Anda di halaman 1dari 14

Memahami Filantropi dan Filantropi Islam

Disusun Guna Memennuhi Tugas

Mata Kuliah : Filantropi Islam

Dosen Pengampu : H. Samsul Ridwan, MH

Disusun Oleh :

1. Rifati (1901046006)
2. Fajar Ardiansyah (1901046016)
3. Giana Dwi Yanuaringtyas (1901046034)

PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG

2021
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan karunia-Nya kepada kita semua,
sehingga kita masih diberi nikmat yang tidak dapat kita hitung berapa jumlahnya. Shalawat
serta salam kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Agung Muhammad SAW beliau lah
suri tauladan serta imam kita yang Insyaallah kita nantikan syafaatnya di hari akhir kelak.
Berkat rahmat Allah SWT tim penyusun mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna
memenuhi tugas mata kuliah Filantropi Islam.

Makalah ini kami susun dengan semaksimal mungkin serta bantuan dari beberapa pihak
sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan
makalah ini.

Terlepas dari semua itu kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih ada
banyak kekurangan baik dari segi penyusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu dengan tangan terbuka kami menerima segala kritik dan saran dari pembaca agar kami
dapat memeperbaiki makalah ini.

Akhir kata kami berharap semoga makalah yang berjudul “Memahami Filantropi
dan Filantropi Islam”dapat memberikan manfaat dan ilmu bagi para pembaca.

Semarang, 20 Maret 2022

Tim Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Di tengah gencarnya pembangunan nasional dan upaya peningkatan kesejahteraan


masyarakat, kita masih sering menjumpai ketimpangan di masyarakat; masih tingginya
angka kemiskinan, kesehatan dan lingkungan yang buruk, birokrasi yang korup, layanan
publik yang tidak memadai serta rendahnya taraf hidup masyarakat. Kehidupan sosial
belum sungguh-sungguh mencerminkan kesejahteraan sebagaimana yang diamanatkan
konstitusi dan ajaran agama. Padahal potensi dana filantropi sangat besar untuk
mengatasi problematika tersebut.

Filantropi merupakan suatu konsep yang telah terdapat dalam Islam, yang
bertujuan untuk kebaikan (al-birr), melihat kondisi tingkat sosial dan ekonomi mayarakat
yang berbeda-beda, ide atau konsep filantropi merupakan salah satu alaternatif bagi suatu
kelompok masyarakat untuk mengurangi kesenjangan sosial diantara masyarakat.
Dimaknai pula sebagai praktik kedermawanan dalam tradisi Islam melalui zakat, infak,
sedekah, dan wakaf (ZISWAF).

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Filantropi dan Filantropi Islam?
2. Apa saja Aspek-aspek Filantropi Islam?
3. Bagaimana implementasi Filantropi Islam di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Filantropi dan Filantropi Islam

Secara definisi, istilah filantropi (philanthropy) berasal dari bahasa Yunani,


terdiri dari dua kata yaitu Philos (cinta) dan Anthropos (manusia). Jika diterjemahkan
secara harfiah, filantropi adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving),
pelayanan (services) dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak
lain yang membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta. Istilah filantropi, sebagaimana
dikutip oleh Kasdi (2016), diartikan dengan rasa kecintaan kepada manusia yang
terpatri dalam bentuk pemberian derma kepada orang lain (Ilchman, 2006). Filantropi
juga dimaknai sebagai konseptualisasi dari praktik pemberian sumbangan sukarela
(voluntary giving), penyediaan layanan sukarela (voluntary services) dan asosiasi
sukarela (voluntary association) secara suka rela untuk membantu pihak lain yang
membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta.

Dalam Islam, filantropi bukanlah hal yang baru, tetapi telah ada sejak 15 abad
yang lalu sejak zaman Nabi Muhammad Saw. Hal ini karena perintah untuk berzakat,
infak, sedekah, dan wakaf, yang merupakan bagian dari filantropi, telah turun sejak
tahun kedua hijriyah. Di Indonesia, sebagaimana dijelaskan oleh Amelia Fauzia
(2016), praktik filantrofi telah ada sejak abad ke 19. Hal ini ditandai dengan tumbuh
dan berkembangnya lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah dan Pesantren, serta
berdirinya organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah (1912) dan Nahdlatul
Ulama (1926). Praktik zakat (almsgiving, sedekah (donation, giving), dan waqaf
(religious endowment) telah mengakar dalam tradisi masyarakat Islam dan
memainkan peranan penting antara negara dan civil society. 1

1
Fauzan amar,”Implementasi Filantropi Islam di Indonesia”. AL-URBAN: Jurnal Ekonomi Syariah dan Filantropi Islam. Vol. 1,
No. 1
B. Aspek-aspek Filantropi Islam

Filantropi yang diwujudkan oleh masyarakat Islam awal sampai sekarang dalam
berbagai aspek, seperti ZISWAF. Dalam perkembangan sejarah Islam, kegiatan filantropi
ini dikembangkan dengan berdirinya lembaga-lembaga yang mengelola sumber daya
yang berasal dari kegiatan filantropi yang didasari anjuran bahkan perintah yang terdapat
dalam Alquran dan Hadis. Selanjutnya lembaga filantropi ini semakin menunjukkan
signifikansinya, di antaranya karena perannya dalam upaya mengurangi kesenjangan
sosial (ekonomi) dalam masyarakat, begitu juga dalam bidang pendidikan, yang memiliki
misi dakwah dan penyebaran ilmu. Lebih jauh munculnya berbagai lembaga pendidikan
Islam, baik yang disebut madrasah, maupun zawiyah tidak dapat dipisahkan dari peran
filantropi Islam.

Indonesia memiliki lembaga filantropi yang mengelola zakat, infak, shadaqah


yaitu Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) merupakan badan resmi dan satu-satunya
yang dibentuk oleh pemerintah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 8 Tahun 2001
yang memiliki tugas dan fungsi menghimpun dan menyalurkan zakat, infaq, dan sedekah
(ZIS) pada tingkat nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang
Pengelolaan Zakat semakin mengukuhkan peran BAZNAS sebagai lembaga filantropi
yang berwenang melakukan pengelolaan zakat, infak, sedekah secara nasional. Dalam
UU tersebut, BAZNAS dinyatakan sebagai lembaga pemerintah nonstruktural yang
bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri Agama.

Dengan demikian, BAZNAS bersama Pemerintah bertanggung jawab untuk


mengawal pengelolaan zakat yang berasaskan : syariat Islam, amanah, kemanfaatan,
keadilan, kepastian hukum, terintegrasi dan akuntabilitas. Berdasarkan Alquran dan
Hadis, filantropi dalam Islam dapat diklasifikasikan dalam beberapa aspek filantropi,
yaitu Sebagai berikut :

1. Zakat

Zakat secara bahasa berarti suci, tumbuh, berkah dan terpuji. Sedangkan
secara istilah suatu ibadah wajib yang dilaksanakan dengan memberikan sejumlah
kadar tertentu dari harta sendiri kepada orang yang berhak menerima sesuai dengan
ketentuan syariat Islam. 2

Zakat secara etimologi mempunyai beberapa pengertian antara lain, yaitu


al barakātu (keberkahan), al namā (pertumbuhan dan perkembanngan), al
Ţahāratu (kesucian) dan al Şalahu (keberesan). Sehingga ibadah itu dinamakan
zakat karena dapat mengembangkan dan mensucikan serta menjauhkan harta dari
bahaya manakala telah dikeluarkan zakatnya. Sedangkan secara terminologis,
zakat adalah mengeluarkan sebagian harta yang telah memenuhi syarat tertentu
kepada yang berhak menerimanya dengan syarat-syarat tertentu pula.

Zakat pada awalnya ditinjau hanya dari sudut keagamaan karena zakat
merupakan ibadah yang utama dalam Islam dan permasalahan zakat termasuk
salah satu rukun (rukun ke-tiga) dari rukun Islam yang lima. Kemudian kajian
mengenai zakat juga datang dari sudut lain yang penting, yaitu persoalan zakat
ditinjau dari sudut kemasyarakatan dan sistem hidup di dunia. Zakat adalah ibadah
yang memiliki dua dimensi yaitu vertikal dan horisontal, yaitu merupakan ibadah
sebagai bentuk ketaatan kepada Allah (vertical) dan sebagai kewajiban kepada
sesama manusia (horizontal). Zakat juga sering disebut sebagai ibadah maaliyah
ijtihadiyah.3

Ayat Alquran berbicara mengenai zakat untuk menciptakan dan


memelihara kemaslahatan hidup serta martabat kehormatan manusia, dan Allah
SWT menciptakan syariat yang mengatur cara memanfaatkan harta dengan baik.
Salah satu cara memanfaatkan harta adalah dengan zakat, hal ini terdapat dalam
Alquran kemudian diperjelas oleh Allah dengan aktualisasi pada Nabi Muhammad
SAW. Bila merujuk pada Alquran, terdapat suatu sistem ekonomi Islam dalam
penerapan zakat, seperti lebih mengutamakan kesempatan dan pendapatan (Ali-
Imran: 180, at-Taubah:34), tidak menyetujui pemborosan (al-Isra:26), tidak
menyetujui spekulasi serta praktek-praktek ketidak jujuran dan penipuan (Huud:
85-86), dan Islam menghendaki semua bentuk perdagangan dilakukan dengan
2
Lazis Muhammadiyah, “Pedoman Zakat Praktis”, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004) hlm. 1-2
3
Abdiansyah Linge, “Filantropi Islam sebagai Instrumen Keadilan Ekonomi”, JURNAL PERSPEKTIF EKONOMI
DARUSSALAM Volume 1 Nomor 2, September 2015 ISSN. 2502-6976, Hal 6-10
usaha yang sah dan jujur serta perdagangan dilandasi dengan iman dan iktikad
yang baik.

Zakat memiliki tujuan untuk membangun kebersamaan, dengan tidak


menjadikan segala perbedaan yang ada dalam masyarakat mengarah kepada
kesenjangan sosial. Dalam hal ini minimalisasi dari realisasi zakat adalah
melindungi golongan fakir miskin dan tidak memiliki standar kehidupan yang
sesuai dan juga tidak memiliki makanan, pakaian, tempat tinggal. Adapaun target
maksimal dari realisasi zakat adalah dengan meningkatkan standar kehidupan
golongan fakir miskin hingga dapat mencapai tingkat kehidupan yang
berkecukupan. 4

2. Infaq
Infaq berasal dari bahasa Arab yaitu (anfaqa-yanfiqu-infaaqan) yang bermakna
mengeluarkan atau membelanjakan harta. Sehingga infaq dapat didefinisikan
memberikan sesuatu kepada orang lain untuk suatu kepentingan yang diperintahkan
oleh ajaran agama Islam. 5
Dalam pandangan Islam, infaq merupakan ibadah sunah. Berinfaq dan
mengamalkan sebagian harta adalah suatu yang sangat mulia. Infaq merupakan salah
satu perbuatan yang amat berkesan dalam kehidupan manusia dalam mencapai
kebahagiaan hidup, baik di dunia dan diakhirat. Infaq dalam ajaran Islam adalah
sesuatu yang bernilai ibadah diperuntukkan kepada kemaslahatan umat. Arti infaq
dalam bentuk yang umum ialah mengorbankan harta pada jalan Allah yang dapat
menjamin segala kebutuhan manusia menurut tata cara yang diatur oleh hukum.
Kewajiban berinfaq tidaklah terlepas pada zakat saja yang merupakan rukun Islam,
akan tetapi disamping itu mengandung sesuatu keharusan berinfaq dalam memelihara
pada dirinya dan keluarganya. Di dalam pemeliharaan umat dalam menjamin dan
menolong terhadap kebaikan dan ketaqwaan. 6
Infak tidak mengenal nisab, sehingga infak dikeluarkan oleh setiap orang yang
beriman yang berpenghasilan tinggi maupun rendah dan disaat lapang ataupun
4
Qardhawi Yusuf, Dauru al-Zakat fi’Ilaaj al-Musykilaat al-Iqtishaadiyah, terj. Sari Narulita, ”Spektrum Zakat Dalam
Membangun Ekonomi Kerakyatan”, Jakarta: Zikrul, 2005
5
Didin Hafifuddin, “Zakat Infak dan Sodakoh”, Jakarta: Gema Insani, 2002
6
Bably Muhammad Mahmud, (1990) “Kedudukan Harta Menurut Pandangan Islam”, terj. Abdul Idris Jakarta : Kalam Mulia
sempit. Zakat harus diberikan kepada mustahik tertentu, tapi dalam infak boleh
diberikan kepada siapa saja, misalnya untuk kedua orang tua, istri, anak yatim, dan
sebagainya.
Islam telah menentukan tatacara berinfak yaitu membuat ketentuan-
ketentuannya, dan tidak membiarkan pemilik harta bebas mengelolanya dan
menafkahkan sekehendaknya. Wujud pelaksanaan infak seseorang bisa dengan cara
mentransfer hartanya dengan tanpa kompensasi kepada orang lain, ataupun kepada
orang yang nafkahnya menjadi kewajiban. Wujud infak, bila kegiatan dilaksanakan
ketika masih hidup, seperti hibah, hadiah, sedekah, serta nafkah, bila dilaksanakan
setelah meninggal seperti wasiat.7

3. Shadaqah

Kata sedekah berasal dari bahasa arab yaitu shadaqa, artinya benar, menurut
terminologi syariah, pengertian sedekah sama dengan pengertian infak, termasuk juga
hukum dan ketentuannya, penekanan infak berkaitan dengan materi, sedangkan
sedekah memiliki arti lebih luas menyangkut hal yang bersifat non-materi.

Islam tidaklah menetapkan seberapa besar harta yang disedekahkan, namun


mendidik manusia untuk mengeluarkan harta dalam bersedekah dan berinfak baik
dikala susah ataupun senang, siang ataupun malam, dan secara sembunyisembunyi
ataupun terang-terangan sesuai dengan kemampuan. Jika manusia enggan berinfak
atau bersedekah, maka sama halnya dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan. “Dan
belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan
dirimu sendiri kedalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah
Menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (Q.S. AlBaqarah:195). 8

7
Udin Saripudin, “Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi”, Jurnal Bisnis dan manajemen Islam, Vol. 4, No. 2, Desember
2016, Hal 170.
8
Udin Saripudin, “Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi”, Jurnal Bisnis dan manajemen Islam, Vol. 4, No. 2, Desember
2016, Hal 172.
Shadaqah berarti pemberian seseorang secara ikhlas kepada yang berhak
menerimanya yang akan diiringi pahala dari Allah, sehingga shadaqah mempunyai
arti yang lebih luas, baik materiil maupun nonmaterial. 9

Sedekah yang merupakan kata lain dari derma menurut KBBI berarti
pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya, di luar
kewajiban zakat dan zakat fitrah sesuai dengan kemampuan pemberi.

4. Wakaf
Bentuk filantropi dalam Islam adalah wakaf (waqf), masdar dari kata kerja
waqafa-yaqifu, yang berarti “melindungi atau menahan”. Menurut Imam Syafi’i
wakaf adalah suatu ibadat yang disyariatkan. Wakaf itu telah berlaku sah, bilamana
orang yang berwakaf (Wakif) telah menyatakan dengan perkataan "saya telah
mewakafkan (waqffu), sekalipun tanpa diputus oleh hakim”. Bila harta telah
dijadikan harta wakaf, orang yang berwakaf tidak berhak lagi atas harta itu, walaupun
harta itu tetap ditangannya, atau dengan perkataan lain walaupun harta itu tetap
dimilikinya.
Wakaf adalah instrumen filantropi Islam yang unik yang mendasarkan
fungsinya pada unsur kebajikan, kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri
utama wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan terjadi
pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT yang diharapkan
abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf diharapkan akan
terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat
pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).
Para ulama menafsirkan istilah shodaqoh jariyah disini dengan wakaf. Hadist
Riwayat Bukhari Muslim, yang menceritakan bahwa pada suatu hari sahabat Umar
datang pada Nabi Muhammad SAW untuk minta nasehat tentang tanah yang
diperolehnya di Ghaibar (daerah yang amat subur di Madinah), lalu ia berkata; Ya
Rasulullah, apakah yang engkau perintahkan kepadaku rnengenai tanah itu ? Lalu
Rasulullah berkata: Kalau engkau mau, dapat engkau tahan asalnya (pokoknya) dan
engkau bersedekah dengan dia, maka bersedekahlah Umar dengan tanah itu, dengan
9
Makhrus, “Dinamika dan Aktivisme Filantropi Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat”, (Yogyakarta : Litera Suronatan NG
II/863), Hal 20
syarat pokoknya tiada dijual, tiada dihibahkan dan tiada pula diwariskan(HR.
Bukhari, Mulim).
Menurut jumhur ulama, keumuman dalil ini menunjukkan di antara cara
mendapatkan kebaikan itu adalah dengan menginfaqkan sebagian harta yang dimiliki
seseorang di antaranya melalui sarana Wakaf. Di samping itu sabda Rasulullah SAW
tentang kisah Umar bin Khattab di atas, jumhur ulama mengatakan bahwa Wakaf itu
hukumnya sunah, tetapi ulama-ulama Mahzab Hanafi mengatakan bahwa Wakaf itu
hukumnya mubah (boleh).

C. Implementasi Filantropi Islam di Indonesia


Di Indonesia, praktik filantropi telah ada sejak abad ke 19. Hal ini ditandai
dengan tumbuh dan berkembangnya lembaga pendidikan Islam seperti Madrasah dan
Pesantren, serta berdirinya organisasi-organisasi Islam seperti Muhammadiyah (1912)
dan Nahdlatul Ulama (1926). Praktik zakat (almsgiving, sedekah (donation, giving),
dan waqaf (religious endowment) telah mengakar dalam tradisi masyarakat Islam dan
memainkan peranan penting antar negara dan civil society. Modernisasi dan
profesionalisasi pengelolaan zakat di Indonesia di rintis oleh Dompet Dhuafa
Republika sejak era 1990-an. Hal itu ditandai dengan adanya transpransi dan
akuntabilitas dana zakat melalui audit akuntan publik yang independen dan
dipublikasikan secara transparan melalui media masa, profesionalisme amil zakat
yang bekerja full time sesuai dengan keahliannya, serta program-program
penghimpunan, pengelolaan dan pendayagunaan zakat yang lebih menyentuh pada
sisi kebutuhan para penerima zakat (mustahik). Dan puncaknya adalah lahirnya
Undang Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat sebagai landasan
konstitusional dalam mengelola zakat di Indonesia. Salah satu kelembagaan filantropi
yaitu LAZIZMU. Perserikatan Muhammadiyah sejak sejak awal berdirinya (masa-
masa formasi awal), lebih tampil sebagai gerakan amal (aphilanthropical movement),
bahkan gerakan amal/filantropi par excellence. muhammadiyah tidak begitu tertarik
dengan polemik keagamaan, melainkan lebih cenderung pada kerja-kerja
kemanusiaan, kedermawanan, cinta sesama, dan gandrung pada amal. Mereka dikenal
sebagai orang-orang yang pemurah, dermawan, suka menolong pada sesama. Bagi
mereka Islam itu lebih mementingkan amal dari pada spekulasispekulasi teologis
(Tohari, 2017). Semangat filantropi Kata oemoem dalam frase Penolong
Kesengsaraan Oemoem penekanannya pada kerja-kerja kemanusiaan tanpa
memandang latar belakang seseorang. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh pendiri
Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan:“Hadjatnja PKO itoe akan menolong
kesengsaraan dengan memakai asas agama Islam dengan segala orang, tidak dengan
membela bangsa dan Agama saja”. Menolong orang itu sekalipun kewajiban ajaran
agama Islam, tetapi diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan (oemoem), tanpa
melihat suku, agama, ras dan golongannya, atau yang konteks sekarang disebut
dengan pluralisme. Karena itu, pluralisme, keanekaragaman, kebhinekaan dalam
Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang diucapkan dan diwacanakan tetapi tetapi
telah dipraktikan secara turun temurun oleh Muhammadiyah sejak berdiri sampai
sekarang. KH. Ahmad Dahlan memang memakai asas agama Islam, yaitu isi dari
kandungan Al-Quran Surah 107: AlMa’un, yang artinya sendiri:
“Pemberian Pertolongan (helping)!”, namun dalam praktiknya pertolongan itu
diberikan kepada siapa saja yang membutuhkan. Itulah sebabnya, KH Ahmad Dahlan
mengajarkan surat Al-Maun itu secara berulang-ulang sampai muridnya bosan dan
bertanya, “apa tidak ada surat lain selain surat Al-Maun?”. Pertanyaan dijawab
dengan “apakah kalian sudah mempraktikan kandungan dalam surat tersebut?, jika
belum mari kita praktikan”. Hal ini sebagaimana kita saksikan dalam dialog film
Sang Pencerah, yang menggambarkan sosok dan sepak terjang KH. Ahmad Dahlan,
pendiri Muhammadiyah. Dengan semangat Islam berkemajuan, dilakukan reformasi
dan modernisasi pengelolaan zakat (almsgiving), infak, sedekah (donation) dan Waqf
(religious endowment), sehingga menjadi berhasil dan berdaya guna bagi umat dan
bangsa. Hasilnya, sebagaimana diungkapkan dalam hasil penelitian Hilman Latief
(2010) Muhammadiyah tampil sebagai kekuatan filantropi modern. Dari
Muhammadiyah yang berasas agama Islam untuk kemanusiaan universal. Sampai
sekarang, Lembaga Amil Zakat, Infak dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu),
“mengklaim” telah membuktikan diri sebagai organisasi pengelola zakat yang
menghimpun ZIS terbesar di Indonesia. Penghimpunan ZIS Lazismu sejak 2010-2016
mengalami peningkatan. Terhitung sejak 2010 dana zakat yang digalang mencapai
Rp.5.403.530.898,00. Perolehan itu di tahun berikutnya mencapai Rp
8.565.285.200,00. Sedangkan di tahun 2013, perolehan zakat yang terkumpul sebesar
Rp 6.161.024.726,00. Kenaikan signifikan di tahun-tahun berikutnya mulai terlihat.
Hal ini dipengaruhi oleh bertambahnya jaringan kerja Lazismu dan programprogram
inovatif Lazismu yang dilaksanakan di setiap wilayah di Indonesia. Di tahun 2014,
total penghimpunan yang diperoleh Lazismu sebesar Rp 59.790.930.569. Sedangkan
di tahun 2015, ZIS dan donasi lainnya yang dihimpun menembus angka Rp
54.127.188.051. Pada tahun 2016, ZIS terkumpul sebanyak Rp 85.716.536.953.
Untuk itu, dapat dicatat bahwa kenaikan rerata ZIS setiap tahun sejak 2010-2016
adalah 24,33 persen (Zakat Outlook Lazismu 2017). berhak menerima sebesar Rp
65.709.546.664. Dengan asumsi jumlah penerima manfaat sebanyak 158.145 orang,
maka jika digabungkan dengan penerima manfaat kurban yang sebanyak 3.967.985,
total penerima manfaat adalah 4.126.130 orang. Berdasarkan pemaparan tersebut,
lintasan sejarah filantropi dalam Islam, khususnya di Muhammadiyah, tidak hanya
semata-mata dilandaskan pada argumentasi teologis dan syariah, tetapi juga tradisi
filantropi itu sendiri yang memang telah ada secara turun temurun. Ini sebuah modal
sosial yang penting dan strategis, karena filantropi ada basis historis dan sosiologis
yang mengiringi tumbuh dan berkembangnya filantropi yang menyertai sejarah Islam
itu sendiri. 10

10
Faozan amar,2017, “Implementasi filantropi islam di Indonesia”, Jurnal Ekonomi Syariah dan Filantropi Islam
Vol. 1, No. 1.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Istilah filantropi (philanthropy) berasal dari bahasa Yunani, terdiri dari dua
kata yaitu Philos (cinta) dan Anthropos (manusia). Jika diterjemahkan secara harfiah,
filantropi adalah konseptualisasi dari praktek memberi (giving), pelayanan (services)
dan asosiasi (association) secara sukarela untuk membantu pihak lain yang
membutuhkan sebagai ekspresi rasa cinta.

Dalam perkembangan sejarah Islam, kegiatan filantropi ini dikembangkan


dengan berdirinya lembaga-lembaga yang mengelola sumber daya yang berasal dari
kegiatan filantropi yang didasari anjuran bahkan perintah yang terdapat dalam
Alquran dan Hadis. Selanjutnya lembaga filantropi ini semakin menunjukkan
signifikansinya, di antaranya karena perannya dalam upaya mengurangi kesenjangan
sosial (ekonomi) dalam masyarakat, begitu juga dalam bidang pendidikan, yang
memiliki misi dakwah dan penyebaran ilmu.

B. Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan dan kekhilafan oleh karena itu, kepada para pembaca dan para pakar
utama penulis mengharapkan saran dan kritik ataupun tegur sapa yang sifatnya
membangun akan diterima dengan senang hati demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.
Kepada semua pihak khususnya kepada dosen pembimbing mata kuliah Tafsir
Tematik yang telah memberikan saran dan kritik konstruktif demi kesempurnaan
makalah ini. Kami ucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA

Abdiansyah Linge, (2015) “Filantropi Islam sebagai Instrumen Keadilan Ekonomi”, JURNAL PERSPEKTIF EKONOMI
DARUSSALAM Volume 1 Nomor 2, September ISSN. 2502-6976.

Amar Faozan ,2017. Implementasi filantropi islam di indonesia.Jurnal Ekonomi Syariah dan Filantropi Islam
Vol. 1.

Amar Fauzan.”Implementasi Filantropi Islam di Indonesia”. AL-URBAN: Jurnal Ekonomi Syariah dan Filantropi Islam. Vol. 1.

Bably Muhammad Mahmud, (1990) Kedudukan Harta Menurut Pandangan Islam, terj. Abdul Idris Jakarta : Kalam Mulia

Hafifuddin Didin,(2002), Zakat Infak dan Sodakoh, Jakarta: Gema Insani,

Makhrus, “Dinamika dan Aktivisme Filantropi Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat”, (Yogyakarta : Litera Suronatan NG
II/863)

Muhammadiyah Lazis, 2004, Pedoman Zakat Praktis, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah)

Saripudin Udin, (2016), “Filantropi Islam dan Pemberdayaan Ekonomi”, Jurnal Bisnis dan manajemen Islam, Vol. 4, No. 2,
Desember.

Yusuf Qardhawi, 2005, Dauru al-Zakat fi’Ilaaj al-Musykilaat al-Iqtishaadiyah, terj. Sari Narulita, ”Spektrum Zakat Dalam
Membangun Ekonomi Kerakyatan”, Jakarta: Zikrul

Anda mungkin juga menyukai