Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH FARMAKOTERAPI KARDIOVASKULAR DAN ENDOKRIN

“Stroke dan Transient Ischemic Attack”

OLEH:

ADELLA ZILVA AZNI (1801001)

AGUS PUTRA SETIAWAN (1801003)

ALHANINA SALSABILA (1801005)

BAYU ASTUTIK (1801009)

SITI ARIFAH FITRIYANTI (1801037)

NABILA INDAH SARI (2001196)

VANNI RISTIANINGRUM (2001199)

DOSEN PENGAMPU :

apt. Septi Muharni, M.Farm

PROGRAM STUDI S1 FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU

YAYASAN UNIV RIAU

2020

1
DAFTAR ISI

1. Definisi.......................................................................................................................2

1.1 Definisi Stroke....................................................................................................2

1.2 Definisi TIA (Transient Ischemic Attack)..........................................................2

2. Epidemiologi.............................................................................................................2

2.1 Epidemiologi Stroke...........................................................................................2

2.2 Epidemiologi TIA (Transient Ischemic Attrack)................................................3

3. Etiologi....................................................................................................................4

3.1 Etiologi Stroke....................................................................................................4

3.2 Etiologi TIA (Transient Ischemic Attrack).......................................................5

4. Patofisiologi...............................................................................................................8

4.1 Patofisiologi Stroke............................................................................................8

4.2 Patofisiologi TIA (Transient Ischemic Attack)...............................................10

5. Manifestasi Klinis..................................................................................................11

5.1 Manifestasi Klinis Stroke................................................................................11

5.2 Manifestasi Klinis TIA (Transient Ischemic Attack)......................................12

6. Penatalaksanaan.....................................................................................................14

6.1 Penatalaksanaan Stroke....................................................................................14

6.2 Penatalaksanaan TIA (Transient Ischemic Attack).........................................26

OBAT
Daftar Pustaka

1
1. Definisi

1.1 Definisi Stroke


Menurut WHO, stroke adalah gangguan fungsional otak sebagian atau
menyeluruh yang timbul secara mendadak dan akut yang berlangsung lebih dari 24 jam,
yang disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak (WHO, 1998). Stroke (berasal
dari kata strike) berarti pukulan pada sel otak. Biasanya terjadi karena adanya gangguan
distribusi oksigen ke sel otak. Hal ini disebabkan gangguan aliran darah pada pembuluh
darah otak, mungkin karena aliran yang terlalu perlahan, atau karena aliran yang terlalu
kencang sehingga pecah (perdarahan), akhirnya sel-sel otak yang diurus oleh pembuluh
darah tersebut mati (Yatim F, 2005). Stroke adalah kondisi yang terjadi ketika sebagian
sel-sel otak mengalami kematian akibat gangguan aliran darah karena sumbatan atau
pecahnya pembuluh darah di otak. Aliran darah yang terhenti membuat suplai oksigen
dan zat makanan ke otak juga terhenti, sehingga sebagian otak tidak dapat berfungsi
sebagaimana mestinya (Utami P, 2009).
Dari beberapa definisi stroke di atas, dapat disimpulkan bahwa stroke adalah
suatu serangan mendadak yang terjadi di otak dan dapat mengakibatkan kerusakan pada
sebagian atau secara keseluruhan dari otak yang disebabkan oleh gangguan peredaran
pada pembuluh darah yang mensuplai darah ke otak, biasanya berlangsung lebih dari 24
jam.

1.2 Definisi TIA (Transient Ischemic Attack)


Transient ischemic attack (TIA) atau serangan iskemik transien adalah gangguan
sementara dalam fungsi otak akibat penyumbatan aliran darah keotak yang
sementara.TIA adalah serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan singkat
akibat iskemia otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan tingkat
penyembuhan bervariasi tetapi biasanya dalam 24 jam.TIA mendahului stroke
trombotik pada sekitar 50% sampai 75% pasien (Harsono, 2009).

2. Epidemiologi
2.1 Epidemiologi Stroke
Stroke sebesar 10% dari seluruh kematian di dunia merupakan penyebab
kematian nomor 3 setelah penyakit jantung koroner (13%) dan kanker (12%) di negara
– negara maju.Prevalensi stroke bervariasi di berbagai belahan dunia.Prevalensi stroke
di Amerika Serikat adalah sekitar 7 juta (3,0%), sedangkan di Cinaprevalensi stroke

2
berkisar antara 1,8% (pedesaan) dan 9,4% (perkotaan). Di seluruh dunia, Cina
merupakan negara dengan tingkat kematian cukup tinggi akibat stroke (19,9% dari
seluruh kematian di Cina), bersama dengan Afrika dan Amerika Utara. Insiden stroke
di seluruh dunia sebesar 15 juta orang setiap tahunnya, sepertiganya meninggal dan
sepertiganya mengalami kecacatan permanen.Sekitar 795.000 pasien stroke baru atau
berulang terjadi setiap tahunnya.Sekitar 610.000 adalah serangan pertama dan 185.000
adalah serangan berulang.Angka kematian akibat stroke ini mencapai 1 per 18 kematian
di Amerika Serikat.Kurun waktu 5 tahun, lebih dari setengah pasien stroke berusia> 45
tahun akan meninggal 2,4-5 Data World Health Organization (WHO) menunjukkan
bahwa kematian sebesar 7,9 % dari seluruh jumlah kematian di Indonesia disebabkan
oleh stroke.Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Rikesda, 2013) bahwa prevalensi
stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per 1000
penduduk dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per 1000
penduduk.

2.2 Epidemiologi TIA (Transient Ischemic Attrack)


Antara 200.000 dan 500.000 TIA didiagnosis setiap tahun di Amerika
Serikat.Gawat darurat (ED) mendapatkan TIA terjadi pada tingkat perkiraan 1,1 per
1.000 penduduk AS, dan TIA didiagnosis pada 0,3% dari kunjungan ED. TIA
membawa risiko jangka pendek yang sangat tinggi terhadap stroke, dan sekitar 15%
dari stroke didiagnosa didahului oleh TIA. Secara internasional, kemungkinan TIA
adalah sekitar 0,42 per 1000 penduduk di negara-negara maju. TIA terjadi pada sekitar
150.000 pasien per tahun di Inggris.Insiden TIA meningkat dengan usia, dari 1-3 kasus
per 100.000 pada mereka yang lebih muda dari umur 35 tahun untuk sebanyak 1.500
kasus per 100.000 pada mereka yang lebih tua dari umur 85 tahun. Kurangdari 3% dari
semua infark serebral besar terjadi pada anak-anak.Stroke pediatrik sering dapat
memiliki etiologi yang cukup berbeda dari stroke dewasa dan cenderung terjadi dengan
frekuensi yang lebih sedikit.Insiden TIA pada pria (101 kasus per 100.000 penduduk)
secara signifikan lebih tinggi dibanding perempuan (70 per 100.000) (David,2003)

(NABILA INDAH SARI (2001196))

3
3. Etiologi
3.1 Etiologi Stroke
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling seringdisebabkan oleh
emboli ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selainitu, stroke non hemoragik juga
dapat diakibatkan oleh penurunan aliranserebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses
yang mengganggu alirandarah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik
yang berujung pada terjadinya kematian neuron dan infark serebri.
1. Emboli Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akantetapi
dapat juga di jantung dan sistem vaskuler sistemik.
a) Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis,dapat berasal dari
“plaque athersclerotique” yang berulserasi atau dari trombus yang melekat pada
intima arteri akibat trauma tumpul pada daerah leher.
b) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1. Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan dengan
bagian kiri atrium atau ventrikel
2. Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yangmeninggalkan
gangguan pada katup mitralis
3. Fibralisi atrium
4. Infarksio kordis akut
5. Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
6. Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial,jantung
miksomatosus sistemik
c) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1. Embolia septik, misalnya dari abses paru ataubronkiektasis.
2. Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
3. Embolisasi lemak dan udara atau gas N
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-sided
circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah
trombi valvular seperti pada mitral stenosis,endokarditis, katup buatan), trombi mural
(seperti infark miokard, atrialfibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial
miksoma.Sebanyak 2-3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan85
persen di antaranya terjadi pada bulan pertama setelah terjadinyainfark miokard.
2. Trombosis

4
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluhdarah besar
(termasuk sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi
dan sirkulus posterior). Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik
percabangan arteri serebral utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis
interna. Adanya stenosis arteri dapat menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah
(sehingga meningkatkan resiko pembentukan trombus aterosklerosis (ulserasi plak),
dan perlengketan platelet.
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemiasickle sel,
defisiensi protein C, displasia fibromuskular dari arteriserebral, dan vasokonstriksi
yang berkepanjangan akibat gangguanmigren. Setiap proses yang menyebabkan
diseksi arteri serebral jugadapat menyebabkan terjadinya stroke trombotik
(contohnya trauma,diseksi aorta thorasik, arteritis).

3.2 Etiologi TIA (Transient Ischemic Attrack)


Transient Ischemic Attack (Serangan Iskemik Sesaat) disebabkan oleh faktor
penyebab yang sama dengan stroke. Iskemia adalah istilah kedokteran yang biasa
digunakan untuk menggambarkan penurunan suplai darah dan oksigen pada sel. Stroke
iskemik terjadi saat arteri yang mensuplai perdarahan otak mengalami gangguan.
Keadaan ini bisa disebabkan oleh stenosis dari arteri, yang mengganggu aliran darah,
kemudian menyebabkan turbulensi yang dapat membentuk trombus. Klot tersebut dapat
terbentuk pada arteri yang memperdarahi otak, atau dapat terjadi pada bagian tubuh
lainnya yang kemudian terbawa sampai ke otak.
Partikel bebas yang terbawa arus dinamakan embolus, dan klot yang terbawa
bebas dinamakan tromboemboli. Klot lokal dan yang berasal dari bagian tubuh lainnya
merupakan penyebab utama dari stroke dan TIA. Emboli otak yang paling sering
menjadi penyebab stroke berasal dari arteri carotis pada leher.
Faktor resiko terjadinya TIA sama dengan faktor resiko penyebab stroke. Definisi
dari faktor resiko sendiri, yaitu karakteristik, tanda atau kumpulan gejala pada penyakit
yang diderita individu yang mana secara statistik berhubungan dengan peningkatan
kejadian kasus baru berikutnya (beberapa individu lain pada suatu kelompok
masyarakat). Beberapa faktor resiko TIA ada yang dapat dimodifikasi dan ada yang
tidak. Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu:
1. Hipertensi

5
Merupakan penyebab utama pada stroke. Meskipun seseorang dengan
peningkatan tekanan darah sedang, tetap memiliki resiko lebih tinggi untuk
terkena stroke dibandingkan seseorang dengan tekanan darah yang normal.
Peningkatan darah ringan hingga besar pada seseorang meningkatkan kejadian
terkena stroke pada individu tersebut hingga 10 kali lipat. Tekanan darah yang
lebih tinggi berarti resiko yang meningkat. Meskipun pengurangan tekanan
diastol yang hanya sebesar 6 mmHg, nilai tersebut dapat menurunkan resiko
stroke sebesar 42%.
2. Merokok
Merokok saat ini telah menunjukkan dapat meningkatkan kejadian hipertensi,
aterosklerosis, dan peningkatan resiko terkena stroke hingga 2 sampai 4 kali
dibandingkan dengan individu yang tidak merokok. Teradapat hubungan respon
berdasarkan dosis antara merokok dengan kejadian iskemia serebral, perokok
berat memiliki resiko yang lebih tinggi.
Konsumsi tembakau lebih dari satu bungkus sehari dapat melipatgandakan resiko
terkena stroke. Berhenti merokok selama 5 tahun akan mengurangi resiko
terjadinya stroke hingga sama dengan resiko pada orang yang tidak pernah
merokok.
3. Penyakit Jantung dan Aritmia
Keadaan ini juga sering menjadi penyebab stroke, namun beberapa keadaan
tersebut bersifat kongenital. Tipe aritmia yang dinamakan atrial fibrilasi
seringkali dihubungkan dengan terjadinya stroke. AF dapat meningkatkan
kejadian stroke dan terbentuknya emboli hingga 5 kali lipat.
4. Konsumsi Alkohol
Hubungan antara konsumsi alkohol dan stroke merupakan sesuatu yang
kompleks. Konsumsi alkohol dengan jumlah sedikit dapat menurunkan resiko
terjadinya stroke, sedangkan mengkonsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak
dapat meningkatkan kejadian stroke hingga 2-5 kali.
5. Diabetes melitus meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler dan
serebrovaskuler. Kadar gula darah yang terkontrol dapat menurunkan resiko
terjadinya stroke. Peningkatan kejadian serangan awal dari stroke meningkat
sebanyak 2-6,5 kali pada wanita dan 1,5-2 kali pada pria.
Berikut merupakan faktor yang tidak dapat dimodifikasi:

6
 Jenis Kelamin
Pria memiliki kecenderungan terkena stroke sebanyak 1,25 kali lebih besar
dibandingkan dengan wanita, namun karena wanita rerata usia hidupnya lebih
lama dibandingkan pria, lebih banyak wanita yang mati karena stroke tiap
tahunnya.
 Usia
Usia adalah salah satu faktor resiko tunggal yang paling penting pada stroke.
Setiap individu di atas 55 tahun memiliki resiko 2 kali lipat untuk terkena stroke,
baik pada pria maupun wanita.
 Genetik
Peningkatan kejadian stroke pada suatu keluarga telah lama dicatat. Penyebab
faktor familial juga berperan pada stroke antara lain adalah karena faktor
keturunan yang cenderung mengidap stroke, faktor keturunan terhadap faktor
resiko stroke lain, dan pola hidup keluarga tersebut. Penelitian belakangan ini
menemukan bahwa terdapat peningkatan reisko pada pria dengan ibu yang
meninggal akibat stroke dan wanita yang memiliki stroke pada riwayat penyakit
keluarga.
 Ras
Kejadian stroke dan angka mortalitas sangat bervariasi antara ras satu dengan
lainnya. Ras kulit hitam memiliki resiko sebesar 2 kali lipat untuk terkena stroke
dibandingkan dengan ras kulit putih. Pada usia 45-55 tahun, angka kematian pada
ras Afirka-Amerika meningkat 4 sampai 5 kali dibandingkan dengan ras kulit
putih, perbedaan tersebut berkurang seiring dengan peningkatan usia.
Ras asia, terutama suku Cina dan Jepang, memiliki angka kejadian stroke yang
tinggi. Kejadian stroke dan angka kematiannya di Jepang sangat tinggi belakangan
ini yang sebagian besar disebabkan oleh penyakit jantung.
Beberapa penyebab potensial terjadinya stroke telah dapat diindentifikasi,
termasuk di antaranya:
1. Aterosklerosis pada arteri karotis eksterna dan arteri vertebral serta arteri
intrakranial.
2. Embolus: akibat dari penyakit katup, trombus pada ventrikel, pembentukan
trombus akibat atrial fibrilasi, kelainan pada arkus aorta, pembentukan emboli
akbibat foramen oval yang paten (PFO) atau defek pada septum atrium (ASD).

7
3. Disesksi pembuluh darah arteri
4. Arteritis yang disebabkan proses inflamasi pada arteri yang terjadi terutama pada
usia lanjut, lebih sering pada wanita; karena noninfectious necrotizing vasculitis
(penyebab utama); obat-obatan; radiasi, trauma lokal, dan penyakit jaringan ikat.
5. Obat-obatan simpatomimetik
6. Lesi akibat masa (tumor atau subdural hematoma), kejadian ini jarang
menimbulkan gejala yang sesaat (TIA), lebih mengarah kepada gejala yang
progresif dan persisten.
7. Hiperkoagulasi (akibat genetik, kanker, maupun proses infeksi)
(Vanni Ristianingrum (2001199))

4. Patofisiologi
4.1 Patofisiologi Stroke
Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA) yang serupa
dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan defisit
neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung
membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya dalam
24 jam. TIA mendahului stroke trombotik pada sekitar 50% sampai 75% pasien
(Harsono, 2009).

Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut:


1) Stroke Iskemik
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis
(terbentuknya ateroma) dan arteriolosklerosis. Aterosklerosis dapat menimbulkan
bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:
a. Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran
darah
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus atau perdarahan
aterom
c. Merupakan terbentuknya thrombus yang kemudian terlepas sebagai emboli
d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang
kemudian dapat robek.
Embolus akan menyumbat aliran darah dan terjadilah anoksia jaringan otak
di bagian distal sumbatan. Di samping itu, embolus juga bertindak sebagai iritan
yang menyebabkan terjadinya vasospasme lokal di segmen di mana embolus

8
berada. Gejala kliniknya bergantung pada pembuluh darah yang tersumbat.
Ketika arteri tersumbat secara akut oleh trombus atau embolus, maka area sistem
saraf pusat (SSP) yang diperdarahi akan mengalami infark jika tidak ada
perdarahan kolateral yang adekuat. Di sekitar zona nekrotik sentral, terdapat
‘penumbra iskemik’ yang tetap viable untuk suatu waktu, artinya fungsinya dapat
pulih jika aliran darah baik kembali. Iskemia SSP dapat disertai oleh
pembengkakan karena dua alasan:

1. Edema sitotoksik yaitu akumulasi air pada sel-sel glia dan neuron yang rusak
2. Edema vasogenik yaitu akumulasi cairan ektraselular akibat perombakan
sawar darah-otak.
Edema otak dapat menyebabkan perburukan klinis yang berat beberapa hari
setelah stroke mayor, akibat peningkatan tekanan intrakranial dan kompresi
struktur-struktur di sekitarnya (Smith et al, 2001).
2) Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua stroke,
dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga
terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke dalam jaringan
otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan perdarahan
subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan malformasi arteriovena
(MAV). Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau
amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan perdarahan
intraserebrum atau subarakhnoid. Perdarahan intraserebrum ke dalam jaringan
otak (parenkim) paling sering terjadi akibat cedera vaskular yang dipicu oleh
hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang menembus jauh ke
dalam jaringan otak. Biasanya perdarahan di bagian dalam jaringanotak
menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk secara progresif
dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis di sisi yang
berlawanan dari letak perdarahan merupakan tanda khas pertama pada
keterlibatan kapsula interna. Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan
ketergantungan dinding aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan
tekanan di dalam dan di luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang
subarakhnoid dan menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan
serebrospinalis. Darah ini selain dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial, juga dapat melukai jaringan otak secara langsung oleh karena

9
tekanan yang tinggi saat pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak (Price,
2005).

4.2 Patofisiologi TIA (Transient Ischemic Attack)


TIA ditandai dengan penurunan sementara atau penghentian aliran darah otak
dalam distribusi neurovaskular tertentu sebagai akibat dari sebagian atau total oklusi,
biasanya dari penyempitan pembuluuh darah atau emboli serebral. Manifestasi klinis
akan bervariasi, tergantung pada pembuluh darah dan wilayah otak yang terlibat.
Penyempitan pembuluh darah di otak akibat adanya suatu ateroma (trombus)
yang terbentuk di dalam pembuluh darah arteri karotis sehingga menyebabkan
berkurangnya aliran darah ke otak. Emboli serebral yaitu trombus berupa bekuan darah
dinding arteri yang berasal dari tempat lain, misalnya dari jantung yang terlepas dan
mengalir di dalam darah, kemudian menyumbat arteri yang lebih kecil yaitu pembuluh
darah arteri karotis dan arteri vertebralis di otak. Trombus ataupun emboli
menyebabkan otak kehilangan suplai darah, sehingga otak akan mencoba memulihkan
aliran darah dengan vasodilatasi. Jika suplai darah dapat dipulihkan, maka fungsi dari
sel-sel otak yang terkena dapat berfungsi kembali. Hal inilah yang terjadi pada TIA
(Transient Ischemic Attack) atau serangan stroke sementara atau mini stroke (Septiyani,
2012).
Laju aliran darah serebral dipertahankan dalam kecepatan lebih dari 50
ml/100g/menit dengan berbagai mekanisme. Penurunan laju aliran darah akibat oklusi
awalnya akan dikompensasi dengan meningkatkan ambilan oksigen dari dalam darah.
Penurunan yang lebih jauh lagi, biasanya kurang dari 15 ml/100g/menit akan
menyebabkan kematian sel neural. Kematian sel neural ini yang pada akhirnya
menyebabkan gejala pada pasien. Apabila oklusi yang terjadi bersifat total, maka akan
terjadi penurunan laju aliran darah secara tiba-tiba dan menyebabkan kematian sel
secara tiba-tiba. Oklusi yang bersifat parsial menyebabkan gangguan fungsi neural
namun, kematian sel tidak langsung terjadi, namun dapat terjadi belakangan dalam
hitungan menit atau jam bergantung pada derajat oklusi dan upaya membebaskan aliran
darah dari oklusi (Simpson,2018).
(SITI ARIFAH FITRIYANTI (1801037))

10
5. Manifestasi Klinis
5.1 Manifestasi Klinis Stroke
Manifestasi klinis pasien stroke beragam tergantung dari daerah yang terkena dan
luasnya kerusakan jaringan serebral. Manifestasi yang umumnya terjadi yaitu:

1. Kelemahan alat gerak


2. Penurunan kesadaran
3. Gangguanpenglihatan, gangguan komunikasi
4. Sakit kepala dan gangguan keseimbangan. Tanda dan gejala ini biasanya terjadi
secara mendadak, fokal, dan mengenai satusisi (LeMone, 2015).

Tanda dan gejala umum mencakup ke basa tau kelemahan pada wajah, lengan,
atau kaki (terutama pada satu sisi tubuh); kebingungan/konfusi atau perubahan status
mental, sulit berbicara atau memahami pembicaraan, gangguan visual, kehilangan
keseimbangan , pening, kesulitan berjalan, atau sakit kepala berat secara mendadak
(Brunner &Suddarth, 2013)

Stroke menyebabkan berbagai defisit neurologik, bergantung pada lokasi lesi


(pembuluh darah mana yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya, dan jumlah
aliran darah kolateral (sekunder atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat
membaik sepenuhnya. Manifestasi klinis stroke menurut Smeltzer& Bare (2002), antara
lain:

a) Defisit Lapang Pandangan


 Tidak menyadari orang atau objek di tempat kehilangan penglihatan
 Kesulitan menilai jarak
 Diplopia
b) Defisit Motorik
 Hemiparesis (kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang sama).
 Hemiplegi (Paralisis wajah, lengan dan kaki pada sisi yang sama).
 Ataksia (Berjalan tidak mantap, dan tidak mampu menyatukan kaki.
 Disartria (Kesulitan berbicara), ditunjukkan dengan bicara yang sulit
dimengerti yang disebabkan oleh paralisisotot yang bertanggung jawab untuk
menghasilkan bicara.
 Disfagia (Kesulitan dalam menelan)

11
c) Defisit Sensorik: kebas dan kesemutan pada bagian tubuh.
d) DefisitVerbal
 Afasiaekspresif (Tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami)
 Afasiareseptif (Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan)
 Afasia global (kombinal baik afasia reseptif dan ekspresif)
e) Defisit Kognitif
 Kehilangan memori jangka pendek dan panjang
 Penurunan lapang perhatian
 Kerusakankemampuanuntukberkonsentrasi
 Perubahan penilaian
f) Defisit Emosional
 Kehilangan kontrol diri
 Labilitas emosional
 Penurunan toleransi pada situasi yang menimbulkan stress
 Depresi
 Menarikdiri
 Rasa takut, bermusuhan dan marah
 Perasaan isolasi

5.2 Manifestasi Klinis TIA (Transient Ischemic Attack)


Tanda khas TIA adalah hilangnya fungsi fokal SSP secara mendadak, gejala
sepetisinkop, bingung, dan pusing tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. TIA
umumnya berlangsung selama beberapa menit saja, jarang berjam-jam. Daerah arteri
yang terkena akan menentukan gejala yang terjadi:
a) Karotis (paling sering)
 Hemiparesis
 Hilangnyasensasihemisensorik
 Disfasia
 Kebutaan monocular (amaurosisfugax) yang disebabkanolehiskemia retina
b) Vertebrobasillar
 Paresis atau hilangnya sensasi bilateral atau alternative
 Kebutaan mendadak bilateral (pada pasien usia lanjut)

12
 Diplopia, ataksia, vertigo, disfagia, setidaknya dua dari tiga gejala ini terjadi
secara bersamaan.

Beberapa gejala tidak menunjukkan lokasi daerah arteri spesifik yang akurat,
seperti hemianopia ataidisartria saja, walaupun umumnya oleh kelainan ini disebabkan
kelainan vertebrobasillar.
Tanda-tanda neurologis biasanya tidak ada saat pasien diperiksa oleh dokter,
tetapi emboli kolesterol dapat terlihat melalui funduskopi pada pasien amaurosisfugax.
Dapat pula terdengar bruit karotis dan mempunyai hubungan tertentu bilater dapat pada
lesi TI. Murmur dan aritmia jantung menunjukkan kemungkinan penyebab emboli
kardiak. Penyebab TIA vertrobrobasilar yang jarang adalah ‘subclavian steal
syndrome’. Pada sindrom ini terjadi stenosis pada bagian proksimal arteri subklavia
(kadang dengan bruit pada leher bawah dan penurunan tekanan darah dan volume nadi
lengani psilateral) yang dapat meyebabkan aliran retrograde arteri vertebralis kebawah
saat lengan digerakkan (Lionel G, 2005).
TIA arteri karotis mengenai korteks dan menimbulkan iskemia pada mata atau
otakipsilateral, menyebabkan mengaburnya penglihatan, atau kelemahan atau gangguan
sensoris kontralateral. TIA vertebrobasilar mengenai batang otak dan menimbulkan
pening, ataksia, vertigo, disartria, diplopia, serta kelemahan unilateral atau bilateral
serta baal pada ekstremitas (Davidet all, 2003).
TIA biasanya berlangsung selama 2 sampai 30 menit dan jarang terjadi lebih dari
1 sampai 2 jam. Secara dasarnya, TIA tidak berlaku lebih dari 24 jam. TIA tidak
menyebabkan kerusakan permanen, karena darah disuplai kedaerah penyumbatan
dengan cepat. Namun TIA cenderung berulang. Penderita berkemungkinan mengalami
beberapa serangan dalam 1 hari atau hanya 2 atau 3 dalam beberapa tahun. Penderita
yang memiliki gejala sementara atau mendadak yang mirip dengan gejala stroke harus
segera kedokter. Gejala seperti itu boleh mendorong kepada TIA. Namun, gangguan
lain termasuk kejang, tumor otak, sakit kepala migrain, dan rendah kadar gula dalam
darah dan gejala lain yang sama, perlu dilakukan evaluasi lanjut (Mark et all, 2003).
(AGUS PUTRA SETIAWAN (1801003))

13
6. Penatalaksanaan
6.1 Penatalaksanaan Stroke
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah menurunkan morbiditas
dan menurunkan tingkat kematian serta menurunnya angka kecacatan.Salah satu upaya
yang berperan penting untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala
stroke dan penanganan stroke secara dini yang dimulai dari penanganan prahospital
yang cepat dan tepat.Keberhasilan penanganan stroke akut dari pengetahuan
masyarakat dan petugas kesehatan, bahwa stroke merupakan keadaan gawat darurat;
seperti infark miokard akut atau trauma. Filosofi yang harus dipegang adalah time is
brain dan the golden hour. Dengan adanya kesamaan pemahaman bahwa stroke dan
TIA merupakan suatu medical emergency maka akan berperan sekali dalam
menyelamatkan hidup dan mencegah kecacatan jangka panjang.
Tujuan terapi adalah memulihkan perfusi ke jaringan otak yang mengalami
infark dan mencegah serangan stroke berulang. Terapi dapat menggunakan Intravenous
recombinant tissue plasminogen activator (rtPA) yang merupakan bukti efektivitas dari
trombolisis, obat antiplatelet dan antikoagulan untuk mencegah referfusi pada pasien
stroke iskemik.
1. Terapi Farmakologi
a. Intravenous recombinant tissue plasminogen activator (rt-PA)
Obat ini juga disebut dengan rrt PA, t-PA, tPA, alteplase (nama
generik), atau aktivase atau aktilise (nama dagang). Pedoman terbaru bahwa
rt-PA harus diberikan jika pasien memenuhi kriteria untuk perawatan.
Pemberian rt-PA intravena antara 3 dan 4,5 jam setelah onset serangan stroke
telah terbukti efektif pada uji coba klinis secara acak dan dimasukkan ke
dalam pedoman rekomendasi oleh Amerika Stroke Association (rekomendasi
kelas I, bukti ilmiah level B) dan European Stroke Organisation (rekomendasi
kelas I, bukti ilmiah level A).
Penentuan penyebab stroke sebaiknya ditunda hingga setelah memulai
terapi rt-PA. Dasar pemberian terapi rt-PA menyatakan pentingnya pemastian
diagnosis sehingga pasien tersebut benar – benar memerlukan terapi rt-PA,

14
dengan prosedur CT scan kepala dalam 24 jam pertama sejak masuk ke rumah
sakit dan membantu mengeksklusikan stroke hemoragik.Keberhasilan
pemberian terapi rtPA sangat tergantung dengan waktu pemberian terapi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian terapi rtPA dalam waktu
0-90 menit dapat mengurangi komplikasi sebesar 9,6%, pemberian terapi rt-
PA dalam waktu 91180 menit sebesar 10,5%, dan pemberian terapi rt-PA
dalam waktu 181-270 menit sebesar 11,7%, sedangkan oods ratio
perbandingan waktu pemberian 0-90 menit dengan 181-270 menit (OR 0,74;
95%CI,0,64-0,86; p=0,001). Hasil penelitian ini dapat mendukung upaya
intensif untuk mempercepat pasien stroke admisi ke rumah sakit dan
pemberian terapi trombolitik dalam 4,5 jam pertama setelah onset serangan
stroke, sehingga dapat mengurangi besar keparahan stroke (OR 2,8;
95%CI,2,5-3,1), perdarahan intrakranial (OR 0,96; 95%CI, 0,95-0,98;
p=0,001) dan penurunan mortalitas di rumah sakit (OR, 0,96; 95%CI, 0,95-
0,98; p=0,001).
b. Terapi antiplatelet.
Pengobatan pasien stroke iskemik dengan penggunaan antiplatelet 48
jam sejak onset serangan dapat menurunkan risiko kematian dan memperbaiki
luaran pasien stroke dengan cara mengurangi volume kerusakan otak yang
diakibatkan iskemik dan mengurangi terjadinya stroke iskemik ulangan
sebesar 25%. Antiplatelet yang biasa digunakan diantaranya aspirin,
clopidogrel. Kombinasi aspirin dan clopidogrel dianggap untuk pemberian
awal dalam waktu 24 jam dan kelanjutan selama 21 hari. Pemberian aspirin
dengan dosis 81 – 325 mg dilakukan pada sebagian besar pasien. Bila pasien
mengalami intoleransi terhadap aspirin dapat diganti dengan menggunakan
clopidogrel dengan dosis 75 mg per hari atau dipiridamol 200 mg dua kali
sehari.
Hasil uji coba pengobatan antiplatelet terbukti bahwa data pada pasien
stroke lebih banyak penggunaannya daripada pasien kardiovaskular akut,
mengingat otak memiliki kemungkinan besar mengalami komplikasi
perdarahan.Uji klinis telah menunjukkan bahwa antiplatelet hanya memiliki
sedikit manfaat untuk pengobatan. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Taylor et al yang menyatakan tidak ada perbedaan yang bermakna
pada pemberian aspirin pada pasien stroke iskemik dalam waktu 48 jam

15
pertama sejak admisi ke rumah sakit, baik sebelum dan sesudah penerapan
clinical pathway (46% vs 61%; p = 0,117). Hasil ini berbeda dengan penelitian
yang dilakukan Panella et al bahwa setelah penerapan clinical pathway
pemberian aspirin pada pasien stroke iskemik dalam waktu 48 jam pertama
sejak admisi ke rumah sakit mengalami peningkatan pada kelompok setelah
penggunaan clinical pathway dibandingkan sebelum penggunaan clinical
pathway (83,5% vs 74,5%; p=0,03) dengan oods ratio multivariat (OR
1,73;95% CI, 1,02-2,75).
c. Terapi antikoagulan
Terapi antikoagulan sering menjadi pertimbangan dalam terapi akut
stroke iskemik, tetapi uji klinis secara acak menunjukkan bahwa antikoagulan
tidak harus secara rutin diberikan untuk stroke iskemik akut.Penggunaan
antikoagulan harus sangat berhati-hati.Antikoagulan sebagian besar digunakan
untuk pencegahan sekunder jangka panjang pada pasien dengan fibrilasi
atrium dan stroke kardioemboli.Terapi antikoagulan untuk stroke
kardioemboli dengan pemberian heparin yang disesuaikan dengan berat badan
dan warfarin (Coumadin) mulai dengan 5-10 mg per hari.Terapi antikoagulan
untuk stroke iskemik akut tidak pernah terbukti efektif.Bahkan di antara
pasien dengan fibrilasi atrium, tingkat kekambuhan stroke hanya 5 – 8% pada
14 hari pertama, yang tidak berkurang dengan pemberian awal antikoagulan
akut.
Hal ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan Taylor et al yang
menyatakan tidak ada perbedaan yang bermakna pada pemberian warfarin
pada pasien stroke iskemik dengan hasil elektrokardiogram (EKG)
menunjukkan fibrilasi atrium, baik sebelum dan sesudah penerapan clinical
pathway (33% vs 40%; p=0,264)
d. Terapi Antihipertensi
Sebagian besar (70-94%) pasien stroke akut mengalami peningkatan
tekanan darah sistolik >140 mmHg.Penurunan tekanan darah yang tinggi pada
stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat
memperburuk keluarga neurologis. Pada sebagian besar pasien, tekanan darah
akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan serangan
stroke.Berbagai Gudeline (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009)
merekomendasikan penuurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut

16
agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di
bawah ini.

a). Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan darah diturunkan sekitar 15%
(sistolik maupun diastolic) dalam 24 jam pertama setelah awitan apabila
tekanan darah sistolik (TDS) >220 mmHg atau tekanan darah diastolic
(TDD) >120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberi
terapi trombolitik (rtPA), tekanan darah diturunkan hingga TDS <185
mmHg dan TDD <110 mmHg (AHA/ASA, Class I, Level of evidence B).
Selanjutnya, tekanan darah harus dipantau hingga TDS <180 mmHg dan
TDD <105 mmHg selama 24 jam setelah pemberian rtPA.Obat
antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitropaste, nitroprusid,
nikardipin, atau diltiazem intravena.
b) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral akut (AHA/ASA, Class IIb,
Level of evidence C), apabila TDS >200 mmHg atau Mean Arterial
Preassure (MAP) >150 mmHg, tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat antihipertensi intravena secara kontiniu dengan
pemantauan tekanan darah setiap 5 menit.
c) Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat
antihipertensi intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan
tekanan perfusi serebral ≥60 mmHg.
d) Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala dan
tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara
hati-hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau
intermitten dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP
110 mmHg atau tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT
2010, penurunan TDS hingga 140 mmHg masih diperbolehkan.
(AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B).
e) Pada pasien stroke perdarahan intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg,
penurunan tekanan darah dengan cepat hingga TDS 140 mmHg cukup
aman (AHA/ASA, Class IIa, Level of evidence B). Setelah kraniotomi,
target MAP adalah 100mmHg.

17
f) Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke perdarahan intraserebral.
g) Pemakaian obat antihipertensi parenteral golongan penyekat beta (labetalol
dan esmolol), penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena,
digunakan dalam upaya diatas.
h)Hidralasin dan nitroprusid sebaiknya tidak digunakan karena mengakibatkan
peningkatan tekanan intracranial, meskipun bukan kontraindikasi mutlak.
i) Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai panduan
penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional pasien
apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini
menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin
obat antihipertensi pada stroke akut

Golongan/ Mekanisme dosis keuntunga Kerugian


obat n

Tiazid Aktivasi IV bolus: Awitan <5 Retensi cairan dan


Diazoksid* ATPsensitive 50100 mg; menit garam, hiperglikemia
Kchannels IV infuse: berat, durasi lama (1-12
15-30 jam)
mg/menit

ACEI ACE inhibitor 0,625-1,25 Awitan <15 Durasi lama (6 jam),


Enalaprilat* mg IV menit disfumgsi renal
selama 15
menit

Calcium Penyekat kanal 5 mg/jam IV Awitan Takikardi atau


Channel kalsium 2,5 ng/ tiap cepat (1-5 bradikardia, hipotensi,
Blocker 15 meniot menit), durasi lama (4-6 jam)
Nikardipin tidak terjadi
Clevidipin* rebound
Verapamil* yang
Diltiazem bermakna

18
jika
dihentikan,
Eliminasi
tidak
dipengaruhi
oleh
disfungsi
hati atau
renal,
potensi
interaksi
obat rendah.
Awitan
cepat <1
menit, tidak
terjadi
rebound
atau
takiflaksis

Beta Blocker Antagonisresepto 10-80 mg Awitan Bradikardia,hipoglikemia


Labetalol* r α1, β1, β2 IVtiap 10 cepat(5-10 , durasi lama (212 jam),
menit menit) gagal jantung kongestif,
sampai 300 bronkospasme
mg/hari;
infuse: 0,5-2 Bradikardia, gagal
mg/menit jantung kongestif
Antagonis
Esmolol* selektif reseptor
β1 Awitan

0,25-0,5 segera,

mg/kg IV durasi
bolus disusul singkat <15
dosis

19
pemeliharaa menit
n

Alfa Blocker Antagonis 5-20 mg IV Awitan Takikardia, aritmia


Fentolamin* reseptor α1, α2 cepat (2
menit),
durasi
singkat
(1015
menit)

Vasodilator NO terkait 2,5-10 mg awitan Serum-sickness like,


langsung dengan IV bolus lambat (15- drug induced lupus,
Hidralasin mobilisasi (sampai 40 30 menit) durasi lama (3-4 jam),
kalsium dalam mg)
otot polos

Depresi miokardial
Tiopental*
Aktivasi reseptor
GABA
30-60 mg IV Awitan
cepat (2
menit), Bronkospasme retensi
durasi urin, siklopegia midriasis
singkat (5-
Trimetafan* Blockade
10 menit)
ganglionik 1-5 hipokalemia, takikardia,
mg/menit IV bradikardia
Awitan
segera,
durasi

20
Fenoldipam* singkat (5-
Agonis DA-1 dan 10 menit)
reseptor α2 keracunan sianid,
0,001-1,6 vasodilatorserebral
µg/kg/menit (dapat mengakibatkan
IV; tanpa Awitan <15 peningkatan tekanan
bolus menit, intracranial), reflex
Sodium durasi 10- takikardia
nitropusid* 20 menit

produksi methemoglobin,
0,25-10 reflex takikardia
Nitrovasodilator µg/kg/menit
IV Awitan
segera,
durasi
singkat (2-
Nitrogliserin
3menit)

5-100
µg/kg/menit
IV
Awitan 1-2
menit,
durasi 3-5
menit

21
Nitrovasodilator

*belum tersedia di Indonesia.

e. Penatalaksanaan Hipotensi Pada Stroke Akut


Hipotensi arterial pada stroke akut berhubungan dengan buruknya keluaran
neurologis, terutama bila TDS <100 mmHg atau TDD <70 mmHg.Oleh
karena itu, hipotensi pada stroke akut harus diatasi dan dicari penyebabnya,
terutama diseksi aorta, hipovolemia, perdarahan, dan penurunan cardiac output
karena iskemia miokardial atau aritmia. Penggunaan obat vasopresor dapat
diberikan dalam bentuk infuse dan disesuaikan dengan efek samping yang
akan ditimbulkan seperti takikardia. Obat-obat vasopressor yang dapat
digunakan antara lain, fenilephrin, dopamine, dan norepinefrin. Pemberian
obat-obat tersebut diawali dengan dosis kecil dan dipertahankan pada tekanan
darah optimal, yaitu TDS berkisar 140 mmHg pada kondisi akut stroke.

Pemberian obat intravena untuk meningkatkan tekanan darah pada


stroke

Golongan/obat Mekanisme dosis keuntungan Kerugian

Norepinefrin Agonis reseptor 4 µg/ml, dimulai Reflex


α1, α2, β1 1 µg/ml, titrasi bradikardia,
vasokonstriksi
sistemik dapat
memperburuk
fungsi end
organ

Dopamin Agonis reseptor >10 µg/kg/menit Takiaritmia,


α1 pada dosis nekrosis
tinggi ekstrernitas
karena iskemia

22
dengan
ekstravasasi
peningkatan
tekanan
intraocular

Fenilefrin* Agonis reseptor Efek minimal Refleks


α1 dan α2 pada reseptor β bradikardia
(tidak
mempengaruhi
kontraktilitas dan
Irama jantung

*belum tersedia di Indonesia

2. Terapi Non Farmakologi


Pencegahan penyakit stroke terdiri dari pencegahan primer dan sekunder.Pada
pencegahan primer meliputi upaya – upaya perbaikan pola hidup dan
pengendalian faktor – faktor risiko.Pencegahan ini ditujukan kepada masyarakat
yang sehat dan belum pernah terserang stroke, namun termasuk pada kelompok
masyarakat risiko tinggi. Upaya - upaya yang dapat dilakukan adalah :
a. mengatur pola makan sehat dengan mengonsumsi makanan yang sehat, seperti
buah dan sayur, dan menghindari konsumsi makanan tinggi lemak, kolesterol,
dan garam.
b. Makanan yang kaya vitamin dan antioksidan (vitamin C,E, dan betakaroten)
seperti yang banyak terdapat pada sayur-sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian.
c. penanganan stress dan beristirahat yang cukup.
d. pemeriksaan kesehatan secara teratur dan taat anjuran dokter (diet dan obat)
e. Menjaga berat badan ideal
f. peningkatan aktivitas fisik direkomendsikan karena berhubungan dengan
penurunan risiko stroke
3. Terapi Alternatif
Terapi stroke dapat mengembalikan kualitas hidup para penderita stroke. Berikut
beberapa terapi yang bisa diberikan, di antaranya:

23
A. Terapi fisik
Serangan stroke bisa memperlemah otot-otot pada tubuh penderitanya. Hal ini
membuat tubuh dan sendi susah bergerak. Efeknya koordinasi dan gerakan
tubuh jadi berkurang sekaligus susah melakukan aktivitas fisik seperti berjalan
dan berdiri.Terapi fisik membantu memperkuat otot tubuh dan melatih
penderita stroke untuk bisa kembali beraktivitas setelah mengalami kerusakan
otak. Terapi fisik atau fisioterapi adalah terapi yang dilakukan oleh dokter
spesialis fisioterapi dan terapis, yang terlebih dahulu akan mengevaluasi
masalah fisik pasien. Jika masalah fisik yang diderita terlalu parah, maka bisa
dibantu dengan alat untuk mendukung pemulihan dari gangguan pergerakan
tubuh pasien.
B. Terapi bicara dan bahasa
Salah satu akibat dari stroke adalah hilang atau turunnya kemampuan
berbicara.Gangguan bicara akibat stroke bisa meliputi menurunnya
kemampuan bicara secara keseluruhan, tidak bisa memakai kata yang tepat,
atau tidak mampu menyelesaikan kalimat.Stroke juga bisa merusak otot yang
mengontrol kemampuan berbicara penderitanya. Terapi stroke untuk gangguan
ini bisa dilakukan oleh terapis bicara dan bahasa, yang akan melatih pasien
berbicara dengan jelas dan runtut. Jika gangguan terlalu parah, maka terapi
stroke yang dilakukan adalah mencari cara berkomunikasi selain berbicara.
C. Terapi okupasi
Terapi okupasi adalah rehabilitasi yang membantu seseorang mendapatkan
kembali, mengembangkan, dan membangun keterampilan yang penting,
terkait kemandirian dalam aktivitas sehari-hari. Pasien akan dilatih sesuai
keperluannya, misalnya cara mengancingkan baju dan menggosok gigi.Terapi
okupasi bisa dilakukan bersama dengan terapi bicara dan bahasa, untuk
melatih kemampuan kognitif seseorang yang terkena stroke. Kemampuan
kognitif yang bisa terganggu akibat stroke antara lain menurunnya
kemampuan berpikir, penalaran, ketidakmampuan melakukan penilaian, dan
masalah ingatan.
D. Terapi rekreasi dan terapi psikologi
Terapi rekreasi bisa diberikan untuk pasien pascastroke agar mencintai
kembali apa yang dahulu ia sering lakukan, misalnya memelihara hewan
peliharaan, atau membuat kerajinan tangan dan barang seni, tergantung pada

24
minat penderita.Terapi psikologi atau psikoterapi dibutuhkan untuk
memperbaiki kondisi mental seseorang yang terkena serangan stroke.Hanya
saja, kondisi yang tidak lagi seperti sediakala rentan menumbuhkan rasa
depresi dan gangguan emosi pada penderitanya. Salah satu bentuk paling
umum adalah menarik diri dari aktivitas sosial dan putus harapan akan
kesembuhan.

Selain terapi stroke di atas, beberapa terapi berikut bisa dijadikan alternatif untuk
pasien pascastroke.Namun, selalu konsultasikan dengan dokter terlebih dahulu
karena langkah-langkah berikut belum terbukti sepenuhnya dapat membantu
pemulihan pasca stroke secara signifikan.
a. Akupunktur
Terapi menggunakan jarum khusus yang ditusukkan ke permukaan kulit ini
sudah populer di Asia sejak berabad-abad lamanya.Terapi akupunktur diklaim
bisa membantu mengurangi rasa sakit, kelumpuhan, dan masalah otot akibat
stroke.
b. Pijat
Pijat adalah terapi yang sangat umum untuk penderita stroke.Pijat dapat
membantu memperbaiki suasana hati, menurunkan tekanan darah, mengurangi
kecemasan, dan membuat tubuh serta pikiran lebih santai.Selain itu, juga dapat
membantu masalah otot dengan meningkatkan aliran darah ke daerah yang
terkena gangguan.
c. Yoga
Yoga dapat membantu memperbaiki kualitas hidup pasien pasca stroke melalui
olah napas dan gerakan lambatnya.Yoga juga membantu pasien meningkatkan
fokus mental yang hilang akibat stroke.Olahraga ini adalah pilihan bijak untuk
penderita stroke, mengingat olahraga ini minim benturan dan risiko cedera.
d. Aromaterapi
Aromaterapi yaitu memanfaatkan aroma tertentu untuk membantu orang
menjadi lebih rileks dan mengurangi rasa sakit.Rosemary, lavender, dan
peppermint adalah aroma yang umum dipakai oleh mereka yang kesehatannya
bermasalah akibat stroke.
e. Pengobatan herba

25
Beberapa obat herba mengklaim mampu memperbaiki sirkulasi darah ke otak
sekaligus meningkatkan fungsinya.Ada juga yang mengklaim sanggup
menghindarkan seseorang dari serangan stroke lanjutan.Tapi, sebaiknya
konsultasikan dahulu dengan dokter jika ingin menggunakan herba apapun
sebagai pengobatan alternatif stroke.
Jika dilakukan secara teratur dan konsisten, terapi stroke akan
meningkatkan kualitas hidup penderitanya. Tidak hanya menjalani pengobatan,
dukungan emosional dan sosial dari orang terdekat juga memegang peranan
penting dalam rangkaian terapi stroke.Gunakanlah terapis profesional dan
konsultasikan dengan dokter untuk hasil optimal.

6.2 Penatalaksanaan TIA (Transient Ischemic Attack)


Penatalaksanaan pasien dilakukan dengan terapi farmakologis yang sesuai serta
terapi non farmakologi. Pasien dengan TIA biasanya datang dengan
hipertensi. Hipertensi pada pasien dengan iskemia ditatalaksana secara konservatif
kecuali ditemukan indikasi terjadinya kegagalan organ.
Semua pasien dengan dugaan TIA harus menjalani penilaian lengkap yang
mencakup riwayat rinci dan klinis, prognositik (misalnya skor ABCD2)
Dimana :
A = age >60 tahun (1 poin)
B = blood pressure:
C = clinical features: kelemahan unilateral (2 poin), gangguan bicara tanpa kelemahan
(1poin)
D = duration : >60 menit (2poin), 10-59 menit (1 poin)
D = diabetes: ( 1 poin)
1. Terapi Farmakologi
A. Antiplatelet untuk Menurunkan Risiko Stroke pada Pasien TIA Risiko
Tinggi. Penatalaksanaan TIA menurut American Stroke Association dan AHA
dilakukan berdasarkan kecurigaan penyebab TIA. Pasien TIA risiko tinggi
dengan skor ABCD2 >4 perlu diberikan pencegahan stroke berupa kombinasi
aspirin dan clopidogrel. Dosis inisial yang diberikan adalah 75-300 mg aspirin
dan 300 mg clopidogrel. Terapi kemudian dilanjutkan dengan aspirin 75
mg/hari, selama 21 hari, dan clopidogrel 75 mg/hari, selama 90 hari. Pada

26
pasien yang mendapatkan terapi kombinasi aspirin dan klopidogrel harus
diperhatikan risiko terjadinya perdarahan.
B. Antikoagulan pada Pasien TIA yang disebabkan oleh Atrial Fibrilasi
Pasien TIA yang disebabkan oleh emboli kardiak biasanya disebabkan oleh
keadaan atrial fibrilasi. Pasien dengan atrial fibrilasi akan berisiko mengalami
stroke trombosis sehingga perlu dilakukan pencegahan menggunakan
antikoagulan. Perlu dipertimbangkan antara manfaat, risiko, dan harga
sebelum menentukan antikoagulan yang diberikan, warfarin atau antikoagulan
oral baru seperti dabigatran atau rivaroxaban.

a. Warfarin
Warfarin merupakan antikoagulan yang umum digunakan untuk
pencegahan stroke pada atrial fibrilasi dengan dosis 2-10 mg/hari. Walau
demikian, risiko perdarahan membuat pasien memerlukan
pemantauan international normalized ratio (INR) setiap bulan dengan
target INR 2.0-3.0.
b. Antikoagulan Oral Baru
Antikoagulan oral baru memiliki efektivitas yang lebih tinggi dalam
mencegah stroke pada pasien atrial fibrilasi dengan risiko efek samping
yang lebih rendah. Di Indonesia, terdapat tiga pilihan antikoagulan oral
baru, yaitu dabigatran, rivaroxaban, dan apixaban. Di antara ketiganya,
apixaban memiliki risiko efek samping paling rendah sedangkan
rivaroxaban memiliki risiko efek samping tertinggi. Walau demikian,
hanya dabigatran dan rivaroxaban yang ditanggung oleh program Jaminan
Kesehatan Nasional (JKN). Selain itu, keduanya juga hanya terdapat di
fasilitas pelayanan kesehatan tingkat satu dan dua.
C. Obat Antihipertensi
Obat ini digunakan untuk meredakan tekanan darah tinggi.Contohnya
adalah ACE inhibitor, antagonis kalsium, dan penghambat beta.
D. Obat Statin
Obat ini berfungsi untuk menurunkan kadar kolesterol tinggi dalam darah.
Contohnya adalah atorvastatin, simvastatin, dan rosuvastatin.
2. Terapi Non Farmakologi
1. Kontrol Tekanan Darah.
27
Pada pasien tanpa riwayat hipertensi sebelumnya, tekanan darah umumnya
akan turun dengan sendirinya dalam 2 minggu pertama setelah TIA. Untuk itu,
terapi antihipertensi dapat dipertimbangkan untuk ditunda sampai 2 minggu
setelah kejadian TIA. Namun, modifikasi gaya hidup seperti penurunan berat
badan, restriksi garam, peningkatan aktivitas fisik, serta penurunan
konsumsi alkohol dan rokok sebaiknya tetap dilakukan tanpa penundaan.
2. Kontrol Kolesterol
Studi menunjukkan pemberian statin dapat menurunkan risiko stroke hingga
30-32%. Statin direkomendasikan pada pasien dengan kadar kolesterol LDL di
atas 100 mg/dL. Target terapi setidaknya reduksi 50% atau kadar LDL di
bawah 70 mg/dL.
3. Kontrol Gula Darah
Pasien diabetes yang baru terdiagnosis memiliki risiko stroke 2 kali lipat
populasi normal. Pemberian antidiabetes oral dan modifikasi gaya hidup perlu
dilakukan dengan target terapi HbA1C di bawah 7%. Terapi intensif dengan
target HbA1C <6.5% lebih bermanfaat untuk menurunkan risiko komplikasi
diabetes seperti stroke tetapi juga memiliki risiko hipoglikemia yang lebih
tinggi.
4. Operasi.
Prosedur operasi dilakukan jika terjadi penyempitan arteri di bagian leher
(karotis) yang cukup parah. Melalui operasi ini, dokter akan mengangkat dan
membersihkan plak yang menyebabkan arteri menyempit. Prosedur ini dikenal
dengan istilah endarterektomi (endarterectomy).Dalam beberapa kasus, dokter
juga akan melakukan prosedur angioplasti untuk menangani TIA. Prosedur ini
dilakukan dengan menggunakan peralatan yang menyerupai balon, untuk
mengatasi arteri yang tersumbat dan menempatkan tabung kawat kecil (stent)
agar arteri tetap terbuka.
5. Menjaga berat badan ideal.
6. Mengonsumsi makanan yang sehat, seperti buah dan sayur, dan menghindari
konsumsi makanan tinggi lemak, kolesterol, dan garam.
7. Melakukan olahraga secara teratur.
8. Melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin.
(BAYU ASTUTIK (1801009))

28
OBAT

Rivaroxaban : merupakan obat antikoagulan golongan penghambat faktor Xa oral pertama


yang mampu mencegah terjadinya trombogenesis tanpa bantuan kofaktor
antitrombin untuk pencegahan stroke pada FA nonvalvular.
Mekanisme kerja : Rivaroxaban bekerja secara spesifik pada faktor Xa melalui ikatan
dengan sisi aktif S1 dan S4 dalam konformasi berbentuk seperti huruf
L pada gambar dibawah. Gugus p-methoxyphenyl Rivaroxaban (P1)
akan menduduki posisi anionik S1 dari faktor Xa dan gugus lainnya
akan menduduki posisi aromatik S4. Hasil dari mekanisme ini adalah
penghambatan pembentukan trombin dan trombus sehingga
memperpanjang waktu pembekuan darah.

Rivaroxaban

Farmakokinetik:
Absorbsi: Diserap dengan cepat dari saluran gastrointestinal.
Ketersediaan hayati: Sekitar 80-100%.
Waktu untuk konsentrasi plasma puncak: 2-4 jam.

29
Distribusi: Melintasi plasenta dan memasuki ASI.
Volume distribusi: Kira-kira 50 L. Pengikatan protein plasma: Kira-kira 92-95%,
terutama pada albumin.
Metabolisme: Dimetabolisme di hati oleh CYP3A4 / 5 dan CYP2J2 melalui degradasi
oksidatif dan hidrolisis.
Ekskresi: Melalui urin (66%; kira-kira 36% sebagai obat tidak berubah, 30% sebagai
metabolit tidak aktif);
feses (28%; 7% sebagai obat tidak berubah, 21% sebagai metabolit tidak aktif).
Waktu paruh eliminasi: 5-9 jam.
Interaksiobat:
Studi in vitro yang telah dilakukan oleh Jessica, L. Mega, dkk tahun 2012 menyatakan
bahwa rivaroxaban dapat dihambat oleh enzim sitokrom P450 yaitu CYP1A2, 2C8, 2C9,
2D6, 2J2 DAN 3A4, namun juga dapat menginduksi kerja enzim CYP2B6 atau 2C19.
Beberapa obat diketahui mengalami interaksi obat dengan rivaroxaban terutama obat-obatan
yang bekerja menghambat enzim CYP3A4 (ketokonazol, ritonavir, klaritromisin, eritromisin,
dan flukonazol). Obat-obatan tersebut zat yang dapat menghambat kerja enzim CYP3A4, hal
ini menyebabkan menurunnya jumlah enzim CYP3A4 yang dimana enzim tersebut berfungsi
mengubah rivaroxaban menjadi bentuk metabolit inaktif, sehinggajumlah rivaroxaban bebas
meningkat dan menyebabkan konsentrasi maksimum rivaroxaban meningkat hingga 70%,
dan hal ini dapat menimbulkan kemungkinan pendarahan akut.
Penggunaan rivaroxaban bersamaan dengan antikoagulan tertentu tidak menimbulkan
interaksi obat, contohnya yaitu enoxaparin dan warfarin. Enoxaparin dan warfarin, yang juga
merupakan zat penghambat aktivitas FXa, tidak mempengaruhi farmakokinetik dan
rivaroxaban (Bengt, L. Eriksson, et al., 2008)
Namun penggunaan rivaroxaban dengan klopidogrel dan NSAID seperti aspirin dapat
menimbulkan interaksi obat. Seperti yang diketahui, klopidogrel dan NSAID merupakan zat
yang dapat meningkatkan pendarahan dengan menghambat agregasi platelet, dan bila
dikonsumsi Bersama dengan rovaroxaban, maka akan meningkatkan kemungkinan
pendarahan yang lebih parah. Akan tetapi NSAID tidak mempengaruhi farmakokinetik dan
farmaakodinamik dari rivaroxaban (Bengt, L. Eriksson, et al., 2008)
Interaksi makanan:
Penurunan konsentrasi serum dengan St. John’s wort.
Pengaruh Kehamilan:

30
Kategori C: studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping terhadap
janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika
besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin. 
Pengaruh Menyusui:
Rivaroxaban dapat diserap ke dalam ASI. Bila Anda sedang menyusui, jangan menggunakan
obat ini tanpa memberi tahu dokter.
Peringatan: risiko hemoragi, gangguan fungsi ginjal, gangguan fungsi hepar. (BPOM, 2008)
Bentuk sediaan dan nama dagang: Tablet, Xarelto® 10 mg, Xarelto® 15 mg, Xarelto® 20
mg.
Dosis: 
20 mg sekali sehari (dosis maksimal), untuk DVT: 15 mg dua kali sehari (dosis maksimal 30
mg, jika lupa dapat diminum sekaligus dua tablet), untuk tiga minggu pertama diikuti
selanjutnya 20 mg sekali sehari (dosis maksimal). (BPOM, 2008)
Indikasi: 
mengurangi risiko stroke dan embolisme pada pasien atrial fibrilasi nonvalvular dengan
riwayat stroke atau TIA atau pada pasien atrial fibrilasi nonvalvular dengan skor CHADS2 >
2, trombosis vena dalam (Deep Vein Thrombosis/DVT). (BPOM, 2008)
Efek Samping: 
umum: anemia, pusing, sakit kepala, pingsan, hemoragik mata (termasuk hemoragik
konjungtiva), takikardi, hipotensi, hematoma, epistaksis, hemoragik gastronintestinal
(termasuk gingival bleeding, hemoragik rektal), nyeri ekstremitas, perdarahan saluran
kencing (termasuk hematuria, menoragia), demam, edema perifer, letih, astenia, peningkatan
transaminase, perdarahan pasca operasi (termasuk anemia, perdarahan luka), bingung; Tidak
umum: trombositemia (termasuk peningkatan jumlah platelet), reaksi alergi, alergi dermatitis,
hemoragik intrakarnial dan serebral, hemoptisis, mulut kering, abnormal fungsi hati,
urtikaria, hemoragik kulit dan subkutan, hemartrosis, gangguan fungsi ginjal (termasuk
peningkatan kreatinin darah, peningkatan urea darah), malaise, edema lokal, peningkatan
bilirubin, peningkatan fosfatase alkali, peningkatan amilase, peningkatan GGT, wound
secretion; Jarang; jaundice, hemoragik otot, peningkatan bilirubin terkonjugasi (dengan atau
tanpa peningkatan ALT); frekuensi tidak diketahui; pembentukan pseudoaneurisme setelah
dilakukan intervensi perkutan, compartment syndrom seconday to a bleeding, gagal
ginjal/gagal ginjal akut akibat perdarahan yang menimbulkan hipoperfusi. (BPOM, 2008)
Kontraindikasi: 

31
hipersensitivitas, pendarahan, penyakit hati yang terkait koagulopati dan risiko pendarahan
yang relevan, kehamilan dan menyusui, pemberian bersamaan dengan antijamur azol.
(BPOM, 2008)
Stabilitas Penyimpanan:
Simpan obat di temperatur ruangan, jauh dari panas dan cahaya langsung. Jangan
membekukan obat kecuali diperlukan oleh brosur kemasan. Jauhkan obat dari anak-anak dan
hewan peliharaan.
(ADELLA ZILVA AZNI (1801001) & ALHANINA SALSABILA (1801005))

Makalah : Vanni Ristianingrum (2001199)

DAFTAR PUSTAKA

Adams HP, Brott TG, Crowell RM, et al. Guidelines for The Management of Patients with
Acute Ischemic Stroke. A Statement for Healthcare Professionals from A Special
Writing Group of the Stroke Council, American Heart Association. Stroke 1994;
25:19014914.
Brunner &Suddarth, (2013). Buku Ajar KeperawatanMedikalBedahEdisi 8 volume 2. Jakarta:
EGC.
Bengt, L. Eriksson, et al. (2008). Rivaroxaban Versus Enoxaparin for Thrombophylaxis after
Hip Arthroplasty. The New England Journal of Medicine. Vol. 358 (26): 2765-2776.
BPOM, 2008, Informatorium Obat Nasional Indonesia, Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia, Jakarta
Clinical Manual. Transient Ischemic Attack: Management Guidelines. 2012.
David Rubenstein, David Wayne, John Bradley, KedokteranKlinis, Lecture Notes,
Sixth Edition, 2003, pg 101-103.
Harsono., 2009. Kapitaselektaneurologi.Cetakanketujuh. Yogyakarta: Dadjah
Mada University Press
Johnston SC. Transient Ischemic Attack: An Update. Stroke Clinical Updates. 2007.
KemenkesRi. 2013. RisetKesehatanDasar; RISKESDAS. Jakarta: Balitbang
KemenkesRi
LeMone, Burke, &Bauldoff. (2015). KeperawatanMedikalBedah. Jakarta: EGC

Lionel Ginsberg. (2005). Neurology : Bab 11 Strokes, Lecture Notes, Eight Edition, pg 89-97.

32
Mark H. Beers, MD, Andrew J. Fletcher, MB, Thomas V. Jones, MD. (2003).The Merck
Manual of Medical Information. United States of America : Merck & CO, Inc. ,Second
Edition, pg 457-458.

Matthew SS, Transient Ischemic Attack: An Evidence-Baced Update. Emergency Medicine


Practice. 2013;15.1
Misbach,Jusufet all. 2011.GUIDELINE STROKE.jakarta. Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia (PERDOSSI)
Nanda, A, Niranjan NS, Transient Ischemic Attack. Medscape. 2013
National Stroke Association. Transient Ischemic Attack. 2011
National Institute of Neurological Disorders and StrokeNINDS & NIH (2014). Post-Stroke
Rehabilitation
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses- Proses. Penyakit. Ed.6.
Jakarta: EGC.
Special Writing Group of Stroke Council AHA. Guidelines for The Management of Patients
with Acute ischemic stroke. Circulation 1994; 90: 1558-1601.
Sidharta P, Mardjono M. 2012. Stroke. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Surabaya:
Dian Rakyat.
Septiyani, F. 2012. Transient Ischemic Attack [referat]. Jakarta: RS Bhayangkara.
Smith, et al. 2001. Cerebrovascular Dissease. New York: McGraw-Hill
Simpson J, Cumbler E. Transient Ischemic Attack. BMJ Best Practice. 2018
Simons BB, Cirignano B, Gadegbeku AB. Transient Ischemic Attack: Part I. Diagnosis and
Evaluation. Am Fam Physician. 2012;15;86(6):521-536.
Simons BB, Cirignano B, Gadegbeku AB. Transient Ischemic Attack: Part II. Risk Factor
Modification and Treatment. Am Fam Physician. 2012;15;86(6):527-532.
Sjahrir, Hasan, DR.Dr.SpS(K), Stroke Iskemik, Medan, YandiraAgung Medan, 2003 ; 2-53.
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar KeperawatanMedikal
Bedah Brunner danSuddarth (Ed.8, Vol. 1,2), AlihbahasaolehAgung
Waluyo…(dkk), EGC, Jakarta.
Transient Ischemic Attack. Available at: chealth.canoe.ca
United States Food and Drug Administration. (2011). XARELTO® (rivaroxaban) tablets for
oral use. USA: Janssen Pharmaceuticals, Inc. Hal: 1-13.
Weiner, Howard L, Buku Saku Neurologi, Cetakan I, Jakarta,EGC, 2000 ; 21-432.
WHO.Stroke trends in the WHO MONICA project. Stroke 1997;28:500-506

33
34

Anda mungkin juga menyukai