Anda di halaman 1dari 6

Judul Buku : Masalah Sosial Anak Pengarang : Bagong Suyanto Penerbit ISBN : Prenada Media Group : 978-602-8730-22-8

Dikutip dari : Bab 6, Anak-anak yang Dilacurkan

Anak-anak yang Dilacurkan


(Realitas yang terjadi di Indonesia)

Pelacuran anak sesungguhnya asalah salah satu masalah kemanusian yang membutuhkan perhatian serius karena dampaknya yang sangat merugikan dan membahayakan kelangsungan serta masa depan anak sebagai korban. Anak remaja yang dilacurkan bukan saja rentan terhadap hinaan, eksploitasi, penipuan dan marginalisasi, tetapi juga banyak diantara mereka yang tidak dapat menikmati hak untuk memperoleh pendidikan yang layak, serta tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya untuk berkembang secara sehat (ILO-IPEC, 2004: 1). Kalau mengikuti definisi yang tercantum dalam Protokol Tambahan atas Konvensi PBB Menentang Tindak Kejahatan Terorganisasi Transnasional (The Suplemental Protocol to The Convention Against Transnastional Organized Crime), dinyatakan bahwa siapa saja yang berusia kurang dari 18 tahun yang bekerja di bidang pelacuran, maka mereka dianggap sebagai korban perdagangan manusia (human trafficking) Menurut hukum yang berlaku, anak-anak remaja perempuan dibawah umur ini jelas dinyatakan bahwa mereka dilarang dilibatkan dalam dunia prostitusi atau dipekerjakan sebagai PSK (pekerja seks komersial) atau WPS (wanita pekerja seks). Tetapi, karena berbagai alasan, sering terjadi anak remaja perempuan tiba-tiba terjerumus dalam kehidupan malam dan dipaksa melayani kebutuhan syahwat para lelaki hidung belang (Gadun/Dadun dan/Sega). Pelacuran anak remaja sendiri secara konseptual adalah tindakan menawarkan pelayanan atau pelayanan langsung seosrang anak remaja (perempuan) oleh mucikari atau germo (tante, mami, bunda, teteh dan/papi) untuk melakukan tindakan seksual demi uang

atau imbalan lain dan/kepada siapa pun

dengan

seseorang

atau

lebih

Di Asia, pada Tahun 1966 saja diperkirakan jumlah anakanak yang dilacurkan mencapai 840 ribu jiwa. Di Taiwan tercatat sebanyak 60 ribu anak-anak yang terpaksa bekerja sebagai PSK. Di Inda, angkanya lebih memprihatinkan lagi, yakni sekitar 400-500 ribu anak dilaporkan terjerumus dalam dunia pelacuran. Di Indonesia, berbagi estimasi menyebutkan jumlah anak remaja yang dilacurkan dibandingkan PSK dewasa yang ada 2:8 atau 3:7 (lihat Jurnal Perempuan No. 29, 2003). Sementara itu Irwanto memprediksi dari 174 ribu pelacur yang resmi terpantau di Indonesia, ternyata separuhnya ialah anak-anak (Djoerban, 2001: 1997). Di Surabaya sendiri, walaupun tidak ada angka pasti, tetapi ditenggarai jumlah anak-anak yang dilacurkan terus bertambah sejak terjadinya situasi krisis pertengahan Tahun 1997 Di kompleks lokalisasi Dolly yang kesohor dan terbesar di Asia Tenggara, sering kali dilaporkan keberhasilan aparat kepolisian membongkar praktik eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). Seperti ramai diberitakan di media massa akhir 2003 lalu di Surabaya, tepatnya daerah Krembangan Jaya Utara, telah berhasil dibongkar kasus penyekapan dan praktik pelanggaran hak anak yang kemungkinan besar akan diperdagangkan untuk pelacuran. Meskipun si pelaku menyangkal, tetapi pengakuan langsung anak-anak tersebut, dimana mereka memang sempat ditawari untuk menjadi PSK dan hal tersebut membuktikan indikasi kearah terjadinya praktek trafficking. Bahkan, kalau pun benar si pelaku hanya menyalurkan anak-anak dibawah umur tersebut untuk menjadi PRT, tetapi semua dilakukan atas dasar penipuan, ancaman dan paksaan, maka sebenranya hal ini sudah termasuk dalam kategori perdagangan anak (child trafficking) Kasus di Krembangan Jaya Utara dan kasus-kasus yang terjadi sampai dengan kurun waktu 2011, sudah bukan tentu kasus-kasus kecil yang terjadi secara accidental. Ibarat fenomena gunung es, kasus perdagangan anak dalam banyak hal masih merupakan dark number, diyakini masih banyak yang belum dilaporkan dan terungkap, bahkan melibatkan ratusan ribu korban. Berbagai modus dikembangkan para pelaku child sex trafficking untuk mendekati korban, semisal dengan memacari dan setelah terperdaya hingga korban tertipu

menyerahkan keperawanannya, baru kemudian korban dijual ke germo atau langsung kepada laki-laki hidung belang. Atau pelaku sekedar mendekati sebagai teman atau pun kakak (abang maupun teteh), kemudian memanjakan korban dengan gadged, handphone, kenikmatan riuh-kemeriahan pub/karaoke/diskotik, bahkan sampai kenikmatan drugs. Semua barang atau pun fasilitas yang diberikan tadi, gratis diawal dan ketika korban menginginkan pada kali berikutnya, maka semua barang atau pun fasilitas tersebut tidak lagi gratis. Pada saat itulah pelaku akan membujuk korban untuk menerima tawaran melayani kebutuhan syahwat laki-laki hidung belang. Modus lain yang marak terjadi belakangan ini dan sering dilakukan oleh sindikat child sex trafficking adalah berkedok sebagai perusahaan atau agen penyalur pembantu rumah tangga, untuk kemudian anak-anak remaja perempuan yang terperdaya tersebut dijual kepada germo atau pun mucikari seharga 1.050 juta (Koran Tempo, 2 Agustus 2002). Atau memperdaya anak-anak remaja perempuan dengan tawaran bekerja sebagai waitress, terapis, atau pemandu lagu di kafe/diskotik/spa/karaoke. Setibanya anak-anak remaja tersebut ditempat kerja yang dijanjikan, ternyata mereka dijual kepada germo atau mucikari yang ada di kafe/diskotik/spa/karaoke, biasanya bagi anak-anak remaja yang sudah dibeli oleh germo atau mucikari, dipaksa untuk melayani nafsu syahwat laki-laki hidung belang yang datang ke kafe/diskotik/spa/karaoke. Jika tidak, anak-anak remaja tersebut akan dipukuli si germo atau mucikari sendiri atau pun oleh para tukang pukul, bahkan tak jarang anak-anak remaja yang melawan dibunuh Bagi para germo atau mucikari atau pun para calo-calo tadi, kehadiran anak-anak remaja perempuan dalam dunia pelacuran berkedok kafe/diskotik/spa/karaoke, selain dinilai potensial menjadi primadona untuk menarik tamu atau pun pengunjung, dalam banyak kasus, anak-anak remaja perempuan tersebut diandalkan sebagai sumber pemasukan terbesar. Seorang germo atau mucikari yang kafe/diskotik/spa/karaoke nya, mempekerjakan perempuan paruh baya yang telah berumur dan mulai berkerut, niscaya hanya dalam hitungan bulan tempat tersebut akan menjadi sepi dan akhirnya bangkrut. Ini berbeda bila germo yang bersangkutan mempekerjakan anak-anak remaja perempuan. Bagi para germo atau mucikari, anak-anak remaja perempuan yang terperdaya dan telah mereka beli, hanya diibaratkan sebagai mesin uang. Maka bagi anak-anak remaja perempuan yang jatuh sakit atau

terinfeksi penyakit seksual, tak segan-segan untuk diusir atau dijual kembali ke germo atau mucikari lain ditempat lain dan digantikan dengan anak-anak remaja perempuan baru yang terperdaya dengan berbagai modus Menurut Achmad Sofian (2000) dari Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan, mekanisme yang dikembangkan para germo untuk merekrut anak-anak remaja perempuan untuk kemudian dilacurkan, sebagian melalui bujuk rayu, tetapi tak jarang dengan cara penyekapan, ancaman kekrasan fisik maupun jerat utang pada orang tua si anak. Akibat kurang pengalaman, ketidakmengertian dan informasi mengenai modus jaringan mafia perdagangan anak remaja perempuan, di berbagai daerah sering terjadi anak-anak perempuan yang menginjak masa puber terlena oleh bujuk rayu lelaki iseng dan tanpa sadar masuk perangkap jaringan mafia perdagangan anak untuk kepentingan prostitusi Bahkan yang memprihatinkan, praktik perdagangan dan eksploitasi seksual terhadap anak remaja perempuan, bukan hanya untuk kepentingan bisnis dunia hiburan dalam negeri, tetapi juga merambah ke Negara lain, seperti: Malaysia, Thailand, Singapur, Taiwan dan Hongkong. Asiaweek pernah melaporkan bahwa di Negara seperti Thailand, Singapura dan Malaysia, acapkali ditemui terapis, pemandu lagu, ladies escort maupun ladies companion yang berusia 17 tahun kebawah dan berasal dari Indonesia. Mereka dipekerjakan dikafe, diskotik, spa atau pun karaoke disana untuk melayani syahwat laki-laki pengunjung. Anak-anak remaja perempuan dari Indonesia yang dipekerjakan didunia hiburan yang ada dinegara-negara tadi, masuk dengan cara dipalsukan pasport dan visa mereka oleh para calo, sebagai tenaga kerja untuk restoran, pabrik ataupun pembantu rumah tangga dinegara bersangkutan Studi yang dilakukan Suyanto (2002) tentang child trafficking, menemukan bahwa modus yang paling sering dikembangkan untuk mencari anak-anak remaja perempuan sebagai korban adalah penipuan dan bujuk rayu (73%), sedangkan tempat terjadinya penipuan umumnya adalah zone-zone atau ruang-ruang publik Seorang anak remaja perempuan yang sudah terperangkap dalam jaringan perdagangan dan pelacuran, jangan harap dapat mudah keluar dari dunia itu. Para mucikari atau pun germo sangat berpengalaman dan menguasai betul teknik menjinakkan, agar tetap berada dalam genggaman. Anak-

anak remaja perempuan yang telah terperangkap dalam jaringan perdagangan dan pelacuran, keluar dari dunia tersebut, ketika sudah tidak lagi berguna atau terlalu tua atau penyakitan. Ketika itulah germo atau pun mucikari akan membuang mereka. Studi yang dilakukan Bagong Suyanto (1999) mengenai anak-anak yang dilacurkan di Kota Surabaya yang bekerjasama dengan ILO-IPEC dan Unika Atmajaya, Jakarta, menemukan sangat sedikit anak-anak remaja perempuan yang telah telah terjerumus pelacuran bisa keluar dengan mudah dari tempat mereka dipekerjakan. Selain faktor stigma dari masyarakat yang tidak bersahabat, kondisi perekonomian keluarga, anak-anak remaja tersebut juga harus siap mengeluarkan uang dalam jumlah besar sebagai tebusan diri mereka pada mucikari atau germo yang mengklaim telah merawat dan menghidupinya Mengurangi terjerumusnya anak remaja perempuan dalam dunia pelacuran, apalagi menghapuskannya bukan hal yang mudah, karena masalah ini bertali-temali dengan masalah social lain. Menurut Irwanto (1999), walaupun tidak selalu paralel, ada indikasi bahwa pernikahan dini yang potensial berakhir dengan perceraian akan mendorong janda-janda usia anak remaja lari dan terjerumus pada dunia prostitusi. Disamping itu, kurangnya pengetahuan anak-anak remaja perempuan mengenai reproduksi sehat, khususnya soal cara dan bagaimana mereka harus menghargai tubuh miliknya sendiri dengan benar, cenderung mendorong anak remaja perempuan terjerumus melakukan hubungan seks pra nikah dan seringkali berakhir dengan terdorongnya anak remaja perempuan dalam dunia pelacuran, dikarenakan dikecewakan oleh pacar yang tak bertanggung jawab atas hubungan seks pra nikah yang telah terjadi. Kekecewaan tersebut yang disertai hilangnya harga diri dan stigma lingkungan pergaulan sebagai gadis yang sudah tidak lagi perawan, mengakibatkan anak remaja perempuan tersebut tak merasa nyaman lagi bergaul dan akhirnya terpedaya masuk dalam dunia prostitusi. Dalam Deklarasi dan Agenda Aksi Stockholm hasil World Congress Against Commercial Sexual Exploitation of Children, dengan tegas disebutkan adanya bahaya di balik gunung es kasus eksploitasi seksual komersial terhadap anak di bawah umur. Tetapi apa artinya kesepakatan itu jika hanya diratifikasi dan menjadi sebuah Undang-undang atau pun perda tanpa tindakan nyata, konkrit, jelas, tegas oleh aparat kepolisian, pejabat-pejabat di tingkat pusat maupun daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia,

para pelaku bisnis di sektor jasa (khususnya industri hiburan malam), para guru, orang tua dan masyarakat secara keseluruhan (tulisan ini mengalami penambahan dari sumber asli yang dikutip)

Anda mungkin juga menyukai