Anda di halaman 1dari 19

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PEMECAHAN MASALAH SELF-

EFFICACY UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI PENALARAN DAN


KOMUNIKASI MATEMATIK SISWA KELAS VII SMPN 1 TOLITOLI

INDARWATI

No. Stb A23118089

Kelas D

PROPOSAL

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif

Dosen Pengampuh:

Dr. Dasa Ismaimuza, M.Si

Bakri Mallo, S.Pd, M.Si

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA

JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS TADULAKO

TAHUN 2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendidikan adalah suatu proses pembelajaran setiap manusia yang dilakukan oleh keluarga,

masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan pengajaran, dan latihan yang berlangsung di dalam

maupun di luar sekolah sebagai usaha membentuk manusia/individu yang berkepribadian dan

bertanggung jawab. Peningkatan kualitas pendidikan serta pemberdayaan pendidikan merupakan

strategi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, karena pendidikan yang berkualitas

dapat menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan yang memadai. Kualitas

pendidikan di Indonesia perlu ditingkatan dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia

agar memiliki keterampilan, sikap dan pengetahuan yang berorientasi pada penguasaan ilmu

pengetahuan dan teknologi. Pentingnya penguasaan ilmu dan teknologi diharapakan dapat

memajukan kualitas pendidikan di Indonesia.

Matematika adalah studi tentang pola dan hubungan, cara berpikir dengan strategi organisasi,

analisis dan sintesis, seni, bahasa, dan alat untuk memecahkan masalah-masalah abstrak dan

praktis. Matematika sebagai salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan

dasar dan menengah diperlukan penguasaan sejak dini, sehingga dapat membekali perta didik

untuk meningkatkan kemampuan (kompetensi) berpikir logis, analisis, sistematis, kritis, dan

kreatif serta kemampuan bekerja sama (Syaharuddin, 2016 : 16). Matematika merupakan jantung

dari segala ilmu dalam dunia pendidikan. Perkembangan teknologi yang semakin pesat

mengharuskan siswa harus memiliki kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif,

bernalar dan kemampuan bekerjasama yang efektif. Menurut penelitian Agustiati tahun 2016

dengan belajar matematika keterampilan berpikir siswa akan meningkat karena pola berpikir
yang dikembangkan membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematik, logis dan kreatif

sehingga siswa akan mampu dengan cepat menarik kesimpulan dari berbagai fakta atau data

yang mereka dapatkan atau ketahui. Berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan

antara lain minimnya sarana prasarana pendidikan yang memadai dan kurangnya sumber daya

manusia dalam dunia pendidikan. Permasalahan-permasalahan yang timbul dapat diselesaikan

dengan baik apabila siswa juga memiliki kemampuan penalaran yang baik dalam pemecahan

masalah. Sejalan dengan yang dikemukakan Wahyudin (dalam Agustiati, 2016 : 24) yang dalam

penelitiannya menemukan bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa

gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika akibat siswa kurang

menggunakan nalar dan logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang

diberikan.

Sutiarso dalam Upu (yang dikutip Basir 2015) menegaskan bahwa siswa pada umumnya

cenderung hanya menerima transfer pengetahuan dari guru dan guru pada umumnya hanya

sekedar menyampaikan informasi pengetahuan tanpa melibatkan siswa dalam proses yang aktif

dan generatif. Ini menggambarkan bahwa siswa bagaikan kaleng kosong yang dapat diisi dengan

cara dan kehendak guru sebagai penyampaian ilmu pengetahuan. Dengan kata lain bahwa siswa

harus selalu mengikuti kehendak guru di kelas secara keseluruhan. Kondisi seperti ini kurang

menguntungkan dalam perkembangan dunia pendidikan matematika di Indonesia pada masa

akan datang.

Pentingnya kemampuan pemecahan masalah yang tergolong kemampuan berpikir tingkat

tinggi ini belum didukung dengan proses belajar mengajar (PBM) yang tepat. Pembelajaran yang

dilakukan pada umumnya masih berfokus pada pengembangan kemampuan berfikir tingkat

rendah sehingga pembelajaran hanya berupa transfer pengetahuan saja dimana siswa cenderung
pasif dengan belajar hapalan yang bersifat prosedural (pembelajaran konvensional). Shadiq

(2007), menyatakan bahwa pada umumnya PBM yang terjadi di kelas kurang meningkatkan

kemampuan berpikir tingkat tinggi, hal tersebut terlihat berdasarkan:

1) Penelitian dari Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada

tahun 2003 yang menyatakan bahwa penekanan pembelajaran di Indonesia lebih banyak

pada penugasan keterampilan dasar, hanya sedikit penekanan untuk penerapan

matematika dalam konteks kehidupan seharihari.

2) Pembelajaran matematika saat ini lebih mengacu pada tujuan jangka pendek (tujuan

untuk lulus ujian nasioal), pemberian soal lebih dominan pada soal-soal rutin dan lebih

terfokus pada kemampuan prosedural.

3) Waktu yang digunakan siswa untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah

hanya 32% dari seluruh waktu PBM dan hampir seluruh guru memberikan soal rutin dan

kurang menantang.

Kondisi ini menyebabkan kemampuan pemecahan masalah sebagian besar siswa di Indonesia

masih rendah. Depdiknas (2003: 1) menyatakan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu

menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan

dipergunakan/ dimanfaatkan. Siswa memiliki kesulitan untuk memahami konsep akademik

sebagaimana mereka biasa diajarkan, yaitu menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode

ceramah, padahal mereka sangat butuh untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan

dengan masalah kehidupan sehari-hari.

Kaitannya dengan pemecahan masalah self-efficacy memiliki fungsi sebagai alat untuk

menilai keberhasilan siswa dalam menyelesaiakan soal-soal pemecahan masalah. Betz & Hacket

(Pajares & Miller,dkk 1994: 194) matematika self-efficacy baru-baru ini lebih menilai setiap
individu dalam penghakiman atas kemampuan mereka untuk memecahkan masalah matematika

tertentu dan melakukan tugas-tugas matematika. Kemudian menurut pendapat Liu Koirala dkk,

(2009: 1) siswa yang mempunyai sikap percaya diri, bahwa matematika adalah penting untuk

kehidupan mereka dan membantu meraka dalam memecahkan masalah matematika dengan

menyenangkan, meskipun merekapercaya bahwa matematika adalah penting bagi mereka, tetapi

mereka tidak percaya diri bahwa mereka dapat memecahkan masalah matematika, itu berarti

siswa tersebut memiliki self-efficacy rendah. Dengan siswa memiliki self-efficacy yang tinggi

dan pemecahan masalah merupakan hal yang sulit untuk dikerjakan maka peranan self-efficacy

bisa membuat siswa untuk lebih tekun dan memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat

mengerjakannya.

Berdasarkan hasil refleksi awal diketahui, ada beberapa permasalahan yang terjadi di SMP

Negeri 1 Tolitoli, yaitu:

1) Selama ini pelaksanaan pembelajaran Matematika di kelas VII SMP Negeri 1 Tolitoli,

masih didominasi oleh guru. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari KBK yang

menghendaki sistem pembelajaran berpusatkan pada siswa (student center),

2) Pembelajaran Matematika belum berlangsung secara bermakna, karena guru terlalu

banyak memberikan bimbingan. Dengan demikian siswa belum terbiasa untuk belajar

secara mandiri,

3) Dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, siswa cenderung bersikap pasif. Mereka

menerima apa yang disampaikan guru dan melakukan apa yang diminta oleh guru,

4) Kegiatan pembelajaran yang dirancang oleh guru belum menekankan keterampilan siswa

untuk melakukan komunikasi matematik sehingga siswa belum mampu mengungkapkan

ide-idenya, baik secara lisan maupun tulis, dan


5) Kemampuan penalaran siswa belum berkembang karena dalam kegiatan pembelajaran

lebih banyak dibahas masalah (soal-soal) yang sifatnya rutin atau masalah-masalah

tertutup (close problems) yang hanya mempunyai satu jawaban yang benar atau soalsoal

yang sudah jelas langkah penyelesaiannya.

Dengan demikian, maka permasalahan-permasalahan yang dijumpai selama ini diharapkan

dapat dikurangi sehingga akan bermuara pada hasil belajar siswa yang lebih baik dan lebih

berkualitas. Penelitian ini difokuskan pada peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi

matematik siswa. Model pembelajaran ini menekankan pada kemampuan siswa untuk melakukan

penalaran, pemecahan masalah, dan komunikasi. Melalui kegiatan pemecahan masalah, siswa

akan berlatih untuk mengembangkan kemampuan penalaran dan komunikasi matematik.

Kemampuan penalaran dan komunikasi matematik akan dilatihkan dalam fase-fase yang telah

ditentukan, yaitu: Read and Think, Explore and Plan, Select a Strategi, Find an Answer, dan

Reflect and Extend (Krulik & Rudnick, dkk 1996: 4). Sebelum kegiatan pembelajaran dimulai,

guru bersama peneliti menyiapkan LKPD yang memuat masalah-masalah terbuka (open-ended

problem) yang diberikan ke siswa sebagai bahan untuk berdiskusi. Open-ended problem adalah

masalah-masalah yang diformulasikan mempunyai lebih dari satu jawaban yang benar atau

masalah-masalah yang belum komplit (Shigeru Shimada, 1997) Dengan menerapkan model

pembelajaran ini, siswa merasa tertantang untuk terlibat aktif dalam memecahkan masalah-

masalah yang diberikan karena melalui pemecahan masalah itulah mereka memperoleh konsep-

konsep Matematika yang diajarkan. Melalui penerapan model pembelajaran ini, kreativitas

berpikir siswa berkembang karena mereka dituntut untuk melakukan ekperimen-eksperimen

sesuai dengan pengetahuan mereka masing-masing. Dengan demikian, siswa terbiasa melakukan

penalaran dan terlatih untuk bisa melakukan komunikasi matematik. Semua ini sangat
bermanfaat dalam belajar Matematika selanjutnya maupun dalam kehidupan mereka ketika

terjun di masyarakat, baik sebagai anggota keluarga maupun warganegara. Tujuan penelitian ini

adalah mengkaji hubungan antaraself-efficacy matematis dan kemampuan pemecahan masalah

untuk meningkatkan kompetensi penalaran dan komunikasi matematik siswa SMP Negeri 1

Tolitoli. Cara yang ditempuh dalam upaya perbaikan tersebut adalah menerapkan model

pembelajaran penalaran dan pemecahan masalah dalam pembelajaran Matematika.

1. 2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam peneltian ini adalah “Bagaimana Penerapan Model Pembelajaran

Pemecahan Masalah Self-Efficacy Untuk Meningkatkan Kompetensi Penalaran Dan Komunikasi

Matematik Siswa Kelas VII SMPN 1 TOLITOLI”

1. 3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah “Untuk Menginplementasikan Penerapan

Model Pembelajaran Pemecahan Masalah Self-Efficacy Untuk Meningkatkan Kompetensi

Penalaran Dan Komunikasi Matematik Siswa Kelas VII SMPN 1 TOLITOLI”

1. 4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Siswa

Siswa dapat mengetahui seberapa besar kemampuan pemecahan masalah dan gaya

belajar, sehingga dapat melakukan pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajarnya.

1.4.2 Bagi Guru

Guru dapat mengetahui gaya belajar siswa sehingga dapat merancang metode

pembelajaran yang lebih tepat.

1.4.3 Bagi Peneliti


Untuk menambah pengetahuan dalam menulis karya ilmiah dan dapat dijadikan

masukan bagi peneliti lain.

1.4.4 manfaat bagi sekolah

Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan inspirasi dalam

rangka pengembangan model pembelajaran dalam menyempurnakan proses pembelajaran

khususnya pembelajaran matematika.

1. 5 Batasan Istilah

Agar tidak terjadinya kesalahan dalam penafsiran istilah-istilah yang digunakan dalam

penelitian ini, maka diberikan pembatasan istilah-istilah sebagai berikut :

A. Penelitian ini menerapkan model pembelajaran kontekstual

B. Penelitian ini menitiberatkan pada kemampuan siswa dalam memecahkan masalah

untuk meningkatkan kompetensi penalaran dan komunikasi matematik

C. Bidang kajian terbatas pada materi dan soal matematika serta penggunaanya dalam

kehiduan sehari-hari.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi Teori

2.1.1 Masalah Matematika

Masalah merupakan suatu tantangan bagi seseorang yang harus diselesaikan dengan

prosedur yang ada. Tantangan ini merupakan tantangan yang sebelumnya belum diketahui oleh

seseorang tersebut mengenai cara penyelesaiannya. Jadi, jika seseorang sudah pernah menjumpai

tantangan tersebut bahkan sudah mengetahui cara penyelesaiannya, maka tantangan tersebut

bukan merupakan sebuah masalah.

Masalah matematika merupakan situasi yang terhalang karena kurangnya algoritma dalam

mencari solusi yang dicari. Ada dua jenis masalah matematika, yaitu masalah yang bertujuan

untuk mencari nilai yang dicari dan masalah yang bertujuan untuk membuktikan suatu

pernyataan dalam matematika benar atau tidak benar.

2.1.2 Pemecahan Masalah Matematika

Pemecahan masalah matematika merupakan proses terencana yang yang dilakukan sebagai

usaha untuk memperoleh penyelesaian dari masalah matematika. Proses terencana ini memuat

metode, prosedur, dan strategi dalam menyelesaiakan masalah matematika yang sedang

dihadapi.Masalah adalah kesenjangan antara suatu keadaan yang diharapkan dengan kenyataan

yang sebenarnya. Ruseffendi (Isnaini, 2011: 17) mengemukakan bahwa suatu persoalan

merupakan masalah bagi seseorang bila persoalan itu tidak dikenalnya, dan orang tersebut

mempunyai keinginan untuk menyelesaikannya, terlepas apakah ia sampai atau tidak kepada

jawaban masalah itu. Masalah yang dimaksud adalah berupa pertanyaan-pertanyaan yang di
ajukan oleh guru. Untuk menyelesaikannya, siswa dituntut untuk menggunakan pengetahuan

yang telah dimiliki dan dikuasai sebelumnya. Masalah tersebut bisa soal cerita atau bukan soal

cerita, tetapi bentuk soal tersebut merupakan soal yang tidak rutin.Artinya penyelesaian masalah

dari soal yang tidak rutin bukan tujuan akhir dari penyelesaian soal-soal pemecahan masalah

tetapi menjadi awal untuk mengembangkan pengetahuannya yang baru dan keperibadiannya.

Pendapat Turmudi (2009: 30) bahwa pemecahan masalah mengenalkan siswa untuk dapat

mengenal bagaimana cara berpikir, kebiasaan untuk tekun dan keingintahuan yang tinggi serta

percaya diri pada situasi yang tidak biasa, yang akan melayani mereka (para siswa) secara baik di

luar kelas matematika. Kemudian menurut Turmudi (2009: 29) problem solving atau pemecahan

masalah dalam matematika melibatkan metode dan cara penyelesainnya yang tidak standar dan

tidak diketahui terlebih dahulu. Sehingga pemecahan masalah merupakan suatu proses kegiatan

yang lebih mengutamakan prosedur-prosedur yang harus ditempuh dan langkah-langkah strategi

yang harus ditempuh oleh siswa dalam menyelesaikan masalah, dan pada akhirnya siswa

mengerti tujuan utamanya bukan hanya menemukan jawaban dari soal, tetapi lebih dari itu yaitu

terdapat proses yang harus dijalankan. Menurut pendapat Gagne (Israini & Dewi, 2012: 95) cara

terbaik yang dapat membantu siswa dalam pemecahan masalah adalah memecahkan masalah

selangkah demi selangkah dengan menggunakan aturan tertentu. Sehingga masalah yang

dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik dan dijadikan

sebagai materi guna memperoleh pengertian serta bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajar

siswa.

2.1.3 Self-Efficacy Matematis Teori self-efficacy

didasarkan atas teori sosial-kognitif Bandura dengan dalil bahwa prestasi atau kinerja seseorang

tergantung kepada interaksi antara tingkah laku, faktor pribadi (misalnya: pemikiran, keyakinan)
dan kondisi lingkungan seseorang, Sudrajat (Isnaini, 2009: 25). Menurut Ormrod (2008: 20)

secara umum, self-efficacy adalah penilaian seseorang tentang kemampuan dirinya untuk

menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan terten Selanjutnya pendapat Somakin (2010:

49) dari berbagai pendapat para ahli pada prakteknya self-efficacy sinonim dengan

“Kepercayaan Diri” atau “Keyakinan Diri”. Pengertian self-efficacy menurut Bandura (Setiadi

2010: 20) Self-efficacy as “beliefs in one’s capability to organize and execute the courses of

action required to manage prospective situations”. Kemudian menurut Alderman, (2004: 69) A

self-efficacy expectancy is a person’s judgment of his or her capability to perform the skills,

actions, or persistence required for the given outcome. Sedangkan menurut Feist & Feist

(Wiliwati, 2012: 20) menyatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa mereka

memiliki kemampuan dalam mengadakan kontrol terhadap pekerjaan mereka terhadap

lingkungan mereka. Berdasarkan definisi-definisi di atas, self-efficacy merupakan keyakinan

atau kepercayaan yang dimiliki oleh setiap individu dalam melaksanakan dan penyelesaikan

tugas-tugas yang di hadapi, dalam situasi dan kondisi tertentu sehingga mampu mengatasi

rintangan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.tu.

2.2 Kerangka Berpikir

2.2.1 Kemampuan Pemecahan Masalah

Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti sanggup dan bisa melakukan sesuatu.

Kemampuan pemecahan masalah dalam hal ini adalah 13 kesanggupan siswa dalam

memecahkan masalah matematika. Selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan pemecahan

masalah menurut Polya yang meliputi memahami masalah, membuat rencana pemecahan

masalah, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh.

Pembahasan menganai pemecahan masalah tentunya tidak terlepas dari pengertian masalah itu
sendiri. Bell (Nasir, 2008) mengemukakan bahwa, suatu situasi dikatakan menjadi masalah bagi

seseorang jika ia menyadari keberadaan situasi tersebut, mengakui bahwa situasi tersebut

memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat mengemukakan pemecahannya. Wahyudin

(1999) mengemukakan bahwa suatu masalah dapat diartikan sebagai suatu tugas untuk mana

tidak terdapat solusi yang segera. Situasi dimana pemecahan masalah terjadi biasanya belum

dikenal baik oleh orang yang berusaha untuk mencari penyelesainnya. Saat dihadapkan pada

masalah, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali menggali secara mendalam pada sekarung

olahan nalar akal suatu daftar strategi-strategi untuk berusaha memecahkannya. Jadi, masalah

dalam matematika adalah ketika seseorang dihadapkan pada suatu persoalan matematik, tetapi

dia tidak dapat langsung mencari solusinya. Untuk itu diperlukan proses berpikir atau bernalar,

menduga, mencari rumusan yang sederhana, baru kemudian membuktikan kebenarannya.

Pemecahan masalah matematis sebagai salah satu aspek kemampuan berpikir tingkat tinggi,

didefinisikan oleh Cooney (Nasir, 2008), sebagai proses menerima masalah dan berusaha

menyelesaikan masalah itu. Sedangkan Polya (Hudojo, 1979) mendefinisikan pemecahan

masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang

tidak dengan segera dicapai. Selanjutnya Polya mengatakan bahwa pemecahan masalah

merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi

dengan menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki. Di dalam Curriculum and

Evaluation Standards for School Mathematics (1989), NCTM menyatakan bahwa di kelas 5-8,

kurikulum matematika harus memasukan pengalamanpengalaman yang banyak dan beragam

dalam pemecahan masalah sebagai suatu metode inkuiri dan aplikasi sedemikian sehingga para

siswa dapat: (1) menggunakan pendekatan-pendekatan pemecahan masalah untuk menyelidiki

dan memahani muatan matematis; (2) merumuskan masalah-masalah dari situasi-situasi di dalam
dan di luar matematika; (3) membangun dan menerapkan beragam strategi untuk memecahkan

masalah, dengan penekanan pada masalahmasalah multilangkah dan non rutin; (4) melakukan

verifikasi dan menginterpretasi hasilhasil sehubungan dengan situasi-situasi masalah yang asli;

(5) menggeneralisasi solusi-solusi dan strategi-strategi pada situasi-situasi masalah yang baru;

(6) memperoleh kepercayaan diri dalam menggunakan matematika secara bermakna. Proses

pemecahan masalah menurut Polya (1985) dibangun berdasarkan empat langkah proses

pemecahan masalah yaitu : (1) memahami masalah, artinya siswa dapat mengidentifikasi

kelengkapan data termasuk mengungkap data yang masih samar-samar yang berguna dalam

penyelesaian; (2) menyusun rencana penyelesaian, artinya siswa dapat membuat beberapa

alternatif jalan penyelesaian yang dapat dibuat agar menuju jawaban; (3) melaksanakan rencana

penyelesaian; (4) memeriksa kembali kebenaran jawaban, artinya siswa dapat melengkapi

langkah-langkah yang telah dibuatnya ataupun membuat alternatif jawaban lain. Bell (1991)

menyebutkan bahwa pemecahan masalah matematis dapat membantu siswa meningkatkan

kemampuan analisis dan membantu mereka menerapkan kemampuan tersebut dalam berbagai

situasi. Proses pemecahan masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif

dalam mempelajari, mencari, dan menemukan sendiri informasi atau data untuk diolah menjadi

konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Pemecahan masalah dapat dilakukan jika siswa telah

menemukan aturan-aturan tingkat tinggi, dimana aturan-aturan tingkat tinggi memerlukan

penggabungan konsep yang diperoleh siswa dalam fase belajar sebelumnya. Ketika siswa sudah

memilki kemampuan pemecahan masalah, ia akan lebih terampil di dalam memilih dan

mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana

penyelesaian dan mengorganisasikan keterampilan yang telah dimiliki sebelumnya. Menurut

Sumarmo (Nasir, 2008), kemampuan pemecahan masalah dapat dirinci dengan indikator sebagai
berikut: (1) mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah; (2) membuat model

matematik dari situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya; (3) memilih dan

menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika; (4)

Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, serta memeriksa

kebenaran hasil atau jawaban; (5) menerapkan matematika secara bermakna.

2.2.2 Pembelajaran Kontekstual

Ada beberapa teori atau pendapat yang menjadi acuan dalam pembelajaran matematika yang

kontekstual, namun pada dasarnya memuat faktor-faktor yang sama yakni mengacu pada

konstruktivisme dan teori belajar bermakna. Sa’ud (2008: 176) menyatakan bahwa pembelajaran

kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa pada setiap tahapan

pembelajaran dengan cara menghubungkannya dengan situasi kehidupan yang dialami siswa

sehari-hari sehingga pemahaman materi diterapkan dalam kehidupan nyata. Adapun Prabawanto

(2009: 4) menyatakan bahwa pendekatan kontekstual dalam matematika merupakan konsep

pembelajaran yang membantu para guru mengaitkan antara materi pelajaran matematika dan

situasi-situasi dunia nyata yang disimulasikan, dan memotivasi para siswa mengaitkan

matematika dengan kehidupan sehariharinya. Melalui pendekatan ini memungkinkan terjadinya

proses belajar yang di dalamnya siswa mengekplorasikan pemahaman serta kemampuan

akademiknya dalam berbagai variasi konteks, di dalam maupun di luar kelas untuk dapat

menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya baik secara mandiri maupun berkelompok.

Menurut Howey (2001) Pendekatan pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang

memungkinkan para pembelajar untuk mempergunakan pemahaman akademik mereka dan

segenap kemampuan dalam berbagai jenis konteks baik di dalam maupun di luar sekolah untuk

menyelesaikan permasalahan di kehidupan nyata. Pembelajaran kontekstual memandang bahwa


belajar bukanlah kegiatan menghafal, mengingat fakta-fakta, mendemontrasikan latihan secara

berulang-ulang akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan dunia nyata. (Sa’ud, 2008 :

165). Pendekatan pembelajaran kontekstual menurut Depdiknas (2003) adalah pendekatan yang

mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam

kehidupan mereka sebagai anggota keluarga. Pembelajaran kontekstual melibatkan tujuh

komponen utama pembelajaran, yaitu konstruksivisme (contructivism), bertanya (questioning),

menemukan (inquiry), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi

(reflection), dan asesmen otentik (authentic assesment). Pendekatan pembelajaran kontekstual

dapat dilakukan dengan mengembangkan ketujuh komponen utamanya sebagai langkah

penerapan dalam pembelajaran, yaitu:

1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,

menentukan sendiri, dan mengkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

2. Melaksanakan sebisa mungkin kegiatan penemuan dalam proses pembelajarannya.

3. Kembangkan sifat ingin tahu siswa melalui pertanyaan.

4. Ciptakan suasana ‘masyarakat belajar’ dengan melakukan belajar dalam kelompok.

5. Hadirkan ‘model’ sebagai alat bantu dan contoh dalam pembelajaran.

6. Lakukan refleksi di akhir pertemuan.

7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Penilaian yang sebenarnya
dilakukan dengan mempertimbangkan setiap aspek kegiatan yang dilakukan siswa selama proses
pembelajaran berlangsung. (Depdiknas, 2003

2.3 Hipotesis Penelitian


Berdasarkan rumrsan masalah yang telah dikemukaan, terdapat dua hipotesis penelitiann yaitu:

H0 : Tidak Terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-

efficacy matematis siswa”

H1:“Terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-efficacy

matematis siswa”

Dengan taraf signifikansi 0,05, kriteria pengambilan keputusannya adalah:

i) Jika nilai signifikansi lebih kecil dari 0,05, maka H0 ditolak.

ii) Jika nilai signifikansi lebih besar atau sama dengan 0,05, maka H0 diterima.

BAB III

METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan menggunakan rumus

korelasi pearson Rancangan, variable dan desain penelitian

Desain penelitian korelasional pada dasarnya adalah terdapat dua variabel yakni variabel

bebas dan variabel terikat. Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah self-efficacy

matematis siswa, sedangkan variabel terikat (Y) adalah kemampuan pemecahan masalah

matematis siswa. Koefisien korelasi yang dihasilkan mengindikasikan tingkatan/ derajat

hubungan antara self-efficacy matematis dengan kemampuan pemecahan masalah

matematis.

2. Populasi dan Sampel

 Populasi Penelitian ini adalah seluruh siswa SMPN 1 Tolitoli

 Sampel untuk penelitian ini adalah kelas VII SMPN 1 Tolitoli .

3. Instrument penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan komunikasi dan

koneksi matematis, Pengujian hipotesis berdasarkan skor akhir kemampuan pemecahan

masalah dan self-efficacy matematis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Skor akhir

bersumber dari skor post-test kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-

efficacy matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol.

4. Tekhnik pengumpulan data


Pengumpulan data dalam penelitian ini dengan menggunakan Pengumpulan data

menggunakan instrumen kuesioner lembar pengamatan aktivitas siswa, lembar

pengamatan kemampuan guru mengelola pembelajaran, dan bentuk proses penyelesaian

masalah yang dilakukan siswa dalam menyelesaikan masalah pada masing-masing

pembelajaran. Tes terlebih dahulu divalidasi oleh beberapa ahli dan dilakukan uji coba

lapangan.

5. Teknik analis data

Analisis data dilakukan dengan berdasarkan skor akhir kemampuan pemecahan masalah

dan self-efficacy matematis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Skor akhir

bersumber dari skor post-test kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-

efficacy matematis kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Uji hipotesis menggunakan uji statistika. yaitu uji asosiasi pearson dengan bantuan

program IBM SPSS 21. Uji ini dipilih karena untuk mengukur kekuatan hubungan linear

antara dua variable kontinu dengan data berskala interval sebagaimana pendapat (Uyanto:

222).
DAFTAR PUSTAKA

Rahayu D.R.2015. MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH


MATEMATIS SISWA MELALUI PENDEKATAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL.
Suluh Pendidikan FKIP-UHN. 2:107-118

Yonathan.Implementasi Model Pembelajaran Penalaran dan Pemecahan Masalah


Terbuka Untuk Meningkatkan Kompetensi Penalaran dan Komunikasi Matematik Siswa Kelas
VII SMPN 1 ToliToli. Kreatif Tadulako Online.4(11)

Nainggolan A.C.2015.PENERAPAN PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL UNTUK


MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI DAN KONEKSI MATEMATIS SISWA
SMP PENCAWAN MEDAN.Suluh Pendidikan.[internet].Tersedia pada:
http://akademik.uhn.ac.id/portal/public_html/JurnalSuluhPendidikan/Volume%202%20Edisi
%202/04_Jurnal%20Jurnal%20Arisan%20Candra.pdf

Zeni Rofiqoh.2015.ANALISIS KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH


MATEMATIKA SISWA KELAS X DALAM PEMBELAJARAN DISCOVERY LEARNING
BERDASARKAN GAYA BELAJAR SISWA. Under Graduates thesis, UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG.Tersedia pada : http://lib.unnes.ac.id/22322/

Anda mungkin juga menyukai