Tugas Proposal - Indarwati - A23118089
Tugas Proposal - Indarwati - A23118089
INDARWATI
Kelas D
PROPOSAL
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian Kuantitatif
Dosen Pengampuh:
UNIVERSITAS TADULAKO
TAHUN 2020
BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu proses pembelajaran setiap manusia yang dilakukan oleh keluarga,
masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan pengajaran, dan latihan yang berlangsung di dalam
maupun di luar sekolah sebagai usaha membentuk manusia/individu yang berkepribadian dan
strategi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat, karena pendidikan yang berkualitas
dapat menghasilkan sumber daya manusia yang memiliki pengetahuan yang memadai. Kualitas
pendidikan di Indonesia perlu ditingkatan dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia
agar memiliki keterampilan, sikap dan pengetahuan yang berorientasi pada penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pentingnya penguasaan ilmu dan teknologi diharapakan dapat
Matematika adalah studi tentang pola dan hubungan, cara berpikir dengan strategi organisasi,
analisis dan sintesis, seni, bahasa, dan alat untuk memecahkan masalah-masalah abstrak dan
praktis. Matematika sebagai salah satu mata pelajaran wajib bagi siswa pada jenjang pendidikan
dasar dan menengah diperlukan penguasaan sejak dini, sehingga dapat membekali perta didik
untuk meningkatkan kemampuan (kompetensi) berpikir logis, analisis, sistematis, kritis, dan
kreatif serta kemampuan bekerja sama (Syaharuddin, 2016 : 16). Matematika merupakan jantung
dari segala ilmu dalam dunia pendidikan. Perkembangan teknologi yang semakin pesat
mengharuskan siswa harus memiliki kemampuan berpikir kritis, sistematis, logis, kreatif,
bernalar dan kemampuan bekerjasama yang efektif. Menurut penelitian Agustiati tahun 2016
dengan belajar matematika keterampilan berpikir siswa akan meningkat karena pola berpikir
yang dikembangkan membutuhkan dan melibatkan pemikiran kritis, sistematik, logis dan kreatif
sehingga siswa akan mampu dengan cepat menarik kesimpulan dari berbagai fakta atau data
yang mereka dapatkan atau ketahui. Berbagai faktor yang mempengaruhi kualitas pendidikan
antara lain minimnya sarana prasarana pendidikan yang memadai dan kurangnya sumber daya
dengan baik apabila siswa juga memiliki kemampuan penalaran yang baik dalam pemecahan
masalah. Sejalan dengan yang dikemukakan Wahyudin (dalam Agustiati, 2016 : 24) yang dalam
penelitiannya menemukan bahwa salah satu kecenderungan yang menyebabkan sejumlah siswa
gagal menguasai dengan baik pokok-pokok bahasan dalam matematika akibat siswa kurang
menggunakan nalar dan logis dalam menyelesaikan soal atau persoalan matematika yang
diberikan.
Sutiarso dalam Upu (yang dikutip Basir 2015) menegaskan bahwa siswa pada umumnya
cenderung hanya menerima transfer pengetahuan dari guru dan guru pada umumnya hanya
sekedar menyampaikan informasi pengetahuan tanpa melibatkan siswa dalam proses yang aktif
dan generatif. Ini menggambarkan bahwa siswa bagaikan kaleng kosong yang dapat diisi dengan
cara dan kehendak guru sebagai penyampaian ilmu pengetahuan. Dengan kata lain bahwa siswa
harus selalu mengikuti kehendak guru di kelas secara keseluruhan. Kondisi seperti ini kurang
akan datang.
tinggi ini belum didukung dengan proses belajar mengajar (PBM) yang tepat. Pembelajaran yang
dilakukan pada umumnya masih berfokus pada pengembangan kemampuan berfikir tingkat
rendah sehingga pembelajaran hanya berupa transfer pengetahuan saja dimana siswa cenderung
pasif dengan belajar hapalan yang bersifat prosedural (pembelajaran konvensional). Shadiq
(2007), menyatakan bahwa pada umumnya PBM yang terjadi di kelas kurang meningkatkan
1) Penelitian dari Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada
tahun 2003 yang menyatakan bahwa penekanan pembelajaran di Indonesia lebih banyak
2) Pembelajaran matematika saat ini lebih mengacu pada tujuan jangka pendek (tujuan
untuk lulus ujian nasioal), pemberian soal lebih dominan pada soal-soal rutin dan lebih
hanya 32% dari seluruh waktu PBM dan hampir seluruh guru memberikan soal rutin dan
kurang menantang.
Kondisi ini menyebabkan kemampuan pemecahan masalah sebagian besar siswa di Indonesia
masih rendah. Depdiknas (2003: 1) menyatakan bahwa sebagian besar siswa tidak mampu
menghubungkan antara apa yang mereka pelajari dengan bagaimana pengetahuan tersebut akan
sebagaimana mereka biasa diajarkan, yaitu menggunakan sesuatu yang abstrak dan metode
ceramah, padahal mereka sangat butuh untuk memahami konsep-konsep yang berhubungan
Kaitannya dengan pemecahan masalah self-efficacy memiliki fungsi sebagai alat untuk
menilai keberhasilan siswa dalam menyelesaiakan soal-soal pemecahan masalah. Betz & Hacket
(Pajares & Miller,dkk 1994: 194) matematika self-efficacy baru-baru ini lebih menilai setiap
individu dalam penghakiman atas kemampuan mereka untuk memecahkan masalah matematika
tertentu dan melakukan tugas-tugas matematika. Kemudian menurut pendapat Liu Koirala dkk,
(2009: 1) siswa yang mempunyai sikap percaya diri, bahwa matematika adalah penting untuk
kehidupan mereka dan membantu meraka dalam memecahkan masalah matematika dengan
menyenangkan, meskipun merekapercaya bahwa matematika adalah penting bagi mereka, tetapi
mereka tidak percaya diri bahwa mereka dapat memecahkan masalah matematika, itu berarti
siswa tersebut memiliki self-efficacy rendah. Dengan siswa memiliki self-efficacy yang tinggi
dan pemecahan masalah merupakan hal yang sulit untuk dikerjakan maka peranan self-efficacy
bisa membuat siswa untuk lebih tekun dan memiliki motivasi yang tinggi untuk dapat
mengerjakannya.
Berdasarkan hasil refleksi awal diketahui, ada beberapa permasalahan yang terjadi di SMP
1) Selama ini pelaksanaan pembelajaran Matematika di kelas VII SMP Negeri 1 Tolitoli,
masih didominasi oleh guru. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari KBK yang
banyak memberikan bimbingan. Dengan demikian siswa belum terbiasa untuk belajar
secara mandiri,
menerima apa yang disampaikan guru dan melakukan apa yang diminta oleh guru,
4) Kegiatan pembelajaran yang dirancang oleh guru belum menekankan keterampilan siswa
lebih banyak dibahas masalah (soal-soal) yang sifatnya rutin atau masalah-masalah
tertutup (close problems) yang hanya mempunyai satu jawaban yang benar atau soalsoal
dapat dikurangi sehingga akan bermuara pada hasil belajar siswa yang lebih baik dan lebih
berkualitas. Penelitian ini difokuskan pada peningkatan kemampuan penalaran dan komunikasi
matematik siswa. Model pembelajaran ini menekankan pada kemampuan siswa untuk melakukan
penalaran, pemecahan masalah, dan komunikasi. Melalui kegiatan pemecahan masalah, siswa
Kemampuan penalaran dan komunikasi matematik akan dilatihkan dalam fase-fase yang telah
ditentukan, yaitu: Read and Think, Explore and Plan, Select a Strategi, Find an Answer, dan
Reflect and Extend (Krulik & Rudnick, dkk 1996: 4). Sebelum kegiatan pembelajaran dimulai,
guru bersama peneliti menyiapkan LKPD yang memuat masalah-masalah terbuka (open-ended
problem) yang diberikan ke siswa sebagai bahan untuk berdiskusi. Open-ended problem adalah
masalah-masalah yang diformulasikan mempunyai lebih dari satu jawaban yang benar atau
masalah-masalah yang belum komplit (Shigeru Shimada, 1997) Dengan menerapkan model
pembelajaran ini, siswa merasa tertantang untuk terlibat aktif dalam memecahkan masalah-
masalah yang diberikan karena melalui pemecahan masalah itulah mereka memperoleh konsep-
konsep Matematika yang diajarkan. Melalui penerapan model pembelajaran ini, kreativitas
sesuai dengan pengetahuan mereka masing-masing. Dengan demikian, siswa terbiasa melakukan
penalaran dan terlatih untuk bisa melakukan komunikasi matematik. Semua ini sangat
bermanfaat dalam belajar Matematika selanjutnya maupun dalam kehidupan mereka ketika
terjun di masyarakat, baik sebagai anggota keluarga maupun warganegara. Tujuan penelitian ini
untuk meningkatkan kompetensi penalaran dan komunikasi matematik siswa SMP Negeri 1
Tolitoli. Cara yang ditempuh dalam upaya perbaikan tersebut adalah menerapkan model
1. 2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam peneltian ini adalah “Bagaimana Penerapan Model Pembelajaran
1. 3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah “Untuk Menginplementasikan Penerapan
1. 4 Manfaat Penelitian
Siswa dapat mengetahui seberapa besar kemampuan pemecahan masalah dan gaya
belajar, sehingga dapat melakukan pembelajaran yang sesuai dengan gaya belajarnya.
Guru dapat mengetahui gaya belajar siswa sehingga dapat merancang metode
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan inspirasi dalam
1. 5 Batasan Istilah
Agar tidak terjadinya kesalahan dalam penafsiran istilah-istilah yang digunakan dalam
C. Bidang kajian terbatas pada materi dan soal matematika serta penggunaanya dalam
kehiduan sehari-hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Masalah merupakan suatu tantangan bagi seseorang yang harus diselesaikan dengan
prosedur yang ada. Tantangan ini merupakan tantangan yang sebelumnya belum diketahui oleh
seseorang tersebut mengenai cara penyelesaiannya. Jadi, jika seseorang sudah pernah menjumpai
tantangan tersebut bahkan sudah mengetahui cara penyelesaiannya, maka tantangan tersebut
Masalah matematika merupakan situasi yang terhalang karena kurangnya algoritma dalam
mencari solusi yang dicari. Ada dua jenis masalah matematika, yaitu masalah yang bertujuan
untuk mencari nilai yang dicari dan masalah yang bertujuan untuk membuktikan suatu
Pemecahan masalah matematika merupakan proses terencana yang yang dilakukan sebagai
usaha untuk memperoleh penyelesaian dari masalah matematika. Proses terencana ini memuat
metode, prosedur, dan strategi dalam menyelesaiakan masalah matematika yang sedang
dihadapi.Masalah adalah kesenjangan antara suatu keadaan yang diharapkan dengan kenyataan
yang sebenarnya. Ruseffendi (Isnaini, 2011: 17) mengemukakan bahwa suatu persoalan
merupakan masalah bagi seseorang bila persoalan itu tidak dikenalnya, dan orang tersebut
mempunyai keinginan untuk menyelesaikannya, terlepas apakah ia sampai atau tidak kepada
jawaban masalah itu. Masalah yang dimaksud adalah berupa pertanyaan-pertanyaan yang di
ajukan oleh guru. Untuk menyelesaikannya, siswa dituntut untuk menggunakan pengetahuan
yang telah dimiliki dan dikuasai sebelumnya. Masalah tersebut bisa soal cerita atau bukan soal
cerita, tetapi bentuk soal tersebut merupakan soal yang tidak rutin.Artinya penyelesaian masalah
dari soal yang tidak rutin bukan tujuan akhir dari penyelesaian soal-soal pemecahan masalah
tetapi menjadi awal untuk mengembangkan pengetahuannya yang baru dan keperibadiannya.
Pendapat Turmudi (2009: 30) bahwa pemecahan masalah mengenalkan siswa untuk dapat
mengenal bagaimana cara berpikir, kebiasaan untuk tekun dan keingintahuan yang tinggi serta
percaya diri pada situasi yang tidak biasa, yang akan melayani mereka (para siswa) secara baik di
luar kelas matematika. Kemudian menurut Turmudi (2009: 29) problem solving atau pemecahan
masalah dalam matematika melibatkan metode dan cara penyelesainnya yang tidak standar dan
tidak diketahui terlebih dahulu. Sehingga pemecahan masalah merupakan suatu proses kegiatan
yang lebih mengutamakan prosedur-prosedur yang harus ditempuh dan langkah-langkah strategi
yang harus ditempuh oleh siswa dalam menyelesaikan masalah, dan pada akhirnya siswa
mengerti tujuan utamanya bukan hanya menemukan jawaban dari soal, tetapi lebih dari itu yaitu
terdapat proses yang harus dijalankan. Menurut pendapat Gagne (Israini & Dewi, 2012: 95) cara
terbaik yang dapat membantu siswa dalam pemecahan masalah adalah memecahkan masalah
selangkah demi selangkah dengan menggunakan aturan tertentu. Sehingga masalah yang
dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik dan dijadikan
sebagai materi guna memperoleh pengertian serta bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajar
siswa.
didasarkan atas teori sosial-kognitif Bandura dengan dalil bahwa prestasi atau kinerja seseorang
tergantung kepada interaksi antara tingkah laku, faktor pribadi (misalnya: pemikiran, keyakinan)
dan kondisi lingkungan seseorang, Sudrajat (Isnaini, 2009: 25). Menurut Ormrod (2008: 20)
secara umum, self-efficacy adalah penilaian seseorang tentang kemampuan dirinya untuk
menjalankan perilaku tertentu atau mencapai tujuan terten Selanjutnya pendapat Somakin (2010:
49) dari berbagai pendapat para ahli pada prakteknya self-efficacy sinonim dengan
“Kepercayaan Diri” atau “Keyakinan Diri”. Pengertian self-efficacy menurut Bandura (Setiadi
2010: 20) Self-efficacy as “beliefs in one’s capability to organize and execute the courses of
action required to manage prospective situations”. Kemudian menurut Alderman, (2004: 69) A
self-efficacy expectancy is a person’s judgment of his or her capability to perform the skills,
actions, or persistence required for the given outcome. Sedangkan menurut Feist & Feist
(Wiliwati, 2012: 20) menyatakan bahwa self-efficacy adalah keyakinan individu bahwa mereka
atau kepercayaan yang dimiliki oleh setiap individu dalam melaksanakan dan penyelesaikan
tugas-tugas yang di hadapi, dalam situasi dan kondisi tertentu sehingga mampu mengatasi
Kemampuan berasal dari kata mampu yang berarti sanggup dan bisa melakukan sesuatu.
Kemampuan pemecahan masalah dalam hal ini adalah 13 kesanggupan siswa dalam
memecahkan masalah matematika. Selanjutnya dalam penelitian ini akan digunakan pemecahan
masalah menurut Polya yang meliputi memahami masalah, membuat rencana pemecahan
masalah, melaksanakan rencana penyelesaian, dan memeriksa kembali hasil yang diperoleh.
Pembahasan menganai pemecahan masalah tentunya tidak terlepas dari pengertian masalah itu
sendiri. Bell (Nasir, 2008) mengemukakan bahwa, suatu situasi dikatakan menjadi masalah bagi
seseorang jika ia menyadari keberadaan situasi tersebut, mengakui bahwa situasi tersebut
memerlukan tindakan dan tidak dengan segera dapat mengemukakan pemecahannya. Wahyudin
(1999) mengemukakan bahwa suatu masalah dapat diartikan sebagai suatu tugas untuk mana
tidak terdapat solusi yang segera. Situasi dimana pemecahan masalah terjadi biasanya belum
dikenal baik oleh orang yang berusaha untuk mencari penyelesainnya. Saat dihadapkan pada
masalah, kita tidak memiliki pilihan lain kecuali menggali secara mendalam pada sekarung
olahan nalar akal suatu daftar strategi-strategi untuk berusaha memecahkannya. Jadi, masalah
dalam matematika adalah ketika seseorang dihadapkan pada suatu persoalan matematik, tetapi
dia tidak dapat langsung mencari solusinya. Untuk itu diperlukan proses berpikir atau bernalar,
Pemecahan masalah matematis sebagai salah satu aspek kemampuan berpikir tingkat tinggi,
didefinisikan oleh Cooney (Nasir, 2008), sebagai proses menerima masalah dan berusaha
masalah sebagai usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan, mencapai suatu tujuan yang
tidak dengan segera dicapai. Selanjutnya Polya mengatakan bahwa pemecahan masalah
merupakan suatu tingkat aktivitas intelektual untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi
dengan menggunakan bekal pengetahuan yang sudah dimiliki. Di dalam Curriculum and
Evaluation Standards for School Mathematics (1989), NCTM menyatakan bahwa di kelas 5-8,
dalam pemecahan masalah sebagai suatu metode inkuiri dan aplikasi sedemikian sehingga para
dan memahani muatan matematis; (2) merumuskan masalah-masalah dari situasi-situasi di dalam
dan di luar matematika; (3) membangun dan menerapkan beragam strategi untuk memecahkan
masalah, dengan penekanan pada masalahmasalah multilangkah dan non rutin; (4) melakukan
verifikasi dan menginterpretasi hasilhasil sehubungan dengan situasi-situasi masalah yang asli;
(5) menggeneralisasi solusi-solusi dan strategi-strategi pada situasi-situasi masalah yang baru;
(6) memperoleh kepercayaan diri dalam menggunakan matematika secara bermakna. Proses
pemecahan masalah menurut Polya (1985) dibangun berdasarkan empat langkah proses
pemecahan masalah yaitu : (1) memahami masalah, artinya siswa dapat mengidentifikasi
kelengkapan data termasuk mengungkap data yang masih samar-samar yang berguna dalam
penyelesaian; (2) menyusun rencana penyelesaian, artinya siswa dapat membuat beberapa
alternatif jalan penyelesaian yang dapat dibuat agar menuju jawaban; (3) melaksanakan rencana
penyelesaian; (4) memeriksa kembali kebenaran jawaban, artinya siswa dapat melengkapi
langkah-langkah yang telah dibuatnya ataupun membuat alternatif jawaban lain. Bell (1991)
kemampuan analisis dan membantu mereka menerapkan kemampuan tersebut dalam berbagai
situasi. Proses pemecahan masalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk berperan aktif
dalam mempelajari, mencari, dan menemukan sendiri informasi atau data untuk diolah menjadi
konsep, prinsip, teori, atau kesimpulan. Pemecahan masalah dapat dilakukan jika siswa telah
penggabungan konsep yang diperoleh siswa dalam fase belajar sebelumnya. Ketika siswa sudah
memilki kemampuan pemecahan masalah, ia akan lebih terampil di dalam memilih dan
mengidentifikasi kondisi dan konsep yang relevan, mencari generalisasi, merumuskan rencana
Sumarmo (Nasir, 2008), kemampuan pemecahan masalah dapat dirinci dengan indikator sebagai
berikut: (1) mengidentifikasi kecukupan data untuk pemecahan masalah; (2) membuat model
matematik dari situasi atau masalah sehari-hari dan menyelesaikannya; (3) memilih dan
menerapkan strategi untuk menyelesaikan masalah matematika dan atau di luar matematika; (4)
Ada beberapa teori atau pendapat yang menjadi acuan dalam pembelajaran matematika yang
kontekstual, namun pada dasarnya memuat faktor-faktor yang sama yakni mengacu pada
konstruktivisme dan teori belajar bermakna. Sa’ud (2008: 176) menyatakan bahwa pembelajaran
kontekstual merupakan pembelajaran yang menekankan keterlibatan siswa pada setiap tahapan
pembelajaran dengan cara menghubungkannya dengan situasi kehidupan yang dialami siswa
sehari-hari sehingga pemahaman materi diterapkan dalam kehidupan nyata. Adapun Prabawanto
pembelajaran yang membantu para guru mengaitkan antara materi pelajaran matematika dan
situasi-situasi dunia nyata yang disimulasikan, dan memotivasi para siswa mengaitkan
akademiknya dalam berbagai variasi konteks, di dalam maupun di luar kelas untuk dapat
segenap kemampuan dalam berbagai jenis konteks baik di dalam maupun di luar sekolah untuk
berulang-ulang akan tetapi proses berpengalaman dalam kehidupan dunia nyata. (Sa’ud, 2008 :
165). Pendekatan pembelajaran kontekstual menurut Depdiknas (2003) adalah pendekatan yang
mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
1. Kembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja sendiri,
7. Lakukan penilaian yang sebenarnya dengan berbagai cara. Penilaian yang sebenarnya
dilakukan dengan mempertimbangkan setiap aspek kegiatan yang dilakukan siswa selama proses
pembelajaran berlangsung. (Depdiknas, 2003
H0 : Tidak Terdapat korelasi antara kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-
matematis siswa”
ii) Jika nilai signifikansi lebih besar atau sama dengan 0,05, maka H0 diterima.
BAB III
METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Desain penelitian korelasional pada dasarnya adalah terdapat dua variabel yakni variabel
bebas dan variabel terikat. Variabel bebas (X) dalam penelitian ini adalah self-efficacy
matematis siswa, sedangkan variabel terikat (Y) adalah kemampuan pemecahan masalah
matematis.
3. Instrument penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah tes kemampuan komunikasi dan
masalah dan self-efficacy matematis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Skor akhir
bersumber dari skor post-test kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-
pembelajaran. Tes terlebih dahulu divalidasi oleh beberapa ahli dan dilakukan uji coba
lapangan.
Analisis data dilakukan dengan berdasarkan skor akhir kemampuan pemecahan masalah
dan self-efficacy matematis pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Skor akhir
bersumber dari skor post-test kemampuan pemecahan masalah matematis dan self-
Uji hipotesis menggunakan uji statistika. yaitu uji asosiasi pearson dengan bantuan
program IBM SPSS 21. Uji ini dipilih karena untuk mengukur kekuatan hubungan linear
antara dua variable kontinu dengan data berskala interval sebagaimana pendapat (Uyanto:
222).
DAFTAR PUSTAKA