Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Heterogenitas bangsa Indonesia memang sudah tidak lagi menjadi hal baru dalam

perbincangan. Indonesia dengan kemajemukan budayanya menghasilkan perbedaan budaya

nasional yang dimiliki. Walaupun dengan perbedaan itu, nilai-nilai yang terkandung

didalam setiap kebudayaan tidak pernah luput.

Budaya khas yang dimiliki oleh setiap negara seperti halnya Indonesia yang akan

menjadi topik dalam review kali ini sangat identik dengan apa yang namanya identitas jati

diri. Identitas jati diri itu kemudian menjadi tolak ukur penilaian kepribadian bangsa

Indonesia. Kepribadian sebagai hasil buah dari nilai dan budaya khas yang dimiliki

Indonesia kemudian berpengaruh terhadap penentuan kebijakan-kebijakan yang strategis

demi mencapai tujuan bersama bangsa Indonesia.

Salah satu budaya khas Indonesia adalah gotong royong. Konsep gotong royong

yang dinilai tinggi oleh bangsa Indonesia erat kaitannya dengan kehidupan rakyat Indonesia

yang bermata pencaharian sebagai petani dalam masyarakat agraris. Aktivitas gotong

royong merupakan pengerahan tenaga untuk suatu proyek pembangunan yang bermanfaat

bagi masyarakat umum. Konsep gotong-royong telah menjadi kunci budaya kontemporer

Indonesia yang menggambarkan masyarakat didalamnya dan segala sesuatu kebijakan yang

diambil harus berdasarkan konsep gotong-royong tersebut (Bowen 1986, 545).

Menurut Aburrahman Wahid yang mengutarakan pendapatnya mengenai sesuatu

yang paling Indonesia, yaitu diantara semua nilai yang dianut warga negaranya. Sesuatu itu

berwujud pencarian tak berkesudahan akan sebuah perubahan sosial tanpa memutuskan

sama sekali dengan ikatan masa lampau (Abdurrahman 1981, 7). Konsep ini dapat

1
dijelaskan bahwa manusia-manusia Indonesia selalu bergerak dalam perubahan sosial

menurut perkembangan zaman. Pencarian itu seakan membuat bangsa ini lupa akan jati

dirinya, namun sebenarnya tanpa sadar mereka masih terikat dengan warisan sejarah masa

lalu. Menurut pendapat Abdurrahman Wahid lainnya, bahwa bangsa ini selalu mencari

suatu perubahan, tidak berarti bangsa tidak memiliki konsep mengenai nilai, budaya, dan

identitas nasional.

Abdurrahman Wahid juga memiliki pemikiran bahwa nilai budaya yang dimiliki

Indonesia adalah nilai budaya yang tidak berkesudahan. Pendapat ini jelas berbeda menurut

Mochtar Buchori, yang mengatakan bahwa nilai-nilai Indonesia itu ada (Buchori dan Lubis

1981, 38). Dalam dialognya Mochtar Buchori dan Moctar Lubis (1981), ia mengatakan nilai-

nilai Indonesia sedang dalam proses pembentukan, yakni yang diimplementasikan dalam

keaktifan dan kesadaran yang diperlukan bangsa Indonesia agar tidak terseret ke arah yang

tidak dikehendaki.

Proses pembentukan tersebut diartikan sebagai strategi menuju bentuk yang bisa

dinamakan Indonesia, dan dalam proses menuju pola kebudayaan yang terintegrasi tersebut,

bangsa Indonesia harus menggali kembali nilai-nilai yang benihnya ada dalam kebudayaan

etnis. Karena pada faktanya menurut Mochtar Lubis, dalam dua belas tahun terakhir ini,

erosi nilai-nilai etnis bangsa Indonesia semakin tampak. Erosi tersebut muncul dalam

bangsa Indonesia sebagai akibat masuknya modal asing, konsumerisme, maupun

industrialisasi dan terutama penerusan budaya bangsa Indonesia dirasakan telah terputus.

Ada budaya khas lainnya yang dimiliki oleh Indonesia, yaitu negara dan ideologi

agama yang mengakar di lapisan masyarakat yang saling tumpang tindih sehingga sulit

untuk dibedakan. Negara Indonesia adalah salah satu negara dengan sifat pemerintahan

yang demokratis, dan karena demokratisasi tersebut Abdurrahman Wahid (2001),

2
mengatakan bahwasannya Indonesia merupakan contoh yang hebat dari adanya kesesuaian

Islam (ideologi agama) dengan demokrasi. Walaupun rakyat Indonesia mayoritas beragama

Islam, tetapi para founding fathers berdasarkan keputusan bulat dengan lahirnya Negara

Kesatuan Republik Indonesia bukan merupakan negara dengan pemerintahan yang bersifat

teokrasi.

Mereka menyetujui adanya nilai-nilai agama dan nilai-nilai patriotik, tetapi hal

tersebut dijadikan dasar pembentukan negara Indonesia. Selain itu pula, pada era reformasi

saat ini peluang berpartai politik semakin terbuka lebar, namun peran agama disini harus

hilang sebagai adanya sikap toleransi. Sekalipun agama memainkan peran penting dalam

nilai-nilai bermasyarakat tetapi arena politik harus sejalan dengan sebagai mana mestinya

politik (Wahid 2001, 28).

Nilai dan budaya khas Indonesia tersebut seharusnya menjadi pegangan bangsa

Indonesia dalam tantangan selanjutnya yang akan dihadapi bangsa Indonesia di masa

mendatang. Karena menurut pandapat Mochtar Lubis, jika bangsa ini tidak berhasil

mengukuhkan kemanusiaan dan membangun kembali kontinuitas kebudayaan bangsa,

maka bangsa ini hanya akan menjadi ‘kacung’ bangsa lain (Lubis, 1981, 42). Sehingga

yang paling utama yang dikembangkan oleh bangsa Indonesia yakni kekuatan bangsa

dalam mempertahankan kebudayaannya. Dengan begitu identitas bangsa Indonesia tidak

pernah pupus dan dapat diimplementasikan dalam penentuan kebiijakan strategis yang akan

diambil demi mencapai kepentingan bersama.

Gotong royong adalah merupakan salah satu sistem kegiatan yang dilakukan oleh

manusia, gotong royong ini diketahui sebagai tenaga tambahan dari luar kalangan keluarga

untuk mengisi kekurangan tenaga dalam masa-masa sibuk dalam lingkaran aktivitas

produksi bercocok tanam di sawah, untuk itu seorang petani meminta dengan sopan santun

3
yang sudah tetap, beberapa orang lain sedesanya untuk membantunya. Semisalnya

mempersiapkan sawah untuk masa penanaman yang baru, memperbaiki saluran air dan

pematang sawah, mencangkul, membajak, menggaru dan sebagainya. (Koentjaranigrat)

Gotong Royong merupakan suatu kegiatan sosial yang menjadi ciri khas bangsa

Indonesia dari jaman dahulu kala hingga saat ini. Rasa kebersamaan ini muncul karena

adanya sikap sosial tanpa pamrih dari masing-masing individu untuk meringankan beban

yang sedang dipikul. Hanya di Indonesia, kita bisa menemukan sikap gotong royong ini,

sebab di negara lain tidak ada ditemukan sikap seperti ini, dikarenakan di negara luar sikap

saling acuh tak acuh sangatlah dominan terhadap lingkungan di sekitarnya.

Ini merupakan sikap positif yang harus dilestarikan agar bangsa Indonesia menjadi

bangsa yang kokoh dan kuat di segala lini. Tidak hanya di pedesaan bisa kita jumpai sikap

gotong royong, melainkan di daerah perkotaan pun bisa kita jumpai dengan mudah. Karena

secara budaya, memang sudah ditanamkan sifat ini sejak kecil hingga dewasa. Ini

merupakan salah satu cermin yang membuat Indonesia bersatu dari Sabang hingga

Merauke, walaupun berbeda agama, suku dan warna kulit, tetapi kita tetap menjadi

kesatuan yang kokoh. Inilah adalah satu budaya bangsa yang menjadikan Indonesia dipuja

dan dipuji oleh bangsa lain, karena budayanya yang unik dan penuh toleransi antar sesama

manusia.

Pada masyarakat Karo, gotong royong dalam tradisi masyarakat dikenal dengan

istilah aron. Menurut Teridah Bangun, aron dipakai dalam suatu pola kerja sama, tolong

menolong pada masyarakat Karo, baik dalam menghadapi ancaman pihak lain atau dalam

mengerjakan sesuatu. Istilah aron berasal dari kata sisaron-saron (saling bantu) yang

diwujudkan dalam bentuk kerja orang-orang muda atau dewasa 6-9 orang (Bangun T, 1986

b:149).

4
Aktivitas aron biasanya dimulai pada pagi hari, yaitu pukul 08.00 WIB- 17.00 WIB.

Di dalam pola kerjanya terdapat keteraturan antara sesama peserta aron dengan tujuan agar

tetap terjaga hubungan yang baik. Pola kerja dilakukan secara bergiliran (mena-tumbuk),

sesuai dengan kebutuhan di dalam mengerjakan sawah maupun ladang peserta aron.

Misalnya A akan menanam padi, maka anggota aron yang sebagian lagi wajib datang ke

ladang si A untuk mengerjakan sawahnya. Demikianlah seterusnya sampai selesai secara

bergilir setiap peserta aron, Misalnya dalam membuka lahan (ngerabi) tenaga laki-laki

yang lebih diutamakan perempuan cukup membersihkan kayu-kayu yang sudah ditebang.

Mena adalah sebutan untuk awal aktivitas aron dilakukan, tumbuk adalah sebutan dari akhir

aktivitas secara bergilir.

Makna aron pada zaman sekarang ini telah berubah, masyarakat perlahan-perlahan

meninggalkan kebudayaan gotong royong (aron), dikarenakan masyarakat lebih memilih

membayar (mengupahi) orang yang berkerja diladangnya atau lahannya. Pada saat ini aron

dikenal dengan orang/atau sebuah komunitas yang bekerja areal pertanian yang

mengharapkan upah atau balas jasa berupa uang dari si pemilik lahan.

Desa Lau Solu memiliki masyarakat mayoritas suku Karo yang memiliki mata

pencaharian rata-rata adalah sebagai petani. Masyarakat Desa Lau Solu umumnya memiliki

lahan pertanian milik sendiri dan dalam pengelolaan lahan pertanian tersebut masyarakat

menggunakan alat-alat pertanian tradisional dan beberapa masyarakat sudah menggunakan

alat-alat pertanian modern seperti traktor dan mesin pembabat. Bagi masyarakat yang

menggunakan alat pertanian tradisional memerlukan waktu yang relatif lama sehingga bagi

petani yang mengelola lahan pertanian menambah tenaga untuk membantu mengelola

pertanian mereka.

5
Untuk menambah tenaga dalam mengelola lahan pertanian masyarakat Desa Lau

Solu mencari orang untuk dapat membantu dan masyarakat setempat menyebutnya sebagai

aron. Para pekerja aron merupakan masyarakat yang didatangkan dari luar desa Lau Solu

yaitu dari Kab. Aceh Tenggara. Aron yang didatangkan dari daerah lain si pemilik lahan

pertanian yang akan memakai tenaga aron sudah terlebih dahulu menyediakan tempat

tinggal mereka. Para pekerja aron tersebut membawa seluruh anggota keluargannya untuk

tinggal sementara di Desa Lau Solu.

Dengan melihat latar belakang seperti yang telah diuraikan diatas, maka penulis

mengungkapkan secara dekriptif tentang bagaimana perubahan konsep aron yang terjadi

pada masyarakat Karo khususnya dalam masyarakat Desa Lau Solu dan mengapa para

pekerja aron mayoritas adalah suku Alas yang berasal dari Aceh Tenggara.

1.2. Tinjauan Pustaka

Kebudayaan merupakan sistem pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui

proses belajar yang mereka gunakan untuk menyusun strategi perilaku dalam menghadapi

dunia sekeliling mereka Spradley (1997), menjelaskan lebih lanjut bahwa kebudayaan

berada dalam pikiran manusia yang didapatkan dengan proses belajar dan menggunakan

budaya tersebut dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Proses belajar tersebut

menghasilkan pengetahuan-pengetahuan yang berasal dari pengalaman-pengalaman

individu atau masyarakat yang pada akhirnya fenomena tersebut terorganisasi di dalam

pikiran (mind). Definisi tersebut ditulis ulang oleh Marzali dalam pengantar pada buku

Metode Etnografi oleh James P. S predley. Pada bagian pengantar ini Marzali menjelaskan

secara singkat apa itu etnografi sampai perkembangan metode dalam ertnografi.

6
Spencer (dalam choesin, E.M, 2002: 1-9), menyatakan bahwa pengunaan

pengetahuan diibaratkan membaca resep atau naskah atau flow chart (arus). Dalam

memahami dinamika pengetahuan saat terjadi pertemuan antara yang lokal dan global,

untuk itu diperlukan modal yang dapat menjawab sejumlah pertanyaan, misalnya: dari

mana dan bagaimana pengetahuan tersebut dipakai untuk mewujudkan tindakan, mengapa

bentuk-bentuk pengetahuan tertentu bertahan terus dalam diri individu atau kelompok,

sedangkan bentuk-bentuk lainnya ditinggalkan ?

Dalam penelitian ini juga melihat bagaimana pengetahuan (konsep) masyarakat

Suku Karo tentang aktivitas aron. Dimana banyak terjadi dinamika yang terkait dengan

perubahan konsep aron dalam rentang waktu tahun 1980 hingga pada saat ini. Frans Boas

juga mengatakan “jika tujuan kita sungguh-sungguh untuk memahami pikiran suatu

masyarakat maka seluruh analisa pengalaman harus didasarkan pada konsep-konsep

mereka, bukan konsep kita” (Frans Boas 1943 dalam Spradley).

Strauss dan Quinn (dalam Choesin, E. M, 2002:1-9), juga menjelaskan bahwa

sebagian besar pengetahuan yang dimiliki individu diperoleh melalui proses belajar yang

bersifat informal, atau melalui pengamatan (penerimaan rangsang) sehari-hari, dan bukan

dari instruksi formal. Selain mengetahui konsepsi masyarakat tentang aron, penulis juga

merasa perlu memperhatikan bagaimana rangsangan-rangsangan dari luar masyarakat itu

sendiri, misalnya kemajuan tegnologi dan informasi, tuntutan ekonomi, peraturan

pemerintah dan lainnya. Kemudian mempengaruhi aktivitas masyarakat dalam pengolahan

lahan baik itu disawah maupun di ladang.

Seperti yang dijelaskan Strauss dan Quinn (dalam Choesin E. M, 2002:1-9),

meskipun masuknya rangsangan-rangsangan seperti yang disebut diatas tidak serta merta

menggantikan pemahaman mereka yang lama, akan tetapi hal ini bisa saja berperan untuk

7
menghasilkan pemahaman yang baru. Salah satu bentuk tingkah laku manusia yang

universal ialah kerja sama. Menurut Soekanto (1983:66), kerja sama timbul dari adanya

orientasi masing-masing individu terhadap kelompok sebagai “in groubnya” dan kelompok

lain sebagai “out groubnya”.

Sejalan dengan pernyataan ini, dapat dikatakan bahwa pada setiap masyarakat

dimana kerja sama berlangsung terdapat kelompok-kelompok sosial yang bersifat khusus.

Dimana para anggotanya saling berinteraksi menurut norma yang dianut. Seperti kita

ketahui bahwa penduduk Indonesia mayoritas tinggal di pedesaan dan pada umumnya

hidup dari pertanian (Koentjaraningrat, 1984:1), dalam kehidupan sehari-harinya

masyarakat di pedesaan tidak terlepas dari aktivitas kerja sama dengan anggota masyarakat

lainnya dari kelompok tersebut. Hal ini didasari dengan adanya kebutuhan masing-masing

anggota yang sama.

Aron adalah merupakan pengerahan tenaga kerja dari sekelompok orang yang

secara bersama-sama mengolah lahan pertanian dari masing-masing anggota kelompok

tersebut. Dilihat dari segi positifnya, dalam aktivitas aron terkandung unsur saling

pengertian, saling penghargaan, kesadaran akan tujuan bersama, kemauan bersama-sama

dengan individu atau kelompok lain untuk mencapai tujuan bersama. Prinsip timbal-balik

sebagai penggerak masyarakat dalam masyarakat komunitas kecil diseluruh dunia, saling

tolong menolong tampak sangat menonjol.

Menurut B.Malinowski (dalam Koentjaraningrat, 1997:151), dalam masyarakat

penduduk kepulaan Treobiand, sistem saling tukar menukar jasa tenaga dan benda dalam

berbagai bidang produksi dan ekonomi dan dalam penyelenggaraan upacara-upacara

keagamaan, maupun pertukaran harta mas kawin menjadi pengikat dan penggerak dalam

masyarakat. Sistem memberi sumbangan untuk membalasnya, merupakan prinsip dalam

8
kehidupan masyarakat kecil yang disebut principle of reciprocity atau prinsif timbal-balik.

Menurut Marcell Mauss, sistem tukar menukar merupakan suatu sistem yang menyeluruh

(total sistem), dimana setiap unsur kedudukan atau harta milik terlibat di dalamnya dan

berlaku bagi setiap anggota masyarakat yang bersangkutan.

Dalam sistem tukar menukar setiap pemberian harus dikembalikan. Dapat diartikan

dalam suatu cara khusus yang menghasilkan suatu lingkaran kegiatan yang tidak ada habis-

habisnya dari generasi ke generasi berikutnya. Nilai dari pengembalian barang yang telah

diterima harus dapat mengimbangi nilai barang yang telah diterima, bersamaan dengan

pemberian tersebut adalah nilai kehormatan dari kelompok yang bersangkutan (Mauss,

1992:xix).

Hal yang sama pada masyarakat Sugihen prinsif timbal- balik dapat diamati dalam

aktivitas aron adanya saling tukar menukar tenaga yang dilakukan secara berigiliran untuk

setiap peserta aron tersebut sesuai dengan kesempatan yang ditentukan. Sebagaimana

diketahui bahwa kebudayaan selain bersifat stabil juga bersifat dinamis oleh karena itu

setiap kebudayaan pasti akan mengalami perubahan atau perkembangan. Perubahan itu bisa

saja berasal dari masyarakat dan perubaahan semata-mata bukanlah berarti suatu kemajuan

saja namun dapat juga berarti suatu kemunduran bagi suatu masyarakat pendukung

kebudayaan tersebut dimana perubahan itu menyangkut bidang-bidang kehidupan tertentu.

Perubahan sosial adalah perubahan dalam struktur sosial dan dalam pola-pola

hubungan sosial yang antara lain mencakup sistem status, hubungan-hubungan dalam

keluarga, sistem-sistem politik dan kekuatan serta persebaran penduduk (Suparlan,

1981:01). Perubahan kebudayaan adalah merupakan perubahan yang terjadi dalam sistem

ide yang dimiliki bersama oleh para warga atau sejumlah warga masyarakat yang

bersangkutan. Perubahan kebudayaan mencakup aturan-aturan yang digunakan sebagai

9
pegangan dalam kehidupan warga masyarakat, nilai-nilai teknologi, selera dan rasa

keindahan atau kesenian dan bahasa.

Perubahan sosial dan perubahan kebudayaan tidak dapat dipisahkan karena

pembahasan-pembahasan mengenai perubahan sosial tidak akan dapat mencapai pengertian

yang benar tanpa mengaitkannya dengan perubahan kebudayaan yang terwujud dalam

masyarkat yang bersangkutan. Untuk menjelaskan proses perubahan yang terjadi dalam

aktivitas aron, peneliti akan menggunakan pendekatan prosesual. Winarto (1999),

menyebutkan bahwa aspek yang perlu diperhatikan dalam proses ini adalah aspek

historisnya.

Winarto(1999) mencoba mengikuti rangkaian peristiwa yang terwujud dari aktivitas-

aktivitas warga sehari-hari. Untuk membantu seorang antroplog dalam meneliti, Moore

(dalam Winarto 1999) menyarankan fokus kajian antropolog adalah peristiwa- peristiwa atau

evans yang melibatkan aktivitas atau tindakan manusia. Rangkaian hubungan antar

peristiwa-peristiwa inilah yang membentuk proses. Hal ini jugalah dilakukan oleh peneliti

untuk melihat dan mengetahui bagaimana proses perubahan aron di Desa Sugihen dengan

mencoba mengkaji sejarah terbentuknya aron di Sugihen melalui aktivitas-aktivitas atau

event yang mereka lakukan dalam kurun waktu 1980 hingga pada tahun 2009.

Berdasarkan hasil observasi sementara, bahwa ada bentuk-bentuk yang berubah

dalam aktivitas aron tersebut. Untuk mengetahui semua itu, peneliti harus bisa mengerti

bahasa setempat (native speaker). Sehingga penulis dapat berkomunikasi dengan baik

dengan para informan untuk ‘mengorek’ isi kepala mereka tentang permasalahan yang

diteliti.

Hal ini seperti yang dilakukan oleh W.H Goodenoug (1997), dimana dalam aktivitas

sosial kelompok-kelompok sosial juga bahasa yang digunakan masyarakat yang diteliti.

10
Sama halnya untuk mengetahui isi pemikiran masyarakat Sugihen mengenai konsep aron.

Maka untuk itu, penulis perlu berkomunikasi dengan masyarakat Lau Solu dengan

memahami bahasa setempat. Melalui pengamatan yang terfokus pada rangkaian peristiwa

dalam rentang waktu dengan perhatian pada hubungan yang satu terkait antara satu

peristiwa dengan peristiwa yang lainnya.

1.3. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah

penelitian ini adalah menguraikan tentang kehidupan aron di Desa Lau Solu. Maka ruang

lingkup masalah yang akan diteliti difokuskan pada :

1. Bagaimana Pergeseran Nilai Aron pada masyarakat Desa Lau Solu ?

2. Apa motivasi masyarakat Suku Alas ( Pendatang ) sebagai aron di Desa Lau Solu ?

3. Bagaimana terbentuknya sebuah komunitas aron di Desa Lau Solu ?

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian

A.Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan pergeseran

makna serta mengetahui pergeseran Aron pada masyarakat Desa Lau Solu dan

Bagaimana terbentuknya sebuah komunitas aron di Desa Lau Solu serta Apa motivasi

masyarakat Suku Gayo (Pendatang) sebagai Aron di Desa Lau Solu.

B. Manfaat penelitian

11
Manfaat penelitian ini dapat dilihat secara akademis dan praktis. Secara akademis,

manfaatnya menambah pemahaman mengenai makna Aron pada masyarakat Karo di Desa

Lau Solu. Secara praktis manfaatnya adalah memberikan sumbangan pemikiran dan

masukan-masukan kepada masyarakat luas dalam bagaimana sebuah realita sosial dalam

perkembangan dan perubahan sebuah tradisi.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodologi

penelitian kualitatif. Metode ini digunakan dengan tujuan menghasilkan tulisan etnografis

yang bersifat deskriptif mengenai pergeseran makna aron tersebut. Creswell dalam

Kuswarno, 2008:34 menjabarkan elemen – elemen inti dari penelitian etnografi yaitu:

1. Penggunaan penjelasan yang detail.

2. Gaya laporan bersifat cerita (storry telling).

3. Menggali tema – tema kultural, seperti tema – tema tentang peran dan perilaku

masyarakat.

4. Menjelaskan kehidupan keseharian orang – orang (everyday life of person)

bukan peristiwa khusus yang menjadi pusat perhatian.

5. Laporan keseluruhan perpaduan antara deskriptif, analitis dan interpretatif.

6. Hasil penelitian memfokuskan bukan pada apa yang menjadi agen perubahan

tetapi pada pelopor untuk berubah yang bersifat terpaksa.

Penelitian etnografi memfokuskan pada penelitian lapangan (filed works), yaitu

dengan memilih lokasi penelitian tertentu sebagai tempat untuk melakukan pengumpulan

data sesuai dengan masalah penelitian yang telah ditetapkan. Spradley (1997: 3)

menyatakan bahwa etnografi merupakan kegiatan mendeskripsikan suatu kebudayaan yang

12
bertujuan untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli.

Sebagaimana juga yang dikatakan Malinowski, tujuan etnografi adalah memahami sudut

pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk mendapatkan pandangan

mengenai dunianya (1922: 25). Oleh karena itu, penelitian etnografi melibatkan aktivitas

belajar mengenai dunia orang yang telah belajar melihat, mendengar, berfikir, dan

bertindak dengan cara yang berbeda. Tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu

etnografi berarti belajar dari masyarakat. Spradley (1997: xvi) menjelaskan ciri – ciri khas

dari metode penelitian lapangan etnografi ini adalah sifatnya yang holistic-integratif (saling

berkaitan dan menyatu), thick description (deskripsi yang mendalam dan analisis kualitatif

dalam rangka mendapatkan native’ s point of view (sudut pandang masyarakat yang

diteliti).

Prosedur penelitian kualitatif lebih bersifat sirkuler, artinya dalam hal – hal tertentu

langkah atau tahapan penelitian dapat diulang satu atau beberapa kali sampai diperoleh data

yang lengkap untuk membangun teori dasar (grounded theory). Dalam konteks ini, peneliti

dimungkinkan untuk beberapa kali turun kelapangan (Berutu, dkk. 2001:46). Dalam

penelitian ini ada dua jenis data yang digunakan, yaitu data primer dan data sekunder.

Adapun data primer diperoleh dari lapangan melalui observasi dan wawancara, sedangkan

data sekunder merupakan data yang diperoleh dari Pemerintah Kabupaten Karo serta

beberapa data dari internet, jurnal sebagainya yang berhubungan dengan penelitian ini.

Dengan metode penelitian etnografi ini saya akan memaparkan makna dan bagaimana

terbentuknya aron sesuai dengan pokok permasalahan yang saya teliti. Dengan metode

etnografi saya akan berinteraksi langsung dengan masyarakat yang diteliti untuk

mendapatkan data – data yang dibutuhkan dalam penelitian ini. Adapun teknik

pengumpulan data dalam penelitian etnografi yaitu: Hidup Bersama Masyarakat yang

13
diteliti Untuk mendapatkan data secara mendalam tentang permasalahan yang akan saya

kaji dalam penelitin ini maka saya akan tinggal bersama masyarakat yang akan saya teliti.

Dengan begitu, saya bisa lebih mendekatkan diri terhadap masyarakat yang akan saya teliti.

Dengan adanya interaksi antara saya dengan informan maka akan lebih memudahkan saya

untuk memperoleh data yang saya butuhkan.

1. Wawancara Mendalam (interview guide)

Wawancara akan saya lakukan dengan para informan di tempat penelitian saya. Adapun

wawancara yang akan saya lakukan adalah wawancara mendalam untuk menggali data

yang lebih banyak mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Saya juga akan

menggunakan pedoman wawancara (intervie guide) untuk memudahkan saya melakukan

Tanya jawab dengan informan.

2. Pengamatan (observasi)

Saya juga akan melakukan observasi yang bersifat pasrtisipasi (terlibat) langsung

dengan tempat dimana saya akan melakukan penelitian. Dimana saya akan mengamati

perilaku setiap informan dengan cara lansung melibatkan diri dalam kegiatan tertentu yang

terjadi di lokasi penelitian. Dengan begitu saya akan jauh lebih banyak mengetahui hal –

hal yang tidak perlu saya tanyakan kepada informan, karena saya telah mengamati perilaku

informan secara langsung.

3. Penggunaan Kamera

Pada saat melakukan pengumpulan data penelitian akan menggunakan kamera sebagai

alat untuk mendokumentasikan perilaku informan maupun hal – hal yang bersifat fisik atau

non fisik yang saya anggap penting untuk dijadikan dokumen dan akan mempermudah saya

14
untuk mengingat peristiwa atau kejadian penting yang terjadi selama saya melakukan

penelitian. Dokumentasi yang dihasilkan akan membantu memaparkan suatu peristiwa

maupun hal – hal penting baik itu bersifat fisik atau non fisik untuk dijadikan sebagai data

tambahan dalam penelitian ini.

6.Informan Penelitian

Informan penelitian terdiri dari informan kunci dan informan biasa. Informan kunci

adalah: Orang – orang yang paham dan mengerti benar mengenai masalah yang akan

diteliti dan terlibat langsung dalam masalah. Seperti pemilik atau penanggung jawab lokasi.

Sedangkan informan biasa adalah: Orang – orang yang dapat memberikan informasi

mengenai suatu masalah sesuai dengan pengetahuan mereka saja (sekilas).

15

Anda mungkin juga menyukai