Anda di halaman 1dari 13

UU OMNIBUS (OMNIBUS LAW),

PENYEDERHANAAN LEGISLASI, DAN KODIFIKASI ADMINISTRATIF

Oleh: Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.

PENGANTAR

Sesudah reformasi, proses legislasi yang dapat dikatakan sangat produktif, hanya di
masa pemerintahan Kabinet Reformasi yang dipimpin oleh Presiden B.J. Habibie. Dalam
waktu hanya 18 bulan saja, berhasil diterbitkan sebanyak 67 UU baru, minus 1 UU yang telah
disahkan oleh DPR tetapi tidak disahkan oleh Presiden karena pertimbangan banyaknya
keberatan yang diajukan oleh kelompok-kelompok masyarakat ketika itu, yaitu UU tentang
Keadaan Bahaya. Selebihnya, sampai sekarang, kecenderungan yang terjadi adalah bahwa
jumlah produksi UU yang berhasil mendapatkan persetujuan di DPR dan disahkan oleh
Presiden sebagaimana mestinya terus mengalami penurunan. Bahkan, DPR-RI periode 2014-
2019 – dalam 5 tahun – hanya berhasil mengesahkan 84 UU yang jauh di bawah capaian
DPR-RI Periode 2009-2014 yang berhasil mengesahkan 125 UU dalam 5 tahun.

Produktifitas legislasi selama kedua periode terakhir ini jika dibandingkan dengan
capaian DPR-RI di masa krisis di bawah pemerintahan B.J. Habibie terbilang sangat jauh
menurun. Jika di masa pemerintahan kabinet reformasi, produktifitas legislasi dapat
dikatakan sebanyak 3,7 UU per bulan, maka produktifitas DPR-RI periode 2009-2014 hanya
tercatat 2,1 UU setiap bulan. Yang lebih sedikit lagi adalah DPR-RI periode 2014-2019, yaitu
1,4 UU per bulan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa DPR-RI periode 2014-2019 tercatat
sebagai periode terburuk dalam sejarah, setidaknya setelah masa reformasi.

Fenomena penurunan produktifitas legislasi ini harus dipahami secara menyeluruh,


tidak dengan cara mencari kambing hitam pada persoalan kualitas pimpinan ataupun kualitas
anggota DPR dan sistem kepartaian selama periode-periode tersebut. Faktor-faktor penyebab
penurunan produktifitas tersebut bersifat majemuk dan kompleks, tidak tunggal. Pertama,
sejak reformasi, terjadi pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke DPR,
sehingga proses penyusunan teknis rancangan setiap UU diidealkan harus diselesaikan oleh
DPR-RI sebagai lembaga politik mulai dari perancangan sampai ke pengesahan materiel
(persetujuan bersama antara DPR dan Pemerintah), bukan dipersiapkan oleh lembaga teknis
pemerintahan eksekutif yang justru lebih banyak menguasai data dan informasi, tenaga

1
ekspertise, dan dana pendukung, serta lebih memahami kapan suatu UU diperlukan untuk
dijadikan kebijakan resmi dalam penyelenggaraan kekuasaan negara.

Kedua, birokrasi kelembagaan yang terlibat dalam proses perancangan dan


pembahasan UU bertambah dengan adanya peran Dewan Perwakilan Daerah sejak tahun
2004 yang terus menerus berusaha untuk menambah keterlibatan dan kewenangan di bidang
legislasi. Hal ini sedikit banyak menyebabkan energi dan sumberdaya serta waktu yang lebih
banyak harus dicurahkan untuk penyelesaian proses pembentukan suatu RUU menjadi UU.
Waktu, anggaran, dan sumberdaya yang harus dikeluarkan oleh negara menjadi semakin
banyak, tetapi tidak sebanding atau bahkan berbanding terbalik dengan produktifitas yang
terus menurun.

Ketiga, volume kegiatan anggota DPR tergolong semakin banyak dan menyita
kesibukan yang sangat padat dengan pelbagai tambahan tugas dan tanggungjawab yang tidak
secara langsung berkaitan dengan tugas utama DPR dalam rangka fungsi legislasi,
pengawasan, dan anggaran. Misalnya, kegiatan kunjungan kerja, studi banding, kegiatan
penyerapan aspirasi di daerah pemilihan, dan lain sebagainya yang memakan waktu dan
sumberdaya yang sangat besar, tetapi tidak secara langsung berkaitan dengan tugas utama,
terutama di bidang legislasi, turut menjadi sebab turunnya produktifitas legislasi. Dapat
dikatakan, sebagian besar waktu para anggota DPR-RI dihabiskan untuk pekerjaan-pekerjaan
yang bersifat teknis-administratif dan pekerjaan-pekerjaan untuk memelihara elektabilitas di
mata konstituen secara rutin. Misalnya, kegiatan studi banding, aktifitas sebagai tim perumus
dan lain-lain sudah seharusnya cukup dikerjakan oleh tenaga ahli, bukan oleh anggota DPR
sebagai tokoh pemimpin politik. Karena itu, di masa depan, diperlukan upaya pelembagaan
kedudukan dan peran setiap anggota DPR sebagai institusi wakil rakyat.

Keempat, sistem dan prosedur pembentukan UU yang berlaku selama ini sangat
berorientasi pada tradisi hukum ‘civil law’ yang sangat kaku tanpa mempertimbangkan
terjadinya kecenderungan konvergensi antara sistem ‘common law’ dengan sistem ‘civil
law’ dalam perkembangan praktik di dunia dewasa ini. Dewasa ini sedang terjadi
eksekutivisasi sistem legislasi di negara-negara ‘civil law’, dan kecenderungan legislativisasi
pembentukan UU dalam praktik di negara-negara ‘common law’. Karena itu, dewasa ini,
produksi UU di negara-negara ‘common law’ meningkat tajam melebihi produksi UU di
negara-negara ‘civil law’ yang sistem hukumnya dapat dikatakan sudah relatif stabil dan ajeg.
Karena itu, Negara Hukum Indonesia sudah seharusnya mengurangi ketergantungan pada

2
pembentukan UU dengan lebih meningkatkan kedudukan, peran, dan kualitas yudisprudensi
dalam aneka penyelesaian masalah-masalah hukum dalam praktik. Bersamaan dengan itu,
timbul pula kecenderungan pengutamaan peran pengawasan oleh parlemen dibandingkan
peran legislasi, sehingga perancangan UU dapat diidealkan agar dipersiapkan atas inisiatif
pemerintah, tetapi peran pengawasan DPR dapat semakin ditingkatkan dengan efektif, baik
pengawasan dalam pembentukan UU (legislative acts), dan pengawasan terhadap
pembentukan peraturan-peraturan pelaksanaan UU (executive acts), maupun pengawasan
terhadap implementasi UU dan pengawasan pelaksanaan program-program kerja
pembangunan yang dibiayai oleh APBN dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-
undangan (executive actions).

PERLUNYA PENYEDERHANAAN DAN KETERPADUAN

Untuk mengatasi kecenderungan semakin kurang produktifnya agenda legislasi


nasional, diperlukan beberapa perubahan dalam kebijakan dan agenda legislasi nasional.
Pertama, mekanisme legislasi dapat dibuat lebih sederhana, termasuk format undang-undang
dapat diatur agar lebih sederhana. Misalnya, jika dibutuhkan 1-2 pasal untuk memberlakukan
suatu kebijakan baru, maka UU yang dibentuk cukup terdiri atas beberapa pasal saja yang
tidak perlu disusun dengan sistematika yang menyeluruh, mulai dari A sampai dengan Z
sebagaimana kebiasaan selama ini. Padahal, ketentuan yang dibutuhkan untuk menampung
ide-ide yang perlu dirumuskan sebagai kebijakan baru cukup dituangkan dalam beberapa
kalimat saja. Dengan format yang lebih sederhana ini dapat dijamin bahwa produktifitas
undang-undang di masa mendatang akan jauh lebih meningkat sesuai dengan kebutuhan
hukum dalam praktik pemerintahan dan pembangunan.

Namun, dampak negatif dari penyederhanaan demikian akan berakibat pada


banyaknya undang-undang yang tidak terpadu dan terintegrasi, sehingga semakin
memerlukan pemaduan yang bersifat menyeluruh dalam 1 naskah kitab undang-undang.
Misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Peradilan, Kitab Undang-Undang Hukum Bisnis, Kitab Undang-Undang Hukum
Kekeluargaan, Kitab Undang-Undang Hukum Pemilu dan Pemilihan Pejabat Publik, dan lain
sebagainya. Inilah yang disebut kodifikasi. Hal ini bahkan dapat dilakukan bukan saja
terhadap undang-undang, tetapi juga terhadap pelbagai peraturan perundang-undangan
pelaksana di tingkat pusat, sehingga untuk suatu bidang hukum dapat dibukukan dalam 1

3
naskah yang terpadu. Hanya saja, jikalau kodifikasi demikian dilakukan di forum politik
DPR, tentu akan makin menghambat laju produktifitas legislasi. Karena itu, saya usulkan
agar kodifikasi cukup dilakukan oleh Pemerintah dengan tetap diawasi secara formil maupun
materiel oleh DPR sebagaimana mestinya.

Bahkan, terkait dengan kodifikasi administratif tersebut, saya juga mengusulkan agar
naskah Penjelasan Undang-Undang juga dikembalikan sebagai tugas administratif saja dari
Pemerintah sebagaimana di sejak zaman Hindia Belanda, bukan dan tidak dibahas dan
ditetapkan dalam forum resmi DPR sebagai bagian tidak terpisahkan dari naskah undang-
undang. Naskah Penjelasan UU diperlukan untuk bahan sosialisasi yang secara lebih rinci
dapat didalami dari naskah risalah siding-sidang dan rapat-rapat pembahasan Rancangan UU
yang bersangkutan di DPR-RI. Untuk penerapan ide ini tentu diperlukan perubahan atas UU
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku sekarang.

Kodifikasi plus ataupun minus kebijakan baru mengenai status Penjelasan Undang-
Undang itu akan memastikan terbentuknya kejelasan, keterpaduan dan kemencakupan antar
naskah undang-undang yang dapat memudahkan pelaksanaan pelbagai undang-undang yang
terpisah-pisah oleh aparatur pelaksana, memudahkan kegiatan pendidikan hukum dan upaya
pemasyarakatan di tengah masyarakat, serta memudahkan pencari keadilan dalam praktik,
dapat ditempuh upaya kodifikasi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari proses
pembentukan, pengundangan, dan promulgasi (diseminasi) UU. Hanya saja, selama ini,
upaya kodifikasi selalu dipahami sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tugas legislasi
dalam forum politik di DPR-RI. Di masa mendatang diusulkan agar proses kodifikasi
dilakukan oleh pemerintah saja dengan tetap di bawah pengawasan oleh DPR untuk
memastikan tidak ada norma baru yang dibuat dalam penjelasan UU dan dalam naskah
kodifikasi yang disusun oleh pemerintah. Kodifikasi selama ini dapat dikatakan merupakan
kodifikasi legislatif, yang saya usulkan diubah agar lebih sederhana menjadi kodifikasi
administratif oleh pemerintah dengan tetap di bawah pengawasan DPR.

Kedua, setiap undang-undang mempunyai kedudukan yang setara dengan undang-


undang lainnya. Karena itu, untuk menjamin adanya keterpaduan dalam setiap agenda
pembentukan undang-undang, praktik ‘omnibus law’ sebagai kebiasaan yang terbentuk dalam
sistem ‘common law’ sejak tahun 1937 dapat diterapkan di Indonesia, meskipun Indonesia
menganut tradisi sistem ‘civil law’. UU Omnibus itu tidak lain merupakan format
pembentukan UU yang bersifat menyeluruh dengan turut mengatur materi UU lain yang

4
saling berkaitan dengan substansi yang diatur oleh UU yang diubah atau dibentuk. Dengan
format UU Omnibus ini, pembentukan 1 UU dilakukan dengan mempertimbangkan semua
materi ketentuan yang saling berkaitan langsung ataupun tidak langsung yang diatur dalam
pelbagai undang-undang lain secara sekaligus. Dengan demikian, materi suatu UU tidak perlu
hanya terpaku dan terbatas hanya hal-hal yang berkaitan langsung dengan judul UU yang
bersangkutan sebagaimana dipraktikkan di Indonesia selama ini, melainkan dapat pula
menjangkau materi-materi yang terdapat dalam pelbagai undang-undang lain yang dalam
implementasinya di lapangan saling terkait langsung ataupun tidak langsung satu dengan
yang lain.

Sebagai contoh, UU tentang Perkapalan (Shipping) di Kanada yang menganut tradisi


‘common law’ atas pengaruh Inggeris dan sekaligus tradisi ‘civil law’ atas pengaruh
Perancis, pada tahun 1937 direvisi atau diubah dengan turut mengubah pelbagai ketentuan
undang-undang yang tidak berkaitan dengan materi hukum perkapalan. Salah satu masalah
nasional yang hangat dihadapi oleh Pemerintah Kanada ketika itu adalah masalah perkawinan
dan perceraian para pelaut yang menimbulkan banyak komplikasi hukum dalam penerapan
UU tentang Perkapalan di lapangan. Karena itu, dalam rangka agenda perubahan atas UU
tentang Perkapalan itu, turut diubah pula pelbagai materi undang-undang yang tidak terkait
secara langsung, tetapi di lapangan ditemukan adanya hubungan yang saling berkaitan, yaitu
UU tentang Perkawinan, UU tentang Perceraian, dan bahkan UU tentang Perjanjian Kawin
dan UU yang terkait dengan permasalahan keluarga lainnya. Perubahan UU tentang
Perkapalan yang menjangkau cakupan materi undang-undang lain yang meluas di luar
substansi pokok undang-undang tentang perkapalan itu pada mulanya menimbulkan
kontroversi yang luas di Kanada, tetapi akhirnya dapat diterima dan kemudian dikenal
dengan istilah ‘omnibus law’, yaitu undang-undang yang menjangkau banyak materi atau
keseluruhan materi undang-undang lain yang saling berkaitan, baik secara langsung ataupun
tidak langsung. Praktik semacam ini tentu tidak lazim di dalam tradisi ‘civil law’ tetapi untuk
seterusnya dipandang baik dan terus dipraktikkan sampai sekarang dengan sebutan sebagai
“Omnibus Law” atau UU Omnibus.

Bandingkan, misalnya, dengan kebiasaan yang lazim diterapkan dalam pembentukan


undang-undang di Indonesia selama ini, sehingga ada UU yang sudah 4 kali direvisi dengan
judul yang semakin Panjang, seperti misalnya “UU No. X tentang Perubahan Keempat UU
tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan UU No. Y, dan
diubah lagi dengan UU No. Z, serta terakhir diubah dengan UU No. PQR tentang Peradilan

5
Tata Usaha Negara”. Padahal undang-undang demikian dalam pelaksanaannya di lapangan
tetap menghadapi permasalahan tumpang tindih dengan pelbagai undang-undang lain, yang
tidak terbayangkan untuk diatasi melalui aneka agenda perubahan undang-undang yang sudah
berkali-kali tersebut. Dengan ide UU Omnibus ini, semua itu dapat diharapkan diselesaikan
pada setiap kali suatu undang-undang dirancang, dibahas, dan ditetapkan di DPR-RI.

Syukurlah sekarang, penerapan UU Omnibus atau “Omnibus Law” itu sudah menjadi
kehendak politik Presiden karena sudah disampaikan secara resmi di hadapan Sidang
Paripurna MPR-RI pada saat upacara pelantikan Presiden Joko Widodo pada tanggal 20
Oktober 2019 yang lalu. Saya gembira, ide yang terus saya promosikan sejak saya menjadi
Ketua Mahkamah Konstitusi (2003-2008), sekarang berterima resmi untuk umum, bahkan
terucap dalam pidato resmi Presiden. Kita syukuri, hal itu sudah menjadi ketetapan hati
Presiden meskipun yang disebutkan secara eksplisit hanya untuk 2 RUU saja, yaitu RUU
terkait dengan Penciptaan Lapangan Kerja dan RUU terkait Pemberdayaan Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah. Namun, penyebutan ke-2 UU tersebut dalam pidato resmi Presiden
dapat dianggap hanya sebagai contoh atau sebagai “pilot project”. Keduanya digagas antara
lain dalam rangka meningkatan kemudahan berusaha di Indonesia yang sudah beberapa kali
dibahas di kantor Kemenko Perekonomian dari periode ke periode.

Bahkan pada tahun 2018, Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum BPHN (Badan
Pembinaan Hukum Nasional) Kemenhukham telah pula melaporkan hasil analisisnya
terhadap 271 peraturan perundang-undangan dalam rangka kemudahan berusaha atau “Ease
of Doing Business” (EODB) di Indonesia. Motif memperlakukan hukum sebagai sarana
untuk mendukung kegiatan pembangunan ekonomi nasional tentu saja bukanlah sesuatu yang
salah, tetapi hendaknya hal itu hanya dilihat sebagai salah satu tujuan saja di antara tujuan
lain yang lebih mulia, yaitu untuk menata dan mereformasi sistem hukum Indonesia sebagai
keseluruhan sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan zaman. Oleh sebab itu,
penerapan ide UU Omnibus (Omnibus Law) itu hendaknya tidak hanya terbatas pada
persoalan perizinan dan kemudahan berusaha saja, melainkan harus pula diipahami sebagai
upaya menyeluruh dan terpadu dalam rangka penataan sistem hukum dan perundang-
undangan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, karena pada dasarnya, semua UU
dan produk-produk hukum lainnya selalu ada saja kaitan materiel di antara satu dengan yang
lain yang -- mau tidak mau -- menyebabkan ketidakterpaduan yang menyulitkan pelaksanaan
dan penerapannya di lapangan.

6
Banyak sekali contoh yang dapat diuraikan mengenai hubungan saling kait berkait
antar 1 UU dengan UU lainnya itu dalam rangka penataan sistem hukum nasional yang
bersifat terpadu. Misalnya, UU tentang Pemilu, UU tentang Penyelenggara Pemilu, UU
tentang Pilkada, UU tentang Pilpres yang sekarang sudah disatukan menjadi UU tentang
Penyelenggaraan Pemilu, tetap saja masih ada kaitan langsung atau tidak langsung dengan
banyak UU lain, seperti UU tentang Parpol, UU tentang Mahkamah Konstitusi, UU tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, dan bahkan dengan UU tentang Ormas, dan UU tentang
Pemda. Misalnya, UU tentang Pemerintahan Aceh mengatur hal-hal yang tidak sama dengan
pemerintahan daerah provinsi lain yang diatur menurut UU tentang Pemda. Di dalamnya juga
diatur tentang pemilihan kepala daerah yang diselenggarakan oleh Komisi Independen
Pemilihan (KIP). Istilah yang dipakai bukan pemilihan umum tetapi pemilihan independen.
Karena itu dalam pelaksanaannya, dibentuklah KIP (Komisi Independen Pemilihan) sebagai
penyelenggara dan Panwaslih (Panitia Pengawas Pemilihan) sebagai pengawas. Istilah yang
dipakai bukan KPU dan Bawaslu dengan jumlah anggotanya yang telah diatur dalam UU
tentang Penyelenggara Pemilu. Namun di lapangan, antara KPU dan KIP, dan antara Bawaslu
dan Panwaslih timbul masalah-masalah teknis yang menyulitkan, karena tidak terpadunya
materi normatif UU Pemilu dan UU tentang Pemerintahan Aceh.

Demikian pula hal-hal yang terkait, misalnya, dengan status Partai Politik sebagai
peserta pemilu yang merupakan subjek hukum perkara perselisihan tentang hasil pemilu di
MK tetapi juga merupakan subjek hukum perkara sengketa menyangkut proses pemilu di
Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai peradilan banding. Selain itu,
partai politik juga merupakan subjek perkara pembubaran partai politik di Mahkamah
Konstitusi yang juga ada kaitan dengan organisasi kemasyarakatan (Ormas). Dapat
dipersoalkan apakah partai politik jika dibubarkan, mencakup pula keharusan dilakukannya
pembubaran semua ormas-ormas yang menjadi ‘underbouw’nya atau tidak. Atau sebaliknya
jika suatu organisasi berstatus sebagai ormas, tetapi tujuan dan program kegiatannya murni di
bidang politik sebagaimana partai politik, seperti misalnya organisasi Hizbut Tahrir Indonesia
(HTI). Apakah organisasi seperti ini tidak sebaiknya dipahami dan diperlakukan saja sebagai
partai politik, dan ikut juga diatur dalam 1 kesatuan UU dengan UU yang mengatur tentang
partai politik, karena materinya saling kait berkait satu sama lain.

Semua ini dapat diatur secara terpadu dengan pendekatan “Omnibus Law” atau UU
Omnibus, sehingga harmonisasi dapat dilakukan secara efektif dalam satu undang-undang
yang bersifat menyeluruh dan mencakup, setidaknya dalam konteks yang bersifat saling

7
terkait satu sama lain untuk memudahkan penerapannya di lapangan. Sejalan dan bahkan
bersamaan dengan itu, semua UU yang ada yang bersifat saling kait berkait itu dapat pula
dikodifikasikan secara administratif menjadi satu kesatuan Kitab Undang-Undang Hukum
Pemilihan Umum.

RUU TENTANG IBUKOTA NEGARA

Salah satu contoh yang perlu diproses dalam waktu dekat ialah UU yang akan
dijadikan dasar hukum keabsahan proses pemindahan ibukota negara dari DKI Jakarta ke
Penajam Kalimantan Timur yang juga sudah disampaikan secara resmi oleh Presiden dalam
Rapat Paripurna DPR-RI pada tanggal 16 Agustus 2019 yang lalu. UU ini dapat dijadikan
salah satu contoh tentang penerapan ide Omnibus Law (UU Omnibus). Bahkan, RUU ini
dapat pula dijadikan pilot proyek yang diprioritaskan, bahkan lebih mudah untuk didahulukan
dari dua RUU yang disebutkan oleh Presiden dalam Pidatonya tanggal 20 Oktober 2019. Ada
banyak undang-undang yang terkait dengan proses pemindahan ibukota negara dari DKI
Jakarta ke Penajam Kalimantan Timur. Semua UU yang mengatur pasal yang secara eksplisit
menyebut kata ibukota negara harus diaudit dan dijadikan bahan pertimbangan mengenai
perlu tidaknya ikut dipindahkan ke Penajam atau tidak. Jumlahnya tidak kurang dari 30 UU
yang mengatur tentang pelbagai lembaga dan komisi negara yang menyebut kata ibukota
negara ini yang jika tidak diubah niscaya semuanya harus ikut dipindahkan ke Penajam.

Adanya UU tentang Ibukota yang mengubah banyak undang-undang ini juga penting
sebagai landasan hukum untuk dimulainya langkah-langkah konstitusional untuk pemindahan
ibukota negara itu dari DKI Jakarta yang diatur oleh UU khusus ke kota baru bernama
Penajam, di provinsi Kalimantan Timur. UU baru ini juga juga harus memastikan apakah
ibukota negara itu nantinya akan berstatus sebagai Daerah Otonomi Khusus juga seperti
halnya DKI Jakarta ataupun termasuk menjadi salah satu Pemerintahan Kota di dalam
lingkup Pemerintahan Provinsi Kalimantan Timur. Adanya UU baru tentang Ibukota Negara
ini bahkan juga sangat dibutuhkan sebagai dasar hukum untuk penetapan anggaran guna
mendukung langkah-langkah pemindahan ibukota negara secara bertahap melalui UU APBN
setiap tahun sampai pemindahan ibukota negara selesai dengan tuntas dilaksanakan.

Tanpa UU yang menentukan bahwa ibukota negara akan dipindahkan secara bertahap,
maka penetapan anggaran belanja pembangunan pada setiap tahun anggaran melalui UU
APBN jelas tidak dapat dilakukan. Karena itu, pemindahan ibukota negara memerlukan

8
persetujuan Bersama antara Presiden dengan DPR-RI, dengan tentu saja mendengarkan atau
memperhatikan pula pertimbangan-pertimbangan dan pendapat Dewan Perwakilan Daerah
sebagai lembaga perwakilan kepentingan daerah dari seluruh Indonesia. Karena itu, jika ada
yang berpendapat bahwa pemindahan ibukota negara adalah kewenangan mutlak atau hak
prerogatif Presiden, jelas pendapat demikian itu adalah pendapat yang keliru. Pemindahan
ibukota negara yang bersejarah adalah pekerjaan besar dan serius, sehingga tidak dapat
ditetapkan atau diputuskan sendiri oleh Presiden tanpa melibatkan peran DPR dan DPD
sebagaimana mestinya. Pemindahan ibukota perlu diatur dengan UU yang khusus untuk itu,
sehingga dimulainya langkah-langkah konstitusional untuk itu memerlukan persetujuan
bersama antara Presiden dan DPR-RI dalam bentuk UU sebagaimana mestinya.

Pertanyaan lainnya yang juga mesti jelas terjawab adalah apakah semua lembaga
negara dan pemerintahan serta komisi-komisi negara yang menurut UU ditentukan
berkedudukan di ibukota negara akan atau harus ikut dipindahkan semua atau cukup dibatasi
hanya pusat-pusat pemerintahan dan lembaga-lembaga negara tertentu saja. Prioritas pertama
yang harus dipindahkan tentunya adalah Istana Presiden dan Wakil Presiden, kantor-kantor
kementerian negara, kantor MPR, DPR, dan DPD, Mabes POLRI. Prioritas kedua ditambah
dengan kantor BPK, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), dan lain-lain komisi negara di bidang perekonomian. Prioritas ketiga
ditambah dengan lembaga-lembaga negara seperti Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung,
Komisi Yudisial, Kejaksaan Agung, KPK, LPSK, Komnasham, Komnas Perempuan,
Komnas Anak, dan lain sebagainya. Pilihan-pilihan ini harus ditentukan tanpa generalisasi,
melainkan disesuaikan dengan kebutuhan dan pertimbangan-pertimbangan filosofis,
sosiologis, dan politis lainnya. Karena itu, semua UU terkait harus turut dibahas di DPR
mengenai keharusannya untuk ikut diubah atau tidak diubah oleh 1 UU baru, yaitu UU
tentang Ibukota Negara. Karena itu, saya sarankan RUU tentang Ibukota Negara ini dapat
juga dijadikan pilot proyek yang didahulukan dalam rangka penerapan kebijakan omnibus
law yang diharapkan oleh Presiden Joko Widodo.

APAKAH PERLU PERUBAHAN UU LEBIH DULU?

Untuk mempraktikkan kebijakan ‘Omibus Law’ atau UU Omnibus tersebut di atas,


apakah diperlukan perubahan lagi atas UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan? Idealnya memang sebaiknya demikian. Ketentuan baru mengenai “Omnibus

9
Law” (UU Omnibus) itu dimuat eksplisit dalam UU tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Akan tetapi tanpa perubahan UU tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan lebih dulu pun, sebenarnya, praktik pembentukan UU Omnibus
dimaksud dapat saja dilakukan dengan mengabaikan beberapa materi pedoman pembentukan
undang-undang yang menjadi lampiran UU tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan tersebut. Pedoman yang menjadi lampiran UU hanya bersifat memandu dan tidak
perlu dipahami bersifat kaku. Pedoman itu disusun hanya berdasarkan praktik yang dilakukan
selama ini, sehingga format dan proses perancangannya mengikuti kebiasaan yang ada itu,
yang dapat saja diterobos, sehingga terbentuk konvensi dan kebiasaan ketatanegaraan baru
(new constitutional convention and constitutional habbit) sebagai dasar hukum setara dengan
undang-undang untuk praktik-praktik berikutnya.

Dengan praktik konvensi ketatanegaraan semacam itu, kita dapat pula memulai suatu
tradisi baru sebagaimana lazim di dalam tradisi hukum “common law”, yaitu pembentukan
hukum melalui praktik peradilan. Jika praktik UU Omnibus yang tidak lazim itu kelak
digugat melalui permohonan pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi (judicial
review), maka putusan peradilan konstitusi itu dapat langsung menjadi sumber hukum yang
setara dengan perubahan undang-undang melalui proses legislasi (legislative review). Dengan
demikian, ide untuk mempraktikkan UU Omnibus atau “Omnibus Law” sudah dapat
diterapkan tanpa harus menunggu perubahan UU tentang Pembentukan Perundang-Undangan
lebih dulu.

Yang dapat dikatakan pasti memerlukan perubahan atau revisi lebih dulu atas UU
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan adalah jika gagasan kodifikasi
administratif hendak diterapkan, setidaknya harus dipastikan lebih dulu bahwa Pedoman
Pembentukan UU yang menjadi lampiran UU tidak menentukan status Penjelasan UU
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU. Jika pengertian yang demikian ditiadakan,
maka dengan sendirinya kebijakan kodifikasi administratif tersebut di atas juga dapat segera
direalisasikan, sehingga dapat lebih meningkatkan secara efektif produktifitas legislasi DPR-
RI di masa mendatang.

Gagasan kodifikasi administratif atas penyusunan Penjelasan UU oleh pemerintah


sebenarnya adalah praktik sejak zaman Hindia Belanda, dan masih terus dipraktikkan di
Belanda sendiri sampai sekarang, yaitu bahwa naskah UU dibahas dan ditetapkan di forum
parlemen, sedangkan naskah penjelasannya dibuat oleh Pemerintah. Karena itulah naskah UU

10
selalu diundangkan dalam Lembaran Negara (Staatsblad) sedangkan naskah Penjelasan
diterbitkan dalam Tambahan Lembaran Negara (TLN) yang dulunya adalah Bijblad, bukan
Staatsblad. Lucunya dalam praktik pencetakan kumpulan UU oleh Pemerintah Indonesia
sampai sekarang, tetap dibedakan antara cetakan buku Lembaran Negara berwarna merah,
sedangkan buku Tambahan Lembaran Negara dicetak dengan warna biru. Padahal sejak
zaman Orde Baru sampai sekarang, setiap perancangan, pembahasan, dan pengesahan RUU
semuanya ditetapkan sebagai satu kesatuan naskah oleh DPR-RI, tetapi aneh dan lucunya
pencetakannya dalam anggaran proyek selalu dibedakan dan dipisahkan menjadi 2 buku,
yaitu buku merah untuk naskah undang-undang dan buku biru untuk penjelasan UU. Dengan
demikian, jika kebijakan kodifikasi diubah dari kodifikasi legislatif menjadi kodifikasi
eksekutif atau administratif, maka hal itu dapat dikatakan hanya menghidupkan kembali
praktik aslinya di masa lalu, yaitu bahwa kodifikasi dan penyusunan naskah Penjelasan UU
dilakukan sebagai kewenangan Pemerintah.

Sudah seharusnya, kewenangan yang bersifat teknis dan administratif tidak harus
membebani forum politik di DPR yang seharusnya lebih focus ke masalah-masalah substansi
kebijakan yang jauh lebih penting daripada urusan teknis pembuatan Penjelasan UU. DPR
adalah lembaga politik, bukan lembaga teknis. Demikian pula para anggota DPR adalah
tokoh-tokoh pemimpin politik, bukan tenaga teknis administratif dalam pembentukan
undang-undang. Hal itulah yang selama ini justru menyita banyak waktu, sehingga
produktifitas legislasi sulit untuk meningkat, terutama sejak era reformasi.

PENGEMBANGAN SISTEM PENDUKUNG

Penerapan sistem “Omnibus Law” atau UU Omnibus tersebut memerlukan banyak


tenaga ahli auditor hukum yang professional dan sistem audit hukum elektronik (electronic
legal audit) yang dikembangkan secara khusus dalam rangka penataan sistem perundang-
undangan nasional. Hal ini dibutuhkan karena peraturan perundang-undangan yang
jumlahnya sangat banyak di Indonesia tidak dapat lagi ditelusuri satu per satu kecuali dengan
memanfaatkan jasa teknologi informasi dan komunikasi yang telah berkembang semakin
canggih dewasa ini. Saking banyaknya jumlah produk peraturan perundang-undangan sebagai
produk regulasi, apalagi ditambah dengan produk administrasi berupa keputusan-keputusan
tata usaha negara dan produk ajudikasi berupa putusan-putusan lembaga peradilan dan
lembaga quasi peradilan yang jumlahnya juga sangat banyak di seluruh Indonesia, maka

11
informasi hukum Indonesia sangat rumit dan kompleks untuk diharapkan bersifat terpadu dan
terintegrasikan dalamsatu kesatuan sistem Negara Hukum Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945.

Misalnya selama 1 tahun 2009 saja, jumlah produk regulasi tingkat pusat, mulai dari
UU dan peraturan pelaksana yang diterbitkan oleh lembaga negara dan pemerintahan atau
pejabat tingkat Menteri tercatat sebanyak 862 peraturan yang dimuat dalam Lembaran
Negara, Tambahan Lembaran Negara atau Berita Negara. Sekarang jumlah pemerintahan
daerah provinsi sebanyak 34 provinsi, 415 pemerintahan daerah kabupaten, dan 93 kota yang
masing-masing memproduksi Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten, dan
Peraturan Daerah Kota atau yang disebut dengan istilah lain, Peraturan Gubernur, Peraturan
Bupati, dan Peraturan Walikkota setiap tahun. Belum lagi putusan-putusan peradilan, dan
keputusan-keputusan tata usaha negara di seluruh Indonesia yang semuanya merupakan
produk hukum yang menyangkut hak dan kewajiban para subjek dalam lalu lintas hukum,
jumlahnya sangat banyak yang menyebabkan Indonesia tergolong sebagai masyarakat yang
terlalu banyak diatur (super or hyper regulated society), apalagi jika dihitung sejak zaman
Hindia Belanda sampai dengan sekarang, sesudah 74 tahun Indonesia merdeka.

Tentu saja, tidak semua produk hukum dimaksud masih tetap berlaku semuanya
sampai sekarang. Akan tetapi, sangat disayangkan, sampai sekarang tidak ada data yang
akurat mengenai berapa jumlah produk regulasi yang masih berlaku, berapa yang sudah
dibatalkan dan tidak berlaku lagi, atau berapa yang secara de jure masih berlaku tetapi secara
de facto di lapangan sudah tidak efektif lagi, dan berapa pula peraturan yang sudah berlaku
lagi secara de jure, tetapi nyatanya secara de facto masih efektif diikuti. Demikian pula
pelbagai aneka keputusan-keputusan administrasi atau tata usaha negara mulai dari Presiden
sampai ke tingkat terendah, dan putusan-putusan pengadilan sejak zaman Hindia Belanda
sampai dengan sekarang juga dapat dikatakan tidak terdata dengan baik. Karena itu,
Indonesia sungguh-sungguh memerlukan upaya modernisasi pengeolaan sistem informasi dan
komunikasi hukum secara elektronik dengan didukung oleh para professional di bidang audit
hukum dan perancangan hukum secara tersendiri. Sebelum para perancang hukum (legal
drafter) bekerja, hendaknya para auditor hukum (legal auditor) lebih dulu melaksanakan
tugasnya untuk mengaudit, mengevaluasi, dan mengadakan analisis hukum yang dibutuhkan
untuk dengan spirit Ketuhanan Yang Maha Esa mengawal kebebasan, menjaga solidaritas
kebangsaan, meningkatkan kesejahteraan umum, dan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Saya telah berkali-kali menyarankan agar Kemenhukham,

12
Kemeninfo, dan Bappenas dapat bekerjasama mengembangkan sistem aplikasi elektronik
hukum ini.

Dengan adanya sistem aplikasi elektronik dimaksud, setiap aturan yang ada mengenai
subjek apapun juga dapat dengan mudah ditelusuri untuk dievaluasi dan dianalisis dengan
seksama sehingga dapat merekomendasikan kebijakan baru apa dan bagaimana untuk
pembangunan dan penataan hukum yang lebih harmonis dan terpadu. Misalnya, jika materi
yang hendak diatur berkaitan dengan urusan pertanahan, maka sistem aplikasi itu dapat
dengan mudah membantu penelusuran atas semua produk hukum yang ada, baik secara
vertical, horizontal, dan diagonal maupun lintas cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan
yudikatif yang berkaitan dengan pengaturan persoalan tanah dan pertanahan, sehingga
dengan mudah dan cepat dapat mengetahui peta norma aturan ada dan mengusulkan
kebijakan hukum baru yang dibutuhkan dalam rangka pembangunan hukum nasional.

Sementara itu, saya sendiri bersama kawan-kawan dibawah naungan JSLG (Jimly-
School of Law and Government) telah pula mengembangkan sistem pendidikan profesi
auditor hukum yang terdaftar di BNSP (Badan Nasional Sertifikasi Profesi), di samping
tenaga professional di bidang perancangan hukum yang sudah dikenal selama ini, yaitu
“legal drafter”. Sampai sekarang telah berhasil dididik ribuan auditor hukum professional
bersertifikat atau “Certified Legal Auditor” (CLA). Dengan dukungan sistem aplikasi
elektronik dan tenaga ahli di bidang audit hukum yang professional plus tenaga perancang
hukum yang handal, saya berkeyakinan upaya penyederhanaan legislasi dan penerapan sistem
“Omnibus Law” dapat berhasil dipraktikkan dengan baik dalam rangka penataan dan
modernisasi sistem hukum nasional Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

13

Anda mungkin juga menyukai