Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sejarah tentang masalah perkembangan pemikiran keislaman memiliki
mata rantai yang panjang dan kajian atas persolan ini pasti akan melibatkan
kompleksitas ,namun sejalan dengan itu upaya pangilan iformasi mengenal
perkembangan pemikira isalam melaluin data-data [naska-naska]yang
dihasilkan oleh para pemikiran terdahulu([ulama terdahulu)menjadi sesuatu
yang mutlak harus terus dilakukan,mengingat tema yang terkandung dalam
naskah-naskah tersebut pun sangat beragam dan diantar tema yang cukup
dominan serta telah banyak menarik perhatian para penelitian naskah adalah
tentang tasawuf .
Dalam islam kita mengenal al-ahwal yang terbagi menjadi al
khauf,arraja’asy- sauf,dan Murakobah dan banyak lagi,dimana sering di
temukan perbedaan pendapat dari berbagai tokoh-tokoh .Dari paparan diatas
penulis tertarik untuk memabahas tentang corak-corak tasawuf tersebut dan
menemukan maksut dari ial-ahwal

B. Rumus Masalah
Dari latar belakang masalah di atas ,maka muncul tugas penulis untuk
menjelaskan lebih jawu tentang
1. Bagaimana Khauf dan raja?
2. Bagaimana Mahabah?
3. Bagaimana Makrifah?
4. Bagaimana Hulul?
5. Bagaimana Ittihad?
6. Bagaimana Windatul Wujud?

1
C. Tujuan Masalah
Tujuan dari penyususunan makalah ini adalah agar mahasiswa dapat
menambah khazanah ilmu pengetaun mengenal:
1. Mengetahui Khauf dan raja
2. Mengetahui Mahabah
3. Mengetahui Makrifah
4. Mengetahui Hulul
5. Mengetahui Ittihad
6. Mengetahui Windatul Wujud

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ar-raja’
Raja’ berarti mengharapkan sesuatu dari Allah s.w.t. ketika berdo’a maka
kita penuh harapan bahwa do’a kita akan dikabulkan oleh Allah s.w.t. Al-
ghazali memandang raja’ sebagai senangnya hati karena menunggu sang
kekasih datang kepadanya.sedangkan menurut Al-kusyairio raja’ adalah
keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan
datang sementara itu Abu akar al- warraq menrangkan bahwa raja’ ialah
kesenangan dari Allah bagi hati orang yang takut jika tidak karene itu maka
binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang
dikemukakan ahli sufi diatas maka dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap
optimis dalam memperoleh karunia dan nikmat Allah s.w.t yang disediakan
bagi hambahnya yang shaleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar
untuk melakukan berbagai amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk
dan keji.
Kata ini berarti satu sikap mental optimisme dalam memperoleh karunia
dan nikmat ilahi yang disediakan bagi hambah-hambahNya yang shaleh. Oleh
karena itu Allah maha pengampun, pengasih, dan penyayang, maka seorang
hamba yang taat merasa akan memperoleh limpahan karunia ilahi. Jiwanya
penuh pengharapan akan mendapat ampunan, merasa lapang dada penuh gairah
menanti rahmat dan kasih sayang Allah karena itu merasa itu akan terjadi.
Perasaan1 optimis akan memberikan semangat dan gairah melakukan mujahad
demi terwujudnya apa yang diidam-idamkan itu.2

B. Al-khauf
Khauf menurut ahli sufi adalah suatu sikap mental merasa takut kepada
Allah karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut dan kawatir kalau-kalau
1
Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 2003 : 132
2
Said Usman, 1981 : 150

3
Allah tidak senang padanya. Oleh karena itu adanya perasaan seperti itu maka
ia selalu berusaha agar sikap dan tingkah laku perbuatannya tidak menyimpang
dari yang dikehendaki Allah. Sikap mental ini merangsang seseorang
melakukan hal-hal yang baik dan mendorongnya untuk menjauhi perbuatan
maksiat. Perasaan khauf ini timbul karena pengenalan dan klecintaan kepada
Allah sudah mendalam, sehingga ia merasa kawatir kalau-kalau Allah
melupkannya atau takut kepada siksa Allah. (said usman, 1981 :148)
Allah juga menggambarkan tentang hari kiamat dengan gambaran yang
mengerikan agar kita takut dalam menghadapinya ; Surat Al- Haj 1-2

Artinya :
Hai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguhnya
kegoncangan hari kiamat itu adalah suatu kejadian yang sangat besar
(dahsyat).
(Ingatlah) pada hari (ketika) kamu melihat kegoncangan itu, lalailah
semua wanita yang menyusui anaknya dari anak yang disusuinya dan
gugurlah kandungan segala wanita yang hamil, dan kamu lihat
manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka tidak
mabuk, akan tetapi azab Allah itu sangat kerasnya.3

Macam-macam Al-khauf
Pengarang Manazilus-Sa'irin menjelaskan, bahwa khauf artinya tidak merasa
tenang dan aman karena mendengar suatu pengabaran. Dengan kata -lain tidak
merasa aman karena mengetahui apa yang dikabarkan Allah, baik yang berupa
janji maupun ancaman. Menurutnya ada tiga derajat khauf
1. khauf terhadap hukuman, yaitu khauf yang ditunjang iman hingga menjadi
benar. Ini khan f nya orang-orang awam
2. Khau f terhadap tipu daya selagi dia dalam keadaan radar dan yang bisa
mengganggu kesenangan hatinya.
3
S. H. Nasr (b), Mulla Sadra and the Doctrine of the Unity of Being, dalam the
philosophical forum, h. 153-4.

4
3. Ini merupakan khauf nya orang-orang khusus, yang praktis tidak lagi
mempunyai khauf selain Bari haibah karena pengagungan. Ini merupakan
derajat paling tinggi dalam khauf. 13

C. Mahhabat
Mahabbah adalah cinta yang luhur, suci dan tanpa syarat kepada Allah.
Pencapaian cinta ini mengubah “murid” dari “orang-orang yang menginginkan
Allah” menjadi “murad”, “orang yang diinginkan Allah”. Bila ingin mendaki
mulai dari derajat orang yang mencintai Allah ke derajat orang yang dicintai
Allah, jalan ke arah sana adalah dengan amalan pribadinya.
Keutamaan mahabbah itu sendiri dijelaskan oleh Rasul dalam sebuah hadits: .7
“ Diriwayatkan daripada Anas bin Malik r.a katanya: Seorang lelaki yang
berasal dari pedalaman bertanya Rasulullah s.a.w: Bilakah berlakunya
Kiamat? Rasulullah s.a. w bersabda: Apakah persediaan kamu untuk
menghadapinya? Lelaki itu menjawab: Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu akan tetap bersama orang yang
kamu cintai. Amalan manusia memang masih begitu banyak kelemahan dan
kekurangan, namun bila manusia telah mampu menyatukan rasa cinta
(mahabbah) yang sejati, bersih dan abadi kepada Allah dan Rasul-Nya ke
dalam hatinya, maka itulah yang akan mampu menutupi kekurangan-
kekurangan pada amalnya, lalu mengantarkannya ke tempat yang luhur, yang
boleh jadi sulit diraih angan- angannya, serta kemuliaannya sulit
digapai oleh kedudukannya. Oleh sebab itu, perawi hadits di atas, Anas
bin Malik pernah mengatakan, “Aku mencintai Allah, Rasul-Nya, Abu Bakar
dan Umar, dengan harapan semoga kelak aku bersama dengan mereka,
meskipun aku tidak pernah melakukan layaknya perbuatan mereka.”4

Masalah semacam ini adalah masalah yang sedemikian agung yaitu


kedudukan yang diperebutkan oleh mereka yang berlomba kepada kebaikan,
dan menjadi kepribadian orang-orang yang beramal, dan dalam rangka
menuju ke arah sana, mereka yang berlomba tersebut saling bergegas.
Kedudukan tersebut menjadi wilayah fana’ para pecinta dan para ahli ibadah
menentramkan jiwanya. Keutamaan yang lain adalah dapat mengantarkan
hamba yang memiliki kecintaan tersebut di antara penghuni langit. Sebab para
4
Syukur, Amin. 1999. Menggugat Tasawuf; Sufisme dan Tanggung Jawab Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 18

5
malaikat akan selalu mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allah atas
kedekatannya dengan-Nya, juga karena mereka selalu memenuhi perintah
Allah. sebagaimana sabda Rasulullah:
“Apabila Allah mencintai seorang hamba,Dia memanggil
Jibril, „Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka cintailah dia!‟
Kemudian Jibril pun mencintainya. Lalu, Jibril menyerukan kepada
seluruh penghuni langit, „Sesungguhnya Allah mencintai Fulan, maka
cintailah dia!‟ Kemudian, penghuni langit itupun mencintainya. Lalu, orang
tersebut didudukkan sebagai orang yang diterima di muka bumi.” (HR. Imam
Bukhari) 5

D. Wahdatul Wujud
wahdatul wujud erat terkait dengan tauhid yang merupakan inti ajaran
Islam. Al-Ghazali membagi tauhid menjadi empat tingkatan. Pertama, tauhid
yang hanya diucapkan oleh lidah tapi diingkari oleh hati; ucapan orang
munafik. Kedua, tauhid yang diucapkan lidah sekaligus diyakini hati; tauhid
muslim awam. Ketiga, tauhid yang dibarengi dengan penyaksian melalui
penyingkapan (kasyf) bahwa yang beragam dan banyak berasal dari Yang Esa;
tauhid orang yang didekatkan (muqarrabin). Keempat, tauhid shiddiqin yang
melihat dalam wujud hanya satu, yang oleh para Sufi disebut sirna dalam
tauhid (fana’ fi al-tauhid), yang rahasia ilmu ini tidak seharusnya ditulis dalam
buku.i
Dalam memahami wahdatul wujud, para ulama tidak bergantung pada
penalaran rasional semata, untuk memahami doktrin ini secara intelektual
seseorang juga memerlukan kecerdasan intuitif-kontemplatif; dan untuk
sepenuhnya mengalaminya seseorang haruslah menjadi Sufi.ii Bentuk
penjelasan rasional yang dipilih, misalnya, oleh Mulla Sadra untuk
menerangkan wahdatul wujud tidak dapat menyembunyikan fakta bahwa
sumber dari pengetahuan ini adalah pengalaman,iii seperti yang disinggung al-
Ghazali ketika menjelaskan tauhid melalui penyaksian yang diperoleh melalui
kasyf. Memahami hal-hal yang tidak hanya berdasarkan atas nalar dan
pengalaman normal mengharuskan kita menyadari bahwa seseorang yang
5
Ibrahim Tatang, Drs. 1996, Fiqih Mts, Bandung: Armiko, hal 11

6
belum mencapai tingkat pengalaman seperti yang dicapai para Sufi tidak
selayaknya mengingkari penjelasan dari orang yang sudah mengalaminya.
Tentang hal ini secara gamblang Abdul Karim al-Jili mengingatkan kita bahwa
”...Setiap ilmu yang tidak dikuatkan oleh al-Kitab dan al-Sunnah adalah
kesesatan, bukan karena kamu tidak menemukan apa yang menguatkannya
(tapi hakikat penguatan itu sendiri yang harus ada). Karena boleh jadi sebuah
ilmu dalam dirinya sendiri dikukuhkan oleh al-Kitab dan al-Sunnah, tapi
ketidaksiapanmu menghalangimu memahaminya dan kamu tidak mampu
meraihnya, sehingga kamu menduga bahwa ilmu itu tidak dikuatkan oleh al-
Kitab dan al-Sunnah. Dalam keadaan demikian, yang harus kamu lakukan
adalah pasrah (taslim) dan tidak mengamalkannya tanpa mengingkarinya....”iv
Diskusi pada bagian ini didasarkan pada elaborasi al-Attas tentang intuisi
wujud.v Dalam Islam pengetahuan tentang hakikat sesuatu diperoleh melalui
sarana intuisi—yang dipahami tidak terbatas hanya pada pengalaman
inderawi.vi Pada tingkatan nalar dan pengalaman awam, manusia melihat dunia
sebagai sesuatu yang banyak, beragam, terpisah, berdiri sendiri dan untuk
memahaminya dibutuhkan pembedaan subjek-objek. Kondisi ini disebut
keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) yang merujuk pada dunia yang
dipahami sebagai sesuatu yang beragam dan terpisah. Penyebutan keterpisahan
ini sebagai ’yang pertama’ mengisyaratkan kemungkinan terjadinya
keterpisahan kedua (al-farq al-tsani)—yang dialami setelah seseorang
mengalami transformasi—dimana seseorang melampaui keragaman dan dia
mampu melihat hakikat dunia. Transformasi tersebut bisa dicapai melalui
serangkaian disiplin yang memungkinkan seseorang untuk melampaui dunia
keragaman dan mencapai keadaan fana’ dan baqa’ dimana dia memeroleh visi
tentang ke-satu-an segala sesuatu dalam Asal transendennya.vii Keterpisahan
kedua yang dialami oleh seseorang berarti bahwa dia melihat dunia yang
beragam dan terpisah (the world of multiplicity in separateness) dengan cara
berbeda dengan yang dialaminya pada keterpisahan pertama yang dimiliki
semua orang.6

6
Abd al-Karim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi Ma’rifah al-Awakhir wa al-Awa’il, h. 11-2.

7
Keterpisahan disini memiliki dua konotasi. Yang pertama merujuk pada
keterpisahan antara yang Mutlak dari ciptaan dengan cerapan manusia. Istilah
keterpisahan pertama (al-farq al-awwal) juga menyiratkan bahwa sebelumnya
tidak ada keterpisahan, yang merujuk pada ’manusia’ sebelum dia menjadi
manusia. Kondisi ini diisyaratkan dalam al-Quran:
"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul
(Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu)
agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam)
adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)"viii
Tentang penjelasan ayat ini, al-Junaid mengatakan ”Dalam ayat ini Allah
memberitahumu bahwa Dia berfirman pada mereka pada saat mereka belum
ada, kecuali sejauh mereka ada untuk-Nya. Eksistensi ini tidaklah sama dengan
yang biasa dilekatkan pada makhluk dan hanya diketahui oleh-Nya.” ix Dalam
ayat ini Allah swt. mempersaksikan (asyhada) terhadap manusia sifat
Ketuhanan-Nya (rububiyah) dalam pengertian bahwa mereka tahu, dengan
pengalaman langsung dan persaksian, Realitas dan Kebenaran yang
disingkapkan pada mereka. Dengan persaksian dan pengakuan manusia,
mereka telah mengikat perjanjian dengan Tuhan seraya mengakui-Nya sebagai
Tuhan mereka. Pengakuan dan persaksian ini memastikan kesadaran akan
pembedaan antara mereka—sebagai hamba—dan Tuhan.x
Makna kedua dari konotasi terkait dengan kesadaran dan pengalaman akan
keterpisahan dalam segala hal di dunia. Dalam melihat dunia yang terbentuk
dari keragaman, orang awam melihatnya sebagai kenyataan yang saling
terpisah, beragam, dan berdiri sendiri dan meyakini bahwa tidak ada sesuatu
dibalik keragaman itu. Tingkatan yang lebih tinggi adalah mereka, yang
sekalipun pandangannya terhadap realitas tidak dapat menjangkau diluar
keragaman, mengakui bahwa apa yang dapat mereka jangkau dengan nalar dan
pengalaman mereka, yakni inderawi-rasional, bukanlah satu-satunya realitas.
Mereka mengakui Realitas diluar yang dapat mereka jangkau yang sama sekali

8
berbeda dengan jangkauan nalar dan pengalaman mereka dan secara teologis
disebut Tuhan. Pandangan dunia yang bersifat dualistik ini kemudian
berkembang—dalam tataran saintifik, filosofis, dan teologis—menjadi apa
yang kemudian dikenal sebagai pembedaan antara esensi dan eksistensi.
Menurut pandangan ini, sesuatu memiliki esensi—yakni kuiditas (quiddity),
yang secara ontologis merupakan substansinya—dan eksistensi yang
dipandang sebagai aksiden dari esensi. Pandangan semacam ini didasarkan
pada perkembangan saintifik dan filosofis yang didasarkan hanya pada nalar
dan pengalaman awam.xi
Menurut perspektif metafisika Islam yang didasarkan pada hikmah al-
Quran, tidak terdapat pembedaan antara esensi dan eksistensi dalam realitas
eksternal (extra-mental reality), pembedaan itu hanya ada dalam pikiran.
Dalam realitas eksternal, apa yang dipandang sebagai penyifatan
(qualification) esensi-esensi yang beragam dengan eksistensi adalah
pengungkapan-pengungkapan (determinations) dan pembatasan-pembatasan
(delimitations) dari Eksistensi yang mencakup semua (all-embracing and
pervasive Existence) menjadi bentuk-bentuk partikular. Jadi, hakikat segala
sesuatu adalah realitas Eksistensi yang mencakup semua (all-encompassing
reality of Existence) yang mewujudkan bentuk-Nya yang beragam dan berbeda
(Its multiple and diverse modes) dalam tindakan perluasan (basth) dan
penyusutan (qabdl) berkesinambungan dalam gradasi, dari tingkatan
kemutlakan pada tingkatan pengungkapan yang beraneka ragam hingga
mencapai wilayah inderawi. ’Sesuatu’ dalam dirinya sendiri, yang dipahami
dalam keterpisahannya dari Realitas,xii bukanlah sesuatu dalam yang ber-ada,
karena ia adalah sesuatu yang (selalu) musnah.xiii Apa yang sebenarnya ’ada’
adalah aktualisasi dari salah satu mode dari Realitas. Jadi, Eksistensilah yang
merupakan ’esensi’ sebenarnya dari sesuatu; dan apa yang selama ini
dipersepsi sebagai esensi (mahiyyah) sesuatu tidak lain merupakan aksiden
untuk eksistensi.xiv
Islam sebagai agama monoteistik membangun sistem ontologi, kosmologi
dan psikologi dalam kerangka wahdatul wujud. Sistem-sistem ini tidak boleh

9
disamakan dengan, misalnya, konsep yang tampak sama dalam Neo-
Platonisme atau konsep Hindu yang merujuk pada Weda. Konsep wahdatul
wujud dalam Islam dapat dilacak dasar-dasarnya dalam Al-Quran yang
berpengaruh terhadap terhadap setiap aspek kehidupan Muslim.xv

E. Hulul
1. Pengertian, Tujuan Dan Kedudukan
Hulul merupakan salah satu konsep didalam tasawuf falsafi yang
meyakini terjadinya kesatuan antara kholiq dengan makhluk. Secara harfiah
hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu
manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat kemanusiaannya melalui
fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma’ sebagai dikutip
Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih
tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab
pernyataan tersebut berbunyi: “Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad
(tertentu) dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah)
menghilangkan sifat-sifat kemanusiaan”.
Tokoh yang Mengembangkan Paham al-Hulu
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang
mengembangkan paham al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah
Husein bin Mansur al-Hallaj. la lahir tahun 244 H. (858 M.) di Negeri
Baidha, salah satu kota kecil yang terletak di Persia. Dia tinggal sampai
dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan dalam usia 16 tahun dia telah pergi
belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan terkenal, bernama Sahl bin
Abdullah al-Tustur di Negeri Ahwaz. Selanjutnya ia berangkat ke Bashrah
dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan pada tahun 264
H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga seorang
sufi. Selain itu ia pernah juga.7

7
M Suparta., M.A, Mundzier fiqih,( Bandung: Karya Toha Putra, 2006)h.67

10
Hulul atau juga sering disebut "peleburan antara Tuhan dan manusia"
adalah paham yang dipopulerkan Mansur al-Hallaj. Paham ini menyatakan
bahwa seorang sufi dalam keadaan tertentu, dapat melebur dengan Allah.
Dalam hal ini, aspek an-nasut Allah bersatu dengan aspek al-lahut manusia.
Al-Lahut merupakan aspek Ketuhanan sedangkan An-Nasut adalah aspek
kemanusiaan. Sehingga dalam paham ini, manusia maupun Tuhan memiliki
dua aspek tersebut dalam diri masing-masing.
Dalam sufistik-mistis, orang yang mengalami hulul akan mengeluarkan
gumaman-gumaman syatahat (kata-kata aneh) yang menurut para mistikus
disebabkan oleh rasa cinta yang melimpah. Para sufi yang sepaham dengan
ini menyatakan gumaman itu bukan berasal dari Zat Allah namun keluar
dari roh Allah (an-nasut-Nya) yang sedang mengambil tempat dalam diri
manusia.
Beberapa ungkapan Al-Hallaj yang terdapat makna Hulul adalah sebagai
berikut: Al-Hallaj pernah ditanya" Siapakah anda?, ia menjawab 'aku adalah
Allah".
Diantara sya'ir Al-Hallaj yang terkenal adalah sebagai berikut:
Aku adalah Allah
Dan aku benar-benar Allah
Aku menyandang Dzat-Nya
Hingga tiada beda antara aku dengan-NyaAku adalah orang yang menitis
Dan yang menitis itu adalah aku
Kami adalah dua ruh yang menempati satu jasad
Ruh-Nya adalah ruhku
Dan ruhku adalah ruh-Nya
Siapakah yang melihat dua ruh
Yang menempati satu jasad.
Gejala pemikiran Al-Hallaj yang berupa hulul sehingga terucap dalam
ungkapan-ungkapannya tersebut diatas telah ada tanda-tandanya sejak ia
melaksanakan ibadah haji pertama kali ke Makkah…Ketika melaksanakan
haji ia berjanji pada dirinya akan menyelesaikan umrah selama satu tahun di

11
Masjidil Haram dengan berpuasa dan berzdikir. Pada kesempatan ini Al-
Hallaj berusaha menurut caranya sendiri untuk menyatu dengan Allah
SWT., dan mulai sejak itu pula Al-Hallaj menyerukan konsep hululnya itu.

F. Al-Ittihad
Ittihad secara secara bahasa berasal dari kata ittahada-yattahidu yang
artinya (dua benda) menjadi satu, yang dalam istilah Para Sufi adalah satu
tigkatan dalam tasawuf, yaitu bila seorang sufi merasa dirinya bersatu dengan
tuhan. Yang mana tahapan ini adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang
sufi setelah ia melalui tahapan fana` dan baqa`. Dalam tahapan ittihad, seorang
sufi bersatu dengan tuhan. Antara yang mencintai dan yang dicintai menyatu,
baik subtansi maupaun perbuatannya.
Harun Nasution memaparkan bahwa ittihad adalah satu tingkatan ketika
seorang sufi telah merasa dirinya bersatu dengan tuhan, satu tingkatan yang
menunjukkkan bahwa yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu,
sehinggga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-
kata, “Hai aku…”.
Dengan mengutip A.R. al-Baidawi, Harun menjelaskan bahwa dalam
ittihad yang dilihat hanya satu wujud sunggguhpun sebenarnya ada dua wujud
yang berpisah satu dari yang lain. Karena yang dilihat dan dirasakan hanya satu
wujud, maka dalam ittihad telah hilang atau tegasnya antara sufi dan tuhan.
Dalam ittihad. Identitas telah hilang, identitas telah menjadi satu. Sufi yang
bersangkutan, karena fana`-nya tak mempunyai kesadaran lagi dan berbicara
dengan nama tuhan.
Dalam hal ini, Dr. Muhammad Abd. Haq Ansari dalam bukunya
menyatakan;Ada dua tingkat penyatuan (ittihad) yang biasa dibedakan yaitu
merasa bersatu dengan tuhan, tetapi tetap menyadari perbedaan dirinya dengan
tuhan; inilah ydng disebut tingkat bersatu (maqam i-jam`). Pada tahap
selanjutnya adalah kesadaran dari ketiadaan yang bersama-sama dan mistik
adalah kesadaran akan adanya Maha Zat yang sangat berbeda. Kaum Sufi
memandangnya sebagai tingkat kebersatuan mutlak (Jam`al al-jam`; secara

12
harfiah adalah bersatunya kebersatuan).
Al-Ghazali menjelaskan kebersatuan mutlak ini sebagai berikut;
Apabila Makrifat mencapai pengalaman yang lebih tinggi, maka mereka akan
bersaksi akan tiadanya sesuatu yang terlihat kecuaki satu Zat yang maha ada
(al-haqq). Bagi sebagian orang, ini adalah perwujudan intelektual. Tetapi bagi
yang lain, ia merupakan pengalamn afektif (hal-an wa dzauq-an); pluralitas
menghilang darinya secara bersama-sama. Mereka merasa terserap ke dalam
kesatuan Murni (al-Fardaniyyat al-Mahdhah), kehilangan intelektunya secara
utuh, pingsan dan bingung. Mereka tidak lebih sadar akan sesuatu kecuali
selain Tuhan, bahakan terhadap dirinya sendiri sekaipun baginya, tiada sesuatu
yang ada kecuali Tuhan; sebagi akibatnya mereka dalam keadaan kehinlangn
fikiran sadar (sukr) yang telah meniadakan kemampunanya untuk
mengendalikan nalar. Salah satu dari mereka berkata: “Aku adalah Tuhan”,
sedang yang lain menyatakan: “Sucikanlah aku, (lihatlah) betapa agungnya
aku”; sedang yang ketiga berkata: “ Tiada sesuatu dibalik jubah ini keculai
Tuhan”. Apabila pengalaman mistik ini menera, biasnya disebut ketiadaan
(fana`) atau bahkan ketiadaan dari ketiadaan (fana` al-fana`). Baginya ia
menjadi tidak sadar akan dirniya dan tidak sadar akan ketidaksadarannya
(fana`), karena ia tidak sadar akan dirinya dalam keadan demikian atau
kelupaannya akan diri. Apabila ia sadar akan kelupaannya, berarti ia mulai
menyadari diri-nya sendiri. Keadaan ini disebut sebagai penyatuan (ittihad)
tetapi tentu saja dalam bahasa kiasan (majaz) dan dalam bahasa kenyataan (al-
haqiqah) berarti pengakuan akan keesaan (tauhid).Ketika sampai ke ambang
pintu ittihad dari sufi keluar ungkapan-ungkapan ganjil yang dalam istilah
sufi disebut syatahat.8
Dengan fana`-Nya Abu Yazid meninggalkan dirinya dan pergi ke hadirat
tuhan. Bahwa ia telah berada dekat pada tuhan dapat dilihat dari Syathahat
yang diucapkannya. Ucapan-ucapan yang demikian belum pernah didengar
dari sufi sebelum Abu Yazid, umpamanya:
‫ك فََأنَا َعْب ٌد فَِقْيٌر‬
َ َ‫ب ِم ْن ُحيِّب ْ ل‬
َ ‫ت َأَت َع َّج‬
ُ ‫لَ ْس‬
8
Ibif.h.77

13
‫ك قَ ِد ْيٌر‬
ٌ ِ‫ت َمل‬ َ ِّ‫ب ِم ْن ُحب‬
َ ْ‫ك يِل ْ َوَأن‬
ِ
ُ ‫َولَكيِّن ْ َأَت َع َّج‬
Artinya:
“Aku tidak heran terhadap cintaku pada-mu karena aku hanyalah hamba yang
hina, tetapi aku heran terhadap cinta-Mu padaku. Karena engkau adalah Raja
Mahakuasa”

Tatkala berada dalam tahapan ittihad, Abu Yazid berkata:

َ‫ فََأ ْنتَ َأنَا َوَأنَا َأ ْنت‬:‫ت‬


ُ ‫ يَا َأبَا يَ ِز ْي َد ِإنَّهُ ْم ُكلَّهُ ْم خَ ْلقِ ْي َغ ْي َركَ فَقُ ْل‬: ‫ال‬
َ َ‫ق‬
Artinya:
“Tuhan berkata, ”Semua mereka –kecuali engkau- adalah makhluk.” Aku pun
berkata, “Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau.”

Selanjutnya Abu Yazid berkata lagi:


َ َ‫ فَق‬،‫ يَا َأنَا‬:‫ت بِ ِه‬
:‫ال لِي‬ ُ ‫ فَقُ ْل‬، َ‫ يَا َأ ْنت‬:‫ فَقَا َل ِلي‬.‫صا َر ال ُكلُّ بِال ُك ِّل َوا ِحدًا‬ ِ ‫صا َر ال َكلِ َمةُ َو‬
َ ‫اح َدةً َو‬ َ َ‫فَا ْنقَطَ َع ال ُمنَا َجةُ ف‬
‫ َأنَا َأنَا‬: َ‫ َأ ْنتَ َأ ْنت‬:‫ َأنَا الفَرْ ُد قَا َل ِلي‬: ‫ت‬
ُ ‫ قُ ْل‬.ُ‫َأ ْنتَ الفَرْ د‬

Artinya:
“Konversasi pun terpututs, kata menjadi satu, bahkan seluruhnya menjadi satu.
Ia pun berkata, “Hai engkau, “Aku pun- dengan perantaraan-Nya enjawab,
“Hai Aku, “Ia berkata, “Engkaulah yang satu. “engakau adalah Engkau.” Aku
balik menjawab, “Aku adalah Aku.”

‫ِإنِّ ْي َأنَا هللاُ الَ ِإلَهَ ِإالَّ َأنَا فَا ْعبُ ْدنِي‬
Artinya:
“Tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku.”
Suatu ketika seseorang melewati rumah Abu Yazid dan mengetuk pintu, Abu
Yazid bertanya, “Siapa yang engkau cari?” Orang itu menjawab, “Abu Yazid”,
Abu Yazid berkata. ”Pergilah, di rumah ini tidak ada, kecuali Allah yang maha
kuasa dan Mahatinggi.
Dialog antara Abu Yazid dengan Tuhan ini menggambarkan bahwa ia
dekat sekali dengan Tuhan. Godaan Tuhan untuk mengalihkan perhatian Abu
Yazid ke makhluk-Nya ditolak Abu Yazid. Ia tetap meminta bersatu
dengan Tuhan. Ini kelihatan dari kata-katanya, “Hiasilah aku dengan

14
keesaan-Mu.” Permintaan Abu Yazid dikabulkan Tuhan dan terjadilah
persatuan, sebagaimana terungkap dari kata-kata berikut ini, “Abu Yazid,
semuanya kecuali engkau adalah makhluk-Ku.” Akupun berkata, aku adalah
Engkau, Engkau adalah aku dan aku adalah Engkau."

15
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kalau kita lihat kepada berbagai aliran itu dengan ajran-ajaran yang
terkandung didalamnya, maka sebagian dari aliran-aliran tersebut masih tetap
berada dan lurus menurut jalan yang di tetapkan oleh Al-Qur`an dan hadits,
dan sebagian lainnya ada yang menyimpang dalam bentuk ajaran-ajaran yang
ekstrim.
Pada intinya tasawuf adalah upayah melatih jiwa dengan berbagai kegiatan
yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga
tercermin ahklak yang mulia dan dekat dengan Allah s.w.t. inilah esensi atau
hakikat tasawuf itu sendiri.

B. Saran
Setelah penjelasan dalam makalah ini sebagai manusia biasa penulis
memohon maaf apabila terjadi kesalahan dalam penjabaran masalah atau
penyimpangan- penyimpanganya. Penulis menerima saran yang sifatnya
membangun untuk kesempurnaan dalam penulisan makalah selanjutnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Harun Nasutio, Falsafat Dan Mistesisme Dan Islam (Jakarta : bulan bintang,
1983) Abudin Nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta : raja Grafindo Persada, 1996)
Said Usman. Pengantar ilmu tasawuf, (Medan Raja Grafindo Persada, 1981)
Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Madarijus Salikin (Pendakilan Menju Allah) (
Pustaka Al- Kautsar : 1998)
M.Si, Rizal Qosim, Drs. M. 2005,Pengalaman Fiqih, Yogyakarta: PT. Tiga
Serangkai Pustaka Mandiri,
Ibrahim Tatang, Drs. 1996, Fiqih Mts, Bandung: Armiko,
M.A, Mundzier Suparta M., 2006, fiqih, Bandung: Karya Toha Putra,
i
iAbu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, v. 4, h. 240-1.

iiS. H. Nasr (a), Intellect, Reason and Unity of Being.


iii S. H. Nasr (b), Mulla Sadra and the Doctrine of the Unity of Being, dalam the philosophical forum, h. 153-4.
iv
vPada bagian kelima dalam S. M. N. al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 177-217.
viTentang intuisi dalam pengertian filsafat Barat baca Philip Stoke, op. cit., h. 213.
vii S. H. Nasr (b), op. cit., h 154.
viiiSurah Al-A’raf: 172.
ixAbu al-Qasim al-Junaid, Kitab al-Fana’, dalam Rasail al-Junaid, h. 33.
x S. M. N. al-Attas (a), op. cit., h. 179-80.
xiIbid, h. 180
xiiBandingkan dengan al-Ghazali, Misykat al-Anwar, h. 138.
xiiiBaca Surah al-Qashash: 88 dan al-Rahman: 26-7.
xiv S. M. N. al-Attas (a), op. cit., h. 181-2.
xv

Anda mungkin juga menyukai