Anda di halaman 1dari 11

URGENSI PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Oleh: Muhammad Zuhdi

A. Pendahuluan

Indonesia adalah negara dengan beragam sukubangsa, bahasa, agama dan perbedaan sosial lainnya.
Keberagaman ini membuat Indonesia menjadi negara yang kaya akan budaya dan nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Sehingga kebudayaan nasional Indonesia menjadi sebuah kebudayaan yang
merupakan perpaduan dari beragam budaya bangsa Indonesia.

Menyadari keberagaman bangsa Indonesia, pada pendiri bangsa (founding fathers) telah
merumuskan sebuah ideologi yang mengikat beragam perbedaan tersebut. Artinya, negara mengakui
dan mengapresiasi beragam perbedaan tersebut dalam sebuah rumah besar yang diberi nama
Indonesia. Secara kesatuan dalam perbedaan tersebut dirangkum dalam sebuah motto nasional
Bhinneka Tunggal Ika.

Mengingat proses terbentuknya negara Indonesia yang merupakan wujud kesatuan dalam
keragaman, maka dapat dipahami bahwa sebenarnya bangsa Indonesia telah sejak lama sadar dan
menikmati keberagaman tersebut. Hal ini kemudian diperkuat dengan penggunaan bahasa nasional,
yaitu bahasa Indonesia, yang mencerminkan kesetaraan setiap suku dalam konteks bangsa dan
negara. Dikatakan demikian karena Bahasa Indonesia terambil dari bahasa melayu yang cenderung
egaliter dan memiliki penutur asli di setiap pulau besar di Indonesia. Karenanya, penggunaan bahasa
tersebut tidak menjadi hegemoni satu sukubangsa atas yang lainnya.

Kesadaran akan keragaman bangsa Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini terusik dengan
adanya beberapa persitiwa yang mencerminkan anti keragaman. Kerusuhan Mei 1998, misalnya,
memunculkan kembali dikotomi pribumi dan non-pribumi (terutama etnis Cina). Berbagai konflik lain
seperti yang terjadi di Ambon, Poso, Madura dan Bogor, seolah mempertanyakan kembali komitmen
bangsa Indonesia untuk mengakui keberagaman dan hidup dalam keragaman.

Tidak hanya di Indonesia, konflik atas dasar perbedaan latar belakang juga terjadi di negara-negara
lain. Konflik di Kashmir, Sudan dan Suriah adalah beberapa contoh bahwa konflik dengan latar
belekang perbedaan kelompok sosial juga terjadi di banyak negara. Bahkan di negara-negara maju
seperti Amerika dan Inggris juga tidak terlepas dari konflik-konflik sosial yang dilatarbelakangi oleh
perbedaan sosial, meskipun dalam skala yang lebih kecil. Di samping itu, di berbagai negara juga
terjadi diskriminasi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang menyebabkan mereka teralienasi
dari lingkungan sosial mereka. Salah satu contohnya adalah diskriminasi yang pernah dialami oleh
kaum kulit hitam di Amerika dan Eropa.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa di banyak tempat di dunia ini, keragaman masih merupakan
salah satu pemicu konflik dan diskriminasi. Oleh karenanya dipandang perlu untuk lebih melihat dan
memperlakukan perbedaan dan keragaman itu secara lebih positif. Sehingga meminimalkan kasus
konflik akibat perbedaan sosial, maupun diskriminasi atas kelompok minoritas. Inilah yang kemudian
antara lain melahirkan berbagai kebijakan dan teori multikultur.

B. Multikulturalisme: Merawat Kamajemukan

Migrasi antara wilayah, bahkan negara, merupakan hal yang lazim terjadi sejak dahulu kala.
Perindahan tersebut memungkinkan terjadinya pertemuan antara orang-orang yang berbeda latar
belakang sosial, budaya dan keyakinannya. Pada masa modern, di mana transportasi darat, laut dan
udara semakin maju, migrasi penduduk semakin tak terbatas. Daerah-daerah atau negara-negara
yang ekonominya lebih baik dari yang lain menjadi tujuan migrasi penduduk dari daerah atau negara
lain. Hal ini mengakibatkan terjadinya pertemuan orang dengan beragam latar belakang yang
berbeda.

Berkumpulnya orang dengan berbagai latar belakang di satu daerah atau negara berakibat pada
kemajemukan daerah atau negara tersebut. Dari sinilah muncul istilah pluralitas, yaitu kemajemukan
masyarakat. Dengan kata lain, masyarakat yang plural atau majemuk adalah suatu masyarakat yang
terdiri dari anggota masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Perbedaan-
perbedaan tersebut bisa meliputi perbedaan kebangsaan/ras, etnik dan agama. Oleh karena itu,
dapat dipahami bahwa kemajemukan masyarakat (pluralitas) merupakan realitas yang tak
terelakkan.

Realitas yang majemuk harus dibarengi dengan adanya pengakuan atas terhadap masing-masing
entitas yang membentuk kemajemukan tersebut, sehingga masing-masing anggota masyarakat sadar
dengan adanya perbedaan. Pengakuan terhadap kemajemukan ini kemudian dikenal dengan istilah
pluralisme. Syaifuddin (2006, 4) mendefinisikan pluralisme sebagai “pemahaman atau cara pandang
keanekaragaman yang menekankan entitas perbedaan setiap masyarakat satu sama.” Ini berarti
paham pluralisme adalah paham yang mengakui kemajemukan masyarakat dan mengakui eksistensi
setiap entitas yang menjadikan masyarakat tersebut majemuk. Pengakuan ini penting, karena akan
berimplikasi pada sikap anggota komunitas tertentu dengan komunitas lainnya. Namun demikian,
menurut Syaifudin lebih lanjut, pluralisme hanya memperhatikan perbedaan dan kurang
memperhatikan interaksi antar kelompok yang berbeda tersebut.

Kesadaran akan realitas masyarakat yang majemuk tidak secara langsung memberikan kesamaan hak
kepada entitas-entitas yang berbeda. Kuantitas anggota sebuah komunitas, pengaruh di bidang
politik, ataupun dominasi di bidang ekonomi seringkali menjadikan hubungan antara satu komunitas
dengan komunitas lain tidak setara. Sehingga muncullah istilah kelompok yang dominan (dominant
group) dan budaya yang dominan (dominant culture). Seperti disebutkan, dominasi tidak semata-
mata ditentukan oleh jumlah. Dominasi bisa ditentukan oleh kekuasaan, saat kelompok yang jumlah
anggotanya kecil memiliki kekuasaan (power) lebih besar dibanding kelompok lainnya. Dominasi
dapat juga ditentukan oleh ekonomi, ketika kelompok yang jumlahnya kecil menguasai sumber-
sumber ekonomi dan mempengaruhi kehidupan ekonomi mayoritas anggota masyarakat. Dominasi
tersebut berpotensi melahirkan terjadinya tirani yang mengabaikan hak-hak kelompok di luar
kelompok yang dominan itu. Hal ini tentu menimbulkan potensi gangguan sosial yang merugikan
kemajemukan masyarakat itu sendiri.

Manurut Charles Taylor (1994, 25) gerakan multikulturalisme, sebagaimana gerakan-gerakan politik
lain, didorong oleh kebutuhan atas pengakuan (recognition) terhadap keberadaan individu atau
kelompok yang berbeda. Dorongan ini berpangkal dari adanya pengabaian (misrecognition) terhadap
eksistensi seseorang atau kelompok yang mengakibatkan terjadinya penindasan dan pengekangan.
Berbagai perlakuan negatif terhadap kelompok atau individu terjadi di masa lalu diakibatkan antara
lain oleh sturktur sosial yang sedemikian rupa terjadi atau dibentuk untuk melanggengkan status
sosial seseorang atau kelompok.

Ketika konsep negara-bangsa mewujud menjadi realitas politik dan demokrasi menjadi nilai-nilai yang
disepakati banyak pihak, maka pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap hak-hak individu maupun
kelompok pun tak terhindarkan. Taylor (1994, 26) mengidentifikasi bahwa salah satu faktor yang
menumbuhkan kesadaran akan multikulturalisme adalah runtuhnya hirarki sosial. Perubahan bentuk
pemerintahan dari kerajaan, di mana suku atau keturunan tertentu mempunyai hak eksklusif dari
yang lain, menjadi pemerintahan demokratis, di mana semua orang punya hak politik yang sama,
memunculkan pertanyaan-pertanyaan kritis tentang kesamaan hak dan pengakuan identitas.

Kenyataan bahwa semua negara-bangsa memiliki masyarakat yang majemuk, baik secara kelompok
etnik maupun identitas pribadi, maka pengakuan terhadap keberadaan kelompok ataupun individu
yang berbeda menjadi sebuah tuntutan yang tak terelakkan. Dari sinilah multikulturalisme
menemukan momentumnya untuk berkembang, karena perbedaan antar kelompok atau individu
tidak dapat lagi disikapi secara sepihak oleh kelompok atau individu lainya. Para pemegang
kekuasaan pun tidak dapat dengan mudah mengabaikan hak-hak kelompok atau individu yang
berbeda identitasnya dengan identitas penguasa, karena negara-negara modern dibentuk atas dasar
kesamaan hak warga negaranya.

Kesadaran akan kesamaan hak warga negara ini mendorong terjadinya berbagai perubahan strategis
di bidang sosial politik. Banting dan Kymlika (2006, 1) mengidentifikasi adanya perubahan yang
signifikan dalam hal pengakuan terhadap perbedaan di dunia Barat, khususnya di dekade terakhir
abad ke duapuluh. Perubahan yang dimaksud adalah pengakuan terhadap perbedaan etnik, yang
semula dianggap sebagai ancaman stabilitas politik, menjadi akomodasi terhadap kelompok-
kelompok yang berbeda tersebut. Perubahan pengakuan dan perlakuan tersebut dikenal dengan
kebijakan-kebijakan multikutural (Multicultural Policies).

Pengakuan dan perlakuan yang akomodatif terhadap perbedaan-perbedaan sosial yang dilakukan
oleh banyak negara mencerminkan bahwa politik multikultur telah menjadi kehidupan masyarakat
dunia dewasa ini. Meskipun masih banyak terjadi penyimpangan terhadap nilai-nilai multikultural di
berbagai daerah di Indonesia, maupun di berbagai belahan negara di dunia, pengakuan terhadap
berbagai perbedaan etnik tersebut mencerminkan nilai-nilai kemanusiaan yang egaliter dan
menjanjikan kedamaian. Oleh sebab itu, kebijakan-kebijakan multikultural dipandang sebagai
langkah yang tepat untuk memelihara kemajemukan masyarakat, baik pada level daerah, negara,
maupun dunia internasional.

Kebijakan-kebijakan yang dilakukan untuk merawat kemajemukan tersebut tentu perlu didukung
oleh kesadaran seluruh anggota masyarakat akan pentingnya nilai-nilai kemajemukan. Syaifuddin
menegaskan bahwa “dari konsep multikulturalisme inilah kemudian muncul gagasan normatif
mengenai kerukunan, toleransi, saling menghargai perbedaan dan hak-hak masingmasing
kebudayaan penyusun suatu bangsa.” (Syaifudin, 2006, 4). Oleh karena itu, guna memastikan
terwujudnya masyarakat majemuk yang damai dan sejahtera, diperlukan pemahaman terhadap
pentingnya kemajemukan dan begaimana memelihara kemajemukan tersebut secara kolektif.
Karena, meskipun negara memiliki peranan penting dengan otoritas kebijakannya, namun
masyarakat sebagai pelaku utama kemajemukan sosial merupakan penentu keberhasilan penerapan
nilai-nilai kemajemukan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan berbasis multikultural menjadi
kebutuhan yang terelakkan untuk disampaikan kepada masyarakat, baik melalui lembaga-lembaga
pendidikan formal maupun berbagai media dan lembaga-lembaga non-formal.

C. Pendidikan Multikultur

Secara sederhana Zakiyuddin Baidhawi mendefinisikan Pendidikan Multikultur sebagai “suatu cara
untuk mengajarkan keragaman (teaching diversity)”(Baidhawi, 2005, 7). Definisi sederhana ini tentu
menimbulkan pertanyaan lebih lanjut, misalnya: Jika keragaman adalah sebuah keniscayaan dalam
realitas sosial, kenapa harus diajarkan?

Benar bahwa keragaman sosial memang bagian dari realitas sosial, tetapi tidak sedikit orang yang
tidak menyadari keragaman itu dan mengabaikannya. Pendidikan multikultur adalah upaya untuk
mengajak peserta didik memahami fenomena keragaman sosial secara sadar dan mengambil sikap
yang tepat atas keragaman tersebut. Sikap yang tepat dimaksud di sini adalah sikap yang tetap
menyadari eksistensi diri sendiri atau kelompok di tengah-tengah beragam entitas atau kelompok
yang berbeda. Di samping itu, sikap yang tepat bukan hanya mampu meposisikan diri dan kelompok
secara sejajar dengan yang lainnya, tetapi juga mampu menjembatani perbedaan sehingga terjadi
dialog yang positif antar entitas yang berbeda.

Taylor (1994, 32) menggarisbawahi pentingnya dialog tersebut. Bahkan salah satu kelebihan manusia
adalah adanya karakter dialog dalam dirinya. Dialog berarti mengakui eksistensi diri sendiri dan
mendengarkan eksistensi orang lain. pendidikan multikultural memfasilitasi terjadinya dialog antar
kultur yang berbeda, sehingga masing-masing menyadari eksistensinya sekaligus mengakui eksistensi
pihak lain.

Pendidikan multikultur dapat diterapkan di dunia pendidikan melalui berbagai cara:

1. Multikulturalisme dalam Kurikulum.


Pengenalan ragam kultur atau budaya merupakan langkah pertama yang perlu dilakukan ketika
hendak mengajarkan nilai-nilai multikulutaralisme. Sebagaimana dikemukakan di atas, kultur di sini
meliputi berbagai aspek sosial manusia yang membentuk identitasnya, seperti etnis, ras dan agama.
Pengenalan kultur perlu dijadikan sebagai bagian integral dair kurikulum tiap jenjang pendidikan.
Namun demikian, bukan berarti perlu diadakannya mata pelajaran khusus multikulturalisme, karena
hal tersebut hanya akan membuat struktur kurikulum menjadi gemuk dan terlalu banyak mata
pelajaran. Pengenalan ragam kultur dapat diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran yang
memungkinkan pengenalan kultur itu terjadi.

Kita sadari bersama bahwa Indonesia sangat kaya dengan budaya yang dibentuk oleh kehadiran
agama, keragaman etnis dan kondisi geografis masyarakatnya. Para siswa perlu diperkenalkan
dengan aneka ragam kelompok sosial yang membentuk masyarakat Indonesia. Kelompok sosial
dimaksud adalah kelompok sosial yang membentuk identitas manusia, baik secara kolektif maupun
individual.

Kelompok sosial tersebut dapat berbentuk kelompok berdasarkan agama, sukubangsa, maupun etnis
tertentu. Pengenalan identitas kelompok yang berbeda ini penting agar siswa menyadari keberadaan
kelompok mereka dan keberadaan kelompok lain yang memiliki identitas yang berbeda.

Dengan mengenalkan keragaman sosial bangsa Indonesia, siswa akan diajak untuk memahami bahwa
bangsa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang sangat besar. Perbedaan yang mereka lihat dan
alami perlu dipahami sebagai sebuah kekayaan dan bukan sebagai pemisah antara satu kelompok
dengan kelompok yang lainnya.

Di samping pengenalan terhadap ragam budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang multietnis,
siswa juga perlu disadarkan bahwa mereka adalah bagian dari warga dunia (global citizen). Oleh
karena itu, pengenalan terhadap ragam kultur mancanegara juga perlu diberikan, terutama untuk
siswa di tingkat menengah ke atas. Kenyataannya kekayaan budaya Indonesia tidak hanya
merupakan hasil kreativitas murni bangsa Indonesia asli, tetapi banyak juga yang dipengaruhi oleh
budaya dari luar Indonesia, seperti Arab, India dan China.

2. Penanaman nilai-nilai multikultur dalam pembelajaran.


Penanaman nilai-nilai multikultur tidak terbatas pada pengenalan ragam budaya Indonesia dan
dunia, tetapi juga berupaya membentuk sikap-sikap positif terhadap keragaman tersebut.
Penanaman nilainilai multikultur dapat dilakukan dalam setiap proses pembelajaran di kelas. Jika
pengenalan keragaman budaya dilakukan dengan pendekatan kognitif, maka penanaman nilai-nilai
multikultur lebih menyentuh aspek afeksi siswa.

Nilai-nilai multikultur yang dimaksud meliputi: identitas diri, kesetaraan, obyektivitas, pemahaman
akan perbedaan, toleransi, dan empati. Nilai-nilai tersebut dapat ditanamkan melalui interaksi guru
dan siswa di kelas. Penanaman ini tidak hanya menjadi tanggung jawab guru mata pelajaran tertentu,
tetapi melibatkan seluruh guru yang memiliki interaksi dengan siswa di kelas. Dengan demikian,
suasana kelas harus dikondisikan sedemikian rupa, sehingga mengedepankan nilai-nilai
multikuluturalisme tersebut dengan tidak mengabaikan hak-hak individu yang ada di dalamnya.

Internalisasi nilai-nilai multikultural dalam pembelajaran dilakukan melalui pemilihan metode dan
strategi pembelajaran di kelas/di luar kelas. Metode yang digunakan hendaknya memperhatikan
prinsip-prinsip kesetaraan, obyektivitas dan toleransi.

Prinsip kesetaraan berarti semua siswa memiliki hak dan peluang yang sama untuk terlibata secara
aktif dalam proses pembelajaran. Pendidik perlu memastikan keterlibatan setiap individu siswa
dalam proses tersebut dan jangan sampai terjadi dominasi oleh seseorang atu sekelompok orang
atas yang lainnya. Perlu disadari bahwa dengan latar belakang dan sifat individu yang berbeda,
masing-masing siswa punya preferensi tersendiri untuk melibatkan dirinya dalam kelompok sosial.
Ada yang cenderung aktif, agresif dan dominan. Ada juga yang cenderung pasif, mengalah dan
mengikuti. Di sinilah peran guru menjadi sangat penting untuk memastikan bahwa masing-masing
siswa sadar akan kesetaraan mereka sebagai peserta didik.

Tidak jauh berbeda dengan prinsip kesetaraan, guru harus memperlakukan seluruh siswa secara
obyektif. Keberpihakan guru adalah pada pembentukan karakter positif dalam diri siswa, dengan
menghindari perilaku yang menguntungkan seseorang atau sekelompok orang dan merugikan yang
lain. Sikap obyektif guru akan sangat berpengaruh pada diri siswa. Sikap guru yang obyektif terhadap
seluruh siswanya akan memberikan kesan pada siswa bahwa memperlakukan orang lain harus
dengan adil dan bijak. Sehingga perlahan-lahan sikap tersebut akan terinternalisasi dalam diri siswa.

Toleransi sebenarnya merupakan penyimpangan terhadap kesepakatan atu nilai-nilai yang dianut.
Memberikan toleransi berarti membiarkan orang lain untuk melanggar aturan yang telah ditetapkan.
Oleh karena itu, penggunaan prinsip toleransi harus dilakukan secara hati-hati, terukur dan terbatas.
Salah satu contohnya adalah siswa yang terlambat masuk kelas. Jika aturan mengatakan bahwa siswa
harus masuk kelas jam 07.00, dan mereka yang lewat jam itu tidak diperkenankan masuk kelas, maka
mestinya siswa yang datang jam 07.01 tidak lagi diperbolehkan untuk masuk kelas. Namun terkadang
guru merasa bahwa keterlambatan kurang dari 10 menit adalah hal yang bisa dimaafkan. Itulah yang
disebut toleransi, yaitu melonggarkan aturan demi terjadinya keberlangsungan. Namun, kelonggaran
aturan itu harus ditetapkan secara tebatas. Sesuai dengan contoh di atas, siswa yang datang jam
07.30 tentu tidak dapat diperkenankan masuk kelas, kecuali jika ada alasan yang benar-benar kuat
untuk lebih melonggarkan toleransi itu. Hal yang sama juga berlaku untuk hubungan antar individu
atau kelompok di kelas. Perlu disepakati adanya toleransi dan batas-batas di mana toleransi itu masih
dianggap wajar.

3. Budaya multikultur di sekolah


Pemahaman mengenai keragaman budaya merupakan hal yang sangat penting untuk diajarkan di
lembaga-lembaga pendidikan, sehingga para generasi muda benar-benar memahami konsep
multikultural secara baik. Namun demikian, pemahaman saja belum lah memadai, karena
pemahaman secara kognitif tidak berarti apa-apa jika tidak disertasi dengan perbuatan nyata.
Kenyatannya orang yang memahami konsep multikultur dengan baik, belum tentu mampu
menerapkan nilai-nilai multikultur tersebut.

Penanaman nilai-nilai multikultur akan menjadi lebih efektif apabila budaya multikultur dapat
dijadikan sebagai bagian dari budaya sekolah. Sekolah dewasa ini, terutama di kota-kota besar,
adalah salah satu tempat di mana orang dari berbagai latar belakang sosial bertemu. Sekolah-sekolah
di kota dan daerah-daerah urban cenderung lebih plural dibanding sekolah-sekolah di desa. Oleh
karena itu, sekolah harus menjadi laboratorium budaya multikultural.

Budaya multikultural adalah budaya yang didasarkan atas konsep multikulturalisme, di mana
sekumpulan populasi terdiri atas anggota yang memiliki latar belakang yang berbeda. Budaya
multikultur diawali dengan adanya pengakuan terhadap budaya-budaya yang berbeda tersebut, dan
tidak menjadikan sebuah kultur menjadi dominasi atas yang lain. Pengakuan tersebut diiringi dengan
sikap-sikap lainnya, seperti toleransi, empati dan apresiasi.

Bagi sekolah-sekolah umum (non-keagamaan) penerapan nilai-nilai tersebut nampaknya akan lebih
mungkin dilakukan karena sekolah umum lebih terbuka terhadap perbedaan khususnya perbedaan
agama. Meski demikian, sekolah-sekolah keagamaan juga dapat menerapkan nilai-nilai multikultur
tersebtu meskipun siswanya hanya terdiri dari orang-orang yang memiliki keyakinan yang sama.
Meskipun mereka beragama sama, namun masing-masing siswa pasti memiliki identitas sosial yang
mungking berbeda dengan temannya. Bisa perbedaan suku, etnis, dan status sosial. Di samping itu,
sekolah keagamaan (madrasah) juga bisa memperkenalkan siswa terhadap tradisi dan budaya
agama-agama/negara-negara lain melalui kegiatan-kegiatan khusus sebagaimana didiskusikan di
bawah ini.

4. Kegiatan penunjang pendidikan multikultur


Lembaga-lembaga pendidikan dapat melakukan berbagai macam program atau kegiatan temporer
yang bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai multikultural. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat berupa
kegiatan yang secara spesifik mengusung tema multikultural atau kegiatan dengan tema tertentu
yang diselenggarakan secara multikultural.

Melalui kegiatan-kegiatan tersebut siswa dikenalkan dengan budaya-budaya dan nilai-nilai yang
dimiliki oleh masyarakat lain. Berbagai perspektif multikultural dapat digunakan untuk mengenalkan
ragam perbedaan kepada siswa. Misalnya perspektif agama-agama, perspektif negara/bangsa,
perspektif suku bangsa, dan perspektif komunitas sosial tertentu.

Di samping kegiatan penunjang di sekolah, lembaga-lembaga pendidikan juga dapat


menyelenggarakan kegiatan kunjungan ke tempat-tempat yang dapat mendukung terwujudnya
pendidikan multikulutral tersebut. Mengunjungi museum, rumah ibadah agama lain, perkampungan
komunitas tertentu, atau sekolah lain yang mayoritas siswanya adalah etnis tertentu adalah contoh
lain kegiatan-kegiatan penunjang pendidikan multikultural.
Dengan kegiatan-kegiatan tersebut para siswa dikenalkan secara lebih dekat, baik langsung maupun
tidak langsung, dengan agama, budaya, atau tradisi etnis-etnis tertentu. Dengan demikian mereka
memiliki wawasan yang terbuka mengenai keberadaan kelompok atau komunitas yang memliki
perbedaan identitas dengan mereka. Pada saat yang sama penting untuk ditanamkan nilai-nilai
multikulturalisme, seperti pemahaman terhadap eksistensi kelompok lain, toleransi terhadap
kelompok lain, dan empati terhadap kelompok lain.

Perlu ditegaskan di sini, toleransi bukanlah sekedar pengakuan terhadap kelompok lain dan
membiarkan mereka melakukan sesuatu berdasarkan keyakinannya. Toleransi adalah memberikan
batasan yang agak longgar terhadap kesalahan yang dilakukan orang lain, tanpa melakukan penilaian
berdasarkan standar nilai yang kita miliki. Ketika bertoleransi maka seolah-olah seseorang tidak
memaksakan nilai-nilai yang dia yakini untuk berkomunikasi dengan orang yang memiliki identitas
yang berbeda. Toleransi sangat diperlukan untuk menjaga kohesivitas sosial, yaitu rekatnya
hubungan antar individu yang memiliki identitas dan nilai-nilai yang berbeda dalam masyarakat.

D. Multikulturalisme dalam Pendidikan Agama

1. Pandangan Agama terhadap Perbedaan

Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan antar manusia adalah realitas yang tak terbantahkan.
Dalam agama dipahami bahwa Allah menciptakan manusia dengan berbagai identitasnya. Dalam Al-
Quran dikatakan: “Hai Manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan, dan Kami jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, supaya kalian
saling mengenal...” (Q.S. Al-Hujurat, 13). Jelas bahwa Allah sengaja menciptakan manusia berbeda
agar mereka saling mengenal.

Perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transportasi dewasa ini membuat pertemuan
antara kelompok-kelompok yang berbeda latar belakang tersebut semakin sering terjadi. Mobilitas
penduduk antar daerah, bahkan antar negara, menjadi semakin tinggi dengan semakin mudah dan
murahnya alat transportasi udara. Sehingga masyarakat satu negara atau daerah bisa dengan mudah
dan sering berkunjung ke daerah/negara lain yang berbeda dengan mereka. Hal ini membuat
pertemuan dan bahkan pertukaran budaya semakin sering terjadi.

Menyadari bahwa perbedaan adalah sunnatullah maka ajaran agama sangat membuka diri terhadap
berbagai perbedaan tersebut. Agama Islam tdiak membeda-bedakan derajat seseorang karena status
sosial atau nilai hartanya. Perbedaan antara satu orang dan lainnya hanya dinilai atas dasar kebaikan
dan ketaatannya kepa Allah. Hal ini dimungkinkan karena ajaran Islam tidak diturunkan untuk aras
atau etnis tertentu saja, melainkan untuk seluruh manusia.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa ajaran agama sangat demokratis dalam menyikapi
perbedaan-perbedaan umat manusia. Namun demikian, seperti dijelaskan di atas, perbedaan-
perbedaan yang dibenarkan dalam ajaran agama memiliki batasan-batasan tertentu, sepanjang tidak
jauh bertentangan dengan ajaran agama itu sendiri. Oleh sebab itu, di samping membenarkan
adanya perbedaan, ajaran agama juga mengajarkan untuk menyikapi perbedaan-perbedaan itu
secara positif.

2. Pendidikan Agama Multikultural

Salah satu pendekatan penting tentang multikulturalisme adalah melalui pendidikan agama. Selama
ini dipahami seolah-olah multikulturalisme bertentangan dengan prinsip-prinsip agama, dan bahkan
cenderung akan menafikan kebenaran absolut atas agama yang diyakini pemeluknya. Padahal,
sebagaimana dikemukakan di atas, agama sendiri mengakui adanya keragaman dan mengarahkan
untuk terjadinya proses dialog terhadap perbedaan tersebut. Oleh karena itu, pendidikan agama
dapat menjadi salah satu media untuk berlangsungnya dialog antar budaya. Baidhawi menyebutkan
bahwa “pendidikan agama berwawasan multikultural mengusung pendekatan dialogis untuk
menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan” (Baidhowi, 2005, 8).

Pendidikan agama multikultur tidak dimaksudkan untuk menisbikan keyakinan pemeluk agama-
agama atau merubah keyakinannya. Pendidikan agama multikultur dimaksudkan untuk membuka
ruang dialog antar budaya dan antar pemeluk agama mengenai berbagai perbedaan dan persamaan
yang mereka miliki, baik dalam hal keyakinan, nilai-nilai moral maupun dalam hal praktek
keagamaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan agama multikultur perlu mengedepankan
hal-hal berikut:

a. Adanya perbedaan internal dan eksternal


Perbedaan adalah sesuatu yang alami. Setiap manusia pasti memiliki sesuatu yang membuatnya
berbeda dengan manusia lain. Dalam ajaran satu agama, perbedaan pemahaman dan praktek
keberagamaan juga terjadi di antara para pemeluknya. Perbedaan tersebut terkadang
menyangkut hal yang kecil yang dapat diabaikan, seperti perbedaan mazhab dalam fiqh
Ahlussunnah. Terkadang menyangkut hal-hal yang substansial yang menyebabkan satu kelompok
menganggap kelompok lainya keluar dari ajaran agama, seperti perbedaan antara Ahlussunnah,
Syi’ah dan Ahmadiyah. Mereka yang menyadari adanya perbedaan tersebut, dan mengakui
adanya eksistensi kelompok lain, biasanya akan lebih mudah menerima perbedaan dan
membiarkan kelompok lain menjalankan keyakinannya tersebut.
Perbedaan eksternal adalah perbedaan keyakinan dan praktek keagamaan yang dimiliki oleh para
penganut agama yang berbeda. Hal utama yang perlu ditanamkan kepada para siswa adalah
adanya perbedaan itu sendiri. Yaitu, ada kelompok lain yang memiliki keyakinan yang berbeda
dan melaksanakan praktek keagamaan secara berbeda.

b. Adanya nilai-nilai kemanusiaan universal


Di samping perbedaan yang kerap dijumpai di tengah-tengah manusia yang memiliki latar
belakang yang beragam, terdapat banyak kesamaan nilai-nilai kemanusiaan yang dimiliki. Nilai-
nilai tersebut dimiliki dan dipraktekkan oleh manusia dari masa ke masa, lintas etnis etnis dan
lintas generasi. Dalam banyak hal, nilai-nilai tersebut terakomodasi oleh agama menjadi bagian
dari ajaran agama. Misalnya nilai-nilai kejujuran, tolong-menolong, kasih sayang, dan harga diri.

Keberadaan nilai-nilai tersebut, meskipun dapat diklaim sebagai bagian dari ajaran agama,
namun tidak dapat dipungkiri merupakan nilai-nilai yang secara universal diakui oleh seluruh
ajaran agama dan budaya masyarakat.

Dengan memahami adanya kesamaan nilai-nilai dan ajaran agama, maka pemeluk agama
tertentu tidak dapat mengklaim bahwa hanya ajaran agamanya saja benar dan seluruh ajaran
agama lain salah secara mutlak. Padahal dalam beberapa hal terdapat nilai-nilai yang sama yang
diberlakukan di setiap ajaran agama. Di saat yang sama, kesamaan nilai-nilai tersebut dapat
menjadi pintu dialog antar pemeluk ajaran agama. Bukankah dialog akan lebih mudah dan
nyaman jika dimulai dengan hal-hal yang diakui kebenarannya secara bersama-sama.

c. Keterbukaan pikiran
Keterbukaan pikiran (openminded) adalah kesediaan seseorang untuk melihat, mendengar dan
memahami orang lain. Keterbukaan pikiran juga menunjukkan kelapangan hati untuk menerima
kebenaran dari orang lain. Hal ini penting untuk mengurangi fanatisme kelompok secara
berlebihan yang menyebabkan orang tertutup mata hatinya untuk melihat kebenaran secara
obyektif.

Kebenaran ajaran agama memang bersifat mutlak, terutama bagi para pemeluknya. Namun
pemahaman keagamaan dan praktik keberagamaan merupakan interpretasi dari ajaran agama
itu sendiri dan karenanya bersifat nisbi. Karena itu, pemahaman dan praktek keagamaan
tersebut memiliki peluang untuk salah dan diperbaiki. Atas dasar itu, keterbukaan pikiran dapat
membuat sesorang berpikir secara obyektif mengenai nilai-nilai kebenaran yang dimiliki oleh
kelompok lain dan hal-hal yang kurang baik yang dimilikinya. Hal ini tidak berarti menisbikan
ajaran agama yang diyakininya, karena yang dipertimbangkan ulang adalah pemahaman
terhadap ajaran agama, bukan ajaran agama itu sendiri.

d. Menghormati dan toleransi atas perbedaan


Setelah memahami adanya perbedaan, adanya kesamaan nilai-nilai universal, dan keterbukaan
dalam menyikapi perbedaan, maka hal penting lainnya adalah menghormati perbedaan.
Menghormati perbedaan berarti pengakuan terhadap pihak lain yang memiliki pandangan dan
keyakinan yang berbeda. Lebih lanjut menghormati perbedaan juga berarti menghormati pihak
lain yang melakukan sesuatu atas dasar keyakinan dan pendapatnya teresebut.

Toleransi, sebagaimana dikemukakan di atas, adalah sikap melonggarkan aturan demi mencapai
tujuan lain yang lebih besar. Lebih dari menghirmati perbedaan, toleransi adalah mengabaikan
pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain, demi terwujudnya kebersamaan. Dalam kehidupan
sosial, toleransi sangatlah diperlukan, karena setiap individu memiliki standar nilai yang
berbeda. Namun demikian, toleransi tidak berarti menghilangkan sama sekali aturan. Toleransi
tetap harus memiliki batasan sehingga tidak menjadi bumerang bagi kebersamaan itu sendiri.

Reference

Baidhawi, Zakiyuddin (2005) Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta: Penerbit


Erlangga.

Banting, K. & Kymlika, W. (2006) ‘Multiculturalism and the welfare state: Setting the context’ dalam
Keith Banting and Will Kymlika, Multiculturalism and the Welfare State. New York: Oxford University
Press, hal. 1-47.

Syaifudin, A. F. (2006) ‘Membumikan mulitikulturalisme di Indonesia’ dalam Etnovisi: Jurnal


Antropologi Sosial Budaya. Vol. II, No. 1, April 2006, hal. 3-11.

Taylor, Charles (1994) Multiculturalism. Princeton, NJ: Princeton University Press.

Anda mungkin juga menyukai