Anda di halaman 1dari 2

Permendiknas No.

28 Tahun
2010 – Penugasan Guru
sebagai Kepala Sekolah
Posted on 13 November 2010 by AKHMAD SUDRAJAT

Pada tahun 2007 lalu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional telah meluncurkan
Permendiknas No. 13 Tahun 2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, di dalamnya
mengatur tentang persyaratan kualifikasi dan kompetensi yang seyogyanya dimiliki oleh seorang
kepala sekolah. Kehadiran peraturan ini tampaknya bisa dipandang sebagai moment penting,  serta
memuat pesan dan amanat penting, bahwa sekolah harus dipimpin oleh  orang yang benar-benar
kompeten, baik dalam aspek kepribadian,  sosial, manajerial, kewirausahaan, maupun supervisi.
Dalam rangka  menata dan mereformasi kepemimpinan pendidikan di sekolah, sekaligus
melengkapi peraturan sebelumnya-khususnya Permendiknas No. 13 Tahun 2007- yang terkait
dengan kekepalasekolahan (principalship),  kini pemerintah melalui Menteri Pendidikan Nasional
menghadirkan kembali regulasi baru yaitu: Permendiknas No. 28 Tahun 2010 tentang Penugasan Guru
Sebagai Kepala Sekolah/Madrasah, yang terdiri dari  10 Bab dan 20 Pasal,

Terdapat beberapa catatan penting saya dari  isi  peraturan ini, yakni:

Catatan 1:
Persyaratan khusus guru yang diberi tugas tambahan sebagai kepala sekolah/madrasah yaitu memiliki
sertifikat kepala sekolah/madrasah pada jenis dan jenjang yang sesuai dengan pengalamannya sebagai
pendidik yang diterbitkan oleh lembaga yang ditunjuk dan ditetapkan Direktur Jenderal. (Pasal 2 Ayat 3 point
b).
Penyiapan calon kepala sekolah/madrasah meliputi rekrutmen serta  pendidikan dan pelatihan calon kepala
sekolah/madrasah. (Pasal 3 Ayat 1)
Pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah/madrasah dilaksanakan dalam kegiatan tatap muka dalam
kurun waktu minimal 100 (seratus) jam dan praktik pengalaman lapangan dalam kurun waktu minimal selama
3 (tiga) bulan. (Pasal 7 Ayat 2)

Dalam pandangan manajemen, sertifikat bisa dianggap sebagai bukti formal atas kelayakan dan
kewenangan  seseorang untuk memangku jabatan tertentu. Belakangan ini (terutama setelah
diberlakukannya Otonomi Daerah), kerapkali ditemukan kasus rekrutmen kepala sekolah  tanpa
disertai Sertifikat Kepala Sekolah, dan kegiatan pendidikan dan pelatihan calon kepala sekolah.

Jika seorang guru direkrut menjadi kepala sekolah tanpa sertifikat dan diklat alias melalui
proses  sim salabim seperti dalam atraksi sulap, barangkali tidak salah jika ada sebagian orang yang
mempertanyakan akan kewenangan dan kelayakan yang bersangkutan. Dengan adanya ketentuan
ini,  maka ke depannya diharapkan tidak terjadi lagi kasus-kasus seperti  ini sehingga  sekolah
benar-benar  dapat dipimpin oleh orang yang layak dan teruji.
Catatan 2:
Calon kepala sekolah/madrasah direkrut melalui pengusulan oleh kepala sekolah/madrasah dan/atau
pengawas yang bersangkutan kepada dinas propinsi/kabupaten/kota dan kantor wilayah kementerian
agama/kantor kementerian agama kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya. (Pasal 4 Ayat 2)
Pengangkatan kepala sekolah/madrasah dilakukan melalui penilaian akseptabilitas oleh tim pertimbangan
pengangkatan kepala sekolah/madrasah. (Pasal 9 Ayat 1). Tim pertimbangan melibatkan unsur pengawas
sekolah/madrasah dan dewan pendidikan. (Pasal 9 Ayat 3)
Penilaian kinerja kepala sekolah/madrasah dilakukan secara berkala setiap tahun dan secara kumulatif setiap
4 (empat) tahun. (Pasal 12 Ayat 1). Penilaian kinerja tahunan dilaksanakan oleh pengawas
sekolah/madrasah. (Pasal 12 Ayat 2). Penilaian kinerja 4 (empat) tahunan dilaksanakan oleh atasan
langsung dengan mempertimbangkan penilaian kinerja oleh tim penilai yang terdiri dari pengawas
sekolah/madrasah, pendidik, tenaga kependidikan, dan komite sekolah dimana yang bersangkutan
bertugas. (Pasal 12 Ayat 3)

Pasal-pasal di atas adalah pasal yang berkenaan dengan peran pengawas sekolah. Pasal-pasal
tersebut mengisyaratkan bahwa pengawas sekolah perlu dilibatkan dalam proses rekrutmen dan
pengangkatan kepala sekolah.  Di beberapa tempat, dalam urusan  rekrutmen dan pengangkatan
kepala sekolah, pengawas sekolah kadang hanya diposisikan sebagai “penonton” belaka.  Lebih
parah lagi, malah yang dilibatkan  justru orang-orang  yang sebenarnya tidak berkepentingan
langsung dengan pendidikan, biasanya hadir dalam bentuk “titipan sponsor”.

Hadirnya peraturan ini, juga membawa konsekuensi logis akan perlunya kebijakan penilaian kinerja
kepala sekolah di setiap  daerah, yang di dalamnya perlu melibatkan Pengawas Sekolah. Kendati
demikian, di beberapa tempat kegiatan penilaian kinerja kepala sekolah tampaknya belum bisa
dikembangkan menjadi kebijakan resmi Dinas Pendidikan setempat.

Dengan adanya niat baik pemerintah untuk meilibatkan dan memberdayakan peran pengawas
sekolah sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal  yang telah disebutkan di atas, tentu harus
diiringi dengan kesiapan dari para pengawas sekolah itu sendiri.

Untuk mengimbangi kebijakan baru ini sekaligus mendapatkan  kejelasan hukum tentang pengawas
dan kepengawasan sekolah. Secara pribadi,  saya berharap kiranya pemerintah pun dapat segera
menerbitkan Peraturan tentang Penugasan Guru sebagai Pengawas  Sekolah, untuk melengkapi
peraturan-peraturan sebelumnya, khususnya yang tertuang dalam Permendiknas No. 12  Tahun
2007 tentang Standar Pengawas Sekolah.

Mari kita tunggu!

Anda mungkin juga menyukai