Anda di halaman 1dari 17

BAB I TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Tetanus Tetanus adalah (rahang terkunci/lockjaw) penyakit akut, paralitik spastic yang disebabkan oleh tetanospasmin, neurotoksin, yang dihasilkan oleh Clostridium Tetani.( Ilmu Kesehatan Anak, 2000 oleh Richard E. Behrman, dkk, hal 1004 ).

B. Penyebab Tetanus Penyebab penyakit ini adalah Clostridium Tetani yaitu obligat anaerob pembentukan spora, gram positif, bergerak, yang tempat tinggal (habitat) alamiahnya di seluruh dunia yaitu di tanah, debu dan saluran pencernaan berbagai binatang. Pada ujungnya ia membentuk spora, sehingga secara mikroskopis tampak seperti pukulan gendering atau raket tenis. Spora tetanus dapat bertahan hidup dalam air mendidih tetapi tidak di dalam autoklaf, tetapi sel vegetative terbunuh oleh antibiotic, panas dan desinfektan baku. Tidak seperti banyak klostridia, Clostridium Tetani bukan organisme yang menginvasi jaringan, malahan menyebabkan penyakit melalui toksin tunggal, tetanospasmin yang lebih sering disebut sebagai toksin tetanus. Toksi tetanus adalah bahan kedua yang paling beracun yang diketahui, hanya di unggulin kekuatannya oleh toksin batulinum. Port of entry tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun dapat diduga melalui : 1. Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar 2. Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik 3. OMP, caries gigi 4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril. 5. Penjahitan luka robek yang tidak steril.

C. Patofisiologi Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka bakar, luka yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multipel membentuk 2 toksin yaitu tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot dan mempengaruhi sistem saraf pusat. Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin. Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke korno anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat. Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot menjadi kejang dan mudah sekali terangsang. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari .

Terpapar kuman Clostridium tetani

Eksotoksi n Pengangkutan toksin melewati saraf


motorik

Ganglion Sumsum Tulang Belakang Tonus otot

Otak

Saraf Otonom Mengenai Saraf Simpatis

Menempel pada Cerebral Ganglioside Kekakuan dan kejang khas pada tetanus

Menjadi kaku

Hilangnya keseimbangan tonus otot otot Kekakuan otot

Keringat berlebihan, Hipertermi, Hipotermi, Aritmia, Takikardi

Hipoksia Berat O2 di otak

Sistem
Pencernaan

Sistem Pernafasan

Kesadaran PK. Hipoksemia Ggn. Perfusi jaringan Ggn. Pertukaran gas Kurangnya pengetahuan ortu

Ganguan Eliminasi dan Gangguan Nutrisi kurang dari kebutuhan

Ketidakefektifan Jalan Nafas dan Gangguan Komunikasi Verbal

D. Gejala 1. Keluhan dimulai dengan kaku otot, disusul dengan kesukaran untuk membuka mulut (trismus). 2. Diikuti gejala risus sardonikus,kekauan otot dinding perut dan ekstremitas (fleksi pada lengan bawah, ekstensi pada telapak kaki) 3. Pada keadaan berat, dapat terjadi kejang spontan yang makin lama makin seiring dan lama, gangguan saraf otonom seperti

hiperpireksia, hiperhidrosis,kelainan irama jantung dan akhirnya hipoksia yang berat. 4. Bila periode of onset pendek penyakit dengan cepat akan berkembang menjadi berat. Untuk mudahnya tingkat berat penyakit dibagi : 1. Ringan ; hanya trismus dan kejang lokal. 2. Sedang ; mulai terjadi kejang spontan yang semakin sering, trismus yang tampak nyata, opistotonus dankekauan otot yang menyeluruh.

E. Penatalaksanaan Pada dasarnya , penatalaksanaan tetanus bertujuan : 1. Eliminasi kuman a. Debridement Untuk menghilangkan suasana anaerob, dengan cara

membuang jaringan yang rusak, membuang benda asing, merawat luka/infeksi, membersihkan liang telinga/otitis media, caires gigi. b. Antibiotika Penisilna prokain 50.000-100.000 ju/kg/hari im, 1-2 hari, minimal 10 hari. Antibiotika lain ditambahkan sesuai dengan penyulit yang timbul. 2. Netralisasi toksin Toksin yang dapat dinetralisir adalah toksin yang belum melekat di jaringan. Dapat diberikan ats 5000-100.000 ki

3. Perawatan suporatif Perawatan penderita tetanus harus intensif dan rasional : a. Nutrisi dan cairan 1) Pemberian cairan iv sesuaikan jumlah dan jenisnya dengan keadaan penderita, seperti sering kejang, hiperpireksia dan sebagainya. 2) Beri nutrisi tinggi kalori, bil a perlu dengan nutrisi parenteral. 3) Bila sounde naso gastrik telah dapat dipasang (tanpa memperberat kejang) pemberian makanan peroral

hendaknya segera dilaksanakan. b. Menjaga agar nafas tetap efisien. 1) Pemebrsihan jalan nafas dari lender 2) Pemberian xat asam tambahan 3) Bila perlu , lakukan trakeostomi (tetanus berat). c. Mengurangi kekakuan dan mengatasi kejang 1) Antikonvulsan diberikan secara tetrasi, disesuaikan dengan kebutuhan dan respon klinis. 2) Pada penderita yang cepat memburuk (serangan makin sering dan makin lama), pemberian antikonvulsan dirubah seperti pada awal terapi yaitu mulai lagi dengan pemberian bolus, dilanjutkan dengan dosis rumatan. Pengobatan rumat Fenobarbital dosis maintenance : 8-10 mg/kg bb dibagi 2 dosis pada hari pertama, kedua diteruskan 4-5 mg/kg bb dibagi 2 dosis pada hari berikutnya 3) Bila dosis maksimal telah tercapai namun kejang belum teratasi , harus dilakukan pelumpuhan obat secara totoal dan dibantu denga pernafasan maknaik (ventilator). d. Pengobatan penunjang saat serangan kejang adalah : 1) Semua pakaian ketat dibuka.

2) Posisi kepala sebaiknya miring untuk mencegah aspirasi isi lambung. 3) Usahakan agar jalan napas bebasu ntuk menjamin

kebutuhan oksigen. 4) Pengisapan lendir harus dilakukan secara teratur dan diberikan oksigen.

BAB II PROSES KEPERAWATAN


A. Pengkajian Pengkajian adalah pendekatan sistemik untuk mengumpulkan data dan menganalisa, sehingga dapat diketahui kebutuhan perawatan pasien tersebut. (Santosa. NI, 1989, 154). Langkah-langkah dalam pengkajian meliputi pengumpulan data, analisa dan sintesa data serta perumusan diagnosa keperawatan. Pengumpulan data akan menentukan kebutuhan dan masalah kesehatan atau keperawatan yang meliputi kebutuhan fisik, psikososial dan lingkungan pasien. Sumber data didapatkan dari pasien, keluarga, teman, team kesehatan lain, catatan pasien dan hasil pemeriksaan laboratorium. Metode pengumpulan data melalui observasi (yaitu dengan cara inspeksi, palpasi, auskultasi, perkusi), wawancara (yaitu berupa percakapan untuk memperoleh data yang diperlukan), catatan (berupa catatan klinik, dokumen yang baru maupun yang lama).

1. Riwayat Kesehatan a. Riwayat kehamilan prenatal. Ditanyakan apakah ibu sudah diimunisasi TT. b. Riwayat natal ditanyakan. Siapa penolong persalinan karena data ini akan membantu membedakan persalinan yang bersih/ higienis atau tidak. Alat pemotong tali pusat, tempat persalinan. c. Riwayat postnatal. Ditanyakan cara perawatan tali pusat, mulai kapan bayi tidak dapat menetek (incubation period). Berapa lama selang waktu antara gejala tidak dapat menetek dengan gejala kejang yang pertama (period of onset).

d. Riwayat imunisasi pada tetanus anak. Ditanyakan apakah sudah pernah imunisasi DPT/ DT atau TT dan kapan terakhir e. Riwayat psiko sosial. 1) Kebiasaan anak bermain di mana. 2) Higiene sanitasi. f. Riwayat Tumbuh-Kembang 1) 0 6 tahun dengan menggunakan DDST (motorik kasar, motorik halus, bahasa, personal sosial). 2) 6 tahun keatas (Perkembangan kognitif, Psikoseksual, Psikososial).

2. Pemeriksaan Fisik a. Umum Pertama kali perhatikan keadaan umum vital: tingkat kesadaran, tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu. Pada kejang demam sederhana akan didapatkan suhu tinggi sedangkan kesadaran setelah kejang akan kembali normal seperti sebelum kejang tanpa kelainan neurologi. b. Fisik 1) Kepala Rambut: Dimulai warna, kelebatan, distribusi serta karakteristik lain rambut. Pasien dengan malnutrisi energi protein mempunyai rambut yang jarang, kemerahan seperti rambut jagung dan mudah dicabut tanpa menyebabkan rasa sakit pada pasien. Muka/ Wajah: Adakah tanda rhisus sardonicus, opistotonus, trimus? Apakah ada gangguan nervus cranial?

Mata: Saat serangan kejang terjadi dilatasi pupil, untuk itu periksa pupil dan ketajaman penglihatan. Apakah keadaan sklera, konjungtiva? Telinga: Periksa fungsi telinga, kebersihan telinga serta tanda-tanda adanya infeksi seperti pembengkakan dan nyeri di daerah belakang telinga, keluar cairan dari telinga, berkurangnya pendengaran. Hidung: Apakah ada pernapasan cuping hidung? Polip yang menyumbat jalan napas? Apakah keluar sekret, bagaimana konsistensinya,

jumlahnya? Mulut: Adakah tanda-tanda sardonicus? Adakah cynosis? Bagaimana keadaan lidah? Adakah stomatitis? Berapa jumlah gigi yang tumbuh? Apakah ada caries gigi? 2) Leher: Adakah tanda-tanda peradangan tonsil? Adakah tanda-tanda infeksi faring, cairan eksudat?

Adakah tanda-tanda kaku kuduk, pembesaran kelenjar tiroid? Adakah pembesaran vena jugularis? 3) Thorax: Pada infeksi, amati bentuk dada klien, bagaimana gerak pernapasan, retraksi Intercostale? frekwensinya, irama, kedalaman, adakah

Pada auskultasi, adakah suara napas tambahan? 4) Jantung: Bagaimana keadaan dan frekwensi jantung serta iramanya? Adakah bunyi tambahan? Adakah bradicardi atau takikardi? 5) Abdomen: Adakah distensia abdomen serta kekakuan otot pada abdomen? Bagaimana turgor kulit dan peristaltik usus? Adakah tanda meteorismus? Adakah pembesaran lien dan hepar? 6) Kulit: Bagaimana warnanya? Apakah terdapat oedema, hemangioma? Bagaimana keadaan turgor kulit? 7) Ekstremitas: Apakah terdapat oedema, atau paralise terutama setelah terjadi kejang? Bagaimana suhunya pada daerah akral? 8) Genetalia Adakah kelainan bentuk oedema, tanda-tanda infeksi? keadaan kulit baik kebersihan maupun

B. Diagnosa Keperawatan 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan

penumpukan sputum pada trakea dan spasme otot pernafasan, ditandai dengan : ronchi, sianosis, dyspnea, batuk tidak efektif disertai dengan sputum atau lender, hasil pemeriksaan

laboratorium menunjukan : AGD abnormal (asidosis respiratotik). 2. Gangguan pola nafas berhubungan dengan jalan nafas terganggu akibat spasme otot-otot pernafasan, yang ditandai dengan kejang

rangsangan, kontraksi otot-otot pernafasan, adanya lendir dan sekret yang menumpuk. 3. Peningkatan suhu tubuh (hipertermi) berhubungan dengan efek toksin (bakterimia), yang ditandai dengan : suhu tubuh meningkat menjadi 38 40 C, hiperhidrasi, sel darah putih lebih dari 10.000/mm3. 4. Pemenuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kekakuan otot pengunyah yang ditandai dengan intake kurang, makan dan minuman yang masuk lewat mulut kembali lagi dapat melalui hidung dan berat badan menurun disertai hasil pemeriksaan protein atau albumin kurang dari 3,5 mg%.

C. Perencanaan Dx. 1: Tujuan Kriteria : Jalan nafas efektif. :

1. Klien tidak sesak, lender atau sleam tidak ada 2. Pernafasan 16 18 kali/menit 3. Tidak ada pernafasan cuping hidung 4. Tidak ada tambahan otot pernafasan 5. Hasil pemeriksaan laboratorium darah AGD dalam batas normal (pH=7,35 7,45 ; PCO2= 35 45 mmHg, PO2 = 80 100 mmHg ). Intervensi: 1. Bebaskan jalan nafas dengan mengatur posisi kepala ekstensi Rasianal : secara anatomi posisi kepala ekstensi merupakan cara untuk meluruskan rongga pernafasan sehingga proses respirasi tetap berjalan lancar dengan menyingkirkan pembuntuan jalan nafas. 2. Pemeriksaan fisik dengan cara auskultasi mendengar suara nafas (adakah ronchi) tiap 2 4 jam sekali

Rasional : ronchi menunjukan adanya gangguan pernafasan akibat atas cairan atau secret yang menutupi sebagian dari saluran pernafasan sehingga perlu dikeluarkan untuk mengoptimalkan jalan nafas. 3. Bersihkan mulut dan saluran nafas dari secret dan lendir dengan melakukan section. Rasional : section merupakan tindakan bantuan untuk

mengeluarkan secret, sehingga mempermudah proses respirasi. 4. Oksigenisasi sesuai intruksi dokter Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan hipoksia 5. Observasi tanda-tanda vital setiap 2 jam Rasional : dyspnea, sianosis merupakan tanda terjadinya cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadi

gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama. 6. Observasi timbulnay gagal nafas/apnea Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi

diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilation) 7. Kolaborasi dalam pemberian obat pengencer secret (mukolotik) Rasional : obat mukolitik dapat mengencerkan secret yang kental sehingga mudah mengeluarkan dan mencegah kekentalan.

Dx. 2 : Tujuan Kriteria : Pola nafas teratur dan normal. :

1. Hipoksemia teratasi, mengalami perbaikan pemenuhan kebutuhan oksigen 2. Tidak sesak, pernafasan normal 16 18 kali/menit 3. Tidak sianosis.

Intervensi : 1. Monitor irama pernafasan dan respirasi rate Rasional : indikasi adanya penyimpangan atau kelainan dari pernafasan dapat dilihat dari frekuensi, jenis pernafasan,

kemampuan dan irama nafas. 2. Atur posisi luruskan jalan nafas Rasional : jalan nafas yang longgar tidak ada sumbatan proses respirasi dapat berjalan dengan lancar. 3. Observasi tanda dan gejala sianosis Rasional : sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi klinik ketidakadekuatan suplai O2 pada jaringan tubuh perifer. 4. Berikan oksigenasi sesuai dengan intruksi dokter Rasional : pemberian oksigen secara adekuat dapat mensuplai dan memberikan cadangan oksigen, sehingga mncegah terjadinya hipoksia. 5. Observasi tanda-tanda vital tiap 2 jam Rasional : dyspnea, sianosis merupan tanda terjadinya gangguan nafas disertai dengan kerja jantung yang menurun timbul tacikardi dan capillary reffil time yang memanjang/lama. 6. Observasi timbulnya gagal nafas Rasional : ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi

diperlukan intervensi yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mechanical ventilato) 7. Kolaborasi dalam pemeriksaan analisa gas darah Rasional : kompensasi tubuh terhadap gangguan proses difusi dan perfusi jaringan dapat mengakibatkan terjadinya asidosis

respiratory.

Dx. 3 : Tujuan Kriteria : Suhu tubuh normal. :

1. Suhu kembali normal 36 37 C 2. Hasil laboratorium sel darah putih (leukosit) antara 5.000 10.000/mm3 Intervensi : 1. Atur suhu lingkungan yang nyaman Rasional : iklim lingkungan dapat mempengaruhi kondisi dan suhu tubuh individu sebagai suatu proses adaptasi melalui proses evaporasi dan konveksi 2. Pantau suhu tubuh tiap 2 jam Rasional : identifikasi perkembangan gejala-gejala kearah syok exhaustion 3. Berikan hidrasi atau minum yang adekuat Rasional : cairan-cairan membantu menyegarkan badan dan merupakan kompresi badan dari demam. 4. Lakukan tindakan teknik aseptic dan antiseptic pada perawatan luka Rasional: perawatan luka mengeleminasi kemungkinan toksin yang masih berada disekitar luka. 5. Berikan kompres dingin bila tidak terjadi eksternal rangsangan kejang Rasional : kompres dingin merupakan salah satu cara untuk menurunkan suhu tubuh dengan cara proses konduksi. 6. Laksanakan program pengobatan antibiotic dan antipiretik Rasional : obat-obatan antibacterial dapat mempunyai spectrum untuk mengobati bakteri gram positif, atau bakteri gram negative, antipiretik bekerja sebagai proses termoregulasi untuk

mengantisipasi panas.

7. Kolaborasi dalam pemeriksaan laboratorium leukosit Rasional : hasil pemeriksaan leukosit yang meningkat lebih dari 100.000/mm3 mengidentifikasikan adanya infeksi dan atau untuk mengikuti perkembangan pengobatan yang diprogramkan.

Dx. 4 : Tujuan Kriteria : Kebutuhan nutrisi terpenuhi. :

1. Berat badan optimal 2. Intake adekuat 3. Hasil pemeriksaan albumin 3,5 5 mg% Intervensi : 1. Jelaskan faktor yang mempengaruhi kesuliatan dalam makan dan pentingnya makanan bagi tubuh Rasional : dampak dari tetanus adalah adanya kekakuan dari otot pengunyah sehingga klien mengalami kesuliatan menelan dan kadang timbul reflex balik atau kesedak. Dengan tingkat

pengetahuan yang adekuat diharapkan klien dapat berpartisipasi dan kooperatif dalam program diet. 2. Kolaborasi dengan tim gizi untuk pemberian diet TKTP cair, lunak, dan bubur kasar. Rasional : diet yang diberikan sesuai dengan keadaan klien dari tingkat membuka mulut dan proses mengunyah 3. Kolaborasi untuk memberikan caiaran IV line Rasioanal : pemberian cairan perinfus diberikan pada klien dengan ketidakmampuan mengunyah atau tidak bisa makan lewat mulut sehingga kebutuhan nutrisi terpenuhi. 4. Kolaborasikan untuk pemasangan NGT bila perlu Rasional : NGT dapat berfungsi sebagai masuknya makanan juga untuk memberikan obat.

D. Pelaksanaan Pelaksanaan keperawatan merupakan kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Selama pelaksanaan kegiatan dapat bersifat mandiri dan kolaboratif. Selama melaksanakan kegiatan perlu diawasi dan dimonitor kemajuan kesehatan klien ( Santosa. NI, 1989;162 ).

E. Evaluasi Tahap evaluasi dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subyektif dan obyektif yang akan menunjukkan apakah tujuan pelayanan keperawatan sudah dicapai atau belum. Bila perlu langkah evaluasi ini merupakan langkah awal dari identifikasi dan analisa masalah selanjutnya ( Santosa.NI, 1989;162).

DAFTAR PUSTAKA

Jual, Lynda C. 1999. Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan. Penerjemah Monica Ester. EGC. Jakarta. Doengoes, Marylinn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah. Kariasa I Made. EGC. Jakarta. Santosa, N.I. 1989. Perawatan I (Dasar-Dasar Keperawatan). Depkes RI. Jakarta. www.google.com

Anda mungkin juga menyukai