Anda di halaman 1dari 21

Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.

PEMBERIAN MUT’AH DAN NAFKAH IDDAH DALAM PERKARA


CERAI GUGAT

Heniyatun1*, Puji Sulistyaningsih2, Siti Anisah3


1,2,3
Ilmu Hukum/Fakultas, Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang
E-Mail: *heniyatun@ummgl.ac.id

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hukum


hakim dalam pemberian mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara cerai gugat dan bagaimana
pelaksanaan isi putusan atas pemberian mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara cerai
gugat. Metode penelitian pustaka (library research) dengan menggunakan pendekatan
kualitatif dan yuridis normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara
meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Teknik pengelolahan data yang digunakan
yaitu teknik analisis data deskriptif normatif, dan penarikan kesimpulan dilakukan secara
deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa: 1)
Pertimbangan hukum hakim dalam pemberian mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara
cerai gugat nomor 0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl yaitu mendasarkan pada Pasal 41 huruf
(c) UU Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI serta Yurisprudensi
Mahkamah Nomor 137 K/AG/2007 tanggal 6 Februari 2008 dan Nomor 02 K/AG/2002
tanggal 6 Desember 2003. Putusan tersebut menyimpangi ketentuan Pasal 149 KHI,
namun demikian pertimbangan hukum hakim dalam perkara tersebut mengandung
terobosan hukum dengan metode penemuan hukum dan berpedoman pada Pasal 10 ayat
(1) dan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dalam
memberikan putusan berkaitan dengan nusyuz, sehingga meskipun perceraian diajukan
oleh isteri (cerai gugat) tetapi isteri tidak terbukti nusyuz maka secara ex officio suami
dapat dihukum untuk memberikan nafkah iddah kepada bekas isterinya. Putusan hakim
tersebut mengakodomasi pendapat madzhab Hanafi. Penerapan hak ex officio hakim
tersebut juga menyimpangi ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR/ Pasal 189 ayat (3) RBG
yang menyatakan bahwa hakim dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak
dituntut, atau memberikan lebih daripada yang dituntut, namun demikian putusan
tersebut tidak melanggar asas ultra petita. 2) Pelaksanaan isi putusan perkara nomor
0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl adalah secara sukarela di luar persidangan, apabila tergugat
tidak melaksanakan isi putusan secara sukarela maka penggugat dapat mengajukan
permohonan eksekusi terhadap putusan tersebut dengan mengajukan permohonan
eksekusi sejumlah uang. Kelemahan putusan ini yaitu tidak ada instrumen yang dapat
memaksa tergugat untuk membayar mut’ah dan nafkah iddah yang telah diputuskan
sebagaimana pada perkara cerai talak, instrumen pelaksanaan putusan dalam cerai talak
dapat dilaksanakan melalui sidang ikrar talak.

Kata kunci: Cerai Gugat, Mut’ah dan Nafkah Iddah

PENDAHULUAN tentang Kompilasi Hukum Islam


Perkawinan tidaklah semata-mata (KHI) menegaskan bahwa perkawinan
sebagai hubungan atau kontrak perdata adalah pernikahan, yaitu akad yang
biasa, akan tetapi mempunyai nilai sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan
ibadah. Hal ini sesuai dengan rumusan untuk mentaati perintah Allah dan
Pasal 2 Inpres Nomor 1 Tahun1991 melaksanakannya merupakan ibadah.

39
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

Demikian pula Pasal 1 Undang-Undang Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
menyebutkan bahwa perkawinan adalah Undang Perkawinan (UU No. 1/1974) dan
ikatan lahir batin antara seorang pria Pasal 116 KHI.
dengan seorang wanita sebagai suami istri Selanjutnya berdasarkan KHI Pasal
dengan tujuan membentuk keluarga atau 149 dinyatakan bahwa akibat putusnya
rumah tangga yang bahagia dan kekal perkawinan karena talak, maka suaminya
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. wajib :
Berdasarkan kedua rumusan tersebut, a. Memberikan mut’ah yang layak
dapat disimpulkan bahwa perkawinan kepada bekas isterinya, baik berupa
merupakan sunnah Rasul SAW yang uang atau benda, kecuali bekas isteri
bertujuan untuk membentuk keluarga tersebut Qabla ad dukhul.
sakinah mawadah wa rahmah yang tidak b. Memberikan nafkah, maskan  (tempat
lain hanya untuk beribadah kepada Allah tinggal)  dan kiswah (pakaian) kepada
SWT. Suami istri dalam suatu perkawinan bekas isteri selama masa iddah, kecuali
mempunyai tanggung jawab secara bekas isteri telah dijatuhi talak bain
vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di atau nusyuz dan dalam keadaan tidak
samping mempunyai hak dan kewajiban hamil.
secara timbal balik antara suami dan c. Melunasi mahar yang masih tehutang
istri serta anak-anak yang lahir dalam seluruhnya, atau separo bila qabla ad
perkawinan. Dalam pergaulan antara dukhul.
suami istri tidak jarang terjadi perselisihan d. Memberikan biaya hadanah untuk
dan pertengkaran yang terus menerus, anak-anaknya yang belum mencapai
maupun sebab-sebab lain yang kadang- umur 21 tahun.
kadang menimbulkan suatu keadaan yang
menyebabkan suatu perkawinan tidak Akibat hukum dari putusnya
dapat dipertahankan lagi, sedangkan perkawinan karena perceraian juga diatur
upaya-upaya damai yang dilakukan oleh dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 1
kedua belah pihak maupun keluarga tidak Tahun 1974 yaitu :
membawa hasil yang maksimal sehingga a. Baik ibu atau bapak berkewajiban
pada akhirnya jalan keluar yang harus memelihara dan mendidik anak-
ditempuh tidak lain adalah perceraian. anak, semata-mata berdasarkan
Pasal 39 ayat (1) UUPerkawinan kepentingan anak, bilamana ada
memuat ketentuan imperatif bahwa perselisihan mengenai penguasaan
perceraian hanya dapat dilakukan anak-anak, pengadilan memberi
di depan sidang Pengadilan, setelah keputusannya.
Pengadilan yang bersangkutan berusaha b. Bapak yang bertanggung jawab
mendamaikan kedua belah pihak akan atas semua biaya pemeliharaan
tetapi tidak berhasil. Perceraian yang dan pendidikan yang diperlukan
dilakukan di depan sidang pengadilan anak itu, bilamana bapak dalam
juga harus ada alasan-alasan yang sah kenyataanya tidak dapat memenuhi
menurut undang-undang sebagaimana kewajiban tersebut, pengadilan dapat
diatur dalam berikutnya yaitu ayat (2) yang menentukan bahwa ibu memikul
menyebutkan bahwa, untuk melakukan biaya tersebut.
perceraian harus ada cukup alasan bahwa c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada
antara suami istri itu tidak akan dapat bekas suami untuk memberikan biaya
rukun sebagai suami isteri. Adapun penghidupan dan/atau menetukan
alasan-alasan perceraian tertuang dalam suatu kewajiban bagi bekas istri.

40
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

Apabila dicermati dari kedua harus melakukan penemuan hukum


ketentuan tersebut terdapat perbedaan. (rechtsvinding) sebagaimana berpedoman
Di dalam Pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974 pada Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun
mengatur akibat putusnya perkawinan 2009. Hanya persoalan yang kemudian
karena perceraian baik cerai talak timbul apakah Pasal 178 ayat (3) HIR/
maupun cerai gugat, sedangkan Pasal Pasal 189 ayat (3) dapat disimpangi dalam
149 KHI mengatur tentang akibat hukum penerapannya.
perceraian yang diajukan oleh suami (cerai Berdasarkan urian di atas menarik
talak) saja. Berdasarkan ketentuan Pasal untuk diteliti tentang hak-hak isteri akibat
149 KHI bahwa dalam perkara cerai gugat cerai gugat dan pertimbangan hukum
pada umumnya hakim tidak menghukum hakim dalam memutuskan secara ex officio
suami untuk memberikan mut’ah dan terkait pemberian mut’ah dan nafkah
nafkah iddah. Namun demikian dalam iddah dalam perkara cerai gugat dengan
putusan Pengadilan Agama Magelang menganalisis putusan perkara cerai
Nomor Perkara 0076/Pdt.G/2017/ gugat Nomor 0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl.
PA.Mgl. tanggal 15 Juni 2017 yang telah Rumusan Masalah dalam penelitian ini
berkekuatan hukum tetap dalam perkara yaitu:
cerai gugat hakim memberi putusan 1. Bagaimana pertimbangan hukum
secara ex officio mengabulkan gugatan hakim dalam pemberian mut’ah dan
cerai penggugat dan menjatuhkan talak nafkah iddah dalam perkara cerai
satu ba’in sughra tergugat terhadap gugat?
penggugat dengan membebankan mut’ah 2. Bagaimana pelaksanaan isi putusan
dan nafkah iddah kepada tergugat/ atas pemberian mut’ah dan nafkah
mantan suami meskipun dalam perkara iddah dalam perkara cerai gugat?
cerai gugat tersebut penggugat (isteri)
tidak menuntut nafkah iddah dan mut’ah. METODE PENELITIAN
Putusan perkara nomor 0076/ Penelitian ini merupakan penelitian
Pdt.G/2017/PA.Mgl tersebut terkesan pustaka (library research) yaitu dengan
menyimpangi ketentuan Pasal 178 ayat (3) cara mengambil dan mengumpulkan
HIR (Herzien Inlandsch Reglement)/ Pasal data dari literatur yang berhubungan
189 ayat (3) RBG (Rechtreglement voor de dengan masalah yang dibahas yaitu
Buitengewesten) bahwa hakim dilarang tentang pemberian mut’ah dan nafkah
menjatuhkan keputusan atas perkara yang iddah dalam perkara cerai gugat, penulis
tidak dituntut, atau memberikan lebih menggunakan pendekatan kualitatif.
daripada yang dituntut. Akan tetapi jika Penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
dilihat dalam ketentuan Pasal 10 ayat (1) menghasilkan deskripsi berupa kata-kata
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 atau lisan dari fenomena yang diteliti
tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa atau dari orang-orang yang berkompeten
“Pengadilan dilarang menolak untuk di bidangnya.1 Jenis penelitian ini
memeriksa, mengadili, dan memutus adalah penelitian yuridis normatif, yaitu
suatu perkara yang diajukan dengan dalih penelitian hukum yang dilakukan dengan
bahwa hukum tidak ada atau kurang cara meneliti bahan pustaka atau data
jelas, melainkan wajib memeriksa dan sekunder belaka.2 Penelitian ini difokuskan
mengadilinya”. Berdasarkan hal tersebut untuk mengkaji penerapan kaidah
maka hakim wajib menggali, mengikuti 1 Lexy J Moeleong. 2001. Metodelogi Penelitian
dan memahami nilai-nilai hukum Kualitatif. Bandung : Rosda Karya. Hal. 3.
2 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2013. Penelitian
dan rasa keadilan yang hidup dalam Hukum Normatif. Cetakan ke-15. Jakarta : Raja
masyarakat. Dengan kata lain, hakim Grafindo Persada. Hal. 13.

41
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

hukum positif dalam hal pertimbangan Perceraian dalam hal ini disebut
hukum hakim dalam memutus perkara dengan talak.
secara ex officio menghukum suami c) Putusnya perkawinan atas kehendak
(tergugat) untuk membayar mut’ah dan istri karena melihat sesuatu
nafkah iddah pada perkara cerai gugat yang mengakibatkan putusnya
dengan menggunakan tiga pendekatan perkawinan, sedangkan suami tidak
masalah yaitu pendekatan perundang- berkehendak atas itu. Kehendak
undangan (statute approach), pendekatan putusnya perkawinan yang
konseptual (conceptual approach), dan disampaikan istri dengan cara tertentu
pendekatan kasus (case approach).3 Teknik diterima oleh suami dan dilanjutkan
pengambilan data dalam penelitian ini dengan ucapan menjatuhkan talak
menggunakan metode studi kepustakaan untuk memutuskan perkawinan itu,
(library reasearch) dan metode studi putusnya perkawinan semacam itu
lapangan (field research) dengan disebut dengan khuluk.
menggunakan metode wawancara atau d) Putusnya perkawinan atas kehendak
interview. Teknik pengolahan data dalam hakim sebagai pihak ketiga setelah
penelitian ini menggunakan teknik melihat adanya sesuatu pada suami
analisis data deskriptif normatif, dan dan/ istri yang menandakan tidak
penarikan kesimpulan dilakukan secara dapatnya hubungan perkawinan
deduktif. (Muthoifin, 2019) dilanjutkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Menurut Buya Hamka (1994:212),


Putusnya Perkawinan atau Perceraian cerai dalam bahasa ‘Arab di sebut
Pada dasarnya perkawinan “Ath-tholaaq” itu mengandung arti
dilakukan untuk selama-lamanya sampai memutuskan atau meninggalkan.
matinya salah satu suami istri. Dalam Menurut istilah, cerai adalah melepaskan
keadaan tertentu terdapat hal-hal yang ikatan perkawinan dan mengakhiri
mengakibatkan putusnya perkawinan, hubungan suami isteri. Talak artinya
dalam arti bila perkawinan tetap ialah lepas atau putus pertalian, habis
dilanjutkan maka kemadharatan akan pergaulan, bercerai, dan berpisah. Di
terjadi dalam hal ini, Islam membolehkan dalam Islam, pada prinsipnya perceraian
putusnya perkawinan sebagai langkah itu dilarang, kecuali ada alasan-alasan
terakhir dari usaha melanjutkan rumah objektif yang menuntut adanya sebuah
tangga sebagai suami istri. Ada beberapa perceraian antara suami isteri. Dari
bentuk putusnya perkawinan dari segi Ibn ‘Umar r.a., ia telah menyampaikan,
siapa yang berkehendak untuk putusnya Rasulullah SAW telah bersabda:
perkawinan itu, yaitu sebagai berikut “Telah menceritakan kepada kami
(Amir Syarifuddin, 2006:197) : Katsir bin Ubaid Al-Himsi berkata, telah
a) Putusnya perkawinan atas kehendak menceritakan kepada kami Muhammad
Allah sendiri melalui matinya salah bin Khalid dari Ubaidullah bin Al- Walid
satu suami istri. Dengan kematian Al-Washshafi dari Muharib bin Ditsar dari
itu dengan sendirinya berakhir Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah
hubungan perkawinan tersebut. shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
b) Putusnya perkawinan atas kehendak Perkara halal yang paling di benci oleh
suami dengan berbagai alasan Allah adalah perceraian”. (Hadits Riwayat
dinyatakan dengan ucapan tertentu. Ibnu Majah).
3 Peter Mahmud Marzuki. 2009. Penelitian Hukum. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1974
Jakarta : Kencana. Hal. 93. tentang Perkawinan (UUPerkawinan)

42
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

sebagaimana tersurat pada Pasal 1, Pengadilan yang dimaksud dalam hal


tujuan dari perkawinan adalah untuk ini adalah Pengadilan Agama bagi orang
membentuk keluarga (rumah tangga) yang beragama Islam dan Pengadilan
yang bahagia dan kekal berdasarkan Umum bagi orang selain Islam. Peradilan
ketentuan Tuhan Yang Maha Esa. Dua Agama merupakan salah satu pelaksana
kata kunci tampak dalam Undang- kekuasaan kehakiman di Indonesia yang
Undang ini yaitu bahagia dan kekal. berada di bawah naungan Mahkamah
Bahagia maksudnya bahwa perkawinan Agung sejalan dengan tiga lingkungan
menghendaki kebahagiaan lahir dan peradilan lain, yaitu Peradilan Umum,
batin pelakunya yang diakibatkan Peradilan Militer, dan Peradilan Tata
adanya penyaluran hasrat seksual yang Usaha Negara. Kedudukan Peradilan
aman dan dibolehkan. Kekal maksudnya Agama sebagaimana tertuang dalam
bahwa pernikahan diorientasikan untuk Pasal 49 Undang-Undang Nomor 7 Tahun
sepanjang hidup dan menghindari 1989 tentang Peradilan Agama yang telah
perceraian. Merujuk pada ketentuan diubah dengan Undang-Undang Nomor
tersebut, maka dapat dikatakan perceraian 3 Tahun 2006 dan Perubahan Kedua
adalah putusnya ikatan lahir batin antara dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun
suami dan istri yang mengakibatkan 2009, Pengadilan Agama bertugas dan
berakhirnya hubungan keluarga (rumah berwenang memeriksa, memutus, dan
tangga) antara suami dan istri tersebut. menyelesaikan perkara di tingkat pertama
Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan antara orang-orang yang beragama Islam
menyebutkan bahwa perceraian hanyalah di bidang : 1) Perkawinan; 2) Waris; 3)
satu sebab dari putusnya perkawinan, Wasiat; 4) Hibah; 5) Wakaf; 6) Zakat;
karena putusnya perkawinan dapat 7) Infak; 8) Sedekah; dan 9) Ekonomi
terjadi karena Kematian; Perceraian; dan Syariah. Perkara di bidang perkawinan
atas keputusan Pengadilan. sendiri, dalam penjelasan Pasal 49
Syarat dan Alasan Perceraian mencakup setidaknya 22 bidang hukum,
Undang-undang tidak memperbolehkan di antaranya mengenai perceraian karena
perceraian dengan mufakat saja atau talak dan gugatan perceraian.
antara suami dan isteri, tetapi perceraian Alasan-alasan yang dapat dijadikan
harus dilakukan di depan pengadilan dasar untuk melakukan perceraian diatur
dan perceraian harus ada alasan-alasan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
yang sah. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 116, bahwa Perceraian dapat terjadi
dalam Pasal 39 UU Perkawinan tentang karena :
syarat-syarat perceraian yitu: a) Salah satu pihak berbuat zina atau
1) Perceraian hanya dapat dilakukan menjadi pemabuk, pemadat, penjudi
di depan sidang pengadilan setelah dan lain sebagainya yang sukar
pengadilan yang bersangkutan disembuhkan;
berusaha dan tidak berhasil b) Salah satu pihak meninggalkan pihak
mendamaikan kedua belah pihak; lain selama 2 (dua) tahun berturut-
2) Untuk melakukan perceraian harus turut tanpa izin pihak lain dan tanpa
ada cukup alasan, bahwa antara alasan yang sah atau karena hal lain
suami-istri itu tidak akan dapat hidup diluar kemampuannya;
rukun sebagai suami-istri; c) Salah satu pihak mendapat hukuman
3) Tata cara perceraian di depan sidang penjara 5 (lima) tahun atau hukuman
pengadilan diatur dalam peraturan yang lebih berat setelah perkawinan
perundang-undangan tersendiri. berlangsung;
d) Salah satu pihak melakukan

43
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

kekejaman atau penganiayaan berat Dalam gugatan perceraian karena


yang membahayakan pihak lain; alasan tersebut dalam Pasal 116 huruf
e) Salah satu pihak mendapat cacat b (salah satu pihak meninggalkan pihak
badan atau penyakit denganlain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
akibat tidak dapat menjalankan tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan
kewajibannya sebagai suami atau yang sah atau karena hal lain diluar
isteri; kemampuannya), dapat diajukan setelah
f) Antara suami dan isteri terus meneruslampau 2 (dua) tahun terhitung sejak
terjadi perselisihan dan pertengkarantergugat meninggalkan rumah (Pasal 33
dan tidak ada harapan akan hidup KHI). Gugatan dapat diterima apabila
rukun lagi dalam rumah tangga; tergugat menyatakan atau menunjukan
g) Suami melanggar taklik talak; sikap tidak mau lagi kembali ke rumah
h) Peralihan agama atau murtad yang kediaman bersama. Selanjutnya, gugatan
menyebabkan terjadinya ketidak perceraian karena alasan tersebut dalam
rukunan dalam rumah tangga. Pasal 116 huruf f (Antara suami dan istri
terus menerus terjadi perselisihan dan
Alasan-alasan perceraian juga diatur pertengkaran dan tidak ada harapan akan
pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah hidup rukun lagi dalam rumah tangga),
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan dapat diterima apabila telah cukup jelas
Undang-Undang Perkawinan, yang bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-
menyatakan bahwa: sebab perselisihan dan pertengkaran tu
a) Salah satu pihak berbuat zina atau dan setelah mendengar pihak keluarga
menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, serta orang-orang yang dekat dengan
dan lain sebagainya yang sukar suami istri tersebut (Pasal 34 KHI).
disembuhkan;
b) Salah satu pihak meninggalkan pihak Jenis-jenis Perceraian
lain selama 2 (dua) tahun berturut- Jenis-jenis perceraian dapat dilihat
turut tanpa izin pihak lain dan tanpa berdasarkan siapa yang mengajukan
alasan yang sah atau karena hal lain perceraian, perceraian yang diajukan
di luar kemampuannya; oleh suami atau isteri akan mempunyai
c) Salah satu pihak mendapat hukuman akibat hukum yang berbeda. Jenis
penjara 5 (lima) tahun atau hukuman perceraian juga dapat ditinjau dari segi
yang lebih berat setelah perkawinan boleh tidaknya suami dan isteri rujuk
berlangsung; kembali, dan perceraian juga dapat
d) Salah satu pihak melakukan ditinjau dari segi waktu menjatuhkan
kekejaman atau penganiayaan berat talaknya. Berikut ini mengenai jenis-jenis
yang membahayakan pihak yang perceraian:
lain; 1) Perceraian ditinjau dari pihak yang
e) Salah satu pihak mendapat cacat mengajukan
badan atau penyakit dengan a) Cerai Talak
akibat tidak dapat menjalankan Menurut Pasal 114 KHI putusnya
kewajibannya sebagai suami/istri; perkawinan yang disebabkan
f) Antara suami dan istri terus-menerus karena perceraian dapat terjadi
terjadi perselisihan dan pertengkaran karena talak atau berdasarkan
dan tidak ada harapan akan hidup gugatan perceraian. Pasal 117 KHI
rukun lagi dalam rumah tangga. menjelaskan bahwa talak adalah

44
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

ikrar suami di hadapan sidang ketentuan Pasal 1 huruf (e)


Pengadilan Agama yang menjadi Kompilasi Hukum Islam (KHI)
salah satu sebab putusnya adalah perjanjian yang diucapkan
perkawinan. Berdasarkan Buku calon mempelai pria setelah
II Edisi Revisi Tahun 2013, akad nikah yang dicantumkan
Pedoman Pelaksanaan Tugas dalam Akta Nikah berupa
dan Administrasi Peradilan janji talak yang digantungkan
Agama (2014:147) cerai talak kepada suatu keadaan tertentu
diajukan oleh pihak suami yang mungkin terjadi dimasa
yang petitumnya memohon yang akan datang. Inti perjanjian
untuk diizinkan menjatuhkan itu adalah persetujuan suami
talak terhadap isterinya. Dalam untuk menjatuhkan talaknya
ketentuan perundang-undangan apabila taklik talak (janji) yang
tersebut dapat dipahami bahwa telah diucapkan oleh suami
cerai talak adalah permohonan sesaat setelah akad nikah
cerai yang diajukan oleh suami. sebagaimana tersebut dalam
b) Cerai Gugat buku nikah itu dilanggar oleh
Berdasarkan Pasal 114 KHI di pihak suami. Suami bersedia
atas, bahwa gugatan perceraian menerima gugatan cerai (khuluk)
adalah pengajuan perceraian yang diajukan oleh isteri ketika
yang diajukan oleh isteri. Buku II suami melakukan pelanggaran
edisi Revisi Tahun 2013 tentang seperti yang telah disebutkan.
Pedoman Pelaksanaan Tugas Sehingga pada hakekatnya,
dan Administrasi Peradilan sighat taklik talak ini adalah janji
Agama (2014:149) menyebutkan dari suami untuk mengabulkan
bahwa Cerai gugat adalah cerai khuluk isterinya, ketika suami
yang diajukan oleh isteri yang melakukan pelanggaran
petitumnya memohon agar sebagaimana yang disebutkan
Pengadilan Agama/ Mahkamah dalam buku nikah.
Syari’ah memutuskan 2) Perceraian ditinjau dari segi boleh
perkawinan penggugat (isteri) tidaknya suami merujuk istrinya
dengan tergugat (suami). Dalam kembali
Hukum Islam disebut khuluk, a) Talak Raj’i
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 118 KHI menjelaskan
Pasal 1 huruf (i) KHI bahwa bahwa Talak Raj`i adalah talak
Khuluk adalah perceraian yang kesatu atau kedua, di mana suami
terjadi atas permintaan isteri berhak rujuk selama isteri dalam
dengan memberikan tebusan masa iddah. Setelah talak raj’i
atau iwadl kepada dan atas maka isteri wajib ber-iddah, hanya
persetujuan suaminya. Proses bila kemudian suami hendak
penyelesaian gugatan tersebut kembali kepada bekas isteri
dilakukan sesuai dengan sebelum berakhir masa iddah,
prosedur cerai gugat dan harus maka hal ini dapat dilakukan
diputus oleh hakim (Ibid, 2014: dengan menyatakan rujuk, tetapi
151). jika dalam masa iddah tersebut
Di Indonesia khuluk biasanya bekas suami tidak menyatakan
dikaitkan dengan pelanggaran rujuk terhadap bekas isterinya,
taklik talak. Taklik talak menurut maka dengan berakhirnya

45
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

masa iddah itu kedudukan talak b) Talak Bid’i


menjadi talak ba’in, kemudian jika Berdasarkan Pasal 122 KHI
sesudah berakhirnya masa iddah menjelaskan bahwa Talak bid`i
itu suami ingin kembali kepada adalah talak yang dilarang,
bekas isterinya maka wajib yaitu talak yang dijatuhkan pada
dilakukan dengan akad nikah waktu isteri dalam keadaan
baru, dan dengan mahar yang haid atau isteri dalam keadaan
baru pula. Tidak dibenarkan suci tapi sudah dicampuri pada
bekas suami mempergunakan waktu suci tersebut.
hak merujuk itu dengan tujuan c) Talak La Sunni Wala Bid’i
yang tidak baik, misalnya untuk Talak La Sunni Wala Bid’i yaitu
menyengsarakan bekas isterinya, talak yang dijatuhkan terhadap
atau untuk mempermainkannya, isteri yang belum pernah digauli.
sebab dengan demikian bekas Talak yang dijatuhkan terhadap
suami itu berbuat aniaya atau isteri yang belum pernah haid,
berbuat dzalim (Qs. Al Baqarah atau isteri yang telah lepas haid.
ayat 231). Talak yang dijatuhkan terhadap
b) Talak Ba’in Shughra isteri yang sedang hamil.
Pasal 119 ayat (1) KHI
menjelaskan bahwa Talak Ba`in Akibat Hukum Perceraian
Shughra adalah talak yang Akibat putusannya perkawinan
tidak boleh dirujuk tapi boleh karena perceraian berdasarkan Pasal 41
akad nikah baru dengan bekas Undang-Undang Perkawinan ialah :
suaminya meskipun dalam iddah. 1) Baik ibu atau bapak berkewajiban
Talak yang dijatuhkan oleh tetap memelihara dan mendidik anak-
Pengadilan Agama. anaknya, semata-mata berdasarkan
c) Talak Ba’in Kubra kepentingan anak bilamana ada
Pasal 120 KHI menyebutkan perselisihan mengenai penguasaan
bahwa Talak Ba`in Kubraa anak-anak pengadilan memberi
adalah talak yang terjadi untuk putusannya.
ketiga kalinya. Talak jenis ini 2) Ayah yang bertanggung jawab atas
tidak dapat dirujuk dan tidak semua biaya-biaya pemeliharaan
dapat dinikahkan kembali, dan pendidikan yang diperlukan
kecuali apabila pernikahan itu anak bilamana bapak dalam
dilakukan setelah bekas isteri, kenyataannya tidak dapat memenuhi
menikah dengan orang lain dan kewajiban tersebut. Pengadilan dapat
kemudian terjadi perceraian, menentukan bahwa ibu ikut memikul
serta telah selesai masa iddahnya. biaya tersebut.
3) Talak ditinjau dari segi waktu 3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada
menjatuhkan talaknya bekas suami untuk memberikan
a) Talak Sunni biaya-biaya penghidupan atau
Pasal 121 KHI menjelaskan menentukan sesuatu kewajiban bagi
bahwa talak sunni adalah talak bekas isteri.
yang dibolehkan yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap isteri yang Akibat hukum dari perceraian
sedang suci dan tidak dicampuri berdasarkan Kompilasi Hukum Islam
dalam waktu suci tersebut. (KHI) pasal 149 menyatakan bahwa akibat

46
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

putusnya perkawinan karena talak, maka akar kata dari Al Mata, yaitu sesuatu
suaminya wajib : yang disenangi. Maksudnya, materi
1) Memberikan mut’ah yang layak yang diserahkan suami kepada istri yang
kepada bekas isterinya, baik berupa dipisahkan dari kehidupan sebab talak
uang atau benda, kecuali bekas isteri atau semakna dengan beberapa syarat.
tersebut Qabla ad dukhul. Menurut pendapat Muhammad
2) Memberikan nafkah, maskan  (tempat Baqir (2016:301-302), pemberian mut’ah
tinggal)  dan kiswah (pakaian) kepada ini adalah sebagai pelaksanaan perintah
bekas isteri selama masa ‘iddah, Allah Swt kepada para suami agar
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak selalu mempergauli istri-istri mereka
ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan dengan prinsip imsak bi ma‟ruf au tasrih
tidak hamil. bi ihsan (yaitu mempertahankan ikatan
3) Melunasi mahar yang masih tehutang perkawinan dengan kebaikan atau
seluruhnya, atau separo bila qabla ad melepaskan (menceraikan) dengan
dukhul. kebajikan. Oleh karena itu, kalaupun
4) Memberikan biaya hadanah untuk hubungan perkawinan terpaksa
anak-anaknya yang belum mencapai diputuskan, perlakuan baik harus tetap
umur 21 tahun. dijaga, hubungan baik pun dengan
mantan istri dan keluarganya sedapat
Selanjutnya, akibat putusnya mungkin dipertahankan, disamping
perkawinan berdasarkan Pasal 156 melaksanakan pemberian mut’ah dengan
Kompilasi Hukum Islam bahwa : ikhlas dan sopan santun tanpa sedikitpun
1) Pemeliharaan anak yang belum menunjukan kegusaran hati, apalagi
mumayyiz atau belum berumur 12 penghinaan dan pencelaan.(Muthoifin &
tahun adalah hak ibunya. Rahman, 2019)
2) Pemeliharaan anak yang sudah Kesimpulanya Mut’ah adalah
mumayyiz diserahkan kepada anak pemberian bekas suami kepada mantan
untuk memilih diantara ayahnya isteri, yang dijatuhi talak berupa benda
atau ibunya sebagai pemegang hak atau uang dan lainnya untuk menjaga
pemeliharaannya. hubungan baik dengan mantan isteri dan
3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh keluarga, sekalipun perkawinan tidak
ayahnya. dapat dipertahankan namun melepasnya
(menceraikannya) dengan kebaikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat Mut’ah diatur pada Pasal 149 huruf
disimpulkan bahwa, akibat dari (a), Pasal 158, Pasal 159 dan Pasal 160
putusnya perkawinan karena perceraian KHI. Pasal 149 huruf (a) menyebutkan
berdasarkan hukum positif adalah bahwa bilamana perkawinan putus
berkaitan dengan hak-hak mantan isteri karena talak, maka bekas suami wajib
yaitu nafkah iddah, nafkah mut’ah, nafkah memberikan mut`ah yang layak kepada
madliyah, dan mahar terutang, hak asuh bekas isterinya, baik berupa uang atau
dan pemeliharaan anak, serta harta benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla
bersama. ad dukhul. Qabla ad dukhul artinya belum
berlangsung hubungan seksual antara
Mut’ah keduanya. Syarat pemberian mut’ah yaitu
Menurut Abdul Aziz Muhammad (Pasal 158) :
Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed 1) Belum ditetapkan mahar bagi isteri
Hawwas (2009:207) mut’ah dengan ba`da al dukhul;
dhomah mim (Mut’ah) atau kasrah (mit’ah) 2) Perceraian itu atas kehendak suami.

47
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

Adapun Pasal 159 KHI menyebutkan atas suami untuk isterinya, sepanjang
bahwa mut’ah sunat diberikan oleh bekas isterinya tidak terbukti berbuat
suami tanpa syarat tersebut pada Pasal nusyuz, dan menetapkan kewajiban
158. Dari ketentuan di atas dipahami mut’ah (Pasal 41 huruf (c) UU No. 1
bahwa pemberian mut’ah dapat menjadi Tahun 1974 jo Pasal 149 huruf (a) dan
wajib dan dapat menjadi sunat. Mut’ah (b) KHI.
wajib diberikan oleh bekas suami 2) Dalam pemeriksaan cerai talak,
dengan syarat belum ditetapkan mahar Pengadilan Agama/ Mahkamah
bagi isteri ba’da ad dukhul (telah terjadi Syar’iyah sedapat mungkin berupaya
hubungan seksual antara keduanya) dan untuk mengetahui jenis pekerjaan
perceraian atas kehendak suami. Namun dan pendidikan suami yang jelas
demikian meskipun ketentuan Pasal dan pasti dan mengetahui perkiraan
158 tidak terpenuhi, bekas suami sunat pendapatan rata-rata perbulan
memberikan mut’ah kepada mantan isteri. untuk dijadikan dasar pertimbangan
Artinya meskipun mahar telah ditetapkan dalam menetapkan nafkah madhiyah,
bagi isteri ba’da ad dukhul dan perceraian nafkah iddah dan nafkah anak.
atas kehendak isteri bukan atas kehendak 3) Agar memenuhi asas manfaat dan
suami, suami boleh memberikan mut’ah mudah dalam pelaksanaan putusan,
kepada isteri dan seyogyanya suami penetapan mut’ah sebaiknya berupa
memberikan mut’ah kepada mantan isteri benda bukan uang, misalnya rumah,
sebagai obat penghibur hati mantan isteri tanah atau benda lainnya, agar tidak
akibat dari perceraian. Pemberian mut’ah menyulitkan dalam eksekusi. Mut’ah
merupakan suatu perbuatan baik yang wajib diberikan oleh bekas suami
disyariatkan (disunnatkan) oleh Islam dengan syarat belum ditetapkan
mengingat betapa besar pengorbanan mahar bagi isteri ba’da dukhul dan
dan pengabdian isteri selama masa perceraian atas kehendak suami.
perkawinan. Besar kecilnya mut’ah yang Besarnya mut’ah disesuaikan dengan
diberikan mantan suami kepada mantan kepatutan dan kemampuan suami
isteri berpedoman pada Pasal 160 KHI (Pasal 158 dan 160 KHI). Berdasar
yang menyebutkan bahwa besarnya ketentuan tersebut, dapat dipahami
mut’ah diberikan sesuai dengan kepatutan bahwa kewajiban suami memberikan
dan kemampuan suami dengan mut’ah adalah akibat dari perceraian
mempertimbangkan pula perceraian yang diajukan oleh suami atau cerai
itu adalah atas kehendak suami, dan talak, sedangkan apabila perceraian
isteri telah mendampingi dan mengabdi diajukan oleh isteri atau cerai gugat
terhadap suami selama masa perkawinan kewajiban pemberian mut’ah tersebut
yang cukup lama. tidak diatur.
Selain KHI, mut’ah juga diatur
dalam Keputusan Ketua Mahkamah Pemberian mut’ah dalam hukum
Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 Islam juga secara tegas diatur dengan
tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman menekankan sebagai kewajiban suami,
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi sebagaimana pendapat Abu Hanifah
Peradilan Agama Edisi Revisi Tahun 2013 yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd
(2014:148) menyebutkan bahwa dalam (2007:621-622) bahwa mut’ah diwajibkan
perkara cerai talak : untuk setiap wanita yang dicerai sebelum
1) Pengadilan Agama/ Mahkamah digauli, sedang suami belum menentukan
Syar’iyah secara ex officio dapat maskawin untuknya. Demikian pula
menetapkan kewajiban nafkah iddah Imam Syafi’i berpendapat bahwa mut’ah

48
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai mut’ah hendaknya melihat kondisi suami,
manakala pemutusan perkawinan datang apakah tergolong mudah atau susah,
dari pihak suami, kecuali istri yang kaya atau miskin. Hal ini sebagaimana
telah ditentukan maskawin untuknya Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat
dan dicerai sebelum digauli. Jumhur 236 yang artinya: “Dan Hendaklah kamu
ulama juga memegang pendapat ini. Abu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada
Hanifah beralasan dengan firman Allah mereka. Orang yang mampu menurut
Swt QS. Al Ahzab ayat 49 yang artinya: kemampuannya dan orang yang miskin
“Hai orang-orang yang beriman, apabila menurut kemampuannya (pula).
kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan Nafkah Iddah
mereka sebelum kamu atas mereka Kewajiban suami memberikan nafkah
iddah bagimu yang kamu minta iddah kepada istri yang diceraikannya
menyempurnakannya. Maka berilah merujuk pada Pasal 149 huruf (b) KHI
mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka menyatakan bahwa akibat putusnya
itu dengan cara yang sebaik- baiknya”. perkawinan karena talak, maka suaminya
Disamping itu, pendapat terakhir wajib memberikan nafkah, maskan 
beberapa tokoh sahabat seperti Ali dan (tempat tinggal)  dan kiswah (pakaian)
Umar serta kedua putra mereka Al-Hasan kepada bekas isteri selama masa iddah,
bin Ali dan Abdullah bin Umar r.a. yang kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak
dinilai shahih, sesuai dengan firman Allah ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
Swt dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah tidak hamil. Senada dengan Ketentuan
ayat 241: Artinya: “Kepada wanita-wanita Pasal 149 KHI, berdasarkan Keputusan
yang dicerai talak, (baginya ada hak yang Ketua Mahkamah Agung Republik
menjadi kewajiban suaminya) berupa Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006
mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai (2014:151) mengatur tentang penetapan
suatu kewajiban bagi orang-orang yang kewajiban nafkah iddah terhadap suami
bertaqwa”. dalam perkara cerai gugat, menyebutkan
Ukuran Mut’ah tidak diterangkan bahwa:
dalam syara’, mut’ah berada diantara a) Pengadilan Agama/ Mahkamah
sesuatu yang memerlukan ijtihad Syar’iyah secara ex officio dapat
maka wajib dikembalikan kepada menetapkan kewajiban nafkah iddah
hakim sebagaimana hal-hal lain yang terhadap suami, sepanjang isterinya
memerlukan tempat. Mut’ah yang layak tidak terbukti telah berbuat nusyuz
dan rasional pada suatu zaman terkadang (Pasal 41 huruf (c) Undang-undang
tidak layak pada zaman lain. Demikian Perkawinan), dalam pemeriksaan
juga mut’ah yang layak di suatu tempat cerai gugat.
terkadang tidak layak ditempat lain. b) Pengadilan Agama/ Mahkamah
Ulama Sya’fiiyah berpendapat bahwa Syar’iyah sedapat mungkin berupaya
mut’ah tidak memiliki ukuran tertentu, untuk mengetahui jenis pekerjaan
tetapi disunahkan tidak kurang dari dan pendidikan suami yang jelas
30 dirham atau seharga dengan itu. dan pasti dan mengetahui perkiraan
Kewajibannya tidak melebihi dari mahar pendapatan rata-rata perbulan untuk
mitsil dan sunnahnya tidak melebihi dijadikan dasar pertimbangan dalam
dari separuh mahar mitsil. Dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah
pendapat kuat ini dijelaskan bahwa iddah dan nafkah anak, Cerai gugat
hakim ketika berijtihad tentang ukuran dengan alasan adanya kekejaman

49
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

atau kekerasan suami, Hakim secara Ketentuan waktu tunggu diatur


ex officio dapat menetapkan nafkah pada Pasal 153 KHI. Kewajiban suami
iddah (lil istibra’). untuk memberikan nafkah iddah akan
gugur apabila istri dinyatakan nusyuz.
Berdasarkan ketentuan di atas, Siti Ruhaini Dzuhayatin (2013:267)
bahwa dalam perkara cerai talak maupun mengemukakan bahwa nusyuz berarti
cerai gugat Hakim Pengadilan Agama/ durhaka, atau ingkar dari kewajiban
Mahkamah Syar’iyah secara ex officio suami atau isteri. Nusyuz dapat berarti
dapat menetapkan kewajiban nafkah kebencian salah seorang diantara suami
iddah terhadap suami sepanjang isteri atau isteri kepada pasangannya. Oleh
tidak terbukti nusyuz, dalam perkara karena itu dalam hukum Islam nusyuz
cerai talak Hakim Pengadilan Agama/ berlaku baik untuk pihak suami maupun
Mahkamah Syar’iyah secara ex officio dapat isteri. Pengaturan tentang nusyuz dalam
menetapkan kewajiban mut’ah terhadap hukum positif diatur dalam Pasal 84 KHI,
suami, akan tetapi dalam perkara cerai sebagai berikut :
gugat tidak diatur demikian. 1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia
Kewajiban pemberian nafkah iddah tidak mau melaksanakan kewajiban-
dipertegas lagi dalam Pasal 152 KHI yang kewajiban sebagaimana dimaksud
menyebutkan bahwa “Bekas isteri berhak dalam pasal 83 ayat (1) kecuali
mendapatkan nafkah iddah dari bekas dengan alasan yang sah.
suaminya kecuali ia nusyuz”. Nafkah iddah 2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban
adalah nafkah yang diberikan kepada suami terhadap isterinya tersebut
suami pada masa waktu tunggu akibat pada Pasal 80 ayat (4) huruf a dan b
perceraian. Iddah menurut penjelasan tidak berlaku kecuali hal-hal untuk
Muhammad Syaifuddin dkk (2014:401) kepentingan anaknya.
adalah masa menunggu atau tenggang 3) Kewajiban suami tersebut pada ayat
waktu sesudah jatuh talak dalam waktu (2) di atas berlaku kembali sesudah
dimana si suami boleh merujuk kembali isteri tidak nusyuz.
isterinya, sehingga pada masa iddah ini 4) Ketentuan tentang ada atau tidak
si isteri belum boleh melangsungkan adanya nusyuz dari isteri harus
perkawinan baru dengan yang lain. didasarkan atas bukti yang sah.
Adapun tujuan dan kegunaan masa iddah
yaitu: Kewajiban istri sebagaimana
1) Untuk memberi kesempatan berpikir dimaksud dalam Pasal 83 KHI adalah :
kembali dengan pikiran yang jernih, 1) Kewajiban utama bagi seoarang isteri
setelah mereka menghadapi keadaan ialah berbakti lahir dan batin kepada
rumah tangga yang panas dan suami di dalam yang dibenarkan oleh
yang demikian keruhnya sehingga hukum Islam; 2) Isteri menyelenggarakan
mengakibatkan perkawinan mereka dan mengatur keperluan rumah tangga
putus. sehari-hari dengan sebaik- baiknya.
2) Dalam perceraian karena ditinggal Islam juga mengatur kewajiban
mati suami iddah diadakan untuk suami untuk memberikan nafkah iddah,
menunjukan rasa berkabung atas firman Allah dalam al-Qur’an Surah
kematian suami. Ath-Thalaq ayat 7, yang artinya: “Orang
3) Untuk mengetahui apakah dalam (para suami) yang mampu (berkewajiban)
masa iddah tersebut pihak isteri telah untuk memberi nafkah (termasuk nafkah
mengandung atau tidak. iddah) menurut kemampuannya, dan

50
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

orang (para suami) yang disempitkan dan/ atau berpalingnya salah satu
rezkinya, hendaklah memberi nafkah dari pasangan terhadap pasangan lain. Lebih
harta yang diberikan Allah kepadanya”. sederhananya adalah tidak taatnya suami
Seorang perempuan yang dalam masa atau isteri kepada aturan-aturan yang
iddahnya talak ba’in dan dia dalam keadaan
telah diikat oleh perjanjian yang telah
hamil maka dia berhak juga menerima terjalin dengan sebab ikatan perkawinan
tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’.
nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal
dari mantan suaminya sampai anaknya Artinya nusyuz adalah pelanggaran suami
lahir. Ini berlandaskan dari firman Allahatau isteri atas komitmen bersama dalam
Swt dalam Qur’an Surat At-Thalaq Ayat bentuk hak dan kewajiban yang lahir
6 yang artinya: “Tempatkanlah mereka akibat adanya ikatan perkawinan, sebuah
(para isteri) dimana kamu bertempat ikatan yang suci, kuat, dan sakral. Dengan
tinggal menurut kemampuanmu dan demikian nusyuz bisa dilakukan oleh
janganlah kamu menyusahkan mereka suami atau isteri tidak hanya melulu isteri
untuk menyempitkan (hati) mereka. saja. Berdasarkan fakta yang ditemukan
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudahisteri (penggugat) tidak memenuhi
ditalak) itu sedang hamil, maka beri unsur-unsur dalam pengertian nusyuz,
nafkahlah kepada mereka nafkahnya maka pengadilan berpendapat isteri
hingga mereka bersalin, kemudian jika tidak nusyuz, sebaliknya justru suami
mereka menyusukan (anak-anakmu) (tergugat) yang memenuhi unsur-unsur
maka kepada mereka upahnya, dan nusyuz sehingga dengan mendasarkan
musyawarahkanlah di antara kamu pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun
(segala sesuatu) dengan baik, dan 1974 jo Pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI dan
jika kamu menemui kesulitan maka Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
perempuan lain boleh menyusukan (anak 137 K/AG/2007 tanggal 6 Februari 2008 dan
itu) untuknya” Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
Fuqaha telah sepakat bahwa02 K/AG/2002 tanggal 6 Desember 2003,
perempuan yang berada dalam masa maka secara ex officio (karena jabatannya)
iddah talak raj‟i masih berhak mendapat majelis hakim menghukum suami
nafkah dan tempat tinggal. (tergugat) untuk memberikan mut’ah dan
nafkah iddah terhadap penggugat selaku
Pertimbangan Hukum Hakim dalam mantan isteri.
Pemberian Mut’ah dan Nafkah Iddah Hal senada juga diungkap Agus
dalam Perkara Cerai Gugat Miswanto (pakar hukum Islam), bahwa
Dalam putusan Nomor Perkara cerai gugat menurut konseptual fikih
0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl, majelis hakim disebut sebagai khuluk, dalam bahasa Arab
telah melakukan penemuan hukum disebut Al-Khuluk maknanya melepas
(rechtsvinding) karena menurut hakim pakaian. Khuluk digunakan untuk istilah
terkait dengan nusyuz belum diatur wanita yang meminta kepada suaminya
secara jelas dalam peraturan perundang- untuk melepas dirinya dari ikatan
undangan (Jamadi, Ketua Majelis pernikahan, dengan membayar sejumlah
Hakim). Majelis hakim berpendapat uang agar suami mentalaknya sehingga
bahwa yang dimaksud nusyuz adalah dia selamat dari beban perkawinan.
ketidakpatuhan salah satu pasangan Perceraian karena Khuluk suami tidak
terhadap apa yang seharusnya dipatuhi berhak merujuknya kembali, segala
dalam kerangka hak dan kewajiban urusan bekas isteri berada di tanganya
masing-masing pasangan yang timbul sendiri sebab ia telah menyerahkan
akibat adanya ikatan perkawinan tersebut sejumlah harta kepada bekas suami guna

51
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

pelepasan dirinya itu. Oleh karena itu, sependapat dengan madzhab Hanafi
status perceraian karena khuluk adalah yang berpendapat bahwa perempuan itu
sebagai talak ba’in bagi isteri. Suami berhak juga menerima nafkah belanja,
yang telah mengkhuluk bekas isterinya pakaian dan tempat tinggal. Pendapat
tersebut boleh mengadakan akad nikah Hanafi berdasarkan pada QS. At-Thalaq
baru dengan bekas isterinya itu dengan ayat 6 yang artinya “Tempatkanlah mereka
rukun dan syarat lazimnya akad nikah. (para isteri) dimana kamu bertempat
Perceraian karena talak ba’in isteri tidak tinggal menurut kemampuanmu dan
mendapatkan nafkah dalam masa iddah. janganlah kamu menyusahkan mereka
Hal ini sebagaimana pendapat Syafi‟i, untuk menyempitkan (hati) mereka”.
Hambali dan Maliki bahwa perempuan Berbeda dengan pendapat di
yang dalam masa iddah talak ba’in dan atas, Imdad (hakim PA Magelang)
dalam keadaan tidak hamil tidak berhak mengemukakan bahwa Pasal 149 KHI
mendapatkan nafkah belanja, pakaian dan tersebut khusus mengatur tentang akibat
tempat tinggal. Namun demikian suami hukum perceraian karena talak. Perkara
tetap berkewajiban dalam hal nafkah nomor 0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl memang
untuk pemeliharaan dan pendidikan benar terbukti isteri tidak nusyuz namun
anak. Ketentuan dalam Pasal 149 KHI telah dalam perkara tersebut yang mengajukan
sesuai dengan syariat Hukum Islam yang perceraian adalah isteri dimana
mengadopsi pendapat Syafi’i. Mayoritas dalam hukum normatifnya akibat dari
masyarakat Indonesia menganut mazhab perceraian gugat tidak diatur mengenai
Syafi’iyah yang berpendapat bahwa kewajiban suami memberikan mut’ah dan
kewajiban suami memberikan nafkah nafkah iddah. Pertimbangan hukum hakim
iddah kepada mantan isteri hanya berlaku yang merujuk pada Pasal 149 KHI tidak
pada talak raj’i. Talak raj’i adalah talak atas tepat jika diterapkan dalam perkara cerai
kehendak suami dan suami mempunyai gugat, karena normatifnya atau bunyi
hak rujuk selama dalam masa iddah. pasalnya jelas menyatakan “bilamana
Pendapat ini berdasarkan hadist riwayat perkawinan putus karena talak, suami
Ahmad dan An-Nasa’i yaitu “Perempuan wajib”, dalam hal ini Pasal 149 KHI
yang berhak mendapat nafkah dan khusus diterapkan dalam perkara cerai
tempat tinggal (rumah) dari mantan talak bukan perkara cerai gugat. Hakim
suaminya apabila mantan suaminya itu secara ex officio menghukum tergugat
berhak merujuk kepadanya”. Terkait untuk membayar kepada penggugat
putusan pengadilan dalam perkara cerai mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara
gugat yang membebankan suami untuk cerai gugat di luar permintaan penggugat
membayar mut’ah dan iddah terhadap isteri atau tidak diminta oleh penggugat dalam
merupakan salah satu bentuk ijtihad hakim petitumnya jatuhnya adalah ultra petita.
dengan alasan kemanusiaan dan keadilan Hak ex officio itu berangkat dari pintu yang
serta alasan bahwa isteri tidak terbukti telah dirumuskan oleh undang-undang.
nusyuz. Meskipun dalam KHI tidak Batasan ex officio adalah kewenangan yang
diatur mengenai akibat hukum karena telah diberikan oleh undang-undang.
perceraian gugat, tetapi ini merupakan Jadi kalau tidak ada pintu masuknya
penemuan hukum baru dan merupakan berdasarkan undang-undang maka
ijtihad hakim sepanjang ada peraturan jatuhnya adalah ultra petitum, dalam
yang dapat dijadikan sebagai dasar, hal ini ultra petitum adalah melanggar
dalam hal ini Yurisprudensi Mahkamah ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR yang
Agung Nomor 137 K/AG/2007 dan Pasal menyatakan bahwa hakim dilarang
41 UUPerkawinan. Ijtihad hakim tersebut menjatuhkan keputusan atas perkara

52
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

yang tidak dituntut, atau memberikan nusyuz” maka dalam perkara cerai talak
lebih daripada yang dituntut. Mengapa ba’in isteri tidak berhak mendapat nafkah
demikian karena hal ini menyangkut iddah karena suami tidak ada kepentingan
hukum perdata yang menyangkut hak untuk rujuk, atau dalam perkara cerai
pribadi, hak privat orang, jadi tidak boleh talak raj’i yang terbukti isteri telah berbuat
memberikan lebih daripada yang dituntut nusyuz mantan isteri juga tidak berhak
di luar yang telah diatur oleh undang- mendapatkan nafkah iddah. Berdasarkan
undang meskipun karena alasan itikad Pasal 149 KHI huruf (b) tersebut dapat
baik hakim. dipahami bahwa hanya perkara cerai
Menurut H. Abdul Halim Muhammad talak yang diajukan oleh suami yang
Sholeh, bahwa terkait dengan pemberian mewajibkan suami untuk memberi
nafkah iddah secara ex officio kepada nafkah iddah kepada mantan isteri yang
tergugat (mantan isteri) dalam perkara terbukti tidak berbuat nusyuz, sedangkan
cerai gugat tidak tepat jika hanya dalam perkara cerai gugat tidak semua
didasarkan pada Pasal 149 huruf (b) KHI, perkara cerai gugat mendapatkan nafkah
karena secara tekstual Pasal 149 huruf iddah ketika isteri terbukti tidak nusyuz,
(b) KHI tersebut menyebutkan bahwa tetapi hanya berdasarkan pertimbangan
“bilamana perkawinan putus karena hakim secara ex officio boleh memberikan
talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah iddah tetapi sifatnya tidak wajib.
nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas Pertimbangan hakim secara ex officio
isterinya selama dalam iddah, kecuali ini berdasarkan pada Pasal 41 huruf (c)
bekas isteri tersebut telah dijatuhi talak UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan
ba’in atau nusyus dan dalam keadaan tidak bahwa Pengadilan dapat mewajibkan
hamil”. Berdasarkan teks Pasal 149 KHI kepada bekas suami untuk memberikan
tersebut sudah jelas suami diwajibkan biaya penghidupan dan/atau menetukan
memberikan nafkah iddah apabila perkara suatu kewajiban bagi bekas istri.
tersebut karena talak yang diajukan oleh Pemberian Mut’ah dan nafkah iddah
suami. Talak disini dipahami dengan talak dalam perkara cerai gugat berdasarkan
raj’i, hal ini berdasarkan frasa “karena pada Yurisprudensi dan Surat Edaran
talak, maka suami wajib”. Berdasarkan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018
Pasal 118 KHI akibat dari talak raj’i adalah tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
suami berhak rujuk selama isteri dalam Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
masa iddah. Perkara cerai talak raj’i ada Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan
kepentingan suami untuk rujuk dengan Tugas Bagi Pengadilan. Berdasarkan
isterinya dalam masa iddah. Kata wajib SE MA tersebut meskipun perceraian
disini sifatnya mengikat dan setiap diajukan oleh isteri apabila dianggap
perkara perceraian yang diajukan oleh oleh hakim isteri yang menggugat layak
suami dan isteri tidak terbukti nusyuz untuk mendapatkan mut’ah maka tetap
maka bekas suami wajib memberikan mendapatkan mut’ah dengan alasan
nafkah, miskan, dan kiswan kepada bekas isteri telah mengabdi selama bertahun-
isteri selama masa iddah. Berbeda halnya tahun kepada suami. Pasal 149 huruf
dengan talak ba’in, berdasarkan Pasal 119 (a) dan Pasal 158 KHI menyebutkan
ayat (1) KHI menjelaskan bahwa talak bahwa kewajiban suami memberikan
ba’in shughra adalah talak yang tidak mut’ah kepada isteri hanya apabila belum
boleh dirujuk tapi harus dengan akad ditetapkan mahar bagi isteri ba’da al
nikah baru dengan bekas suaminya dukhul dan perceraian itu atas kehendak
meskipun dalam iddah. Pasal 149 huruf suami, artinya apabila perkara cerai talak
(b) menyebutkan “kecuali talak bain atau atau yang mengajukan perceraian adalah

53
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

suami maka suami diwajibkan untuk tergugat untuk membayar kepada


memberikan mut’ah, akan tetapi kata wajib penggugat mut’ah dan nafkah iddah,
dalam pasal tersebut tidak menghalangi namun pada saat pembacaan isi putusan
atau tidak berarti berbunyi melarang tergugat tidak mau membayar kewajiban
suami untuk memberikan mut’ah apabila tersebut atau tergugat tidak hadir dalam
perceraian tersebut diajukan oleh isteri. pembacaan isi putusan maka putusan
Apabila ketentuan atau syarat dalam tersebut menjadi putusan yang illusoir
Pasal 158 KHI tidak terpenuhi maka (putusan hampa), putusan tersebut tidak
bukan berarti suami dilarang untuk dapat dilaksanakan. Tidak ada gunanya
memberikan mut’ah. Apabila hakim menghukum suami untuk memberikan
menganggap isteri layak untuk diberikan mut’ah dan nafkah iddah, karena suami
mut’ah maka dalam perkara cerai gugat belum tentu mau melaksanakan isi
isteri bisa mendapatkan mut’ah dengan putusan tersebut secara sukarela karena
pertimbangan hakim melihat duduk tidak akibat hukumnya (Imdad). Lain
perkara dan pembuktian di persidangan. halnya dalam perkara perceraian karena
Pemberian mut’ah dan nafkah talak berdasarkan rumusan Rakernas
iddah dalam perkara cerai gugat yang Mahkamah Agung suami yang belum bisa
tidak diminta oleh penggugat dalam membayar kewajibannya sebagaimana
petitumnya meskipun menyimpangi tersebut dalam putusan, maka suami
Pasal 178 ayat (3) HIR namun tidak tersebut tidak dapat melaksanakan sidang
berarti melanggar asas ultra petita, hal ikrar talak. Dalam rangka pelaksanaan
ini didasarkan bahwa putusan perkara Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang
nomor 0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl tersebut pedoman Mengadili Perkara Perempuan
merujuk pada Yurisprudensi Mahkamah Berhadapan dengan Hukum untuk
Agung Nomor 137 K/AG/2007 dan nomor memberi perlindungan hukum bagi hak-
02 K/AG/2002. Saat ini payung hukum hak perempuan pasca perceraian, maka
terhadap pemberian mut’ah dan nafkah pembayaran kewajiban akibat perceraian,
iddah dalam perkara cerai gugat lebih khususnya nafkah iddah, mut’ah, dan
jelas dan dipertegas lagi yaitu adanya nafkah madliyah, dapat dicantumkan
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 dalam amar putusan dengan kalimat
Tahun 2018 sebagai pedoman bagi Hakim, dibayar sebelum pengucapan ikrar
maka isteri dalam perkara cerai gugat talak. Ikrar talak dapat dilaksanakan bila
dapat diberikan mut’ah, dan nafkah iddah isteri tidak keberatan atas suami tidak
sepanjang tidak terbukti nusyuz”. Apabila membayar kewajiban tersebut pada saat
dalam ketentuan undang-undang tidak itu (ketentuan ini mengubah huruf C,
mengatur tentang sesuatu hal atau ketika angka 12 SEMA No. 3 Tahun 2015, in casu
hakim terpaksa harus menyimpangi nafkah iddah, mut’ah, dan nafkah madliyah).
teks undang-undang, putusan hakim Menurut H. Abdul Halim Muhamad
harus berpedoman pada asas keadilan, Sholeh, pemberian mut’ah dan nafkah
kemanfaatan dan kepastian hukum. iddah dalam perkara perceraian dalam
Pelaksanaan Isi Putusan Atas pelaksanaannya jangan sampai bersifat
Pemberian Mut’ah dan Nafkah Iddah illusoir (tidak dapat dilaksanakan), artinya
Dalam Perkara Cerai Gugat dalam pemberian mut’ah dan nafkah
Apabila dalam perkara cerai gugat iddah dalam perkara cerai gugat harus
dalam amar putusannya berbunyi mempertimbangkan kehadiran pihak
mengabulkan gugatan pengugat, tergugat (mantan suami). Kehadiran
menjatuhkan talak satu ba’in shugro tergugat dalam persidangan sangat
tergugat kepada penggugat, menghukum penting untuk memeriksa penghasilan

54
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

dan kemampuan suami dalam 2017 sebagai Pedoman Pelaksanaan


memberikan mut’ah dan nafkah iddah, hal Tugas bagi Peradilan dalam perkara
ini sebagai dasar pertimbangan hakim cerai talak dalam amar putusanya dapat
dalam menetapkan besarnya mut’ah dan dicantumkan dengan kalimat dibayar
nafkah yaitu dengan mempertimbangkan sebelum pengucapan ikrar talak. Ikrar
kemampuan suami dan uang belanja talak dapat dilaksanakan bila isteri tidak
yang bisa diberikan juga dengan keberatan atas suami tidak membayar
mempertimbangkan kriteria atau standar kewajiban tersebut pada saat itu. Dengan
hidup layak atau patut bagi Penggugat. demikian instrumen pelaksanaan putusan
Ketidakpastian tergugat bersedia dalam cerai talak dapat dilaksanakan
melaksanakan putusan secara sukarela melalui ikrar talak. Berbeda dengan
atau tidak berakibat bahwa putusan perkara cerai talak, dalam perkara cerai
tersebut dianggap illusoir atau tidak bisa gugat sepanjang tidak ada permohonan
dilaksanakan. Dasar putusan tersebut eksekusi dari pihak tergugat (pihak
tidak illusoir adalah penetapan mut’ah dan yang kalah) maka dianggap bahwa
nafkah iddah dalam perkara cerai gugat putusan tersebut dilaksanakan secara
harus berdasarkan kehadiran tergugat sukarela oleh tergugat, karena dalam
dan hakim dalam menetapkan mut’ah dan perkara cerai gugat tidak ada instrumen
nafkah iddah harus mempertimbangkan yang dapat memaksa tergugat untuk
penghasilan dan kemampuan suami, membayar mut’ah dan nafkah iddah yang
sehingga diharapkan putusan tersebut telah diputuskan. Upaya hukum yang
dilaksanakan secara sukarela oleh dapat ditempuh oleh penggugat apabila
tergugat. Apabila suami tidak hadir maka putusan tidak dilaksanakan secara
dalam perkara cerai gugat hakim tidak sukarela oleh tergugat, adalah pihak
bisa secara ex officio menghukum tergugat penggugat mengajukan permohonan
untuk memberikan mut’ah dan nafkah eksekusi sejumlah uang kepada Ketua
iddah kepada penggugat (mantan isteri) Pengadilan Agama yang memutuskan
karena penetapan mut’ah dan nafkah perkara tersebut. Eksekusi pada dasarnya
iddah harus didasarkan pada kehadiran merupakan tindakan atau upaya paksa
tergugat. menjalankan putusan. Eksekusi baru
Menurut Jamadi, pelaksanaan isi dapat dilakukan jika pihak yang kalah
putusan atas pemberian mut’ah dan tidak bersedia untuk menjalankannya
nafkah iddah adalah dilaksanakan di luar secara sukarela (Pasal 200 (11) HIR
persidangan, dan tergugat melaksanakan dan 207 R.Bg.) terhadap putusan yang
isi putusan secara sukarela. Pelaksanaan telah berkekuatan hukum tetap dan ada
putusan atas pemberian mut’ah dan permohonan eksekusi dari pihak yang
nafkah iddah dalam cerai gugat masih menang (penggugat). Penggugat dapat
terdapat problem dalam pelaksanaanya mengajukan permohonan eksekusi
meskipun dalam pembacaan putusan sejumlah uang dengan menjadikan salah
dihadiri oleh penggugat dan tergugat, satu aset termohon eksekusi untuk disita.
yaitu tidak adanya instrumen yang dapat Pemohon eksekusi harus memastikan
memaksa tergugat untuk melaksanakan bahwa aset termohon tersebut benar-
isi putusan sebagaimana pada perkara benar dan pasti hak milik termohon, aset
cerai talak. Berdasarkan Surat Edaran tersebut tidak berada di tangan pihak
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun ketiga atau tidak sedang digunakan
2017 tanggal 19 Desember 2017 tentang sebagai jaminan hutang pada bank atau
Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat lembaga keuangan lain, karena barang
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun itulah yang nantinya akan digunakan

55
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

untuk membayar atau melunasi mut’ah luar persidangan. Sepanjang tidak


dan nafkah iddah yang tidak dibayarkan ada permohonan eksekusi dari pihak
oleh tergugat kepada penggugat. Setelah tergugat (pihak yang kalah) maka
pemohon (penggugat) mengajukan dianggap bahwa putusan tersebut
permohonan eksekusi maka Ketua dilaksanakan secara sukarela oleh
Pengadilan Agama akan memberikan tergugat, karena dalam perkara cerai
peringatan (aanmaning) kepada termohon gugat tidak ada instrumen yang dapat
eksekusi (tergugat). Jika dalam waktu memaksa tergugat untuk membayar
8 (delapan) hari setelah peringatan mut’ah dan nafkah iddah yang telah
(aanmaning) termohon eksekusi belum diputuskan. Instrumen pemaksaan
melaksanakan isi putusan secara pelaksaan isi putusan dalam perkara
sukarela maka Ketua Pengadilan Agama cerai talak berdasarkan Surat Edaran
membuat penetapan sita eksekusi atas Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun
objek termohon eksekusi lalu menjual 2017 tanggal 19 Desember 2017
aset tersebut melalui mekanisme tentang Pemberlakuan Rumusan
lelang umum dan hasilnya dibayarkan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah
kepada pemohon eksekusi (penggugat) Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman
sesuai jumlah yang ada pada putusan, Pelaksanaan Tugas bagi Peradilan
sedangkan sisanya dikembalikan kepada dalam perkara cerai talak dalam
termohon eksekusi. Pelaksana eksekusi amar putusanya dapat dicantumkan
adalah Panitera/ Jurusita yang ditunjuk dengan kalimat dibayar sebelum
oleh Ketua Pengadilan Agama. pengucapan ikrar talak. Ikrar talak
Berdasarkan uraian di atas, bahwa dapat dilaksanakan bila isteri
pelaksanaan isi putusan atas pemberian tidak keberatan atas suami tidak
mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara membayar kewajiban tersebut pada
cerai gugat adalah : saat itu, sedangkan dalam perkara
1) Pelaksanaan isi putusan perkara cerai gugat tidak ada instrumen
nomor 0076/Pdt.G/2017/PAMgl yang dapat memaksa tergugat untuk
adalah di luar persidangan. Sepanjang melaksanakan isi putusan.
tidak ada permohonan eksekusi dari 3) Kelemahan putusan ini adalah
pihak penggugat maka dianggap karena tidak ada instrumen yang
bahwa putusan tersebut dilaksanakan dapat memaksa tergugat untuk
secara sukarela oleh tergugat di luar melaksanakan isi putusan maka
persidangan, apabila tergugat tidak ada kemungkinan tergugat tidak
melaksanakan isi putusan secara melaksanakan isi putusan secara
sukarela maka penggugat dapat sukarela. Apabila pihak yang
mengajukan permohonan eksekusi kalah dalam hal ini pihak tergugat
sejumlah uang. sulit menerima putusan dan
2) Kelemahan putusan pemberian mut’ah enggan melaksanakan isi putusan
dan nafkah iddah dalam perkara cerai secara sukarela maka pengajuan
gugat adalah tidak adanya instrumen permohonan eksekusi merupakan
yang dapat memaksa tergugat upaya terakhir bagi pelaksanaan
untuk melaksanakan isi putusan putusan pengadilan tersebut.
sebagaimana pada perkara cerai talak. Eksekusi merupakan proses yang
Pelaksanaan putusan dalam cerai talak cukup melelahkan bagi pihak-
dapat dilaksanakan melalui sidang pihak yang berperkara, selain
ikrar talak, sedangkan dalam perkara menyita energi juga menyita biaya
cerai gugat putusan dilaksanakan di yang tidak sedikit, yang seringkali

56
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

tidak sebanding dengan hak yang Nomor 02 K/AG/2002 tanggal 6 Desember


seharusnya di terima oleh penggugat 2003. Pertimbangan hukum hakim
berdasarkan putusan. tersebut mengandung terobosan hukum
4) Ada perbedaan pendapat tentang (rule breaking) karena menyimpangi
apakah putusan perkara nomor ketentuan Pasal 149 huruf (b) Kompilasi
0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl termasuk Hukum Islam. Pasal 149 KHI tidak
kategori illusoir atau tidak illusior. Jika
mewajibkan suami untuk memberikan
didasarkan pada adanya spekulasi nafkah iddah bagi istri yang ditalak ba’in.
atau ada kemungkinan putusan tidak Majelis hakim melakukan terobosan
dilaksanakan secara sukarela, maka hukum dengan metode penemuan hukum
putusan tersebut dapat dikatakan (rechtsvinding) dengan berpedoman pada
sebagai putusan yang illusoir (putusan
Pasal 10 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) UU
hampa) jika tidak dapat dilaksanakanNomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
karena tergugat belum tentu mau Kehakiman yang menentukan bahwa
melaksanakan isi putusan. Namun hakim wajib menggali, mengikuti, dan
demikian, putusan perkara nomor memahami nilai-nilai hukum dan rasa
0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl tersebut
keadilan yang hidup dalam masyarakat
dapat dikatakan tidak illusoir, hal ini
dalam memberikan putusan berkaitan
didasarkan pada kehadiran Tergugat. dengan nusyuz karena nusyuz belum
Hakim telah memeriksa penghasilan diatur secara jelas dalam peraturan
dan kemampuan suami dalam perundang-undangan, hasilnya majelis
memberikan mut’ah dan nafkah iddah, hakim berpendapat nusyuz bisa dilakukan
hal ini sebagai dasar pertimbangan oleh suami atau isteri tidak hanya melulu
hakim dalam menetapkan besarnya isteri saja. Pengadilan berpendapat isteri
mut’ah dan nafkah yaitu dengan tidak terbukti nusyuz, sebaliknya justru
mempertimbangkan kemampuan
suami (tergugat) yang memenuhi unsur-
suami dan uang belanja yang unsur nusyuz sehingga pengadilan secara
bisa diberikan juga ex officio menghukum suami (tergugat)
dengan
mempertimbangkan kriteria atau untuk membayar mut’ah dan nafkah
standar hidup layak atau patut iddah kepada penggugat selaku mantan
bagi Penggugat, sehingga apabila isteri. Kaidah hukum Yurisprudensi
putusan tersebut tidak dilaksanakan Mahkamah Nomor 137 K/AG/2007
secara sukarela oleh tergugat, tanggal 6 Februari 2008 adalah “Meskipun
maka penggugat dapat menempuh gugatan perceraian yang diajukan oleh
upaya hukum dengan mengajukan isteri akan tetapi tidak terbukti isteri
permohonan eksekusi sejumlah uang. telah berbuat nusyuz, maka secara ex
officio suami dapat dihukum untuk
KESIMPULAN memberikan nafkah iddah kepada bekas
Pertimbangan hukum hakim dalam isterinya dengan alasan bekas isteri harus
pemberian mut’ah dan nafkah iddah menjalani masa iddah yang tujuannya
dalam perkara cerai gugat nomor 0076/ antara lain untuk istibra’ yang juga
Pdt.g/2017/PA.Mgl adalah berdasarkan menyangkut kepentingan suami”. Kata
pasal 41 huruf (c) Undang-undang “dapat” dalam kaidah hukum tersebut
Nomor 1 Tahun 1974 jo pasal 149 huruf dapat dipahami bahwa pemberian
(a) dan (b) Kompilasi Hukum Islam dan mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara
Yurisprudensi Mahkamah Nomor 137 cerai gugat sifatnya tidak wajib, tidak
K/AG/2007 tanggal 6 Februari 2008 serta semua perkara cerai gugat mendapatkan
Yurisprudensi Mahkamah Agung RI mut’ah dan nafkah iddah ketika isteri

57
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59

terbukti tidak nusyuz, tetapi hanya pada di luar persidangan. Sepanjang tidak
kasus-kasus tertentu dan hakim akan ada permohonan eksekusi dari pihak
mempertimbangkan berdasarkan duduk penggugat maka dianggap bahwa
perkara dan pembuktian di persidangan putusan tersebut dilaksanakan secara
dalam pemberian mut’ah dan nafkah iddah sukarela oleh tergugat di luar persidangan,
dalam perkara cerai gugat. apabila tergugat tidak melaksanakan isi
Pemberian mut’ah dan nafkah putusan secara sukarela maka penggugat
iddah dalam perkara cerai gugat dapat mengajukan permohonan eksekusi
mengakomodasi pendapat madzhab sejumlah uang. Dasar hukum pelaksanaan
Hanafi yang menyatakan bahwa eksekusi sejumlah uang diatur dalam
perempuan itu berhak juga menerima ketentuan Pasal 196 – Pasal 200 HIR/ Pasal
nafkah belanja, pakaian dan tempat 207 – Pasal 215 RBg.
tinggal, kecuali perempuan itu beriddah Kelemahan putusan pemberian
karena perpisahan yang disebabkan mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara
oleh pelanggaran isteri, hal ini dengan cerai gugat adalah tidak adanya
berlandaskan pada firman Allah Swt QS. instrumen yang dapat memaksa tergugat
At-Thalaq ayat 6. untuk melaksanakan isi putusan
Penerapan hak ex officio hakim dengan sebagaimana pada perkara cerai talak.
menghukum suami untuk membayar Pelaksanaan putusan dalam cerai talak
mut’ah dan nafkah iddah kepada mantan dapat dilaksanakan melalui sidang ikrar
isteri pada perkara 0076/Pdt.G/2017/ talak, sedangkan dalam perkara cerai
PAMgl tersebut menyimpangi ketentuan gugat putusan dilaksanakan di luar
yang diatur pada Pasal 178 ayat (3) HIR/ persidangan. Kelemahan putusan ini
Pasal 189 ayat (3), namun demikian karena tidak ada instrumen yang dapat
putusan tersebut tidak melanggar asas memaksa tergugat untuk melaksanakan
ultra petita karena putusan tersebut hakim isi putusan maka ada kemungkinan
berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah tergugat tidak melaksanakan isi putusan
Agung RI Nomor 137 K/AG/2007 tanggal secara sukarela. Apabila putusan tidak
6 Februari 2008 dan Nomor 02 K/AG/2002 dilaksanakan secara sukarela maka
tanggal 6 Desember 2003, bahkan saat ini upaya yang dapat ditempuh penggugat
pemberian mut’ah dan nafkah iddah dalam adalah dengan mengajukan permohonan
perkara cerai gugat diperkuat dengan eksekusi, di sisi lain eksekusi merupakan
adanya Surat Edaran Mahkamah Agung proses hukum yang cukup melelahkan
Nomor 3 Tahun 2018 tanggal 16 November bagi pihak-pihak yang berperkara, selain
2018 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat menyita energi juga menyita biaya yang
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun tidak sedikit, yang seringkali tidak
2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas sebanding dengan hak yang seharusnya
bagi Pengadilan. di terima oleh penggugat berdasarkan
Pelaksanaan isi putusan perkara putusan.
nomor 0076/Pdt.G/2017/PAMgl adalah

REFERENSI

Asnawi, M. Natsir. 2016. Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik dan Permasalahannya di
Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Yogyakarta : UII Press.
Harahap, M. Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata : Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cet. VII. Jakarta : Sinar Grafika.

58
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)

Jamadi. 2018. Putusan Hakim Pengdilan Agama yang Progresif. Varia Peradilan Majalah
Hukum Tahun XXXIII No. 387. Jakarta Pusat : Ikatan Hakim Indonesia.
Manan, Abdul. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta : Yayaan Al-Hikmah.
Muthoifin. (2019). Shariah hotel and mission religion in surakarta indonesia. Humanities
and Social Sciences Reviews, 7(4), 973–979. https://doi.org/10.18510/hssr.2019.74133
Muthoifin, S. shobron, & Rahman, S. A. (2019). Humanist islam in indonesia ahmad
syafii maarif perspective. Humanities & Social Sciences Reviews, 7(6), 780–786.
https://giapjournals.com/index.php/hssr/article/view/hssr.2019.76118/2384
Muthoifin, Pembinaan Kerukunan Masyarakat Baru Pada Perumahan Baru Perum
Griya Salaam Boyolali, Proceeding of The URECOL, 12-15
Moelong, Lexy J. 2001. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda Karya
Nuha,Muthoifin, Eternalisasi dan Kontekstualisasi Syair-Syair Imam Syafii Perspektif
Pendidikan Islam, Proceeding of The URECOL UMP Purwokerto, 145-150
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2013. Penelitian Hukum Normatif. Cetakan ke-15.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Sumitro, Roni Hanitio. 1982. Metodologi Penelitian Hukum. Semarang, : Ghalia Indonesia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/032/SK/
IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi Tahun 2013.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.

59

Anda mungkin juga menyukai