Anda di halaman 1dari 13

REPRESENTASI BANGSAWAN SASAK DALAM

TEKS ANGIN ALUS MASYARAKAT SASAK

Dharma Satrya HD dan Zainul Muttaqin


Universitas Hamzanwadi Lombok
email: dharmasatryahd@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan representasi bangsawan Sasak dalam teks
Angin Alus masyarakat Sasak-Lombok. Pembahasan teks ini menggunakan perspektif
semiotik Peirce dengan metode analisis Recouer. Pembahasan terdiri atas analisis struktur
teks dan dunia yang digelar teks dan analisis hubungan pertama dan kedua dengan dunia
penafsir. Hasil penelitian menemukan bahwa teks Angin Alus menunjukkan representasi
kabar kesedihan orang Sasak dan bangsawan karena kehidupan membawanya ke suatu
ruang yang memberikan penderitaan, baik dalam konteks historis Sasak maupun dalam
konteks kekinian dengan konteks sosial yang berbeda. Hal tersebut mengindikasikan bahwa
masyarakat Sasak juga mengalami percampuran dengan pihak luar yang mempengaruhi
caranya memandang kehidupan. Generari muda Sasak-Lombok harus memahami posisi
sebagai buaq ate, kembang mate, generasi yang selalu berserah diri dan sebagai lomboq,
dengan selalu mengembalikannya kepada yang satu (Sa Sak), yakni Tuhan. Perbedaan
antara diri dan yang lain melebur menjadi Sasak-Lombok sekarang.

Kata kunci: representasi, masyarakat Sasak, kabar kesedihan, bangsawan

THE REPRESENTATION OF SASAK ARISTOCRATS


IN SASAK COMMUNITY’S TEXT ANGIN ALUS  

Abstract
This study aims to describe the representation of Sasak aristocrats in Sasak-Lombok
community’s text Angin Alus. The discussion of the text used Peirce’s semiotic perspective
and Recouer’s analysis method. It consisted of the analysis of the text structure and the
world represented by the text and the analysis of the first and second relationships with
the world of interpreters. The research finding reveals that the text Angin Alus shows the
representation of the news of sadness of Sasak people and aristocrats because life brings
them to a space that gives suffering, both in the historical context of Sasak and in the
contemporary context with different social contexts. This indicates that Sasak community
also experience mixing with outsiders that affect the way they view life. Sasak-Lombok
young generation have to understand the positions as buaq ate and kembang mate, as a
generation that always show submission and as lomboq by always returning it to the one
(Sa Sak), namely God. The differences between the self and others merge into the present
Sasak-Lombok.

Keywords: representation, Sasak community, Angin Alus, news of sadness, aristocrats

Representasi Bangsawan Sasak dalam Teks Angin Alus Masyarakat Sasak 107
PENDAHULUAN Doyan Neda ia menemukan bahwa Sasak-
Teks angin alus merupakan karya para Lombok mengidealkan posisi pusat anutan,
pendahulu masyarakat Sasak. Tidak di­ke­ yaitu Majapahit. Hal itu dibuktikan dengan
­tahui siapa penulis tembang itu. Namun, menikahnya raja Seleparang dengan anak
ia selalu hadir dan dihadirkan oleh masya­ Raja Majapahit. Penelitian Fauzan menun­
rakat. Kehadirannya dalam konteks masa jukkan bahwa representasi Sasak dalam
lalu berbeda dengan kehadirannya dalam perspektif struktural. Sedangkan, repre­
konteks masa kini. Dalam konteks masa sentasi Sasak Lombok dalam teks yang
lalu ia hadir sebagai produk yang murni sama diteliti oleh Usup (2011). Usup me­
kelisanan, sedangkan dalam konteks keki­ nemukan bahwa masyarakat Sasak sangat
nian ia hadir sebagai produk budaya po­ plural dan religious. Pluralitas tersebut
pular. Permasalahannya, kenapa teks itu ditunjukkan menikahnya raja-raja di Lom­
selalu dihadirkan? Merepresentasikan apa bok dengan putri raja dari Madura dan
teks tersebut? Permasalahan tersebut di­ Jawa, serta tersebarnya pusat-pusat Islam.
jawab dengan pendekatan semiotik model Penelitian Usup tersebut lebih melihat teks
Peirce dengan metode analisis interpretasi Doyan Neda dalam perpektif pasca­struk­
Paul Recoeur. Pemaknaan terhadap teks tural. Penelitian yang lebih mendalam
tersebut dipahami dalam kerangka komu­ dilakukan oleh Fajri (2015) dengan pers­
nikasi. Pada tahap pertama tanda tersebut pektif pascakolonial. Fajri (2015: 396)
tidak berarti apa-apa sampai tanda ter­ menemukan bahwa terdapat dua kategori
sebut berhubungan dengan objek (Noth, kelas dalam masyarakat Sasak, yaitu bang­
1995: 41). Hubungan antara yang pertama sawan kawula dan perwangsa dengan jamaq.
dan kedua tersebut hanya berarti dalam Menurut Fajri, perwangsa dengan jamaq
hubungannya dengan yang ketiga yaitu inilah yang merupakan representasi orang
interpreter (Noth, 1995: 41). Yang pertama Sasak, sedangkan bangsawan kawula me­
menjadi dasar untuk interpreter me­mak­ rupakan representasi Jawa. Tetapi karena
nai objek tersebut. Dalam penelitian ini, bangsawan kawula ini dekat dengan ke­
tanda tersebut adalah teks angin alus dan kuasaan terutama pada masa kolonial maka
objeknya adalah masyarakat Sasak, sedang­ dialah yang direpresentasikan oleh kolo­
kan interpreternya adalah peneliti. Repre­ nial pada masa itu yang jejaknya masih
sentasi dengan model semiotik tersebut tersisa sampai sekarang, seperti dalam teks
mengasumsikan bahwa teks angin alus me­ angin alus. Penelitian ini membuktikan
representasikan orang Sasak bangsawan. tesis Fajri tersebut. Teks angin alus mere­
Penelitian tentang representasi Sasak presentasikan bangsawan. Hal itu dapat
pernah dilakukan oleh Fauzan (2013). dibuktikan dengan penggunakan bahasa
Dalam penelitian itu, Fauzan (2013: 254) dalam teks tersebut. Tanda yang menun­
menemukan bahwa masyarakat Sasak ber­ jukkan hal tersebut adalah mas mirah dan
asal perwujudan jin perwangsa menjadi dende. Istilah mas mirah digunakan Jawa
manusia Sasak yang kemudian mem­ben­ untuk menyebut sasak yang tertuang da­
tuk kerajaan awal Sasak. Masyarakat Sa­ lam kitab Negara Kertagama. Istilah denda
sak menurutnya mengidealkan posisi pu­ adalah istilah yang digunakan untuk me­
sat, pusat anutan, sehingga dalam cerita nyebut perempuan bangswan. Sasak-Lom­

108 LITERA Volume 17, Nomor 1, Maret 2018


bok tidaklah mengenal istilah kebang­sa­ yatmoko, 2015: 81). Analisis terhadap kata,
wanan (Fajri, 2015: 397). Sejak awal pen­ frasa, dan kalimat berhubungan dengan
ciptaannya berdasarkan teks Doyan Neda empat kategori tersebut yang kemudian
Sasak-Lombok adalah penjelmaan jin per­ menjadi langkah dalam analisis.
wangsa (Fauzan, 2013: 254). Teks angin alus diperoleh melalui sum­
Realitas masyarakat Sasak dalam pers­ ber lisan dan media. Data teks yang di­
pektif ilmu sejarah menunjukkan realitas peroleh dari sumber lisan dipadukan de­
Sasak yang bermacam-macam ber­da­sar­ ngan data teks dalam media (lagu). Data
kan perspektif melihat realitas, misalnya teks dianalisis dengan interpretasi berda­
Fauzan dengan perspektif struktural, Usup sarkan pengalaman atau kesadaran pe­naf­
dengan perspektif pascastruktural, dan sir (peneliti) sebagai orang Sasak. Metode
Fadjri dengan perspektif pascakolonial. interpretasi bersifat terbuka sehingga tidak
Namun, realitas sasak terus didefinisikan dibatasi oleh maksud pengarang. Pertama,
dalam konteks yang berbeda. Trisnawati analisis struktur teks, yaitu hubungan an­
(2016) menunjukkan masyarakat Sasak tara teks angin alus dengan masyarakat
yang harmonis dalam beragamnya etnis Sasak. Kedua, analisis dunia yang digelar
yang mendiami pulau Lombok. Kesenian teks. Dunia yang digelar teks diperoleh
Sasak bercampur dengan kesenian modern melalui struktur teks. Struktur teks meng­
(Yudarta & Pasek, 2017). Keberadaan ke­ arahkan pemaknaan. Ketiga, struktur teks
senian Bali mendukung pariwisata di Kota dan arah pemaknaan menjadi milik pe­
Mataram (Yudarta, 2016). Dalam konteks nafsir. Pada tahap ini struktur teks dan
demikian, teks angin alus tetap hadir dan pemaknaan diarahkan atau didialogkan
dihadirkan oleh masyarakat Sasak. Keha­ dengan dunia kongkret penafsir.
­diran teks angin alus perlu didialogkan
dengan realitas yang dikonstruksi oleh HASIL DAN PEMBAHASAN
hasil penelitian-penelitian tersebut. Dunia Teks, Kabar Luka dan Kesedihan
Teks tembang angin alus terdiri dari dua
METODE bait. Bait pertama merepresentasikan rasa
Metode penelitian ini menggunakan kehilanagan, luka, kerelaan, dan harapan
interpretasi. Teks angin alus ini sebagai orang Sasak pada sosok anak. Bait per­
produk budaya lisan dan popular. Data tama, yaitu Aduh anakku mas mirah, buaq
diperoleh melalui media, yaitu dilisankan ate kembang mate, mulen tulen kubantelin,
dan dimultimediakan. Metode analisis data sintung jari salon angin. Frase angin alus,
menggunakan metode interpretasi, yaitu yang dijadikan judul dalam teks itu, se­
model hermeneutika-fenomenologis. Teks cara qualisign memiliki sifat halus dan
angin alus sebagai fakta semiotik. Fakta lembut. Judul itu mengandung pengertian
semiotik di dalam teks bukan peristiwa angin yang halus. Sebagai sesuatu yang
yang terkandung di dalam teks, tetapi in­ halus jika dikembalikan dalam kehidupan
terpretasinya (Faruk, 2012: 101). Inter­ dan diri manusia adalah nafas, yang tampil
pre­tasi itu mengkristal dalam empat ka­ nyata dalam hidup. Angin alus adalah me­
tegori, yaitu objektivasi melalui struktur, tafor dari suara hati yang paling dalam.
distansiasi, dunia teks dan aproprasi (Har­ Alus adalah kondisi nafas yang keluar

Representasi Bangsawan Sasak dalam Teks Angin Alus Masyarakat Sasak 109
masuk dan angin adalah unsur hidup yang Karangasem Bali (Kraan, 2009: 8). Pe­
menghidupi seluruh tubuh, karena hidup nak­lukan tersebut, menurut Hagerdal (2016)
itu bernafas, keluar masuknya angin. De­ bukanlah penaklukan Bali, tetapi kolonial,
ngan demikian, angin menjadi ikon dari karena menurutnya Bali adalah orang ke­
hidup, yang memiliki kehidupan, dan bah­ percayaan kolonial di Lombok. Hal itulah
kan cara hidup itu dijalani. Hidup di­o­po­ yang membuat masyarakat Lombok meng­
sisikan dengan mati, sedangkan alus ber­ alami luka atau kesedihan yang ber­ke­pan­
oposisi dengan keras. Halus (alus) dan jangan sejak abad 17, yang menurut Fadjri
keras adalah sebuah kondisi hidup sese­ (2015) terjadi sampai rezim Orde Baru.
orang, apakah dengan nafas yang alus atau Kata aduh merupakan sinsign verbal ke­
keras. Menurut Nuriadi (2014), masya­ra­ tika polemik yang terjadi dalam tahap
kat Sasak mempunyai karakter keras dan batin harus diutarakan. Aduh menandai
praktis. Dalam teks itu yang muncul ada­ apa yang dirasakan. Adapun frasa aduh
lah kondisi alus yang artinya berada dalam anakku bersifat indeksikal yang menandai
kondisi tenang. Artinya, teks itu meng­ adanya kausalitas bahwa orang tua dan
gam­barkan kehidupan yang halus atau anak saling merefleksikan, hubungan pen­
lembut, bukan keras dan praktis sebagai­ cerminan, anak menjadi cermin orang tua.
mana dikemukakan Nuriadi. Yang pen­ Baik dan tidaknya seorang anak akan tam­
ting adalah bahwa angin menjadi simbol pak dari orang tuanya. Sehingga secara
kehidupan, simbol kehidupan yang masih simbolis bisa dilihat bahwa anak menjadi
berjalan. Kehidupan yang keras dan halus symbol orang tua. Pada tatanan dicent frasa
tentunya hadir bersamaan. Namun, bagai­ aduh anakku kemudian menjadi proyeksi
mana perjalanannya dapat dilihat pada bagaimana sosok orang tua Sasak men­
bait-bait dalam teks tersebut. Jika itu me­ jaga dan mencintai anak atau generasi
rupakan simbol kehidupan, maka kehi­du­ penerusnya. Hal ini sejalan dengan klausa
pan siapa dan seperti apa yang sedang di­ buaq ate kembang mate (buah hati) itu sendiri.
tunjukkan oleh teks tersebut? Sehingga, tidak heran kemudian orang tua
Kata aduh merupakan kata seruan yang Sasak terkadang menyebut atau memang­
secara implisit menjadi qualisign terhadap gil sang anak dengan panggilan kasta se­
kedirian orang (tua) Sasak. Aduh adalah perti dende. Penggunaan kata denda me­
ungkapat rasa sakit, juga penyesalan atas nem­patkan teks itu dalam ideologi bang­
yang sudah terjadi. Dalam bait itu, aduh sawan. Fauzan (2013) menunjukkan ma­
bukanlah rasa sakit tetapi sebuah ung­ka­p­ syarakat Sasak mengidealkan posisi anutan,
an prihatin yang ditunjukkan untuk gene­ yaitu Jawa Majapahit yang dimitoskan
rasi penerus atau anaknya. Ungkapan rasa dalam mitologi asal-usul orang Sasak.
sakit atau kehilangan dan luka tidak hanya Selanjutnya frasa mas mirah merupa­
terjadi pada masa kini, tetapi dirasakan kan sinsign bagi masyarakat Sasak dalam
sepanjang sejarah hidup masyarakat. Ma­ penyebutan anak. Kata mirah sendiri ber­
sya­rakat Sasak mengalami penjajahan oleh makna permata, secara qualisign berarti
Jawa, Bali, Belanda, dan Jepang (King­ sesuatu yang dianggap paling berharga
sley, 2011: 98; Budiwanti, 2000). Masya­ yang dimiliki orang tua. Hubungan anak
rakat mengalami penaklukan oleh Oleh dan orang tua terlihat di dalam bentuk

110 LITERA Volume 17, Nomor 1, Maret 2018


perhatian. Orang tua memberikan hati dan satu. Namun, bagaimana keyakinan pada
perhatiannya untuk anakanya. Hubungan yang satu tidaklah sesederhana kayakinan
keduanya berada dalam hubungan antara dalam pengertian islam Arab. Itulah yang
yang memberi dan menerima, hubungan sebenarnya permata itu dalam pengertian
kasih sayang, hubungan antara asal dan orang Sasak. Dalam konteks bait di atas,
tujuan. Orang tua menjadi reprsentasi tu­ anak adalah permata orang tua, permata
han oleh karena itu apapun yang terjadi yang diberikan Tuhan kepadanya. Oleh
atau menimpa anaknya dan apapun yang karena itu, mirah menjadi simbol peng­
dilakukan anaknya, baik itu melanggar hargaan, menjadi simbol harga diri orang
tatanan atau tidak kasih orang tua tidak Sasak. Mas mirah adalah simbolisasi dari
berada dalam hukum kausalitas, karena betapa berharganya darah dagingnya, yaitu
orang tua selalu akan memberikan kasih anak. Baris aduh anakku mas mirah ke­mu­
sayangnya kepada anak. Mirah menjadi dian mereprerentasikan rasa harap, cinta
ikonitas bagi masyarakat Sasak yang lomboq dan ketakutan orang tua kepada sesuatu
lempeng (lurus, baik) karena kejujuran dan yang paling berharga (mirah) yaitu anak.
apa adanya orang Sasak inilah yang ke­ Baris kedua yaitu buaq ate kembang mate.
mudian menjadi mutiara yang berharga. Frasa buaq ate merupakan ungkapan me­
Hal tersebut dipertegas dalam kitab Negara taforis untuk merujuk pada susuatu yang
kertagama yang ditulis oleh empu prapanca berharga. Kata buaq sendiri bermakna buah
yaitu Lombok mirah sasak adi (kejujuran yang secara semantik merupakan hasil dari
adalah permata yang utama) (Fauzan, proses pembuahan pada tumbuhan. Pada
2013). Istilah mas mirah adalah istilah tataran rhema, kata buaq adalah identitas
yang digunakan orang Jawa untuk menye­ Sasak itu sendiri. Kata buaq juga menjadi
but Sasak-Lombok. Jawa menyebut orang ikonitas yang dilekatkan dengan kebiasaan
Sasak jujur dan kejujuran itu adalah per­ orang Sasak yang mamaq (memakan sirih
mata. Kejujuran diidentitaskan dalam kon­ dan buah pinang). Jika pada zaman da­
teks membayar upeti ke kolonial. Namun hu­lu ketika orang Sasak bertamu selalu
kejujuran itu bukanlah sebuah kejujuran, disuguhkan penginang yang berisi buaq,
tetapi sebuah ketakutan. Kolonial meng­ apur, dan sirih sebagai ungkapan selamat
kons­truksi Sasak sebagai orang yang ber­ atas kedatangan atau kunjungan kerabat
mental terjajah (Fajri, 2015: 395). dan saudara mereka. Sementara itu, ate
Fajri (2015: 400-1) menjelaskan bahwa dalam bahasa Indonesia berarti hati yang
penjajahan yang terjadi di Lombok di­se­ menjadi sumber penentu dalam kehidupan
babkan oleh bekerjasamanya pihak luar manusia. Hati kemudian menjadi ikonitas
Sasak, Jawa dan Bali. Pada masa kolonial pemiliknya. Jika hatinya baik, maka baik
mereka mendapat posisi penting dalam pula sikap dan prilaku yang dimunculkan
pemerintahan. Dengan demikian, mas oleh sang pemilik hati tersebut. Hati pada
mirah menjadi nama yang dilekatkan pihak dasarnya memiliki peran sentral dalam diri
luar untuk menyebut Sasak. Orang Sasak manusia, karena hati menjadi penentu.
memahami Lombok sebagai lombok, yang Kata ate (hati) dan buaq sama-sama me­
artinya lurus yang tidak sama dengan jujur. miliki urgensitas yang cukup kuat. Oleh
Lomboq mengacu pada keyakinan yang sebab itu, kemudian kedua kata tersebut

Representasi Bangsawan Sasak dalam Teks Angin Alus Masyarakat Sasak 111
bersifat indeksikal bagi orang Sasak untuk kegunaan yang cukup sentral dalam hidup
mengungkapkan sesuatu yang paling ber­ manusia. Tanpa mata segala bentuk kein­
harga. Frase buaq ate (buah hati) mengacu dahan dunia dan keindahan hidup tidak
pada anak kesayangan yang tampil dalam akan pernah bisa dinikmati. Kata mate
kenyataan sebagai kasih sayang yang ber­ sendiri menjadi ikonitas personal orang.
lebihan sebagaimana dulu orang tuanya Dalam bahasa Sasak juga sering didengar
mendapatkan kasih sayang dari orang tua­ frasa abang mate, batu mate yang secara
nya juga. Kembang mate adalah tanda yang metaforis mengacu pada prilaku tidak baik
mempunyai sifat sebagai cermin. Anak seseorang. Oleh sebab itu, kata mate juga
menjadi cermin orang tua karena sifat menjadi indeksikal seseorang, yaitu ke­
orang tua mewujud di dalam diri anak. peribadian seseorang bisa dibaca atau di­
Dasar hubungan orang tua dan anak ada­ ketahui dari sorot matanya. Sehingga mate
lah hubungan genetik. Oleh karena itu, memiliki posisi yang sama dengan kata
anak menjadi ikon orang tua sehingga kembang yaitu substansial. Klausa buaq
anak menjadi simbol keluarga. Anak adalah ate kembang mate kemudian menjadi se­
tempat melihat diri, adalah tempat ber­ buah ungkapan tentang posisi urgen se­
cermin bagi orang tua. orang anak bagi orang tua Sasak sampai-
Frasa buaq ate kemudian menjadi symbol sampai diasosiasikan dengan permata (mi­
yang merujuk pada posisi anak dalam suku rah), kembang (bunga), ate (hati) dan mate
Sasak. Selanjutnya frasa kembang mate, se­ (mata) yang secara fungsional sangat ber­
cara etimologis kata kembang sendiri ber­ arti.
makna bunga yaitu benda yang disukai Pada larik ketiga yaitu mulen tulen ku­
orang karena keindahan yang dimiliki. bantelin, frasa mulen tulen mengacu pada
Pada tataran rhema, kembang kemudian kesungguhan yang ditunjukkan oleh orang
dipersepsikan sebagai sesuatu yang mem­ Sasak dalam menjaga dan mensyukuri
buat hati senang atau tenang. Dalam kul­ kehadiran seorang anak dalam keluarga.
tur Sasak sendiri sering didengar ung­ka­ Selanjutnya kata bantelin merupakan afik­
pan kembang keluarge yang memiliki padan­ sasi dari kata bantel yaitu mengikat/ter­
an makna dengan anak. Karena anak ada­ ikat. Kata bantel sendiri dilakukan pada
lah kembang/bunga yang mampu membuat sesuatu yang dianggap penting, ber­man­
orang tua bahagia. Sehingga selelah apa­ faat, berharga. Kata bantel juga adalah
pun orang tua bekerja, ketika melihat anak­ sesuatu yang sudah terikat kuat, ikatan
nya, rasa lelah itu bisa hilang. Atau sekuat yang kuat, dan harga mati dalam hu­bung­
apapun orang tua marah pada isterinya annya dengan buaq ate. Sehingga kata
jika melihat anaknya maka amarah itu bisa ban­tel sering ditemukan sinoniminya dalam
ditunda. Sehingga kata kembang menjadi bahasa Sasak seperti ungkapan bantelne
dicent yang cukup kuat yaitu sebagai penye­ mate, yang bermakna kematiannya terikat
lemor angen, pembuat rasa bahagia orang atau disebabkan sesuatu yang melekat
tua yang dalam konteks ini adalah anak pada seseorang, entah karena persoalan
itu sendiri. Sementara itu kata mate dalam cinta yang ditolak, sakit hati, maupun yang
bahasa Indonesia berarti mata yang pada lainnya. Pada tataran qualisign kata ban­
tataran rhema mengacu pada fungsi dan telin mengacu pada karakter orang Sasak

112 LITERA Volume 17, Nomor 1, Maret 2018


yang selalu menjaga atau mengikat sesuatu anaknya akan ada masa dimana kerelaan
yang dianggap berharga. Hal ini kemudian akan dituntut. Dalam hal ini kerelaan me­
menjadi manifestasi kultural Sasak yang lapas anak jika sudah menikah, pergi keluar
sejalan dengan lomboq (lurus) itu sendiri. desa seperti menuntut ilmu atau pergi be­
Secara umum klausa mulen tulen kubantelin kerja ke daerah rantauan. Frasa salon angin
menerangkan bagaimana wujud keseriusan kemudian menjadi manifestasi bahwa ke­
orang Sasak dalam menjaga anaknya (buaq cintaan, rasa memiliki yang dipegang teguh
ate kembang mate) sampai-sampai kata ku­ oleh orang tua dalam sanubarinya tidak­
bantelin memperkuat bukti keseriusan itu. lah hilang seutuhnya ketika anak pergi se­
Jiwa orang tua dan anak terikat menjadi cara ragawi dari orang tua mereka, akan
satu. Jika anaknya sakit, maka sakit pulalah tetapi akan tetap ada sisa cinta dan rasa
yang dirasakan oleh orang tuanya, begitu­ memiliki dalam jiwa untuk anaknya se­
pun sebaliknya. Dengan demikian, frase hingga cenderung akan melakukan apapun
Mulan tulen kubantelin ini adalah ungkapan untuk membantu anaknya menjalani hidup
yang dipahami sebagai sebuah sikap bahwa dengan sisa hidup yang dimilikinya. Frasa
apapun akan dilakukan walau harus mem­ salon angin pada tataran rhema yaitu hara­
pertaruhkan nyawa demi anak. Sikap itu pan. Sehingga salon angin kemudian men­
terlihat di dalam prilaku orang tua. Sikap jadi satu-satunya penyemangat yang akan
itu didasari oleh sebuah keyakinan bahwa dijaga oleh orang tua disebabkan semakin
anak adalah bentuk kepercayaan Tuhan besarnya anak maka semakin kompleks
kepada manusia. Oleh karena itu menjaga dan banyaknya kemungkinan yang akan
anak adalah menjaga kepercayaan, men­ terjadi dengannya seperti pergi jauh, me­
jaga sebuah titipan. Frase itu menjadi ikon nikah, merantau, meninggal, dll. Sehingga,
pembelaan, karena apapun yang menimpa frasa salon angin kemudian menjadi mani­
sang anak harus dibela. Pada dasarnya festasi harapan, penyemangat orang tua
anak selalu benar. Jika terdapat kesalahan Sasak ketika hal-hal yang sifatnya duniawi
dalam prilaku anak maka kesalahan itu datang menghampiri anaknya.
bukanlah kesalahan sang anak, tetapi ke­ Secara keseluruhan interpretasi pada
sa­lahan orang tua yang bisa dianggap gagal bait ini yaitu pembuktian karakter orang
dalam mendidik. Masyarakat Sasak selalu Sasak yaitu melankoli, kerelaan/keridho­
bertanya tentang anak siapa itu, jika anak an, rela untuk memiliki dan rela untuk me­
tersebut misalnya mempunyai prilaku bu­ lepas jika sewaktu-waktu sesuatu yang
ruk. dicintai harus pergi. Frase Sintung jari sa­
Pada larik sintung jari salon angin, frasa lon angin juga adalah ungkapan yang ber­
sintung jari sendiri dalam bahasa Indo­ne­ arti pembelaan dan atau pembenaran, ka­
sia bermakna sekedar menjadi, sedangkan rena apapun yang terjadi pada anaknya,
frasa salon angin bermakna sisa rasa. Kata orang tua akan membela sampai nafas
sintung sendiri menjadi ikonitas keikhlasan, terakhir. Demi anaklah sisa nafas yang
pasrah, berserah diri yang dilakukan orang dimiliki orang tua dan hanya untuknya
Sasak. Pada fase qualisign pembuat tem­ sisa nafas tersebut. Kata angin menjadi
bang sadar bahwa sekuat apapun ia bantel ikon dari angen (hati), sehingga salon angi(e)n
(ikat) rasa memiiki atau kecintaan terhadap dalam alam pikir orang Sasak termasuk

Representasi Bangsawan Sasak dalam Teks Angin Alus Masyarakat Sasak 113
yang menjadi pilihan kata dalam judul suku Sasak. Digunakannya kata denda da­
teks tersebut adalah angin sekaligus dengan lam bait tersebut menunjukkan bahwa
maksud angen (hati). orang Sasak yang dimaksudkan adalah
bang­sawan. Dende menjadi simbol Sasak.
Dari Ketidakberdayaan ke Penerimaan Dengan demikian, orang Sasak yang di­
Bait kedua, yaitu Berembe bae side dende, komunikasikan oleh teks itu adalah orang
jangke ngene, kembang mate kelepangne isiq bangsawan kawula. Frasa jangke ngene ber­
angin, laguq temah side dende, bau bedait maliq. makna sampai begini, pada tataran dicent
Frasa Berembe bae merupakan qualisign ter­ frasa jangke ngene menjadi bukti keresah­
hadap pengejawantahan ketidakberdayaan an, sesal dan harap sudah tidak bisa lagi
menghadapi kenyataan. Ungkapan tesebut dipendam karena sintung jari salon angin
menjadi sinsign dalam bentuk ketakutan, itu sendiri. Jangke ngene juga merupakan
sesal, bercampur rasa harap menjadi padu. simbolisasi ketakkuasaan orang Sasak pa­
Tidak mudah kemudian mengkombi­na­ da sesuatu yang bukan menjadi miliknya
sikan rasa tersebut, sehingga dibutuhkan secara dzat. Secara menyeluruh pada larik
pribadi dan jiwa yang kuat untuk bisa ini mengindikasikan rasa takut kehi­lang­
meng­imani ungkapan itu. Frasa side dende an sekaligus bentuk penerimaan atas apa­
bermakna anda (side), anak (dende). Kata pun yang menimpanya.
dende (anak) biasanya diacu pada anak Pada larik kedua yaitu kembang mate
perempuan, sedangkan kalau laki-laki di­ kelepangne isiq angin dapat dipahami da­
sebut (raden). Kata dende sendiri merupakan lam dua pengertian. Pertama, Frasa kembang
gelar kebangsawanan suku Sasak yang pa­ mate, secara etimologis kata kembang sen­
ling tinggi. Di depan nama bangsawan laki- diri bermakna bunga yaitu tumbuhan yang
laki memakai nama raden dan di depan disukai orang karena keindahan yang di­
nama bangsawan perempuan memakai miliki. Pada tataran rhema, kembang ke­
nama denda (Alaini, 2015: 116). Alaini mu­dian dipersepsi sebagai sesuatu yang
(2015: 116) juga menyebutkan nama gelar membuat hati senang atau tenang. Dalam
lain dalam nama bangsawan, yaitu lalu dan kultur Sasak sendiri sering didengar ungkap­
baiq. Penggunaan nama itu mempunyai an kembang keluarge (bunga keluarga) yang
kadar kebangsawanan lebih rendah diban­ memiliki padanan makna dengan anak.
dingkan dengan raden dan denda. Karena anak adalah kembang/bunga yang
Pada tataran rhema kata dende menjadi mampu membuat orang tua bahagia. Se­
pujian yang diberikan oleh orang tua Sasak hingga selelah apapun orang tua bekerja,
kepada anaknya, meskipun sang anak tidak ketika melihat anaknya, rasa lelah itu bisa
bergelar dende. Pada tataran sinsign orang hilang. Atau sekuat apapun orang tua marah
tua Sasak sering memanggil anaknya de­ pada isterinya jika melihat anaknya maka
ngan sebutan dende, kembeqne dende, araq amarah itu bisa ditunda. Sehingga kata
ape dende, napi dende, merupakan contoh kembang menjadi dicent yang cukup kuat
panggilan yang digunakan orang tua ke­ yaitu sebagai penyelemor angen, pembuat
pada anaknya sebagai tanda pujian, sayang rasa bahagia orang tua yang dalam konteks
dan cinta yang tinggi seperti tingginya ini adalah anak itu sendiri. Sementara itu
status dende tersebut dalam strata sosial kata mate dalam bahasa Indonesia berarti

114 LITERA Volume 17, Nomor 1, Maret 2018


mati. Pada tataran rhema mengacu pada modernitas (Budiwanti, 2000). Orang-orang
ketiadaan identitas, atau pudarnya kekhas­ sasak banyak yang memilih pergi dari
an pribadi luhur orang Sasak. Sehingga asalnya untuk mangadu nasib ke negara
kualitas tanda yang tampak yaitu orang lain (Lindquist, 2010), sedangkan yang
Sasak merasa ketakutan dengan semakin tidak pergi tetap diam dengan cara pandang
terpuruknya pemahaman dan kecintaan baru yang disebut modernitas. Seni musik
orang Sasak akan kultur dan nilai filosofi tradisi sudah bercampur dengan seni mo­
adatnya. Pada tataran sinsign kata mate dern, misalnya musik kecimol (Yudarta
mengacu pada semua yang hidup dan & Pasek, 2017: 317). Semua itu terjadi pada
diciptakan dalam kehidupan tidak ada semua ruang baik pada levelperkawinan,
yang abadi, semua akan kembali kepada rumah tangga sampai pada level kenegara­
pemilik diri. Oleh sebab itu frasa kembang an dalam konteks kesadaran berbangsa
mate menjadi simbolitas pudarnya nilai- orang Sasak. Pada tataran indeksikal frasa
nilai luhur, cinta, harapan, dan kejujuran tersebut menggambarkan bahwa tidak ada
yang selama ini disematkan dan menjadi keabadian di dunia ini. Selanjutnya pada
identitas Sasak. jika anak adalah harapan tataran dicent frasa tersebut menjadi bukti
maka pudarlah harapan ketika sang anak nyata bahwa saat ini apa yang sudah men­
sudah dibawa arus peradaban, kelepang siq jadi tradisi leluhur, yang dikeramatkan,
angin. Kedua, kembang mate adalah metafor didewakan karena dianggap sebagai bagian
untuk anak. Kembang mate mengandung dari jalan hidup berangsur-angsur meng­
pengertian cermin orang tua. Dikatakan hilang. Apalagi hegemoni media dan arus
demikian karena orang tua melihat dirinya budaya luar yang setiap hari merasuki
sendiri ketika melihat anaknya. Kata mate alam bawah sadar generasi Sasak sehingga
dalam pengertian yang kedua adalah mata. perlahan tapi pasti mereka meninggalkan
Kembang yang mati (mate) dan kembang semua ajaran dan falsafah hidup yang sudah
mate (cermin orang tua) menunjukkan menjadi pakem leluhur gumi Sasak. Semen­
kondisi terbawa oleh angin (kelepangne isiq tara itu pada tataran qualisign frasa di atas
angin). Selanjutnya frasa kelepangne isiq menjadi jeritan hati yang cukup mendalam
angin bermakna diterbangkan atau terbawa bagi orang tua Sasak atas fenomena kekini­
oleh angin. Dalam pengertian yang per­ an yang menggerogoti generasinya. Tidak
tama, kembang mate mengacu pada konsep ada yang bisa dilakukan kecuali menjadi­
hidup dalam mati oleh karena itu dibawa kan itu sebagai bantel angen, sintung jari
oleh angin kehidupan, oleh peradaban. salon angen, hanya sekedar menjadi sisa
Pada tataran rhema frasa ini bermakna rasa, sisa harapan, sisa impian yang dibang­
kehilangan dan ketiadaan diri. Kehilangan gakan.
yang dimaksud adalah kehilangan identitas Baris selanjutnya yaitu laguq temah side
itu sendiri, kehilangan buaq ate kembang dende yang bermakna tapi bagaimana lagi
mate yang selama ini dipuja dan dijunjung anakku. Klausa ini menjadi ikonitas kerela­
tinggi oleh orang tua Sasak. Angin dalam an orang Sasak yang selalu berpikiran
frase kelepangna isiq angin menjadi simbol posistif atas sikap atau tindakan yang
peradaban. Dunia tardisi dan cara pandang­ sejatinya melukai perasaannya. Pada ta­
nya terbawa oleh oleh arus atau angin taran qualisign dimaknai bahwa suku Sasak

Representasi Bangsawan Sasak dalam Teks Angin Alus Masyarakat Sasak 115
khususnya orang tua Sasak selalu op­ti­mis­ hindari takdir. Tetapi yang paling penting
tik di tengah keterpurukan yang mengan­ adalah orang tua dan anak masih bisa ber­
cam mereka. Nilai optimistik inilah ke­mu­ temu, menyatu. Pertemuan keduanya di­
dian menjadikan peribadi Sasak menjadi sebabkan oleh kerinduan penyatuan akan
peribadi yang tangguh dan kuat dengan asal dan tujuan, antara yang diberi kasih
beragam persoalan. Sementara itu pada sayang dan yang menerima kasih sayang.
tataran sinsign menunjukkan bahwa be­ Pada tataran rhema frasa ini bermakna
berapa kali Sasak dikuasai oleh pihak luar, harapan, peluang. Harapan agar tidak lagi
namun tetap saja merunduk, mengambil terbawa arus kehidupan (kelepangne isiq
hikmah setiap kejadian dan optimis bahwa angin) tidak terjadi lagi. Pada tataran qua­
hari esok akan lebih baik. Bahkan sampai lisign mengacu pada keyakinan yang kuat
saat ini kita melihat pola ini masih meng­ akan keajaiban pada hari esok. Keyakinan
hinggapi kehidupan orang Sasak, menjadi akan segala yang pergi akan digantikan
buruh di rumah sendiri namun mereka dengan yang lebih baik. Keyakinan akan
tetap saja menerima dan yakin bahwa akan kepergian buaq ate kembang mate, kelepangne
ada hari baik esoknya. Sehingga ungkap­ isiq angin pasti dipertemukan kembali. Se­
an sehari-hari seperti ape yak te uni, mule mentara itu pada tataran rhema frasa di
ye wah aneh (memang begitulah), menjadi atas menujukkan bahwa orang Sasak tidak
bukti nyata bahwa kerelaan dan optimistis pantang menyerah, tidak pernah putus asa
selalu ada dalam sanubari orang Sasak. atas segala sesuatu yang menimpanya ka­
Dengan demikian, frase laguq temah adalah rena segala sesuatu yang terjadi sudah ada
tanda yang menunjukkan penerimaan tak­ ketentuan dari pemilik kehidupan. Sehingga
dir bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam membumikan semangat pantang putus
kehidupan sudah digariskan tuhan. Apapun asa dan selalu menerima takdir dengan
yang terjadi dan dialaminya adalah se­su­ selalu optimis akan sebuah keadaan yang
atu yang memang sudah ditentukan tuhan lebih baik adalah salah satu cara untuk
yang menjadi nasibnya ketika melaksana­ tetap bisa bertahan menjalani hidup dalam
kan hidup di dunia. Artinya, semua yang kolonialisme yang berkepanjangan, ber­
terjadi tersebut adalah pemberian tuhan ta­han menjaga norma dan nilai diri yang
yang semuanya tampil nyata dalam bentuk semakin memudar dan bercampur dengan
peristiwa, baik yang sifatnya baik maupun yang lain.
yang tidak baik. Hal itu terjadi juga dalam
cerita rakyat Sasak seperti Putri Mandalika, Kabar Kesedihan Bangsawan Sasak
Dewi Rengganis, dan Dende Cilinaye. Pembacaan semiotik tersebut di atas
Baris terakhir yaitu bau bedait malik ber­ mengantarkan pada pemaknaan teks ke
makna semoga bisa bertemu kembali dan dalam konteks yang lebih luas. Orang Sasak
menunjukkan bahwa apapun yang terjadi yang mana yang direpresentasikan oleh
pada sang anak yang terpenting adalah teks tersebut. Melalui pembacaan semiotik
masih bisa bertemu lagi (bedait malik) walau tersebut dapat diketahui representasi Sasak
dalam keadaan mengaharukan. Pertemu­ yang mana yang ditunjukkan oleh teks
an itu terjadi dalam kondisi berserah diri angin alus. Secara keseluruhan teks angin
bahwa tidak ada daya upaya untuk meng­ alus sebagai sebuah tanda mengacu kepada

116 LITERA Volume 17, Nomor 1, Maret 2018


masyarakat Sasak kelas bangsawan-kawula. buatnya terbuka untuk diinterpretasi.
Penggunakan istilah mas mirah dan denda, Dengan pembacaan semiotik di atas,
dan dengan demikian orang tua Sasak yang struktur teks menunjukkan bahwa ma­sya­
dimaksudkan, yang merasa kehilangan rakat Sasak kelas bangsawan kawula me­
dan merasakan luka tersebut adalah kelas rasakan sedih dan luka. Penderitaan ter­
bangsawan kawula. Dalam konteks masa sebut disebabkan oleh arus kehidupan atau
kini, perasaan itu dialami juga oleh perwanga peradaban. Dunia teks tersebut ditunjukkan
dengan jamaq. Oleh karena itu, representasi oleh baris mulan tulen kubantelin, sintung
Sasak-Lombok dalam teks angin alus adalah jari salon angin, berembe bae, kelepangna isiq
representasi bangsawan kawula. Representasi angin, laguk temah. Teks tersebut menga­
Sasak dalam teks rersebut dapat dikatakan barkan kesedihan orang Sasak bangsawan-
representasi “yang lain.” Teks angin alus kawula. Dalam konteks masa kini, banyak
adalah representasi diri Sasak yang lain bangsawan yang masih bangga dengan
(other), yang berbeda dari self. Interpretasi gelar kebangsawanannya. Sedikit di antara
terhadap teks angin alus ini adalah upaya mereka yang mampu mempertahankan
mengungkap atau melestarikan makna yang kekayaannya seperti tanah. Pada zaman
tersebunyi di dalam teks tersebut. penafsiran kolonial, mereka menempati posisi penting
tersebut muncul sebagai bentuk refleksi dalam pemerintahan. Mereka memiliki
peneliti sebagai orang Sasak yang sampai banyak tanah dan menjadi tuan tanah.
saat ini masih menemukan kenyataan Namun, ketika Indonesia merdeka ia masih
bahwa para bangsawan Sasak merasa diri bertahan di bawah pemimpin Jawa. Ketika
sebagai manusia asli Sasak yang paling pemimpin daerah mulai diambil alih oleh
tahu siapa Sasak sebenarnya dan seperti putra daerah, oleh Sasak yang diasumsikan
apa budayanya. Teks angin alus masih ada asli, mereka mulai kesulitan bertahan.
dan terus ada untuk mengabarkan tentang Banyak di antara bangsawan menjual tanah
berita kesedihan yang dialami oleh generasi dan hidup sederhana. Mereka sulit meraih
penerus Sasak. Dalam konteks sekarang, posisi dengan mengandalkan gelar bangsa­
dan dalam interpretasi masa kini, para wan. Sekitar tahun 2000-an, banyak di
bangsawan tersebut mengalami kesulitan antara mereka memilih merantau keluar
untuk bertahan hidup dengan gelar kebang­ negeri menjadi tenaga kerja. Perempuan
sawananya ketika dunia modern lebih mem­ bangsawan mulai kesulitan menemukan
butuhkan gelar akademik dalam mencari jodoh yang sesama bangsawan. Ketika pe­
pekerjaan. Mereka, para generasi bangsa­ rempuan bangsawan menikah dengan laki-
wan, memilih merantau ke negeri orang laki perwangsa dengan jamaq atau jajar karang,
daripada menjadi buruh di negeri sendiri. mereka dibuang atau tidak dianggap lagi
Interpretasi peneliti yang dikemukakan sebagai anak. Mereka masih memegang
di atas adalah usaha menggapai makna teguh adat walau harus melepaskan anak­
tersirat yang tidak dimaksudkan oleh pe­ nya, membuang anaknya. Pada akhirnya
ngarangnya, karena dunia ketika teks dibuat seiring waktu, sang anak akan diterima
jauh berbeda dengan ketika sekarang teks kembali, bertemu (bedait), menyatu kembali
tersebut diproduksi ulang dengan media sebagai keluarga dalam suasana yang ber­
yang berbeda. Konteks yang berbeda mem­ beda, suasana sedih. Bangsawan yang ber­

Representasi Bangsawan Sasak dalam Teks Angin Alus Masyarakat Sasak 117
tahan dengan adat sepenuhnya tidak me­ kesedihan masyarakat Sasak kelas bangsa­
nerima anaknya kembali. Bangsawan yang wan. Namun, tidak dapat diingkat para
sudah pernah mengenyam pendidikan bangsawan Sasak tersebut sudah belomboq
tinggi lebih terbuka menyikapi adat. Dunia atau meLombok. Bangsawan menjadi sim­
yang ditawarkan teks tersebut tersebut bol Jawa yang meLombok. Bangsawan da­
membuat peneliti sadar bahwa sebagai lam teks itu direpresentasikan sebagai orang
seorang anak, terlepas dari apakah bangsa­ yang siap menerima takdir dan merindu­
wan atau perwangsa dengan jamaq, harus kan penyatuan kembali antara orang tua
siap menerima takdir sekalipun sesuatu dan anak, antara asal dan tujuan. Kenya­
yang menimpanya tidak diharapkannya, taan tersebut membuat peneliti sadar bahwa
namun bukan berarti tanpa bisa diubah. cara pandang Sasak dan makna diri se­ba­
Frase bau bedait malik dalam teks tersebut gai orang Sasak tidaklah tunggal, namun
menunjukkan kemungkinan untuk meng­ beragam. Beragamnya pandangan tersebut
ubah sesuatu yang sudah terjadi itu menjadi menunjukkan bahwa masyarakat Sasak
sesuatu yang diharapkan atau dicitakan. mengalami percampuran dengan pihak
Namun, semuanya tergantung pada se­be­ luar.
rapa kuat keyakinan kita untuk meng­u­bah­
nya. Konsep bau bedait adalah upaya mem­ UCAPAN TERIMA KASIH
perbaiki apa yang sudah terjadi atau kita Ucapan terima kasih disampaikan ke­
lakukan, baik yang berupa kesalahan mau­ pada teman sejawat yang telah memberi
pun kecerobohan. masukan dalam proses penelitian. Ucapan
terima kasih disampaikan juga kepada
SIMPULAN reviewer yang telah memberi masukan
Berdasarkan hasil dan pembahasan untuk perbaikan artikel ini.
dapat disimpulkan hal-hal berikut. Pertama,
dunia teks yang digelar teks angin alus DAFTAR PUSTAKA
adalah dunia tragik, kabar luka dan kese­ Alaini, Nining Nur. 2015. Stratifikasi Sosial
dihan. Luka dan kesedihan akibat denda Masyarakat Sasak dalam Novel Ketika
(sang anak) yang merupakan cermin dirinya Cinta Tak Mau Pergi Karya Nadhira
(buaq ate kembang mate), permata hati (mas Khalid, Jurnal Kandai, Volume 11
mirah) terbawa arus kehidupan dan pera­ Nomor 1, hlm 110-123
daban. Kabar itu memposisikan anak se­ Budiwanti, Erni. 2000. Islam Sasak: Islam
bagai sebuah kebenaran dan sebagai harga Wetu Telu versus Islam Wetu Lima. Yogya­
diri. karta: Lkis.
Kedua, kabar ketidakberdayaan dan Fajri, Muhammad. 2015. Mentalitas dan
penerimaan atas arus peradaban (modern­ Ideologi dalam Tradisi Historiografi Sasak-
isme) yang membawanya ke dalam dunia Lombok abad XIX-XX. UGM. Diser­
baru yang berbeda dengan dunia tradisi. tasi Ilmu Sejarah.
Ketiga, rasa kehilangan dan kesedihan ter­ Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah
sebut dialami oleh masyarakat Sasak kelas Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka
Bangsawan. Dengan demikian, teks angin Pelajar.
alus merepresentasikan kehilangan dan Fauzan, Ahmad. 2013. Mitologi Asal-Usul

118 LITERA Volume 17, Nomor 1, Maret 2018


Orang Sasak (Analisis Struktural Noth, Winfried. 1995. Handbook of Semiotik.
pemikiran orang Sasak dalam Tembang Abd. Syukur Ibrahim (ed.). 2006.
Doyan Neda). UGM. Tesis Antropologi. Surabaya: Universitas Airlangga.
Hagerdal, H. (2016). Expansion in the Sha­ Nuriadi. 2014. Mendefinisikan Orang Sasak
dow of the Company. Bijdragen tot de melalui Habitusnya: “Pelagaq Lekong
Taal-, Land- en De Volkenkunde, 172 Belah,” dalam Prosiding Kongres
(2/3), pp 279-309 . Bahasa Daerah NTB, hal 227-242.
Haryatmoko. 2015. Membongkat Rezim Ke­ Trisnawati, Ida Ayu dkk. 2016. Strands of
pastian, Pemikiran Kritis Post-Struk­tu­ra­lis. Gumi Sasak Pearl: Harmoni-based Tourism
Yogyakarta: Beokoe Tjap Petroek. Product in Mataram City, West Nuda
Jamaludin. 2011. Sejarah Sosial Islam di Tenggara Barat, dalam Mudra Journal
Lombok tahun 1740-1935. Jakarta: of Art dan Culture Volume 31 Nomor
Kemen­trian Agama. 3, hlm 29 5-307.
Kingsley, Jeremy. 2011. Pelopor Perdamaian Usup. 2011. Citra Pluralitas dan Religisitas
atau Perusak Perdamaian?: Pemilihan Masyarakat Sasak di Lombok: Tinjauan
Kapala Daerah, Kepemimpinan Agama, Sosio-semiotik atas Ta Melak Mangan.
dan Proses Perdamaian di Lombok, Indo­ Universitas Gajah Mada: Yogyakarta.
nesia, dalam Kegalauan Identitas: Tesis.
Agama, Etnisitas, dan Kewarganegaraan Yudarta, I Gede & Pasek, I Nyoman. (2017).
pada masa PascaOrdebaru. Jakarta: Kecimol Music as Cultral Idetification
Gramedia. of Sasak Ethnic, dalam Mudra Journal
Lindquist, Johan. 2010. Labour Recruitment, of Art and Culture, Vol 32 Nomor 3,
Circuit of Capital and Gendered Mobility: hlm 314-318
Reconceptualizing the Indoesian Migration Yudarta, I Gede. 2016. Potensi Seni Pertun­
Industry. Pacific Affair, Volume 83 jukan Bali sebagai Penunjang Pariwisata
Nomor 1, hlm 115-132 di Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat,
dalam Mudra Vol. 31 No. 1, hlm 37-53.

Representasi Bangsawan Sasak dalam Teks Angin Alus Masyarakat Sasak 119

Anda mungkin juga menyukai