Anda di halaman 1dari 17

TUGAS SEMINAR

KEPERAWATAN JIWA II

Asuhan Keperawatan Klien Yang Mengalami Harga Diri Rendah

Oleh:

Kelompok 2

Adelya Nur Fatimatuzzahra 2010913320027

Annisa Intan Sulistyani 2010913220002

Annisa Ulfah Febrianty 2010913220007

Basid Noor Anugrah 2010913310003

Dinda Putri Lestari 1810913320030

Heldawati 2010913220029

Mauliana 2010913320012

Muhammad Nabiel Fadhillah 2010913310015

Nurul Huda 2010913120005

Yusyifa Salsabila 2010913120017

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU
2022

ii
LEMBAR PENGESAHAN

TUGAS SEMINAR

KEPERAWATAN JIWA II

Oleh:

Kelompok 2

Banjarbaru, 04 Oktober 2022

DOSEN PJMK PENYUSUN

Dhian Ririn Lestari, S.Kep.,Ns.,M.Kep Kelompok 2

NIP. 19801215 200812 2 003

i
DAFTAR ISI

Daftar Isi .......................................................................................................................... ii

Tinjauan pustaka .............................................................................................................3

1.1 Pengertian dan proses terjadinya harga diri rendah .....................................................3


1.2 Tanda dan gejala harga diri rendah..............................................................................3
1.3 Rentang respon harga diri rendah ................................................................................4
1.4 Peran keluarga dalam meningkatkan harga diri klien .................................................5
1.5 Asuhan keperawatan klien dengan harga diri rendah ..................................................6

Daftar Pustaka ...............................................................................................................19

ii
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan proses terjadinya harga diri rendah


Coopersmith [12] menyatakan harga diri adalah penilaian diri yang dilakukan oleh
individu dan lingkungan yang berkaitan dengan dirinya sendiri, yang mencerminkan
sikap penerimaan, penolakan dan menunjukkan seberapa jauh individu tersebut
memahami dirinya mampu, penting, berhasil, bermakna serta berharga. Menurut
penulis harga diri yang tinggi menjadi hal yang sangat penting bagi individu guna
untuk bisa menerima, memahami kondisi dirinya, memiliki pandangan positif bagi
dirinya, sehingga dapat membantu perkembangan diri individu yang lebih baik secara
pribadi, sosial dan akademik, dan selanjutnya mampu merencanakan masa depan
yang lebih baik. Hal senada juga dijelaskan oleh Baroon [13] mengungkapkan bahwa
harga diri adalah merujuk pada sikap individu terhadap dirinya sendiri, mulai dari
sangat negatif sampai sangat positif. Baihaqi [14] juga menjelaskan harga diri adalah
menyangkut perasaan bangga anak sebagai suatu hasil dari belajar mengerjakan
benda-benda atas usahanya sendiri. Berdasarkan beberapa pendapat ahli di atas,
penulis menyimpulkan bahwa harga diri merupakan evaluasi penilaian diri. Penilaian
ini meliputi penilaian positif atau negatif individu terhadap dirinya, memiliki sikap
menerima kekurangan/kelebihan, dan bisa memahami dirinya dengan baik. Individu
yang memiliki penilaian positif terhadap dirinya akan memiliki harga diri tinggi,
yakni memiliki sikap percaya diri, terbuka dengan orang lain serta berani.
Harga diri rendah kronis merupakan lanjutan dari gangguan pada diri klien yang
terjadi akibat harga diri rendah situasional yang tidak terselesaikan atau ketidakadaan
feed back (umpan balik) yang positif dari lingkungan terhadap perilaku klien
sebelumnya. Respon negatif dari lingkungan juga memiliki peran terhadap gangguan
harga diri rendah kronis.Pada awalnya klien dihadapkan dengan stresor (krisis) dan
berusaha untuk menyelesaikannya tetapi tidak tuntas. Ketidaktuntasan itu
menimbulkan evaluasi diri bahwa ia tidak mampu atau gagal menjalankan peran dan
fungsinya. Evaluasi diri yang negatif karena merasa gagal merupakan gangguan harga

14
diri rendah situasional yang berlanjut menjadi harga diri rendah kronis akibat tidak
adanya respon positif dari lingkungan pada klien (Sutejo, 2019).
2.2 Rentang respon harga diri rendah

Keterangan :
1. Respon Adaptif
Aktualisasi diri dan konsep diri yang positif serta bersifat membangun (konstruktif)
dalam usaha mengatasi stressor yang menyebabkan ketidak seimbangan dalam diri
sendiri.
2. Respon Maladaptif
Aktualisasi diri dan konsep diri yang negatif serta bersifat merusak (destruktif)
dalam usaha mengatasi stressor yang menyebabkan ketidakseimbangan dalam diri
sendiri.
3. Aktualisasi Diri
Respon adaptif yang tertinggi karena individu dapat mengespresikan kemampuan
yang dimiliki.
4. Konsep Diri Positif
Individu dapat mengidentifikasi kemampuan dan kelemahan secara jujur dan dalam
menilai suatu masalah individu berfikir secara positif dan realistis.
5. Harga Diri Rendah

Transisi antara respon konsep diri adaptif dan maladaptif.

6. Difusi Identitas
Suatu kegagalan individu untuk mengintegrasikan berbagai identifikasi masa kanak-
kanak kedalam kepribadian psikososial dewasa yang harmonis.

15
7. Depersonalisasi
Suatu perasaan yang tidak realistis dan keasingan dirinya dari lingkungan. Hal ini
berhubungan dengan tingkat ansietas panik dan kegagalan dalam uji realitas.
Individu mengalami kesulitan dalam membedakan diri sendiri dan orang lain dan
tubuhnya sendiri terasa tidak nyata dan asing baginya.

2.3 Peran keluarga dalam meningkatkan harga diri klien


Peran atau dukungan keluarga pada penderita penyakit kronis. Contoh ny khususnya
pada penderita tuberkulosa sangatlah diperlukan Karena pengobatan yang lama,
serta obat-obatan yang harus dikonsumsi setiap hari tentunya bisa menimbulkan
efek pada tubuhnya. Dengan keadaan yang dimilikinya mereka tidak lagi mampu
berkegiatan sosial, berinteraksi secara sosial, tidak mampu bekerja secara
produktif seperti biasanya dan ini yang akan menyebabkan terjadinya gangguan
psikologis yang hebat dan berdampak pada penderita penyakit kronis, apalagi
tanpa adanya dukungandari keluarga. Pada penderita penyakit kronis, peran
keluarga sangat dibutuhkan khususnya dalam memberikan perawatan, tidak hanya
perawatan secara fisik namun juga perawatan secara psikososial (Nasihin dan Sarwili,
2022). Keluarga sebagai sebuah kelompok dapat menimbulkan, mencegah atau
memperbaiki masalah kesehatan oleh karena itu keluarga merupakan sistem yang
terutama sebagai pendukung bagi klien (Wijayati et al, 2020). Keluarga sebagai
sistem pendukung utama untuk membantu seseorang meningkatkan harga dirinya,
harga diri dibentuk melalui perlakuan yang diterima individu dari orang
lingkungannya, seperti dimanja dan diperhatikan orangtua dan orang lain. Dukungan
keluarga adalah faktor penting bagi individu ketika menghadapi masalah (kesehatan),
dimana keluarga berperan dalam fungsi keperawatan kesehatan anggota keluarganya
untuk mencapai kesehatan yang optimal (Wibowo dan Aini, 2018).

Terdapat hubungan dukungan keluarga terhadap keadaan sakit, dimana apabila


dukungan keluarga kurang dapat meningkatkan terjadinya atau timbulnya faktor
resiko dari suatu penyakit yang sedang diderita oleh anggota keluarga yang sedang
sakit sehingga dapat menurunkan keinginan penderita untuk segera sembuh dari
penyakit atau masalah kesehatannya terutama pada penyakit kronis. Penderita sakit

16
kronis dalam menjalani kesembuhannya memerlukan dukungan keluarga baik
dalam proses penermaan terhadap penyakitnya, proses pengobatan dan proses
konsumsi obat harian yang berlangsung lama juga akibat yang mungkin muncul
selama proses pengobatannya terutama dalam menghadapi masalah yang sulit
termasuk penyakit yang serius (Nasihin dan Sarwili, 2022). Menurut Nursalam (2008)
dalam Wibowo dan Aini (2018) pemberian dukungan membantu pasien kronis untuk
melihat segi - segi positif yang ada dalam dirinya dibandingkan dengan orang lain
yang berfungsi untuk menambah kepercayaan diri dan kemampuan serta merasa
dihargai dan berguna saat individu mengalami tekanan atau masalah. Dukungan yang
diperoleh pasien penyakit kronis dari keluarga berupa penilaian positif dan dorongan
untuk maju, dimana pasien dapat menyelesaikan masalahnya dan mencoba mencari
jalan keluar untuk memecahkan masalahnya. Sehingga dukungan ini dapat menekan
munculnya stressor pada pasien pemyakit kronis yang menerima dukungan
membangun seperti rasa menghargai dirinya, percaya diri dan merasa bernilai,
dukungan ini sangat berguna ketika pasien gagal ginjal kronis mengalami stress
karena tuntutan tugas yang lebih besar daripada kemampuan dirinya (Wibowo dan
Aini, 2018). Peran keluarga sangat berpengaruh terhadap terjadinya harga diri
rendah pada pasien penyakit kronis, dukungan yang optimal dari keluarga baik
secara informative, perhatian emosional, bantuan instrumental dan bantuan
penilaian sangatlah dibutuhkan sehingga bias mempengaruhi tingkah laku si
penerimanya, dan diharapkan bisa menjadi motivasi bagi pasien agar mau
menyelesaikan program pengobatannya dengan bahagua, mau dan mampu
berinteraksi secara social karena mengetahui bahwa keluarga sangat mendukung
prosesnya sehingga bisa juga memotivasi penderita untuk bisatetap bekerja selama
sakit dan menjalani proses pengobatan sehingga konsep danharga diri pasien tidak
terganggu. Artinya teori dan penelitian ini sejalan (Nasihin dan Sarwili, 2022).

Keluarga merupakan sumber dukungan terbesar bagi pasien untuk dapat memberikan
motivasi serta dukungan kepada pasien karena keluarga adalah lingkungan terdekat
bagi kehidupan pasien. Salah satu peran perawat yaitu memberikan motivasi kepada
pasien dan keluarga, dukungan dapat memberikan kenyamanan fisik dan psikologis
kepada individu. Sebagai perawat dukungan yang dapat diberikan yaitu berupa

17
diskusi bersama dalam memecahkan masalah, pemberian keamanan dan peningkatan
harga diri pasien. Keluarga memiliki beberapa bentuk dukungan yaitu dukungan
emosional yang melibatkan ekspresi cinta, kepercayaan dan perhatian pada orang lain.
Dukungan keluarga dapat diwujutkan dengan pemberian perhatian, bersikap empati,
memberikan dorongan, memberikan saran, memberikan pengetahuan dan lainya yang
mampu meningkatkan psikologis pasien (Wibowo dan Aini, 2018).

2.4 Asuhan keperawatan klien dengan harga diri rendah


1. Identitas
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, Pendidikan, agama, pekerjaan, suku/bangsa,
alamat, nomor rekam medik, ruang rawat, tanggal masuk rumah sakit, tanggal
pengkajian, diagnosa medis dan identitas penanggung jawab.
2. Alasan Masuk
Tanyakan kepada pasien dan keluarga apa alasan pasien dibawa ke rumah sakit,
keluhan utama pasien.
3. Faktor Presipitasi
Tidak terkaji
4. Faktor Predisposisi
a) Riwayat Kesehatan Dahulu
1) Adanya riwayat gangguan pada pasien atau keluarga
2) Adanya gangguan fisik atau penyakit termasuk gangguan pertumbuhan dan
perkembangan
b) Riwayat Psikososial
1) Pernah atau tidaknya melakukan atau mengalami dan atau menyaksikan
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan dalam
rumah tangga, aniaya, dan tindakan kriminal.
2) Merasakan pengalaman masa lalu lain yang tidak menyenangkan baik bio,
psiko, sosio, kultural, maupun spiritual.
c) Riwayat Penyakit Keluarga
Apakah ada keluarga yang pernah mengalami gangguan jiwa atau tidak.
5. Pemeriksaan Fisik

18
Pemeriksaan tanda-tanda vital, meliputi tekanan darah, nadi, suhu, pernafasan.
Pemeriksaan keseluruhan tubuh yaitu pemeriksaan head to toe yang biasanya
penampilan pasien yang kotor dan acak-acakan serta penampilannya tidak
terawat.
6. Psikososial
a) Konsep diri
1) Gambaran diri. Disukai ataupun tidak disukai pasien.
2) Identitas diri. Kaji kepuasan pasien terhadap jenis kelaminya, status
sebelum dirawat di rumah sakit.
3) Peran.
4) Ideal diri. Tanyakan harapan tubuh, posisi status, peran. Harapan pasien
terhadap lingkungan, dan harapan pasien terhadap penyakitnya.
5) Harga diri.
b) Genogram
Buatlah genogram minimal tiga generasi yang dapat menggambarkan
hubungan pasien dan keluarga. Jelaskan pasien tinggal dengan siapa dan apa
hubunganya, jelaskan masalah yang terkait dengan pola asuh keluarga
terhadap pasien dan anggota keluarga lainya, pola komunikasi, pola
pengambilan keputusan.
c) Hubungan social
Tidak terkaji
d) Spiritual
Tidak terkaji
7. Status Mental
Penampilan, pembicaraan, aktivitas motorik, alam perasaan, afek, interaksi
selama wawancara, persepsi, proses pikir, tingkat kesadaran
8. Mekanisme Koping
Tidak terkaji
9. Masalah Psikososial dan Lingkungan
Tidak terkaji
10. Pengetahuan Kurang Tentang Gangguan Jiwa
Tidak terkaji

19
11. Analisa Data
Tidak terkaji
12. Masalah Keperawatan
1) Masalah utama
Gangguan konsep diri: harga diri rendah
a) Data subjektif: mengungkapkan dirinya merasa tidak berguna,
mengungkapkan dirinya merawa tidak mampu, mengungkapkan dirinya tidak
semangat untuk beraktivitas atau bekerja, mengungkapkan dirinya malas
melakukan perawatan diri (mandi, berhias, makan atau toileting).
b) Data objektif: mengkritiki diri sendiri, perasaan tidak mampu, pandangan
hidup yang pesimis, tidak menerima pujian, penurunan produktivitas,
penolakan terhadap kemampuan diri, kurang memperhatikan perawatan diri,
berpakaian tidak rapi, berkurang selera makan, tidak berani menatap lawan
bicara, lebih banyak menunduk, bicara lambat dengan nada suara lemah.
1. Masalah keperawatan
Koping individu tidak efektif
a) Daja subjektif: mengungkapkan ketidakmampuan dan meminta
bantuan orang lain, mengungkapkan malu dan tidak bisa Ketika diajak
melakukan sesuatu, mengungkapkan tidak berdaya dan tidak ingin
hidup lagi.
b) Data objektif: tampak ketergantungan terhadap orang lain, tampak
sedih dan tidak melakukan aktivitas yang seharusnya dapat dilakukan,
wajah tampak murung.

Diagnosa keperawatan

Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah

Tindakan Keperawatan Pada Klien

a) Tujuan
Meningkatkan aktualisasi diri klien: dengan membantu, menumbuhkn,
mengembangkan, menyadari potensi sambal mencari kompensasi
ketidakmampuan

20
b) Tindakan keperawatan
SP 1 Pasien: mendiskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
klien, membantu klien memilih/menetapkan kemampuan yang akan dilatih,
melatih kemampuan yang sudah dipilih dan Menyusun jadwal pelaksanaan
kemampuan yang telah dilatih dalam rencana harian.
Sp 2 pasien: melatih klien melakukan kegiatan lain yang sesuai dengan
kemampuan klien, Latihan dapat dilanjutkan untuk kemampuan lain sampai
semua kemampuan dilatih, setiap kemampuan yang dimiliki akan meningkatkan
harga diri klien.

Tindakan Keperawatan Pada Keluarga

a) Tujuan keperawatan
Keluarga dapat membantu klien mengidentifikasi kemampuan yang
dimiliki klien, keluarga dapat memfasilitasi pelaksanaan kemampuan yang masih
dimiliki klien, keluarga dapat memotivasi klien untuk melakukan kegiatan yang
sudah dilatih dan memberikan pujian atas keberhasilan klien, keluarga mampu
menilai perkembangan perubahan kemampuan klien
b) Tindakan Keperawatan
Sp 1 keluarga: mendiskusikan masalah yang dihadapi keluarga dalam
merawat klien dirumah, menjelaskan tentang pengertian, tanda dan gejala harga
diri rendah, menjelaskan cara merawat klien dengan harga diri rendah,
menemonstrasikan cara merawat klien dengan harga diri rendah, dan memberikan
kesempatan kepada keluarga untuk mempraktikan cara merawat.
Sp 2 keluarga: melatih keluarga mempraktikan cara merawat klien dengan
harga diri rendah.

Evaluasi

Setelah dilakukan asuhan keperawatan terhadap masalah keperawatan harga diri


rendah, meliputi kemampuan pasien harga diri rendah dan keluarganya dalam
menerapkan SP Pasien dan keluarga.

13. Intervensi Keperawatan


1) Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

21
Menurut Widowati (2019) yang dikutip oleh Dewi dan Widyawati (2022)
pasien menarik diri perlu mendapatkan perhatian khusus untuk dapat kembali ke
masyarakat dengan memiliki konsep diri yang positif sehingga dapat memudahkan
mereka untuk bersosialisasi kepada orang lain dengan meningkatkan harga diri
mereka terlebih dahulu. Salah satu upaya untuk dapat mengembalikan harga diri
klien menarik diri dengan memberikan terapi modalitas yaitu Terapi Aktivitas
Kelompok (TAK).
Menurut Dewi dan Widyawati (2022) dalam penelitiannya terapi aktivitas
kelompok stimulasi persepsi bercerita tentang pengalaman positif yang dimiliki
bertujuan untuk mengetahui pentingnya harga diri sendiri mengidentifikasi hal-hal
positif diri, melatih positif diri, pentingnya hal positif dari orang lain,
mengidentifikasi pentingnya hal positif orang lain dan dapat melatih hal positif orang
lain. Serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. Dari berbagai literatur
disebutkan bahwa terapi aktivitas kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi yang
dapat diberikan pada pasien harga diri rendah. dengan terapi aktivitas kelompok,
klien dapat mengenali diri sendiri, menghargai diri sendiri, tidak memusuhi diri
sendiri dan berfikir positif dan rasional.
2) Child Centered Play Therapy (CCPT)
Child Centered Play Therapy (CCPT) merupakan suatu metode intervensi
dengan media yang menyenangkan yaitu menggunakan bermain. Intervensi yang
diberikan dapat memenuhi kebutuhan anak untuk mengekspresikan perasaan dan
perilakunya. Terapis berfungsi untuk memfasilitasi perasaan-perasaan tersebut
dengan memahami ataupun menerima dengan cara menenangkan jika muncul
tindakan agresi, serta meningkatkan kemampuan anak-anak untuk mengekspresikan
perasaannya yang dapat diterima secara sosial. Client centered berfokus pada pribadi
klien itu sendiri bukan permasalahan yang disampaikannya, sehingga sasaran terapi
tidak hanya menyelesaikan permasalahan tetapi membantu klien untuk mengenal dan
mengembangkan potensi dirinya. CCPT sebagai intervensi untuk anak slow learner
dengan berbagai macam media bermain yang diberikan dalam sesi intervensi.
Pelaksanaan CCPT ini berfokus dengan aktivitas menggambar, bercerita,
memperagakan gambar (bermain peran), dan menyusun balok. Berbagai permainan
tersebut termasuk permainan yang memungkinkan untuk dilakukan oleh anak dengan

22
slow learner Bermain menjadi sebuah alternatif intervensi, karena cara tersebut
menyenangkan. Anak seperti tidak merasa sedang diintervensi atau melakukan sesi
terapi. Selama proses intervensi anak-anak dapat mengekspresikan perasaannya dan
melakukan berbagai macam permainan yang mengharuskan anak berhadapan dengan
permasalahan yang muncul saat bermain. Proses fasilitasi oleh terapis selama
intervensi membantu anak untuk mendapatkan insight dari permainan-permainan
yang telah dilakukan. Poin penting dalam intervensi CCPT, anak-anak slow learner
lebih dapat mengenal potensi diri sehingga mereka bisa lebih fokus untuk
memaksimalkan potensi dirinya dan dengan begitu dapat menumbuhkan harga diri
mereka. (Iswinarti, 2020)

3) Restrukturisasi Kognitif, Pelatihan Kemampuan Sosial, dan Pengembangan


Hobi atau Permainan
1) Restrukturisasi Kognitif
Tahap ini terdiri dari tiga rangkaian. Pertama adalah relaksasi, kedua adalah
eksplorasi pikiran-pikiran negatif pada diri klien dan ketiga adalah mendistruksi
pikiran negatif tersebut melalui permainan yang disukai anak. Pada konteks ini,
klien gemar bermain puzle dan balok dalam membuat bengunan atau rumah-
rumahan (Maulana, M. A., 2021).

2) Tahap kedua adalah pelatihan kemampuan sosial untuk mengajarkan klien


bersosialisasi dengan rekan sebayanya. Pada tahap ini terurai menjadi 4 bagian.
Pertama adalah tahap role modeling yakni terapis menceritakan dongeng-
dongeng tentang persahabatan. Kaitannya dengan itu, terapis menggunakan cerita
persahabatan tentang 7 kurcaci yang hidup berdampingan. Hikmah dari certia
tersebut adalah meskipun mereka memiliki kekurangan namun karena ikatan
persaudaraan yang kuat sehingga mereka tidak diganggu, sehingga terapis
mendorong klien untuk memiliki teman dekat agar terjalin hubungan yang saling
membantu dan menguatkan satu dengan yang lainnya. Bagian kedua dalah role
play pada tahap ini terapis melatih beberapa kemampuan bersosialisasi yakni: a)
kemampuan mendengar dan kontak mata, b) kemampuan memulai obrolan
dengan teman sebaya, c) kemampuan regulasi ekspresi emosi, d) kemampuan

23
untuk jujur apabila merasa tidak nyaman (asertif). Bagian ketiga dari pelatihan
kemampuan sosial pada anak usia dini yang mengalami kekerasan seksual adalah
eksposur atau anak mempraktikan apa yang sudah diajarkan dan diuji coba
dengan psikolog dengan temannya di dunia nyata (Maulana, M. A., 2021).

3) Tahap ketiga dalam intervensi ini adalah pengembangan hobi atau permaianan
yang disukai anak agar dapat terus dikembangkan dan menjadi kompetensi
dirinya. Dalam hal ini, klien menyukai permainan balok, puzle dan minicraft.
Klien sangat menyukai aktivitas menyusun dan merangkai benda atau objek
seperti rumah, bengungan gedung atau robot mainan. Untuk itu psikolog meminta
kerjasama dengan orangtua agar aktivitas kegemarannya tersebut dapat
difasilitasi di rumah serta orang tua ikut andil dalam permaianan anak. Dalam hal
ini, psikolog menyampaikan agar orang tua menemani anaknya bermaian sambil
diajak berdialog tentang objek yang digambar perbincanga berkualitas lainnya
(Maulana, M. A., 2021).

24
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, B. P. & Widyawati. (2022). Studi Literatur: Penerapan Upaya Peningkatan Harga
Diri Rendah dengan Terapi Aktifitas Kelompok (Stimulasi Presepsi). Jurnal Kesehatan
dan Pembangunan, 12(23), 124-136.

Dwi Saptina, C. H. A. N. D. R. A. Asuhan Keperawatan Pada Klien Skizofrenia


Dengan Masalah Harga Diri Rendah Kronik. Diss. Universitas Muhammadiyah
Ponorogo, 2020.

Hermawan, Heru, Gantina Komalasari, and Wirda Hanim. "Strategi Layanan


Bimbingan Dan Konseling Untuk Meningkatkan Harga Diri Siswa: Sebuah Studi
Pustaka." JBKI (Jurnal Bimbingan Konseling Indonesia) 4.2 (2019): 65-69.

Iswinarti, R. D. (2020). Meningkatkan harga diri anak slow learner melalui Child
Centered Play Therapy. Persona: Jurnal Psikologi Indonesia, 9(2), 319-334.

Maulana, M. A. (2021). Studi Kasus: Psikoterapi Kognitif Sosial Pada Anak Dengan
Trauma Seksual. Jurnal Jendela Bunda Program Studi PG-PAUD Universitas
Muhammadiyah Cirebon, 8(2), 10-21.

Nasihin, T. I., & Sarwili, I. (2022). Peran Keluarga dengan Resiko Harga Diri Rendah
pada Pasien Tuberkulosis: Role of Families with Risk of Low Self-Esteem in
Tuberculosis Patients. Journal of Nursing Education and Practice, 1(3), 87-95.

Wibowo, T. S., & Aini, K. (2018). Hubungan Dukungan Keluarga dan Peran Perawat
dengan Harga Diri Pada Pasien Gagal Ginjal Kronis di Ruang Hemodialisa RSUD
Kabupaten Batang. Jurnal Ners Widya Husada, 2(1).

Wijayati, F., Nasir, T., Hadi, I., & Akhmad, A. (2020). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan kejadian harga diri rendah pasien gangguan jiwa. Health Information: Jurnal
Penelitian, 12(2), 224-235

25
26

Anda mungkin juga menyukai