Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

LANDASAN MASYARAKAT MADANI BERDASARKAN


ALQURAN DAN HADITS

Disusun Oleh

AL IKHLAS
NIM: 0301173529

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2023
KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah atas segala karunia yang senantiasa diberikan
kepada kita semua, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah sederhana ini
dengan judul “Landasan Masyarakat Madani Berdasarkan Alquran dan Hadits”.
Shalawat dan salam pemakalah sampaikan kepada Rosul pilihan junjungan kita
Nabi Muhammad SAW pembawa rahmat untuk alam semesta.
Dalam makalah ini, tentunya banyak pihak yang telah memberikan
dukungan baik moril maupun materil. Oleh karena itu saya ingin menyampaikan
ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan masukan-
masukan dan informasi serta referensi, sehingga tersusunlah makalah ini.
Dalam penyusunan makalah ini saya merasa masih banyak kekurangan-
kekurangan baik dalam teknik penulisan maupun materi, maka saran dan kritik
yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi penyempurnaan
selanjutnya. Harapan saya semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi saya
khususnya dan pembaca pada umumnya.

Medan, 07 Maret 2023


Pemakalah

Al Ikhlas
NIM: 0301173529

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................. 2
A. Konsep Masyarakat Madani .......................................... 2
B. Landasan Masyarakat Madani Dalam Perspektif
Al-Quran dan Hadits ..................................................... 4
BAB III PENUTUP ........................................................................... 11
A. Kesimpulan ................................................................... 11
B. Saran.............................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 12

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Term Civil Society atau “Masyarakat Madani”, merupakan wacana dan
fokus utama bagi masyarakat dunia sampai saat ini. Apalagi di abad ke-21 ini,
kebutuhan dan tuntutan atas kehadiran bangunan masyarakat madani,
bersamaan dengan maraknya isu demokratisasi dan HAM. Lalu yang menjadi
pertanyaan adalah, sejauhmanakah Islam merespon masyarakat tersebut. Islam
yang ajaran dasarnya Alquran dan hadits, adalah shālih li kulli zamān wa
makān (ajaran Islam senantiasa relevan dengan situasi dan kondisi). Karena
demikian halnya, maka jelas bahwa Alquran dan hadits memiliki konsep
tersendiri tentang masyarakat madani.
Meski Alquran tidak menyebutkan secara langsung bentuk masyarakat
yang ideal namun tetap memberikan arahan atau petunjuk mengenai prinsip-
prinsip dasar dan pilar-pilar yang terkandung dalam sebuah masyarakat yang baik.
Secara faktual, sebagai cerminan masyarakat yang ideal kita dapat meneladani
perjuangan Rasulullah mendirikan dan menumbuhkembangkan konsep
masyarakat madani di Madinah.
Islam merupakan agama yang universal (rahmatan lil-alamin), maka nilai-
nilai Islam harus mendatangkan kebaikan bagi alam semesta. Prinsip kerahmatan
dan kemestaan ini menuntut adanya upaya universalisai nilai-nilai Islam untuk
menjadi nilai-nilai nasional ataupun global.1

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka yang menjadi rumusan
masalah dalam penulisan makalah ini adalah, yaitu:
1. Apa yang dimaksud dengan masyarakat madani?
2. Bagaimanakah masyarakat madani dalam alquran dan hadits?

1
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Jakarta:
Logos,2002, hal. 97

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Masyarakat Madani


Terdapat kata kunci yang bisa menghampiri kita pada konsep masyarakat
madani (civil society), yakni kata “ummah” dan “madinah”. Dua kata kunci yang
memiliki eksistensi kualitatif inilah yang menjadi nilai-nilai dasar bagi
terbentuknya masyarakat madani. Kata “ummah” misalnya, yang biasanya
dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu, seperti dalam istilah-istilah
“ummah Islamiyah, ummah Muhammadiyah, khaira ummah dan lain-lain,
merupakan penata sosial utama yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW
segera setalah hijrah di Madinah.2
“Ummah” dalam bahasa arab menunjukan pengertian komunitas
keagamaan tertentu, yaitu komunitas yang mempunyai keyakinan keagamaan
yang sama. Secara umum, seperti disyaratkan al-Qur‟an, “ummah” menunjukan
suatu komunitas yang mempunyai basis solidaritas tertentu atas dasar komitmen
keagamaan, etnis, dan moralitas.3 Penyebutan kata “ummah” dalam al-Qur‟an dan
al-Hadis dirangkaikan dengan sifat dan kualitas tertentu. Hal ini menunjukan
bahwa “ummah”, sebagai komunitas sosial kualitatif, mempunyai nilai relatif.
Artinya bahwa perwujudan “ummah” dalam keragaman realitas sosial budaya
kaum muslimin tidak mungkin seragam dan bercorak tunggal. Perwujudan
“ummah” akan sangat tergantung kepada realitas sosial budaya tertentu.
Hal inilah yang tersirat dalam konsep “madinah”, satu kata kunci yang lain
yang terjalin erat dalam pembangunan masyarakat madani. Jika konsep “ummah”
merupakan piranti lunak (software) dari cita-cita sosial Islam (masyarakat
madani), maka konsep “madinah” merupakan piranti kerasnya (hardware).
“Madinah” yang berarti kota berhubungan dan mempunyai akar kata yang sama
dengan kata „tamaddun” yang berarti peradaban. Perpaduan pengertian ini
membawa suatu persepsi ideal bahwa “madinah” adalah lambang peradaban yang
kosmopolit. Bukan suatu kebetulan bahwa kata “madinah” juga merupakan kata

2
Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir. Surabaya:Pustaka Progessif, 1984, hal.
95
3
Ibid., hal. 95

2
benda tempat dari kata “din‟ (agama). Korelasi demikian menunjukan bahwa cita-
cita ideal agama (Islam) adalah terwujudnya suatu masyarakat kosmopolitan yang
berperadaban tinggi sebagai struktur fisik dari umat Islam. 4
Dengan berdasar pada pengertian “masyarakat” dan “madani” yang
telah diuraikan maka istilah “masyarakat madinah” dapat diartikan sebagai
kumpulan manusia dalam satu tempat (daerah/wilayah) di mereka hidup secara
ideal dan taat pada aturan-aturan hukum, serta tatanan kemasyarakatan yang
telah di-tetapkan. Dalam konsep umum, masyarakat madani tersebut sering
disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau al-mujtama‟ al-
madani, yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat
yang berkeadilan, dan berperadaban”.
Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat madani tersebut
dikonteks-kan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr yang secara
harfiyah diarti-kan negeri yang baik dalam keridhaan Allah. Istilah yang
digunakan Alquran sejalan dengan makna masyarakat yang ideal, dan
masyarakat yang ideal itu berada dalam ampunan dan keridahan-Nya.
“Masyarakat ideal” inilah yang dimaksud dengan “masyarakat madani”.
Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat madani sebagai proses
penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai kebijakan bersama.
Dawam menjelaskan, dasar utama dari masyarakat madani adalah persatuan dan
integrasi sosial yang didasarkan pada suatu pedoman hidup, menghindarkan diri
dari konflik dan permusuhan yang menyebabkan perpecahan dan hidup dalam
suatu persaudaraan.5 Masyarakat Madani pada prinsipnya memiliki multimakna,
yaitu masyarakat yang demokratis, menjunjung tinggi etika dan moralitas,
transparan, toleransi, berpotensi, aspiratif, bermotivasi, berpartisipasi, konsisten
memiliki bandingan, mampu berkoordinasi, sederhana, sinkron, integral,
mengakui, emansipasi, dan hak asasi, namun yang paling dominan adalah

4
Op.Cit. Syamsuddin, 2002, hal. 98
5
Komaruddin Hidayat dan Azyumari Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani.Jakarta : ICCE UIN Hidayatullah Jakarta dan The Asia Foundation,
2006, hal. 302-325.

3
masyarakat yang demokratis.6 Masyarakat madani adalah kelembagaan sosial
yang akan melindungi warga negara dari perwujudan kekuasaan negara yang
berlebihan. Bahkan Masyarakat madani tiang utama kehidupan politik yang
demokratis. Sebab masyarakat madani tidak saja melindungi warga negara dalam
berhadapan dengan negara, tetapi juga merumuskan dan menyuarakan aspirasi
masyarakat.7

B. Landasan Masyarakat Madani Dalam Perspektif Al-Quran dan Hadits


Di antara Alquran kata madinah dipergunakan 17 kali. Dengan menelusuri
ayat-ayat tersebut dapat diketahui bahwa kata ( ) tidaklah khusus merujuk
kepada kota Madinah Rasul saw. (QS. Al-Taubah: 101,120:QS. Al-Ahzab: 60;QS
Al-Munafiqun:8), tetapi juga merujuk kepada ibu kota Mesir zaman Musa (QS
Al-A‟raf:123; QS Al-Qashash: 15,18 dan 20;QS Al-Hijr:67); kota Diksus atau
Antakiah (QS Al-Kahf:82); ibu kota Tsamud (QS Al-Naml:48); ini memberikan
isyarat bahwa makna madaniah dapat ditelusuri lebuh jauh dengan memperhatikan
makna dasarnya. Dalam Alquran ditemukan pula kata madyan yang berakar kata
dari kata yang bermakna „‟menaati, melayani, mambalas, memberi utang‟‟ dan
menjadi sumber kata din (aturan agama) dan dayn (utang). Menilik bentuknya,
kata tersebut adalah isim makan (nama yang menunjukkan tempat), dan hal ini
dapat diartikan dengan makna „‟tempat komunitas yang mengikuti dan menaati
aturan-aturan atau agama‟‟. Kata Din sendiri dalam Alquran tidak dikhususkan
dengan konsep Islam, tetapi juga mencakup aturan-aturan yang hidup dan ditaati
dalam masyarakat. Konsep masyarakat madani sebagaimana yang telah
ditekankan oleh Alquran, dan telah dirumuskan pada uraian terdahulu adalah
masyarakat yang terbaik (khairah ummah), masyarakat yang seimbang (ummatan
wasathan), dan masyarakat moderat (ummah muqtashidah). Berikut ini dikutip
ayat-ayat yang menggunakan istilah-istilah tersebut :8

6
H.A.R Tilaar. Pendidikan, Kebudayaan Dan Masyarakat Madani Indonesia. Bandung :
PT Remaja Rosdakarya dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation, 2002
hal. 5
7
M. Dawan Rahardjo. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan Perubahan
Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999. hal. xxiii
8
Abdul Haris Mubarak. 2012. Masyarakat Madani Dalam Alquran. Dikutip dari
http://harismubarak.blogspot.com/2012/11/masyarakat-madani-dalam-alquran.html.
diakses pada hari Jumat, 28 September 2018 Pukul 10.15

4
1. Khairah ummah dalam QS. Ali Imran (3):110, yakni ;

        

           

    


Artinya :
Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,
menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan
beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih
baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan
mereka adalah orang-orang yang fasik.
2. Ummatan wasathan dalam QS. al-Baqarah (2): 143, yakni ;

              

         


Artinya :
Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata:
"Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul
Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?" Katakanlah:
"Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada
siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus".
3. Ummah Muqtashidah dalam QS. al-Maidah (5): 66, yakni ;

           

             


Artinya :
Dan Sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat
dan Injil dan (Al Quran) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya,
niscaya mereka akan mendapat makanan dari atas, dan dari bawah kaki

5
mereka diantara mereka ada golongan yang pertengahan, dan Alangkah
buruknya apa yang dikerjakan oleh kebanyakan mereka.
Konsep khairah ummah sebagaimana dalam QS. Ali Imran (3):110, adalah
model masyarakat terbaik dan yang ideal, ditugasi untuk mengembang beberapa
fungsi profetik, terutama senantiasa menyerukan kebaikan dan mencegah
kemungkaran, serta tidak bercerai berai dan berselisih setelah memperoleh
keterangan yang jelas. Alquran memberi petunjuk beberapa mekanisme damai
untuk memecahkan problem internal, yaitu metode syūrah (musyawarah), ishlāh
(rekonsiliasi), dan berdakwah dengan cara al-hikmah wa al-mujādalah bi allati
hiya ahsan (serua dengan kebijaksanaan serta perundingan dengan cara yang lebih
baik).
Konsep ummatan wasathan sebagaimana dalam QS. al-Baqarah (2):143,
adalah masyarakat yang seimbang. Masyarakat seimbang adalah posisi di tengah-
tengah (wastah), yakni menggabungkan yang terbaik dari segala yang
bertentangan. Penempatan posisi tengah itu bukan hanya dengan pernyataan
negasi, misalnya, bukan kapitalisme dan bukan pula sosialisme.
Konsep ummah muqtashidah isebagai dalam QS. al-Maidah (5):66, adalah
masyarakat yang moderat, yakni entitas tertentu di kalangan ahli kitab, dan posisi
ummah disitu adalah minoritas. Maksudnya, adalah kelompok kecil dalam
masyarakat yang tetap setia menebarkan kebaikan dan perbaikan serta
meminimalisir kerusakan. Kelihatan bahwa makna ummah muqtashidah ini
hampir identik dengan ummah wasath, karena keduanya mengandung makna
moderat dan ketidakterjebakan pada titik ekstrim. Keduanya juga berfungsi
memelhara konsistensi penerapan nilai-nilai utama di tengah pelbagai komunitas
sekitar yang telah menyimpang. Bedanya, cakupan ummah muqtashid adalah sub
komunitas seagama (Yahudi atau Nashrani), sedangkan ummah wasath adalah
komunitas seagama itu sendiri, yakni Islam.
Konsep masyarakat madani yang digambarkan di atas, sungguh telah
terpraktik dalam kenegaraan di Madinah yang diplopori oleh Nabi saw. Konsep
ini, bermula sesaat setelah hijrahnya Nabi saw dan para sahabatnya yang ditandai
dengan adanya Sahifah ay Watsiqah Madīnah atau Madinah Charter yang dalam
bahasa Indonesia diartikan sebagai “Piagam Madinah”

6
Perujukan terhadap masyarakat Madinah sebagai tipikal masyarakat ideal
bukan pada peniruan struktur masyarakatnya, tapi pada sifat-sifat yang menghiasi
masyarakat ideal ini. Seperti, pelaksanaan amar ma‟ruf nahi munkar yang sejalan
dengan petunjuk Ilahi, maupun persatuan yang kesatuan yang ditunjuk oleh ayat
sebelumnya (QS. Ali Imran [3]:105).

            

  


Artinya :
Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah
orang-orang yang mendapat siksa yang berat. (QS. Ali Imran [3]:105)
Adapun cara pelaksanaan amar ma‟ruf nahi mungkar yang direstui Ilahi
adalah dengan hikmah, nasehat, dan tutur kata yang baik sebagaimana yang
tercermin dalam QS an-Nahl [16]:125.

             

           
Artinya :
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS an-
Nahl [16]:125)
Rasulullah Saw telah memberikan contoh dan tuntuan demi terciptanya
masyarakat madani sebagai berikut:
1. Cinta sesama
Cinta adalah sesuatu yang niscaya ada dalam peri kehidupan makhluk
berakal seperti manusia baik berbangsa, bernegara, maupun dalam kehidupan
beragama. Rasulullah SAW sebagai suri tauladan agung bagi manusia telah

7
menjelaskan tentang betapa pentingnya cinta dan kasih sayang terhadap sesama
insan dalam hadits berikut ini:
َّ َّٗ‫صه‬
ُ‫َّللا‬ َّ ٙ
َ ِّٙ ‫َّللاُ َع ُُّْ َع ٍْ انَُّ ِب‬ َ ‫ض‬ ِ ‫س َر‬ ٍ َََ‫َٗ َع ٍْ ُش ْعبَتَ َع ٍْ قَتَا َدةَ َع ٍْ أ‬ٛ ْ‫َح‬ٚ ‫َح َّذثََُا ُي َس َّذ ٌد قَا َل َح َّذثََُا‬
َ‫ ِّ َٔ َسهَّ َى قَا َل ال‬ْٛ َ‫َّللاُ َعه‬
َّ َّٗ‫صه‬
َ ِّٙ ‫س َع ٍْ انَُّ ِب‬ٍ َََ‫ ٍٍْ ا ْن ًُ َع ِّه ِى قَا َل َح َّذثََُا قَتَا َدةُ َع ٍْ أ‬ٛ‫ ِّ َٔ َسهَّ َى َٔ َع ٍْ ُح َس‬ْٛ َ‫َعه‬
ِ ْ‫ب ألَ ِِ ِخي ِه َما يُ ِح ُّب ِلنَف‬
ٗ‫سه ِ) رٔاِ انبخار٘ ٔيسهى ٔأحًذ ٔانُسائ‬ َّ ‫يُ ْؤ ِمنُ أَ َح ُد ُك ْم َحتَّى يُ ِح‬
Artinya:
“Musaddad telah menceritakan kepada kami, ia berkata bahwa Yahya
telah menceritakan kepada kami dari Syu‟bah dari Qatadah dari Anas r.a berkata
bahwa Nabi saw. telah bersabda : “Tidaklah termasuk beriman seseorang di
antara kamu sehingga mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya
sendiri.” (H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Nasa‟i)9
Hadis di atas menegaskan bahwa di antara ciri kesempurnaan iman
seseorang adalah bahwa ia mencintai sesamanya seperti mencintai dirinya sendiri.
Kecintaan yang dimaksudkan di sini termasuk di dalam rasa bahagia jika melihat
sesamanya muslim mendapatkan kebaikan yang ia senangi, dan tidak senang jika
sesamanya muslim mendapat kesulitan dan musibah yang ia sendiri
membencinya. Ketiadaan sifat seperti itu menurut hadis di atas menunjukkan
kurang atau lemahnya tingkat keimanan seseorang.
Hadis di atas tidaklah berarti bahwa seorang mu‟min yang tidak mencintai
saudaranya seperti mencintai dirinya berarti tidak beriman sama sekali.
Pernyataan hadis di atas mengandung makna “tidak sempurna keimanan
seseorang” jika tidak mencintai saudaranya seperti mencintai dirinya sendiri. Jadi,
Prinsip tersebut mengantar kita untuk ikut merasakan apa yang dirasakan oleh
saudara sesama muslim yang dalam hadis lain diibaratkan sebagai satu bangunan.

2. Tidak Mengganggu Orang Lain


Seorang muslim yang baik keislamannya adalah orang yang tidak
mengganggu orang lain. Artinya setiap gerak dan tingkah lakunya adalah tidak
menghalangi hak-hak orang lain, lebih-lebih sampai mendzaliminya. Rasulullah
menjelaskan dalam hadisnya sebagai berikut:

9
Arba‟in Nawawi, Syarah Ibnu Daqiqil, Hadits No. 13, Bulughul Maram, Hadits No.
1487dan dalam Shohih Muslim Hadist No.36

8
ٍْ ‫ خَانِ ٍذ َع‬ٙ‫ َم ب ٍِْ أَ ِب‬ٛ‫اع‬
ِ ًَ ‫ ان َّسفَ ِر َٔ ِإ ْس‬ٙ‫َّللاِ ب ٍِْ أَ ِب‬
َّ ‫س قَا َل َح َّذثََُا ُش ْعبَتُ َع ٍْ َع ْب ِذ‬
ٍ ‫َا‬ٚ‫ ِإ‬ٙ‫َح َّذثََُا آ َد ُو ب ٍُْ أَ ِب‬
ٍْ ‫ ِّ َٔ َسهَّ َى قَا َل ا ْن ًُ ْسهِ ُى َي‬ْٛ َ‫َّللاُ َعه‬
َّ َّٗ‫صه‬ َّ ٙ
َ ِّٙ ‫َّللاُ َعُُْٓ ًَا َع ٍْ انَُّ ِب‬ َ ‫ض‬ َّ ‫ َع ٍْ َع ْب ِذ‬ِّٙ ‫ان َّش ْع ِب‬
ِ ‫َّللاِ ب ٍِْ َع ًْ ٍرٔ َر‬
َّ َََٗٓ ‫اج ُر َي ٍْ َْ َج َر َيا‬
٘‫ ُ) رٔاِ انبخار‬.ُّْ ‫َّللاُ َع‬ ِ ًَُٓ ‫َ ِذ ِِ َٔا ْن‬َٚٔ ِّ َِ‫ٌٕ ِي ٍْ نِ َسا‬
َ ًُ ِ‫َسهِ َى ا ْن ًُ ْسه‬
ٗ‫ٔأبٕدأدٔانُسا ئ‬
Artinya :
“Adam bin Abi Isa telah mengabarkan kepada kami, ia berkata bahwa
Syu‟bah telah mengabarkan kepada kami dari „Abdullah bin Abi al-Saffar dan
Isma‟il bin Abi Khalid dari al-Sya‟biy dari „Abdullah bin Umar r.a. berkata
bahwa Nabi SAW. telah bersabda: “Seorang muslim adalah orang yang orang-
orang Islam (yang lain) selamat dari lisan dan tangannya dan orang yang
berhijrah adalah orang yang hijrah dari apa yang telah dilarang Allah SWT.
(H.R. Bukhori , Muslim dan Ahmad)10
Pesan pertama yang tekandung dalam hadis di atas adalah memberi
motivasi agar umat Islam senantiasa berlaku baik terhadap sesamanya muslim dan
tidak menyakitinya, baik secara fisik maupun hati. Mengingat pentingnya
hubungan baik dengan sesama muslim, maka Rasulullah SAW. Menggambarkan
nya sebagai ciri tingkat keislaman seseorang. Orang yang tidak memberikan rasa
tenang dan nyaman terhadap sesamanya muslim dikategorikan orang muslim
sejati. Inilah ciri-ciri muslim yang tidak mengganggu orang lain.
Oleh sebab itu, seorang muslim yang sejati harus mampu menjaga dirinya
sehingga orang lain selamat dari kezaliman atau perbuatan jelek tangan dan
mulutnya. Dengan kata lain, ia harus berusaha agar saudaranya sesama muslim
tidak merasa disakiti oleh tangannya, baik fisik seperti dengan memukulnya,
merusak harta bendanya, dan lain-lain ataupun dengan lisannya.
Pesan Kedua, secara tekstual hadis di atas menyebutkan bahwa hijrah
yang sesungguhnya adalah meninggalkan apa yang dimurkai Allah swt.
Pengertian itu pulalah yang terkandung dalam hijrah Rasulullah saw., yaitu
meninggalkan tanah tumpah darahnya karena mencari daerah aman yang dapat
menjamin terlaksananya ketaatan kepada Allah swt. Oleh sebab itu, orang yang
meninggalkan kampung halaman dan berpindah ke daerah yang tidak ada jaminan

10
Shahih Muslim Hadist No.33

9
bagi terlaksananya ketaatan kepada Allah tidak termasuk dalam pengertian hijrah
dalam pengertian syariat, meskipun secara bahasa mengandung pengertian
tersebut.

3. Realisasi Iman Dalam Menghadapi Tamu, Tetangga, dan Bertutur


Kata
Seperti telah disebutkan oleh Sayyidina Ali bin Abi Talib K.w. : “Iman itu
ucapan dengan lidah dan kepercayaan yang benar dengan hati dan perbuatan
dengan anggota”. Konsekuensi bagi orang yang mengaku dirinya telah beriman
Kepada Allah SWT, adalah keharusan untuk membuktikan keimanannya kepada
Allah SWT. Rasulullah menyinggung hal ini dalam hadis berikut:
‫ َرةَ قَا َل‬ْٚ ‫ ُْ َر‬ٙ‫ح َع ٍْ أَ ِب‬ َ ٙ‫ ٍٍ َع ٍْ أَ ِب‬ٛ‫ص‬
ٍ ِ‫صان‬ ِ ‫ َح‬ٙ‫ص َع ٍْ أَ ِب‬ ِ َٕ ْ‫ ٍذ َح َّذثََُا أَبُٕ األَح‬ٛ‫بَتُ ب ٍُْ َس ِع‬ْٛ َ‫َح َّذثََُا قُت‬
ٌ‫ا‬ ِ ‫َ ْٕ ِو‬ٛ‫اَلل َٔ ْان‬
َ ‫ ُْؤ ِر َجا َرُِ َٔ َي ٍْ َك‬ٚ َ‫خ ِر فَال‬ٜ‫ا‬ ِ َّ ‫ ُْؤ ِي ٍُ ِب‬ٚ ٌ‫ا‬
َ ‫ ِّ َٔ َسهَّ َى َي ٍْ َك‬ْٛ َ‫َّللاُ َعه‬
َّ َّٗ‫صه‬ ِ َّ ‫قَا َل َرسُٕ ُل‬
َ ‫َّللا‬
ْٔ َ‫ْرًا أ‬ٛ‫َقُمْ َخ‬ٛ‫خ ِر فَ ْه‬ٜ‫ا‬
ِ ‫َ ْٕ ِو‬ٛ‫اَلل َٔ ْان‬
ِ َّ ‫ ُْؤ ِي ٍُ ِب‬ٚ ٌ‫ا‬ َ ‫ُ ْك ِر ْو‬ٛ‫ ِخ ِر فَ ْه‬ٜ‫َ ْٕ ِو ا‬ٛ‫اَلل َٔ ْان‬
َ ‫فَُّ َٔ َي ٍْ َك‬ْٛ ‫ض‬ ِ َّ ‫ ُْؤ ِي ٍُ ِب‬ٚ
ٖ‫ت ) رٔاِ انبخار‬ ْ ًُ ْ‫َص‬ٛ‫ِن‬
Artinya :
Qutaibah bin Sa‟id telah menceritakan kepada kami, Abu al-Ahwash telah
menceritakan kepada kami, dari Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah
r.a, ia berkata: Rasulullah saw. telah bersabda: “Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah memuliakan tamunya; barangsiapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berbuat baik kepada
tetangganya, dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah berkata baik atau diam” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)11
Hadis di atas menyebutkan tiga di antara sekian banyak ciri dan sekaligus
konsekuensi dari pengakuan keimanan seseorang kepada Allah SWT. dan hari
akhirat. Ciri-ciri orang beriman yang disebutkan dalam hadis di atas, adakalanya
terkait dengan hak-hak Allah SWT., yaitu melaksanakan kewajiban-kewajiban
dan meninggalkan larangan-larangan, seperti diam atau berkata baik, dan
adakalanya terkait dengan hak-hak hamba-Nya, seperti tidak menyakiti tetangga
dan memuliakan tamu.

11
Shahih Al-Bukhari Hadist no. 6018 dan Shahih Muslim hadist no. 39

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasar pada permasalahan yang telah ditetapkan, dan kaitannya dengan
uraian-uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan kesimpulan bahwa
Masyarakat madani secara umum adalah sekumpulan orang dalam suatu bangsa
atau negara di mana mereka hidup secara ideal dan taat pada aturan-aturan hukum,
serta tatanan kemasyarakatan yang telah ditetapkan. Masyarakat seperti ini sering
disebut dengan istilah civil society (masyarakat sipil) atau al-mujtama‟ al-madani,
yang pengertiannya selalu mengacu pada “pola hidup masyarakat yang tebaik,
berkeadilan, dan berperadaban”. Dalam istilah Alquran, kehidupan masyarakat
madani tersebut dikontekskan dengan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafūr.

B. Saran
Dalam rangka membangun “masyarakat madani modern”, meneladani
Nabi bukan hanya penampilan fisik belaka, tapi sikap yang beliau peragakan saat
berhubungan dengan sesama umat Islam ataupun dengan umat lain, seperti
menjaga persatuan umat Islam, menghormati dan tidak meremehkan kelompok
lain, berlaku adil kepada siapa saja, tidak melakukan pemaksaan agama, dan sifat-
sifat luhur lainnya.
Kita juga harus meneladani sikap kaum Muslim awal yang tidak
mendikotomikan antara kehidupan dunia dan akhirat. Mereka tidak meninggalkan
dunia untuk akhiratnya dan tidak meninggalkan akhirat untuk dunianya. Mereka
bersikap seimbang (tawassuth) dalam mengejar kebahagiaan dunia dan akhirat.
Jika sikap yang melekat pada masyarakat Madinah mampu diteladani umat Islam
saat ini, maka kebangkitan Islam hanya menunggu waktu saja.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Haris Mubarak. 2012. Masyarakat Madani Dalam Alquran. Dikutip dari
http://harismubarak.blogspot.com/2012/11/masyarakat-madani-dalam-
alquran.html
Ahmad Warson al-Munawir, Kamus al-Munawir. Surabaya : Pustaka Progessif,
1984.
Arba‟in Nawawi, Syarah Ibnu Daqiqil, Hadits No. 13, Bulughul Maram, Hadits
No. 1487dan dalam Shohih Muslim Hadist No.36
H.A.R Tilaar. Pendidikan, Kebudayaan dan Masyarakat Madani Indonesia.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan
The Ford Foundation, 2002.
Komaruddin Hidayat dan Azyumari Azra. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan
Masyarakat Madani.Jakarta : ICCE UIN Hidayatullah Jakarta dan The
Asia Foundation, 2006.
M. Dawan Rahardjo. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah dan
Perubahan Sosial. Jakarta: LP3ES, 1999.
Shahih Al-Bukhari Hadist no. 6018 dan Shahih Muslim hadist no. 39
Syamsuddin, M. Din, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani,
Jakarta: Logos, 2002.

12

Anda mungkin juga menyukai