Anda di halaman 1dari 6

M.

Riyan Styawan
2018230093
Geopolitik Uni Eropa dan Inggris Pasca (Brexit) Tahun 2016
Dalam teori geopolitik, geografi dipercaya sebagai faktor dominan yang dapat
mempengaruhi identitas, perilaku, maupun interaksi suatu negara. Membahas soal interaksi
suatu negara dan geopolitik, maka saya akan menjelaskan isu mengenai Geopolitik Uni Eropa
dan Inggris pasca Brexit. Kemenangan Brexit (British Exit) dalam referendum tanggal 23
Juni 2016 lalu merupakan keputusan yang diambil oleh rakyat Inggris yang menimbulkan
berbagai spekulasi mengenai disintegrasi Uni Eropa. Beberapa orang beranggapan bahwa
keluarnya Inggris dari Uni Eropa akan disusul oleh negara-negara anggota Uni Eropa yang
lain. Pada dasarnya, Brexit merupakan suatu fenomena yang mencerminkan menguatnya
pandangan yang skeptis terhadap Uni Eropa. Terdapat survei yang dilakukan oleh sebuah
Organisasi asal Amerika, PEW Research Center yang menunjukkan peningkatan sentimen
anti Uni Eropa (Euroscepticism) di seluruh Eropa. meskipun 51% dari responden yang
disurvei di sepuluh negara anggota Uni Eropa masih sangat mendukung Uni Eropa. Sentimen
anti Uni Eropa ini pada dasar nya didukung oleh kelompok-kelompok kanan ekstrem yang
terus meningkat dan semakin populer di banyak negara anggota Uni Eropa sehingga
mengakibatkan melemahnya ekonomi serta krisis migrasi. Namun, jika dipahami dengan cara
ini, Brexit bukan merupakan kasus yang eksklusif. Dapat dikatakan Brexit merupakan awal
dari serangkaian eksodus dari Uni Eropa. Kemenangan Brexit segera mendorong para politisi
sayap kanan yang populis untuk menyerukan referendum di negara-negara mereka (Kultsum
& Wijayanti, 2018).

Faktor Pendorong Kemenangan Brexit

Berdasarkan survei tersebut, hasil survei menunjukan bahwa sebenarnya bukan


Inggris yang menjadi negara teratas menentang Uni Eropa. Posisi Inggris berada dibawah
Yunani, Perancis, dan Spanyol. Namun, terdepat beberapa faktor yang mendorong
kemenangan Brexit dalam Referendum tersebut. Pertama, keanggotaan Inggris di Uni Eropa
memiliki karakter yang sangat unik. Pada dasarnya, Masuknya Inggris ke Uni Eropa lebih
dominan pada pertimbangan pragmatis dan kalkulasi untung rugi secara ekonomi
dibandingkan dengan perimbangan identitas maupun keterkaitan emosional. Sehingga, yang
sebenarnya terjadi adalah Inggris tidak pernah tertarik dengan daratan Eropa dan lebih
cenderung untuk memelihara hubungan dekatnya dengan Amerika dan negara-negara
persemakmuran. Inggris baru berminat untuk bergabung dengan Uni Eropa setelah Uni Eropa
menunjukkan perkembangan ekonomi yang semakin kuat. Kedua, keinginan dan
keberhasilan Inggris untuk menuntut keanggotaannya yang istimewa di Uni Eropa di atas
sangat terkait dengan persepsi dan realitas tentang Inggris yang berbeda dengan negara-
negara Eropa daratan. Secara geografis, Inggris terpisah dari daratan benua Eropa dan
menghasilkan tradisi yang cenderung berbeda dengan negara-negara Eropa daratan. Pada saat
negara-negara Eropa daratan terjebak dalam berbagai konflik dan pertikaian internal di
Eropa, Inggris justru memiliki keleluasaan untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya ke
luar Eropa. Bahkan setelah kejayaannya berakhir, Inggris tetap menikmati keistimewaannya
melalui hubungan dekatnya dengan Amerika dan negara-negara persemakmuran serta
statusnya sebagai salah satu negara anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
bangsa. Dengan status Inggris yang istimewa tersebut, hubungan Inggris dengan Uni Eropa
menyerupai hubungan perkawinan yang tidak harmonis dan penuh dengan gejolak (Sugiono,
2017).

Pada tahun 1950-an Inggris menolak ajakan untuk bergabung ke dalam Masyarakat
Ekonomi Eropa, pada tahun 1960-an keinginan Inggris untuk menjadi anggota Uni Eropa
kandas karena penolakan Perancis. Presiden Charles de Gaulle tidak menginginkan Inggris
menjadi anggota Uni Eropa karena dianggap memiliki tradisi yang berbeda dengan Eropa
daratan dan kehawatirannya akan kemunginan dampak yang ditimbulkan oleh kedekatan
Inggris dengan Amerika. Memang, seperti terlihat, dalam sejarah keanggotaannya berbagai
pemerintahan di Inggris secara bergantian menjadikan keluarnya Inggris dari Uni Eropa
sebagai salah satu pilihan kebijakan terutama pada saat mereka berhadapan dengan persoalan
di dalam negeri Inggris. Keinginan untuk keluar dari Uni Eropa bahkan sudah muncul hanya
dalam kurun waktu dua tahun setelah Inggris bergabung dengan Uni Eropa pada tahun 1973.

Konsep Neoliberalisme

Neoliberalisme memiliki beberapa Asumsi dasar yang pertama, adalah Hukum Pasar,
kebebasan bagi modal, barang dan Jasa, sehingga pasar bisa mengatur dirinya sendiri agar
dapat mendistribusikan kekayaan. Juga Mencakup upaya agar tenaga kerja tak Diwakili
serikat buruh, dan menyingkirkan semua hambatan yang menghalangi Mobilitas modal,
seperti peraturan –Peraturannya. Kebebasan tersebut harus Diberikan oleh negara atau
pemerintah jadi Pasarlah yang berkuasa dan penentu. Kedua, Mengurangi pembelanjaan
publik bagi pelayanan-pelayanan sosial, seperti Pelayanan kesehatan dan pendidikan yang
Disediakan oleh pemerintah. Ketiga, Deregulasi, agar kekuatan pasar bisa bekerja Menurut
mekanisme aturannya sendiri. Keempat, Mengubah persepsi baik tentang Publik dan
komunitas menjadi Individualisme dan tanggung jawab Individual (Darmayadi, 2018).

Dengan latar belakang tersebut, bagi para pendukung Brexit, keanggotaan Inggris di
Uni Eropa harus semata-mata didasarkan pada prinsip utilitarian. Uni Eropa adalah instrumen
kepentingan nasional Inggris dan keanggotaan Inggris di Uni Eropa adalah sebuah cara untuk
mencapai kepentingan tersebut. Dengan kata lain, Inggris bergabung dengan Uni Eropa
karena pasar tunggal yang ditawarkan oleh Uni Eropa, bukan karena keinginannya untuk
membangun atau mewujudkan impian bersama negara-negara anggota Uni Eropa (European
Dream). Oleh karenanya, Inggris harus keluar dari Uni Eropa jika dalam kalkulasi rasional
(untung rugi) terhadap harga yang dibayar oleh Inggris untuk memperoleh akses ke pasar
tunggal Eropa ternyata lebih besar daripada keuntungan yang diterimanya. Dan, para
pendukung Brexit sangat yakin bahwa Inggris membayar harga yang sangat mahal dengan
kedaulatannya. Sebagai anggota Uni Eropa, Inggris bukan hanya harus membebaskan
pergerakan barang, melainkan juga tenaga kerja. Hal inilah yang mengakibatkan Inggris
dibanjiri pekerja dari negara-negara anggota Uni Eropa yang lebih miskin setelah negara-
negara tersebut bergabung dengan Uni Eropa.

Geopoltik Uni Eropa dan Inggris Pasca Brexit

Keluarnya Inggris dari Uni Eropa memiliki beberapa kemungkinan yang sama
kuatnya, yakni menguntungkan ataupun merugikan baik Inggris maupun Uni Eropa. Oleh
karena itu, kemenangan Brexit tidak bisa dilihat secara eksklusif atau terjadi di ruang hampa.
Perkembangan, serta hakekat keberadaan dari makna Uni Eropa bagi negara-negara
anggotanya di atas secara jelas menunjukkan bahwa Uni Eropa bukan semata-mata organisasi
ataupun institusi, melainkan juga mindset dan identitas yang mendasari hubungan
internasional di Eropa saat ini. Dilihat dengan cara ini, maka sangat sulit jika dibayangkan
Brexit akan secara drastis mengubah Geopolitik di Eropa. Tentu saja, terdapat implikasi
praktis dari keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Sekalipun Inggris berada di luar Uni Eropa,
tidak ada alasan bagi Inggris untuk menolak semangat dan tujuan bersama yang mendasari
terbentuknya Uni Eropa, yakni untuk mencapai perdamaian di Eropa.

Pada pemerintahan Thatcher Inggris dibawa ke sikap skeptis. Hal ini karena adanya
ketidaksesuain kebijakan Uni Eropa terhadap Inggris, terutama masalah kesatuan moneter
dan finansial, dimana Uni Eropa akan membentuk suatu kesatuan moneter dengan bank
sentral dan mata uang tunggal. Selain itu juga terkait masalah anggaran Inggris untuk ME
yang dirasa cukup besar dan harus dikurangi. Inggris pada akhir 1970-an Inggris adalah
kontributor kedua terbesar dan akan menjadi yang terbesar. Yakni membayar lebih dari 1
milyar Euro pertahun. Pandangan Inggris terhadap ME condong kepada pasar bebas, yang
menguntungkan perekonomian Inggris, Inggris seperti tidak peduli bahwa, pada dasarnya ME
ini dibuat adalah untuk sebuah integrasi yang lebih jauh lagi dari hanya pada sektor ekonomi
yakni politik. Adapun kemudian politisasi ekonomi yang tidak disetujui Inggris. Thatcher
tidak mengingankan adanya penyatuan moneter dan finansial. Inggris menginginkan pasar
tunggal Eropa dengan penghapusan hambatan pergerakan barang, pembentukan pasar bebas,
asuransi dan modal, yang akan menguntungkan perusahaan-perusahaan Inggris. Prancis dan
Jerman sebagai negara inti dari Uni Eropa tidak ingin Inggris dapat mempengaruhi anggota
lain terhadap kebijakan yang akan ditetapkan oleh Uni Eropa (Lestari, 2017). Bagi Thatcher
kesatuan moneter dan pembentukan Bank Sentral nantinya akan membuat suatu pemerintah
Eropa. Dan bahwa kesatuan moneter dapat terlaksana tanpa mata uang tunggal. Perdana
Menteri selanjutnya John Mayor dan Tony Blair juga tetap berada diluar European Moneter
Union (EMU).

Perdebatan dalam integrasi Inggris pada Uni Eropa khususnya pada masa
kepemimpinan M. Thatcher dan John Mayor, mengenai European Moneter Union (EMU),
Bank Sentral Eropa, mata uang tunggal, dan pertentangan Bab Sosial dalam perjanjian
Maastricht membuat Inggris menjadi terisolasi dalam Uni Eropa. Oleh karena itu Partai
Buruh (dengan Tony Blair sebagai Perdana Menteri) mencanangkan untuk “Back to Europe”.
Yakni untuk meningkatkan kembali citra Inggris di Uni Eropa. Partai Buruh dan Partai
Konservatif pada dasarnya memiliki sikap yang berbeda, namun tetap kepada kepentingan
bersama yakni kepentingan Inggris. Namun dalam beberapa hal mereka juga berada di satu
jalan. Pemerintahan Inggris oleh Partai Buruh, dipimpin oleh Tony Blair (1997-2007)
bersikeras untuk ikut kembali berpartisipasi pada integrasi Eropa hal ini karena keterasingan
Inggris di Uni Eropa menyebabkan lemahnya pengaruh Inggris pada kebijakan Uni Eropa.
Jika hal tersebut merupakan alasan Inggris kembali ke Uni Eropa dapat dikatakan, upaya-
upaya Blair tersebut kembali kepada pragmatisme Inggris dalam Uni Eropa bukan saja dalam
bidang ekonomi namun juga politik (BBC, 2016).

Pada pemerintahan Partai Konservatif David Cameron harus menghadapi krisis yang
terjadi di eurozone. Kebangkrutan yang terjadi akibat krisis, bukan hanya pada bank saja,
tetapi seluruh negara, terutama Yunani, Spanyol dan Italia. Perbedaan sikap Inggris dalam
mengatasi krisis (dengan negara Uni Eropa lain) membuat ketegangan diantara kedua pihak.
Pada persiapan KTT darurat, negara-negara eurozone mengungkapkan perbedaan-perbedaan
dalam memerangi krisis. Konselir keuangan G. Osborne pada pertemuan parlemen 11
Agustus, mengusulkan untuk memangkas pengeluaran publik, untuk memungkinkan
kestabilan keuangan negara. Usulannya tersebut tentu dengan mempertimbangkan
kepentingan Inggris. Inggris dan para negara Uni Eropa lainnya. Berdasarkan penjelasan
diatas maka, Inggris secara resmi sudah keluar dari Uni Eropa, atau lebih dikenal dengan
sebutan Brexit, pada awal 2020 lalu. Setelah itu Brexit memasuki masa transisi politik dan
ekonomi selama satu tahun. Dalam masa transisi ini, tetapi belum ada perubahan kebijakan
terhadap arus barang dan jasa serta manusia antar kedua kawasan. Baru pada sekitar tahun
2020, Inggris dan UE berhasil mencapai kesepakatan perdagangan yang akan
mempertahankan skema perdagangan bebas kedua kubu tersebut (Lestari, 2017).

Lantas apa yang banyak memberikan perubahan dan bagaimana pengaruhnya


terhadap kedua kubu yang memiliki letak geografis yang sama ini? Jika dijabarkan satu per
satu, sektor demi sektor, hal-hal ini tercantum dalam perjanjian sebanyak lebih dari 1.200
halaman yang ada dalam perjanjian brexit. Namun, terdapat dua poin-poin kunci dalam
perjanjian tersebut. Pertama dari aspek perdagangan, Dari aspek ini, kedua blok setuju bahwa
perdagangan secara umum akan menyerupai kondisi sebelum keluarnya Inggris, yakni
perusahaan asal kedua kubu tetap dapat membeli dan menjual barang sehari-hari (goods) di
dalam perbatasan Uni Eropa tanpa membayar pajak. Selain itu, tidak ada batasan mengenai
kuantitas barang yang dapat diperdagangkan. Hal ini menyebabkan kedua negara dapat
menyelaraskan harga bahan baku, agar tidak ada yang lebih mahal dari yang lainnya. Kedua,
dari aspek politik, hukum dan peradilan (Darmayadi, 2018). Pengadilan tertinggi di UE,
European Court of Justice (ECJ) tidak lagi berperan dalam urusan pemerintahan Inggris dan
persoalan hukumnya. Hal ini nampaknya merupakan salah satu tuntutan kunci Brexit, supaya
Inggris dapat ‘merebut’ kembali hukum dan peraturannya. Kesepakatan ini menjamin bahwa
Inggris tak lagi ada dalam tarikan UE, dan tidak lagi terikat oleh aturan UE, tidak ada lagi
peran bagi ECJ, dan semua garis merah utama kami tentang pengembalian kedaulatan telah
tercapai, artinya inggris akan memiliki kemerdekaan politik dan ekonomi sepenuhnya pada 1
Januari 2021 Hal ini merupakan keuntungan dan salah satu dasar utama Inggris melakukan
referendum untuk Brexit. Selain itu, perjanjian ini juga menyatakan bahwa segala
perselisihan antara Inggris dan UE akan dirujuk ke pengadilan independen (Kultsum &
Wijayanti, 2018).
Daftar Pustaka

Kultsum F. F., & Wiyanarti E. (2018). Dinamika Inggris dan Uni Eropa: Integrasi Hingga
Brexit. eJournal UPI. 7(2).

Sugiono, Muhadi. (2017). Brexit, Integrasi Eropa, dan Regionalisme ASEAN. Jurnal Kajian
Lemhannas RI. Eds. 29.

Lestari, Indah Sri. 2017. Penarikan Diri Inggris Dari Uni Eropa Tahun 2016. eJournal Ilmu
Hubungan Internasional. Volume 5 No. 3, 1025-1040.

Darmayadi, Andrias. (2018). Transformasi Uni Eropa: Prospek Kerjasama Kawasan Pasca
Brexit. Jurnal Ilmu Politik dan Komunikasi. Volume VIII No. 1

BBC (2016) ‘Brexit: What the world’s papers say,’ 24 June, online
http://www.bbc.com/news/world-europe-36619254 (diakses pada, 16 Oktober 2021. Pukul
15:42).

Anda mungkin juga menyukai