abu Hanifah dan lainnya mengatakan bahwa shalat jamaah di masjid
itu hukumya fardhu kifayah. Artinya orang-orang akan berdosa bila tidak ada sama
sekali yang shalat di masjid. Pendapat ini adalah pendapat yang paling ringan dari
semua pendapat tentang urgensi shalat berjamaah di masjid.

Sementara, untuk para istri tidak mengapa mereka melakukan shalat sendiri di rumah
jika memang tidak ada orang lain yang bisa diajak untuk berjamaah. Atau, mereka bisa
pergi ke masjid dengan syarat: diizinkan oleh suaminya atau jika tidak memiliki suami
oleh walinya (seperti ayah dst)., tidak memakai parfum, dan tidak berpakaian
mencolok, serta aman dari fitnah.
Lalu, kalau ditanya mana yang pahalanya lebih banyak dan yang lebih baik? maka,
yang lebih baik dan lebih aman adalah yang paling dekat dengan petunjuk Rasulullah
saw. Yaitu istri tetap shalat di rumah meski hanya sendiri. Jika ia berjamaah bersama
anak perempuannya, adik perempuannya, atau pembantunya hal itu akan jauh lebih
baik.

http://orido.wordpress.com 16
Hadith of the Day

Wallahu a'lam bish-shawab


Wassalamu alaikum wr.wb.
.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/10557

Konsultasi : Ibadah

Perbedaan Waktu Untuk Melaksanakan Shalat Fardhu

Pertanyaan:

Assalamu�alaikum wr. wb.

Saya menetap di negara empat musim yang memiliki perbedaan waktu cukup lebar
antara musim dingin dan panas. saya merasa sangat kesulitan bangun pagi untuk shalat
subuh terutama apabila jadwal shalat subuh jatuh sekitar pukul 04.00 pagi. apakah
saya bisa menunda shalat subuh tsb dan mengerjakannya pada saat saya terbangun
setelah matahari terbit? pertanyaan kedua (menyangkut soal waktu) apabila saat
Ramadhan, imsyak jatuh pukul 04 pagi dan dan maghrib pukul 22.30 malam, apakah
saya harus berbuka puasa menunggu magrib (pukul 22.30) atau mengikuti waktu
Indonesia atau bagaimana? karena cukup berat apabila tidak makan dan minum selama
19 jam. jawaban dari Bapak/Ibu merupakan hal yang berarti bagi kelangsungan ibadah
saya di negeri orang. Selamat berpuasa. Terima kasih banyak, wassalam.

Ayu

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh


Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.

Ibadah shalat dan puasa adalah ibadah yang sangat terkait pelaksanaannya dengan
waktu. Sehingga bila dilakukan bukan pada waktu yang telah ditetapkan, ibadah itu
menjadi tidak sempurna, bahkan bisa menjadi tidak syah.

Waktu-waktu shalat dan puasa telah ditentukan secara detail dalam syariat Islam. Dan
setiap orang dimana pun berada terikat dengan waktu dimana dia berada.

Waktu Shalat Shubuh

Shalat Shubuh itu dimulai ketika munculnya syafaqul ahmar, yaitu mega yang
berwarna merah di ufuk timur. Mega ini muncul jauh sebelum terbitnya matahari, yang
menjadi batas berakhirnya waktu shubuh. Di dalam rentang waktu antara mega merah
dan terbitnya matahari inilah shalat shubuh dilakukan. Keluar dari waktunya secara
sengaja, tentu tidak bisa diterima shalatnya. Kecuali bila dalam kasus tertentu seperti

http://orido.wordpress.com 17
Hadith of the Day

orang yang bangun kesiangan.

Waktu Puasa

Demikian juga waktu untuk mulai dan berbuka puasa, sudah ditetapkan secara baku.
Mulai dari masuknya waktu shubuh dan berakhir dengan terbenamnya matahari di ufuk
barat. Dalam rentang waktu itulah puasa dilakukan.

Perbedaan Jam Di Musim Dingin Dan Musim Panas


Adanya pergerakan matahari dalam setahun dari lintang utara ke selatan dan kembali
lagi ke utara menghasilkan efek perbedaan waktu terbit dan terbenamnya matahari
pada wilayah sub tropis. Bahkan di wilayah kutub, perbedaan ini bisa menjadi sangat
ekstrim.

Namun setiap muslim tetap terikat dengan ketentuan waktu yang telah ditetapkan
berdasarkan peredaran matahari (terbit dan terbenamnya). Meski pun terjadi
perbedaan panjang antara malam dan siang. Dimana pun seseorang berada di muka
bumi ini, maka dia harus mengikuti jadwal ibadah shalat dan puasa sesuai dengan
gejala peredaran matahari ini, meski pun setiap saat bisa berubah-ubah.

Barangkali pada musim panas, lamanya siang akan menjadi sangat panjang, karena
bisa saja jam 03.00 pagi matahari sudah terbit. Dan baru terbenam jam 21.00 malam
harinya. Sebaliknya, di musim dingin justru matahari terlambat sekali terbit, misalnya
pada jam 08.00 dan sudah terbenam pada jam 16.00 sore harinya. Tetapi selama
perbedaan waktu terbit dan terbenamnya matahari masih jelas terjadi dalam setiap
harinya, jadwal shalat dan puasa tetap harus mengacu kepada peredaran matahari.

Kecuali untuk wilayah yang terlalu ekstrim, dimana matahari tidak terbit selama 6
bulan atau sebaliknya. Atau batas antara terbenam dan terbitnya matahari sangat
singkat dan tidak sampai hilang mega merahnya, sehingga tidak bisa dipastikan
kapankan masuk waktu Isya dna kapankah masuk waktu shubuh. Dalam kasus ini, para
ulama dalam Majelis Majma' Al-Fiqh Al-Islami dan Hai`ah Kibaril Ulama telah
menetapkan fatwa antara lain :

Pertama : Wilayah yang mengalami siang selama 24 jam dalam sehari pada waktu
tertentu dan sebaliknya mengalami malam selama 24 jam dalam sehari. Dalam
kondisi ini, masalah jadwal puasa dan juga shalat disesuaikan dengan jadwal
puasa dan shalat wilayah yang terdekat dengannya dimana masih ada pergantian
siang dan malam setiap harinya.

Kedua : wilayah yang tidak mengalami hilangnya mega merah (syafaqul ahmar)
sampai datangnya waktu shubuh. Sehingga tidak bisa dibedakan antara mega
merah saat maghrib dengan mega merah saat shubuh. Dalam kondisi ini, maka
yang dilakukan adalah menyesuaikan waktu shalat 'isya'nya saja dengan waktu
di wilayah lain yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega merah
maghrib. Begitu juga waktu untuk imsak puasa (mulai start puasa),
disesuaikan dengan wilayah yang terdekat yang masih mengalami hilangnya mega
merah maghrib dan masih bisa membedakan antara dua mega itu.

Ketiga : Wilayah yang masih mengalami pergantian malam dan siang dalam satu

http://orido.wordpress.com 18
Hadith of the Day

hari, meski panjangnya siang sangat singkat sekali atau sebaliknya.


Dalam kondisi ini, maka waktu puasa dan juga shalat tetap sesuai dengan
aturan baku dalam syariat Islam. Puasa tetap dimulai sejak masuk waktu
shubuh meski baru jam 02.00 dinihari. Dan waktu berbuka tetap pada saat
matahari tenggelam meski waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 malam. "

Dalilnya adalah apa yang telah Allah SWT firmankan di dalam Al-Quran :

Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar.
Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam, janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid." (QS. Al-Baqarah :
187).

Sedangkan bila berdasarkan pengalaman berpuasa selama lebih dari 19 jam itu
menimbulkan madharat, kelemahan dan membawa kepada penyakit dimana hal itu
dikuatkan juga dengan keterangan dokter yang amanah, maka dibolehkan untuk
tidak puasa. Namun dengan kewajiban menggantinya di hari lain. Dalam hal ini
berlaku hukum orang yang tidak mampu atau orang yang sakit, dimana Allah
memberikan rukhshah atau keringan kepada mereka.

"Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al Qur'an sebagai petunjuk


bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda . Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka
hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam
perjalanan , maka , sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari
yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah
kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya
kamu bersyukur." (QS. Al-Baqarah : 185).

Namun ada juga pendapat yang tidak setuju dengan apa yang telah ditetapkan
oleh dua lembaga fiqih dunia itu. Diantaranya apa yang dikemukakan oleh
Syeikh Dr. Mushthafa Az-Zarqo rahimahullah.

Alasannya, apabila perbedaan siang dan malam itu sangat mencolok dimana
malam hanya terjadi sekitar 30 menit atau sebaliknya, dimana siang hanya
terjadi hanya 15 menit misalnya, mungkinkah pendapat itu relevan ?
Terbayangkah seseorang melakukan puasa di musim panas dari terbit fajar
hingga terbenam matahari selama 23 jam 45 menit. Atau sebaliknya di musim
dingin, dia berpuasa hanya selama 15 menit ? Karena itu pendapat yang lain
mengatakan bahwa di wilayah yang mengalami pergantian siang malan yang
ekstrim seperti ini, maka pendapat lain mengatakan :

a. Mengikuti Waktu Hijaz


Jadwal puasa dan shalatnya mengikuti jadwal yang ada di hijaz (Mekkah, Madinah dan
sekitarnya). Karena wilayah ini dianggap tempat terbit dan muncul Islam sejak
pertama kali. Lalu diambil waktu siang yang paling lama di wilayah itu untuk dijadikan
patokan mereka yang ada di qutub utara dan selatan.

http://orido.wordpress.com 19
Hadith of the Day

b. Mengikuti Waktu Negara Islam terdekat

Pendapat lain mengatakan bahwa jadwal puasa dan shalat orang-orang di kutub
mengikuti waktu di wilayah negara Islam yang terdekat. Dimana di negeri ini bertahta
Sultan / Khalifah muslim.

Namun kedua pendapat di atas masing-masing memiliki kelebihan dan kelemahan.


Karena keduanya adalah hasil ijtihad para ulama.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/7663

Konsultasi : Ibadah

Sholat Fardhu Seperti Seorang Musafir

Pertanyaan:

Assalamu'alaikum wr.wb

ustad, saya masih bingung bilang saja ada dlm perjalanan (mis. ke Mall) ba'da Zhuhur
hingga masuk waktu Is'ya krn biasanya hingga hari ini saya sholat fardhu seperti biasa
Ashar 4 raka'at dan seterusnya, tp saudara & temen saya memberitahu bahwa
seharusnya saya melakukan sholat fardhu seperti seorang musafir yaitu di qashar (mis.
menjadi 2 raka'at). Yang lebih menakutkan bagi saya yaitu pernyataan mereka yang
mengatakan "Allah SWT akan murka" bila kita sudah di beri kemudahan tp tidak
dijalankan. Apakah bener hal itu dan apakah ada ayat Atau hadist yang
menjelaskannya ? karena bagi saya sesungguhnya islam itu tidak mempersulit umatnya
(dan saya tdk merasa di persulit bila saya pergi ke Mall tiap datang waktu Sholat
langsung saya sholat di mushola Mall tsb).

Jazaakallaah Khairon Katsiro

Rita Selfina

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh


Alhamdulillah, Washshalatu wassalamu `ala Rasulillah, wa ba�d.

Jalan-jalan ke mall sama sekali bukanlah termasuk safar atau hal-hal lain yang bisa
dijadikan syarat dibolehkannya menjama` dan mengqashar shalat. Sebab mall itu
biasanya adanya di dalam kota tempat Anda tinggal, bukan ?

Barangkali kalau mall-nya itu adanya di lain kota atau bahkan di luar negeri yang
jaraknya sudah melewati batas minimal syahnya jama` dan qashar shalat, bisa

http://orido.wordpress.com 20
Hadith of the Day

dibenarkan untuk melakukannya.

Tetapi jalan-jalan ke mall di kota Anda sendiri jelaslah bukanlah sebuah perjalanan
yang dimaksud dalam masalah jama` dan qashar. Karena jalan-jalan itu berbeda
maknanya dengan perjalanan atau safar. Para ulama sudah menetapkan batas-batas
minimal jarak yang akan ditempuh sehingga membuat seseorang boleh melakukan
jama` atau qashar.

Lagi pula jama` dan qashar itu bukanlah termasuk maslah kewajiban, melainkan
rukhshah dari Allah SWT. Jadi merupakan bentuk keringanan yang diberikan. Memang
sebaiknya dimanfaatkan keringanan itu, namun tidak berarti orang yang tidak
memanfaatkannya malah dimurkai. Kalau begitu bukan lagi keringanan tetapi beban
atau kewajiban. Dan hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari disyariatkannya jama` dan
qashar.

Anda tidak perlu khawatir dengan apa yang disampaikan teman Anda itu dan juga tidak
perlu merasa bersalah bila apa yang Anda kerjakan tidak sesuai dengan apa yang
mereka katakan. Sebab perkataan mereka itu tidak berdasarkan dalil yang rajih dan
juga berbeda dengan apa yang dipahami oleh mayoritas ulama syariah. Maka biarkan
saja mereka mengatakan demikian, Anda tidak perlu merasa rendah diri.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/1/cn/7272

Konsultasi : Aqidah

Kafirkah Meninggalkan Sholat?

Pertanyaan:

dua hari yang lalu, saya mengikuti pengajian dengan tema mendoakan orang kafir.
Dalam salah satu penjelasannya, pengisi mengatakan, salah satu yang tidak boleh
didoakan adalah orang yang tidak sholat, karena dia telah kafir. Bagaimana dengan
orangtua kita yang jelas-jelas muslim tapi tidak mengerjakan sholat?apakah kita nggak
oleh mendoakannya?

Rijal

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa


ba`du,

Para ulama membedakan antara orang yang sengaja menolak kewajiban shalat dengan

http://orido.wordpress.com 21
Hadith of the Day

orang yang tidak shalat namun tetap mengakui kewajibannya.

1. Sengaja Menolak Kewajiban Shalat

Orang yang menolak kewajiban shalat memang layak dikatakan kafir. Sebab secara
tegas dia menolak adanya kewajiban shalat. Padahal kewajiban shalat itu adalah
perintah yang teramat jelas, tegas, diketahui oleh semua orang dan tidak alasan untuk
mengatakan tidak tahu kewajibannya.

Orang yang dengan sepenuh kesadaran menolak adanya kewajiban shalat, sama saja
dengan mengingkari ayat Al-Quran Al-Kariem. Dan sama saja dengan mengingkari
agama Islam. Dan sama saja dengan orang yang bukan Islam. Maka orang ini layak
disebut kafir akibat keyakinannya itu.

2. Mengakui Kewajiban Shalat Tapi Tidak Shalat

Sebaliknya, ada orang yang secara keyakinan menerima dan mengakui kewajiban
shalat, namun dalam pelaksanaannya terkadang tidak sepenuhnya dikerjakan. Ada
yang shalatnya hanya sehari dua kali, atau sekali seminggu atau dua kali setahun.

Orang yang tidak shalat tapi masih mengakui bahwa shalat itu wajib, tidak bisa
dikatakan kafir akibat kemalasannya itu. Memang dia berdosa besar karena
meninggalkan shalat fardhu, namun tidak sampai membuatnya menjadi kafir atau
keluar dari Islam.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/2/cn/6784

Konsultasi : Ibadah

Wajibkah Shalat Fardhu Berjamaah?

Pertanyaan:

assalaamu'alaikum WrWb
Langsung aja, apakah Shalat Fardhu itu wajib berjamaah?
Atas jawabannya saya ucpkan Jazakumulloh
Wassalaamu'alaikum WrWb

Hanif

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

http://orido.wordpress.com 22
Hadith of the Day

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa


ba`du,

Jumhur ulama sepakat bahwa hukum shalat berjamaah itu adalah sunnah muakkadah.
Dalilnya adalah hadits yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu lebih utama dari
pada shalat sendirian dengan 27 derajat.

Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,� shalat berjamaah itu lebih
utama dari pada shalat sendirian dengan 27 derajat.(HR. Muttafaq alaihi)

Ada sebagian pendapat dari ulama yang menyebutkan bahwa shalat berjamaah itu
hukumnya wajib. Dengan beberapa dalil yang diajukan. Misalnya tentang keinginan
Rasulullah SAW membakar rumah orang yang tidak shalat berjamaah ke masjid. Juga
tentang perintah baliau kepada Abdullah bin Ummi Maktum yang buta namun tetap
diperintahkan shalat berjamaah di masjid. Bahkan meski pun seseorang harus
mendatangi masjid sambil merangkak.

Dengan dalil-dali seperti itu, ada yang berkesimpulan bahwa shalat berjamaah itu
hukumnya wajib. Namun jumhurul fuqaha tidak sampai mewajibkannya saja,
melainkan hanya mengatakan bahwa pada hakikatnya hukumnya hanya sunnah
muakkadah saja.

Hadaanallahu Wa Iyyakum Ajma`in, Wallahu A`lam Bish-shawab,


Wassalamu `Alaikum Warahmatullahi Wa Barakatuh.

http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/11/cn/5346

Konsultasi : Masalah Umum

perbedaan antara wajib dan fardhu

Pertanyaan:

Assalamualaikum, WRB

Salam dan selawat kepada Nabi Allah Muhammad SAW, semoga hamba mendapat
berkah dari pertanyaan ini Amin.

Saya ada pertanyaan ustad. Adakah perbedaan antara wajib dan fardhu, dan kalau
ustad berkenan bisakah ustad jelaskan tingkatannya (ie. fardh, sunnah....).

Jazakallah Khoiru Jaza

Wassalamualaikum, WRB

http://orido.wordpress.com 23
Hadith of the Day

Erwin

Erwin

Jawaban:

Assalamu `alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh

Alhamdulillahi rabbil `alamin, washshalatu wassalamu `ala sayyidil mursalin, wa


ba`du,

Jumhur ulama umumnya menyamakan makna fadhu dengan makna wajib. Mereka
mengatakan bahwa antara kedua itu tidak ada beda dalam makna dan pengertian.
Kecuali hanya pada masalah ibadah haji, mereka memang membedakan antara
keduanya.

Namun Imam Ahmad bin Hanbal dan Al-Hanafiyah membedakan pengertian keduanya.
Bagi mereka, fardhu adalah sesuatu yang telah ditsabatkan (ditetapkan) dengan dalil
yang mengharuskan secara ilmu untuk dikerjakan, baik dari Al-Quran al-Kariem
maupun sunah yang mutawatir atau dari ijma’. Atau dengan kata lain dengan dalil yang
bersifat qaht’i. Silahkan rujuk kepada kitab Ushul Asy-Syarkhasi jilid 1 hal 110 -113 dan
juga kitab Al-Mahshul jilid 1 hal. 119.

Sedangkan wajib adalah sesuatu yang harus dikerjakan dengan dasar dalil yang bersifat
zhanni. Sehingga bisa saja tidak dengan ayat quran atau hadits mutawatir atau ijma,
tetapi dengan hadits ahad atau kesepakatan sebagian ulama (jumhur).

Lebih tegas lagi untuk membedakan antara makna fardhu dan wajib dalam pandangan
mereka adalah bahwa orang yang mengingkari sesuatu yang fardhu hukumnya kafir.
Sedangkan orang yang mengingkari sesuatu yang wajib, hukumnya tidak kafir
melainkan fasik. Sebab sesuatu yang dianggap wajib itu dalilnya tidak atau belum
terlalu kuat atau belum qath’i. Sebaliknya, sesuatu yang fardhu itu dasar hukumnya
memang sudah mutlaq tidak mungkin mengelak.

Lebih tegas lagi untuk contoh adalah shalat lima waktu itu fardhu hukumnya,
sedangkan shalat witir malam hari buat Imam Abu Hanifah hukumnya wajib. Nah,
orang yang mengingkari kefardhuan shalat lima waktu hukumnya kafir, sedangkan yang
mengingkari kewajiban shalat witir hukumnya fasik.

Namun semua perbedaan ini hanya ada dalam fiqih Imam Abu Hanifah. Sedangkan fiqih
jumhurul ulama tidak mengenal perbedaan antara wajib dengan fardhu kecuali pada
bab haji sebagaimana telah kami sebutkan di atas.

Wallahu a`lam bishshowab. Wassalamu `alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

http://orido.wordpress.com 24
Hadith of the Day

http://www.eramuslim.com/ustadz/shl/6426154031-pilihan-menjama039-sholat-atau-
sholat-kendaraan.htm?other

Pilihan Menjama' Sholat atau Sholat di Kendaraan

Kamis, 27 Apr 06 13:36 WIB

Assalamu'alaikum Wr.Wb.

Pak Ustadz, bukankah kita boleh melakukan sholat di kendaraan sambil duduk di kursi
bis, dengan terlebih dahulu tayamum di kaca/jendela bis. Hal ini pernah saya lakukan
saat perjalanan naik bis dari Jakarta ke Pekan Baru yang menempuh jarak 2 hari 2
malam. Apakah kita perlu menjama' sholat setelah tiba/istirahat di kota terdekat
ataukah sudah gugur kewajiban kita karena sudah melakukan sholat di bis.

Wassalamu'alaikum Wr.Wb.

Heri Setyadi

Heri Setyadi
heristar

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada beberapa perbedaan ulama tentang kebolehan melakukan shalat wajib di atas
kendaraan. Perbedaan itu bukan semata-mata timbul dari ijtihad para ulama,
melainkan hadits-hadits yang kita terima dari Rasulullah SAW telah saling berbeda.
Maka wajar pula bila para ulama pun saling berbeda pandangan.

1. Pendapat yang Tidak Menerima Shalat Wajib di Atas Kendaraan

Sebagian ulama memandang masalah shalat di atas kendaraan adalah bahwa Rasulullah
SAW tidak pernah melakukannya. Kecuali hanya pada shalat sunnah saja. Adapun
ketika datang waktu shalat wajib, beliau turun dari untanya dan shalat di atas tanah
dengan menghadap kiblat.

Bahwa Rasulullah SAW pernah shalat di atas punggung unta dan menghadap ke mana
saja, memang benar. Namun ketahuilah bahwa shalat itu hanyalah shalat sunnah,
bukan shalat wajib. Dasarnya adalah hadits beliau SAW berikut ini:

‫علَى‬
َ َ‫سلّمَ وَهُو‬َ ‫علَيْهِ َو‬
َ ُّ‫صلّى ال‬ َ ِّ‫ َرأَيْت رَسُولَ ال‬:َ‫عنْ عَامِرِ بْنِ رَبِي َعةِ قَال‬ َ َ‫و‬
‫ َولَمْ يَ ُكنْ َيصْنَعُ َذِلكَ فِي‬، َ‫حلَتِهِ يُسَبّحُ يُومِئُ بِ َر ْأسِهِ قِ َبلَ أَيّ ِوجْهَةٍ َت َوجّه‬
ِ ‫رَا‬
ِ‫علَيْه‬
َ ٌ‫ مُ ّتفَق‬.ِ‫الصّلَةِ الْمَكْتُوبَة‬

http://orido.wordpress.com 25
Hadith of the Day

Dari Amir bin Rabi'ah ra. berkata, "Aku melihat Rasulullah SAW di atas kendaraannya
(shalat) dan membungkukkan kepalanya menghadapkan ke mana saja. Namun beliau
tidak melakukannya untuk shalat-shalat fardhu." (HR. Muttafaq 'alaihi)

Hadits ini menurut An-Nawawi, Al-Iraqi, Al-Hafidz dan lainnya dikatakan sebagai
sebagai dalil atas kebolehan melakukan shalat sunnah di atas kendaraan dalam
perjalanan yang panjang. Sedangkan kalau bukan dalam perjalanan panjang, telah
terjadi perbedaan pendapat.

Imam Malik mengatakan bahwa bila bukan dalam perjalanan yang membolehkan
qashar shalat, shalat sunnah di atas kendaraan tidak boleh dilakukan.

Imam An-Nawawi mengatakan bahwa shalat wajib itu tidak boleh lepas dari
menghadap kiblat. Sehingga bila shalat di atas kendaraan yang kemungkinan akan
berbelok-belok, batallah shalat itu. Maka beliau mengatakan bahwa para ulama
berijma' tidak boleh shalat fardhu di atas kendaraan.

Kecuali bila bisa dipastikan shalat di atas kendaraan itu tidak akan membuatnya lepas
dari menghadap kiblat, juga bisa dipastikan untuk bisa berdiri, ruku' sujud dengan
benar. Tetapi kalau tidak memungkinkan, maka shalat fardhu di atas kendaraan tidak
dibenarkan. Demikianlah yang tertulis di mazhab kami (asy-Syafi'i) sebagaimana
perkataan An-Nawawi.

Sedangkan shalat di atas kapal laut, oleh mereka dikatakan bahwa para ulama telah
ijma' atas kebolehannya.

Sedangkan kalau seseorang tidak mungkin mendapatkan kendaraan memungkinkan


shalat fardhu menghadap kiblat, berdiri, ruku' dan sujud, maka dia tetap harus shalat
sebisanya, namun dengan kewajiban melakukan i'aadah. I'aadah adalah mengulangi
shalat ketika kondisinya sudah normal kembali di waktu lain.

2. Pandangan yang Membolehkan Shalat Fardhu di Atas Kendaraan

Mereka yang berpandangan bahwa shalat fardhu boleh dikerjakan di atas kendaraan,
berangkat dari hadits lainnya dari Rasululullah SAW berikut ini:

ُ‫صحَابُه‬ ْ ‫سلّ َم انْتَهَى إلَى َمضِيقٍ هُوَ َوَأ‬ َ َ‫علَيْهِ و‬ َ ُّ‫صلّى ال‬ َ ّ‫ن النّبِي‬ ّ َ‫عَنْ يَ ْعلَى بْنِ مُرّ َة أ‬
ُ‫حضَ َرتْ الصّلَة‬ َ ‫س َفلَ مِنْهُ ْم َف‬
ْ َ‫ن أ‬
ْ ِ‫ن فَ ْوقِ ِهمْ وَالْ ِبلّةُ م‬
ْ ِ‫ وَالسّمَاءُ م‬، ِ‫حلَتِه‬ ِ ‫علَى رَا‬ َ َ‫وَ ُهو‬
ِ‫حلَتِه‬
ِ ‫علَى رَا‬ َ َ‫سلّم‬
َ َ‫علَيْهِ و‬َ ُّ‫صلّى ال‬ َ ِّ‫ل ال‬ ُ ‫ن َفأَذّنَ َوَأقَامَ ثُمّ َتقَدّمَ رَسُو‬ َ ّ‫َفأَمَرَ الْمُؤَذ‬
ُ‫ رَوَا ُه َأحْمَد‬.ِ‫ن الرّكُوع‬ ْ ِ‫خفَضَ م‬ ْ ‫سجُو َد َأ‬ ّ ‫ئ إيمَاءً َيجْ َعلُ ال‬ ُ ِ‫َفصَلّى بِهِمْ يُوم‬
ّ‫وَالتّرْمِ ِذي‬
Dari Ya'la bin Murrah bahwa Rasulullah SAW melwati sebuah celah sempit bersama
dengan para shahabat dengan menunggang kendaraan. Saat itu langit hujan dan tanah
menjadi basah. Lalu datanglah waktu shalat, beliau memerintahkan muadzdzin untuk
adzan dan qamat. Lalu Rasulullah SAW memajukan kendaraannya ke depan dan

http://orido.wordpress.com 26
Hadith of the Day

melakukan shalat dengan membungkuk, bungkuknya untuk sujud lebih rendah dari
bungkuk untuk ruku'. (HR. Ahmad, An-Nasai, Ad-Daaruquthunydan Tirmizy)

Oleh At-Tirmizy, hadits ini dinilai sebagai hadits gharib dan dinilai sebagai hadits dha'if
oleh Al-Baihaqi. Sedangkan yang men-shahih-kan hadits ini adalah Abdul Haq, lalu yang
mengatakannya hasan adalah At-Tuzy.

Secara isi kandungan hukumnya, jelas sekali bahwa hadits ini bertentangan 180
derajat isinya dengan hadits Bukhari dan Muslim di atas, yang menyebutkan tidak ada
shalat fardhu di atas kendaraan. Hadits ini justru menyebutkan dengan tegas bahwa
Rasulullah SAW dan para shahabat melakukan shalat fardhu di atas kendaraan, secara
berjamaah pula. Bahkan sempat dikumandangkan adzan dan iqamah sebelumnya.

Lalu bagaimana kesimpulan hukumnya, bolehkah kita shalat fardhu di atas kendaraan?

Jawabnya kembali kepada pendapat mana kita akan memilih. Kalau kita cenderung
menerima hadits yang pertama, maka kalau pun kita shalat fardhu di atas kendaraan,
masih ada kewajiban untuk mengulangi shalat di rumah. Sebab kendaraan itu tidak
bisa menjamin bahwa shalat kita bisa tetap menghadap kiblat, juga tidak bisa shalat
sambil berdiri tegak, ruku dan sujud secara sempurna.

Namun bila kita cenderung menerima pendapat yang kedua, tidak apa-apa juga.
Silahkan shalat di atas kendaraan tanpa menghadap kiblat, tanpa berdiri, tanpa rukuk
dan sujud yang sempurna. Toh dahulu Rasulullah SAW diriwayatkan pernah
melakukannya juga, mesi kalau kita bicara kekuatan haditsnya, lebih lemah
dibandingkan hadits yang pertama.

Jalan Terbaik

Umumnya sikap yang paling baik adalah keluar dari khilaf, selagi masih
memungkinkan. Yang sama sekali sudah tidak ada khilafnya adalah shalat jama' dan
qashar. Maka dalam perjalanan seperti yang anda sebutkan, shalat Dzuhur dan Ashar
sebaiknya anda jama' dan demikian juga dengan shalat Maghrib dan Isya'. Yaitu saat
istirahat di suatu perhentianjalan. Bisa dikerjakan di mushalla atau di mana saja, yang
penting bisa menghadap kiblat dengan benar, bisa berdiri, sujud dan ruku'dengan
benar.

Semua untuk menghindari diri dari khilaf para ulama. Kita cari amannya dan kepastian
hukum yang lebih jelas.

Apalagi mengingat bahwa selama masih ada air, kita toh masih belum boleh
bertayamum. Meski pun di dalam kendaraan. Dan sebenarnya, memang ada air di
dalam kendaraan, paling tidak kita punya botol air kemasan yang bisa dibeli sepanjang
perjalanan.

Sementara bertayammum dengan menggunakan debu yang menempel di jendela, juga


masih menyisakan perbedaan pendapat. Sebab sebagian ulama mengatakan bahwa
hanya debu yang benar-benar terlihat nyata saja yang boleh digunakan untuk
tayammum. Sedangkan debu yang tidak terlihat mata biasa, atau debu mikroskopis,

http://orido.wordpress.com 27
Hadith of the Day

tidak bisa digunakan. Lagi pula, debu mikroskopis itu sendiri bukan hanya ada di
jendela dan dinding saja, tetapi di udara pun ada juga beterbangan. Masak kita mau
bertayammum dengan debu mikroskopis yang beterbangan di udara?

Pendeknya, apa yang disebutkan tentang tayammum dengan jendela masih menyisakan
perdebatan seru, antara mereka yang membolehkan dan yang tidak membolehkan.

Karena itu, yang paling aman adalah kita turun dari kendaraan, lalu cari mushalla dan
berwuhdu dengan benar, lalu shalat jama' dan juga boleh diqashar sekalian. Alternatif
ini selagi masih mungkin dilakukan, sebaiknya dikerjakan. Kecuali dalam kondisi
tertentu di mana kita memang tidak mungkin alias mustahil berhenti dan singgah di
suatu tempat. Misalnya perjalanan dengan kereta api atau pesawat terbang.
Sedangkan dengan bus umum atau mobil pribadi, sangat dimungkinkan untuk berhenti
sejenak untuk shalat, mungkin sambil istirahat atau makan.

Wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

http://buletinislam.wordpress.com/2007/06/21/sholat-jama-dan-sholat-qashar-2/

Sholat Jama’ Dan Sholat Qashar

MediaMuslim.Info - Shalat Jama’ adalah melaksanakan dua shalat wajib dalam satu
waktu, yakni melakukan shalat Dzuhur dan shalat Ashar di waktu Dzuhur dan itu
dinamakan Jama’ Taqdim, atau melakukannya di waktu Ashar dan dinamakan Jama’
Takhir. Dan melaksanakan shalat Magrib dan shalat Isya’ bersamaan di waktu Magrib
atau melaksanakannya di waktu Isya’. Jadi shalat yang boleh dijama’ adalah semua
shalat Fardhu kecuali shalat Shubuh. Shalat shubuh harus dilakukan pada waktunya,
tidak boleh dijama’ dengan shalat Isya’ atau shalat Dhuhur.

Sedangkan shalat Qashar maksudnya meringkas shalat yang empat rakaat menjadi dua
rakaat. Seperti shalat Dhuhur, Ashar dan Isya’. Sedangkan shalat Magrib dan shalat
Shubuh tidak bisa diqashar.

Shalat jama’ dan Qashar merupakan keringanan yang diberikan Alloh, sebagaimana
firman-Nya, yang artinya: ”Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu mengqashar shalatmu, (QS: Annisa: 101), Dan itu merupakan shadaqah
(pemberian) dari Alloh yang disuruh oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menerimanya.” (HR: Muslim).

Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh
dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat
bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang
sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk
bolak- balik ke masjid. dalam keadaan demikian kita dibolehkan menjama’ shalat. Ini
berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
bahwasanya Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjama’ shalat Dhuhur dengan

http://orido.wordpress.com 28
Hadith of the Day

Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan,
“Bukan karena takut, hujan dan musafir”.

Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim,V/215, dalam mengomentari hadits ini
mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak
musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan
yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan). Pendapat demikian juga dikatakan oleh
Ibnu Sirin, Asyhab, juga Ishaq Almarwazi dan Ibnu Munzir, berdasarkan perkataan Ibnu
Abbas ketika mendengarkan hadist Nabi di atas, “Beliau tidak ingin memberatkan
umatnya, sehingga beliau tidak menjelaskan alasan menjama’ shalatnya, apakah
karena sakit atau musafir”.

Dari sini para sahabat memahami bahwa rasa takut dan hujan bisa menjadi udzur
untuk seseorang boleh menjama’ shalatnya, seperti seorang yang sedang musafir. Dan
menjama’ shalat karena sebab hujan adalah terkenal di zaman Nabi. Itulah sebabnya
dalam hadist di atas hujan dijadikan sebab yang membolehkan untuk menjama’, (Al
Albaniy,Irwa’, III/40).

Adapun batas jarak orang dikatakan musafir terdapat perbedaan di kalangan para
ulama. Bahkan Ibnu Munzir mengatakan ada dua puluh pendapat. Yang paling kuat
adalah tidak ada batasan jarak, selama mereka dinamakan musafir menurut kebiasaan
maka ia boleh menjama’ dan mengqashar shalatnya. Karena kalau ada ketentuan jarak
yang pasti, Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mesti menjelaskannya kepada kita,
(AlMuhalla, 21/5).

Seorang musafir baru boleh memulai melaksanakan shalat jama’ dan Qashar apabila ia
telah keluar dari kampung atau kota tempat tinggalnya. Ibnu Munzir mengatakan,
“Saya tidak mengetahui Nabi menjama’ dan mengqashar shalatnya dalam musafir
kecuali setelah keluar dari Madinah”. Dan Anas menambahkan, Saya shalat Dhuhur
bersama Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rakaat dan di
Dzulhulaifah (sekarang Bir Ali berada di luar Madinah) dua rakaat,(HR: Bukhari
Muslim).

Seorang yang menjama’ shalatnya karena musafir tidak mesti harus mengqashar
shalatnya begitu juga sebaliknya. Karena boleh saja ia mengqashar shalatnya dengan
tidak menjama’nya. Seperti melakukan shalat Dzuhur 2 rakaat diwaktunya dan shalat
Ashar 2 rakaat di waktu Ashar. Dan seperti ini lebih afdhal bagi mereka yang musafir
namun bukan dalam perjalanan. Seperti seorang yang berasal dari Surabaya bepergian
ke Sulawesi, selama ia di sana ia boleh mengqashar shalatnya dengan tidak
menjama’nya sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi ketika berada di Mina. Walaupun
demikian boleh-boleh saja dia menjama’ dan mengqashar shalatnya ketika ia musafir
seperti yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berada di Tabuk.
Tetapi ketika dalam perjalanan lebih afdhal menjama’ dan mengqashar shalat, karena
yang demikian lebih ringan dan seperti yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu
‘alaihi wa sallam.

Menurut Jumhur (mayoritas) ulama’ seorang musafir yang sudah menentukan lama
musafirnya lebih dari empat hari maka ia tidak boleh mengqashar shalatnya. Tetapi
kalau waktunya empat hari atau kurang maka ia boleh mengqasharnya. Seperti yang
dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’. Beliau

http://orido.wordpress.com 29
Hadith of the Day

tinggal selama 4 hari di Mekkah dengan menjama’ dan mengqashar shalatnya. Adapun
seseorang yang belum menentukan berapa hari dia musafir, atau belum jelas kapan dia
bisa kembali ke rumahnya maka dibolehkan menjama’ dan mengqashar shalatnya.
Inilah yang dipegang oleh mayoritas ulama berdasarkan apa yang dilakukan oleh
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika penaklukkan kota Mekkah beliau
tinggal sampai sembilan belas hari atau ketika perang tabuk sampai dua puluh hari
beliau mengqashar shalatnya (HR: Abu Daud). Ini disebabkan karena ketidaktahuan
kapan musafirnya berakhir. Sehingga seorang yang mengalami ketidakpastian jumlah
hari dia musafir boleh saja menjama’ dan mengqashar shalatnya (Fiqhussunah I/241).

Bagi orang yang melaksanakan jama’ Taqdim diharuskan untuk melaksanakan langsung
shalat kedua setelah selesai dari shalat pertama. Berbeda dengan jama’ ta’khir tidak
mesti Muwalah (langsung berturut-turut). Karena waktu shalat kedua dilaksanakan
pada waktunya. Seperti orang yang melaksanakan shalat Dhuhur diwaktu Ashar, setelah
selesai melakukan shalat Dhuhur boleh saja dia istirahat dulu kemudian dilanjutkan
dengan shalat Ashar. Walaupun demikian melakukannya dengan cara berturut –turut
lebih afdhal karena itulah yang dilakukan oleh Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.

Seorang musafir boleh berjamaah dengan Imam yang muqim (tidak musafir). Begitu
juga ia boleh menjadi imam bagi makmum yang muqim. Kalau dia menjadi makmum
pada imam yang muqim, maka ia harus mengikuti imam dengan melakukan shalat
Itmam (tidak mengqashar). Tetapi kalau dia menjadi Imam maka boleh saja
mengqashar shalatnya, dan makmum menyempurnakan rakaat shalatnya setelah
imammya salam.

Dan sunah bagi musafir untuk tidak melakukan shalat sunah rawatib (shalat sunah
sesudah dan sebelum shalat wajib), Kecuali shalat witir dan Tahajjud, karena
Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukannya baik dalam keadaan
musafir atau muqim. Dan begitu juga shalat- shalat sunah yang ada penyebabnya
seperti shalat Tahiyatul Masjid, shalat gerhana, dan shalat janazah. Wallahu a’lam bis
Shawaab.

(Sumber Rujukan: Fatawa As-Sholat, Asy-Syaikh Al Imam Abdul Aziz bin Baz dan Al-
Wajiz fi Fiqh As-Sunnah wal kitab Al-Aziz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi )

http://www.almanhaj.or.id/content/1560/slash/0

Apakah Boleh Seseorang Berdo'a Ketika Shalat Fardhu ?

Kamis, 1 September 2005 07:27:22 WIB

APAKAH SESEORANG BOLEH BERDO’A KETIKA SHALAT FARDHU ?

Oleh

http://orido.wordpress.com 30
Hadith of the Day

Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Bolehkah seseorang berdo’a di tengah shalat wajib,
misalnya setelah melakukan beberapa rukun seperti ketika sujud seusai membaca
Subhanallah lalu berdo’a Allahummaghfirli warhamni (Ya Allah ampunilah aku dan
rahmatillah aku) atau do’a yang lain ? Saya berharap mendapatkan nasihat yang
bermanfaat.

Jawaban
Disyariatkan bagi seorang mukmin untuk berdo’a ketika shalatnya di saat yang
disunnahkan untuk berdo’a, baik ketika shalat fardhu maupun shalat sunnah. Adapun
saat berdo’a katika shalat adalah tatkala sujud, duduk di antara dua sujud dan akhir
salat setelah tasyahud dan shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebelum
salam. Sebagaimana telah disebutkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa
beliau berdo’a ketika duduk di antara dua sujud untuk memohon ampunan. Telah
diriwayatkan pula bahwa beliau berdo’a ketika duduk di antara dua sujud

Allahummagfirlii, warhamnii, wahdinii, wajburnii, warjuqnii, wa’aafinii

Artinya : Ya Allah ampunilah aku, rahmatillah aku, berilah hidayah kepadaku,


cukupilah aku, berilah rezeki kepadaku dan maafkanlah aku

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda.

Artinya : Adapun rukuk maka agungkanlah Rabb-mu, sedangkan ketika sujud


bersungguh-sungguhlah dalam berdo’a, niscaya segera dikabulkan untuk kalian
[Diriwayatkan oleh Muslim di dalam shahihnya]

Diriwayatkan pula oleh Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Jarak paling dekat antara seorang hamba dengan Rabb-nya adalah ketika
sujud, maka perbanyaklah do’a (ketika itu)

Di dalam Ash-Shahihian dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengajarkan tasyahud kepadanya berkata :

Kemudian hendaknya seseorang memilih permintaan yang dia kehendaki

Dalam lafazh yang lain.

Kemudian pilihlah do’a yang paling disukai lalu berdo’a

Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak. Hal ini menunjukkan disyariatkannya
berdo’a dalam kondisi-kondisi tersebut dengan do’a yang disukai oleh seorang muslim,
baik yang berhubungan dengan akhirat maupun yang berkaitan dengan kemaslahatan

http://orido.wordpress.com 31
Hadith of the Day

duniawiyah. Dengan syarat dalam do’anya tidak ada unsur dosa dan memutuskan
silaturahim. Namun yang paling utama adalah memperbanyak do’a dengan do’a yang
diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Awwal, edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penulis
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, terbitan At-Tibyan Solo]

http://www.almanhaj.or.id/content/1381/slash/0

Bersalaman [Berjabat Tangan] Setelah Shalat

Selasa, 22 Maret 2005 08:01:49 WIB

BERSALAMAN [BERJABAT TANGAN] SETELAH SHALAT

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Baz

Pertanyaa,
Syaikh Abdul Aiz bin Baz ditanya : Bagaimana hukum bersalaman setelah shalat, dan
apakah ada perbedaan antara shalat fardhu dan shalat sunnah ?

Jawaban
Pada dasarnya disyariatkan bersalaman ketika berjumpanya sesama muslim, Nabi
Shallallahu ’alaihi wa sallam senantiasa menyalami para sahabatnya Radhiyallahu
‘anhum saat berjumpa dengan mereka, dan para sahabat pun jika berjumpa mereka
saling bersalaman, Anas Radhiyallahu ’anhu dan Asy-Sya’bi rahimahullah berkata :

Adalah para sahabat Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam apabila berjumpa mereka saling
bersalaman, dan apabila mereka kembali dari bepergian, mereka berpelukan

Disebutkan dalam Ash-Shahihain [1], bahwa Thalhah bin Ubaidillah Radhiyallahu ’anhu,
salah seorang yang dijamin masuk surga, bertolak dari halaqah Nabi Shallallahu ’alaihi
wa sallam di masjidnya menuju Ka’ab bin Malik Radhiyallahu ’anhu ketika Allah
menerima taubatnya, lalu ia menyalaminya dan mengucapkan selamat atas diterima
taubatnya. Ini perkara yang masyhur di kalangan kaum Muslimin pada masa Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa salalm dan setelah wafatnya beliau, juga riwayat dari Nabi
Shallallahu ’alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda.

Artinya : Tidaklah dua orang muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali akan
berguguranlah dosa-dosa keduanya sebagaimana bergugurannya dedaunan dari
pohonnya [2]

Disukai bersalaman ketika berjumpa di masjid atau di dalam barisan, jika keduanya
belum bersalaman sebelum shalat maka bersalaman setelahnya, hal ini sebagai
pelaksanaan sunnah yang agung itu disamping karena hal ini bisa menguatkan dan

http://orido.wordpress.com 32
Hadith of the Day

menghilangkan permusuhan.

Kemudian jika belum sempat bersalaman sebelum shalat fardhu, disyariatkan untuk
bersalaman setelahnya, yaitu setelah dzikir yang masyru’. Sedangkan yang dilakukan
oleh sebagian orang, yaitu langsung bersalaman setelah shalat fardu, tepat setelah
salam kedua, saya tidak tahu dasarnya. Yang tampak malah itu makruh karena tidak
adanya dalil, lagi pula yang disyariatkan bagi orang yang shalat pada saat tersebut
adalah langsung berdzikir, sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam setelah shalat fardhu.

Adapun shalat sunnah, maka disyariatkan bersalaman setelah salam jika sebelumnya
belum sempat bersalaman, karena jika telah bersalaman sebelumnya maka itu sudah
cukup.

[Fatawa Muhimmah Tatallqu Bish Shalah, hal. 50-52, Syaikh Ibnu Baz]

[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa


Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, hal 199-200 Darul Haq]
_________
Foote Note
[1]. Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi 4418, Muslim kitab At-Taubah 2769
[2]. Abu Daud, Kitab Al-Adab 5211-5212, At-Turmudzi Kitab Al-Isti’dzan 2728, Ibnu
Majah Kitab Al-Adab 3703, Ahmad 4/289, 303 adapun lafazhnya adalah : “Tidaklah
dua orang Muslim berjumpa lalu bersalaman, kecuali keduanya akan diampuni sebelum
mereka berpisah.

http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0

seputar hukum shalat jama dan qashar

Minggu, 6 Februari 2005 19:28:30 WIB

SEPUTAR HUKUM SHALAT JAMA' DAN QASHAR

Oleh
Ustadz Abdullah Shaleh Al-Hadrami

MAKNA DAN HUKUM QASHAR.


Qashar adalah meringkas shalat empat rakaat (Dhuhur, Ashar dan Isya) menjadi dua
rakaat.[1]

Dasar mengqashar shalat adalah Al-Qur'an, As-Sunnah dan Ijma' (kesepakatan para
ulama).[2]

http://orido.wordpress.com 33
Hadith of the Day

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman

"Artinya : Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu
mengqashar salatmu, jika kamu takut di serang orang-orang kafir"[An-Nisaa': 101]

Dari Ya'la bin Umayyah bahwasanya dia bertanya kepada Umar ibnul Kaththab
radhiallahu anhu tentang ayat ini seraya berkata: "Jika kamu takut di serang orang-
orang kafir", padahal manusia telah aman ?!. Sahabat Umar radhiallahu anhu
menjawab: Aku sempat heran seperti keherananmu itu lalu akupun bertanya kepada
Rasulullah -shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tentang hal itu dan beliau
menjawab:(Qashar itu) adalah sedekah dari Allah kepadamu, maka terimahlah sedekah
Allah tersebut.[3]

"Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata: Allah menentukan shalat melalui lisan
Nabimu shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam empat raka'at apabila hadhar (mukim)
dan dua raka'at apabila safar"[4]

"Dari Umar radhiallahu anhu berkata: Shalat safar (musafir) adalah dua raka'at, shalat
Jum'at adalah dua raka'at dan shalatIed adalah dua raka'at"[5]

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma berkata:Aku menemani Rasulullah shallallahu


alaihi wa'ala alihi wasallam dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua
raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau
tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar
radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas duaraka'at sampai wafat,
kemudian aku menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah
atas dua raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman
:Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu."[Al-
Ahzaab : 21][6]

Berkata Anas bin Malik radhiallahu anhu: Kami pergi bersama Rasulullah shallallahu
alaihi wa'ala alihi wasallam dari kota Madinah ke kota Mekkah, maka beliaupun shalat
dua-dua (qashar) sampai kami kembali ke kota Madinah”[7]

http://www.almanhaj.or.id/content/1336/slash/0
8]

Apabila terjadi kerancuan dan kebingungan dalam menetukan jarak atau batasan
diperbolehkannya mengqashar shalat maka tidak mengapa kita mengikuti pendapat
yang menentukan jarak dan batasan tersebut –yaitu sekitar 80 atau 90 kilo meter-,
karena pendapat ini juga merupakan pendapat para imam dan ulama yang layak
berijtihad.[9]

Seorang musafir diperbolehkan mengqashar shalatnya apabila telah meninggalkan


kampung halamannya sampai dia pulang kembali ke rumahnya.[10]

Berkata Ibnul Mundzir: Aku tidak mengetahui (satu dalilpun) bahwa Rasulullah
shallallahu alaihi wa ala alihi wasallam mengqashar dalam safarnya melainkan setelah
keluar (meninggalkan) kota Madinah.

http://orido.wordpress.com 34
Hadith of the Day

Berkata Anas radhiallahu anhu : Aku shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala
alihi wasallam di kota Madinah empat raka¡¦at dan di Dzul Hulaifah (luar kota
Madinah) dua raka'at"[11]

SAMPAI KAPAN MUSAFIR BOLEH MENGQASHAR.


Para ulama berbeda pendapat tentang batasan waktu sampai kapan seseorang
dikatakan sebagai musafir dan diperbolehkan meng-qashar (meringkas) shalat. Jumhur
(sebagian besar) ulama yang termasuk didalamnya imam empat: Hanafi, Maliki, Syafi'i
dan Hambali rahimahumullah berpendapat bahwa ada batasan waktu tertentu. Namun
para ulama yang lain diantaranya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab, Muhammad Rasyid Ridha, Syaikh Abdur Rahman As-sa'di,
Syaikh Bin Baz, Syaikh Utsaimin dan para ulama lainnya rahimahumullah berpendapat
bahwa seorang musafir diperbolehkan untuk meng-qashar shalat selama ia mempunyai
niatan untuk kembali ke kampung halamannya walaupun ia berada di perantauannya
selama bertahun-tahun. Karena tidak ada satu dalilpun yang sahih dan secara tegas
menerangkan tentang batasan waktu dalam masalah ini. Dan pendapat inilah yang
rajih (kuat) berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak, diantaranya:

Sahabat Jabir ¡Vradhiallahu anhu meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah shallallahu


alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Tabuk selama dua puluh hari meng-qashar
shalat.[12]

Sahabat Ibnu Abbas radhiallahu anhuma meriwayatkan, bahwasanya Rasulullah


shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tinggal di Makkah selama sembilan belas hari
meng-qashar shalat.[13]

Nafi' rahimahullah meriwayatkan, bahwasanya Ibnu Umar radhiallahu anhuma tinggal


di Azzerbaijan selama enam bulan meng-qashar shalat.[14]

Dari dalil-dalil diatas jelaslah bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam
tidak memberikan batasan waktu tertentu untuk diperbolehkannya meng-qashar shalat
bagi musafir (perantau) selama mereka mempunyai niatan untuk kembali ke kampung
halamannya dan tidak berniat untuk menetap di daerahperantauan tersebut.[15]

SHALAT TATHAWWU / NAFILAH / SUNNAH BAGI MUSAFIR.


Jumhur ulama (mayoritas) berpendapat bahwa tidak mengapa dan tidak makruh shalat
nafilah/ tathawwu bagi musafir yang mengqashar shalatnya, baik nafilah yang
merupakan sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) maupun yang lainnya. Dalil mereka
adalah bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat delapan
raka¡¦at pada hari penaklukan kota Makkah atau Fathu Makkah dan beliau dalam
keadaan safar.[16]

Sebagian ulama berpendapat bahwa yang di syari'atkan adalah meninggalkan (tidak


mengerjakan) shalat sunnah rawatib (qobliyah dan ba'diyah) saja ketika safar, dalil
mereka adalah riwayat dari Ibnu Umar radhiallahu anhuma bahwasanya beliau melihat
orang-orang (musafir) yang shalat sunnah rawatib setelah selesai shalat fardhu, maka
beliaupun berkata: Kalau sekiranya aku shalat sunnah rawatib setelah shalat fardhu
tentulah aku akan menyempurnakkan shalatku (maksudnya tidak mengqashar). Wahai
saudaraku, sungguh aku menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam
dalam safar dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat,

http://orido.wordpress.com 35
Hadith of the Day

kemudian aku menemani Abu Bakar radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah
menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku menemani Umar radhiallahu
anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua raka'at sampai wafat, kemudian aku
menemani Utsman radhiallahu anhu dan beliau tidak pernah menambah atas dua
raka'at sampai wafat. Dan Allah subhaanahu wa ta'ala telah berfirman : “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagimu”.[Al-Ahzaab:
21][17]

Adapun shalat-shalat sunnah/nafilah/tathawwu' lainnya seperti shalat malam, witir,


sunnah fajar, dhuha, shalat yang ada sebab –sunnah wudhu dan tahiyyatul masjid- dan
tathwwu muthlak adalah tidak mengapa dilakukan dan bahkan tetap di syari'atkan
berdasarkan hadis-hadis sahih dalam hal ini.[18]

JAMA'.
Menjama' shalat adalah mengabungkan antara dua shalat (Dhuhur dan Ashar atau
Maghrib dan 'Isya') dan dikerjakan dalam waktu salah satunya. Boleh seseorang
melakukan jama'taqdim dan jama'ta'khir.[19]

Jama'taqdim adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu shalat
pertama, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Dhuhur, Maghrib dan 'Isya'
dikerjakan dalam waktu Maghrib. Jama' taqdim harus dilakukan secara berurutan
sebagaimana urutan shalat dan tidak boleh terbalik.

Adapun jama' ta'khir adalah menggabungkan dua shalat dan dikerjakan dalam waktu
shalat kedua, yaitu; Dhuhur dan Ashar dikerjakan dalam waktu Ashar, Maghrib dan
'Isya'dikerjakan dalam waktu, Isya', Jama' ta'khir boleh dilakukan secara berurutan dan
boleh pula tidak berurutan akan tetapi yang afdhal adalah dilakukan secara berurutan
sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahuhu alaihi wa'ala alihi
wasallam.[20]

Menjama' shalat boleh dilakukan oleh siapa saja yang memerlukannya - baik musafir
atau bukan- dan tidak boleh dilakukan terus menerus tanpa udzur, jadi dilakukan
ketika diperlukan saja.[21]

Termasuk udzur yang membolehkan seseorang untuk menjama' shalatnya dalah musafir
ketika masih dalan perjalanan dan belum sampai di tempat tujuan[22] , turunnya
hujan [23] , dan orang sakit.[24]

Berkata Imam Nawawi rahimahullah:Sebagian imam (ulama) berpendapat bahwa


seorang yang mukim boleh menjama' shalatnya apabila di perlukan asalkan tidak di
jadikan sebagai kebiasaan."[25]

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi
wa'ala alihi wasallam menjama antara dhuhur dengan ashar dan antara maghrib
dengan isya' di Madinah tanpa sebab takut dan safar (dalam riwayat lain; tanpa sebab
takut dan hujan). Ketika ditanyakan hal itu kepada Ibnu Abbas radhiallahu anhuma
beliau menjawab: Bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak ingin
memberatkan ummatnya.[26]

MENJAMA'JUM'AT DENGAN ASHAR.

http://orido.wordpress.com 36
Hadith of the Day

Tidak diperbolehkan menjama' (menggabung) antara shalat Jum'at dan shalat Ashar
dengan alasan apapun baik musafir, orang sakit, turun hujan atau ada keperluan dll-,
walaupun dia adalah orang yang di perbolehkan menjama' antara Dhuhur dan Ashar.

Hal ini di sebabkan tidak adanya dalil tentang menjama' antara Jum'at dan Ashar, dan
yang ada adalah menjama' antara Dhuhur dan Ashar dan antara Maghrib dan Isya'.
Jum'at tidak bisa diqiyaskan dengan Dhuhur karena sangat banyak perbedaan antara
keduanya. Ibadah harus dengan dasar dan dalil, apabila ada yang mengatakan boleh
maka silahkan dia menyebutkan dasar dan dalilnya dan dia tidak akan
mendapatkannya karena tidak ada satu dalilpun dalam hal ini.

Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam bersabda: Barang siapa membuat
perkara baru dalam urusan kami ini (dalam agama) yang bukan dari padanya (tidak
berdasar) maka tertolak.[27]

Dalam riwayat lain: Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintah
kami (tidak ada ajarannya) maka amalannya tertolak.[28]

Jadi kembali kepada hukum asal, yaitu wajib mendirikan shalat pada waktunya
masing-masing kecuali apabila ada dalil yang membolehkan untuk menjama¡¦
(menggabungnya) dengan shalat lain.[29]

JAMA' DAN SEKALIGUS QASHAR.


Tidak ada kelaziman antara jama' dan qashar. Musafir di sunnahkan mengqashar shalat
dan tidak harus menjama', yang afdhal bagi musafir yang telah menyelesaikan
perjalanannya dan telah sampai di tujuannya adalah mengqashar saja tanpa menjama'
sebagaimana dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika
berada di Mina pada waktu haji wada', yaitu beliau hanya mengqashar saja tanpa
menjama,[30] dan beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam pernah melakukan
jama'sekaligus qashar pada waktu perang Tabuk.[31]Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala
alihi wasallam selalu melakukan jama' sekaligus qashar apabila dalam perjalanan dan
belum sampai tujuan.[32]Jadi Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam sedikit
sekali menjama' shalatnya karena beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam
melakukannya ketika diperlukan saja.[33]

MUSAFIR SHALAT DI BELAKANG MUKIM.


Shalat berjama¡¦ah adalah wajib bagi orang mukim ataupun musafir, apabila seorang
musafir shalat di belakang imam yang mukim maka dia mengikuti shalat imam tersebut
yaitu empat rakaat, namun apabila dia shalat bersama-sama musafir maka shalatnya di
qashar (dua raka'at). Hal ini di dasarkan atas riwayat sahih dari Ibnu Abbas radhiallahu
anhuma. Berkata Musa bin Salamah: Suatu ketika kami di Makkah (musafir) bersama
Ibnu Abbas, lalu aku bertanya: Kami melakukan shalat empat raka'at apabila bersama
kamu (penduduk Mekkah), dan apabila kami kembali ke tempat kami (bersama-sama
musafir) maka kami shalat dua raka'at ? Ibnu Abbas radhiallahu anhuma menjawab: Itu
adalah sunnahnya Abul Qasim (Rasulullah shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallaӬ[34]

MUSAFIR MENJADI IMAM ORANG MUKIM.


Apabila musafir dijadikan sebagai imam orang-orang mukim dan dia mengqashar
shalatnya maka hendaklah orang-orang yang mukim meneruskan shalat mereka sampai
selesai (empat raka'at), namun agar tidak terjadi kebingungan hendaklah imam yang

http://orido.wordpress.com 37
Hadith of the Day

musafir memberi tahu makmumnya bahwa dia shalat qashar dan hendaklah mereka
(makmum yang mukim) meneruskan shalat mereka sendiri-sendiri dan tidak mengikuti
salam setelah dia (imam) salam dari dua raka'at. Hal ini pernah di lakukan Rasulullah
shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam ketika berada di Makkah (musafir) dan menjadi
imam penduduk Mekkah, beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam berkata:
Sempurnakanlah shalatmu (empat raka’at) wahai penduduk Mekkah ! Karena kami
adalah musafir.[35] Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam shalat dua-dua
(qashar) dan mereka meneruskan sampai empat raka'at setelah beliau salam.[36]

Apabila imam yang musafir tersebut khawatir membingungkan makmumnya dan dia
shalat empat raka'at (tidak mengqashar) maka tidaklah mengapa karena hukum qashar
adalah sunnah mu'akkadah dan bukan wajib.[37]

SHALAT JUM¡¦AT BAGI MUSAFIR.


Kebanyakan ulama berpendapat bahwa tidak ada shalat Jum'at bagi usafir, namun
apabila musafir tersebut tinggal di suatu daerah yang diadakan shalat Jum'at maka
wajib atasnya untuk mengikuti shalat um'at bersama mereka. Ini adalah pendapat
imam Malik, imam Syafi'i, Ats-Tsauriy, Ishaq, Abu Tsaur, dll.[38]

Dalilnya adalah bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam
apabila safar (bepergian) tidak shalat Jum'at dalam safarnya, juga ketika Haji Wada'
Beliau shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam tidak melaksanakan shalat Jum'at dan
menggantinya dengan shalat Dhuhur yang dijama' (digabung) dengan Ashar[39].
Demikian pula para Khulafa Ar-Rasyidun (empat khalifah) radhiallahu anhum dan para
sahabat lainnya radhiallahu anhum serta orang-orang yang setelah mereka apabila
safar tidak shalat Jum'at dan menggantinya dengan Dhuhur.[40]

Dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abdur Rahman bin Samurah berkata: Aku tinggal bersama
dia (Al-Hasan Al-Basri) di Kabul selama dua tahun mengqashar shalat dan tidak shalat
Jum'at"

Sahabat Anas radhiallahu anhu tinggal di Naisabur selama satu atau dua tahun, beliau
tidak melaksanakan shalat Jum'at.

Ibnul Mundzir -rahimahullah menyebutkan bahwa ini adalah Ijma' (kesepakatan para
ulama') yang berdasarkan hadis sahih dalam hal ini sehingga tidak di perbolehkan
menyelisihinya.[41]

Wallahu A'lam dan Semoga Bermanfaat.

[Disalin dari tulisan yang disusun oleh Ustadz Abdullah Shaleh Al-Hadrami. Beliau
adalah salah seorang ustadz yang berdomisili dan banyak memberi pengajaran di kota
Malang, Jawa Timur]
__________
Foote Note
[1]. Lihat Tafsir Ath-Thabari 4/244, Mu'jamul Washit hal 738.
[2]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/104 dan Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/165.
[3]. HR. Muslim, Abu Dawud dll. Lihat Al-jami'li Ahkamil Qur'an, Al- Qurthubi 5/226-
227.
[4]. HR. Muslim, Ibnu Majah, Abu Dawud dll.

http://orido.wordpress.com 38
Hadith of the Day

[5]. HR. Ibnu Majah dan An-Nasa'i dll dengan sanad sahih. Lihat sahih Ibnu Majah 871
dan Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayim 1/467
[6]. HR. Bukhari dan Muslim dll. Lihat Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnati wal Kitabil Aziz, Abdul
Adhim bin Badawi Al-Khalafi 138.
[7]. HR. Bukhari dan Muslim.
[8]. Lihat Al-Muhalla, Ibnu Hazm 21/5, Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim
1/481, Fiqhus Sunnah, Sayyid Sabiq 1/307-308, As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-
Thayyar 160-161, Al-Wajiz, Abdul Adhim Al-Khalafi 138 dll.
[9]. Lihat Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/265.
[10]. Al-Wajiz, Abdul ¡¥Adhim Al-Khalafi 138
[11]. HR. Bukhari, Muslim dll.
[12]. HR. Imam Ahmad dll dengan sanad sahih.
[13] HR. Bukhari dll
[14]. Riwayat Al-Baihaqi dll dengan sanad sahih
[15]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin jilid 15, Irwa'ul Ghalil Syaikh Al-Albani jilid
3, Fiqhus Sunnah 1/309-312.
[16]. HR. Bukhari dan Muslim.
[17]. HR. Bukhari. Lihat Zaadul Ma'ad, Ibnul Qayyim 1/315-316, 473-475, Fiqhus Sunah
1/312-313, Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/223-229. Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin
15/254.
[18].Kitab Ad-Dakwah, Bin Baz, lihat As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 308.
[19]. Lihat Fiqhus Sunnah 1/313-317.
[20]. Lihat Fatawa Muhimmah, Syaikh Bin Baz 93-94, Kitab As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah
Ath-Thayyar 177.
[21]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-310 dan Fiqhus Sunnah 1/316-317.
[22]. HR. Bukhari dan Muslim
[23]. HR. Muslim, Inbu Majah dll.
[24]. Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/310, Al-Wajiz, Abdul Adhim bin Badawi Al-Khalafi
139-141, Fiqhus Sunnah 1/313-317
[25]. Lihat syarh Muslim, imam Nawawi 5/219 dan Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah wal Kitabil
Aziz 141.
[26]. HR. Muslim dll. Lihat Sahihul Jami¡¦ 1070.
[27]. HR. Bukhari 2697 dan Muslim 1718.
[28]. HR. Muslim.
[29]. Lihat Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin 15/ 369-378
[30]. Lihat Sifat haji Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam karya Al-Albani.
[31]. HR. Muslim. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/308-309.
[32]. As-Shalah, Prof.Dr. Abdullah Ath-Thayyar 181. Pendapat ini adalah merupakan
fatwa para ulama termasuk syaikh Abdul Aziz bin Baz.
[33]. Lihat Taudhihul Ahkam, Al-Bassam 2/ 308.
[34]. Riwayat Imam Ahmad dengan sanad sahih. Lihat Irwa'ul Ghalil no
571 dan Tamamul Minnah, Syaikh Al-Albani 317
[35]. HR. Abu Dawud..
[36]. Lihat Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab 4/178 dan Majmu' Fatawa Syaikh Utsaimin
15/269
[37]. Lihat Taudhihul Ahkam, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al- Bassam 2/294-295
[38]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216, Al-Majmu'Syarh Muhadzdzab, Imam
Nawawi 4/247-248, lihat pula Majmu'Fatawa Syaikh Utsaimin 15/370.
[39].Lihat Hajjatun Nabi shallallahu alaihi wa'ala alihi wasallam Kama Rawaaha Anhu
Jabir -radhiallahu anhu, Karya Syaikh Muhammad Nasiruddin Al-Albani hal 73.

http://orido.wordpress.com 39
Hadith of the Day

[40]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216.


[41]. Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah 3/216

http://www.almanhaj.or.id/content/1064/slash/0

Shalatnya Orang Yang Sedang Sakit Sesuai Dengan Kemampuannya

Selasa, 5 Oktober 2004 07:26:34 WIB

SHALATNYA ORANG YANG SEDANG SAKIT SESUAI DENGAN KEMAMPUANNYA

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Ada orang sakit dibagian perutnya, lalu
dia masuk rumah sakit dan dioperasi. Setelah dioperasi di tidak sadarkan diri selama
satu setengah hari karena pengaruh obat bius. Setelah dia sadar, dia masih belum
mampu melaksanakan shalat dengan sempurna dan juga belum bisa mandi selama satu
minggu. Bagaimana orang ini harus shalat?

Jawaban
Orang yang sakit wajib melaksanakan shalat fardhu sesuai dengan kemampuannya,
berdasarjab sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya tentang tata cara
shalat orang yang sakit.

“Artinya : Shalatlah dengan berdiri. Jika kamu tidak sanggup, shalatlah sambil duduk.
Jika masih tidak sanggup, shalatlah sambil tidur miring” [Hadits Riwayat Bukhari]

Dalam riwayat An-Nasa’i ada tambahan : “jika engkau tidak bisa, boleh sambil
terlentang”.

Jika dia tidak bisa ruku dengan sempurna, dia boleh ruku dengan cara membungkukkan
badannya sedikit sesuai dengan kemampuannya. Begitu juga tidak mampu sujud
dengan sempurna, dia boleh sujud dengan cara membungkukkan badannya sesuai
dengan kemampuannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

“Artinya : Maka bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian” [At-Tagabun : 16]

Jika seorang tidak sadarkan diri karena pengaruh obat bius atau karena sakitnya
terlalu parah, dia harus segera mungkin mengqadla shalat-shalat wajib yang belum dia
laksanakan selama dia tidak sadar, sesuai dengan kemampuannya. Hal ini berdasarkan
sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Artinya : Barangsiapa yang tertidur atau lupa melaksanakan shalat maka hendaklah

http://orido.wordpress.com 40
Hadith of the Day

dia segera shalat ketia dia ingat atau terbangun dan tidak ada denda selain itu”
[Hadits Riwayat Muslim]

Tidak diragukan lagi bahwa pingsan karena sakit atau karena obat bius hukumnya sama
dengan orang yang tertidur, walaupun selama dua atau tiga hari. Jadi dia tidak boleh
(tidak usah) mengundurkan shalat-shalat tersebut untuk dilakukan bersama shalat-
shalat yang sejenis. Tapi yang benar adalah dia harus segera mengerkan shalat-shalat
fardhu yang dia tinggalkan ketika dia sudah sadar, seperti orang yang bangun dari
tidurnya atau orang yang teringat dari kelupaannya. Dan jika dia tidak mampu
menggunakan air, dia boleh bertayamum berdasarkan ayat-ayat yang telah lalu. Dan
Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha Penolong.

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Juz Tsani, Penulis Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz,
Edisi Indonesia Fatawa bin Baaz, Penerjemah Abu Abdillah Abdul Aziz, Penerbit At-
Tibyan Solo]

http://www.almanhaj.or.id/content/1039/slash/0

Mengangkat Tangan Pada Waktu Berdo'a Setelah Shalat Fardhu

Rabu, 22 September 2004 22:57:00 WIB

MENGANGKAT TANGAN SETELAH RUKU

Oleh
Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih

Sebagian orang ada yang mengangkat tangan setelah bangun dari ruku seperti
mengangkat tangan tatkala berdoa. Cara seperti ini tidak ada contohnya akan tetapi
yang dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seperti
mengangkat tangan pada waktu Takbiratul Ihram. Barangsiapa yang melakukan
perbuatan tersebut hendaknya dihindari dan diperingatkan dengan keras. Dari Abdullah
Ibnu Umar bahwa tatkala beliau memulai shalat bertakbir sambil mengangkat kedua
tangan dan tatkala mengucap : “Sami’allahu liman hamidah” mengangkat
kedua tangan dan tatkala bangun dari rakaat yang kedua beliau juga mengangkat
kedua telapak tangan, dan hadits ini disandarkan oleh Ibnu Umar kepada Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

MENGANGKAT TANGAN PADA WAKTU BERDOA SETELAH SHALAT FARDHU.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Apakah ada hadits yang menganjurkan berdoa
mengangkat tangan setelah shalat fardhu, sebab ada orang yang mengatakan bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah mengangkat tangan tatkala

http://orido.wordpress.com 41
Hadith of the Day

berdoa setelah shalat fardhu ?

Jawaban.
Sepengetahuan saya tidak ada dalil dari hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
maupun contoh dari para sahabat tentang berdoa mengangkat tangan setelah shalat
fardhu. Dan apa yang dikerjakan oleh sebagian orang berdoa mengangkat tangan
setelah shalat fardhu adalah perbuatan bid’ah berdasaerkan sabda Nabi.

“Artinya : Riwayat Al-Bukhari]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

Artinya : Barangsiapa yang mengada-ada sesuatu yang bukan dari ajaranku, maka
tertolak[Muttafaqun ‘Alaih]

[Fatawa Islamiyah 1/319]

[Disalin dari buku Jahalatun Nas Fid Du’a edisi Indonesia Kesalahan Dalam
Berdo’a hal. 70-72 Darul Haq]

http://groups.yahoo.com/group/masjid_annahl/message/155

Kesalahan Umum Berkaitan dengan Shalat


Edisi : 157, Oase Iman
Senin, 6 Rajab 1422 H / 24 September 2001
============================================

Shalat adalah amal pertama yang dihisab Allah. Jika shalat


seseorang baik maka baik pula seluruh amalnya. Demikian pun
sebalik-nya. Tetapi ironinya, banyak umat Islam yang
melalaikan urusan shalat. Berikut ini yang sering dilalaikan
sebagian umat Islam dalam hal shalat.

1. Meninggalkan shalat sama sekali .


Ini adalah suatu kekufuran berdasarkan Al-Qur'an, As-Sunnah
dan ijma'. Allah berfirman, artinya: "Apakah yang membuat
kalian masuk ke dalam Neraka Saqar?' Mereka menjawab,
'(Karena) kami dulu tidak termasuk orang-orang yang mendirikan
shalat'." (Al-Muddatstsir: 4).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda, artinya:
"Perjanjian antara kami dengan mereka adalah shalat,
barang-siapa meninggalkannya maka dia telah kafir."
(HR. Ahmad dan lainnya, shahih).
Adapun dalil dari ijma' adalah ucapan Abdullah bin Syaqiq :
"Para sahabat Muhammad shallallahu 'alaihi wasallamtidak
berpendapat ada suatu amalan yang jika ditinggal-kan menjadikan
kufur kecuali masalah shalat." (Diriwayatkan At-Tirmidzi
dan lainnya dengan sanad shahih).

http://orido.wordpress.com 42
Hadith of the Day

2. Mengakhirkan shalat.
Sebab ia bertentangan dengan firman Allah, artinya:
"Sesungguhnya shalat itu wajib atas orang-orang beriman pada
waktu yang telah ditentukan." (An-Nisa': 103).
Karena itu, mengakhirkan shalat tanpa udzur yang dibolehkan
syara' adalah dosa besar. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Itu adalah shalat orang
munafik. Ia duduk menunggu matahari, sampai jika matahari
telah berada di antara dua tanduk setan (hendak tenggelam)
ia berdiri dan menukik empat rakaat, sedang ia tidak mengingat
Allah di dalamnya kecuali sedikit." (HR. Muslim).

3. Meninggalkan shalat berjamaah.


Shalat berjamaah adalah wajib kecuali bagi orang yang memiliki
udzur yang dibolehkan syara'. Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda, artinya: "Siapa yang mendengarkan
seruan adzan tetapi tidak memenuhinya maka tidak ada shalat
baginya, kecuali karena udzur." (HR. Ibnu Majah dan lainnya
dengan sanad kuat). Allah berfirman, artinya: "Dan ruku'lah
bersama orang-orang yang ruku'." (Al-Baqarah: 43).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:
"Kemudian aku mengutus (utusan) kepada orang-orang yang tidak
shalat berjamaah, sehingga aku bakar rumah-rumah mereka."
(Muttafaq Alaih). Dan cukuplah bagi mereka yang menginginkan
syi'ar Islam dengan memulai lewat gerakan shalat berjama'ah.

4. Tidak thuma'ninah dalam shalat.


Thuma'ninah adalah rukun shalat. Shalat tidak sah jika tidak
thuma'ninah. Thuma'ninah artinya, tenang ketika sedang ruku',
i'tidal, sujud dan duduk antara dua sujud. Tenang di sini maksudnya,
sampai tulang-tulang kembali pada posisi dan persendiannya,
tidak tergesa-gesa dalam pergantian dari satu rukun ke rukun lainnya.
Demikianlah, sehingga Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada
orang yang tergesa-gesa dalam shalatnya dan tidak thuma'ninah
bersabda, artinya: "Kembali dan shalatlah, sesungguhnya engkau
belum shalat."

5. Tidak khusyu' dan banyak gerakan dalam shalat.


Allah memuji orang-orang yang khusyu' dalam shalatnya.
Allah berfirman, artinya: "(Yaitu) orang-orang yang khusyu'
dalam shalatnya." (Al-Mukminun: 2). Karena itu, hendaknya setiap
orang yang shalat, khusyu' dalam shalatnya, sehingga memperoleh
pahala yang sempurna.

6. Mendahului atau menyelisihi imam.


Ini bisa mengakibatkan batalnya shalat atau raka'at.
Karena itu, hendaknya makmum mengikuti imam, tidak mendahului
atau terlambat daripadanya, baik satu rukun atau lebih.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:

http://orido.wordpress.com 43
Hadith of the Day

"Sesungguhnya diadakannya imam itu untuk diikuti, karena itu


jika ia bertakbir maka bertakbirlah, dan jangan kalian bertakbir
sampai ia bertakbir, dan jika ia ruku' maka ruku'lah dan jangan
kalian ruku' sampai dia ruku'..." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

7. Bangun dari duduk untuk menyempurnakan raka'at


sebelum imam selesai dari salam yang kedua.

8. Memandang ke langit (atas) atau menoleh ke kiri dan ke


kanan ketika shalat. Hal ini telah diancam oleh Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, artinya: "Hendaklah orang-orang mau berhenti
dari mendongakkan pan-dangannya ke langit ketika shalat atau Allah
tidak mengembalikan pandangannya kepada mereka." (HR. Muslim).
Adapun menoleh yang tidak diperlukan maka hal itu mengurangi
kesempurnaan shalat, dan jika sampai lurus ke arah lain maka hal
itu membatal-kan shalat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
artinya: "Jauhi-lah dari menoleh dalam shalat, karena sesungguh-nya
ia adalah suatu kebinasaan." (HR. At-Tirmidzi dan dishahihkannya).

9. Mengenakan pakaian tipis yang tidak menutupi aurat.


Hal ini membatalkan shalat, karena menutup aurat merupakan syarat
sahnya shalat.

10. Tidak memakai kerudung dan menutupi telapak kaki bagi wanita.
Aurat wanita dalam sha-lat adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah
dan telapak tangan (termasuk punggungnya). Ummu Salamah ditanya
tentang pakaian shalat wanita. Beliau menjawab:
"Hendaknya ia shalat dengan kerudung, dan baju kurung panjang
yang menu-tupi kedua telapak kakinya."

11. Lewat di depan orang yang sedang shalat.


Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:
"Seandainya orang yang lewat di depan orang shalat itu mengetahui
dosanya, tentu berhenti (menunggu) empat puluh (tahun) lebih baik
baginya daripada lewat di depannya." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

12. Tidak melakukan takbiratul ihram


ketika mendapati imam sedang ruku'. Takbiratul ihram adalah
rukun shalat karena itu ia wajib dilakukan dan dalam keadaan berdiri,
baru kemudian mengikuti imam yang sedang ruku'.

13. Tidak langsung mengikuti keadaan imam ketika masuk masjid .


Orang yang masuk masjid hendaknya langsung mengikuti imam,
baik ketika itu ia sedang duduk, sujud atau lainnya
(tentunya setelah takbiratul ihram, sebagaimana disebutkan di muka).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:
"Jika kalian datang untuk shalat dan kami sedang sujud,
maka sujudlah!" (HR. Abu Daud, shahih).

http://orido.wordpress.com 44
Hadith of the Day

14. Melakukan sesuatu yang melalaikannya dari shalat .


Ini menunjukkan bahwa dia lebih menuruti hawa nafsu daripada
menta'ati Allah. Betapa banyak orang yang tetap sibuk dengan
pekerjaannya, menonton TV, ngobrol dan sebagai-nya sementara
seruan adzan telah berkumandang. Padahal melalaikan shalat dan
mengingat Allah adalah suatu bencana besar. Allah berfirman,
artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, jangan-lah hartamu
dan anak-anakmu melalaikanmu dari mengingat Allah, barangsiapa
melakukan demiki-an maka mereka itulah orang-orang yang merugi."
(Al-Munafiqun: 9).

15. Memejamkan mata ketika shalat tanpa keperluan .


Ini adalah makruh. Ibnu Qayyim berkata, 'Nabi shallallahu
'alaihi wasallam tidak mencontohkan shalat dengan meme-jamkan
mata.' Akan tetapi jika memejamkan mata tersebut diperlukan
misalnya, karena di hadapan-nya ada lukisan atau sesuatu yang
menghalangi kekhusyu'annya maka hal itu tidak makruh.

16. Makan atau minum dalam shalat.


Ini membatalkan shalat. Ibnul Mundzir berkata, 'Para ahli ilmu
sepakat bahwa orang yang shalat dilarang makan dan minum.'
Karena itu, bila masih terdapat sisa makanan di mulut, seseorang
yang sedang shalat tidak boleh menelannya tetapi hendaknya
mengeluarkannya dari mulutnya.

17. Tidak meluruskan dan merapatkan barisan.


Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:
"Kalian mau meluruskan barisan-barisan kalian atau Allah akan
membuat perselisihan di antara hati-hati kalian."
(HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Adapun rapatnya barisan, sebagaimana yang dipraktekkan para
sahabat adalah pundak dan telapak kaki seseorang merapat dengan
pundak dan telapak kaki kawannya.

18. Imam tergesa-gesa dalam shalatnya dan tidak thuma'ninah,


sehingga menjadikan makmum juga tergesa-gesa, tidak thuma'ninah
dan tidak sempat membaca Fatihah. Setiap imam akan ditanya tentang
shalatnya, dan thuma'ninah adalah rukun, karena itu ia wajib atas
imam karena dia adalah yang diikuti.

19. Tidak memperhatikan sujud dengan tujuh anggota.


Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, artinya:
"Kami diperin-tahkan untuk sujud dengan tujuh anggota;
kening -dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya sampai ke
hidungnya-, dua tangan, dua lutut dan dua telapak kaki."
(Muttafaq Alaih).

20. Membunyikan ruas jari-jari ketika shalat.


Ini adalah makruh. Ibnu Abi Syaibah meriwayat-kan:
"Aku shalat di sisi Ibnu Abbas dan aku mem-bunyikan

http://orido.wordpress.com 45
Hadith of the Day

jari-jariku. Setelah selesai shalat, ia berkata,


'Celaka kamu, apakah kamu membunyi-kan jari-jarimu dalam
keadaan shalat?"

21. Mempersilakan menjadi imam kepada orang yang


tidak pantas menjadi imam.
Imam adalah orang yang diikuti, karena itu ia harus faqih
(paham dalam urusan agama) dan qari' (pandai membaca Al-Qur'an).
Para ulama mene-tapkan, tidak boleh dipersilakan menjadi imam
orang yang tidak baik bacaan Al-Qur'annya, atau yang dikenal dengan
kemaksiatannya (fasiq), meskipun demikian, kalau itu terjadi maka
shalat makmum tetap sah.

22. Membaca Al-Qur'an secara tidak baik dan benar.


Ini adalah kekurangan yang nyata. Karena itu, setiap muslim harus
berusaha untuk membaca Al-Qur'an, terutama dalam shalatnya
dengan baik dan benar. Allah berfirman, artinya: "Dan bacalah
Al-Qur'an itu dengan tartil." (Al-Muzzammil: 4).

23. Wanita pergi ke masjid dengan perhiasan dan wewangian.


Ini adalah kemunkaran yang tampak nyata baik di bulan Ramadhan
atau di waktu lainnya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,
artinya: "Jangan melarang wanita-wanita pergi ke masjid, dan
hendaknya mereka keluar dalam keadaan tidak berhias dan memakai
wewangian." (HR. Ahmad dan Abu Daud, shahih).

Sumber: al-minzhar fi bayani katsirin minal akhtha'


asy-sya'iah, Shalih bin Abdul Aziz Alu Syaikh. (ain).

http://dzikir.org/b_shalat.htm

Tuntunan Shalat
Shalat adalah suatu ibadah yang terdiri dari perkataan-perkataan dan perbuatan - perbuatan
tertentu yang dimulai dengan takbiratul Ihram dan disudahi dengan Salam disertai dengan
syarat-syarat yang telah ditetapkan.

Definisi Semacam ini telah disepakati oleh para ulama ahli fiqih dimana mereka mengatakan :

Artinya : "Shalat adalah perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan yang dimulai dengan


takbir dan disudahi dengan Salam yang dengannya itu kita dianggap beribadah (kepada Allah)
dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. "

Keutamaan Shalat

Didalam Agama Islam Shalat mempunyai kedudukan yang tak dapat ditandingi oleh ibadah-
ibadah yang lain. Ada banyak kutipan ayat-ayat Al-qur'an mengenai keutamaan Shalat. Inilah
beberapa kutipan tersebut :

http://orido.wordpress.com 46
Hadith of the Day

Artinya :"Peliharalah semua Shalat(mu), dan peliharalah shalat wusthaa" (Al Baqarah :238)

Artinya :"Dan dirikanlah shalat untuk mengingatKu" (Thaha : 14)

Artinya :"Dan perintahkanlah kepada keluargamu untuk mendirikan shalat dan bersabarlah
kamu dalam mengerjakannya" (Thaha : 132)

Artinya : "Dan dirikanlah olehmu shalat, karena sesungguhnya shslat itu dapat mencegah dari
(perbuatan-perbuatan) keji dan munkar" (Al Ankabut : 45)

Artinya : "Dan dirikanlah olehmu akan shalat dan berikanlah olehmu zakat dan ruku'lah
beserta orang-orang yang ruku' "(Al-Baqarah : 43)

Dengan memperhatikan ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa Shalat mempunyai


kedudukan tersendiri ,bahkan dalam salah satu hadist dijelaskan bahwa Shalat adalah tiang
agama. Sebagaimana sabda Rasullulah Saw

Artinya :
"Shalat adalah tiang agama, barang siapa yang mengerjakannya berarti ia menegakkan agama,
dan barang siapa meninggalkannya berarti ia meruntuhkan agama" (HR. Baihaqqi)

Shalat merupakan penghubung antara hamba dengan Tuhannya. Ia merupakan sebesar-besarnya


tanda iman dan seagung-agungnya syiar agama. Shalat merupakan tanda syukur atas nikmat
yang telah dikaruniakan Allah kepada hambanya. Ia merupakan ibadah yang membuktikan
keislaman seseorang. Shalat adalah ibadah yang sangat mendekatkan hamba kepada Khaliqnya,
Hal ini berdasarkan hadits Nabi yang berbunyi :

Artinya : "Sedekat-dekat hamba kepada Tuhannya ialah dikala hamba itu bersujud (didalam
Shalat). Maka banyak-banyaklah berdo'a didalam sujud itu"

http://orido.wordpress.com 47
Hadith of the Day

Peringatan Bagi Orang Yang Meninggalkan Shalat

Shalat merupakan tiang agama dan merupakan suatu ibadah yang menentukan apakah
seseorang itu Islam atau kafir. Sebagaimana sabda Rasulullah :

"(Yang menghilangkan pembatas) antara seorang muslim dengan kemusyrikan dan kekufuran
adalah meninggalkan shalat." (HR. Muslim)

Didalam hadist dijelaskan oleh Rasulullah s.a.w. tentang ancaman Allah kepada orang yang
meninggalkan shalat, sebagai berikut :

1. Dikala mereka hidup didunia :

a. Dihilangkan keberkahan dari hidupnya.


b. dihilangkan tanda keshalihan dari mukanya.
c. tidak berpahala amal-amal perbuatannya
d. Do'anya tidak diangkap kelangit
e. Tidak mendapat bagian dalam do'anya orang-orang yang shalih

2. Dikala mereka menghembuskan nafas terakhir dan saat-saat sesudahnya :

a. Mati dengan penuh kehinaan.


b. Mati dalam keadaan lapar.
c. Mati dalam keadaan haus.
d. Dihimpit kubur dari sebelah kiri dan kanan.
e. Dinyalakan api Neraka didalam kuburnya.
f. Didatangkan kepadanya seekorular yang bernama "Asy Syuja'ul Aqra" yang akan
menyiksa terus menerus sampai datang hari Mahsyar.
g. Menderita sengsara dikala hisab pada hari Mahsyar.
h. Mendapat kemarahan Allah.
i. Dimasukkan kedalam Neraka.

http://orido.wordpress.com 48

Anda mungkin juga menyukai