Anda di halaman 1dari 5

PENCURIAN DI DESA PAGELARAN

Nama : Maulana Hisyam


NIM : 2212041086
Email : eqwar12@gmail.com

Corona Virus Diseaseatau yang lebih dikenal dengan COVID-19 telah menjadi pandemi
yang mewabah hampir di seluruh belahan dunia. Sejak pemerintah mengkonfirmasi perihal
adanya pasien positif COVID-19 di Indonesia pada Februari lalu, data statistik Kementerian
Kesehatan menunjukkan peningkatan jumlah pasien yang bertambah cukup signifikan setiap
harinya. Hal ini menjadikan pemerintah pusat hingga daerah merumuskan berbagai kebijakan
dan himbauan dalam rangka memutus persebaran COVID-19 di negeri ini. Tidak sedikit dari
kebijakan dan himbauan tersebut yang membuat negara-negara lain berhasil menekan angka
persebaran dan bertahan di tengah pandemi. Salah satu kebijakan pemerintah yang menyita
perhatian publik belakangan adalah keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia,
Yasonna Laoly, memberikan pembebasan dengan asimilasi dan integrasi kepada lebih dari
30.000 narapida umum dan anak di seluruh Indonesia melalui Keputusan Menteri (Kepmen)
Nomor M.HH-19.PK.01.04.04 Tahun 2020 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana
dan Anak melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Penanggulangan Penyebaran
COVID-19. Meski pelaksanaan peraturan tersebut sempat menuai polemik ketika Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia menyisipkan wacana pembebasan yang juga diperuntukkan
bagi narapidana kasus korupsi. Namun, setelah mendapat reaksi keras publik juga beberapa
lembaga serta organisasi masyarakat pemerhati hukum dan korupsi, wacana tersebut dibantah
dan diluruskan oleh Presiden Joko Widodo. Pada saat itu di Desa Pagelaran terjadi puluhan
bahkan ratusan rumah tangga yang terkena dampak dari bebasnya napi, yang mengakibatkan
setiap malam warga berjaga atau yang biasa kita sebut dengan “Ronda”
Pada saat sedang mengadakan kegiatan ronda, ada salah satu pemilik rumah berteriak yang
disebabkan di belakang rumahnya ada suara mencurigakan, dan akhirnya kita datangi rumah
tersebut, dan benar akhirnya, pemilik rumah tersebut kehilangan sebuah kambing yang
diternaknya, sontak para warga bergegas mencari pelaku pencurian pada saat itu, namun naas
yang terjadi saat itu pelaku tidak ditemukan dan berhasil menggondol sebuah kambing yang
sudah siap jual,
Sekitar 1 minggu berlalu terjadi pencurian dirumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya ke
rumah neneknya, karena neneknya waktu itu sudah tua dan sakit sakitan, di rumah korban
awal mula terlihat biasa saja, namun ketika warga yang ronda mendatangi rumah tersebut
karena pintuya terbuka sedangkan kejadian waktu itu sekitar pukul 22:00 WIB, sontak warga
yang ronda langsung memasuki rumah tersebut, dan telfon ke pemilik rumah,
Alhasil memang ada pencurian yang terjadi saat itu ketika korban sedang mengunjungi rumah
neneknya, dan beberapa barang dirumah korban juga menghilang seperti tv,laptop,dan uang
tunai sebesar 5 juta yang ditaruh didalam lemari saat itu.
Kekhawatiran publik dan peringatan pakar hukum terkait resiko pengambilan keputusan
pembebasan narapidana di tengah pandemi agaknya tidak berlebihan. Terbukti, beberapa hari
setelah pembebasan narapidana dilaksanakan,
Dampak negatif lain yang mendera masyarakat adalah munculnya narapidana asimilasi yang
kembali mengulang aksi kejahatannya. Menurut keterangan Kepala Biro Penerangan
Masyarakat Mabes Polri, Brigadir Jendral Argo Yuwono, tercatat 13 narapidana yang
mendapat hak asimilasi dan integrasi kembali berulah setelah bebas dari tahanan. Setidaknya
ada 4 kemungkinan yang menyebabkan narapidana asimilasi dan integrasi kembali berulah,
yaitu :

1. Tidak Ada Efek Jera

Hukuman yang dijalani narapidana cenderung bersifat represif dimana pelaku kejahatan akan
mendapatkan tekanan dan pengucilan dari keluarga, rekan hingga masyarakat. Sementara di
dalam Lembaga Pemasyarakatan, terkadang mereka dapat bergaul dengan baik antar
narapidana, jatah makan diberikan secara rutin serta hal-hal lain yang dirasa memudahkan
hidupnya sehingga sanksi penjara tidak memberikan efek jera.

2. Kebijakan yang Minim Persiapan

Umumnya, narapidana yang akan dibebaskan terlebih dahulu melalui proses moderasi guna
mempersiapkan mereka untuk beradaptasi dengan dunia luar atau masyarakat. Nantinya
ketika narapidana kembali ke masyakarat, akan ada norma-norma atau nilai-nilai ditengah
masyarakat yang harus diterima dan dilakukan. Sehingga mereka membutuhkan berbagai
persiapan, mulai dari persiapan hukum, budaya, ekonomi, fisik, mental hingga spritual.
Serangkaian persiapan inilah yang dimediasi oleh Lembaga Pemasyarakatan. Adanya
kebijakan yang terkesan tiba-tiba diberlakukan karena alasan kemanusiaan memunculkan
peluang belum terselesaikannya proses persiapan tersebut sehingga ketika kembali ke
masyarakat, mantan narapidana berpotensi melakukan ketidak patuhan atas norma dan nilai
yang ada.

3. Tidak Memiliki Pekerjaan dan Uang

Narapidana yang harus menjalani masa tahanan dalam kurun waktu tertentu menjadikan
mereka tidak memiliki pekerjaan atau mata pencaharian. Tidak jarang, narapidana dengan
taraf hidup menengah ke bawah tidak memiliki tabungan atau jaminan finansial. Ketika
mereka kembali ke masyarakat bukanlah perkara mudah untuk dapat diterima kembali pun
untuk langsung mendapat pekerjaan. Stigma negatif masyarakat seringkali menggiring
mantan narapidana dalam situasi terpepet hingga melakukan tindak kejahatan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya dan mendapat pengakuan kembali. Fakta ini diperparah
mengingat pandemi COVID-19 memberikan dampak yang sangat besar dan luas pada laju
perekonomian negara ini. Sehingga faktor pendorong untuk melakukan tindak kejahatan
menjadi lebih kuat.
4. Sifat yang Telah Mengakar

Selain faktor-faktor eksternal diatas, salah satu penyebab seseorang tidak merasakan efek jera
ketika mendapat hukuman adalah karena sifat bawaan dan karakter individu atau karena ia
hidup ditengah lingkungan dan teman-teman yang terbiasa melakukan tindak kejahatan.
Dengan begitu, ia akan merasa mendapat dukungan dan semakin menguatkan alasan
pembenar atas hal-hal buruk yang dilakukannya selama ini.

Pada beberapa kasus di berbagai belahan dunia termasuk juga Indonesia, penjara tidak
menjadi momok yang menakutkan. Sebaliknya, dengan segala fasilitas yang ada, penjara
menjadi ‘sekolah kriminal’. Lingkup pergaulan sesama narapidana tidak menutup
kemungkinan menghadirkan pembelajaran kriminalitas yang akhirnya menjadi modal sosial
kriminal saat mereka dibebaskan. Hal inilah yang hingga saat ini masih menjadi PR besar
bagi lembaga pemasyarakatan hingga pejabat pengambil kebijakan. Hal ini semakin
diperparah dengan stigma negatif masyarakat terhadap mantan narapidana, terlebih banyak
yang berakhir menjadi residivis karena tuntutan hidup.

Bila ditinjau dari aspek-aspek tersebut, tentu sisi musibah dari penerapan kebijakan ini
menjadi sangat dominan, walaupun telah dipertimbangkan sisi kemanusiaannya. Kendati
keputusan pemerintah ini menuai banyak kecaman, hingga kini total 38.822 narapidana telah
dibebaskan.[5] Masyarakat tentu menuntut pemerintah untuk bertanggung jawab atas hal ini.
Sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah sebagai pihak yang berwenang dalam mengambil
kebijakan untuk lebih selektif dan mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya pun
memastikan bahwa kebijakan yang akan ditetapkan merupakan langkah yang tepat dan dapat
dipertanggung jawabkan. Sebelum kebijakan tersebut ditetapkan seharusnya dilakukan
evaluasi terlebih dahulu dengan mempertimbangkan pula alternatif kebijakan selain
pembebasan dari tahanan.

Keputusan yang terkesan mendadak akan mengakibatkan kurangnya persiapan yang


dilakukan oleh pihak lembaga pemasayarakatan sebelum akhirnya narapidana diputuskan
untuk bebas. Sebagaimana mekanisme hukum yang berlaku, narapidana terlebih dahulu
diberikan konseling dan pembekalan untuk kembali hidup bermasyarakat yang bertujuan agar
narapidana yang dibebaskan mampu mengatasi problematika sosial yang mungkin terjadi
ketika kembali ke masyarakat. Dengan demikian, setidaknya narapidana akan memiliki
pegetahuan dan kemampuan untuk menghadapi stigma masyarakat terhadap dirinya. Hal ini
juga penting untuk membangun kepercayaan diri dan membentuk konsep diri positif untuk
bertahan hidup.

Narapidana juga manusia dan warga negara yang tentu membutuhkan persiapan baik secara
moral dan finansial. Untuk itu, pemerintah harus memastikan ketersediaan lapangan kerja
bagi yang bersangkutan, karena jika tidak maka narapidana yang bebas akan kesulitan untuk
bertahan hidup sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Terlebih tingginya
tuntutan kompetensi sebagai syarat bekerja juga rumitnya proses rekrutmen akan semakin
membebani di kemudian hari. Tak kalah penting, dukungan moral terutama dari keluarga
yang bersangkutan sangat diperlukan. Narapidana tentu butuh waktu untuk kembali berbaur
dengan masyarakat, terutama narapidana dengan masa tahanan yang cukup panjang.
Masyarakat sebaiknya mulai membangun stigma dan sikap positif yang mampu menjadi
stimulus bagi narapidana agar termotivasi untuk berkelakuan sesuai norma dalam
masyarakat.
Peraturan ini memiliki syarat hanya telah menjalani 1/2 (satu per dua) masa pidana untuk
Andikpas dan 2/3 (dua per tiga) bagi narapidana untuk pelaksanaan asimilasi yang
dilaksanakan dirumah. Pembebasan bersyarat dan pemberian asimilasi pada narapidana dan
andikpas ditengah pandemi Covid-19 tidak beralasan jika ditinjau dari perspektif
pemidanaan. Masa hukuman yang tidak dijalani secara penuh mengakibatkan tujuan dari
pemidanaan tersebut, yaitu pembinaan, perlindungan dan pemulihan kembali kepada keadaan
semula tidak terimplementasi secara penuh.

Hal tersebut berpotensi mengakibatkan narapidana dan andikpas tersebut belum siap untuk
berintegrasi dan berasimilasi kembali ke masyarakat. Terdapat program-program asimilasi
yang tidak dilaksanakan dengan baik salah satunya adalah pelatihan skill dan keterampilan
karena pembinaan Narapidana dan andik pas yang menjalani asimilasi hanya secara daring
dan program pembinaan keterampilan yang awalnya tatap muka tidak terlaksana dengan baik.

Dampak Sosio-Yuridis yang timbul dari kebijakan pembebasan bersyarat dan pemberian
asimilasi bagi narapidana dan andik setelah berada di masyarakat adalah pada narapidana itu
sendiri dimana secara sosial dan yuridis harus bisa menyesuiaikan diri ditengah lingkungan
masyarakat yang belum tentu menerima keberadaan mereka dan dampak sosial selanjutnya
dihadapi oleh masyarakat dimana banyak yang belum bisa menerima secara terbuka karena
resah bahwa narapidana hanya menjalani setengah dari hukumannya dan bisa melakukan
tindak pidana kembali.

seperti yang telah di bahas sebelumnya, Latar belakang paling utama dari kebijakan
pembebasan napi di dalam Lapas/rutan adalah over kapastitas (overcrowded).
Menerapkan physical distancing tentu sangat sulit dilakukan. Kepadatan ini pula yang
menyebabkan rentannya penyakit, tidak hanya Covid-19. Karenanya, secara subjektif
penulis berpandangan, melepaskan narapidana/anak yang sudah memenuhi ketentuan
waktu untuk mendapatkan asimilasi dan reintegrasi merupakan kebijakan yang tepat.

Akan tetapi, kontroversi muncul terhadap narapidana yang termasuk dalam kategori yang
diatur di dalam PP Nomor 99/2012 mengenai pemenuhan hak-hak warga binaan. Di
dalam PP ini terdapat ketentuan remisi, asimilasi, dan pembebasan bersyarat yang
berbeda antara narapidana umumnya dan narapidana korupsi, terorisme, hingga
narkotika. Bila untuk narapidana umum asimilasi sudah bisa dilakukan setelah menjalani
½ masa pidana, untuk narapidana khusus baru bisa diberikan setelah menjalani 2/3 masa
pidana.

Untuk reintegrasi (pembebasan bersyarat), narapidana umum sudah bisa diberikan ketika
sudah menjalani 2/3 masa pidana, sedangkan untuk narapidana khusus terdapat tambahan
yaitu telah menjalani asimilasi paling sedikit ½ dari sisa masa pidana yang wajib dijalani
dan bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar kejahatan. Untuk
narapidana khusus ini, baik untuk asimilasi maupun pembebasan bersyarat, harus
mendapatkan rekomendasi dari lembaga terkait (seperti BNN untuk narkotika atau BNPT
untuk terorisme).

Kepmen yang di keluarkan Menkumham 30 Maret yang lalu telah menyebutkan bahwa
yang akan dibebaskan adalah narapidana yang tidak diatur oleh PP Nomor 99/2012.
Artinya, tidak termasuk mereka yang dipidana penjara karena melakukan terorisme,
korupsi, narkotika, atau pelanggaran hak asasi manusia berat. Pertanyaannya, apakah
mereka yang masuk dalam kategori ini tidak bisa dilakukan kebijakan yang sama?

Kondisi di dalam lapas, khususnya komposisi narapidana, dapat dijadikan pertimbangan


untuk menjawab pertanyaan tersebut. Data per Februari 2020, dengan total narapidana
sebanyak 204.393 dan narapidana khusus 144.822 orang atau sebesar 70.85%. Khusus
untuk narapidana narkotika berjumlah 138.052 (67,54% dari total narapidana). Dari
jumlah narapidana narkotika ini, 91.312 (44,67%) adalah bandar atau pengedar 46.740
(22,86%) adalah pengguna. (Sumber data : Sindonews.com)
Berdasarkan data diatas, terlihat bahwa mayoritas jumlah narapidana justru berstatus
narapidana khusus. Karenanya, apabila mengurangi kepadatan adalah keharusan dalam
situasi pandemi Covid-19 ini, mengikutkan mereka yang diatur di dalam PP Nomor
99/2012 adalah keharusan.

Profil Penulis

Maulana Hisyam 21 tahun yang hobi bermain musik lokal maupun internasional
dan suka healing untuk menenangkan pikiran ditengah pahitnyamenjalani kehidupan

Anda mungkin juga menyukai