1 SM
1 SM
39
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
40
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
41
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
hukum positif dalam hal pertimbangan Perceraian dalam hal ini disebut
hukum hakim dalam memutus perkara dengan talak.
secara ex officio menghukum suami c) Putusnya perkawinan atas kehendak
(tergugat) untuk membayar mut’ah dan istri karena melihat sesuatu
nafkah iddah pada perkara cerai gugat yang mengakibatkan putusnya
dengan menggunakan tiga pendekatan perkawinan, sedangkan suami tidak
masalah yaitu pendekatan perundang- berkehendak atas itu. Kehendak
undangan (statute approach), pendekatan putusnya perkawinan yang
konseptual (conceptual approach), dan disampaikan istri dengan cara tertentu
pendekatan kasus (case approach).3 Teknik diterima oleh suami dan dilanjutkan
pengambilan data dalam penelitian ini dengan ucapan menjatuhkan talak
menggunakan metode studi kepustakaan untuk memutuskan perkawinan itu,
(library reasearch) dan metode studi putusnya perkawinan semacam itu
lapangan (field research) dengan disebut dengan khuluk.
menggunakan metode wawancara atau d) Putusnya perkawinan atas kehendak
interview. Teknik pengolahan data dalam hakim sebagai pihak ketiga setelah
penelitian ini menggunakan teknik melihat adanya sesuatu pada suami
analisis data deskriptif normatif, dan dan/ istri yang menandakan tidak
penarikan kesimpulan dilakukan secara dapatnya hubungan perkawinan
deduktif. (Muthoifin, 2019) dilanjutkan.
42
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
43
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
44
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
45
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
46
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
putusnya perkawinan karena talak, maka akar kata dari Al Mata, yaitu sesuatu
suaminya wajib : yang disenangi. Maksudnya, materi
1) Memberikan mut’ah yang layak yang diserahkan suami kepada istri yang
kepada bekas isterinya, baik berupa dipisahkan dari kehidupan sebab talak
uang atau benda, kecuali bekas isteri atau semakna dengan beberapa syarat.
tersebut Qabla ad dukhul. Menurut pendapat Muhammad
2) Memberikan nafkah, maskan (tempat Baqir (2016:301-302), pemberian mut’ah
tinggal) dan kiswah (pakaian) kepada ini adalah sebagai pelaksanaan perintah
bekas isteri selama masa ‘iddah, Allah Swt kepada para suami agar
kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak selalu mempergauli istri-istri mereka
ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan dengan prinsip imsak bi ma‟ruf au tasrih
tidak hamil. bi ihsan (yaitu mempertahankan ikatan
3) Melunasi mahar yang masih tehutang perkawinan dengan kebaikan atau
seluruhnya, atau separo bila qabla ad melepaskan (menceraikan) dengan
dukhul. kebajikan. Oleh karena itu, kalaupun
4) Memberikan biaya hadanah untuk hubungan perkawinan terpaksa
anak-anaknya yang belum mencapai diputuskan, perlakuan baik harus tetap
umur 21 tahun. dijaga, hubungan baik pun dengan
mantan istri dan keluarganya sedapat
Selanjutnya, akibat putusnya mungkin dipertahankan, disamping
perkawinan berdasarkan Pasal 156 melaksanakan pemberian mut’ah dengan
Kompilasi Hukum Islam bahwa : ikhlas dan sopan santun tanpa sedikitpun
1) Pemeliharaan anak yang belum menunjukan kegusaran hati, apalagi
mumayyiz atau belum berumur 12 penghinaan dan pencelaan.(Muthoifin &
tahun adalah hak ibunya. Rahman, 2019)
2) Pemeliharaan anak yang sudah Kesimpulanya Mut’ah adalah
mumayyiz diserahkan kepada anak pemberian bekas suami kepada mantan
untuk memilih diantara ayahnya isteri, yang dijatuhi talak berupa benda
atau ibunya sebagai pemegang hak atau uang dan lainnya untuk menjaga
pemeliharaannya. hubungan baik dengan mantan isteri dan
3) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh keluarga, sekalipun perkawinan tidak
ayahnya. dapat dipertahankan namun melepasnya
(menceraikannya) dengan kebaikan.
Berdasarkan uraian di atas dapat Mut’ah diatur pada Pasal 149 huruf
disimpulkan bahwa, akibat dari (a), Pasal 158, Pasal 159 dan Pasal 160
putusnya perkawinan karena perceraian KHI. Pasal 149 huruf (a) menyebutkan
berdasarkan hukum positif adalah bahwa bilamana perkawinan putus
berkaitan dengan hak-hak mantan isteri karena talak, maka bekas suami wajib
yaitu nafkah iddah, nafkah mut’ah, nafkah memberikan mut`ah yang layak kepada
madliyah, dan mahar terutang, hak asuh bekas isterinya, baik berupa uang atau
dan pemeliharaan anak, serta harta benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla
bersama. ad dukhul. Qabla ad dukhul artinya belum
berlangsung hubungan seksual antara
Mut’ah keduanya. Syarat pemberian mut’ah yaitu
Menurut Abdul Aziz Muhammad (Pasal 158) :
Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed 1) Belum ditetapkan mahar bagi isteri
Hawwas (2009:207) mut’ah dengan ba`da al dukhul;
dhomah mim (Mut’ah) atau kasrah (mit’ah) 2) Perceraian itu atas kehendak suami.
47
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
Adapun Pasal 159 KHI menyebutkan atas suami untuk isterinya, sepanjang
bahwa mut’ah sunat diberikan oleh bekas isterinya tidak terbukti berbuat
suami tanpa syarat tersebut pada Pasal nusyuz, dan menetapkan kewajiban
158. Dari ketentuan di atas dipahami mut’ah (Pasal 41 huruf (c) UU No. 1
bahwa pemberian mut’ah dapat menjadi Tahun 1974 jo Pasal 149 huruf (a) dan
wajib dan dapat menjadi sunat. Mut’ah (b) KHI.
wajib diberikan oleh bekas suami 2) Dalam pemeriksaan cerai talak,
dengan syarat belum ditetapkan mahar Pengadilan Agama/ Mahkamah
bagi isteri ba’da ad dukhul (telah terjadi Syar’iyah sedapat mungkin berupaya
hubungan seksual antara keduanya) dan untuk mengetahui jenis pekerjaan
perceraian atas kehendak suami. Namun dan pendidikan suami yang jelas
demikian meskipun ketentuan Pasal dan pasti dan mengetahui perkiraan
158 tidak terpenuhi, bekas suami sunat pendapatan rata-rata perbulan
memberikan mut’ah kepada mantan isteri. untuk dijadikan dasar pertimbangan
Artinya meskipun mahar telah ditetapkan dalam menetapkan nafkah madhiyah,
bagi isteri ba’da ad dukhul dan perceraian nafkah iddah dan nafkah anak.
atas kehendak isteri bukan atas kehendak 3) Agar memenuhi asas manfaat dan
suami, suami boleh memberikan mut’ah mudah dalam pelaksanaan putusan,
kepada isteri dan seyogyanya suami penetapan mut’ah sebaiknya berupa
memberikan mut’ah kepada mantan isteri benda bukan uang, misalnya rumah,
sebagai obat penghibur hati mantan isteri tanah atau benda lainnya, agar tidak
akibat dari perceraian. Pemberian mut’ah menyulitkan dalam eksekusi. Mut’ah
merupakan suatu perbuatan baik yang wajib diberikan oleh bekas suami
disyariatkan (disunnatkan) oleh Islam dengan syarat belum ditetapkan
mengingat betapa besar pengorbanan mahar bagi isteri ba’da dukhul dan
dan pengabdian isteri selama masa perceraian atas kehendak suami.
perkawinan. Besar kecilnya mut’ah yang Besarnya mut’ah disesuaikan dengan
diberikan mantan suami kepada mantan kepatutan dan kemampuan suami
isteri berpedoman pada Pasal 160 KHI (Pasal 158 dan 160 KHI). Berdasar
yang menyebutkan bahwa besarnya ketentuan tersebut, dapat dipahami
mut’ah diberikan sesuai dengan kepatutan bahwa kewajiban suami memberikan
dan kemampuan suami dengan mut’ah adalah akibat dari perceraian
mempertimbangkan pula perceraian yang diajukan oleh suami atau cerai
itu adalah atas kehendak suami, dan talak, sedangkan apabila perceraian
isteri telah mendampingi dan mengabdi diajukan oleh isteri atau cerai gugat
terhadap suami selama masa perkawinan kewajiban pemberian mut’ah tersebut
yang cukup lama. tidak diatur.
Selain KHI, mut’ah juga diatur
dalam Keputusan Ketua Mahkamah Pemberian mut’ah dalam hukum
Agung RI Nomor : KMA/032/SK/IV/2006 Islam juga secara tegas diatur dengan
tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman menekankan sebagai kewajiban suami,
Pelaksanaan Tugas dan Administrasi sebagaimana pendapat Abu Hanifah
Peradilan Agama Edisi Revisi Tahun 2013 yang dikemukakan oleh Ibnu Rusyd
(2014:148) menyebutkan bahwa dalam (2007:621-622) bahwa mut’ah diwajibkan
perkara cerai talak : untuk setiap wanita yang dicerai sebelum
1) Pengadilan Agama/ Mahkamah digauli, sedang suami belum menentukan
Syar’iyah secara ex officio dapat maskawin untuknya. Demikian pula
menetapkan kewajiban nafkah iddah Imam Syafi’i berpendapat bahwa mut’ah
48
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
diwajibkan untuk setiap istri yang dicerai mut’ah hendaknya melihat kondisi suami,
manakala pemutusan perkawinan datang apakah tergolong mudah atau susah,
dari pihak suami, kecuali istri yang kaya atau miskin. Hal ini sebagaimana
telah ditentukan maskawin untuknya Firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat
dan dicerai sebelum digauli. Jumhur 236 yang artinya: “Dan Hendaklah kamu
ulama juga memegang pendapat ini. Abu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada
Hanifah beralasan dengan firman Allah mereka. Orang yang mampu menurut
Swt QS. Al Ahzab ayat 49 yang artinya: kemampuannya dan orang yang miskin
“Hai orang-orang yang beriman, apabila menurut kemampuannya (pula).
kamu menikahi perempuan-perempuan
yang beriman, kemudian kamu ceraikan Nafkah Iddah
mereka sebelum kamu atas mereka Kewajiban suami memberikan nafkah
iddah bagimu yang kamu minta iddah kepada istri yang diceraikannya
menyempurnakannya. Maka berilah merujuk pada Pasal 149 huruf (b) KHI
mereka mut’ah dan lepaskanlah mereka menyatakan bahwa akibat putusnya
itu dengan cara yang sebaik- baiknya”. perkawinan karena talak, maka suaminya
Disamping itu, pendapat terakhir wajib memberikan nafkah, maskan
beberapa tokoh sahabat seperti Ali dan (tempat tinggal) dan kiswah (pakaian)
Umar serta kedua putra mereka Al-Hasan kepada bekas isteri selama masa iddah,
bin Ali dan Abdullah bin Umar r.a. yang kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak
dinilai shahih, sesuai dengan firman Allah ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
Swt dalam Al-Qur’an Surah Al-Baqarah tidak hamil. Senada dengan Ketentuan
ayat 241: Artinya: “Kepada wanita-wanita Pasal 149 KHI, berdasarkan Keputusan
yang dicerai talak, (baginya ada hak yang Ketua Mahkamah Agung Republik
menjadi kewajiban suaminya) berupa Indonesia Nomor: KMA/032/SK/IV/2006
mut’ah menurut yang ma’ruf sebagai (2014:151) mengatur tentang penetapan
suatu kewajiban bagi orang-orang yang kewajiban nafkah iddah terhadap suami
bertaqwa”. dalam perkara cerai gugat, menyebutkan
Ukuran Mut’ah tidak diterangkan bahwa:
dalam syara’, mut’ah berada diantara a) Pengadilan Agama/ Mahkamah
sesuatu yang memerlukan ijtihad Syar’iyah secara ex officio dapat
maka wajib dikembalikan kepada menetapkan kewajiban nafkah iddah
hakim sebagaimana hal-hal lain yang terhadap suami, sepanjang isterinya
memerlukan tempat. Mut’ah yang layak tidak terbukti telah berbuat nusyuz
dan rasional pada suatu zaman terkadang (Pasal 41 huruf (c) Undang-undang
tidak layak pada zaman lain. Demikian Perkawinan), dalam pemeriksaan
juga mut’ah yang layak di suatu tempat cerai gugat.
terkadang tidak layak ditempat lain. b) Pengadilan Agama/ Mahkamah
Ulama Sya’fiiyah berpendapat bahwa Syar’iyah sedapat mungkin berupaya
mut’ah tidak memiliki ukuran tertentu, untuk mengetahui jenis pekerjaan
tetapi disunahkan tidak kurang dari dan pendidikan suami yang jelas
30 dirham atau seharga dengan itu. dan pasti dan mengetahui perkiraan
Kewajibannya tidak melebihi dari mahar pendapatan rata-rata perbulan untuk
mitsil dan sunnahnya tidak melebihi dijadikan dasar pertimbangan dalam
dari separuh mahar mitsil. Dalam menetapkan nafkah madhiyah, nafkah
pendapat kuat ini dijelaskan bahwa iddah dan nafkah anak, Cerai gugat
hakim ketika berijtihad tentang ukuran dengan alasan adanya kekejaman
49
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
50
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
orang (para suami) yang disempitkan dan/ atau berpalingnya salah satu
rezkinya, hendaklah memberi nafkah dari pasangan terhadap pasangan lain. Lebih
harta yang diberikan Allah kepadanya”. sederhananya adalah tidak taatnya suami
Seorang perempuan yang dalam masa atau isteri kepada aturan-aturan yang
iddahnya talak ba’in dan dia dalam keadaan
telah diikat oleh perjanjian yang telah
hamil maka dia berhak juga menerima terjalin dengan sebab ikatan perkawinan
tanpa alasan yang dibenarkan oleh syara’.
nafkah belanja, pakaian dan tempat tinggal
dari mantan suaminya sampai anaknya Artinya nusyuz adalah pelanggaran suami
lahir. Ini berlandaskan dari firman Allahatau isteri atas komitmen bersama dalam
Swt dalam Qur’an Surat At-Thalaq Ayat bentuk hak dan kewajiban yang lahir
6 yang artinya: “Tempatkanlah mereka akibat adanya ikatan perkawinan, sebuah
(para isteri) dimana kamu bertempat ikatan yang suci, kuat, dan sakral. Dengan
tinggal menurut kemampuanmu dan demikian nusyuz bisa dilakukan oleh
janganlah kamu menyusahkan mereka suami atau isteri tidak hanya melulu isteri
untuk menyempitkan (hati) mereka. saja. Berdasarkan fakta yang ditemukan
Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudahisteri (penggugat) tidak memenuhi
ditalak) itu sedang hamil, maka beri unsur-unsur dalam pengertian nusyuz,
nafkahlah kepada mereka nafkahnya maka pengadilan berpendapat isteri
hingga mereka bersalin, kemudian jika tidak nusyuz, sebaliknya justru suami
mereka menyusukan (anak-anakmu) (tergugat) yang memenuhi unsur-unsur
maka kepada mereka upahnya, dan nusyuz sehingga dengan mendasarkan
musyawarahkanlah di antara kamu pada Pasal 41 huruf (c) UU No. 1 Tahun
(segala sesuatu) dengan baik, dan 1974 jo Pasal 149 huruf (a) dan (b) KHI dan
jika kamu menemui kesulitan maka Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
perempuan lain boleh menyusukan (anak 137 K/AG/2007 tanggal 6 Februari 2008 dan
itu) untuknya” Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor
Fuqaha telah sepakat bahwa02 K/AG/2002 tanggal 6 Desember 2003,
perempuan yang berada dalam masa maka secara ex officio (karena jabatannya)
iddah talak raj‟i masih berhak mendapat majelis hakim menghukum suami
nafkah dan tempat tinggal. (tergugat) untuk memberikan mut’ah dan
nafkah iddah terhadap penggugat selaku
Pertimbangan Hukum Hakim dalam mantan isteri.
Pemberian Mut’ah dan Nafkah Iddah Hal senada juga diungkap Agus
dalam Perkara Cerai Gugat Miswanto (pakar hukum Islam), bahwa
Dalam putusan Nomor Perkara cerai gugat menurut konseptual fikih
0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl, majelis hakim disebut sebagai khuluk, dalam bahasa Arab
telah melakukan penemuan hukum disebut Al-Khuluk maknanya melepas
(rechtsvinding) karena menurut hakim pakaian. Khuluk digunakan untuk istilah
terkait dengan nusyuz belum diatur wanita yang meminta kepada suaminya
secara jelas dalam peraturan perundang- untuk melepas dirinya dari ikatan
undangan (Jamadi, Ketua Majelis pernikahan, dengan membayar sejumlah
Hakim). Majelis hakim berpendapat uang agar suami mentalaknya sehingga
bahwa yang dimaksud nusyuz adalah dia selamat dari beban perkawinan.
ketidakpatuhan salah satu pasangan Perceraian karena Khuluk suami tidak
terhadap apa yang seharusnya dipatuhi berhak merujuknya kembali, segala
dalam kerangka hak dan kewajiban urusan bekas isteri berada di tanganya
masing-masing pasangan yang timbul sendiri sebab ia telah menyerahkan
akibat adanya ikatan perkawinan tersebut sejumlah harta kepada bekas suami guna
51
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
pelepasan dirinya itu. Oleh karena itu, sependapat dengan madzhab Hanafi
status perceraian karena khuluk adalah yang berpendapat bahwa perempuan itu
sebagai talak ba’in bagi isteri. Suami berhak juga menerima nafkah belanja,
yang telah mengkhuluk bekas isterinya pakaian dan tempat tinggal. Pendapat
tersebut boleh mengadakan akad nikah Hanafi berdasarkan pada QS. At-Thalaq
baru dengan bekas isterinya itu dengan ayat 6 yang artinya “Tempatkanlah mereka
rukun dan syarat lazimnya akad nikah. (para isteri) dimana kamu bertempat
Perceraian karena talak ba’in isteri tidak tinggal menurut kemampuanmu dan
mendapatkan nafkah dalam masa iddah. janganlah kamu menyusahkan mereka
Hal ini sebagaimana pendapat Syafi‟i, untuk menyempitkan (hati) mereka”.
Hambali dan Maliki bahwa perempuan Berbeda dengan pendapat di
yang dalam masa iddah talak ba’in dan atas, Imdad (hakim PA Magelang)
dalam keadaan tidak hamil tidak berhak mengemukakan bahwa Pasal 149 KHI
mendapatkan nafkah belanja, pakaian dan tersebut khusus mengatur tentang akibat
tempat tinggal. Namun demikian suami hukum perceraian karena talak. Perkara
tetap berkewajiban dalam hal nafkah nomor 0076/Pdt.G/2017/PA.Mgl memang
untuk pemeliharaan dan pendidikan benar terbukti isteri tidak nusyuz namun
anak. Ketentuan dalam Pasal 149 KHI telah dalam perkara tersebut yang mengajukan
sesuai dengan syariat Hukum Islam yang perceraian adalah isteri dimana
mengadopsi pendapat Syafi’i. Mayoritas dalam hukum normatifnya akibat dari
masyarakat Indonesia menganut mazhab perceraian gugat tidak diatur mengenai
Syafi’iyah yang berpendapat bahwa kewajiban suami memberikan mut’ah dan
kewajiban suami memberikan nafkah nafkah iddah. Pertimbangan hukum hakim
iddah kepada mantan isteri hanya berlaku yang merujuk pada Pasal 149 KHI tidak
pada talak raj’i. Talak raj’i adalah talak atas tepat jika diterapkan dalam perkara cerai
kehendak suami dan suami mempunyai gugat, karena normatifnya atau bunyi
hak rujuk selama dalam masa iddah. pasalnya jelas menyatakan “bilamana
Pendapat ini berdasarkan hadist riwayat perkawinan putus karena talak, suami
Ahmad dan An-Nasa’i yaitu “Perempuan wajib”, dalam hal ini Pasal 149 KHI
yang berhak mendapat nafkah dan khusus diterapkan dalam perkara cerai
tempat tinggal (rumah) dari mantan talak bukan perkara cerai gugat. Hakim
suaminya apabila mantan suaminya itu secara ex officio menghukum tergugat
berhak merujuk kepadanya”. Terkait untuk membayar kepada penggugat
putusan pengadilan dalam perkara cerai mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara
gugat yang membebankan suami untuk cerai gugat di luar permintaan penggugat
membayar mut’ah dan iddah terhadap isteri atau tidak diminta oleh penggugat dalam
merupakan salah satu bentuk ijtihad hakim petitumnya jatuhnya adalah ultra petita.
dengan alasan kemanusiaan dan keadilan Hak ex officio itu berangkat dari pintu yang
serta alasan bahwa isteri tidak terbukti telah dirumuskan oleh undang-undang.
nusyuz. Meskipun dalam KHI tidak Batasan ex officio adalah kewenangan yang
diatur mengenai akibat hukum karena telah diberikan oleh undang-undang.
perceraian gugat, tetapi ini merupakan Jadi kalau tidak ada pintu masuknya
penemuan hukum baru dan merupakan berdasarkan undang-undang maka
ijtihad hakim sepanjang ada peraturan jatuhnya adalah ultra petitum, dalam
yang dapat dijadikan sebagai dasar, hal ini ultra petitum adalah melanggar
dalam hal ini Yurisprudensi Mahkamah ketentuan Pasal 178 ayat (3) HIR yang
Agung Nomor 137 K/AG/2007 dan Pasal menyatakan bahwa hakim dilarang
41 UUPerkawinan. Ijtihad hakim tersebut menjatuhkan keputusan atas perkara
52
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
yang tidak dituntut, atau memberikan nusyuz” maka dalam perkara cerai talak
lebih daripada yang dituntut. Mengapa ba’in isteri tidak berhak mendapat nafkah
demikian karena hal ini menyangkut iddah karena suami tidak ada kepentingan
hukum perdata yang menyangkut hak untuk rujuk, atau dalam perkara cerai
pribadi, hak privat orang, jadi tidak boleh talak raj’i yang terbukti isteri telah berbuat
memberikan lebih daripada yang dituntut nusyuz mantan isteri juga tidak berhak
di luar yang telah diatur oleh undang- mendapatkan nafkah iddah. Berdasarkan
undang meskipun karena alasan itikad Pasal 149 KHI huruf (b) tersebut dapat
baik hakim. dipahami bahwa hanya perkara cerai
Menurut H. Abdul Halim Muhammad talak yang diajukan oleh suami yang
Sholeh, bahwa terkait dengan pemberian mewajibkan suami untuk memberi
nafkah iddah secara ex officio kepada nafkah iddah kepada mantan isteri yang
tergugat (mantan isteri) dalam perkara terbukti tidak berbuat nusyuz, sedangkan
cerai gugat tidak tepat jika hanya dalam perkara cerai gugat tidak semua
didasarkan pada Pasal 149 huruf (b) KHI, perkara cerai gugat mendapatkan nafkah
karena secara tekstual Pasal 149 huruf iddah ketika isteri terbukti tidak nusyuz,
(b) KHI tersebut menyebutkan bahwa tetapi hanya berdasarkan pertimbangan
“bilamana perkawinan putus karena hakim secara ex officio boleh memberikan
talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah iddah tetapi sifatnya tidak wajib.
nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas Pertimbangan hakim secara ex officio
isterinya selama dalam iddah, kecuali ini berdasarkan pada Pasal 41 huruf (c)
bekas isteri tersebut telah dijatuhi talak UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan
ba’in atau nusyus dan dalam keadaan tidak bahwa Pengadilan dapat mewajibkan
hamil”. Berdasarkan teks Pasal 149 KHI kepada bekas suami untuk memberikan
tersebut sudah jelas suami diwajibkan biaya penghidupan dan/atau menetukan
memberikan nafkah iddah apabila perkara suatu kewajiban bagi bekas istri.
tersebut karena talak yang diajukan oleh Pemberian Mut’ah dan nafkah iddah
suami. Talak disini dipahami dengan talak dalam perkara cerai gugat berdasarkan
raj’i, hal ini berdasarkan frasa “karena pada Yurisprudensi dan Surat Edaran
talak, maka suami wajib”. Berdasarkan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2018
Pasal 118 KHI akibat dari talak raj’i adalah tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil
suami berhak rujuk selama isteri dalam Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung
masa iddah. Perkara cerai talak raj’i ada Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan
kepentingan suami untuk rujuk dengan Tugas Bagi Pengadilan. Berdasarkan
isterinya dalam masa iddah. Kata wajib SE MA tersebut meskipun perceraian
disini sifatnya mengikat dan setiap diajukan oleh isteri apabila dianggap
perkara perceraian yang diajukan oleh oleh hakim isteri yang menggugat layak
suami dan isteri tidak terbukti nusyuz untuk mendapatkan mut’ah maka tetap
maka bekas suami wajib memberikan mendapatkan mut’ah dengan alasan
nafkah, miskan, dan kiswan kepada bekas isteri telah mengabdi selama bertahun-
isteri selama masa iddah. Berbeda halnya tahun kepada suami. Pasal 149 huruf
dengan talak ba’in, berdasarkan Pasal 119 (a) dan Pasal 158 KHI menyebutkan
ayat (1) KHI menjelaskan bahwa talak bahwa kewajiban suami memberikan
ba’in shughra adalah talak yang tidak mut’ah kepada isteri hanya apabila belum
boleh dirujuk tapi harus dengan akad ditetapkan mahar bagi isteri ba’da al
nikah baru dengan bekas suaminya dukhul dan perceraian itu atas kehendak
meskipun dalam iddah. Pasal 149 huruf suami, artinya apabila perkara cerai talak
(b) menyebutkan “kecuali talak bain atau atau yang mengajukan perceraian adalah
53
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
54
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
55
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
56
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
57
PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, Vol.21, No. 1, Special Issue 2020: 39-59
terbukti tidak nusyuz, tetapi hanya pada di luar persidangan. Sepanjang tidak
kasus-kasus tertentu dan hakim akan ada permohonan eksekusi dari pihak
mempertimbangkan berdasarkan duduk penggugat maka dianggap bahwa
perkara dan pembuktian di persidangan putusan tersebut dilaksanakan secara
dalam pemberian mut’ah dan nafkah iddah sukarela oleh tergugat di luar persidangan,
dalam perkara cerai gugat. apabila tergugat tidak melaksanakan isi
Pemberian mut’ah dan nafkah putusan secara sukarela maka penggugat
iddah dalam perkara cerai gugat dapat mengajukan permohonan eksekusi
mengakomodasi pendapat madzhab sejumlah uang. Dasar hukum pelaksanaan
Hanafi yang menyatakan bahwa eksekusi sejumlah uang diatur dalam
perempuan itu berhak juga menerima ketentuan Pasal 196 – Pasal 200 HIR/ Pasal
nafkah belanja, pakaian dan tempat 207 – Pasal 215 RBg.
tinggal, kecuali perempuan itu beriddah Kelemahan putusan pemberian
karena perpisahan yang disebabkan mut’ah dan nafkah iddah dalam perkara
oleh pelanggaran isteri, hal ini dengan cerai gugat adalah tidak adanya
berlandaskan pada firman Allah Swt QS. instrumen yang dapat memaksa tergugat
At-Thalaq ayat 6. untuk melaksanakan isi putusan
Penerapan hak ex officio hakim dengan sebagaimana pada perkara cerai talak.
menghukum suami untuk membayar Pelaksanaan putusan dalam cerai talak
mut’ah dan nafkah iddah kepada mantan dapat dilaksanakan melalui sidang ikrar
isteri pada perkara 0076/Pdt.G/2017/ talak, sedangkan dalam perkara cerai
PAMgl tersebut menyimpangi ketentuan gugat putusan dilaksanakan di luar
yang diatur pada Pasal 178 ayat (3) HIR/ persidangan. Kelemahan putusan ini
Pasal 189 ayat (3), namun demikian karena tidak ada instrumen yang dapat
putusan tersebut tidak melanggar asas memaksa tergugat untuk melaksanakan
ultra petita karena putusan tersebut hakim isi putusan maka ada kemungkinan
berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah tergugat tidak melaksanakan isi putusan
Agung RI Nomor 137 K/AG/2007 tanggal secara sukarela. Apabila putusan tidak
6 Februari 2008 dan Nomor 02 K/AG/2002 dilaksanakan secara sukarela maka
tanggal 6 Desember 2003, bahkan saat ini upaya yang dapat ditempuh penggugat
pemberian mut’ah dan nafkah iddah dalam adalah dengan mengajukan permohonan
perkara cerai gugat diperkuat dengan eksekusi, di sisi lain eksekusi merupakan
adanya Surat Edaran Mahkamah Agung proses hukum yang cukup melelahkan
Nomor 3 Tahun 2018 tanggal 16 November bagi pihak-pihak yang berperkara, selain
2018 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat menyita energi juga menyita biaya yang
Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun tidak sedikit, yang seringkali tidak
2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas sebanding dengan hak yang seharusnya
bagi Pengadilan. di terima oleh penggugat berdasarkan
Pelaksanaan isi putusan perkara putusan.
nomor 0076/Pdt.G/2017/PAMgl adalah
REFERENSI
Asnawi, M. Natsir. 2016. Hukum Acara Perdata, Teori, Praktik dan Permasalahannya di
Peradilan Umum dan Peradilan Agama. Yogyakarta : UII Press.
Harahap, M. Yahya. 2008. Hukum Acara Perdata : Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan,
Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cet. VII. Jakarta : Sinar Grafika.
58
Pemberian Mut’ah dan...(Heniyatun et al.)
Jamadi. 2018. Putusan Hakim Pengdilan Agama yang Progresif. Varia Peradilan Majalah
Hukum Tahun XXXIII No. 387. Jakarta Pusat : Ikatan Hakim Indonesia.
Manan, Abdul. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta : Yayaan Al-Hikmah.
Muthoifin. (2019). Shariah hotel and mission religion in surakarta indonesia. Humanities
and Social Sciences Reviews, 7(4), 973–979. https://doi.org/10.18510/hssr.2019.74133
Muthoifin, S. shobron, & Rahman, S. A. (2019). Humanist islam in indonesia ahmad
syafii maarif perspective. Humanities & Social Sciences Reviews, 7(6), 780–786.
https://giapjournals.com/index.php/hssr/article/view/hssr.2019.76118/2384
Muthoifin, Pembinaan Kerukunan Masyarakat Baru Pada Perumahan Baru Perum
Griya Salaam Boyolali, Proceeding of The URECOL, 12-15
Moelong, Lexy J. 2001. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda Karya
Nuha,Muthoifin, Eternalisasi dan Kontekstualisasi Syair-Syair Imam Syafii Perspektif
Pendidikan Islam, Proceeding of The URECOL UMP Purwokerto, 145-150
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. 2013. Penelitian Hukum Normatif. Cetakan ke-15.
Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Sumitro, Roni Hanitio. 1982. Metodologi Penelitian Hukum. Semarang, : Ghalia Indonesia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan terakhir
diubah dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan
kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/032/SK/
IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama Edisi Revisi Tahun 2013.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1 tahun 2017 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2017 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan
Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman
Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan.
59