Anda di halaman 1dari 14
PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN JASA KEUANGAN DALAM PERJANJIAN BAKU DENGAN KLAUSULA EKSONERASI Celina Tri Siwi Kristiyanti Fakultas Hukum Unika Widya Karya Malang JI, Bondowoso 2 Malang E-mail: celin_th@widyakarya.ac.id Submited: 24 January 2018, Reviewed: 25 April 2018, Accepted: 07 July 2019 Abstract Standard agreements with exoneration clauses are generally used by people who have economic ‘advantages so they are in a dominant position. Whereas the opposite party (Woderpartij) has a weak economic position either because of imbalance position or the ignorance of choices. The research aims to know and understand legal protection efforts if consumers have been harmed by the existence of a standard agreement with the exoneration clause on banks as financial service business actors. This is a normative research with a case approach analyzed based on applicable legal provisions and described descriptively analytically. Preventive and curative ‘measures are needed in law enforcement that provide a deterrent effect to banks as financial service business actors (PUJK) that harm consumers. This is to prevent abuse standard with exoneration clauses in the form of transferring responsibilities and freeing up risks. Key words: legal protection, consumer, standart agreement, exoneration clause Abstrak Perjanjian baku dengan Klausula eksonerasi pada umumnya digunakan oleh kalangan yang memiliki keunggulan ekonomi schingga berada pada posisi yang dominan. Sedangkan pihak lawannya (woderpartij) yang mempunyai kedudukan ekonomi yang lemah baik karena ketidakseimbangan posisi maupun karena ketidaktahuan terhadap pilihan. Penelitian dalam artikel ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami upaya perlindungan hukum jika konsumen telah dirugikan dengan adanya perjanjian baku dengan klausula eksonerasi pada bank sebagai pelaku usaha jasa keuangan, Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif dengan pendekatan kasus yang dianalisis berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. serta diuraikan secara deskriptif analitis, Diperlukan upaya preventif serta kuratif dalam penegakan hukum yang memberikan efek jera kepada bank selaku pihak pelaku pelaku usaha Jjasa keuangen (PUJK) yang merugikan konsumen agar tidak menyalahgunakan klausula baku dengan klausula eksonerasi berupa pengalihan tanggung jawab serta membebaskan resiko, Kata kunci: perlindungan hukum, konsumen, perjanjian baku, klausula eksonerasi 356 DOI: httpfidx.doi.org/10.21776/ub.arenabukum.2019.01202.8, ‘Krlstiyanti, Perindungan Hukum bagi Konsumen Jasa Keuangan dalam Latar Belakang Perlindungan hukum merupakan salah satu upaya untuk menciptakan rasa aman, kepastian dan keadilan bagi para nasabah. Nasabah yang dimaksud adalah konsumen jasa perbankan yang bertransaksi di jasa keuangan Perbankan', terikat perjanjian untuk kurun waktu tertentu. Perlindungan hukum ‘menuntut adanya kedudukan yang seimbang antara nasabah dengan bank selaku pelaku usaha jasa keuangan, Bank sebagai pelaku usaha tidak akan berkembang dengan baik serta tidak dapat memberi manfaat bagi masyarakat luas, jika tidak ada nasabah, Seiring dengan dinamika kebutuhanmasyarakat — serta permasalahan di bidang perbankan, maka sebagai pelaku usaha jasa keuangan, bank sangat bergantung dengan nasabah sehingga dapat mempertahankan_kelangsungan usahanya, Pemahaman keseimbangan antara pelaku usaha dan konsumen lebih kepada pemenuhan prinsip itikad baik dan keadilan bagi para pihak. Dalam vusaha/pihak penyalahgunaan keadaan Khususnya bank yang mengesampingkan hak-hak konsumen serta kenyataan banyak —_pelaku jasakeuangan melakukan memiliki kecenderungan untuk memanfaatkan kelemahan konsumennya (nasabah) tanpa harus mendapatkan sanksi hukum. Penyebab permasalahan di bidang perbankan karena minimnya kesadaran dan 357 pengetahuan masyarakat konsumen yang seringkali dijadikan Jahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai iktikad baik dalam menjalankan kegiatan usaha. Lemahnya posisi konsumen didukung. dengan perangkat hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman, kepastian, serta keadilan. Aturan yang ada kurang ‘memadai untuk secara Jangsung melindungi hak-hak —konsumen, kepentingan dan Perkembangan permasalahan di bidang perbankan semakin beragam baik dari aspek perdata, pidana maupun administrasi. Hal ini menuntut penegakan hukum yang tegas, yang mampu memberikan kepastian hukum, keadilan serta kemanfaatan, Penunjang penegakan hukum harus disertai cara berpikir pelaku usaha tidak boleh semata-mata bersifat profit oriented dalam konteks jangka pendek. Setiap perbuatan yang memiliki akibat hukum harus memperhatikan kepentingan konsumen yang merupakan bagian dari jaminan berlangsungnya usaha dalam konteks jangka panjang. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan belum memuat perlindungan nasabah secara khusus, aturan yang berupa pasal-pasal memfokuskan pada aspek kepentingan perlindungan bank sebagai pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) yang lebih dominan sehingga kedudukan nasabahi konsumen menjadi sangat lemah. Hal ini dapat 1 Jamal Wiwoho, Optimalisasi , Penguatan dan Modernisasi Kelembagaan Keuangan Mikro Syariah Dalam Mewwiudkan Financial Inclusion Menuju Kesejahteraan Masyarakat disampaikan pada kegiatan The Ist International Islamic Financial Inclusion Summit 2012, yang diselenggarakan Oleh DPP GP ANSOR, (Surakarta: Diamond Convention Centre (Ball Room)), 18 Jali 2012 2. Azhari, TT, Perlindungan Hukum Bagi Nasabah Perbankan Syariah, makalah, blr. | 358 dicermati ditinjau dari hubungan kontraktual dengan bank misalnya dalam perjanjian kredit ketika disodorkan perjanjian baku yang memuat kondisinasabah sangat dilematis Klausula eksonerasi, Perjanjian model. ini senantiasa membebani nasabah debitur dengan berbagai_macam kewajiban dan tanggung jawab atas resiko yang ditimbulkan selama perjanjian berlangsung dibebankan kepada konsumen selaku nasabah, yang pada gilirannya memunculkan pengurangan risiko’ tanggung jawab pihak bank selaku pelaku usaha, Konsumen yang membutuhkan dana terikat perjanjian hutang piutang dengan bank, dalam kondisi terdesak untuk memenuhi kebutuhan hidup, tidak meminta penjelasan lebih lanjut kepada pihak bank mengenai syarat atau penjelasan atas informasi dalam perjanjian baku, di lain sisi bank selaku pelaku usaha juga tidak menjelaskan biaya dan risiko dari produk atau layanan yang ditawarkan yang dapat dikategorikan sebagai Klausula eksonerasi. Klausula cksonerasi adalah klausula yang di dalamnya_memuat _pemyataan/Klausul yang membatasi atau bahkan menghapus sama sekali tanggung jawab yang semestinya dibebankan kepada pihak produsen/penyalur produk (penjual),’ Bank yang memberlakukan perjanjian baku dengan klausula eksonerasi ada beberapa contoh yakni bank dalam memberikan Kredit, mencantumkan syarat sepihak di mana ada klausula yang menyatakan bahwa bank sewaktu-waktu diperkenankan ARENA HUKUM Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, Halaman 356-369 untuk merubah _(menaikkan/menurunkan) suku bunga pinjaman (kredit) yang diterima oleh debitur, tanpa informasi terlebih dahulu atau dengan kata lain ada kesepakatan bahwa debitur selaku konsumen setuju terhadap segala keputusan sepihak yang diambil oleh bank untuk merubah suku bunga kredit, yang, telah diterima oleh debitur pada masa/jangka waktu perjanjian kredit berlangsung. Mariam Darus Badrulzaman, dengan istilahnya Klausul eksonerasi, memberikan definisi terhadap —_klausul_—_tersebut sebagai Klausul yang berisi _ pembatasan pertanggungan jawab dari_—_—kreditur, tethadap resiko dan kelalaian yang mesti ditanggungnya. Demikian juga David Yates, yang lebih memilih menggunakan_istilah exclusion clause, memberikan definisi “any term in a contract restricting, excluding or modifying aremedy or aliability arising out of breech of a contractual obligation yang diterjemahkan secara bebas sebagai setiap bagian dari suatu perjanjian yang membatasi, membebaskan atau merekayasa ganti rugi atau tanggungjawab yang timbul dari pelanggaran terhadap suatu perjanjian, Dalam pengertiannya yang lebih lvas David Yates menunjuk pada yurisprudensi dalam kasus Bentsen v. Taylor, Sons & Co (1893) dan Bahama International Trust Co. V. Threadgold (1974) yang mengemukakan bahwa exemption clause diattikan sebagai “seu clause in a contract or aterm in a notice which appears to exclude or restrict a 3. Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, Jakarta: PT. Grasindo, 2000), blm. 120. 4. David Yates, “Exclusion Clauses in Contracts, Sweet & Maxell’ falam Sriwat rlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Baku”, Jurnal Yustika VoLdU, No, 2, (Desember 2000), ble. 182. ‘Krlstiyanti, Perindungan Hukum bagi Konsumen Jasa Keuangan dalam liability or a legal duty that would otherwise arise”, yang jika diterjemahkan secara bebas adalah klausul yang kehadirannya untuk membebaskan tanggung atau membatasi jawab yang mungkin saja muncul.> Menurut Engels‘ menyebutkan tiga bentuk yuridis dari perjanjian dengan syarat-syarat eksonerasi, Ketiga bentuk yuridis tersebut terdiri dari: a, Tanggung jawab atas akibat hukum, arena dalam melaksanakan kewajiban- kewajiban perjanjian dinilai kurang baik; yang dibebankan kepada pihak untuk mana b. Kewajiban-kewajiban —sendiri syarat dibuat, dibatasi atau difapuskan (misalnya, perjanjian keadaan darurat, c. Kewajiban-kewajiban diciptakan (syarat- syarat_ pembebasan oleh salah satu pihak dibebankan dengan memikulkan tanggung jawab pihak yang lain yang mungkin ada untuk kerugian yang diderita pihak ketiga. Perjanjian eksonerasi dikategorikan perbuatan yang merugikan. Pelaku usaha dalam hal ini bank menambahkan klausula yang membebaskan tanggung jawab pada akibat-akibat hukum yang terjadi karena kurangnya pelaksanaan kewajiban yang diharuskan oleh perundang-undangan, antara lain tentang masalah ganti rugi dalam hal perbuatan ingkar-janji. Ganti rugi_ tidak diberikan jika dalam persyaratan eksonerasi tercantum hal it. 5 Ibid, 359 Dari berbagai definisi yang ada tersebut ‘maka Klausul eksonerasi adalah Klausul yang memberikan pembatasan atau pembebasan tanggung jawab hukum salah satu pihak atas segala bentuk tidak dipenuhinya kewajiban atas perjanjian tersebut, Klausul ini sebagai pemicu ketidakseimbangan _kedudukan para pihak,ada pihak yang diuntungkan Adanya terhadap pemakaian perjanjian baku dapat dan dirugikan. pengaturan dikategorikan sebagai eksploitasi atau keadaan yang sedemikian merugikan bagi pihak yang Jemah karena ada unsur penggunaan paksaan ‘maupun penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang kuat.” Permasalahan dalam artikel ini adalah (1) mengapa diperlukan perlindungan hukum bagi konsumen terhadap per janjian baku dengan Klausula eksonerasi pada bank sebagai pelaku usaha jasa keuangan (PUJK)? Dan (2) bagaimana upaya memperoleh perlindungan hukum jika konsumen bank telah dirugikan oleh perjanjian baku dengan Klausula eksonerasi pada bank selaku pelaku usaha jasa keuangan (PUIK) Menurut Peter Mahmud — Marzuki*, penelitian hukum adalah suatu proses untuk ‘menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum untuk ‘menjawab isu hukum yang ada. Hal ini sesuai dengan karakter preskriptif ilu hukum. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kasus yang dianalisis berdasarkan 6 RIL. Engels, “Syarat-syarat Eksonerasi atau Syarat-syarat untuk Pengecualian Tanggung Jawab", dalam, Az \Nasution, Hikum Perlindungan Konsumen, (Jakarta: Diadit Media, 2001), him. 100, 7. Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, (Iakarta : Sinar Grafika, 2014), him. 147, 8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Keneana Group, 2005), blm. 35. 360 ketentuan hukum yang berlaku serta diuraikan secara deskriptif analitis preskriptif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang memberikan eksposisi _sistematis, tentang peraturan yang mengatur kategori hukum tertentu, menganalisishubungan antara peraturan, menjelaskan area kesulitan dan dapat juga memprediksi perkembangan di masa yang akan datang. area itu dalam penelitian ini telah terintegrasi secara baik antara bahan yang tertuang dalam norma- norma ius constitutum (law as itis in the book), ius constituendum (law as what ought to be), as hukum yang berlaku mengatur dan mengikat kegiatan dan_permasalahan yang diteliti, Hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum sudah mengandung nila Adapun permasalahan yang akan dianalisa lebih menitikberatkan pada _perlindungan konsumen terhadap perjanjian baku dengan klausula eksonerasi pada bank sebagai Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUIK), Pembahasan A. Urgensi Perlindungan Hukum Bagi Konsumen —_Terhadap Penggunaan Perjanjian Baku dengan Klausula Eksonerasi oleh Bank Sebagai Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK). Istilah “perlindungan konsumen” jika dikaji_ secara komprehensif berkaitan pula dengan perlindungan hukum, Perlindungan yang dimaksud bukan sekadar materi fisik yang, idarta, op.cit, him. 16-27 ARENA HUKUM Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, Halaman 356-369 terlihat, melai kan mencakup hak-haknya yang bersifat abstrak. Perlindungan konsumen sesungguhnya identik dengan perlindungan yang diberikan hukum tentang hak-hak konsumen. Secara umum dikenal ada empat (4) hak dasar konsumen, yaitu:? 1. Hak untuk mendapatkan keamanan (the right to safety 2. Hak untuk mendapatkan informasi ( the right to be informed); Hak untuk memilih (the right to choose); 4, Hak untuk didengar (the right to be heard), Hak dasar diatas_ telah memperoleh pengakuan secara_intemnasional. Dalam. perkembangannya, yang International Organization of Consumer organisasi-organisasi konsumen tergabung dalam The Union (OCU) menambahkan lagi beberapa hak, seperti hak mendapatkan_ pendidikan konsumen, hak mendapatkan ganti kerugian, dan hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, Namun dalam perkembangan, tidak semua organisasi konsumen menerima penambahan hak-hak tersebut, Organisasi konsumen bebas untuk menerima semua atau sebagian hak-hak konsumen tersebut. Yayasan (YLKD, untuk _menambahkan Lembaga Konsumen Indonesia misalnya, memilih satu hak lagi sebagai pelengkap empat hak dasar_konsumen, yaitu hak mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sehingga secara keseluruhan dikenal sebagai panea hak-konsumen. ‘Krlstiyanti, Perindungan Hukum bagi Konsumen Jasa Keuangan dalam Guna meningkatkan martabat dan kesadaran konsumen harus diawali dengan hak-hak pokok konsumen, yang dijadikan sebagai landasan upaya untuk memahami perjuangan mewujudkan hak-hak tersebut. Hak Konsumen sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 4 adalah sebagai berikut: a, hak atas kenyamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau Jjasa; b. hak untuk memilih barang danvatau jasa serta mendapatkan barang dan.atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; ¢. hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; 4. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; fe. hak untuk —mendapatkan advokasi perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; {hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, h. hak untuk mendapatkan kompensasi ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagimana mestinya; i, hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. Di samping hak-hak yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4, juga terdapat hak-hak 10 did. bm. 123, 361 konsumen yang dirumuskan dalam pasal-pasal berikutnya, khususnya dalam pasal 7 yang mengatur tentang kewajiban pelaku usaha, ‘Kewajiban dan hak dalam hukum merupakan suatu antinomi, schingga kewajiban pelaku usaha dapat dilihat sebagai hak konsumen. Selain pengaturan hak-hak yang diuraikan di atas, ada pula hak untuk dilindungi dari akibat negatif persaingan curang. Hal ini ‘mempertimbangkan bahwa kegiatan_bisnis yang dilakukan pengusaha sering dilakukan tidak secara jujur, yang dikenal dengan (unfair terjadi terminologi “persaingan curang” competition). Persaingancurang karena keinginan mendominasi pasar guna ‘memperoleh keuntungan yang lebih besar. Dalam UU No, 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (yang kemudian disebut dengan istilah UUPK), istilah ktausula ceksonerasi senditi tidak ditemukan, yang ada adalah “klausula baku”, Pasal 1 angka (10) mendefinisikan Klausula baku sebagai setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secata sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau petjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen, Jadi yang ditekankan adalah prosedur pembuatannya yang —_bersifat sepihak, bukan mengenai isinya. Padahal, pengertian “klausula eksonerasi” bukan sekedar mempersoalkan tentang prosedur pembuatannya, melainkan juga isinya yang bersifat pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha." 362 Pasal 18 Ayat (1) huruf (a) UUPK, menyatakan pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang—membuat atau mencantumkan Klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku_usaha. huruf —(b) sesungguhnya merupakan contoh bentuk- Ketentuan, dan seterusnya bentuk pengalihan tanggung jawab itu, seperti pelaku usaha dapat menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen, atau menolak penyerahan kembali uang yang dibayar, dan sebagainya." Apakah dengan baku sama dengan Klausula eksonerasi? demikian, klausula Jika mencermati ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUPK, diperoleh jawaban_ sementara bahwa kedua istilah itu berbeda. Artinya, Klausula baku adalah klausula yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha, tetapi isinya tidak boleh mengarah kepada Klausula eksonerasi. Pasal 18 (2) UUPK tersebut, dengan Ketentuan ayat ‘memperteg: pengertian menyatakan bahwa Klausula baku harus diletakkan pada tempat yang mudah terlihat dan jelas dibaca dan mudah dimengerti. Jika hal-hal yang disebutkan dalam ayat (1) dan (2) itu tidak dipenuhi, maka klausula baku itu menjadi batal hukum."? Pelanggaran yang dilakukan_ berkaitan dengan tidak dipenuhinya ketentuan pada Pasal 18 ini juga diberikan ancaman sanksi pidana 1 Ibi 12 sbid, 13 Jbid, bm. 123. ARENA HUKUM Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, Halaman 356-369 sebagaimana diatur pada Pasal 62 UUPK ayat (1) “Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c. huruf e, dan ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua miliar rupiah)”. Praktek penggunaan Klausula baku di Amerika Serikat, misalnya pada pembatasan wewenang pelaku usaha untuk membuat Klausula eksonerasi lebih banyak diserahkan kepada inisiatif konsumen. Jika ada konsumen yang merasa dirugikan, berdasarkan Uniform Commercial Code 1978, konsumen dapat mengajukan gugatan ke pengadilan. Putusan- putusan pengadilan inilah yang nantinya dijadikan masukan perbaikan legislasi_yang telah ada, termasuk sejauh mana Pemerintah dapat campur tangan dalam penyusunan kontrak."” Pengaturan perjanjian baku di Belanda dimasukkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang baru (NBW), yang menyatakan bahwa bidang usaha yang boleh menerapkan perjanjian baku harus ditentukan dengan peraturan dan perjanjian itu baru dapat ditetapkan, diubah, atau dicabut setelah mendapat persetujuan Menteri Kehakiman. Selanjutnya terkait penetapan, perubahan, atau pencabutan itu baru memperoleh kekuatan hukum setelah mendapat persetujuan Raja’ ‘Krlstiyanti, Perindungan Hukum bagi Konsumen Jasa Keuangan dalam Ratu yang dituangkan dalam Berita Negara. Ketentuan lainnya mengatur bahwa perjanjian baku ini dapat pula dibatalkan, jika pihak produsen/penyalur produk (penjual) atau kkreditur dalam hal ini bank selaku pelaku usaha jasa keuangan mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa pihak konsumen tidak akan menerima perjanjian tersebut jika ia ‘mengetahui isinya."* Pengaturan dalam UUPK terutama yang berkaitan dengan klausul baku paling tidak menyadarkan masyarakat selaku. konsumen sebagai pihak yang memiliki hak yang (semestinya) sejajar dengan pihak lainnya dalam perjanjian baku.’ Hal ini memberikan gambaran bahwa perlu adanya suatu sarana bagi peningkatanperlindungan terhadap penggunaan perjanjian baku dan segala atributnya, yang tentu saja merugikan salah satu pihak pada perjanjian, Pengaturan dalam UUPK ini merupakan tonggak awal bagi adanya keseimbangan dalam penempatan pihak pada suatu perjanjian, Melihat perkembangan sampai saat ini ketidakseimbangan daya tawar para pihak ‘merupakan suatu hal yang sangat sulit untuk diawasi atau dikendalikan, Karena hal ini berkaitan dengan adanya unsur perlindungan dari kepentingan pihak yang lebih besar daya tawarnya untuk melindungi kepentingannya, serta adanya kebutuhan dari pihak yang berdaya tawar lebih rendah untuk menerima 14 Phi, lm, 124, 15 Sriwati, op. ct, him, 191 16 Ibid, 363 isi dari perjanjian itu." Sccara sederhana dapat kita katakan bahwa yang kuat adalah yang dominan menang masih berlaku, yang bisa kita hindari, dengan adanya pengaturan terhadap pemakaian perjanjian baku itu adalah adanya cksploitasi atau keadaan yang sedemikian merugikan bagi pihak yang lemah akibat adanya penggunaan paksaan maupun penyalahgunaan keadaan oleh pihak yang lebih kuat. Berdasarkan kondisi konsumen dan pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) diperlukan penegakan hukum sebagai upaya melindungi kepentingan konsumen ang timpang antara secara integratif dan komprehensif serta dapat diterapkan secara efektif di masyarakat. Peranan hukum tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat dan melahirkan perusahaan-perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui pelayanan dan penyediaan barang dan/ atau jasa yang berkualitas. Sikap keberpihakan, kepada konsumen itu juga dimaksudkan tinggi tethadap konsumen (wise consumerism)."” sebagai wujud kepedulian yang Jika konsumen diposisikan sebagi mitra yang sejajar kedudukan bukan sebagai objek di bank selaku pelaku usaha jasa keuangan yang memiliki kekuatan yang sama, maka selain akan meningkatkan kepercayaan juga mewujudkan keadilan ekonomi baik secara mikro maupun makro di bidang perbankan. 17 Yusuf Shofie dan Somi Awan, Sosok Peradilan Konsumen: Mengungkap Pethagai Persoalan Mendasar BPSK, (Gakarta: Piramedia, 2004), him, 14 364 B. Perlindungan Hukum Represif Bagi Dalam Penggunaan Baku Dengan Klausula Eksonerasi oleh Bank Sebagai Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK). Konsumen Perjanjian UU No. 8 Tahun 1999 tentang Hukum Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha dalam hal ini pihak bank yang menyatakan bahwa tunduknya — debitur kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan fanjutan yang dibuat sepihak oleh Bank dalam mas: perjanjian kredit, Sehingga jika ma ih terdapat pencantuman klausula demikian pada perjanjian kredit. Bank, maka perjanjian ini adalah batal demi hukum, yang berarti perjanjian batal secara keseluruhan Karena terdapat pencantuman Klausula baku. Ketentuan ini sepenuhnya bertujuan melindungi kepentingan konsumen (debitur) pengguna jasa perbankan. Meskipun ayat 1 KUHPdt (pacta sunt servanda) yang perjanjian diatur pada pasal 1338 menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya, ‘namun tidak dapat diterjemahkan secara serta merta dengan merugikan salah satu pihak. Diperlukan keseimbangan hak dan kewajiban sebagai syarat_utama guna mewujudkan keadilan, kepastian dan kemanfaatan, Sumber hukum lain yang menegaskan kedudukan 18 Inosensius Samsul, ARENA HUKUM Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, Halaman 356-369 konsumen adalah Pasal 18 (1) UUPK, ketentuan ini memiliki tujuan mengajak konsumen lebih peduli dengan hak dalam hubungan kontraktual sehingga dapat terhindar dari kedudukan sebagai pihak yang Jemah.Inosensius Samsul"* mengungkapkan bahwa “hukum perlindungan konsumen dinilai mengalami kemajuan yang luar biasa_pasca lahimya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan (untuk selanjutnya disingkat POJK Nomor 1/2013). Ketentuan tersebut memberikan sistem perlindungan konsumen yang spesifik, utamanya dalam bidang jasa keuangan’. Ruang lingkup perlindungan konsumen dalam peraturan tersebut meliputi tiga hal pokok. Pertama, pengaturan hak konsumen atas informasi, Hal ini dibuat sebagai upaya konsumen sebelum mencegah kerugian transaksi, Ini menjadi sistem pengawasan preventif terhadap pelaku jasa_keuangan. Kedua, berisi perlindungan hak atas fair agreement. Ketiga, berisi tentang kompensasi dan kerugian konsumen, Secara keseluruhan, POJK Nomor 1/2013 sesuai dengan Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, Selain itu, peraturan ini juga selaras dengan UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, khususnya Pasal 19 UUPK tentang tanggung jawab pelaku usaha, Ruang lingkup yang terdapat ‘Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen Pasca Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Peraturan OJK Nomor 1 Talun 2013", Seminat Hukum Kerja Sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan hukumonline.com, Jakarta, 21 November 2013, ‘Krlstiyanti, Perindungan Hukum bagi Konsumen Jasa Keuangan dalam dalam perlindungan konsumen tersebut sudah mencakupi kebutuhan konsumen, khususnya konstumen jasa keuangan, POIK ditindaklanjuti Edaran OJK yakni Surat Edaran OJK Nomor W/SEOIK.07/2014 Pelaksanaan Edukasi dalam Rangka —Meningkatkan Literasi Keuangan Kepada Konsumen dan/ 1/2013 terbitnya Nomor kemudian dengan Surat tentang atau Masyarakat (untuk selanjutnya disingkat SEOJK Nomor 1/2014), antara lain mengatur Pelaku Usaha Jasa Keuangan (PUJK) untuk memuat rencana edukasi ke dalam rencana bisnis tahunan dan kewajiban pelaporan pelaksanaannya kepada OJK. Penyusunan rencana edukasi harus mengacu kepada Strategi Nasional Literasi Keuangan_ yang telah diluncurkan oleh Presiden Republik Indonesia pada bulan Novernber 2013 lalu.” Pada tanggal 23 Januari 2014 OJK Kembali menerbitkan peraturan, —_yaitu Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/ POJK.07/2014 tentang Lembaga Altematif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (untuk selanjutnya disingkat POJK Nomor 1/2014), Tujuan pengaturan ini adalah untuk menciptakan mekanisme penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan yang cepat, murah, adil, dan efisien serta tersedianya mekanisme penyelesaian sengketa di sektor jasa keuangan yang bisa meningkatkan kepercayaan Kkonsumen terhadap pelaku usaha jasa keuangan. Jika pada setiap bank 19 Sindonews.com, 24 September 2016. 2K Terbitkan Aturan Perlindungan Konsumen™ 365 selaku pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) menyediakan lembaga penyelesaian sengketa intemal sebagaimana diatur pemerintah maka konsumen lebih mudah melakukan pengaduan karena menjadi kewajiban bank lebih dahulu ‘memfasilitasi penyelesaiannya, Sengketa perbankan selaku PUJK termasuk jika terjadi sengketa yang membawa kerugian pada konsumen akibat klausula baku yang memuat klausula eksonerasi maka penyelesaian sengketa harus dilakukan di bank selaku pelaku usaha jasa keuangan lebih dahulu, Perkembangan perjanjian baku yang memuat klausula eksonerasi di sektor jasa keuangan memperoleh respon dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan mengeluarkan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 Baku pada 20 Agustus 2014 yang berisikan tentang —Perjanjian ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan untuk menyesuaikan klausula dalam perjanjian baku sebagaimana diatur dalam Pasal 21 dan Pasal 22 POJK Nomor 1/POJK.07/2013. Surat mK SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, ‘menguraikan Edaran Nomor — 13/ secara lengkap kewajiban pelaku usaha jasa keuangan dalam membuat Klausula baku harus memenuhi keseimbangan, keadilan dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen. Segala bentuk perjanjian baku harus sesuai dengan ketentuan, yang berlaku, perjanjian baku dilarang (1) memuat klausula eksonerasi/eksemsi yang b_pullekbis sindonews.comiead, diakses 386 isinya menambah hak dan/atau mengurangi kewajiban PUJK, atau mengurangi hak dan/atau menambah kewajiban_ konsumen; (2) penyalahgunaan keadaan yaitu suatu kondisi dalam perjanjian baku yang memiliki indikasi_penyalahgunaan keadaan, Namun meskipun telah dikeluarkan SE OJK Nomor 13/SEOJK.07/2014 tentang Perjanjian Baku, yang mengatur secara lengkap yakni (1) Klausula dalam perjanjian baku serta melarang Klausula eksonerasi disertai dengan contoh konkrit; (2) format perjanjian baku selain dibuat dalam bentuk cetak juga dimungkinkan dalam bentuk digital atau disebut e-contract tidak menjadikan pelaku usaha jasa keuangan patuh terhadap aturan tersebut. Konsumen dengan posisi inferior karena keterbatasan baik ekonomi maupun tingkat pengetahuan tetap menjadi korban dari ulah bank selaku pelaku usaha yang mencari keuntungan melalui perjanjian baku dengan memuat klausula eksonerasi, yang disetujui konsumen dengan menandatangani, tanpa diberikan kesempatan oleh bank untuk membaca terlebih dahulu. Apabila terjadi sengketa konsumen terkait adanya Klausula eksonerasi_ maka upaya yang dapat dilakukan pertama kali adalah mengajukan pengaduan kepada PUJK untuk diselesaikan bersama secara_ musyawarah guna mencapai kesepakatan. Dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan diatur bahwa setiap PUJK. ‘wajib memiliki unit kerja dan atau fungsi ARENA HUKUM Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, Halaman 356-369 serta mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen, Jika penyelesaian sengketa di PUJK tidak mencapai kesepakatan, konsumen dapat_melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau melalui pengadilan, Upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui Lembaga Altematif' Penyelesaian Sengketa (LAPS)™. LAPS menyediakan layanan penyelesaian sengketa yang mudah diakses, murah, cepat, dilakukan oleh SDM yang kompeten dan paham mengenai industri jasa keuangan.! JK menetapkan kebijakan bahwa setiap sektor jasa keuangan memiliki satu LAPS. Lembaga tidak ini dibutuhkan apabila tercapai Kesepakatan _penyelesaian sengketa antara konsumen dan PUJK. Sejalan dengan karakteristik dan perkembangan di sektor jasa keuangan yang senantiasa cepat, , maka LAPS di sektor jasa keuangan memerlukan prosedur dinamis, dan penuh inovasi yang cepat, berbiaya murah, dan dengan hasil yang obyektif, relevan, dan adil. Sifat penyelesaian sengketa melalui lembaga ini adalah pihak yang bersengketa lebih nyaman dalam rahasia schingga _masing-masing melakukan proses penyelesaian sengketa dan tidak memerlukan waktu yang lama karena didesain dengan menghindari_ kelambatan procedural dan administratif. Selain itu, penyelesaian sengketa melalui LAPS di sektor jasa keuangan dilakukan oleh orang-orang yang memang memiliki 20 hutps/iwww:ojk go.idid/kanal/edukasi-dan-perlindungan-konsumen/Pages/Lembaga-Alteratif-Penyelesaian- Sengketa aspx, diakses 5 Oktober 2016 21 Ibid. ‘Krlstiyanti, Perindungan Hukum bagi Konsumen Jasa Keuangan dalam kompetensi/keahlian sesuai dengan jenis sengketa, sehingga dapat menghasilkan putusan yang obyektif dan relevan, Adanya LAPS _berupaya perlindungan hukum, serta adanya kepastian mewujudkan keadilan, bagi konsumen dan PUJK atas sengketa yang timbul, Putusan yang dihasilkan dalam penyelesaian sengketa melalui LAPS dapat dijadikan bahan pembelajaran oleh konsumen. ‘mengenai hak dan kewajibannya, Sedangkan bagi PUIK dalam hal ini bank selaku pelaku usaha, putusan dimaksud dapat digunakan untuk menyempurnakan dan mengembangkan produk dan/atau layanan yang dimiliki dengan menyesuaikan pada kemampuan dan kebutuhan konsumen. ‘Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan LAPS dalam penyelesaian engketa dapat berupa: 1. Mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa dengan menghadirkan pihak ketiga (mediator) yang membantu para pihak yang bersengketa mencapai k 2. Ajudikasi cepakatan. Merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui hadimya pihak Ketiga (ajudikator) guna menjatuhkan putusan atas sengketa yang timbul di antara pihak yang dimaksud. Putusan ajudikasi mengikat para pihak jika konsumen menerima, Dalam hal konsumen menolak, konsumen dapat mencari upaya penyelesaian lainnya. Arbitrase Merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan 387 yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa, Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Simpulan Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa UU No, 8 1999 Perlindungan Konsumen, telah membawa ‘Tabun tentang perubahan terhadap konsumen sebagai pihak yang seniantiasa dianggap lemah, pihak yang dirugikan diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum, Salah satu bentuk perlindungan konsumen yang diatur yakni perlindungan terhadap perjanjian baku dengan Klausula eksonerasi. Klausula eksonerasi ‘merupakan bentuk penyalahgunaan keadaan karena berdasarkan Pasal 18 UUPK, pelaku usaha dilarang = memuat klausula baku tertentu. maupun klausula eksonerasi dalam perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha dengan adanya pengalihan kewajiban atau tanggung jawab pelaku usaha. Pemahaman antara keseimbangan pelaku usaha dan konsumen lebih kepada pemenuhan_prinsip ad baik dan keadilan bagi para pihak, namun kenyataannya banyak terjadi para pelaku usaha/pihak jasa keuangan khususnya bank —memilikikecenderungan untuk ‘mengesampingkan hak-hak konsumen serta memanfaatkan kelemahan konsumennya (nasabah) tanpa harus mendapatkan_sanksi hukum, Guna memberikan kepastian hukum bagi konsumen dibentuk Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/POJK.07/2013 368 tentang Perlindungen Konsumen Scktor Jasa Keuangan (untuk selanjutnya disingkat POJK Nomor 1/2013). Dimaksudkan untuk memberikan sistem perlindungan konsumen yang spesifik, utamanya dalam bidang jasa keuangan. \ Upaya perlindungan hukum jika dirugikan pihak bank selaku pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) konsumen untuk memperoleh karena sengketa akibat klausula baku yang memuat klausula eksonerasi dapat dilakukan dengan 2 (dua) cara yakni a, Menyatakan perjanjian batal demi hukum karena telah melanggar aturan dengan mencantumka Klausula eksonerasi pada perjanjian baku. Hal ini diatur dalam Pasal 18 UUPK sehinga terdapat posisi dominan/ketidakseimbangan ——_bukan keseimbangan bagi para pihak. ARENA HUKUM Volume 12, Nomor 2, Agustus 2019, Halaman 356-369 b, Mengupayakan penyelesaian sengketa secara internal yang harus dilakukan di PUJK lebih dahulu secara musyawarah guna mencapai kesepakatan. Dalam Peraturan OJK tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan diatur bahwa setiap PUK wajib memiliki unit kerja dan atau fungsi serta mekanisme pelayanan dan penyelesaian pengaduan bagi konsumen. c. Jka para pihak tidak meneapai kesepakatan, konsumen dapat melakukan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi) atau melalui pengadilan (ltigasi). Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan melalui Lembaga Alternatif’ (LAPS), Penyelesaian —Sengketa DAFTAR PUSTAKA Buku Nasution, Az, Hukum — Perlindungan Konsumen, Diadit Media. Yogyakarta: Tarawang Press, 2001, Kristiyanti, Celina Tri Siwi . Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2014. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana Group, 2005 Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo, 2000, Shofie, Sosok Yusuf dan Somi Awan, Peradilan Konsumen: Mengungkap Pelbagai Persoalan Mendasar BPSK. Jakarta; Piramedia, 2004, Jurnal Sriwati, “Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Baku”, Jurnal Yustika Vol III, No. 2, (Desember 2000). Makalah Samsul, Inosensius. “Penegakan Hukum Perlindungan — Konsumen — Pasca Undang-Undang — Otoritas— Jasa Keuangan (OJK) dan Peraturan OJK ‘Krlstiyanti, Perindungan Hukum bagi Konsumen Jasa Keuangan dalam 369 Nomor 1 Tahun 2013”. Seminar Hukum Kerja Sama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan hukumonline.com. Jakarta, 2013. Wiwoho, Jamal. Optimalisasi , Penguatan dan Modernisasi_ Kelembagaan Keuangan Mikro Syariah Dalam Mewujudkan Financial Inclusion Menuju Kesejahteraan Masyarakat disampaikan pada kegiatan The Ist International Islamic Financial Inclusion Summit 2012_-yang diselenggarakan Oleh DPP GPANSOR. Surakarta: Diamond Convention Centre (Ball Room), 2012. Artikel Internet Sindonews.com. “OJK Terbitkan Aturan Perlindungan Konsumen”. b_p:il ekbis.sindonews.com/read/839060/32/ ojk-terbitkan-aturan-perlindungan- konsumen. Diakses 24 September 2016. http://www. ojk.go.id/id/kanal/eduka dan-perlindungan-konsumen/Pages/ Lembaga-Alternatif-Penyelesaian- Sengketa.aspx. Diakses 5 Oktober 2016 Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Hukum Perlindungan Konsumen Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 01/ POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan

Anda mungkin juga menyukai