Anda di halaman 1dari 6

Nama : Nanda Dwi Fadhilah

Kelas : XI. Keperawatan

HORMON PERTUMBUHAN ( SOMATOTROPIN )

A. Pengertian

Somatotropin adalah hormon polipeptida yang memiliki berat molekul 22.000. Hormon ini merupakan
10% dari berat kelenjar hipofisis kering. Hormon polipeptida berasal dari protein berupa 191 rantai asam
amino yang disintesis, disimpan dan dilepaskan oleh sel somatotroph di dalam sayap anterior kelenjar
pituari. Somatotropin disingkat GH untuk hewan dan rhGH untuk manusia karena faktor DNA
rekombinan.

Somatotropin berperan dalam mengendalikan pertumbuhan tulang, otot dan organ serta
memengaruhi kecepatan pertumbuhan tubuh dengan memberikan stimulasi kepada hati untuk
mensekresi hormon somatomedin, sebuah hormon perkembangan yang memberikan stimulasi lebih
lanjut terhadap sel untuk berkembang biak. Seseorang yang kelebihan hormon ini akan mengalami
pertumbuhan luar biasa yang disebut gigantisme pada anak dan akromegali pada orang dewasa. Orang
yang kekurangan hormon ini akan mengalami kekerdilan ( dwarfisme ). Hormon ini dikeluarkan oleh
hipofisis. Disamping hormone pertumbuhan, beberapa hormone lain juga berperan dalam proses
pertumbuhan dan perkembangan normal yaitu hormone tiroid, insulin, androgen dan estrogen.
Pemberian hormone pertumbuhan pada pasien hipopituitarisme menyebabkan pertumbuhan normal
apabila pengobatan dimulai cukup dini. Pematangan alat kelamin tidak terjadi tanpa pemberian
hormone kelamin atau gonadotropin. Gigantisme dan akromegali tidak pernah dilaporkan terjadi akibat
terapi dengan hormone ini.

Hormon Pertumbuhan Manusia akan berkurang seiring dengan pertambahan usia. Pada umur 60 tahun
volume Hormon Pertumbuhan hanya tinggal sebesar 25% jika dibandingkan dengan usia 21 tahun.
Faktor-faktor yang membuat proses penuaan manusia jauh lebih cepat dari yang seharusnya adalah
factor pola hidup yang tidak sehat.

EFEK HORMON SOMATOTROPIN TERHADAP METABOLISME

Hormon pertumbuhan memiliki efek penting pada metabolisme protein, lipid dan karbohidrat
dengan mekanisme kerja belum jelas. Hormon lain yaitu insulin, glukokortikoid, katekolamin dan
glucagon juga berpengaruh terhadap pengaturan zat-zat ini. Dalam beberapa kasus, efek langsung
hormon pertumbuhan telah jelas menunjukkan, pada orang lain, IGF-I dianggap sebagai mediator kritis,
dan beberapa kasus tampak bahwa efek baik langsung dan tidak langsung yang berperan.

Pengaruh hormone ini terhadap metabolisme karbohidrat saling berkaitan sehingga sukar dirinci satu
persatu. Hormon pertumbuhan memperlihatkan efek anti-insulin yaitu meninggikan kadar gula darah,
tetapi disamping itu juga berefek seperti insulin yaitu menghambat penglepasan asam lemak dan
merangsang pengambilan asam amino oleh sel. Efek ini sebagian besar mungkin dipengaruhi oleh
somatomedin C atau disebut juga IGF-1 (insulin like growth factor 1) dan sebagian kecil oleh IGF-2
(insulin like growth factor 2).

Hormon pertumbuhan terbukti berpengaruh pada penyakit diabetes mellitus. Pasien diabetes sangat
sensitive terhadap terjadinya hiperglikemia oleh hormone pertumbuhan. Pada pasien bukan diabetes
mellitus, hormone ini dapat diberikan dalam dosis besar tanpa menyebabkan hiperglikemia, bahkan
sebaliknya kadang-kadang dapat menyebabkan hipoglikemia pada pemberian akut karena
mempermudah glikogenesis. Pada keadaan lapar, hormone pertumbuhan menyebabkan mobilisasi
lemak dari depot lemak untuk masuk ke peredaran darah. Hormon ini sepertinya mengalihkan sumber
energy dari karbohidat ke lemak.

Efek GH terhadap pertumbuhan terutama terjadi melalui peningkatan produksi IGF-1, terutama
dibentuk dalam hepar. Selain itu GH juga merangsang produksi IGF-1 di tulang, tulang rawan, otot dan
ginjal. GH merangsang pertumbuhan longitudinal tulang sampai epifisis menutup, hampir saat akhir
pubertas. Baik pada anak-anak ataupun dewasa, GH mempunyai efek anabolic pada otot dan katabolic
pada sel-sel lemak sehingga terjadi peningkatan masa otot dan pengurangan jaringan lemak terutama di
daerah pinggang. Terhadap Metabolisme karbohidrat, GH dan IGF-1 mempunyai efek yang berlawanan
pada sensitivitas terhadap insulin.

GH menurunkan sensitifitas terhadap insulin sehingga terjadi hiperinsulnemia. Sebaliknya, pada


pasien yang tidak sensitive terhadap GH karena mutasi receptor, IGF-1 bekerja melalui receptor IGF-1
dan receptor insulin mengakibatkan penurunan kadar insulin dan kadar glukosa. Seseorang yang
kelebihan hormon ini akan mengalami pertumbuhan luar biasa yang disebut gigantisme. Orang yang
kekurangan hormon ini akan mengalami kekerdilan. Hormon ini dikeluarkan oleh hipofisis.

Manusia setiap waktunya mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Namun pada usia tertentu
kemampuan manusia untuk tumbuh dan berkembang akan mengalami penurunan. Pertumbuhan dan
perkembangan pada manusia diatur oleh namanya hormon manusia yaitu somatotropin. Pada hormon
pertumbuhan manusia, sebenarnya tidak hanya hormon somatotropin yang bekerja tetapi ada hormon
lain yang ikut berperan serta seperti hormon prolaktin (PRL) dan somatotropin korionik manusia (hCS).

B. Gangguan atau Penyakit yang di sebabkan oleh Hormon Somatrotopin adalah sebagai
berikut

1. Hipersekresi Somatotropin

Hipersekresi somatotrpin adalah kelainan hormon somatotropin (GH) yang menghasilkan kelebihan
hormon somatotropin untuk disekresikan. Dampak dari kelainan hipersekresi somatotrpin adalah
seseorang akan mengalami pertumbuhan yang cepat seperti raksasa. Pertumbuhan bisa menjadi raksasa
karena hormon hipersekresi somatotropin bekerja apabila ada kadar glukosa dalam darah. Pada orang
yang mengalami hipersekresi somatotropin, kadar glukosa dalam darah tinggi sehingga hormon
somatotropin bekerja sangat lebih banyak dan cepat menyebabkan seseorang mengalami pertumbuhan
yang tidak normal. Orang dengan pertumbuhan normal pada pria dan wanita sangat berbeda. Hormon
somatotropin pada pria akan bekerja lebih cepat apabila seorang pria berusia remaja sekitar 13 tahun
sampai 16 tahun. Pada wanita, hormon somatotropin akan bekerja lebih cepat mulai dari lahir sampai
usia 18 tahun. Tidak hanya diseluruh tubuh tetapi hormon somatotrpin bekerja secara terbatas pada
tulang, otot, dan kulit. Oleh karena itu, masalah hipersekresi somatotropin sangat mudah terlihat pada
pertumbuhan tinggi seseorang yang tumbuh sangat tinggi dari usia normalnya.

Seseorang yang mengalami hipersekrsei somatotropin bisa mengalami 2 (dua) jenis tipe kelainan yaitu
gigantisme dan akromegali.

a). Gigantisme

Gigantisme adalah sebuah keadaan di mana seseorang mengalami pertumbuhan yang tidak normal.
Kelainan ini disebabkan oleh adanya hormon pertumbuhan (growth hormone) yang berlebih. Kondisi
yang langka tersebut dapat menyebabkan penderita mengalami pertumbuhan yang sangat pesat.
Keadaan yang paling sering terlihat pada penderita adalah pertumbuhan berlebihan pada tinggi badan,
otot, maupun organ-organ tubuh. Sebagai akibatnya, penderita akan tampak lebih besar daripada orang
seusianya.

Kelebihan hormon pertumbuhan pada gigantisme terjadi akibat kelenjar pituitari yang memproduksi
terlalu banyak hormon pertumbuhan yang dikenal dengan istilah somatotropin. Kelenjar pituitari sendiri
merupakan sebuah kelenjar yang berukuran sebesar kacang dan terletak pada bagian dasar otak.
Kelenjar ini berperan dalam produksi sejumlah hormon yang memengaruhi fungsi tubuh yang meliputi
pengaturan suhu, perkembangan seksual, pertumbuhan, metabolisme, serta produksi urine

b). Akromegali

adalah penyakit yang muncul karena tubuh orang dewasa kelebihan hormon pertumbuhan (growth
hormone). Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan secara berlebihan di berbagai organ serta jaringan
otot dan tulang, khususnya pada kaki, tangan, dan wajah. seseorang yang memiliki kelainan ini
berpengaruh pada kondisi tangan dan kaki. Bentuk tangan dan kaki dari orang yang mengidap
akromegali berupa persegi empat yang membesar, wajah menjadi kasar dan jari tangan lebih membulat
dan tumpul.

2. Hipopituitarisme

Hipopituitarisme adalah penyakit yang terjadi akibat kurangnya hormon yang dihasilkan kelenjar di otak,
yang disebut kelenjar hipofisis atau pituari. Kondisi ini bisa membuat berat badan menurun hingga
kemandulan. Kelenjar pituitari atau kelenjar hipofisis merupakan kelenjar berukuran sebesar kacang
polong yang terletak di bagian bawah otak. Secara umum, kelenjar ini berfungsi untuk menghasilkan
hormon yang mengatur berbagai fungsi organ tubuh.
Penyebab Hipopituitarisme :

Hipopituitarisme terjadi karena kelenjar pituitari tidak dapat menghasilkan hormon dalam jumlah yang
cukup. Kondisi ini dapat disebabkan oleh berbagai hal, namun sebagian besar disebabkan oleh tumor
pituitari. Selain disebabkan oleh tumor, hipopituitarisme juga dapat disebabkan oleh cedera pada
kelenjar tersebut, misalnya karena komplikasi operasi daerah otak.

C. Contoh Kasus

Seorang perempuan berusia 15 tahun kontrol ke poli endokrin RSUP Sanglah dengan keluhan
pertumbuhan terhambat yang dialami sejak ± 3 tahun lalu. Keluhan ini ditandai dengan tidak
bertambahnya tinggi pasien dan juga belum mengalami menstruasi hingga saat ini. Keluhan ini juga
disertai adanya gangguan penglihatan berupa kabur dan posisi bola mata kiri yang agak tertarik kearah
kiri sehingga membuat pasien tidak nyaman. Pasien juga kadang sering merasa lemas dan kadang tidak
antusias/bertenaga dalam aktifitas. Nafsu makan sedikit berkurang sehingga berat badan tidak pernah
bertambah. Buang air kecil dikatakan tidak ada kelainan. Tidak ada riwayat sakit kepala ataupun muntah
proyektil hebat sebelumnya. Pasien sebelumnya kontrol di rumah sakit daerah dengan pengobatan
thyrax 100 mcg/hari selama 6 bulan dan telah dilakukan beberapa pemeriksaan hingga didiagnosa
adenoma hipofisis.

Kemudian pasien kontrol kembali ke RSUP sanglah dan dilakukan beberapa pemeriksaan, di antaranya
yaitu : MRI kepala dengan hasil massa hiperintens yang berbatas tegas dengan parenkim di sekitarnya di
intersella sampai supra sella dengan ukuran 31 mm x 35 mm aksial, dan korona 30 mm x 49 mm. Pasien
kemudian dilakukan tindakan operasi dan biopsi jaringan massa dan didapatkan jaringan menyerupai
adamantimoma tanpa ada sel-sel ganas, hingga disimpulkan suatu kraniofaringioma. Setelah dilakukan
tindakan operasi, pasien kemudian disarankan untuk kontrol ke poli endokrin untuk menilai fungsi
hormonal paska operasi.

Pada pemeriksaan fisik dijumpai penderita dengan kesadaran compos mentis, tekanan darah 120/80
mmHg, nadi 90 x/menit kuat angkat, pernapasan 20x/menit, suhu aksila 36,5C. Status gizi cukup (berat
badan 36 kg dengan tinggi badan 136,5 cm, Indeks Massa Tubuh: 19,46 kg/m2). Tinggi badan kesan tidak
sesuai dengan usia. Pada mata kiri tampak occuli sinistra retraksi, pertumbuhan rambut ketiak, pubis,
kaki, dan tangan terhambat.

Beberapa hormone diperiksa untuk memantau kinerja fungsi pituitari, yaitu Insulin Growth Factor-1
(IGF-1) 42 ng/ml (normal: 226-903 ng/ml), hormone kortisol 1,48 µg/dl (normal : 4,30 – 22,4 µg/dl) ,
prolactin 3,00 ng/ml (normal 4,90-19,10 ng/ml) , Thyroid Stimulating Hormone (TSH) 0,06 µIU/ml
(normal: 0,25-5,00 µIU/ml), Free Tyroxine (FT4) 1,25 ng/dl (normal 0,93-1,70 ng/dl), Luteinizing
Hormone (LH) <0,01 mIU/ml (normal 0,7-2,0 mIU/ml), Follicle Stimulating Hormone (FSH) 0,14 mIU/ml
(normal 0,38-3,6 mIU/ml).
Secara keseluruhan dapat disimpulkan adanya penurunan beberapa hormon yang disekresikan oleh
pituitari sehingga direncanakan pemberian terapi pengganti hormon. Sebelum diberikan terapi, perlu
dilakukan foto usia tulang (bone age) untuk melihat masih terbukanya atau menutup epifisis dari tulang
panjang. Pada foto radiologi tulang panjang didapatkan lempengan pertumbuhan epifisial masih
terbuka, trabekulasi normal, celah dan permukaan sendi tampak normal, tak tampak pembengkakan
jaringan lunak disekitarnya, dan disimpulkan bahwa foto tulang panjang tersebut sesuai untuk usia anak
perempuan 9 tahun 6 bulan. Pasien juga dikonsulkan ke bagian obstetri ginekologi (obgin) untuk
dievaluasi terkait hormon seksual.

Dari hasil evaluasi bagian obgin menyatakan bahwa pasien dengan keterlambatan pubertas dengan
riwayat operasi kraniofaringioma dan pituitari dengan USG blast tersisi penuh, uterus dengan ukuran
4,22 x 1,78, disimpulkan dengan amenorea primer.

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang dan hasil konsultasi dari bagian lain
maka pasien didiagnosa dengan hipopituitarisme et causa kraniofaringioma + post op hipofisektomi
disertai amenorea primer. Pada bulan Januari 2016, pasien ini mulai diterapi dengan hormon pengganti
levotiroksin 100 mcg io @ 24 jam, growth hormone (ginetrophin) 0,3 ml sc @ 24jam, cycloprogniova
(estradiol) 2 mg io @24 jam, dan prednison 2,5 mg io @ 24 jam. Pasien ini kemudian di monitoring
kembali tinggi badan,berat badan dan juga kadar hormonalnya.

D. Kesimpulan

Telah dilaporkan kasus hipopituitarisme akibat paska terapi pembedahan kraniofaringioma.


Diagnosis ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis yaitu adanya gangguan pertumbuhan baik dari
tinggi badan, pertubuhan tulang, rambut pada pubis, ketiak, atau ekstremitas, pasien tampak lemas,
nafsu makan berkurang sedikit, dan saat kontrol pasien belum haid. Dari pemeriksaan MRI kepala +
kontras menunjukan adanya massa di intersella sampai supra sella. Diagnosa hipopituitari didapatkan
dari beberapa pemeriksaan hormonal yang terjadi. Penatalaksanaan yang telah dilakukan yaitu terapi
pengganti hormonal GH, glukokortikoid, tiroksin, dan estradiol. Monitoring dilakukan tiap 3 bulan awal
yang kemudian nantinya dapat diulang tiap 6 bulan. Oleh karena adanya keterbatasan biaya dalam
pemeriksaan, maka beberapa tes stimulasi tidak dilakukan begitu juga pada proses pemantauannya.

E. Referensi

1. Prabhakar VKB, Shalet SM. Aetiology, Diagnosis, and Managament of Hypopituitarism an Adult Life.
Postgrad Med J. 2006;82:259-66.
2. Seong YK. Diagnosis and Treatment of Hypopituitarism. Endocrinol Metab. 2015;30:443-55.
3. Zoicas F, Schofl C. Craniopharyngioma in Adults. Frontiers in Endocrionology. 2012;3(46):1-8.
4. Roijen, L van, Beckers A, Stevenaert A, Busschbach, Jan J van, Eijk, W van, Rutten FFH. The Burden of
Hypopituitarism in Adults After Pituitary Surgery. Endocrinology and Metabolism. 1997;4(Suppl.B):139-4

5. Ida Bagus Aditya Nugraha1 , Made Arie Dwi Winarka1, A.A. Gd. Budhiarta2 2017 Jurnal Penyakit
Dalam Udayana Journal of Internal Medicine Volume 1, No 2: 2017 ; 57- 62

Anda mungkin juga menyukai