Anda di halaman 1dari 316

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

(CIVIC EDUCATION)

PANCASILA,
DEMOKRASI, &
PENCEGAHAN KORUPSI
U P
EDISI PERTAMA

R O
G
I A
E D
A M
AD
E N
PR
U P
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagaimana yang telah
diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi seba­gai­mana dimaksud dalam Pasal
9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,- (seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud da­lam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f,
dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan
pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e,
dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat)
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dila­ ku­kan dalam bentuk
pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp4.000.000.000,- (empat miliar rupiah).
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
(CIVIC EDUCATION)

PANCASILA,
DEMOKRASI, &
P
PENCEGAHAN KORUPSI
O U
GR
I A
ED
EDISI PERTAMA

A M
AD
EN
P R A. Ubaedillah
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)
PANCASILA, DEMOKRASI, DAN PENCEGAHAN KORUPSI
Edisi Pertama
Copyright © 2015

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)


ISBN 978-602-0895-05-5 323.6
17 x 24 cm
xx, 296 hlm
Cetakan ke-4, Januari 2017

Kencana. 2015.0580
U P
O
GR
Penulis
A. Ubaedillah

I A
ED
Desain Sampul
Suwito

A M Penata Letak
Rendy

AD Percetakan

N
PT Fajar Interpratama Mandiri

R E
P
Penerbit
KENCANA
Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220
Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134

Divisi dari PRENADAMEDIA GROUP


e-mail: pmg@prenadamedia.com
www.prenadamedia.com
INDONESIA

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun,
termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit.
Sambutan

P
erubahan Indonesia menuju demokrasi adalah sesuatu yang tidak bisa dita-
war-tawar. Setelah kekuasaan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto leng-

U P
ser pada 21 Mei 1998, Indonesia tercatat di antara negara dalam gerbong
yang disebut banyak ahli sebagai the thrid wave of democracy (gelombang demokrasi
O
GR
ketiga) yang terjadi pada dasawarsa tahun 1990-an dan berlanjut melanda negara
Arab pada akhir 2010/awal 2011. Gelombang demokrasi ini ditandai meningkat-

A
nya jumlah negara-negara yang secara formal menganut sistem demokrasi, meski
I
ED
harapan terkonsolidasinya demokrasi di Dunia Arab kelihatan masih sangat sulit.
Perkembangan politik di Indonesia menuju demokrasi begitu pesat. Presi­

M
den B.J. Habibie yang menggantikan Presiden Soeharto dalam interregnum-nya
A
D
merupakan momentum transisi Indonesia menuju demokrasi melalui berbagai

N A
kebijakannya. Demokrasi terus menguat sejak dari penerapan sistem multipartai,
pemilih 1999, 2004, 2009, dan 2014 yang aman dan deomokratis sejak Indonesia

R E
merdeka, kebebasan pers, hingga peningkatan fungsi cheks and blances DPR.

P
Namun Pada saat yang sama harus diakui bahwa transisi Indonesia menuju de-
mokrasi juga menimbulkan banyak kegamangan dan kecemasan; bahkan menjelang
Pemilu 2014 terlihat kecenderungan berbagai akses demokrasi yang terus berlang-
sung, sejak dari politik yang korupsi, kekerasan atas nama kebebasan, dan seterus-
nya. Meski tidak terjadi kekerasan massal, tetapi situasinya cukup mencemaskan
khususnya ketiga hal-hal SARA juga digunakan untuk mencapai kemenangan. Jelas
ini bukan cara demokratis.
Padahal, jika demokrasi adalah peaceful resolution on conflict (penyelesaian
konflik secara damai), pada saat yang sama kita masih menyaksikan kecenderung­­
an masyarakat dalam menyelesaikan konflik melalui cara-cara tidak demokratis.
Dalam Pilkada khususnya yang berlangsung sejak 2005 dengan penerapan UU
Otonomi Daerah, kita bisa menyaksikan terus berlanjutnya tindakan main ha-
kim sendiri, memaksakan kehendak, perusakan fasilitas umum dalam penyaluran
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

pendapat, dan praktik mob politics dan money politics. Daftar panjang perilaku dan
sikap yang bertolak belakang dengan demokrasi yang diperjuangkan oleh kalangan
reformasi dapat disusun. Perkembangan seperti ini merupakan gejala yang tidak
kondusif bagi transisi Indonesia menuju demokrasi yang berkeadaban (democratic
civility).
Meningkatnya kecenderungan penggunaan cara-cara tidak demokratis (mob
potlitics dan money politics) dalam berpolitik, seperti pada Pemilu 1999, 2004, 2009,
2014 dan pada beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada), sebagian besar ber-
sumber dari konflik politik di kalangan elite politik. Konflik kepentingan yang ter-
jadi di kalangan elite nasional maupuan lokal direkayasa demi kepentingan politik
sesaat, yang segera berimbas pada lapisan masyarakat akar rumput. Akibat perilaku
yang menyalahi prinsip demokrasi ini adalah terus terfragmentasinya masyarakat

U P
ke dalam kelompok-kelompok yang saling bertentangan dan mengancam kemur-
nian dalam berdemokrasi. Ekses demokrasi semakin diperparah dengan lemahnya
O
GR
penegakan hukum (law enforcement) di kalangan aparat penegak hukum; masih
maraknya praktik suap di kalangan penegak hukum semakin memperparah penye­

A
maian budaya demokrasi di Indonesia.
I
ED
Transisi dan konsolidasi Indonesia menuju demokrasi yang lebih genuine dan
autentik jelas merupakan proses sangat kompleks dan panjang. Transisi dan kon-

M
solidasi menuju demokrasi yang setidaknya mencakup reformasi dalam tiga bidang
A
D
besar secara simultan. Pertama, reformasi sistem (constitutional reforms), yang me-

N A
nyangkut perumusan kembali falsafah, kerangka dasar, dan perangkat legal sistem
politik. Kedua, reformasi kelembagaan yang menyangkut pengembangan dan

R E
pem­berdayaan (institutional reforms and empowerment) lembaga-lembaga politik.

P
Ketiga, Pengembangan kultur atau budaya politik (political culture) yang lebih de-
mkokratis.
Jika poin pertama dan kedua di atas upaya reformasi dilakukan pada tataran
legislatif, eksekutif, dan yudikatif, pada poin ketiga, yakni pengembangan kultur
politik demokratis, upaya itu harus dilakukan dengan melibatkan semua segmen
masyarakat, dari kalangan elite hingga rakyat kebanyakan. Upaya paling tepat
untuk melakukan reformasi pada level ini adalah melalui proses pendidikan de-
mokrasi. Mengingat demokrasi bukan sesuatu yang taken for granted, ia harus dia-
jarkan dan dipraktikkan secara terus-menerus. Sebagaimana diakui banyak pakar
tentang demokrasi, cara paling strategis untuk “mengalami” demokrasi adalah me-
lalui apa yang disebut dengan democracy education. Secara substantif, pendidikan
demokrasi meliputi sosialisasi, diseminasi, aktualisasi, dan implementasi konsep,
sistem, nilai, dan praktik demokrasi melalui pendidikan.

vi
SAMBUTAN

Pendidikan demokrasi tidak hanya penting bagi negara-negara yang sedang


berada dalam transisi dan konsolidasi demokrasi seperti Indonesia, tatapi juga bagi
negara-negara yang telah mapan dalam berdemokrasi. Pembentukkan “Civitas
Internasional” pada Juli 1995 di Praha merupakan salah satu betapa pentingnya
kesinambungan demokrasi di negara-negara mapan demokrasi. Pada perhelatan
itu, tidak kurang 450 pemuka pendidikan demokrasi dari 52 negara hadir. Mereka
sepakat membentuk “Civitas Internasional” yang menyimpulkan pentingnya pendi-
dikan demokrasi bagi penumbuhan

U P
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P

vii
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

wajib dipelajari murid-murid sejak dari SD, SMP, sampai SMA. Pada tahun 1975
rezim Soeharto mengubah mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi
Pendidikan Moral Pancasila (PMP), yang isinya merupakan indoktrinasi Pancasila
sesuai penafsiran monolitik pemerintahan Orde Baru dalam P4. Kurikulum 1984
bahkan mempertegas mata pelajaran ini sebagai indoktrinasi politik untuk me-
langgengkan rezim penguasa. Akhirnya, dalam UU Sisdiknas 1989 mata pelajaran
ini menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Hal yang patut
disayangkan adalah kegagalan beragam model pelajaran atau mata kuliah tersebut
untuk menjadikan peserta didik menjadi warga negara yang demokratis dan to-
leran sebagaimana nilai-nilai ideal dalam Pancasila.
Kegagalan itu, hemat saya, bersumber setidaknya tiga hal. Pertama, secara sub-
stantif, Civics, PPKn, Pancasila, dan Kewiraan tidak secara terencana dan terarah

U P
mencakup materi dan pembahasan yang lebih terfokus pada pendidikan demokrasi
dan kewargaan. Materi-materi yang ada umumnya terpusat pada pembahasan yang
O
GR
bersifat idealistik, legalistik, dan normatif. Kedua, Kalaupun materi-materi yang ada
pada dasarnya potensial bagi Pendidikan Demokrasi dan Pendidikan Kewargaan,

A
tetapi potensi itu tidak berkembang karena pendekatan dalam pembelajarannya
I
ED
bersifat indoktrinatif, regimentatif, monologis, dan tidak partisipatif.
Ketiga, Subjek-subjek mata pelajaran dan mata kuliah lebih banyak muatan

M
teori daripada praktis. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang lebar antara teori dan
A
D
wacana yang dibahas dengan realitas sosial-politik yang ada. Dalam praktik peng­

N A
ajaran kesenjangan itu sering terlihat pula dalam bentuk sikap-sikap otoriter dan
feodal di kalangan orang-orang sekolah dan universitas. Masih kentalnya sikap-

R E
sikap tidak demokratis tersebut dapatlah dipahami jika lembaga pendidikan gagal

P
membawa peserta didik untuk memahami dan mengalami demokrasi.
Tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan negara menemukan momen-
tumnya setelah orde baru lengser pada Mei tahun 1998. Momentum tersebut di-
manfaatkan oleh civitas akademika IAIN (kini UIN) “Syarif Hidayatullah” Jakarta,
dengan menggagas Pendidikan Demokrasi yang lepas dari intervensi kekuasaan.
Pada 1999 UIN Jakarta memprakarsai pengajaran mata kuliah Pendidikan Ke-
wargaan (Civic Education): Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani menggan-
tikan mata kuliah Kewiraan. Setelah melalui masa percobaan di lingkungan UIN
“Syarif Hidayatullah” Jakarta, sejak tahun 2000 pembelajaran mata kuliah Civic Ed-
ucation didiseminasikan di seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (IAIN
dan STAIN) di Indonesia, di bawah koordinasi Indonesia Center for Civic Education
(Pusat Pendidikan Kewargaan Indonesia/ICCE) UIN Jakarta. Program ini melibat-
kan lebih kurang 8.000 mahasiswa dan 170 tenaga pengajar yang telah diberikan

viii
SAMBUTAN

pengetahuan dan keterampilan pembelajaran demokratis mata kuliah Pendidikan


Kewarganegaraan (Civic Education).
Bersandar pada kegagalan program Pendidikan Demokrasi di masa lalu dan
tuntuan demokratisasi di era Reformasi, mata kuliah Pendidikan Kewargaan yang
dikembangkan oleh ICCE UIN Jakarta merupakan langkah tepat dan konstruktif
di era konsolidasi demokrasi di Indonesia menuju demokrasi yang lebih substantif.
Semoga upaya ini dapat menjadi kontribusi yang berharga dari civitas akademi-
ka UIN Jakarta bagi pengembangan budaya demokrasi di lingkungan pendidikan
khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Secara retrospektif, langkah ini mendapat sambutan hangat dari banyak pergu-
ruan tinggi lain, sehingga mereka juga menerapkan Pendidikan Kewarga[negara]
an dengan menggunakan model UIN Jakarta dan sekaligus memakai karya ini se-
bagai buku teks.

U P
Dan, sesuai perkembangan pemikiran, konsep, dan wacana di kalangan sar-
O
GR
jana dalam dan luar negeri tentang subjek ini dan juga dinamika dalam kehidupan
demokrasi negara-bangsa Indonesia serta penggunaan karya ini di lapangan, buku

A
Pendidikan Kewarga[negara]an juga mengalami pengembangan dan penyempur-
I
ED
naan. Kenyataan ini memberikan harapan besar bagi semakin kukuhnya demokrasi
yang berkeadaban di tanah Air kita sebagai ‘a successful showcase of democracy in

M
the largest Muslim country in the world and the third largest democracy in the world’.
A
D
Wallahu a’lam.

N A
RE
Ciputat, 1 Oktober 2014

P Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE


Direktur Sekolah Pascasarjana
UIN “Syarif Hidayatullah” Jakarta

ix
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
Pengantar

S
udah hampir dua dekade usia Reformasi Indonesia, kita masih menyaksikan
dan merasakan praktik berdemokrasi dan pelaksanaan hak asasi manusia

U P
(HAM) masih jauh dari pengertiannya yang ideal. Bersamaan dengan ke-
nyataan ini, Indonesia menghadapi krisis kebangsaan yang tidak pernah dialami di
O
GR
masa lalu. Rasa kebangsaan dan persatuan di masa lalu yang begitu heroik berha-
dapan dengan kolonialisme, seakan hilang manakala bangsa ini berhadapan de-

A
ngan globalisasi dan gelombang demokrasi digital. Era transisi demokrasi sudah
I
ED
dilewati. Kini Indonesia tengah dihadapkan dengan tantangan bagaimana menja-
dikan demokrasi sebagai sistem politik dan sosial yang lebih beradab dan bermar-

M
tabat. Inilah era substansialisasi demokrasi, yakni mengubah demokrasi elektroral
A
D
menjadi demokrasi yang lebih bermakna dan berkarakter sekaligus melahirkan ke-
sejahteraan.

N A
Sebagai anak kandung gerakan Reformasi, demokrasi belum memenuhi janji-

R E
nya bahwa ia mampu melahirkan kesejahteraan dan keadaban bagi Indonesia yang

P
majemuk dan kaya dalam banyak hal. Namun pada kenyataannya, hal yang tidak
dapat dibantah adalah bahwa perjalanan demokrasi Indonesia masih lekat diwarnai
oleh angka korupsi yang masih tinggi di kalangan penyelenggara negara. Angka
tindakan korupsi seakan berlomba saling salip dengan gairah masyarakat Indone-
sia memaknai demokrasi. Janji kemerdekaan dan reformasi akan sulit terwujud jika
bangsa ini masih belum mampu melepaskan diri dari budaya korupsi.
Bersamaan dengan kenyataan ini, Indonesia hingga saat ini belum sepenuhnya
sepi dari ancaman disintegrasi, baik yang berskala lokal maupun global. Keberadaan
gerakan yang masih mengusung ide negara Islam di Indonesia mendapatkan mo-
mentum dan dukungan moril dari gerakan sejenis yang berkarakter global seperti
gerakan ISIS (Islamic State in Irak and Syria). Kedua model gerakan ini secara prin-
sip jelas-jelas mengancam eksistensi Indonesia yang bersendikan pada Empat Kon-
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

sensus Dasar Nasional: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Kehadiran buku ini membawa semangat untuk mewujudkan harapan-harapan
Indonesia yang belum terwujud tersebut, meskipun ia hanya berisi pengetahuan
dasar tentang hal-hal yang berhubungan dengan pengetahuan, sikap dan keteram-
pilan yang seharusnya dimiliki oleh warga negara Indonesia. Buku ini berupaya
terlibat dalam mewujudkan agenda besar Indonesia untuk tetap mempertahankan
empat Konsensus Dasar Nasional di atas sebagai jangkar kehidupan berbagsa dan
bernegara yang harus terus bersinergi dengan sistem demokrasi yang telah men-
jadi bagian penting dalam tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Perpaduan
dua komitmen ini harus tetap dijadikan agenda semua komponen bangsa sehingga
demokrasi Indonesia akan tumbuh dan berkembang semakin dewasa dan bermar-

U P
tabat. Keberhasilan Indonesia menjadi negara paling demokratis peringkat ketiga
di dunia setelah Amerika Serikat dan India tidak bisa dilepaskan dari komitmennya
O
GR
untuk tetap berpijak dengan keyakinan tinggi di atas identitas dan cita-cita luhur
yang telah dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

A
Penyusunan buku Pendidikan Kewarganegaraan ini mengacu pada Undang-
I
ED
Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 yang menempatkan Pen-
didikan Kewarganegaraan sebagai bagian dari komponen Mata Kuliah Inti (MKI)

M
dalam kurikulum pendidikan tinggi dan keputusan Departemen Pendidikan Nasi-
A
D
onal tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang tertuang dalam keputusan Dirjen

N A
Pendidikan Tinggi No. 038/Dikti/Kep./2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan
Mutu Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi.

R E
Hal lain yang penting diperhatikan oleh setiap pengampu mata kuliah ini adalah

P
keharusan mereka untuk menggunakan metode pembelajaran yang senapas dengan
era demokrasi Indonesia. Dalam hal ini proses pembelajaran yang partisipatoris
dan menyenangkan mutlak dilakukan selama kegiatan pembelajaran mata kuliah
ini. Model pembelajaran ini sangat relevan dengan tujuan utama program Pen-
didikan Kewarganegaraan (Civic Education) yang lebih mengutamakan pengem-
bangan ranah psikomotoris dan afeksi peserta didik yang dapat dikembangkan
melalui model-model pembelajaran kolaboratif atau aktif (active learning). Untuk
memenuhi kebutuhan ranah kognisi mahasiswa, diharapkan para dosen pengampu
mata kuliah ini dapat memperkaya pembelajaran mereka dengan materi tambahan
(hand outs) yang sesuai dengan materi yang tengah dibahas.
Akhirnya, terima kasih penulis haturkan kepada semua pihak: rekan-rekan di
Indonesian Center for Civic Education (ICCE) UIN Jakarta, khususnya sahabat

xii
PENGANTAR

Abd. Rozak yang selalu memberikan masukan dan saran berharga bagi penerbit-
an buku ini. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat bagi pembangunan dan
penguatan wawasan kebangsaan dan demokrasi Indonesia.

Tangerang Selatan, Mei 2015


Penulis

U P
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P

xiii
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
Daftar Isi

SAMBUTAN v

UP
PENGANTAR xi

BAB 1 PENDAHULUAN
R O 1
A. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
G
dan Reaktualisasi Pancasila
I A 6

ED
B. Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan
(Civic Education) 13

A M
C. Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar Pendidikan

D
Kewarganegaraan (Civic Education) 16

N A
1. Standar Kompetensi
2. Kompetensi Dasar Pendidikan Kewarganegaraan
16

RE
(Civic Education) 16

P
3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
4. Materi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
18
18
D. Paradigma Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) 18
E. Urgensi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
bagi Pembangunan Budaya Demokrasi di Indonesia 19

BAB 2 PANCASILA DAN KEHARUSAN REAKTUALISASI 23


A. Era Reformasi: Demokrasi dan Ujian Kebangsaan 25
B. Reaktualisasi Pancasila 29
C. Empat Konsensus Dasar Indonesia 36
1. Pancasila: Pengertian Etimologis, Historis, dan Terminologis 36
2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD NRI 1945) 46
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

3. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 47


4. Bhinneka Tunggal Ika 49
D. Esensi Nilai-nilai Kebangsaan Indonesia 51
E. Kristalisasi Nilai-nilai Kebangsaan 53
Rangkuman 54
Lembar Kerja 55

BAB 3 IDENTITAS NASIONAL DAN GLOBALISASI 57


A. Apakah Identitas itu? 60
B. Unsur-unsur Pembentuk Identitas Nasional Indonesia 61
1. Sejarah 61
2. Kebudayaan 62
3. Suku Bangsa
U P 62

O
4. Agama 63

GR
5. Bahasa 63
B. Wawasan Nusantara 64
C. Ketahanan dan Kewaspadaan Nasional
I A 66

ED
D. Globalisasi dan Ketahanan Nasional 67

M
E. Multikulturalisme: Antara Nasionalisme dan Globalisme 70

D A
1. Pengertian Multikulturalisme
2. Multikulturalisme Indonesia
70
72
F.
N A
Pacasila dan Multikulturalisme 73

RE
Rangkuman 75

P
Lembar Kerja 76

BAB 4 DEMOKRASI: TEORI DAN PRAKTIK 79


A. Apa Itu Demokrasi 81
B. Norma dan Pilar Demokrasi 84
C. Sekilas Sejarah Demokrasi 87
D. Demokrasi Indonesia 89
1. Periode 1945-1959 89
2. Periode 1959-1965 89
3. Periode 1965-1998 91
4. Periode Pasca Orde Baru 91
E. Unsur-unsur Pendukung Tegaknya Demokrasi 92
1. Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law) 92

xvi
DAFTAR ISI

2. Masyarakat Sipil (Civil Society) 93


3. Aliansi Kelompok Strategis 93
F. Parameter Tatanan Kehidupan Demokratis 94
G. Pemilihan Umum dan Partai Politik dalam Sistem Demokrasi 95
1. Pemilu Indonesia di Era Reformasi 95
2. Partai Politik 98
H. Islam dan Demokrasi: Pro dan Kontra 99
Rangkuman 105
Lembar Kerja 106

BAB 5 KONSTITUSI DAN TATA PERUNDANGAN INDONESIA 107


A. Pengertian Konstitusi 109
B. Tujuan dan Fungsi Konstitusi
U P 110
C. Sejarah Perkembangan Konstitusi
O 111

GR
D. Sejarah Lahir dan Perkembangan Konstitusi di Indonesia 113
E. Perubahan Konstitusi di Indonesia 114
F.
I A
Konstitusi: Peranti Kehidupan Kenegaraan yang Demokratis 116

ED
G. Lembaga Kenegaraan setelah Amendemen UUD 1945 118

AM
1. Lembaga Legislatif 120
2. Lembaga Eksekutif 122

AD
3. Lembaga Yudikatif: MA, MK dan KY 124

N
H. Tata Urutan Perundang-undangan Indonesia 128

RE
Rangkuman 130

P
Lembar Kerja 131

BAB 6 NEGARA, AGAMA, DAN WARGA NEGARA 133


A. Konsep Dasar tentang Negara 135
1. Pengertian Negara 135
2. Tujuan Negara 135
3. Unsur-unsur Negara 136
B. Teori Pembentukan Negara 137
1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract) 137
2. Teori Ketuhanan (Teokrasi) 139
3. Teori Kekuatan 141
C. Bentuk-Bentuk Negara 142
1. Negara Kesatuan 142

xvii
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

2. Negara Serikat 143


D. Warga Negara Indonesia (WNI) 144
E. Hubungan Negara dan Warga Negara 145
F. Hubungan Agama dan Negara: Kasus Islam 147
1. Paradigma Integralistik 150
2. Paradigma Simbiotik 150
3. Paradigma Sekularistik 151
G. Hubungan Negara dan Agama: Pengalaman Islam Indonesia 152
H. Islam dan Negara Baru: Dari Antagonistik Hingga Akomodatif 155
I. Islam dan Negara di Era Reformasi: Bersama Membangun Demokrasi
dan Mencegah Disintegrasi Bangsa 157
Rangkuman 160

UP
Lembar Kerja 161

BAB 7 HAK ASASI MANUSIA (HAM)


R O 163
A. Pengertian HAM
G 165
B. Sejarah Perkembangan HAM
I A 166

ED
1. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948 166

M
2. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948 169
c.
A
Perkembangan HAM di Indonesia

D
170

A
1. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945) 170

N
2. Periode Setelah Kemerdekaan 171

RE
D. HAM: Antara Universalitas dan Relativitas 177
E.
F. P
Pelanggaran dan Pengadilan HAM
HAM, Gender, Kebebasan Beragama, dan Lingkungan Hidup
178
181
Rangkuman 184
Lembar Kerja 185

BAB 8 OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NEGARA KESATUAN


REPUBLIK INDONESIA (NKRI) 187
A. Hakikat Otonomi Daerah 189
B. Visi Otonomi Daerah 192
C. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia 193
D. Prinsip-prinsip Pelaksanaan Otonomi Daerah 195
E. Pembagian Kekuasaan dalam Kerangka Otonomi Daerah 196
F. Pemilihan, Penetapan, dan Kewenangan Kepala Daerah 197

xviii
DAFTAR ISI

G. Kesalahpahaman Terhadap Otonomi Daerah 199


H. Otonomi Daerah dan Pembangunan Daerah 201
I. Otonomi Daerah dan Pilkada Langsung 203
Rangkuman 204
Lembar Kerja 204

BAB 9 TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH


(GOOD AND CLEAN GOVERNANCE) 207
A. Definisi Good and Clean Governance 209
B. Prinsip-prinsip Good Governance 211
C. Negara, Masyarakat, dan Sektor Swasta 216
D. Program Prioritas Pemerintahan yang Baik dan Bersih 218

UP
E. Reformasi Birokrasi 219

RO
F. Tata Kelola Birokrasi Berbasis Pelayanan Publik 223
Rangkuman 224
Lembar Kerja
G 226

I A
ED
BAB 10 PENCEGAHAN KORUPSI 227

M
A. Bentuk-bentuk Korupsi 229
B. Pemicu Korupsi

D A 234

A
C. Dampak Korupsi 236

N
D. Gerakan Anti-Korupsi 237

RE
E. Korupsi Penghambat Utama Tata Kelola Pemerintahan Baik dan Bersih 242

P
F. Korupsi dan Nasib Demokrasi Indonesia 244
Rangkuman 247
Lembar Kerja 248

BAB 11 MASYARAKAT SIPIL 249


A. Sejarah singkat Masyarakat Sipil 253
B. Masyarakat Madani 255
1. Wilayah Publik yang Bebas 255
2. Demokrasi 255
3. Toleransi 255
4. Kemajemukan 256
5. Keadilan Sosial 257
C. Sejarah Masyarakat Sipil di Indonesia 258

xix
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

D. Gerakan Penguatan Masyarakat Sipil 261


E. Organisasi Non-Pemerintah dalam Ranah
Masyarakat Sipil 262
F. LSM dan Pemberdayaan Masyarakat Sipil 263
Rangkuman 264
Lembar Kerja 265

GLOSARIUM 267
SUMBER BACAAN 275
INDEKS 289
TENTANG PENULIS 295

U P
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P

xx
PENDAHULUAN

Lahirnya era Reformasi pada 1998 telah memberikan momen-


tum ba­ru bagi bangsa Indonesia untuk meneguhkan demokrasi
sebagai sistem politik yang sesuai dengan realitas Indonesia yang
majemuk. Era Reformasi juga sekaligus menyadarkan bangsa In-
donesia untuk secara sungguh-sungguh mewujudkan cita-­cita ke­
merdekaannya yang selama ini terabaikan akibat sistem kekuasaan
masa lalu yang sarat dengan praktik kenegaraan yang feodalis-
tik. Cita-cita kemerdekaan Indonesia adalah apa yang termaktub
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni menjadi
negara yang mampu melindungi bangsa dan tumpah darah Indo-
U P
O
GR
nesia, menyejahterakan dan mencerdaskan warga negaranya, dan
berperan aktif dalam percaturan internasional yang berdasarkan

A
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sistem de-
I Bab
ED
mokrasi memberi peluang yang luas kepada bangsa Indonesia un-
tuk memenuhi janji-janji konstitusional kemerdekaannya.

M
1
Gelombang demokrasi global yang menghampiri Indonesia

D A
pa­da penghujung abad ke-20 yang lalu tersebut telah melahirkan

N A
ledakan partisipasi politik masyarakat. Ledakan partisipasi ini telah
menghantarkan kekuatan masyarakat sipil yang selama kurun wak-

R E
tu tertentu dikesampingkan oleh negara muncul menjadi sebuah

P
kekuatan penyeimbang yang mutlak dibutuhkan bagi setiap negara
demokrasi. Dalam sistem demokrasi, negara tidak lagi menjadi mi-
lik segelintir elite yang berkuasa, tapi ditentukan masa depannya
melalui mekanisme politik populis yang berlangsung umum, ter-
buka, serempak, aman, dan transparan.
Lahirnya wacana demokrasi dan penegakan hak asasi manusia
(HAM) sepanjang era Reformasi merupakan kritik tajam terhadap
pelanggaran HAM dan penyalahgunaan demokrasi oleh negara di
masa lalu. Pengalaman pahit bangsa Indonesia menjadi anak jajah­
an di masa lalu ternyata tidak ser­ta­merta melahirkan pemerin-
tahan nasional yang menghormati dan melindungi HAM. Malah
sebaliknya, perilaku feodalistik yang sarat pelanggaran HAM di
masa penjajahan dilanggengkan oleh negara setelah kemerdekaan
melalui tindakan represif terhadap hak-hak politik warga negara.
Di masa lalu negara seperti gurita yang tangan-tangannya terlalu
kuat, mengontrol dan memanipulasi tujuan-tujuan mulia bernega-
ra untuk kepentingan subjektif kekuasaan yang monolitik dan ser-
ba terpusat. Selama kurun kekuasaan Orde Baru, misalnya, rakyat
dan lembaga perwakilannya tidak lebih diperlakukan sebatas ob-
jek kekuasaan yang dimanipulasi melalui mekanisme politik yang
seolah-olah demokratis dalam suasana dan semangat kekeluargaan
dan gotong royong.
Agar tidak terjebak kembali ke pengalaman masa lalu yang
seolah-olah telah menjalankan demokrasi, bangsa Indonesia harus
melakukan pencerahan publik tentang demokrasi dengan tujuan

U P
membangun peradaban demokrasi yang sinergis dengan pem-
bangunan karakter bangsa yang selama ini diabaikan. Pencerah­
O
GR
an demokrasi tersebut hanya bisa terwujud melalui pelaksanaan
Pendi­dikan Kewarganegaraan atau yang biasa dikenal dengan is-

A
tilah Civic Education yang dalam prosesnya bersandar pada nilai
I
ED
dan prinsip­demokrasi dan menjunjung tinggi nilai-­nilai HAM
dan keindonesiaan yang sejalan dengan tuntutan demokrasi global.

M
Tujuan akhir dari model Pendidikan Kewarganegaraan ini adalah
A
D
membangun warga ne­gara Indonesia yang memiliki: pengetahuan,

N A
keterampilan, nilai, dan karakter demokrasi.
Menuju masyarakat Indonesia yang demikian perlu topangan

R E
upaya-upaya sistematis dan berkelanjutan melalui sebuah pro-

Pgram pendidikan yang dikemas ke dalam model Pendidikan Ke-


warganegaraan yang dilakukan secara demokratis, kolaboratif, dan
menyenangkan. Upaya ini mutlak dilakukan tanpa henti karena
demokrasi bukanlah sesuatu yang telah jadi dan tinggal diadopsi;
tetapi ia harus diperjuangkan, didiseminasikan, dan dipraktikkan
oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa
dan bernegaranya. Hal ini sangat kongruen dengan pernyataan
mantan Sekjen PBB Kofi Annan yang pernah mengatakan, “Tidak
seorang pun terlahir menjadi warga negara yang baik dan tidak
ada bangsa yang terlahir demokratis. Keduanya merupakan proses
yang berkelanjutan sepanjang waktu”.
Berkaca pada pelaksanaan Pendidikan Kewarganegaraan di
masa lalu yang sarat dengan cara­-cara indoktrinasi dan bersifat mi-
literistik, pada bab ini akan dipaparkan konsep, paradigma dan tu-
juan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Edu­cation) sebagai upaya
sistematis untuk menumbuhkan bu­daya demokrasi dalam bingkai
menjaga empat konsensus dasar kebangsaan Indonesia: Pancasila,
UUD 1945 (UUD 45), Bhinneka Tinggal Ika, dan Ne­gara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI). Setelah mempelajari bab ini, Saudara
di­harapkan dapat:
ƒƒ Menjabarkan pengertian dan tujuan Pendidikan Kewarganega-
raan (Civic Education).
ƒƒ Mengemukakan pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan se-
bagai wadah pembentukan karakter bangsa Indonesia yang ber-
keadaban.
ƒƒ Menjelaskan standar kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan.
U P
O
ƒƒ Memaparkan ruang lingkup materi Pendidikan Kewarganega-

GR
raan.
ƒƒ Membandingkan paradigma baru dan lama Pendidikan Kewar-
ganegaraan.
I A
ED
ƒƒ Menyimpulkan pentingnya Pendidikan Kewargaan bagi pem-
bangunan budaya demokrasi di Indonesia.

A M
AD
E N
P R
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

1
Pendahuluan

SEIRING dengan perkembangan gelombang demokrasi ketiga, gerakan reformasi


Indonesia menyuarakan tuntutan demokratisasi politik dan penghormatan terha­
dap HAM sekaligus menandai kejatuhan pemerintahan Orde Baru. Di sela-sela
U P
O
GR
tuntutan ini muncul keinginan menciptakan model pendidikan demokrasi yang
berbeda dengan pola pendidikan demokrasi yang dikemas dalam bentuk Pendidi-

A
kan Kewarganegaraan yang pernah dilakukan oleh pemerintah Orde Baru, yang bi-
I
ED
asa dikenal dengan Pendidikan Kewiraan dan Penataran P4 (Pedoman Penghayat­
an dan Pengamalan Pancasila). Pola-pola pengajaran kedua model Pendidikan

M
Kewarganegaraan yang dilakukan oleh Orde Baru itu dianggap oleh banyak ka-
A
D
langan ahli pendidikan demokrasi tidak sesuai lagi dengan semangat zaman re-

N A
formasi seperti saat ini. Karenanya diperlukan paradigma baru dalam Pendidikan
Kewarganegaraan bagi warga negara Indonesia saat ini dan ke depan.

R E
Sejumlah kritik dikemukakan para ahli terkait dengan mata kuliah Pendidik­an

P
Kewiraan, antara lain: (a) pola dan praktik pembelajaran yang indoktrinatif dan
monolitik; (b) muatan materi ajarnya sarat dengan kepentingan subjektif rezim
penguasa; dan (c) mengabaikan dimensi afeksi dan psikomotorik sebagai bagian
integral dari pencapaian hasil dari pembelajaran nilai-nilai kemanusiaan dan pa-
triotisme. Alih-alih membangun kemanusiaan peserta ajar, Pendidikan Kewiraan
yang sejatinya berfungsi sebagai pendidikan pembangunan karakter bangsa, pada
kenyataannya bertolak belakang dengan semangat dan cita-cita proklamasi dan
hakikat Pendidikan Kewarganegaraan seperti umumnya dilakukan di negara-nega­
ra demokrasi yang telah mapan, yakni sebagai instrumen pendidikan nilai-nilai
demokrasi, HAM, dan penguatan masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil
society).
Bersandar pada kenyataan tersebut, perlu dilakukan rekonstruksi, reorientasi,
dan revitalisasi Pendidikan Kewarganegaraan nasional melalui mata kuliah Pen-

4
BAB 1 • PENDAHULUAN

didikan Kewarganegaraan (Civic Education). Upaya substitusi mata kuliah Pen-


didikan Kewiraan menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) tidak
terlepas dari upaya kalangan perguruan tinggi untuk menemukan format baru pen-
didikan demokrasi di Indonesia yang sesuai dengan semangat demokrasi dan pem-
bangunan negara dan karakter bangsa (nation and character building) yang akhir-
akhir ini telah banyak dilupakan.
Upaya melakukan substitusi dan revitalisasi terhadap Pendidikan Kewiraan
menjadi Pendidikan Kewarganegaraan pada perguruan tinggi menemukan mo-
mentumnya baik secara substantif dan perundang-undangan. Secara substansial
Pendidikan Kewarganegaraan baru ini sejalan dengan kerangka pembangunan de-
mokrasi Indonesia yang merupakan amanat gerakan reformasi, sedangkan secara
legal hal ini tertuang dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun

U P
2003 yang mewajibkan kurikulum setiap satuan dan jenjang pendidikan termasuk
pada jenjang pendidikan tinggi memuat: (a) pendidikan agama; (b) pendidikan
O
GR
kewarganegaraan; dan (c) bahasa. Pendidikan Kewarganegaraan yang dimaksud
untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan

A
dan cinta Tanah Air.
I
ED
Dalam konteks pendidikan nasional, Pendidikan Kewarganegaraan dijadikan
sebagai wadah dan instrumen untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional, ya-

M
itu “berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
A
D
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

N A
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab.” Bersandar pada diktum perundangan ini, keberadaan inovasi pendidikan

R E
demokrasi dan HAM yang dikemas dalam bentuk Pendidikan Kewarganegaraan

P
pada dasarnya merupakan sebuah instrumen pendidikan nasional untuk mencer-
daskan kehidupan bangsa: mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat.
Dalam konteks global abad ke-21, tuntutan akan demokratisasi, baik politik
maupun sosial, telah menjadi agenda bersama yang bersifat universal di kalangan
komponen masyarakat sipil (civil society). Hampir seluruh belahan dunia tidak
bisa lepas dari tuntutan global demokrasi yang digaungkan oleh masyarakat sipil
internasional. Tak terkecuali Indonesia, keinginan untuk menjadi bagian dalam
percaturan masyarakat dunia sebagaimana dicita-citakan oleh konstitusi nasional,
dan pada saat yang sama masyarakat Indonesia tidak ingin kehilangan jati diri dan
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam empat konsensus dasar nasional: Panca-
sila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).

5
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Merespons fenomena tuntutan lokal dan global tersebut, tantangan Pendidik­


an Kewarganegaraan semakin kompleks. Dalam pengertian ini Pendidikan Ke-
warganegaraan tidak hanya sebatas program pemberian pengetahuan tentang hak
dan kewajiban yang harus diketahui dan ditaati oleh warga negara dan negara se-
mata. Tetapi ia harus memenuhi kebutuhan warga negara yang semakin tersatukan
dan saling berhubungan satu sama lain akibat kemajuan teknologi.
Dalam bukunya Citizenship for the 21st Century John J. Cogan dan Ray Derricott
menyimpulkan bahwa apa pun konsep pendidikan kewarganegaraan ia tidak lepas
dari unsur-unsur yang harus dikuasai oleh setiap warga negara: pengetahuan, ke-
terampilan, nilai, dan komitmen yang secara ideal harus dimiliki oleh setiap warga
negara. Untuk memenuhi unsur-unsur pokok ini terdapat lima komponen yang
semestinya melekat dalam setiap program Pendidikan Kewarganegaraan, yakni:

U P
identitas nasional dan patriotisme; hak-hak tertentu warga negara yang dijamin
oleh konstitusi; tanggung jawab, kewajiban dan tugas warga negara; keikutsertaan
O
GR
dalam urusan publik; dan keberadaan nilai-nilai kemasyarakatan, seperti gotong
royong, kesalingpercayaan sesama warga negara, penghormatan terhadap HAM,

A
anti terhadap kekerasan, dan sebagainya.

A. PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAND
I
M E
DAN REAKTUALISASI PANCASILA
(CIVIC EDUCATION)

D A
Pendidikan Kewarganegaraan bukan sesuatu yang baru dalam sejarah pen-

N A
didikan nasional di Indonesia. Beragam model dan sebutan bagi Pendidikan Ke-
warganegaraan dengan bermacam komponennya telah banyak dilakukan pemerin-
E
PR
tah Republik Indonesia. Di antara nama-nama tersebut antara lain: pelajaran Civics
(1957/1962), Pendidikan Kemasyarakatan yang merupakan integrasi sejarah, ilmu
bumi, dan kewarganegaraan (1964), Pendidikan Kewargaan Negara (1968/1969),
Pendidikan Kewarganegaraan, Civics, dan Hukum (1973), Pendidikan Moral Pan-
casila atau PMP (1975/1984), dan PPKn (1994). Di tingkat perguruan tinggi, per-
nah ada mata kuliah Manipol dan USDEK, Pancasila dan UUD 1945 (1960-an), Fil-
safat Pancasila (1970-sampai sekarang), dan Pendidikan Kewiraan (1989-1990-an).
Sejak reformasi Pendidikan Kewarganegaraan di perguruan tinggi, mengacu
pada Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Tahun 2003 di atas, diwujudkan
dengan mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam pelaksanaannya Pendi-
dikan Kewarganegaraan ini mengacu pada Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 267/
Dikti/Kep./2000 tentang Penyempurnaan Kurikulum Mata Kuliah Pengembangan
Kepribadian Pendidikan Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi, yang selanjut-
nya, diperbarui dengan Surat Keputusan Dirjen Dikti No. 38/ Dikti/2002 tentang

6
BAB 1 • PENDAHULUAN

Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di perguruan


tinggi.
Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya adalah menjadikan warga
negara Indonesia yang cerdas, bermartabat, dan aktif dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara. Namun pada kenyataannya, alih-alih mewujudkan tujuan-tujuan
mulia tersebut Pendidikan Kewarganegaraan, khususnya di era Orde Baru, telah
dijadikan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan melalui cara-cara indoktri-
nasi nilai-nilai Pancasila dan manipulasi terhadap makna sebenarnya demokrasi.
Praktik indoktrinasi dan manipulatif tersebut semakin diperparah oleh tindakan
paradoks pemerintah Orde Baru. Sikap bertolak belakang pemerintah Orde Baru
tersebut terlihat pada tidak sejalannya antara tujuan Pendidikan Kewiraan dan Pan-
casila dan perilaku elite Orde Baru dalam mengelola negara yang penuh dengan

U P
praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dengan ungkapan lain, Pendidikan
Kewarganegaraan dan Pancasila lebih banyak diorientasikan untuk melayani pe-
O
GR
nguasa daripada sebagai media pembentukan karakter bangsa.
Sejak era Reformasi 1998, banyak hal positif yang sudah berubah, namun ma-

A
sih terlalu banyak yang harus dibenahi dalam tata kelola kehidupan berbangsa dan
I
ED
bernegara. Sistem demokrasi yang dianut Indonesia, misalnya, telah membuahkan
harapan dan kesempatan baru bagi seluruh warga negara untuk menjadi pemimpin

M
nasional maupun daerah tanpa diskriminasi; namun pada saat bersamaan Indone-
A
D
sia masih disesaki oleh perilaku sosial dan politik yang jauh dari nilai-nilai luhur

N A
Pancasila dan demokrasi. Praktik politik uang (money politics) dan suap dalam ke-
giatan politik dan proses hukum masih menjadi kendala paling serius bagi gerakan

R E
reformasi di Indonesia.

P
Demokrasi yang menjadi komitmen gerakan reformasi masih diwarnai oleh
budaya korupsi dan kolusi yang kerap dilakukan oleh masyarakat dan aparatur
negara. Jika hal ini dilanggengkan niscaya demokrasi tidak akan memenuhi janji-
nya, yakni mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat luas. Sebaliknya, demokrasi
hanya menjadi kepanjangan tangan bagi mereka
yang memiliki modal dan akses terhadap kekuasaan.
Dengan kata lain, jika hal ini berlangsung berlarut- Tujuan Pendidikan
Kewarganegaraan
larut, maka sesungguhnya demokrasi telah dibajak pada dasarnya adalah
oleh mereka yang pernah diuntungkan oleh sistem menjadikan warga
kekuasaan masa lalu yang sarat dengan praktik feo- negara Indonesia yang
dalisme dan KKN. cerdas, bermartabat, dan
aktif dalam kehidupan
Salah satu contoh tindakan anti demokrasi
berbangsa dan bernegara.
yang mencolok adalah budaya politik uang (money

7
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

politics) dalam pemilihan kepala daerah. Ben-


Dalam konteks pendidikan tuk lain dari praktik korupsi ini seakan sudah
formal, keberadaan Pendidikan
menjadi tradisi bahkan keyakinan di tengah
Kewarganegaraan melalui pola-
pola pembelajaran yang humanis masyarakat bahwa uang telah menjadi sarat
dan demokratis merupakan salah mutlak bagi seseorang yang hendak menjadi
satu cara yang amat dibutuhkan pemimpin formal. Inilah fakta paradoks dari
masyarakat saat ini, di mana nilai
demokrasi di mana karier dan peluang politik
dan prinsip-prinsip demokrasi
yang sesungguhnya (genuine
seolah-olah terbuka dan mudah; namun ke-
democracy) dapat dipraktikkan nyataannya hanya dinikmati oleh mereka yang
di ruang-ruang kelas maupun berpunya dan bermental instan, yakni ingin
perkuliahan. serba cepat berkuasa. Kenyataan ini telah men-
jadikan politik semakin jauh dari tujuan ideal-

U P
nya sebagai aktivitas memperjuangkan kepentingan publik; tetapi ia telah menjadi
tindakan mencari keuntungan materiel bagi pribadi dan kelompok melalui saluran
O
GR
politik resmi (partai politik).
Jika praktik politik koruptif ini terus berlangsung, tidak mustahil Indonesia

A
akan mengalami proses demoralisasi kolektif dan defisit panutan serta negarawan.
I
ED
Konsekuensi logis dari penyakit moral kolektif adalah peluang munculnya ketidak­
puasan masyarakat yang dapat menyulut tindakan-tindakan anarkis yang dapat

M
mengancam sendi-sendi persatuan dan kohesi sosial.
A
D
Kekhawatiran ini bisa dihindari dengan kembali membangun komitmen semua

N A
pihak untuk membangun budaya politik bersih dan murah. Membangun budaya
politik bersih dan murah sangatlah mendesak bagi Indonesia sekarang ini demi

R E
masa depan demokrasi yang lebih substantif. Untuk mewujudkan budaya ini, pen-

P
didikan politik bersih dan murah mutlak dilakukan baik oleh pemerintah maupun
masyarakat politik Indonesia dan organisasi masyarakat (ormas). Dalam konteks
pendidikan formal, keberadaan Pendidikan Kewarganegaraan melalui pola-pola
pembelajaran yang humanis dan partisipatif merupakan salah satu cara yang sangat
dibutuhkan Indonesia saat ini, di mana nilai dan prinsip-prinsip demokrasi yang
sesungguhnya (genuine democracy) dapat dipraktikkan di ruang-ruang kelas dan
perkuliahan.
Melalui paradigma pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang humanis-
partisipatoris ini diharapkan ia mampu menjadi laboratorium bagi pembumian
prinsip-prinsip demokrasi yang terintegrasikan dengan nilai-nilai keindonesiaan
di kalangan generasi muda. Melalui upaya kontekstualisasi prinisp dan nilai de-
mokrasi dan Pancasila, misalnya, diharapkan keduanya dapat menjadi sesuatu
yang nyata dalam keseharian masyarakat Indonesia. Sehingga baik Pancasila mau-

8
BAB 1 • PENDAHULUAN

pun demokrasi bukan sesuatu yang jauh di awang-awang dan hanya sebatas wa-
cana akademik; tapi keduanya hadir dalam kenyataan tata kehidupan berbangsa
dan bernegara masyarakat Indonesia sehari-hari, yang pada akhirnya akan menjadi
unsur utama pembentukan karakter nasional Indonesia.
Pendidikan Kewarganegaraan dengan pijakan pembangunan karakter bangsa
(character nation building) ini sangat relevan untuk dilakukan saat ini di mana
perilaku berdemokrasi di Indonesia masih banyak disalahpahami oleh kebanyakan
warga negara Indonesia. Demokrasi masih banyak dipahami sebatas kebebasan
bertindak dan berekspresi tanpa menghiraukan hak-hak asasi orang lain. Bahkan
dengan alasan demokrasi masyarakat saat berunjuk rasa dengan mudah bertindak
anarkis (vandalisme) dengan cara pengrusakan fasilitas umum (kendaraan, marka
jalan, pos penjagaan, toko, perkantoran, rumah sakit, sekolah, dan sebagainya)

unjuk rasa yang mereka lakukan.


U P
maupun mengganggu ketertiban umum atau memaksa orang lain untuk mengikuti

O
GR
Jika hal ini dibiarkan berlanjut, demokrasi Indonesia yang selama ini diusung
oleh elemen-elemen reformasi lambat laun akan kehilangan nilai etisnya sebagai

A
sesuatu yang harus dijaga bersama oleh setiap warga negara. Dalam tatanan kebang-
I
ED
saan, demokrasi akan bernilai rendah jika dalam pemahaman dan implementasinya
berpotensi merusak tatanan sosial dan nilai-nilai persatuan serta keragaman Indo-

M
nesia. Sebagai sebuah negara bangsa yang didirikan dengan modal kemajemukan
A
D
yang kuat dan persamaan nasib dan cita-cita, demokrasi, sebagaimana Pancasila,

N A
dapat menjadi pilar penjaga karakter dan cita-cita Indonesia.
Upaya untuk menyandingkan demokrasi dengan nilai-nilai keindonesiaan

R E
ha-rus terus diupayakan di tengah masih adanya keraguan terhadap demokrasi.

P
Kecenderungan menolak hal-hal yang datang dari luar acap kali menimbulkan
sikap anti terhadap demokrasi dan meng­
anggapnya sebagai sesuatu yang tidak se-
Pendidikan Kewarganegaraan
suai dengan ke­pribadian bangsa Indonesia. dengan pijakan pembangunan
Kearifan pa­ra tokoh bangsa di masa lalu karakter bangsa (character nation
dalam mensintesiskan nilai-nilai positif building) ini sangat relevan untuk
yang terkandun­g dalam ideologi-ideologi dilakukan saat ini di mana perilaku
berdemokrasi di Indonesia masih
dunia dengan nilai-nilai Nusantara selayak­ banyak disalahpahami oleh
nya menjadi spirit generasi muda Indonesia kebanyakan warga negara Indonesia.
hari ini un­tuk tidak ragu melakukan upaya- Demokrasi masih banyak dipahami
upaya kre­atif dalam rangka mengaktualisa- sebatas kebebasan bertindak dan
berekspresi tanpa menghiraukan
sikan dan mengintegrasikan nilai dan prin-
hak-hak asasi orang lain.
sip pada demokrasi global dan Pancasi­la.

9
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Sebagai ideologi terbuka, Pancasila sangat akomodatif terhadap upaya-upaya peng­


integrasian ini.
Bersandar pada semangat tersebut, Pendidikan Kewarganegaraan dapat men-
jadi media pertemuan beragam nilai dan prinsip yang bersumber dari luar dan kha-
zanah pemikiran dan nilai-nilai Indonesia, yang diorientasikan untuk melahirkan
sebuah sintesis kreatif yang dibutuhkan oleh Indonesia sebagai sebuah negara de-
mokrasi baru yang bersendikan pada Pancasila. Untuk menjadi sebuah negara yang
matang berdemokrasi, demokrasi Indonesia dapat seiring dan sejalan dengan ko-
ridor penguatan wawasan kebangsaan yang berbasis pada empat konsensus dasar
nasional Indonesia: Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Keempat konsensus dasar nasional tersebut harus diperkuat oleh sistem poli-

Pada saat yang sama, demokrasi juga harus memperkuat kemajemukan Indonesia.
U P
tik demokrasi yang sudah menjadi pilihan bangsa Indonesia sejak era Reformasi.

O
GR
Keragaman dalam persatuan yang terukir dalam seloka Bhinneka Tunggal Ika pada
Pancasila merupakan landasan ideologis bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa

A
hidup berdampingan secara damai dalam persatuan meskipun memiliki beragam
I
ED
perbedaan.
Prinsip kemajemukan dalam Pancasila dapat bersinergi secara dinamis denga­n

M
prinsip-prinsip demokrasi, sekalipun ia muncul dari tradisi Barat. Memperten-
A
D
tangkan antara demokrasi dan falsafah Pancasila tentu saja tidak selamanya relevan

N A
dengan tata kehidupan masyarakat dunia yang semakin mengglobal tanpa sekat.
Kekhawatiran masyarakat akan hilangnya nilai-nilai gotong royong dan musya­

R E warah mufakat akibat arus deras demokrasi

P
Praktik korupsi, kolusi, dan
nepotisme semasa Orde Baru
global sebaiknya tidak serta-merta menim-
bulkan sikap antipati terhadap demokrasi.
Prinsip kemajemukan dalam persatuan Indo­
telah mengebiri Pancasila itu
sendiri. Pancasila tidak saja nesia telah memberi ruang sah bagi mun-
terpasung oleh kebijakan culnya pemikiran dan pandangan yang be-
pemerintah, ia juga menjadi ragam, bahkan kemungkinan lahirnya tafsir
ideologi negara yang tertutup, dan pandangan baru atas Pancasila sekalipun.
terpusat, dan anti kritik. Siapa saja
yang melontarkan kritik maupun
Keragaman ini akan selalu ditoleransi
memiliki tafsir berbeda atas oleh kelenturan falsafah Pancasila sepanjang
Pancasila dengan mudah akan tidak berlawanan dengan pesan moral kelima
dianggap sebagai lawan negara, sila Pancasila dan tidak berpotensi mengan-
bahkan anti terhadap pemerintah
cam sendi-sendi kesatuan bangsa dan eksis-
dan pembangunan nasional.
tensi NKRI. Kemajemukan adalah suatu ke­

10
BAB 1 • PENDAHULUAN

nyataan yang tidak bisa dihindari oleh bangsa


Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar yang Label Pancasila sebagai
ideologi terbuka seyogianya
mendiami sebuah negara yang besar pula. Pada
dibarengi dengan pengajaran
saat yang sama kemajemukan juga tidak boleh pendidikan Pancasila melalui
menjadi pemicu hilangnya rasa persatuan Indo- model-model pembelajaran
nesia sebagai sebuah bangsa yang terikat dalam dengan pendekatan kritis
(critical thinking) bagi
sebuah negara kesatuan. Kemajemukan dalam
pengajar dan peserta didik.
per­satuan tentu saja tidak bertentangan dengan
prinsip demokrasi yang mengatur dan menjamin
keragaman politik, sosial, dan budaya.
Sebaliknya sikap pro demokrasi juga tidak boleh melahirkan pandangan anti-
Pancasila. Sikap anti terhadap Pancasila tentu saja tidak terlepas dari bagaimana ke-

U P
bijakan negara di masa lalu terhadap dasar negara tersebut. Sepanjang Orde Baru,
misalnya, Pancasila telah menjadi ideologi pelayan pemerintah, yang dijadikan se-
O
GR
bagai legitimasi bagi tindakan tidak demokratis dan anarkis terhadap warga negara.
Pancasila dijadikan rujukan pembangunan, dan pada saat yang sama ia dikhianati

A
dengan praktik bernegara dan berpolitik yang bertentangan dengan nilai-nilai yang
I
ED
terkandung dalam Pancasila. Praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme semasa Orde
Baru telah mengebiri Pancasila itu sendiri. Pancasila tidak saja terpasung oleh ke-

M
bijakan pemerintah, ia juga menjadi ideologi negara yang tertutup, terpusat, dan
A
D
antikritik. Siapa saja yang melontarkan kritik maupun memiliki tafsir berbeda atas

N A
Pancasila dengan mudah akan dianggap sebagai lawan negara, bahkan anti terha-
dap pemerintah dan pembangunan nasional.

R E
Manipulasi atas Pancasila di masa lalu telah berdampak pada sikap alergi bah-

P
kan anti terhadap Pancasila setelah berakhirnya pemerintahan Orde Baru. Untuk
menghindari sikap kurang peduli terhadap Pancasila, upaya pembudayaan dan ak-
tualisasi terhadapnya mutlak dilakukan baik oleh pemerintah maupun masyara-
kat, namun bukan melalui cara-cara pemaksaan dan indoktrinasi seperti terjadi di
masa lalu.
Salah satu upaya mengaktualkan kembali Pancasila tersebut adalah meneguh-
kan kembali Pancasila pada posisinya sebagai ideologi bangsa, penuntun masa
depan dan alat pemersatu Indonesia selamanya. Sebagai sebuah mahakarya para
pendiri bangsa (founding fathers), Pancasila dirumuskan sesuai dengan karakter
dan kebutuhan bangsa Indonesia sepanjang masa. Karakter demografis yang ma-
jemuk dan geografis yang dipisahkan oleh samudra dan sungai meniscayakan Pan-
casila lahir dari rahim Indonesia. Pancasila sebuah karya terbaik bangsa Indonesia
yang merupakan “bintang penuntun,” ke mana ia melangkah dan mewujudkan im-

11
BAB 1 • PENDAHULUAN

B. KONSEP DASAR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


(CIVIC EDUCATION)
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) atau Civics memiliki banyak
pengertian dan istilah. Tidak jauh berbeda dengan pengertian ini, Muhammad
Numan Somantri merumuskan pengertian Civics sebagai Ilmu Kewarganegaraan
yang membicarakan hubungan manusia dengan: (a) manusia dalam perkumpulan-
perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi, politik); (b) individu-
individu dengan negara. Jauh sebelum itu, Edmonson (1958) menyatakan bahwa
makna Civics selalu didefinisikan sebagai sebuah studi tentang pemerintahan dan
kewarganegaraan yang terkait dengan kewajiban, hak, dan hak-hak istimewa warga
negara. Pengertian ini menunjukkan bahwa Civics merupakan cabang dari ilmu
politik, sebagaimana tertuang dalam Dictionary of Education.
P
Istilah lain yang hampir sama maknanya dengan Civics adalah Citizenship.
U
O
Dalam hubungan ini Stanley E. Dimond, seperti dikutip Somantri, menjelaskan

GR
rumusan sebagai berikut: “Citizenship as it relates to school activities has two-fold
meanings. In a narrow-sense, citizenship includes only legal status in country and

I A
the activities closely related to the political function-voting, governmental organiza-

ED
tion, holding of office, and legal right and responsibility …” (Citizenship sebagaimana
keberhubungan dengan kegiatan-kegiatan sekolah mempunyai dua pengertian da­

A M
lam arti sempit, citizenship hanya mencakup status hukum warga negara dalam

AD
sebuah negara, organisasi pemerintah, mengelola kekuasaan, hak-hak hukum dan
tanggung jawab). Dari perspektif ini, Civics dan

E N
Citizenship erat kaitannya dengan urusan warga Berbeda dengan model

R
negara dan negara. pengajaran Pendidikan

P
Hal penting dari rumusan Dimond di atas
adalah keterkaitan citizenship dengan kegiatan
Kewarganegaraan model
lama, cara pembelajaran
Pendidikan Kewarganegaraan
belajar di sekolah mengingat pentingnya disip­ (Civic Education) baru adalah
lin pengetahuan ini bagi kehidupan warga ne­­ pembelajaran nilai dan
gara dengan sesamanya maupun dengan ne­ prinsip demokrasi melalui
proses pembelajaran yang
ga­­­
ra di ma­ na mereka berada. Bahkan pada
kolaboratif dan demokratis,
per­­­kembanga­n selanjutnya, makna penting citi- dengan menghindari cara-cara
zenship telah me­lahirkan gerakan warga negara indoktrinasi, dan serba hafalan
(civic commu­nity) yang sadar akan pentingnya sebagaimana dipraktikkan
Pendidikan Kewarganegaraan. pada program-program
pendidikan kewarganegaraan
Sebagian ahli menyamakan Civic Educatio­n dan sejenisnya dan penataran
de­ngan Pendidikan Demokrasi (Democracy Edu- Pancasila di masa lalu.
cation) dan Pendidikan HAM. Menurut Azra,

13
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Pendidikan Demokrasi secara substantif me-


Pendidikan Kewarganegaraan nyangkut sosialisasi, diseminasi dan aktuali­
adalah Pendidikan Demokrasi yang
sasi konsep, sistem, nilai, budaya, dan prak-
bertujuan untuk mempersiapkan
warga masyarakat agar mampu tik demokrasi melalui pendidikan. Adapun
berpikir kritis dan bertindak Pendidikan HAM mengandung pengertian
demokratis melalui aktivitas sebagai aktivitas mentransformasikan nilai-
penanaman kepada generasi
nilai HAM, agar tumbuh kesadaran akan
muda tentang demokrasi sebagai
sebuah sistem politik yang
penghormatan, perlindungan, dan penja-
paling menjamin hak-hak warga minan HAM sebagai sesuatu yang kodrati
masyarakat; demokrasi adalah dan dimiliki setiap manusia.
suatu learning process yang tidak Dalam catatan sejarahnya, Pendidikan
dapat begitu saja meniru dari
Kewarganegaraan muncul dari gagasan yang
masyarakat lain; kelangsungan
demokrasi tergantung pada
U P
lahir dari pandangan masyarakat yang me-
mandang penting pendidikan ini. Salah satu
O
kemampuan mentransformasikan

GR
nilai-nilai demokrasi. contoh pandangan tersebut adalah gerakan
community civics yang dipelopori oleh W.A.

A
Dunn pada 1907. Gerakan ini merupakan permulaan yang menghendaki mata pela-
I
ED
jaran tentang kewarganegaraan (Civic Education) lebih fungsional bagi para peserta
didik dengan menghadapkan mereka kepada lingkungan atau kehidupan sehari-

M
hari (sosial, ekonomi, politik, dan sebagainya), baik yang berskala lokal maupun
A
D
internasional. Bersamaan dengan timbulnya gerakan community civics versi Dunn,

N A
lahir gerakan serupa, yaitu gerakan Civic Education atau juga biasa disebut dengan
istilah Citizenship Education (Pendidikan Kewarganegaraan).

R E
Istilah Civic Education oleh banyak ahli diterjemahkan ke dalam bahasa In-

P
donesia dengan istilah Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Kewargaan.
Istilah Pendidikan Kewargaan dengan orientasinya sebagai media penguatan warga
negara dalam berdemokrasi untuk pertama kali oleh rektor Institut Agama Islam
Negeri (IAIN) “Syarif Hidayatullah” Jakarta Profesor Azyumardi Azra. Tidak lama
setelah munculnya gerakan Reformasi, pada tahun 2000 Mata Kuliah Pendidikan
Kewargaan (Civic Education) dengan pengertian dan tujuan seperti di atas untuk
pertama kalinya dilaksanakan di lingkungan IAIN Jakarta (kini Universitas Islam
Negeri atau UIN Jakarta), dan selanjutnya didiseminasikan ke seluruh Perguruan
Tinggi Agama Islam Negeri di Indonesia. Adapun istilah Pendidikan Kewarganega-
raan diwakili antara lain oleh beberapa pakar Pendidikan Kewarganegaraan: Zam-
roni, Muhammad Numan Somantri, dan Udin S. Winataputra.
Pilihan istilah Pendidikan Kewargaan, menurut Azra, tidak lepas dari realitas
empiris bangsa Indonesia yang masih awam tentang demokrasi. Lebih dari seka-

14
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

negara. Dengan kata lain, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) adalah


suatu program pendidikan yang berusaha menggabungkan unsur-unsur substantif
dari komponen Civic Education di atas melalui model pembelajaran yang demokra-
tis, interaktif, serta humanis dalam lingkungan yang demokratis.
Agar Pendidikan Kewarganegaraan mencapai tujuan maksimal, diperlukan be-
berapa persyaratan sebagai berikut: pertama, lingkungan kelas haruslah demokratis;
kedua, materi tentang demokrasi dan HAM tidak dapat diajarkan secara verbalistis,
melainkan harus melalui situasi dan pengalaman yang dikenal oleh peserta didik;
dan ketiga, model pembelajaran yang dikembangkan adalah model pembelajaran
interaktif. Unsur ketiga ini biasa juga dikenal dengan istilah model pembelajaran
kolaboratif atau pembelajaran aktif (active learning).

C. STANDAR KOMPETENSI DAN KOMPETENSI DASAR PENDIDIKAN


KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)
U P
O
GR
1. Standar Kompetensi
Standar kompetensi adalah kualifikasi atau ukuran kemampuan dan kecakap­

I A
an seseorang yang mencakup seperangkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan.

ED
Dengan demikian, standar kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Edu-

M
cation) adalah menjadi warga negara yang cerdas dan berkeadaban (Intelligent and

D A
Civilized Citizens). Civic intelligence menurut rumusan Massachussetts Institute
of Technology Encyclopedia of Cognitive Sciences yang dikutip oleh Tilaar adalah

N A
“kemampuan seseorang untuk menyesuaikan diri, memilih, dan mengembangkan
lingkungannya.”

R E
Lebih lanjut, Tilaar menyatakan bahwa inteligensi berkenaan dengan tiga ke-
P
mampuan individu berinteraksi dengan lingkungannya, yaitu kemampuan adapta-
si, konstruktif, dan selektif. Dengan demikian, civic intelligence dirumuskan sebagai
kemampuan seseorang untuk mengetahui dan menghayati hak dan kewajibannya
sebagai warga masyarakat, serta mentransformasikan nilai-nilai tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari. Konsep Pendidikan Kewarganegaraan seperti inilah di-
harapkan mampu merespons kebutuhan masyarakat Indonesia abad ke-21 seba­
gaimana dijelaskan oleh Cogan dan Derricott pada bagian awal bab ini.

2. Kompetensi Dasar Pendidikan Kewarganegaraan


(Civic Education)
Terdapat tiga kompetensi dasar atau sering disebut kompetensi minimal dalam
pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, yaitu: pertama, kompetensi pengeta-
huan kewargnegaraan (civic knowledge), yaitu kemampuan dan kecakapan maha-

16
BAB 1 • PENDAHULUAN

siswa untuk menjelaskan ruang lingkup materi Pendidikan Kewarganegaraan (Ci-


vic Education). Kedua, kompetensi sikap kewarganegaraan (civic dispositions), yaitu
kemampuan dan kecakapan mahasiswa yang terkait dengan kesadaran dan komit-
men warga negara, antara lain komitmen menjadikan Pancasila dan demokrasi
sebagai prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara bangsa di Indonesia, men-
junjung kesetaraan gender, toleransi, kemajemukan, dan komitmen untuk peduli
serta terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan warga negara yang terkait
dengan pelanggaran HAM serta memiliki komitmen kuat terhadap pemberantasan
korupsi di lingkungannya; dan ketiga, kompetensi keterampilan kewarganegaraan
(civic skills), yaitu kemampuan dan kecakapan mengartikulasikan keterampilan ke-
warganegaraan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebi-
jakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan
pemerintahan, maupun kemampuan untuk menjadi warga negara yang bertang-
gung jawab terhadap hak dan kewajibannya.
U P
O
GR
Civic Disposition
I A
ED
Civic Confidence
Sikap dan
Kepribadian Warga

AM
Civic Knowledge

D
Civic Skills Civic Virtue

A
Civic Participations Kebajikan
Civic Commitment

N
Civic Responsibility Kewarganegaraan
Kesediaan dan

E
Kecakapan, Partisipan, dan Komitmen Warga

R
Tanggung Jawab Warga

P Civic Culture
Civic Intelligence
Demokrasi Berkeadaban

* Diadaptasi dari Udin S., 2006.

Ketiga kompetensi tersebut merupakan tujuan pembelajaran (learning objec-


tives) mata kuliah ini yang dielaborasikan melalui cara pembelajaran yang de-
mokratis, partisipatif, dan aktif (active learnings) sebagai upaya transfer pembela-
jaran (transfer of learning), nilai (transfer of values), dan prinsip-prinsip (transfer of
principles) demokrasi dan HAM yang merupakan prasyarat utama tumbuh kem-
bangnya demokrasi dan masyarakat madani (civil society).

17
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

3. Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)


Pendidikan Kewarganegaraan bertujuan untuk membangun karakter (charac-
ter building) bangsa Indonesia yang antara lain: (a) membentuk kecakapan parti-
sipatif warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan ber-
bangsa dan bernegara; (b) menjadikan warga negara Indonesia yang cerdas, aktif,
kritis, dan demokratis, namun tetap memiliki komitmen menjaga persatuan dan
integritas bangsa; dan (c) mengembangkan kultur demokrasi yang berkeadaban,
yaitu kebebasan, persamaan, toleransi, dan tanggung jawab.
Setelah mahasiswa mengikuti Pendidikan Kewarganegaraan ini diharapkan
mereka akan menjadi warga negara Indonesia yang memiliki pengetahuan, sikap
positif dan kemampuan untuk melakukan perubahan di tengah masyarakat (agent
of social changes), melakukan transfer of learning (proses pembelajaran diri), trans-
P
fer of values (proses pengejawantahan nilai-nilai), dan transfer of principles (transfer
U
O
prinsip-prinsip) Pancasila, demokrasi, HAM, Masyarakat Madani dan pencegahan

GR
korupsi dalam kehidupan nyata.

A
4. Materi Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education)
I
ED
Sejalan dengan perkembangan demokrasi dan menguatnya kembali wacana re-
vitalisasi atas Pancasila dan masih tingginya angka korupsi di Indonesia dewasa ini,

M
terdapat tiga materi pokok Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) yaitu
A
D
Pancasila, Demokrasi dan Pemberantasan Korupsi. Ketiga materi pokok tersebut

N A
dielaborasikan ke dalam sembilan materi yang saling terkait satu dengan yang lain-
nya, sehingga menjadi 11 bab materi selengkapnya adalah: (1) Pendahuluan tentang

R E
Pendidikan Kewarganegaraan; (2) Pancasila; (3) Identitas Nasional dan Globalisasi;

P
(4) Demokrasi: Teori dan Praktik; (5) Konstitusi dan Tata Perundang-undangan In-
donesia; (6) Negara; Agama dan Warga Negara; (7) Hak Asasi Manusia; (8) Otono-
mi Daerah; (9) Tata Kelola Kepemerintahan yang Baik dan Bersih; (10) Pencegah­an
Korupsi, dan (11) Masyarakat Sipil (Civil Society).

D. PARADIGMA PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN


(CIVIC EDUCATION)
Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) ini mengembangkan para-
digma pembelajaran orang dewasa (andragogi) yang dilakukan melalui berbagai
model pembelajaran kolaboratif dan demokratis. Dalam praktiknya paradigma
andragogi-demokratis ini lebih menekankan pada proses-proses pembelajaran
yang berusa­ha menggali dan mengembangkan pengalaman-pengalaman maha-
siawa sebagai peserta didik dewasa, yang diorientasikan bagi upaya pengembangan

18
BAB 1 • PENDAHULUAN

pengetahuan, keterampilan dan sikap atau komitmen yang dibutuhkan oleh warga
negara di era demokrasi, yang berlangsung secara demokratis dan menyenangkan.
Melalui paradigma ini, mahasiswa diharapkan tidak hanya sekadar memiliki pe-
ngetahuan tentang kewarganegaraan (citizenship); tetapi juga memiliki keterampil­
an-keterampilan berdemokrasi (democracy skills) dan memiliki komitmen kuat
untuk bersikap dan berperilaku demokratis serta cinta dan bangga menjadi warga
negara Indonesia.
Dalam implementasinya paradigma Pendidikan Kewarganegaraan ini adalah
suatu proses pembelajaran yang menempatkan peserta didik sebagai subjek dari-
pada objek pembelajaran, sementara pengajar (dosen dan guru) berperan sebagai
fasilitator atau mitra belajar peserta didik dalam seluruh proses pembelajaran di ke-
las. Sejalan dengan paradigma ini, materi pembelajaran Pendidikan Kewarganega­

U P
raan ini disusun berdasarkan pada kebutuhan mendasar dan universal warga nega-
ra yang semakin kritis, terbuka dan saling terkait sama dengan yang lainnya.
O
GR
Pembelajaran yang bersandar pada Paradigma andragogi-demokratis ini selu-
ruhnya diarahkan agar peserta didik tidak hanya mengetahui sesuatu (learning to

A
know), melainkan dapat belajar untuk menjadi (learning to be) manusia yang ber-
I
ED
tanggung jawab sebagai individu dan makhluk sosial serta belajar untuk melakukan
sesuatu (learning to do) yang didasari oleh pengetahuan yang dimilikinya. Melalui

M
pola pembelajaran tersebut diharapkan mahasiswa dapat dan siap untuk belajar
A
D
hidup bersama (learning to live together) dalam kemajemukan Indonesia dan dunia.

N A
Melalui Pendidikan Kewarganegaraan ini diharapkan peserta didik dapat men-
jadi warga negara Indonesia yang tidak hanya memiliki pengetahuan (kognitif),

R E
tetapi juga dapat menjadi warga negara Indonesia yang kritis, aktif, solutif, dan

P
mempunyai pengetahuan yang memadai (well informed) tentang hak dan kewa-
jiban warga negara dalam sebuah negara bangsa modern.

E. URGENSI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN (CIVIC EDUCATION)


BAGI PEMBANGUNAN BUDAYA DEMOKRASI DI INDONESIA
Menurut Ahmad Syafi’i Ma’arif, demokrasi bukanlah sebuah wacana, pola
pikir, atau perilaku politik yang dapat dibangun sekali jadi. Menurutnya, demokrasi
adalah proses di mana masyarakat dan negara berperan di dalamnya untuk mem-
bangun kultur dan sistem kehidupan yang dapat menciptakan kesejahteraan, mene­
gakkan keadilan baik secara sosial, ekonomi, maupun politik. Dari sudut pandang
ini, demokrasi dapat tercipta apabila masyarakat dan pemerintah bersama-sama
membangun kesadaran akan pentingnya demokrasi dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara.

19
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Proses demokratisasi Indonesia membutuhkan topangan budaya demokrasi


yang genuine. Tanpa dukungan budaya demokrasi, proses transisi demokrasi masih
rentan terhadap berbagai ancaman budaya dan perilaku tidak demokratis waris­
an masa lalu, seperti perilaku anarkis dalam menyuarakan pendapat, politik uang
(money politics), pengerahan massa untuk tujuan politik, dan penggunaan simbol-
simbol primordial (suku dan agama) dalam berpolitik.
Melihat pada kenyataan tersebut, menurut Azra, Indonesia membutuhkan se-
buah demokrasi keadaban (civilitized democracy) atau apa yang dikatakan oleh Ro-
bert W. Heffner sebagai keadaban demokrasi (democratic civility). Namun demikian,
menuju tatanan demokrasi keadaban yang lebih genuine dan autentik bukanlah hal
yang mudah dan instan; sebaliknya membutuhkan proses pengenalan, pembelajar­
an, dan pengamalan (learning by doing), serta pendalaman (deepening) demokrasi.
Proses panjang ini tidak lain dilakukan dalam rangka mengembangkan budaya de-

U
mokratis (democratic culture) di Indonesia. Salah satu cara untuk mengembang-P
O
GR
kan kultur demokratis berkeadaban dimaksud adalah melalui program Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) yang dilakukan melalui cara-cara pembelajar­

A
an demokratis oleh pengajar yang demokratis untuk tujuan menginternalisasikan
I
ED
nilai-nilai demokrasi.
Terdapat dua alasan, masih menurut Azra, mengapa Pendidikan Kewarganega-

M
raan merupakan kebutuhan mendesak bagi bangsa Indonesia dalam membangun
A
D
demokrasinya. Pertama, meningkatnya gejala dan kecenderungan political illiter-

N A
acy, tidak melek politik dan tidak mengetahui cara kerja demokrasi dan lembaga-
lembaganya di kalangan warga negara.

R E
Kedua, meningkatnya political apathism (apatisme politik) yang ditunjukkan

P
dengan sedikitnya keterlibatan warga negara dalam proses-proses politik. Jika de-
mokrasi merupakan sesuatu yang tak bisa ditawar-tawar atau dimundurkan (point
of no return) bagi bangsa Indonesia, maka Pendidik­
Salah satu cara untuk an Kewarganegaraan (Civic Education) adalah salah
mengembangkan kultur satu upaya penyemaian budaya demokrasi.
demokratis berkeadaban Langkah yang dapat dilakukan untuk member-
adalah melalui dayakan masyarakat agar mempunyai pengetahuan
program Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic
dan budaya demokrasi yang kuat adalah melalui
Education) yang dilakukan upaya sistematis dan sistemis dalam bentuk Pendi-
melalui cara-cara dikan Kewarganegaraan (Civic Education). Secara
demokratis oleh pengajar konseptual Pendidikan Kewarganegaraan ini dapat
yang demokratis untuk
menjadi model Pendidikan Demokrasi dan Pendi-
tujuan demokrasi.
dikan Kebangsaan sekaligus dalam kerangka mem-

20
BAB 1 • PENDAHULUAN

perkuat tradisi demokrasi dan Masyarakat Sipil atau Masyarakat Madani (civil
society) di Indonesia yang disinergikan dengan upaya-upaya rasionalisasi, kontek-
stualisasi dan internalisasi nilai-nilai Pancasila dan Kebangsaan.

U P
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P

21
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
PANCASILA DAN KEHARUSAN
REAKTUALISASI

H
iruk pikuk Reformasi telah menjadikan Pancasila dilupa-
kan oleh banyak orang. Model sosialisasi butir-butir Pan-
casila di masa lalu yang indoktrinatif diduga banyak ka-
langan sebagai penyebab lahirnya sikap anti terhadap dasar negara
Pancasila. Padahal, sebagai falsafah bangsa, Pancasila mengandung
nilai dan prinsip-prinsip hidup bersama sesama anak bangsa yang
majemuk dan menempati hamparan luas Negara Kesatuan Repub-
lik Indonesia (NKRI). Sebagai rumusan yang bersumber dari rahim
U P
O
kebudayaan nusantara, Pancasila adalah sebuah capaian kearifan

GR
dan kecendekiaan bangsa Indonesia yang bersifat elastis dan selalu
akomodatif terhadap perubahan dan tuntutan zaman. Pancasila se-

I A
bagai ideologi terbuka mampu menjadi filter globalisasi dan seka-
Bab
ED
ligus sebagai sumber inspirasi bagi kemajuan bangsa Indonesia
sepanjang ia terbuka bagi upaya-upaya reaktualisasi, penyegaran
M
D A
(rejuvenasi), revitalisasi, dan sejenisnya.
Setelah mempelajari bab ini, saudara diharapkan dapat:
A
2
masi.
E N
ƒƒ Menjelaskan tantangan dan ancaman kebangsaan di era Refor-

P R
ƒƒ Memaparkan pentingnya reaktualisasi dan rasionalisasi atas
Pan­casila di era demokrasi.
ƒƒ Menghubungkan pentingnya demokratisasi bangsa dan komit-
men menjaga empat konsensus dasar bangsa.
ƒƒ Menjelaskan arti penting Pancasila bagi Indonesia yang maje-
muk dan modern.
ƒƒ Menjabarkan unsur dan nilai yang bersumber dari empat kon-
sensus dasar bangsa.
ƒƒ Menjelaskan aktualisasi atas nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

2
Pancasila dan Keharusan Reaktualisasi

U P
SETELAH Orde Baru berakhir pada 1998, falsafah negara Indonesia Pancasila
seakan hilang bersamaan dengan tamatnya pemerintahan Presiden Soeharto.
O
GR
Sepanjang kekuasaan Orde Baru, Pancasila hadir dalam setiap pidato kepala negara
dan pejabat di bawahnya. Hampir tiada hari tanpa Pancasila. Masyarakat Indonesia

I A
setiap saat mendengarkan pidato pimpinan negara yang menyatakan arti penting

ED
Pancasila dalam derap pembangunan Indonesia. Bahkan tidak cukup dalam pi-
dato kenegaraan, pemerintah Orde Baru juga melakukan pembudayaan nilai-nilai
M
Pancasila dalam beragam program nasional pendidik­an dan penataran Pedoman
A
D
Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

N A
A. ERA REFORMASI: DEMOKRASI DAN UJIAN KEBANGSAAN
E
PR
Suasana tersebut berubah total setelah gerakan reformasi muncul dan meng­
akhiri kekuasaan panjang Orde Baru. Pancasila tidak lagi menjadi jargon pemba-
ngunan. Pancasila untuk beberapa saat hilang dari sambutan elite bangsa maupun
masyarakat luas. Pancasila hilang, bahkan seakan raib ditelan ingar-bingar refor-
masi. Reformasi telah melahirkan era baru bagi bangsa Indonesia di mana negara
dan pemerintah tak lagi menjadi sumber utama dalam memaknai nilai-nilai Pan-
casila. Lahirnya era Reformasi seolah menjadi tonggak pemisah antara masa lalu
yang serba Pancasila dan masa sekarang yang tanpa Pancasila. Kenyataan ini tidak
bisa dipisahkan dari pengalaman kolektif warga bangsa bahwa pemerintahan Orde
Baru telah memanipulasi Pancasila dari fungsinya sebagai pedoman hidup bersama
semua komponen bangsa yang dibelokkan menjadi sebatas alat politik kekuasaan.
Di balik semaraknya program pendidikan dan penataran Pancasila, negara (pemer-
intah) di masa lalu pada saat yang sama telah bertindak jauh dari nilai-nilai luhur
Pancasila.

25
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Tidak cukup hingga di sini, banyak kalangan menilai pemerintahan Orde Baru
telah mengkhianati butir-butir Pancasila yang adiluhung. Praktik pemerintahan
Orde Baru yang sarat dengan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) telah menjadi sen-
jata yang menikam tuannya sendiri. Di tengah gegap gempita gerakan reformasi,
Pancasila telah menjadi korban salah sasaran: Pancasila seakan identik dengan
pemerintahan Presiden Soeharto itu sendiri. Segala kebaikan dan nilai historis Pan-
casila seakan tergerus oleh gerakan reformasi. Untuk sejenak Pancasila tak lagi ter-
dengar pada pidato kenegaraan pemerintah dan wacana politik nasional. Pancasila
terasing dari bumi kelahirannya yang tengah dimabuk reformasi.
Mengiringi gerakan reformasi, Indonesia tidak sepi pula dari ujian dan ancam­
an disintegrasi. Tepat menyusul berakhirnya Orde Baru, Indonesia diuji dengan
lepas­nya Timor Timur, lalu disusul dengan keinginan Gerakan Aceh Merdeka
(GAM) dan Gerakan Papua Merdeka yang mengancam pisah dari NKRI. Bersa-

U
maan dengan kemunculan gerakan-gerakan separatis ini, jatuhnya Orde Baru di- P
O
GR
tandai pula oleh beragam konflik bernuansa primordial, baik etnik maupun agama.
Konflik antar-etnis muncul di Kalimantan Barat, disusul dengan konflik berdarah

A
bernuansa agama di Ambon dan sejumlah daerah.
I
ED
Bersamaan dengan konflik-konflik ini, gelombang demokratisasi di era Refor-
masi juga telah memunculkan kembali impian-impian politik masa lalu yang telah

M
usang. Munculnya kembali gerakan berbasis agama yang mengusung ide meng-
A
D
ganti Pancasila sebagai dasar negara dengan Islam merupakan ujian yang mengan-

N A
cam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdasarkan Pancasila.
Dengan ungkapan lain, Indonesia yang tengah optimis dengan demokrasi pada saat

R E
bersamaan harus berhadapan dengan ancaman gerakan primordial yang serius,

P
yang memanfaatkan kelenturan dan peluang yang diberikan oleh sistem demokrasi.
Jika hal ini tidak dicegah melalui cara-cara per-
Keawaman masyarakat atas suasif dan tegas, tidak mustahil demokrasi yang
demokrasi ini menjadi kendala idealnya dapat membawa Indonesia ja­uh lebih
serius bagi Indonesia yang baik akan dibajak oleh gerakan-ge­ rakan pri-
tengah mewujudkan demokrasi
mordial yang menggunakan wacana demokrasi;
yang sebenarnya. Demokrasi
saat ini masih dipahami
namun sesungguhnya merek­a hen­dak memati-
kebanyakan masyarakat kan demokrasi dan dasar ne­gara Pancasila seb-
sebagai tiket murah untuk agai salah satu unsur kon­sensus dasar bangsa.
bertindak melanggar hukum, Namun demikian, euforia demokrasi te­lah
menyuarakan hak daripada
mengubah secara signifikan Indonesia menjadi
kewajiban dan memaksakan
kehendak kelompok. masyarakat yang terbuka dan kritis. Pancasila
telah menjadikan segala hal di masa lalu yang

26
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

tidak bisa dipertanyakan, kini tidak sekadar dipertanyakan tetapi juga digugat. Ter-
lalu kuatnya peran negara atas warga negara di masa lalu berdampak sangat kontras
di masa reformasi, peran negara melemah. Masyarakat sendiri gamang terhadap
ideologi yang muncul di era Reformasi, masyarakat seperti kehilangan arah, karena
sebelumnya tidak terbiasa dengan demokrasi. Demokrasi Pancasila yang dahulu di-
gadang-digadang, dituding banyak kalangan telah terkhianati oleh pemerintahan
Orde Baru. Praktik pemerintahan yang sarat dengan korupsi, kolusi dan nepotisme
bertentangan dengan butir-butir Pancasila yang selama puluhan tahun diajarkan,
disosialisasikan, dan dibudayakan oleh pemeritah Orde Baru melalui beragam pro-
gram dan kegiatan, baik formal maupun informal.
Kegamangan masyarakat Indonesia dengan demokrasi tampak terlihat pada
kesalahpahaman masyarakat terhadap demokrasi yang masih banyak dianggap se-

U P
bagai ekspresi kebebasan tanpa dibarengi tanggung jawab dan penghormatan hak
asasi orang lain. Hal ini sekaligus sebagai petanda gagalnya pendidikan Pancasila
O
GR
yang dilakukan oleh Orde Baru yang sebenarnya melakukan manipulasi terhadap
prinsip dan nilai demokrasi. Keawaman masyarakat atas demokrasi ini menjadi

A
kendala serius bagi Indonesia yang tengah mewujudkan demokrasi yang sebenar­
I
ED
nya. Demokrasi saat ini masih dipahami kebanyakan masyarakat sebagai tiket mu-
rah untuk bertindak melanggar hukum, menyuarakan hak daripada kewajiban dan

M
memaksakan kehendak pribadi dan kelompok.
A
D
Di balik beragam tantangan di atas, Indonesia telah menunjukkan tanda-tan-

N A
da yang menggembirakan bagi masa depan dan kualitas demokrasi. Pelaksanaan
pemilihan umum yang berlangsung aman dan semakin berkualitas sepajang era

R E
Reformasi menjadi salah satu indikator penting semakin baiknya demokrasi di In-

P
donesia. Transisi demokrasi dinilai banyak kalangan telah dilalui Indonesia, dan
saatnya menuju era substansialisasi demokrasi dan era reaktualisasi dan internal-
isasi atau penghayatan nilai-nilai kebangsaan yang bersumber dari Pancasila secara
rasional dan melibatkan seluruh komponen bangsa.
Di balik dinamika kebangsaan di atas, praktik berdemokrasi di Indonesia se-
dang menunjukkan tanda-tanda yang menggembirakan. Sistem politik dengan Pe-
milu yang semakin terbuka dengan kontestan banyak partai politik dan pembatasan
jabatan presiden menjadi indikator demokrasi Indonesia yang penting. Keterbu-
kaan politik, kebebasan pers dan berserikat serta berkumpul, dan kebebasan ber-
agama yang semakin semarak di era Reformasi semakin menambah kuali­tas de-
mokrasi Indonesia.
Namun demikian, demokrasi Indonesia masih berhadapan dengan anasir-ana-
sir pemahaman dan tindakan yang tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan

27
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

menjaga kemajemukan dalam bingkai NKRI.


Transisi demokrasi dinilai Hingga saat ini Indonesia masih belum bebas
banyak kalangan telah dilalui
sepenuhnya dari ancaman-ancaman gerakan
Indonesia, dan saatnya menuju
era substansialisasi demokrasi radikalisasi aga­­ma dengan mengusung agenda
dan era reaktualisasi dan mengganti­ kan dasar negara Pancasila, angka
internalisasi atau penghayatan korupsi yang masih tinggi, politik uang (mo-
nilai-nilai kebangsaan yang
ney politics) pada setiap pemilihan umum dan
bersumber dari Pancasila
secara rasional dan melibatkan
pemilihan kepala daerah, dan semangat pri-
seluruh komponen bangsa. mordial yang membonceng wacana demokrasi
dan kebijakan desentralisasi (otonomi daerah).
Alih-alih mewujudkan kesejahteraan, demokrasi belum menampakkan janjinya se-
bagai media untuk menyejahterakan rakyat. Sebaliknya, demokrasi masih sebatas

U P
kosmetik politik yang bersifat prosedural dengan transaksi politik uang yang di-
lakukan elite politik pusat maupun lokal sebagai mesin penggeraknya. Praktik anti-
O
GR
demokrasi ini berkelindan dengan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah yang
masih dipahami secara parsial di tingkat daerah.

A
Tujuan desentralisasi yang sejatinya seirama dengan demokratisasi dan tata ke-
I
ED
lola pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) dan akuntabel
telah banyak dibengkokkan untuk pencapaian kekuasaan sesaat dengan basis pri-

M
mordialisme melalui transaksi politik yang berlawanan dengan semangat Negara
A
D
Kesatuan Republik Indonesia dan nilai-nilai Pancasila. Pemekaran daerah yang

N A
membonceng pelaksanaan otonomi daerah dan wacana desentralisasi masih ba­
nyak didasarkan pada ambisi politik tokoh lokal daripada sema-ngat membangun

R E
daerah dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih: keterbukaan,

P
akuntabilitas, partisipasi, dan kesetaraan. Prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan
yang bersih dan baik yang diusung gerakan reformasi tenggelam jauh dalam pu-
saran kuatnya budaya mencari kekuasaan semata tanpa diimbangi kelayakan dan
kecakapan calon pemimpin daerah (gubernur, bupati, dan walikota), berkorelasi
dengan jumlah kegagalan daerah pemekaran dalam mengelola sumber daya manu-
sia dan alamnya. Demokrasi yang sejatinya berdampak pada kesejahteraan sema-
kin kehilangan pamornya di mata masyarakat.
Transaksi politik berdasarkan uang dan pemberlakuan peraturan daerah (Per-
da) yang bernuansa kedaerahan dan agama tertentu semakin menambah daftar
panjang ancam­an terhadap integrasi bangsa dan jati diri Indonesia yang majemuk.
Berbarengan dengan gejala ini, kegamangan pemerintah baik pusat maupun dae-
rah dalam menangan­i kasus-kasus yang bernuansa pelanggaran HAM (kasus seng-
keta rumah ibadah dan lahan antara perusahaan dengan masyarakat) semakin

28
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

mengemuka, angka korupsi di kalangan penyelenggara negara dan partai politik


meninggi, dan kesenjangan ekonomi semakin melebar. Ini dapat dikategorikan se-
bagai ancaman potensial bagi masa depan demokrasi Indonesia. Bahkan beragam
realitas yang tidak sejalan dengan cita-cita reformasi dan tujuan awal dibentuknya
negara Indonesia ini tidak hanya menjadi ancaman bagi demokrasi semata, tetapi
juga menjadi ancaman serius terhadap eksistensi empat konsensus dasar kebang-
saan Indonesia: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Ancaman ini menjadi semakin serius ketika pilihan konstitusional bangsa se­
perti yang tertuang dalam UUD 1945 tidak terimplementasikan dengan baik. Se-
mangat mempertahankan wawasan kebangsaan nasional yang didasarkan pada
empat konsensus dasar di atas masih sebatas wacana. Ideologi Pancasila, misalnya,
saat ini masih sebatas dipuja sebagai karya agung bersama anak bangsa yang pada

U P
kenyataan sehari-hari belum dijadikan sebagai “bintang petunjuk”, sumber inspirasi
maupun orientasi kehidup­an berbangsa dan benegara bangsa Indonesia. Pancasila,
O
GR
dengan kata lain, masih di­anggap perlu dan penting, namun pada saat yang sama ia
belum dijadikan seba­gai titik berangkat dan titik tujuan segenap komponen bangsa.

I A
ED
B. REAKTUALISASI PANCASILA
Mencermati gegap gempita reformasi sejumlah pandangan bermunculan ten-
M
tang bagaimana memosisikan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
A
D
saat ini. Mereka yang tidak sabar dan tidak setuju dengan demokrasi sebagai jalan

N A
terbaik bagi Indonesia dengan mudah menuduh demokrasi liberal sebagai penye-
bab keterpurukan Indonesia. Menurut kelompok ini semua masalah kebangsaan

R E
yang sedang dihadapi Indonesia bermuara kepada telah ditinggalkannya Pancasila

P
oleh bangsa Indonesia. Solusi bagi persoalan ini adalah kembali kepada Pancasila
sebagaimana masa Orde Baru atau masa sebelumnya, tanpa memerinci bagaimana
seharusnya Pancasila di pandang dan diperlakukan di era demokrasi saat ini.
Sebaliknya, kelompok lain yang meyakini demokrasi sebagai pilihan tepat, re-
alitas yang tenga­h dihadapi Indonesia saat ini di-
pandang sebagai proses wajar dalam pembelajaran
Ir. Soekarno pada 1 Juni
kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi kelom-
1945, “Jikalau bangsa
pok ini kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia ingin supaya
tetaplah penting bagi Indonesia yang majemuk, dan Pancasila menjadi realiteit,
nilai-nilai Pancasila dinilai sejalan dengan prinsip- janganlah lupa syarat
prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). menyelenggarakannya ialah
perjuangan, perjuangan,
Sebagai landasan etik dan pan­ dangan bersama
dan sekali lagi, perjuangan”.
(common platform), Pancasila secara substantif ti-

29
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dak bertentangan dengan demokrasi yang menitikberatkan proses bernegara me-


lalui mekanisme dari, oleh, dan untuk rakyat. Bagi kelompok ini, sejarah berdirinya
NKRI menempatkan Pancasila tetap penting bagi perjalanan demokrasi Indonesia.
Alih-alih kembali kepada tafsir Pancasila yang hegemonik di masa lalu, melakukan
reaktualisasi atau penyegarkan dan pembaruan kembali nilai-nilai Pancasila yang
sejalan dengan semangat reformasi adalah jauh lebih pen­ting dan mendesak. De-
mokrasi sebagai pilihan terbaik yang dihasilkan oleh gerakan reformasi membuka
peluang seluas-luasnya bagi semua komponen bangsa untuk meng­aktualisasikan
kem­bali nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pandangan yang menghadap-
hadapkan Pancasila dengan demokrasi yang kerap muncul di tengah pematangan
berdemokrasi bangsa Indonesia adalah bentuk dari sikap tidak sabar bahkan ke-
awaman tentang keduanya.

U
dapat ditenga­rai pada ungkapan-ungkapan yang berusaha mem­­bandingkan reali-P
Keawaman terhadap demokrasi dan nilai-nilai substansi sila-sila Pancasila

O
GR
tas sosial, ekonomi dan politik di era Refor­masi sekarang dengan masa lalu. Sikap-
sikap pesimis seperti ini harus disandingkan dengan tindakan penyadaran bahwa

A
demokrasi adalah pilihan paling baik bagi Indonesia dan merupakan keputusan
I
ED
politik melaluli jalan konstitusional yang sah yang harus diterima dan didukung
serta terus dikembangkan pelaksanaan dan kualitasnya oleh semua komponen

M
bangsa. Sekalipun bukan satu-satunya, demokrasi dipandang banyak ahli sebagai
A
D
sebuah sistem yang paling sedikit keburukannya jika dibandingkan dengan sistem-

N A
sistem politik yang pernah ada
Menghadapi sisi buruk dari pelaksanaan demokrasi sepanjang hampir 17 tahun

R E
terakhir, upaya-upaya reaktualisasi atau penyegaran kembali nilai-nilai Pancasila

P
diharapkan mampu memberikan spirit keadaban bagi jasad demokrasi. Upaya ini
tidak lain dalam rangka perjuangan menjadikan demokrasi sejalan dengan makna
demokrasi yang tersirat dalam sila keempat Pancasila, yaitu demokrasi yang mela-
hirkan kesejahteraan dan bagi seluruh rakyat Indo-
Alih-alih kembali kepada nesia, bukan sebaliknya. Inilah makna dari kata
tafsir atas Pancasila yang “perjuangan” dalam rangka merealisasikan Panca-
hegemonik di masa lalu, sila yang pernah digelorakan oleh Ir. Soekarno pada
melakukan reaktualisasi
atau penyegaran dan
1 Juni 1945, “Jikalau bangsa Indonesia ingin supaya
pembaruan kembali Pancasila menjadi realiteit, janganlah lupa syarat
nilai-nilai Pancasila yang menyelenggarakannya ialah perjuangan, perjuang-
sejalan dengan semangat an, dan sekali lagi, perjuangan.”
reformasi adalah jauh lebih
Upaya memperjuangkan Pancasila de­­ngan cara
penting dan mendesak.
mengaktualisasikannya denga­n se­mangat dan tun-

30
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

tutan zaman yang ber­ubah tidak lain karena


Pancasila pada dasarnya merupakan falsafah Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, pada peringatan
atau pemikiran mendalam tentang tata cara
ke-61 hari lahir Pancasila 2006.
hidup bersama sebagai bangsa yang bersifat Menurut Presiden Indonesia
terbuka dan elastis yang dirumuskan oleh keenam ini, “Pancasila adalah
para pendiri bangsa dan diwariskan kepada falsafah, dasar negara dan
ideologi terbuka. Open ideology,
seluruh bangsa Indonesia. Karakteristik ini
living ideology. Bukan dogma
secara tersurat dinyatakan oleh Presiden Susi- yang statis dan menakutkan.
lo Bambang Yudhoyono, pada peringatan ke- Pancasila kita letakkan secara
61 hari lahir Pancasila 2006. Menurut Pres- terhormat. Sebagaimana
iden Indonesia keenam ini, “Pancasila adalah saya katakan, sebagai sumber
pencerahan, menjadi sumber
falsafah, dasar negara dan ideologi terbuka.
inspirasi, dan sekaligus sumber
Open ideology, living ideology. Bukan dogma
yang statis dan menakutkan. Pancasila kita
U P
solusi atas masalah-masalah yang

O
hendak kita pecahkan.”

GR
letakkan secara terhormat. Sebagaimana saya
katakan, sebagai sumber pencerahan, menjadi sumber insprasi, dan sekaligus sum-

A
ber solusi atas masalah-masalah yang hendak kita pecahkan”.
I
ED
Sebelumnya pada peringatan hari kelahiran Pancasila 1 Juni 2011 di gedung
MPR, Presiden RI ketiga BJ. Habibie menggelorakan ajakan untuk melakukan re-

M
aktualisasi nilai-nilai Pancasila akibat perubahan-perubahan yang terjadi, baik di
A
D
tingkat domestik, regional maupun global. “Beberapa peru­bahan yang kita alami,”

N A
tegas tokoh pembuka kran reformasi itu,” antara lain: (1) terjadinya proses global-
isasi dalam segala aspeknya; (2) perkembangan gagasan hak asasi manusia (HAM)

R E
yang tidak diimbangi dengan kewajiban asasi manusia (KAM); (3) lonjakan pe-

P
manfaatan teknologi informasi oleh masyarakat. Dengan terjadinya perubahan
tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila agar dapat dijadikan acuan
bangi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoal­an yang dihadapi saat ini
dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar,
kebelumberhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut me-
nyebabkan keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia”.
Senada dengan pernyataan Presiden Yudhoyono dan Presiden ketiga Indone-
sia Habibie di atas, sebelum reformasi dan sesudahnya banyak ahli menggulirkan
gagasan perlunya menafsir ulang Pancasila sebagai obat penawar bagi beragam per-
soalan kebangsaan yang dihadapi Indonesia. Satu di antaranya apa yang digagas
oleh Profesor Azyumardi Azra dengan gagasan revitalisasi Pancasila dengan meng-
hangatkan kem­bali Pancasila sebagai haluan bersama bangsa Indonesia dalam ke-
hidupan berbangsa dan ber­negara. Namun tidak cukup sampai di sini, komitmen

31
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

ini harus dilanjutkan dengan tindak­ an nyata


“Beberapa perubahan
untuk mendekonstruksi Pendidikan Pan­ casila.
yang kita alami,” tegas B.J.
Habibie, tokoh pembuka Predikat Pancasila sebagai ideologi terbuka seha-
kran reformasi itu,” antara rusnya dibarengi dengan pengajar­an Pendidikan
lain: (1) terjadinya proses Pancasila melalui model-model pembelajaran
globalisasi dalam segala dengan pendekatan kritis (critical thinking) bagi
aspeknya; (2) perkembangan
pengajar dan peserta didik. Bangsa Indonesia ha-
gagasan hak asasi manusia
(HAM) yang tidak diimbangi rus beranjak dari sekadar menjadikan Pancasila
dengan kewajiban asasi sebagai sesuatu yang sudah jadi (taken for gran-
manusia (KAM); (3) lonjakan ted). Sebaliknya, Pancasila ha­rus diposisikan se-
pemanfaatan teknologi bagai sesuatu yang terbuka sepanjang masa un-
informasi oleh masyarakat.
tuk ditafsirkan dan dimaknai sepanjang situasi
Perubahan tersebut
memerlukan reaktualisasi
nilai-nilai Pancasila agar
yang terus berubah.

U P
Sebagai bangsa yang besar, rakyat Indone-
O
GR
dapat dijadikan acuan bagi sia harus merasa bangga dan percaya diri untuk
bangsa Indonesia dalam menjadikan Pancasila yang lahir dari kawah ke-
menjawab berbagai persoalan

A
budayaannya sebagai panduan dalam mewujud-
yang dihadapi saat ini dan
I
ED
yang akan datang, baik kan cita-cita kemerdekaannya. Pancasila harus
persoalan yang datang dari segera dibumikan dari posisinya yang elitis bah-
dalam maupun dari luar,
Kebelum-berhasilan kita
A Mkan nyaris dilupakan sepanjang era Reformasi

D
ini. Pada masa awal gerakan reformasi kegelisa-
melakukan reaktualisasi

N A
nilai-nilai Pancasila tersebut
han terhadap aktualisasi Pancasila telah diung-
kapkan oleh cendekiawan Kuntowijoyo. Seperti
E
menyebabkan keterasingan

R
Pancasila dari kehidupan nyata diungkapkan Yudi Latif dalam karyanya tentang

P
bangsa Indonesia”. Pancasila, Negara Paripurna, pada 2001 Kuntowi-
joyo memunculkan gagasan tentang “radikalisasi
Pancasila” dalam arti revolusi gagasan untuk menjadikan Pancasila tegar, efektif,
dan menjadi petunjuk bagaimana semestinya negara dijalankan dengan benar.
Radikalisasi Pancasila ala Kuntowijoyo secara operasional menawarkan lima
langkah yang harus dilakukan oleh bangsa Indonesia terhadap Pancasila, yaitu: 1)
mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara; 2) mengembangkan Pancasila
sebagai ideologi menjadi Pancasila sebagai ilmu; 3) mengusahakan Pancasila mem-
punyai konsistensi dengan produk-produk perundangan, koherensi antara sila, dan
korespondensi dengan realitas sosial; 4) Pancasila yang semula hanya melayani ke-
pentingan vertikal (negara) menjadi Pancasila yang melayani kepentingan horizon-
tal; dan 5) menjadikan Pancasila sebagai kritik kebijakan negara.
Senada dengan Azra dan Kuntowijoyo, menurut Latif dewasa ini Pancasila ma-

32
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

sih jauh panggang dari api. Karenanya mendesak dilakukan rejuvenasi atas Pan-
casila dengan cara membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak
bersama, mengharuskan Pancasila hidup dalam realita, tidak hanya retorika atau
verbalisme di pentas politik. Karena itu, tegas Latif, rejuvenasi Pancasila dilaku-
kan dengan cara mengukuhkan kembali posisinya sebagai dasar falsafah negara,
mengembangkannya ke dalam wacana ilmiah, mengupayakan konsistensinya de-
ngan produk perundangan, berkoherensi antara sila dan berkorespondensi dengan
realitas sosial, menjadikannya sebagai karya, kebanggaan dan komitmen bersama.
Lebih lanjut Latif menawarkan gagasan apa yang ia sebut dengan istilah Revolusi
Pancasila, yaitu suatu ikhtiar perubahan secara mendasar pada sistem sosial yang
meliputi ranah material, mental, dan politik yang berlandaskan prinsip-prinsip
Pancasila, sebagai upaya mewujudkan tata kehidupan berbangsa dan bernegara
yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.

U P
Gagasan rejuvenasi Pancasila dan sejenisnya ini merupakan agenda nasional
O
GR
yang mendesak diwujudkan dan mengundang keterlibatan kalangan intelektual
untuk berperan aktif, selain peran pemerintah yang harus membuka peluang se-

A
luas-luasnya bagi munculnya beragam tafsir kontekstual dan segar atas dasar nega-
I
ED
ra Pancasila. Bersamaan dengan ini, pemerintah juga harus secara sungguh-sung-
guh dan konsekuen menjadikan Pancasila sebagai rujukan dan orientasi kebijakan

M
pembangunan nasional. Dengan ungkapan lain, sebagai sebuah sistem nilai dalam
A
D
kehidupan berbangsa dan bernegara yang digali dari kebudayaan dan pengalaman

N A
Indonesia, Pancasila harus ditempatkan sebagai cita-cita etis dan hukum dan juga
sebagai etika berpolitik warga bangsa.

R E
Seba­gai etika politik, sila-sila Pancasila yang saling terkait harus menjadi ori-

P
entasi praktik politik sehari-hari. Misalnya, Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha
Esa” yang mengandung prinsip spiritualitas
harus bersinergi dengan prinsip Sila Kedua
Rejuvenasi Pancasila dilakukan
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” di dengan cara mengukuhkan
mana cara-cara meraih kekuasaan politik kembali posisinya sebagai
di­lakukan sebagai media untuk menegak- dasar falsafah negara, mengem-
kan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan di bangkannya ke dalam wacana
ilmiah, mengupayakan konsis-
dunia sebagai pesan universal semua agama. tensinya dengan produk
Menjadikan Pancasila sebagai etika poli- perundangan, berkoherensi antara
tik dalam tata kelola negara, menurut bu- sila dan berkorespondensi dengan
dayawan Abdul Hadi W.M. adalah dengan realitas sosial, menjadikannya
sebagai karya, kebanggaan dan
menjadikan kekuasaan negara dijalankan
komitmen bersama.
sesuai dengan, pertama, asas legalitas atau

33
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

bekuan tafsir atas Pancasila, negara harus


memberikan peran seluas-luasnya ke­pada Revitalisasi atau upaya-upaya
menjadikan Pancasila sebagai
warga negara untuk mengkritisi prak­ tik
rujukan utama dalam kehidupan
bernegara melalui prinsip-prinsip etika berbangsa dan bernegara menjadi
yang terdapat pada Pancasila. Pada saat ber­ mutlak dilakukan demi pengalaman
samaan, peluang memberikan keleluasaan pahit yang dialami dasar negara di
masa lalu tidak terulang kembali.
terhadap munculnya beragam tafsir atas
Seperti ditegaskan sejarawan Anhar
Pancasila di kalangan masyarakat harus di- Gonggong, bahwa di masa lalu
buka seluas-luasnya sehingga upaya revit- Pancasila hanya ada dalam retorika,
alisasi dan aktualisasi Pancasila dapat ber- tetapi tidak ada dalam praksis.
jalan sinergis dengan proses demokratisasi.
Revitalisasi atau upaya-upaya menjadikan Pancasila sebagai rujukan utama dalam

U P
kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi mutlak dilakukan demi pengalaman
pahit yang dialami dasar negara di masa lalu tidak terulang kembali. Seperti dite-
O
GR
gaskan sejarawan Anhar Gonggong, bahwa di masa lalu Pancasila hanya ada dalam
retorika, tetapi tidak ada dalam praksis.

A
Sejalan dengan upaya ini, revitalisasi Pancasila dapat juga dilakukan dalam
I
ED
dunia pendidikan secara umum. Pembelajaran Pancasila hendaknya dilakukan se-
cara terus-menerus sebagai upaya proses internalisasi dan pembudayaan nilai-nilai

M
Pancasila melalui aktivitas beragam, tidak terbatas pada kegiatan di kelas dan semi-
A
D
nar; sebaliknya dilakukan melalui cara-cara yang menyenangkan di luar kegiatan

N A
belajar mengajar. Hal yang lebih penting dari proses penanaman nilai-nilai Pan-
casila adalah keteladanan kalangan pendidikan dan lingkungan peserta didik, dari

R E
aparat pemerintah hingga para pemimpin masyarakat. Jika selama ini pengajaran

P
Pancasila dengan berbagai atributnya—misalnya, Pancasila sebagai filsafat, etika
politik, ideologi nasional, dan sebagainya—dilakukan melalui cara-cara indoktri-
nasi, sudah waktunya para pendidik mengenalkan Pancasila kepada peserta didik
dengan cara-cara pembelajaran yang menempatkan peserta didik bukan sebagai
target pembelajaran yang pasif; melainkan sebagai mitra dan subjek pembelajaran
yang aktif, kolaboratif, dan dinamis. Dalam perspektif pengajaran ini, para pen-
didik (guru, dosen, narasumber) tidak lebih sebagai fasilitator dan inspirator bagi
peserta didik untuk berpikir alternatif dan terbuka untuk melakukan refleksi kritis
terhadap kandungan dan praktik sehari-hari nilai-nilai etika Pancasila.
Menunjang upaya edukatif di atas, menjadikan Pancasila sebagai rujukan utama
dalam kehidupan bersama bangsa Indonesia adalah upaya lain yang harus disadari
sepenuhnya oleh semua komponen bangsa. Keberadaan Pancasila bagi Indonesia
adalah sebuah keharusan dan kearifan sejarah bagi keutuhan bangunan NKRI yang

35
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

berlatar majemuk dalam banyak hal. Keragaman budaya dan letak geografis Indo-
nesia yang dipisahkan oleh banyak sungai dan lautan meniscayakan para pendiri
bangsa untuk mencari sebuah simpul yang mampu menjadi ikatan bersama semua
anak bangsa. Kemajemukan Indonesia inilah yang menjadi sokoguru bagi karakter
konstitusi dan dasar negara Indonesia. Zaman dan lingkungan pergaulan global bo-
leh berubah, tetapi Indonesia harus tetap setia dengan karakternya yang majemuk.

C. EMPAT KONSENSUS DASAR INDONESIA


1. Pancasila: Pengertian Etimologis, Historis, dan Terminologis
Pancasila terdiri dari dua kata, panca artinya “lima” dan sila artinya “dasar”.
Secara harfiah, Pancasila memiliki pengertian “dasar yang memiliki lima unsur.”
Banyak ahli menyimpulkan bahwa Pancasila adalah cerminan dari perjalanan bu-
daya dan karakter bangsa Indonesia yang telah berlangsung selama berabad-abad
U P
O
lampau. Dengan ungkapan lain, Pancasila bukan sesuatu yang asing bagi bangsa

GR
Indonesia. Menurut Kaelan, kata Pancasila sudah dijumpai pada kepustakaan Bud-
dha yang berisi tentang prinsip-prinsip moral yang harus ditaati oleh masyarakat.

I A
Masuknya agama Hindu-Buddha dari India ke Nusantara pada akhirnya membawa

ED
nilai-nilai tersebut ke dalam budaya setempat, utamanya pada waktu kekuasaan
Majapahit. Pada era Raja Hayam Wuruk dan Maha Patih Gajah Mada, kata Panca-

A M
sila yang berasal dari India ini sudah dapat dijumpai pada kitab Negarakertagama.

AD
Begitu Islam datang menggantikan kejayaan Majapahit, kosakata Pancasila
yang kental dengan muatan nilai-nilai Jawa tersebut mengalami pengaruh Islam.

E N
Kelima ajaran moral Buddha tecermin dalam tradisi Islam Jawa yang dikenal de-

P R
ngan “lima larangan” atau “lima pantangan” dalam tata kehidupan masyarakat. Ke-
lima norma ini adalah larangan bagi masyarakat Jawa yang sesungguhnya bersifat
universal, yaitu: (1) Mateni, artinya membunuh; (2) Maling, artinya mencuri; (3)
Madon, artinya berzina; (4) Mabok, artinya meminum minuman keras atau meng­
isap candu; dan (5) Main, artinya berjudi. Kelima larangan ini tidak lain merupa-
kan norma-norma sosial yang berlaku pada zamannya: jika dilanggar bisa beraki-
bat pada kekacauan sosial, atau setidaknya terjadi pelanggaran hak asasi seseorang
oleh anggota masyarakat lainnya.
Menurut Abdul Hadi W.M., hubungan Pancasila dengan ajaran etika agama-
agama yang ada di dunia Melayu, khususnya Islam sangatlah kental. Pepatah Me-
layu “adat bersandi syarak, syarak bersandi kitabullah” (adat kebiasaan Melayu ber-
sandar pada syariat dan syariat bersandar pada kitabullah) menyiratkan keselarasan
Pancasila dengan Islam, karena sila-sila pada Pancasila merupakan hasil penggalian
dari budaya beragam etnik Nusantara (Aceh, Minangkabau, Jawa, Sunda, Madu-

36
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

ra, Bugis, Makassar, Banjar, dan sebagainya) yang memeluk Islam. Jauh sebelum
lahirnya Pancasila sebagai dasar negara Indonesia, jelas Abdul Hadi, uraian kitab
Tâjus Salatin karya Bukhari al-Jauhari tentang etika politik tampak selaras dengan
prinsip-prinsip etika politik dan ketatanegaraan yang tertuang dalam kandungan
sila-sila Pancasila.
Secara historis, munculnya Pancasila tak bisa dilepaskan dari situasi perjuang-
an bangsa Indonesia menjelang kemerdekaan. Keinginan lepas dari belenggu pen-
jajahan asing dan belenggu pemikiran ideologi dunia saat itu, yakni liberalisme dan
komunisme, para tokoh bangsa antara lain Soekarno dengan sungguh-sungguh
menggali nilai-nilai dari negerinya sendiri yang akan dijadikan panduan dan dasar
bagi Indonesia merdeka. Panduan dan dasar negara Indonesia, menurut Soekarno,
mestilah bukan meminjam dari unsur-unsur asing yang tidak sepenuhnya sesuai

U P
dengan jati diri bangsa, tetapi harus digali dari rahim kebudaya­an Indonesia sendiri.
Tanpa nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tanah kelahirannya, tegas Soe-
O
GR
karno, akan sulit bagi bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita kemerdekaannya.
Suasana kebatinan ingin lepas dari dua kungkungan inilah Pancasila seyogianya

A
diposisikan, sehingga keinginan-keinginan sebagian pihak yang hendak membawa
I
ED
Indonesia ke arah tatanan demokrasi liberal maupun sosialisme dapat diingatkan
kembali pada konteks sejarah lahirnya Pancasila yang berusaha menggabungkan

M
segala kebaikan yang terdapat pada ideo­logi dan pemikiran asing. Upaya sungguh-
A
D
sungguh ini terbukti mendapatkan apresiasi setidaknya dari tokoh filsuf Inggris

N A
Bertrand Russel seperti dinyatakan Latif bahwa Pancasila merupakan sintesis kre-
atif antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi

R E
demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang merepresentasikan ideologi
komunis).
P
Gagasan Pancasila dibahas untuk pertama kali di dalam sidang Badan Penye-
lidik Usa­ha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), salah seorang
peserta sidang Dr. Radjiman Widyodiningrat melontarkan gagasan tentang rumu-
san sebuah dasar negara bagi Indonesia yang akan dibentuk. Merespons gagasan
ini, sejumlah tokoh pergerakan nasional, antara lain Mohammad Yamin, Prof. Seo-
pomo, dan Soekarno masing-masing menguraikan buah pikiran mereka tentang
dasar negara pada perhelatan resmi tersebut.
Pada persidangan pertama BPUPKI 29 Mei 1945, Mr. Mohammad Yamin
dalam pidatonya mengusulkan pemikirannya tentang dasar negara yang mencer-
minkan lima asas dasar negara Indonesia Merdeka. Kelima asas usulan Mr. Yamin
ini, yaitu: 1). Peri Kebangsaan, 2). Peri Kemanusiaan, 3). Peri Ketuhanan, 4). Peri
Kerakyatan; dan 5). Kesejahteraan Rakyat. Kelima asas yang diuraikan Mr. Yamin

37
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

secara lisan tersebut kemudian disarikan secara tertulis dalam bentuk rancang­an
konstitusi atau UUD Republik Indonesia, sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kebangsaan persatuan Indonesia.
3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam persidangan BPUPKI, masalah hubungan antara agama dan negara
menjadi salah satu perdebatan yang sangat dinamis di antara para peserta yang
hadir. Secara garis besar, peserta perhelatan nasional itu dapat dikelompokkan ke

P
dalam dua kelompok: nasionalis sekuler dan nasionalis Islam. Merespons keingin­

O
donesia merdeka, pada 31 Mei 1945 Prof. Soepomo menjabarkan tentang gagasanU
an nasionalis Islam yang mengusulkan menjadikan Islam sebagai dasar negara In-

GR
negara Islam dan gagasan negara yang berdasarkan cita-cita luhur dari agama Is-
lam. Menurut pengusul konsep negara kebangsaan ini, dalam negara yang tersusun
I A
sebagai negara Islam, negara tidak bisa dipisahkan dari agama. Negara dan agama

ED
adalah satu, bersatu padu, dan hukum syariat itu dianggap sebagai perintah Tuhan

A M
untuk menjadi dasar di dalam bernegara. Soepomo lalu menganjurkan agar Negara
Indonesia tidak menjadi Negara Islam, tetapi menjadi “negara yang memakan dasar

AD
moral yang luhur yang dianjurkan juga oleh agama Islam”. Alasan Soepomo inilah

E N
yang menjadi argumen kesediaan kalangan nasionalis Islam untuk menerima usul-
an penggantian “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta dengan “Ketuhanan Yang Maha

P R
Esa” di dalam Pancasila, sebagaimana akan dijelaskan kemudian.
Alasan Soepomo inilah yang menurut Budayawan Abdul Hadi dapat diterima
oleh kalangan nasionalis Islam yang mengusung ide negara Islam. Prinsip Ketuhan-
an Yang Maha Esa dinilai tidak bertentangan dengan prinsip tauhid dalam Islam
dan prinsip moral pendirian negara dalam ajaran Islam.
Pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno pada gilirannya menyampaikan pidato tentang
dasar negara dengan menguraikan lima unsur dasar negara. Untuk yang pertama
kalinya Soekarno mengusulkan lima unsur dasar negara yang ia beri nama Pan-
casila. Bersandar pada usulannya ini, banyak ahli menyimpulkan 1 Juni sebagai
hari lahirnya Pancasila. Kelima unsur uraian Soekarno adalah:
1. Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia.
2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan.
3. Mufakat atau Demokrasi.

38
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

4. Kesejahteraan Sosial.
5. Ketuhanan yang Berkebudayaan.
Kelima prinsip dasar negara tersebut kemudian diringkas Soekarno menjadi
Trisila (tiga dasar), yaitu: (1) sosionasionalisme (kebangsaan); (2) sosiodemokrasi
(mufakat); dan (3) ketuhanan. Tak cukup hingga di sini, ketiga sila ini disarikan lagi
oleh Soekarno menjadi satu sila (Ekasila) yakni, gotong royong. Tiga minggu berse-
lang setelah pidato Soekarno 1 Juni tentang Pancasila, pada 22 Juni 1945 sembilan
tokoh pergerakan nasional yang tergabung dalam Panitia Sembilan diberi mandat
untuk merumuskan beragam usulan dan pandangan yang telah dikemukakan oleh
para tokoh pergerakan nasional. Kesembilan anggota ini antara lain: Ir. Soekar-
no, Drs. Moh. Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikoesno Tjokro Soejoso, Abdulkahar
Moezakir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Soebardjo, K.H. Wachid Hasjim, dan Mr.

U P
Moh. Yamin. Setelah membahas beragam usulan tentang dasar negara Indonesia

O
merdeka pada sidang-sidang sebelumnya, Panitia Sembilan akhirnya berhasil me-

GR
nyusun sebuah piagam yang kemudian dikenal dengan sebutan “Piagam Jakarta.”
Dalam Piagam Jakarta ini dirumuskan butir-butir Pancasila sebagai berikut:

I A
1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-peme-

ED
luknya.

M
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.

D A
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawa­ratan
perwakilan.
N A
E
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
R
P
Rumusan dan sistematika Pancasila yang tercantum dalam Piagam Jakarta ben-
tukan Panitia Sembilan ini kemudian diterima oleh Badan Penyelidik dalam sidang
keduanya pada 14-16 Juli 1945. Pada saat bersamaan, kekosongan kekuasaan te-
ngah terjadi di Indonesia akibat menyerahnya Jepang pada tentara Sekutu pada 14
Agustus 1945. Sementara menunggu kedatangan Inggris yang diberi mandat oleh
sekutu untuk menjaga keamanan di Indonesia pasca kekalahan Jepang. Sembari
menunggu kedatangan Inggris, tanggung jawa­b keamanan diserahkan kepada pi-
hak Jepang yang sudah kalah. Otomatis tengah terjadi kekosongan kekuasaan di
Indonesia pada saat itu. Vakum kekuasaan ini tidak disia-siakan oleh bangsa In-
donesia. Situasi ini dimanfaatkan oleh kalangan pemuda Indonesia untuk mem­
persiapkan kemerdekaan bagi Indonesia. tekad bulat untuk merdeka akhirnya ter-
wujud: pada pukul 10 bertepatan dengan hari Jumat, 17 Agustus 1945 atas nama
bangsa Indonesia, Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta membacakan teks proklamasi

39
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Nama


Merespons keinginan nasionalis jalan ini sekarang dikenal dengan nama Jalan
Islam yang mengusulkan
Proklamasi.
menjadikan Islam sebagai dasar
negara Indonesia merdeka, Prof. Sehari setelah proklamasi, momentum
Soepomo lalu menganjurkan yang tidak kalah pentingnya terjadi pada ru-
agar negara Indonesia tidak musan Pancasila. Terjadi perubahan penting di
menjadi negara Islam, tetapi
dalam Piagam Jakarta, sila pertama di Piagam
menjadi “negara yang memakai
dasar moral yang luhur yang
Jakarta sempat menjadi “perbincangan” dan
dianjurkan juga oleh agama peran umat Islam sangatlah signifikan sebagai
Islam.” Alasan Soepomo kelompok mayoritas dalam perubahan uraian
inilah, menurut budayawan sila pertama Pancasila tersebut. Adalah tokoh
Abdul Hadi, dapat diterima
proklamator Mohammad Hatta yang berinisi-
oleh kalangan nasionalis Islam
pengusung ide negara Islam.
U P
atif mengundang sejumlah tokoh Islam untuk
bersama-sama merumuskan kembali butir sila
O
GR
pertama Pancasila Di antara tokoh Islam rep-
resentatif yang hadir pada saat itu adalah Ketua Muhammadiyah periode 1944-

A
1953 Ki Bagus Hadikusumo, didampingi Muhammad Hasan dan Kahar Muzakir.
I
ED
Hajrianto Y. Tohari menyebutkan pada saat itulah terjadi perubahan rumusan sila
pertama di Piagam Jakarta menjadi Ketuhanan yang Maha Esa.

M
Secara terminologis, eksistensi Pancasila tidak dapat dipisahkan dari situasi
A
D
menjelang lahirnya negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Sebagai kon-

N A
sekuensi dari lahirnya Indonesia yang membutuhkan alat-alat kelengkapan sebagai
negara yang berdaulat, maka kehadiran Pancasila diikuti pula oleh kelahiran kons-

R E
titusi UUD 1945. Sehari setelah Soekarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan

P
Indonesia, pada 18 Agustus 1945 sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI) mengesahkan Pancasila dan Undang-undang dasar negara Indonesia yang
disebut dengan Undang Undang Dasar 45. Pengesahan UUD ’45 ini meliputi hal-
hal sebagai berikut:
1. Melakukan beberapa perubahan pada rumusan Piagam Jakarta yang kemudian
berfungsi sebagai Pembukaan UUD ’45.
2. Menetapkan rancangan hukum dasar yang telah diterima Badan Penyidik
pada 17 Juli 1945, setelah mengalami berbagai perubahan karena berkaitan de-
ngan perubahan Piagam Jakarta, kemudian berfungsi sebagai Undang-Undang
Dasar 1945.
3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden Pertama.
4. Menetapkan berdirinya Komite Nasional Indonesia Pusat sebagai Badan Mu­
sya­warah Darurat.

40
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

Berdasarkan pengesahan tersebut, susunan UUD ’45 kemudian dibagi menjadi


dua bagian: bagian pembukaan dan bagian pasal yang terdiri dari 37 pasal, 1 aturan
peralihan yang terdiri dari 4 pasal dan 1 aturan tambahan yang terdiri atas 2 ayat.
Pada bagian pembukaan konstitusi UUD ’45 inilah kelima sila pada Pancasila ter-
cantum sebagai berikut:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan Pancasila yang tercantum pada Pembukaan UUD ’45 adalah sah dan

U P
benar karena mempunyai kedudukan konstitusional dan disahkan melalui suatu

O
persidangan badan yang mewakili seluruh bangsa Indonesia, yaitu Panitia Persiap­

GR
an Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun demikian, rumusan Pancasila pada
perjalanannya mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat dinamika sejarah

I A
perjalanan ketatanegaraan bangsa Indonesia setelah merdeka. Di balik perubahan-

ED
perubahan ini, demikian sejarawan Anhar Gonggong menyimpulkan, pengakuan
terhadap kelima butir dasar negara masih tetap diberikan oleh kalangan tokoh pe-
mimpin nasional.
A M
D
Sekilas perubahan kelima butir dasar negara itu adalah: Dalam konstitusi Re-
A
N
publik Indonesia Serikat (RIS) yang berlaku sejak 29 Desember 1949 hingga 17

E
Agustus 1950 rumusan Pancasila sebagai berikut:

R
P
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Perikemanusiaan.
3. Kebangsaan.
4. Kerakyatan.
5. Keadilan Sosial.
Kelima rumusan Pancasila RIS itu kemudian dicantumkan lagi pada era pem-
berlakuan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, yang berlaku mulai 17
Agustus 1950 hingga 5 Juli 1959, yakni:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa.
2. Perikemanusiaan.
3. Kebangsaan.
4. Kerakyatan.
5. Keadilan Sosial.

41
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Hal yang patut dicatat sepanjang perumusan dasar negara Pancasila adalah ni-
lai-nilai religius yang selalu ada pada setiap usulan tentang falsafah negara Indone-
sia merdeka. Nilai-nilai transenden inilah kemudian menjadi spirit yang menyinari
semua sila-sila yang terdapat pada Pancasila. Kelima sila Pancasila saling berke-
lindan satu dengan yang lainnya dengan nilai-nilai ketuhanan sebagai sokoguru
bagi nilai-nilai kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan yang dicita-cita-
kan para pendiri bangsa. Sehingga demokrasi Indonesia yang hendak diwujudkan
tidak sebatas demokrasi prosedural (demokrasi elektoral) yang semata berfungsi
sebagai alat meraih kekuasaan politik seseorang atau kelompok, tetapi demokrasi
yang berkeadaban yang berorientasi pada peningkatan kesejahteraan dan martabat
seluruh rakyat Indonesia. Demokrasi berkeadaban atau demokrasi substansial ini-
lah yang diharapkan mampu memuliakan kemanusiaannya dan dapat memperku-

U
untuk mewujudkan cita-cita bersamanya. Dalam demokrasi ini prinsip dan norma-P
kuh persatuan dan kesatuannya sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat

O
GR
norma permufakatan, kesejajaran, kebersamaan atau gotong royong dan kekuatan
argumentasi dan kebijaksanaan bersama untuk mencapai kesepakatan-kesepakatan

A
dalam urusan bersama (public concensus) menjadi unsur paling penting.
I
ED
Demokrasi model inilah yang sejalan dengan demokrasi permusyawaratan
versi Indonesia yang menurut Latif, menekankan pada kesepakatan-kesepakatan

M
serta menyelaraskan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, yang secara
A
D
teoretis seruang dengan konsep yang lahir kemudian yang dikenal dengan istilah

N A
“demokrasi deliberatif ” (deliberative democracy) yang disuarakan oleh Joseph M.
Bessette pada 1980 dan sejajar dengan konsep “sosial demokrasi” (sosdem).

R E
Jauh sebelum Bessette, Ir. Soekarno sudah banyak menjelaskan karakter de-

P
mokrasi Indonesia yang berbasis pada gotong royong atau hak-hak kolektif serta
keseimbangan antara demokrasi politik dan demokrasi ekonomi, yang berbeda
dengan prinsip demokrasi Barat yang berbasis dominan pada pemenuhan hak-hak
individu. Demokrasi yang dimaksud Proklamator Indonesia inilah yang secara ter-
surat dinyatakan dalam sila keempat Pancasila.
Meski demikian, sejarah perjalanan Pancasila tidak sepi dari ujian. Pergolakan
politik pasca-kemerdekaan diwarnai oleh ancaman terhadap Pancasila baik inter-
nal maupun eksternal. Bersamaan dengan ketidakpuasan daerah terhadap peme-
rintah pusat yang menimbulkan pemberontakan politik di sejumlah kawasan,
Indonesia juga harus berhadapan dengan aksi militer Belanda yang berkeinginan
kembali ke Indonesia. Menurut catatan Anhar Gonggong, Partai Komunis Indone-
sia (PKI) tercatat sebagai salah satu kekuatan politik yang pernah ada di Indone-
sia dan pemberontakannya di Madiun (1948) hendak mengubah Pancasila sebagai

42
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

dasar negara. “Kesaktian” Pancasila telah teruji: pada sidang-sidang resmi BPUPKI,
pemberontakan politik Darul Islam (DI/TI) di Sulawesi Selatan dan Jawa Barat,
dan peristiwa berdarah pada 30 September yang dilakukan oleh PKI yang hendak
menggantikannya dengan ideologi komunis.
Memasuki era Orde Baru, kesaktian Pancasila seakan divalidasi oleh negara
dengan menempatkan Pancasila sebagai doktrin utama dalam derap pembangun­
an. Melalui pendekatan dan metode indoktrinasi pemerintah Orde Baru telah men-
jadikan Pancasila sebagai legitimasi kekuasaan yang elitis dan membungkam ke-
mungkinan alternatif tafsir atas dasar negara itu, serta menjauhkannya dari wacana
publik. Demokrasi, meskipun dengan label Pancasila yang menganut prinsip per-
musyawaratan dan kebijaksanaan atau prinsip demokrasi deliberasi, pada kenyata-
annya direduksi oleh kebijakan dan tindakan monolitik dan represif pemerintah

U P
Orde Baru terhadap hak-hak politik rakyat. Akibat langsung dari perilaku otoriter
Orde Baru yang mengatasnamakan Pancasila tersebut telah melahirkan sikap fobia
O
GR
di kalangan masyarakat terhadap dasar negara Pancasila di era Reformasi. Pada-
hal sesungguhnya sikap anti sebagian masyarakat terhadap Pancasila sepanjang era

A
Reformasi adalah akibat langsung dari kebijakan manipulatif Orde Baru terhadap
I
ED
dasar negara tersebut. Pancasila, dengan kata lain, telah menjadi korban salah sa-
saran dari kebijakan monolitik dan eksklusif pemerintah Orde Baru terhadap Pan-

M
casila yang sebenarnya bersifat terbuka dan inklusif.
A
D
Kondisi Pancasila di era Reformasi tidak bisa lepas dari kesalahan masa Orde

N A
Baru dalam memberlakukan falsafah Pancasila, yakni diajarkan, namun pada saat
yang sama diingkari nilai-nilainya dalam kenyataan hidup bernegara dan berbang-

R E
sa, telah melahirkan sikap fobia terhadap dasar

P
negara. Penyalahgunaan makna demokrasi
di masa lalu, yaitu “Demokrasi Terpimpin” di Gus Dur menyatakan, “Tanpa
Pancasila negara akan
masa Orde Lama yang melahirkan kepemim-
bubar. Pancasila adalah
pinan absolut dan “Demokrasi Pancasila” di seperangkat asas dan ia akan
era Orde Baru yang sesungguhnya mematikan ada selamanya. Ia adalah
partisipasi rakyat serta menjadikan Pancasila gagasan tentang negara
seba­gai alat politik kekuasaan, suka tidak suka yang harus kita miliki dan kita
perjuangkan. Dan, Pancasila
telah memunculkan keinginan publik di era ini akan saya pertahankan
Reformasi untuk tidak lagi melabeli demokrasi dengan nyawa saya. Tidak
dengan atribut-atribut apa pun. Demokrasi di- peduli apakah dia dikebiri
maksud adalah demokrasi dengan prinsipnya oleh angkatan bersenjata atau
dimanipulasi oleh umat Islam,
yang universal, yaitu suatu sistem pemerin-
disalahgunakan oleh keduanya.”
tahan yang dari, oleh dan untuk rakyat melalui

43
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

wakil-wakilnya yang terpilih melalui proses pemilihan umum yang berlangsung


bebas, jujur, adil, dan aman.
Namun pada kenyataannya, demokrasi yang tengah dipraktikkan di era Re-
formasi ini masih diwarnai oleh beragam perilaku yang tidak sejalan dengan nilai
dan prinsip demokrasi. Politik uang, penegakan hukum yang masih pilih kasih dan
tebang pilih, tingginya tindakan korupsi di kalangan politisi dan penyelenggara
pemerintahan masih menjadi kendala paling serius bagi masa depan demokrasi
di Indonesia. Ketidakpuasan warga negara Indonesia terhadap jalannya demokrasi
telah melahirkan gagasan dan keinginan mengoreksi atas demokrasi dan mere-
nungkan kembali makna demokrasi yang sebenarnya, namun tidak pula terjebak
pada pengulangan praktik berdemokrasi di masa-masa yang lalu. Pancasila lagi-
lagi dihadapkan pada tantangan masa kini untuk menjadi filter bagi hal-hal negatif
yang ditimbulkan oleh demokrasi elektoral di atas yang kecenderungannya meng­

U P
ancam kohesi sosial dan rasa kebangsaan. Merujuk pada cita-cita pendiri bangsa
O
GR
seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, demokrasi, dan Pancasila harus
berjalan sinergi, bukan dihadap-hadapkan secara diametral.

A
Dalam sejarahnya Pancasila seakan tidak pernah sepi dari upaya-upaya pem-
I
ED
bengkokan dan manipulasi, baik dari lingkungan kekuasaan negara maupun ke-
lompok tertentu yang dengan sengaja hendak melupakan bahwa Pancasila adalah

M
hasil kesepakatan mulia dan terhormat bangsa Indonesia yang harus dipelihara dan
A
D
dipertahankan sampai kapan pun. Pancasila harus bebas dari keinginan sekelom-

N A pok atau ele­men negara yang berhasrat untuk


menyalahgunakannya, sebagaimana pernah
E
Presiden Habibie dalam pidatonya

R
menyebutkan, “... bahwa harus terjadi di masa lalu. Secara eksplisit kekha-

P
diakui di masa lalu memang
terjadi mistifikasi dan ideologisasi
Pancasila secara sistematis,
watiran atas manipulasi terhadap Pancasila
pernah diungkapkan oleh Presiden Indone-
sia keempat RI KH. Abdurahman Wachid
terstruktur dan massif yang tidak
jarang kemudian menjadi senjata atau Gus Dur. Baginya Pancasila sangatlah
ideologis untuk mengelompokkan penting bagi eksistensi Negara Kesa­ tuan
mereka yang tak sepaham dengan Republik Indonesia. Gus Dur menyatakan,
pemerintah sebagai “tidak “Tanpa Pancasila negara akan bubar. Panca-
Pancasilais” atau “anti Pancasila”.
Pancasila diposisikan sebagai
sila adalah seperangkat asas dan ia akan ada
alat penguasa melalui monopoli selamanya. Ia adalah gagasan tentang negara
pemaknaan dan penafsiran yang harus kita miliki dan kita perjuangkan.
Pancasila yang digunakan untuk Dan, Pancasila ini akan saya pertahankan
kepentingan melanggengkan
dengan nyawa saya. Tidak peduli apakah dia
kekuasaan.”
dikebiri oleh angkatan bersenjata atau di-

44
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

manipulasi oleh umat Islam, disalahguna-


kan oleh keduanya.” Menurut Presiden kelima RI, Megawati
Soekarnoputri Pancasila pernah
Pernyataan Gus Dur di atas bukan
disalahtafsirkan oleh penguasa
tanpa alasan mengingat dalam perjalanan- di masa lalu dengan dalih demi
nya Pancasila sering disalahgunakan bah- persatuan nasional. “Padahal”, tegas
kan disalahpahami secara emosional oleh Megawati Soekarnoputri,” “persatuan
nasional yang dimaksudkan oleh Bung
berbagai kelompok masyarakat. Semasa
Karno adalah untuk menghadapi
Orde Baru, misalnya, Pancasila telah di- kapitalisme dan imperialisme sebagai
jadikan alat kekuasaan oleh pemerintahan penyebab dari ‘kerusakan yang hebat
Presi­den Soeharto. Pancasila telah di- pada kemanusiaan’…Perjuangan
persempit dan diperlakukan untuk tidak setiap pemimpin dan rakyat Indonesia
sendiri. Perjuangan agar Pancasila
berkembang sepanjang pemerintahannya.
bukan saja menjadi bintang penunjuk,
Sebagai seorang prajurit, kebijakan politik
tentara yang di jalankan Presiden Soehar-
U P
tetapi menjadi kenyataan yang

O
membumi.”

GR
to tidak bisa dimungkiri telah mengebiri
Pancasila dan menjadikannya sebagai alat politik-kekuasaan penguasa militer Orde

A
Baru. Fakta sejarah ini diamini oleh pernyataan mantan Presiden Habibie dalam
I
ED
lanjutan isi pidatonya tanggal 1 Juni 2011 di atas. “Harus diakui”, tegas Habibie, “di
masa lalu memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis,

M
terstruktur, dan masif yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis un-
A
D
tuk mengelompokkan mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai “ti-

N A
dak Pancasilais” atau “anti-Pancasila”. Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa
melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran Pancasila yang digunakan untuk ke-

R E
pentingan melanggengkan kekuasaan”.

P
Pernyataan lantang dan ajakan reaktualisasi atas nilai-nilai Pancasila yang dike-
mukakan Habibie itu diamini oleh Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri.
Menurutnya, Pancasila pernah disalahtafsirkan oleh penguasa di masa lalu dengan
dalih demi persatuan nasional. “Padahal”, tegas Megawati Soekarnoputri, “persatu-
an nasional yang dimaksudkan oleh Bung Karno adalah untuk menghadapi kapi-
talisme dan imperialisme sebagai penyebab dari ‘kerusakan yang hebat pada kema-
nusiaan’...” Perjuangan setiap pemimpin dan rakyat Indonesia sendiri. Perjuangan
agar Pancasila bukan saja menjadi bintang penunjuk, tetapi menjadi kenyataan
yang membumi.”
Perlakuan yang tidak sewajarnya terhadap Pancasila sebagai sebuah dasar fi-
losofis (philosofische groundslag) atau sebagai pandangan hidup (way of life) bangsa
Indonesia merdeka yang pernah disampaikan oleh Bung Karno di hadapan sidang
BPUPKI 1 Juni 1945 tidak boleh terulang lagi sekarang dan di masa yang akan

45
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

datang. Pancasila harus tetap menjadi milik rakyat Indonesia dan membiarkan
semua kompo­nen bangsa, khususnya kalangan cerdik pan­­dai, untuk menafsirkan
dan selalu me­nye­garkan tafsiran atas Pancasila sesuai de­ngan kebutuhan zamannya.
Munculnya banyak tafsir atas Pancasila tidak perlu dirisaukan, sepanjang dilaku-
kan secara jujur dalam koridor menjaga dan mengembangkan empat konsensus
dasar nasional Indo­nesia: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Masih dalam kerangka ini pula, kekhawatiran Gus Dur tidak luput dari feno-
mena sepanjang era Reformasi yang memberi peluang munculnya tafsir eksklusif
atas Pancasila dari segelintir kelompok internal umat Islam yang gandrung mem-
buka lembaran lama seputar perdebatan antara dua kelompok besar kaum nasio-
nalis yang memperjuangkan Islam sebagai dasar negara dan kelompok nasionalis
yang memperjuangkan konsep pemisahan antara agama dan negara.

2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


U P
(UUD NRI 1945)
O
GR
UUD NRI 1945 adalah konstitusi negara Republik Indonesia. Konstitusi adalah

A
hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan negara. Semua kon-
I
stitusi di mana pun mengandung kekuasaan pemerintah negara terhadap seluruh

M ED
aset kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kekuasaan itu harus di-
atur dan dibatasi agar tidak disalahgunakan secara absolut. Oleh karenanya perlu
A
ada pembatasan-pembatasan terhadap kekuasaan yang tertuang dalam konstitusi
D
A
negara. Dengan kata lain, konstitusi adalah pengaturan mengenai pembatasan atau

E N
pengawasan (check and balance) terhadap kekuasaan pemerintah negara.
Konstitusi tertulis yang mengatur kekuasaan pemerintah negara Indonesia di-

P R
wujudkan dalam UUD 1945. Sebagai hukum dasar, perumusan UUD 1945 disusun
secara sistematis mulai dari prinsip yang bersifat umum dan mendasar sampai ke
prinsip yang bersifat khusus dan perinci. Sebagai hukum dasar, UUD 1945 bukan
hanya merupakan dokumen hukum tetapi juga mengandung aspek lain seperti
pandangan hidup, cita-cita dan falsafah yang merupakan nilai-nilai luhur bangsa
dan menjadi landasan dalam penyelenggaraan negara.
UUD 1945, karena karakternya yang fleksibel hanya memuat unsur-unsur po-
kok, sehingga jika kelak terjadi perubahan sebagai bagian dari tuntutan zaman,
penyelenggara negara dapat mengamendemen pasal-pasal di dalamnya. Dalam
kurun waktu 1999-2002 UUD 1945 telah mengalami empat kali perubahan (amen-
demen) yang ditetapkan dalam Sidang Umum dan Sidang Tahunan MPR. Setelah
mengalami perubahan UUD 1945, maka konstitusi Indonesia telah menjadi sebuah
konstitusi yang demokratis dan modern, yang dapat berfungsi sebagai panduan

46
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

dasar dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan berbangsa. Inilah rujukan


bersama semua komponen bangsa Indonesia, pemerintah maupun warga negara,
untuk mewujudkan Indonesia yang demokratis, berkeadilan, berkemakmuran, dan
berkeadaban.

3. Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)


Eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari tak-
dir dan rahmat Allah atas kemajemukan Nusantara sebagai cikal bakal negara bang-
sa Indonesia. Kemajemukan demografis, sosiologis, kultural, bahasa, dan keyaki-
nan yang dimiliki Nusantara berujung pada keiginan untuk bersatu yang lahir dari
kesa­maan nasib dan cita-cita untuk menjadi sebuah entitas bangsa yang merdeka
dari kungkungan penjajahan. Sejarah berdirinya NKRI hampir sama dengan ke-

P
munculan negara-negara bangsa yang lain yang secara teoretis dapat dijelaskan

O U
oleh konsepsi bangsa dalam pandangan Renan. Dalam konsepsi Renan bangsa (na-
tion) adalah suatu kesatuan solidaritas, suatu jiwa, dan suatu asas spiritual. Bangsa

GR
lahir dan terbentuk, karena di antara manusia-manusia itu memiliki rasa solidaritas
lebih besar dan toleransi yang tinggi, yang tercipta dari perasaan pengorbanan yang
I A
telah diperbuat pada masa lampau. Kemudian mereka bersepakat untuk hidup ber-

ED
sama secara damai di masa depan.

A M
Sebelum 17 Agustus 1945, bangsa Indonesia telah menunjukkan cita-citanya
untuk mendirikan sebuah negara bangsa (nation state). Pembentukan organisasi

AD
pergerakan seperti Budi Utomo (1908), Sarekat Islam (SII, 1911), manifestor poli-

E N
tik (1925), dan Sumpah Pemuda (1928) merupakan peristiwa sejarah perjuangan
bangsa Indonesia dalam mewujudkan cita-citanya untuk menjadi sebuah negara

P R
yang bebas dari belenggu penjajahan. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
telah memberi identitas baru bagi Indonesia sebagai bangsa yang merdeka sekali-
gus memberi wadah bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Bentuk negara ke-
satuan atau konsep satu nusa dikembangkan oleh para pendiri bangsa saat mereka
bermusyawarah dalam sidang-sidang BPUPKI sebelum momentum kemerdekaan.
Setelah melewati persidang­an yang memunculkan beragam konsep tentang negara
yang hendak didirikan, dari konsep negara kerajaan dengan sistem federal, negara
republik dengan sistem unitaris, negara republik dengan sistem federal, pada akh-
irnya disepakati bahwa bentuk negara yang akan didirikan adalah negara republik
dengan sistem unitaris integralistik. Konsep negara kesatuan ini selanjutnya ditu-
angkan dalam rancangan Undang-Undang Dasar hasil BPUPKI, yang kemudian
disahkan menjadi bentuk negara serta disepakati secara nasional pada sidang PPKI.
Dalam UUD NRI Tahun 1945 ditegaskan pada Pasal 1 yang menyatakan bahwa,

47
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

“Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.” Negara yang
akan dibetuk adalah sebuah negara yang berbentuk Republik dengan arti bahwa
negara Indonesia yang akan dijadikan wadah bagi seluruh kehidupan bangsa nanti
harus merupakan sebuah kesatuan yang utuh, secara politik maupun pertahanan,
sekalipun majemuk secara kultural, geografis, Bahasa, keyakinan dan sebagainya,
mengingat Indonesia sebagai rentetan kepulauan. Konsep NKRI pada perkem-
bangan selanjutnya telah melahirkan cara pandang tentang jati diri sebagai bangsa
yang majemuk dan bagaimana mendefinsikan dirinya ditengah kehidupan dan per-
gaulan dengan bangsa-bangsa lain. Konsepsi diri inilah yang kemudian biasa dise-
but dengan istilah wawasan kebangsaan yang akan diuraikan pada bab mendatang.
Indonesia, seperti kebanyakan negara bangsa yang mengalami pahit getirnya
dijajah oleh bangsa lain, lahir dari situasi di atas. Penindasan yang dilakukan kaum

U
an untuk keluar dari belenggu penjajahan yang menemukan titik simpulnya pada P
penjajah telah melahirkan rasa solidaritas dan perasaan senasib dan sepenanggung-

O
GR
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Keinginan kuat untuk merdeka dan se-
mangat kebersamaan, toleransi, dan cita-cita bersama inilah yang melatarbelakangi

A
lahirnya negara bangsa Indonesia. Semangat toleransi di kalang­an para tokoh per-
I
ED
juangan Indonesia inilah yang menjadi faktor yang mempermudah penyelesaian
polemik apakah Indonesia akan menjadi sebuah negara berdasarkan agama tertentu

M
atau menjadi negara bangsa yang melindungi semua komponen warga negara­nya.
A
D
Peran tokoh nasionalis Islam memiliki peran penting dalam polemik ini.

N A
Penghilangan butir pertama Piagam Jakarta, yakni “Ketuhanan, dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,” bukanlah sesuatu yang ha-

R E
rus dipandang sebagai sebuah kekalahan politik umat Islam; tetapi sebuah sikap

P
moderat Islam yang hendak dikembangkan sebagai ajaran yang lebih mementing-
kan kemaslahatan hidup bersama. Kesepakatan para tokoh Islam dengan kalangan
nasionalis sekuler (umumnya mereka beragama Islam juga) yang memperjuang-
kan konsep pemisahan antara agama dan negara untuk menggantikan tujuh kata
tersebut dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa” dimaknai dengan pengertian tauhid
dalam Islam. Sebaliknya, kalangan nasionalis sekuler memenuhi tuntutan kelom-
pok Islam dengan tidak mencantumkan istilah Pancasila dalam Pembukaan UUD
1945, namun kedua pihak dominan dalam perdebatan itu sepakat dengan kelima
sila yang dikenal saat ini dengan Pancasila dan kelima silanya.
Menjadikan Pancasila sebagai dasar NKRI adalah kesepakatan nasional atau
“ijab kabul” semua komponen bangsa yang harus dijaga sampai kapan pun oleh
seluruh anak bangsa. Inilah perjuangan kebangsaan yang harus selalu dikobarkan
manakala muncul rongrongan dan upaya-upaya ahistoris segelintir kelompok yang

48
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

hendak menjadikan Indonesia menjadi negara yang berdasarkan agama maupun


ideologi tertentu. Dalam konteks Islam Indonesia hari ini, menjaga komitmen para
tokoh Islam dalam Panitia Sembilan yang telah bersepakat menjadikan Pancasila
sebagai dasar negara adalah wajib dilakukan umat Islam karena menurut para to-
koh perwakilan umat Islam tidak ada pertentangan substantif antara Pancasila dan
nilai-nilai ajaran Islam. Semangat menjaga komitmen bersama bangsa demi keber-
langsungan kemaslahatan hidup bersama dalam sebuah negara yang ditakdirkan
majemuk telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad melalui Piagam Madinah.
Piagam Madinah atau Konstitusi Madinah semasa Nabi Muhammad adalah se-
buah contoh awal masyarakat sipil (civil society) yang dibangun di tengah pluralitas
warganya (suku, keyakinan, dan bahasa). Solidaritas sesama warga Madinah kala
itu untuk hidup secara damai dalam keragaman dan keadaban (Masyarakat Mada-

Di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad yang kuat menjaga komitmen bersama


U P
ni) adalah contoh klasik sejarah terbentuknya sebuah negara bangsa (nation state).

O
GR
berdasarkan prinsip-prinsip kemanusiaan universal, Piagam Madinah dinilai oleh
Robert N. Bellah sebagai contoh pertama bentuk “negara bangsa modern” (mo-

A
dern nation state) di masa Nabi Muhammad. Dianggap modern, menurut Bellah
I
ED
seperti dikutip Hamidi dan Lutfi, karena adanya keterbukaan bagi partisipasi se-
luruh anggota masyarakat, dan karena kesedia­

A M
an para pemimpin untuk menerima penilaian Dalam konteks Islam Indonesia

D
ber­dasarkan kemampuan, bukan berdasarkan hari ini, menjaga komitmen

N A
perkawan­an, kedaerahan, kesukuan, keturunan,
dan sebagainya. Dengan kata lain, Piagam Ma-
para tokoh Islam dalam
Panitia Sembilan yang telah

R E
dinah adalah khazanah sejarah Islam yang sa-
bersepakat menjadikan
Pancasila sebagai dasar

P
ngat relevan dengan semangat demokrasi dan
penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi
negara adalah wajib dilakukan
umat Islam karena menurut
manusia dewasa ini. Keragaman masyarakat para tokoh perwakilan umat
Madinah di zaman Nabi Muhammad tampak- Islam tidak ada pertentangan
substantif antara Pancasila dan
nya menemukan persamaannya pada realitas nilai-nilai ajaran Islam.
sosiologis masyarakat Indonesia yang majemuk
dan sejarah lahirnya Pancasila.

4. Bhinneka Tunggal Ika


Unsur terakhir dari empat konsensus dasar nasional Indonesia adalah prinsip
kemajemukan dalam kesatuan. Jika Amerika Serikat memiliki sesanti “E Pluribus
Unum” (Dari Banyak, Satu), yang substansinya bahwa kemajemukan yang dimiliki
oleh bangsa Amerika dijadikan kekuatan untuk bersatu atau kemajemukan untuk

49
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

kesatuan cita-cita dan tujuan sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah diwariskan
oleh Mpu Tantular (pujangga Nusantara abad XIV) dalam kitabnya Sutasoma de-
ngan sesanti inklusif Nusantara “Bhinneka Tunggal Ika” yang menekankan sema-
ngat persatuan antara umat beragama pada waktu itu. Asal kata Bhinneka Tunggal
Ika adalah dari kata Bhinna yang artinya “berbeda”, Tunggal yang artinya satu, dan
Ika artinya “itu”. Untaian kata tersebut dapat diberi makna “berbeda-beda namun
tetap manunggal satu”.
Beragam pemaknaan atas sesanti “Bhinneka Tunggal Ika”, yang tetap relevan
dengan perkembangan negara bangsa modern, antara lain:
a. Berbeda tapi “satu”.
b. Menggambarkan gagasan dan cita-cita dasar, yaitu menghubungkan daerah-
daerah dan suku-suku di seluruh kepulauan Nusantara menjadi kesatuan.
c. Berbeda-beda tapi satu jua. Sekalipun pendudukan Indonesia beraneka ragam
U P
budaya, adat istiadat, dan keyakinan, semuanya bersatu dalam satu wadah Ne-
O
GR
gara Kesatuan Republik Indonesia.
d. Berbeda-beda namun tetap manunggal satu.
e. Beraneka ragam tapi satu.
I A
ED
Di balik banyak pemaknaan atas Bhinneka Tunggal Ika yang akan tetap berkem-

M
bang terus-menerus, secara substansi mengandung tiga unsur utama:

A
a. Ada keanekragaman atau kemajemukan di Nusantara sejak jauh sebelum Indo-
D
A
nesia lahir.

E N
b. Keanekaragaman atau kemajemukan adalah kenyataan alamiah atau takdir Tu-
han yang tidak bisa ditolak, bahkan harus disyukuri sebagai rahmat-Nya bagi

P R
bangsa Indonesia. Sebagai rahmat Tuhan, kemajemukan harus diyakini sebagai
suatu kekuatan, bukan sebaliknya atau sebagai ancaman. Dalam kemajemukan
tersiampan makna terdalam dari persatuan.
c. Sebagai rasa syukur atas rahmat kemajemukan ini, bangsa Indonesia hendak-
nya menjadikan sebagai semangat untuk bersatu, tidak sebaliknya.
d. Semangat kesatuan dari kemajemukan yang terintegrasikan ke dalam satu “ru­
mah besar” NKRI.
e. Sikap menerima pandangan orang lain yang berbeda.
Kesediaan menerima pandangan dan gagasan orang lain, sekalipun minori-
tas, dan mengorbankan milik pribadi atau kelompoknya sekalipun mayoritas dan
dominan demi kemaslahatan bersama telah ditunjukkan secara terhormat oleh
para pendiri bangsa Indonesia di masa lalu. Menurut catatan Rohaniawan Franz
Magnis-Suseno, setidaknya dua peristiwa penting dalam perjalanan bangsa Indo-

50
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

nesia dapat dijadikan acuan menuju kedewasaan berbangsa warga negara Indone-
sia. Pertama, pada peristiwa Sumpah Pemuda 1928: Kerelaan pemuda Jawa (Jong
Djava) sebagai kelompok mayoritas kala itu untuk menerima bahasa Melayu men-
jadi bahasa Indonesia. Kedua, kesediaan kelompok nasionalis Islam dalam persi-
dangan BPUPKI 1945 menerima kelima sila dalam Pancasila sebagai dasar negara
dan tidak menuntut tempat khusus bagi umat Islam dalam konstitusi negara, pada-
hal mereka mewakili kelompok dominan.
Tidak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika mayoritas pemuda Jawa dan
tokoh nasionalis Islam yang mewakili kelompok mayoritas Muslim Indonesia ber-
sikukuh mempertahankan gagasan mereka tentang bahasa dan dasar negara Indo-
nesia kala itu. Semangat menjadi bangsa (nation) di kalangan tokoh pemuda dan
tokoh nasionalis Indonesia harus tetap dijadikan acuan historis dan cita-cita Indo-

U P
nesia hari ini dan di masa mendatang. Menjadi bangsa Indonesia tidak berarti me-
ninggalkan kekhasan yang telah melekat pada masyarakat Indonesia (suku, budaya,
O
GR
bahasa dan keyakinan, dan sebagainya), tetapi unsur-unsur ini hendaknya melebur
ke dalam heterogenitas Indonesia.

A
Kekhasan-kekhasan ini merupakan pupuk penyubur bagi Indonesia yang ma-
I
ED
jemuk. Kemajemukan ini harus tetap berjalan dan berkembang serasi di tengah-
tengah perlunya memelihara persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia,

M
sebagaimana tersimbolkan dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika pada lambang
A
D
negara Burung Garuda yang juga memuat simbol-simbol dari kelima sila dalam

N A
Pancasila. Kebhinekaan Indonesia bukanlah sesuatu yang statis, tetapi berkembang
baik dalam budaya, politik bahkan keyakinan. Semasa Orde baru, misalnya, bangsa

R E
Indonesia pada umumnya tidak pernah menyaksikan perayaan tahun baru Cina

P
(Imlek) dan tarian barongsai di kalangan komunitas Tionghoa. Kini, berkah dari
reformasi dan demokrasi serta wacana penegakan dan jaminan HAM semua warga
negara, perayaan Imlek dan tarian barongsai mewarnai semarak kebhinekaan dan
persatuan Indonesia. Tanpa kesediaan dan kerelaan setiap individu menerima ke-
majemukan yang identik dengan perbedaan serta menjadikan Pancasila sebagai
ikatan bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, niscaya bangsa Indo-
nesia tidak mudah untuk naik kelas menjadi sebuah bangsa (nation) dengan makna
yang sesungguhnya.

5. Esensi Nilai-nilai Kebangsaan Indonesia


Empat konsesus dasar bangsa mengandung banyak nilai yang seharusnya terus
dikembangkan oleh semua komponen bangsa, dalam kerangka semangat reaktual-
isasi atas Pancasila. Kelima sila Pancasila melahirkan nilai-nilai kebangsaan:

51
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

a. Nilai religiositas, yakni nilai-nilai spiritual yang tinggi yang harus dimiliki oleh
manusia Indonesia yang berdasarkan agama dan keyakinan yang dipeluknya
dan memiliki toleransi yang tinggi terhadap pemeluk agama dan keyakinan
lain yang tumbuh dan diakui di Indonesia. Hal ini merupakan konsekuensi dari
sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang mengajak semua komponen bangsa untuk
beragama dan berkeyakinan secara berkebudayaan.
b. Nilai kekeluargaan, mengandung nilai-nilai kebersamaan dan senasib dan
sepenanggungan dengan sesama warga negara tanpa membedakan asal usul,
agama-keyakinan, latar belakang sosial, dan politik seseorang.
c. Nilai keselarasan, memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan keinginan un-
tuk memahami dan menerima budaya dan kearifan lokal sebagai perwujudan
dari nilai-nilai kemajemukan Indonesia.
d. Nilai kerakyatan, memiliki sifat dan komitmen untuk berpihak kepada kepen-
tingan rakyat banyak dalam merencanakan, merumuskan dan menjalankan ke-
U P
O
GR
bijakan publik, sebagai perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat dan bangsa
yang berdaulat.

A
e. Nilai keadilan, memiliki kemampuan untuk menegakkan dan berbuat adil ke-
I
ED
pada sesama manusia serta mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indone-
sia.

A M
Adapun nilai-nilai yang bersumber dari UUD 1945 adalah:

AD
a. Nilai demokrasi, yakni mengandung makna bahwa kedaulatan berada di ta­

E N
ngan rakyat, dan setiap warga negara memiliki kebebasan berserikat dan me­
ngemukakan pendapat secara bertanggung jawab.

P R
b. Nilai kesamaan derajat, setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama
di hadapan hukum.
c. Nilai ketaatan hukum, setiap warga negara tanpa pandang bulu harus taat hu-
kum dan peraturan yang berlaku.
Secara umum nilai-nilai yang bersumber dari NKRI, antara lain:
a. Nilai kesatuan wilayah, sebagai konsekuensi dari realitas geografis Indonesia
sebagai negara kepulauan dengan perairan sebagai pemersatu ribuan pulau,
bukan sebagai pemisah.
b. Nilai persatuan bangsa, sebagai realisasi dari realitas Indonesia sebagai bangsa
yang majemuk: agama, suku, budaya, politik dan sebagainya.
c. Nilai kemandirian, membangun negara dan bangsa di atas prinsip kemandirian
dengan mengoptimalkan kemampuan sumber daya manusia, alam, dan budaya

52
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

yang dimiliki Indonesia serta diprioritaskan seluas-luasnya bagi kesejahteraan


dan kejayaan bangsa Indonesia (national interests).
Adapun nilai-nilai yang bersumber dalam sesanti Bhinneka Tunggal Ika adalah
antara lain:
a. Nilai toleransi, sikap mau memahami dan menerima kehadiran orang lain
yang berbeda (keyakinan, suku, bahasa, politik, dan lain-lain) untuk hidup ber-
dampingan secara damai.
b. Nilai keadilan, yaitu sikap seimbang antara mendapatkan hak dan menjalank-
an kewajiban sebagai warga negara.
c. Nilai gotong royong, sebagai sikap dan tindakan untuk bekerja sama dengan
orang maupun kelompok warga bangsa yang lain dalam urusan-urusan yang

P
terkait dengan kepentingan bersama, kemasyarakatan, dan negara.

D. KRISTALISASI NILAI-NILAI KEBANGSAAN


O U
GR
Nilai-nilai kebangsaan pada intinya adalah semua nilai-nilai positif yang me-

A
lekat dan menjadi jati diri manusia Indonesia. Nilai-nilai ini bukanlah sesuatu yang
I
ED
asing, tetapi lahir dari kebudayaan Indonesia. Nilai-nilai ini sesungguhnya tidak-
lah khas Indonesia, tetapi sudah menjadi nilai-nilai universal yang melekat pada

M
perkembangan peradaban manusia.
A
D
Dari nilai-nilai di atas yang bersumber dari keempat konsensus dasar bangsa

N A
(Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika) dapat diperas ke dalam
tujuh nilai sebagai kristalisasi nilai-nilai kebangsaan yang harus selalu dikembang-

R E
kan sepanjang masa. Ketujuh nilai itu adalah:
1.
2.
P
Nilai ketuhanan;
Nilai kemanusiaan;
3. Nilai persatuan
4. Nilai demokrasi
5. Nilai keadilan
6. Nilai pluralis dan multikultur
7. Nilai patriotisme.
Dari ketujuh nilai-nilai utama inilah, internalisasi wawasan kebangsaan ter-
buka bagi semua komponen bangsa untuk terlibat secara kreatif dan betanggung
jawa­b dalam memaknai keindonesiaan. Di atas fondasi tujuh nilai inilah karak­ter
Indonesia sekarang dan mendatang hendak dibangun dan dikembangkan sejalan
dengan tuntutan dan semangat zaman yang terus berubah. Melalui internalisasi

53
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

nilai-nilai wawasan kebangsaan yang dilakukan secara sistematis dan berkelanjut­


an Indonesia yang dicita-citakan sebagai sebuah bangsa modern yang demokratis,
toleran, kuat, kompetitif dan percaya diri dapat segera terwujud.

RANGKUMAN
1. Reaktualisasi atau penyegaran kembali nilai-nilai Pancasila adalah keharusan
dan tuntutan sejarah, jika menghendaki dasar negara Indonesia itu tidak di-
tinggalkan oleh dinamika perjalanan bangsa Indonesia. Salah satu upaya meng­
aktualkan Pancasila adalah melalui upaya menghangatkan kembali makna Pan-
casila sebagai haluan bersama bangsa Indonesia dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara dan merealisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidup­an se-
hari-hari. Dalam tatanan pemerintahan, aktualisasi Pancasila dapat dilakukan
melalui pembuatan perundang-undangan atau kebijakan negara yang harus
U
senapas dengan nilai-nilai Pancasila dan menjadikannya sebagai wacana aka-
P
O
GR
demik.
2. Reaktualisasi, radikalisasi, revitalisasi, dan rejuvenasi atas Pancasila mutlak di-

I A
lakukan oleh bangsa Indonesia. Negara harus memberikan tempat bagi mun-

ED
culnya beragam pemikiran reflektif dan kritis atas Pancasila. Sebagai sebuah
ideologi terbuka, Pancasila pada dirinya terbuka untuk dimaknai sesuai dengan
M
perkembangan kebudayaan warga ne­gara Indonesia. Menyoroti praktik-prak-
A
D
tik keseharian bernegara melalui cara pandang Pancasila sebagai etika politik

N A
adalah salah satu bentuk menjadikan Pancasila tetap hidup dalam kenyataan
sehari-hari. Proses pembelajaran Pancasila melalui metode pembelajaran aktif,

R E
kolaboratif, dan dinamis adalah salah satu upaya internalisasi Pancasila di ka-

P
langan pendidikan, peserta didik, dan masyarakat.
3. Pancasila bukanlah sesuatu yang asing bagi bangsa Indonesia. Pancasila lahir
dari endapan kebudayaan yang pernah berkembang dan hidup di wilayah Nus-
antara. Semua kelompok masyarakat Nusantara memiliki sumbangan terhadap
lahirnya Pancasila.
4. Empat konsensus dasar nasional harus terus-menerus disegarkan dan dijaga
sebagai eksistensi Indonesia yaitu: Pancasila, NKRI, UUD ’45, dan Bhinneka
Tunggal Ika.
5. Nilai-nilai yang bersumber dari keempat konsensus dasar nasional itu ter-
kristalkan ke dalam tujuh nilai, yaitu: (1) Ketuhanan; (2) Kemanusiaan; (3)
Persa­tuan; (4) Demokrasi; (5) Keadilan; (6) Pluralis dan Multikultur; dan (7)
Patriotisme.

54
BAB 2 • PANCASILA & KEHARUSAN REAKTUALISASI

LEMBAR KERJA

1. Diskusikan tantangan dan ancaman yang dihadapi Indonesia di era Reformasi?


2. Diskusikan dalam kelompok mengapa Pancasila penting bagi Indonesia sebagai
sebuah negara bangsa yang modern?
3. Bisakah Pancasila bertahan dalam era Global seperti saat ini? Jika ya, langkah-
langkah apa yang harus dilakukan untuk menjadikan Pancasila tetap aktual dalam
menghadapi perubahan-perubahan?
4. Jelaskan arti penting demokrasi dan komitmen menjaga empat konsensus dasar
bangsa Indonesia?
5. Diskusikan strategi yang tepat untuk mensosialisasikan nilai-nilai yang bersumber
dari empat konsensus dasar bangsa Indonesia?
6.
P
Bagaimana mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan Indonesia di era demok­rasi
seperti saat ini?
U
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P

55
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
IDENTITAS NASIONAL
DAN GLOBALISASI

T
erdapat kekhawatiran di kalangan masyarakat bahwa ge-
lombang globali­ sasi yang ditandai oleh gerakan global
demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang didukung
oleh kecanggihan teknologi akan menjadi ancaman serius bagi jati
diri suatu kelompok atau bangsa, tak terkecuali bangsa Indonesia.
Kekhawatiran ini telah melahirkan beragam sikap dan reaksi terha-
dap dampak yang ditimbulkan oleh globalisasi, dari yang menolak,
mengkritisi hingga menerima serta menggambil manfaat dari arus
U P
O
globalisasi. Penolakan terhadap globalisasi di sejumlah kelompok

GR
masyarakat dunia bahkan telah melahirkan sikap anti-globalisasi.
Ini tecermin pada sikap dan pandangan sebagian masyarakat yang

I A
selalu menilai negatif apa saja yang ditimbulkan oleh globalisasi,
Bab
ED
yang dinilainya sebagai produk kebudayaan asing. Dalam konteks

M
sejarah Indonesia, sikap anti terhadap globalisasi sama saja dengan

D A
mengingkari kenyataan his­toris dan geografis Nusantara yang di-
kenal sebagai lintasan be­ragam budaya besar dunia (Cina, India,
A
3
N
dan menyusul Islam dan Eropa). Hal ini terjadi karena ditopang

R E
oleh letak geografis wilayah Nusantara (cikal bakal Indonesia) yang
strategis bagi lintasan pelancong dan pe­dagang mancanegara. Se-
P
cara geografis, Indonesia tidak bisa menghindar dari pengaruh-
pengaruh budaya yang datang dari luar.
Indonesia sudah membuktikan sebagai wilayah yang berhasil
mengakulturasi berbagai kebudayaan dengan tanpa kehi­ langan
identitasnya sebagai bangsa. Sikap anti terhadap budaya asin­g yang
datang saat ini melalui arus globalisasi, sama saja dengan kehilang-
an kepercayaan diri terhadap ketangguhan identitas bang­sa.
Dengan mempelajari bab ini, Saudara diharapkan dapat:
ƒƒ Menjelaskan definisi identitas nasional dan perannya di era glo-
balisasi.
ƒƒ Mengategorikan faktor-faktor pembentuk dan ancaman identi-
tas nasional.
ƒƒ Mengemukakan arti penting ketahanan nasional dalam global-
isasi.
ƒƒ Menjelaskan pengertian dan urgensi multikulturalisme di dalam
identitas nasional.
ƒƒ Menghubungkan unsur identitas nasional dengan tantangan
globalisasi
ƒƒ Merasionalisasikan nilai-nilai identitas kebangsaan Indonesia.
ƒƒ Membangun model-model komitmen dari nilai-nilai yang ber-
sumber dari identitas nasional.

U P
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

3
Identitas Nasional dan Globalisasi

U P
SELAT Malaka merupakan titik strategis bagi penyebaran beragam kebudayaan
dunia di wilayah Nusantara dan kawasan sekitar yang saat ini dikenal dengan per-
O
GR
satuan negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Sejak dahulu Selat Malaka adalah
tempat berlabuh pen­datang dari seluruh dunia, menjadikan ka­wasan ini tidak per-

I A
nah sepi dari akulturasi budaya. Dari Selat Malaka ini, dunia Me­layu membentuk

ED
budaya dan identitasnya yang khas.
Sebagai bagian penting dari tradisi Melayu, Indonesia telah berkembang seba­
M
gai kawas­an tempat tumbuh dan berkembangnya perkawinan antara budaya asing
A
D
dan lokal. Pertemuan alamiah antara unsur asing dan domestik ini telah melahir-

A
kan sikap selektif, yakni menerima apa saja dari luar yang bermanfaat bagi manu-
N
E
sia Nusantara, namun pada saat bersamaan, tetap kritis terhadap un­sur­-unsur luar

P R
tersebut. Pertemuan antara unsur luar dan lokal telah melahirkan ide-ide kreatif
dari kalang­an tokoh lokal (local genius) yang memadukan unsur-unsur budaya luar
dengan unsur lokal untuk kepentingan masyarakatnya.
Daya kreativitas Nusantara ini menemukan titik puncaknya, ketika wilayah
Nusantara berubah menjadi sebuah negara modern yang bernama Indonesia. Ke-
cerdasan kreatif itu disimbolkan dengan lahirnya Pancasila sebagai fondasi bagi
berdirinya Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation state) yang majemuk.
Kemajemukan Indonesia dalam banyak hal disatukan oleh dasar negara Pancasila
yang merupakan inti sari unsur-unsur kebudayaan positif yang dimiliki manusia
yang menempati wilayah Nusantara sejak berabad-abad silam. Namun demikian,
Pancasila juga merupakan simbol pertemuan beragam pemikiran dan ideologi
modern awal abad ke-20, yang kemudian menjadi cita-cita dan karakter yang di-
idamkan oleh para perumusnya: Indonesia yang berketuhanan dan berkebudaya­
an, berperikemanusiaan, bersatu, demokratis, dan berkeadilan. Cita dan nilai yang

59
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

tetap relevan dengan tuntutan manusia modern saat ini.


Sila Pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa misalnya, tidak lain adalah sila yang
lahir dari pergumulan panjang antara kelompok kebangsaan Muslim dan ke­
bangsaan sekuler. Sebagaimana Sila Ke­dua, Kemanusiaan yang adil beradab, yang
dalam proses perumusannya tidak lepas dari pandangan kemanusiaan dunia saat
menjelang kemerdekaan Republik Indo­nesia. Demikianlah sila­-sila yang lainnya.
Dengan kata lain, Pancasila adalah sebuah hasil ijtihad para pendiri bangsa Indone-
sia dalam rangka mengompromikan beraga­m pemikiran dan nilai-­nilai dunia de-
ngan nilai dan pandangan lokal Indonesia. Sikap bersedia untuk mengompromikan
dan mempertemukan beragam pemikiran dan pandangan ini merupakan karakter
khas bangsa Indonesia yang selalu bersikap moderat, terampil memadukan ide dan
nilai luar (agama maupun ideologi) dengan nilai dan tradisi lokal Nusantara. Sikap
moderasi inilah tertuang secara lugas pada kelima sila Pancasila.

U P
A. APAKAH IDENTITAS ITU? O
GR
Identitas sering dihubungkan dengan atribut yang disematkan kepada indivi-

I A
du yang sebenarnya memiliki sifat majemuk. Misalnya atribut kelamin (pria atau

ED
wanita) yang hadir secara kodrati pada seseorang bisa bergandeng dengan atribut-
atribut kodrati lainnya yang tidak bisa ditolak seseorang sejak ia lahir, seperti aga-
M
ma, suku, ras, kasta maupun kebangsaan. Selain identitas atau atribut yang bersifat
A
D
kodrati (diberikan oleh Tuhan sejak lahir), ia juga bersifat non-kodrati atau bisa

N A
dibuat akibat dari usaha seseorang. Misalnya kelas pendidikan, ekonomi, sosial,
dan agama. Dua jenis atribut atau lebih bisa melekat pada setiap individu. Seorang

R E
Muslim adalah Batak dan pada saat yang sama beridentitas kelas menengah, kelas

P
terdidik, dan sebagainya.
Identitas bisa berdampak positif juga bisa berdampak negatif. Jika identitas
tersebut dapat menimbulkan rasa bangga, baik bagi dirinya maupun komunitas-
nya, maka identitas bernilai positif. Sebaliknya identitas dapat melahirkan masalah
manakala ia menjadi alasan untuk berkonflik bahkan berperang. Banyak contoh
konflik yang tidak lepas dari persoalan identitas kelompok, seperti konflik suku,
ras, dan agama yang sering terjadi di berbagai belahan dunia. Konflik suku di
Rwanda (suku Tutsi dan Hutsi), konflik agama di India (Hindu-Muslim), di Serbia
(Katolik dan Islam), di Palestina (Islam dan Yahudi), di Irak (Sunni dan Syi’ah).
Konflik serupa terjadi pula di sejumlah daerah di Indonesia, seperti konflik suku di
Kalimantan Barat antara suku Dayak dan Madura, atau konflik bernuansa keyakin­
an di Ambon antara komunitas Kristen dan Muslim.
Identitas dipahami pula sebagai ungkapan nilai-nilai budaya yang dimiliki

60
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

suatu komunitas, kelompok, atau bangsa yang bersifat khas dan membedakan-
nya dengan kelompok atau bangsa yang lain. Kekhasan yang melekat pada sebuah
bangsa ini dikenal secara umum dengan sebutan “identitas nasional.” Identitas yang
melekat pada suatu bangsa tidaklah bersifat statis. Identitas adalah sesuatu yang
dapat dibentuk oleh suatu individu atau kelompok.
Secara teoretis identitas hakikatnya adalah sesuatu yang dinamis dan beragam
ekspresi: individu ataupun kelompok yang terlibat dalam prosesnya hanyalah bersi-
fat parsial dan tidak lengkap. Identitas teramat sering dibentuk oleh praktik-praktik
yang khas dan kejadian-kejadian yang saling terkait satu dengan lainnya. Dalam
kenyataan sehari-hari identitas dapat berupa pengakuan subjektif yang dijelaskan
oleh seseorang atau kelompok untuk dikenali oleh pihak luar atau pernyataan orang
luar yang disematkan kepada kelompok tersebut. Penyematan pihak luar terhadap

U P
suatu kelompok kadang kala tidak sesuai dengan kenyataannya. Penyematan bisa
saja terbentuk atas reduksi hakikat seseorang atau kelompok yang sesungguhnya
O
GR
majemuk.
Reduksi sering kali melahirkan stereotip (atau atribut) yang dapat mengotak-

A
kan seseorang atau kelompok ke dalam suatu identitas yang bukan sebenarnya.
I
ED
Proses ini sering disebut dengan istilah politisasi identitas untuk kepentingan sub-
jektif seseorang, kelompok atau lembaga negara. Politisasi identitas ini tak jarang

M
melahirkan tindakan diskriminasi kelompok dominan terhadap kelompok minori-
A
D
tas. Agar hal ini tidak terjadi gagasan tentang pendidikan multikultural bagi Indo-

N A
nesia yang majemuk menjadi salah satu tawaran solusi yang diharapkan mampu
menjadikan Indonesia rumah bagi semua komponen bangsa yang ada dengan be-

R E
ragam identitasnya.

P PEMBENTUK IDENTITAS NASIONAL INDONESIA


B. UNSUR-UNSUR
Identitas nasional Indonesia terbentuk oleh bermacam unsur, fisik, dan non
fisik. Salah satu identitas yang melekat pada bangsa Indonesia adalah sebutan se-
bagai sebuah bangsa yang majemuk. Kemajemukan bangsa Indonesia ini tecermin
pada ungkapan sesanti Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat pada simbol nasional
Burung Garuda dengan lima simbol yang mewakili sila-sila dalam dasar negara
Pancasila. Kemajemukan ini merupakan perpaduan dari unsur-unsur yang men-
jadi inti identitas Indonesia: sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama, dan bahasa.

1. Sejarah
Menurut catatan sejarah, sebelum menjadi sebuah negara bangsa (nation state),
Nusantara pernah mengalami masa kejayaan yang gemilang. Dua kerajaan besar

61
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

yakni Sriwijaya dan Majapahit dikenal sebagai pusat-pusat kekuasaan di Nusantara


yang pengaruhnya menembus batas-batas teritorial di mana dua kerajaan ini ber-
diri. Kebesaran dua kerajaan tersebut turut menjadi rujukan semangat perjuang­an
manusia Nusantara pada abad-abad berikutnya ketika penjajahan asing menancap-
kan kekuatan imperialismenya. Semangat juang manusia Nusantara dalam meng-
usir penjajah dari tanah kelahirannya telah menjadi ciri khas tersendiri bagi ci-
kal bakal bangsa Indonesia yang kemudian menjadi salah satu unsur pembentuk
identitas nasionalnya sebagai bangsa yang pantang menyerah dan pejuang kebe-
basan. Hal ini tecermin dalam konstitusi Indonesia di mana Pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 secara eksplisit menyatakan dukungan bangsa Indonesia bagi
kemerdekaan setiap bangsa di dunia.

P
2. Kebudayaan

O U
Kebudayaan yang menjadi unsur pembentuk identitas nasional meliputi tiga
unsur, yaitu akal budi, peradaban, dan pengetahuan. Akal budi bangsa Indonesia

GR
tampak dari keramahan dan kesantunan orang Indonesia yang telah dikenal du-

A
nia. Adapun unsur identitas peradabannya tecermin dalam dasar negara Pancasila
I
ED
yang menunjukkan kekuatan atas nilai-nilai bersama yang majemuk. Sedangkan
aspek pengetahuan dapat dilihat dari kekayaan pencapaian bangsa Indonesia se-

A M
bagai bangsa maritim. Kapal Pinisi dan sejumlah bangunan candi yang menawan
merupakan unsur identitas pengetahuan bangsa Indonesia yang tidak dimiliki oleh

AD
bangsa lain di dunia. Keragaman budaya lokal Nusantara merupakan kekuatan dari

N
eksistensi kebudayaan nasional. Capaian kebudayaan ini sekaligus sebagai bukti
E
R
bahwa nenek moyang bangsa Indonesia merupakan manusia yang kreatif dan ino-

P
vatif yang mampu mengadopsi pengetahuan, nilai, dan budaya asing lalu mengem-
bangkannya menjadi produk peradaban yang
bernilai tambah dan menjadi ciri khas yang
Capaian kebudayaan ini
sekaligus sebagai bukti bahwa membedakannya dengan produk kebudayaan
nenek moyang kita merupakan bangsa lain di dunia.
manusia yang kreatif dan inovatif
yang mampu mengadopsi 3. Suku Bangsa
pengetahuan, nilai, dan budaya
Kemajemukan merupakan pembentuk
asing lalu mengembangkannya
menjadi produk peradaban yang
iden­titas lain bangsa Indonesia. Lebih dari se­
bernilai tambah dan menjadi ka­dar kemajemukan yang bersifat alamiah,
ciri khas yang membedakannya tra­
disi bangsa Indonesia untuk hidup ber-
dengan produk kebudayaan sama dalam kemajemukan merupakan unsur
bangsa lain di dunia.
utama pembentukan identitas yang perlu terus

62
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

dikembangkan dan dilestarikan. Kemajemukan


alamiah bangsa Indonesia yang tecermin dalam Identitas adalah ungkapan
nilai-nilai budaya suatu
ribuan suku, bahasa, dan budaya, dan kesatuan
bangsa yang bersifat khas
atas kemajemukan merupakan gambaran bahwa dan membedakannya dengan
Indonesia adalah kesatuan atas keberagaman bangsa yang lain. Unsur-
yang secara simbolik diungkapkan dalam sesanti unsur pembentuk identitas
nasional Indonesia antara lain:
Bhinneka Tunggal Ika yang dicengkeram kuat
(1) sejarah; (2) kebudayaan;
oleh kuku burung elang Garuda. Dengan demiki- (3) suku bangsa; (4) agama;
an, tidaklah keliru jika terdapat ungkapan umum, dan (5) bahasa.
“bukanlah Indonesia jika tidak majemuk”.

4. Agama

U P
Keragaman agama dan keyakinan merupakan identitas lain dari kemajemukan
alamiah bangsa Indonesia. Begitu pentingnya keberadaan keragaman unsur agama
O
dan keyakinan ini, para pendiri bangsa menjadikannya unsur paling penting dalam

GR
konstitusi negara, sebagai upaya wajib negara untuk melindungi rahmat Tuhan Yang

A
Maha Esa yang harus tetap dipelihara dan disyukuri bangsa Indonesia. Para peru-
I
ED
mus dasar negara Pancasila telah bersepakat untuk menempatkan dasar spirituali-
tas Nusantara ini dalam urutan pertama dari kelima sila Pancasila, Ketuhanan Yang

A M
Maha Esa. Nilai yang terkandung dalam sila ini adalah kewajiban bangsa Indonesia
untuk beragama secara berkebudayaan yakni suatu sikap dan perilaku beragama

AD
yang menjunjung prinsip-prinsip toleransi. Bagian dari prinsip toleransi beragama

N
tersebut dapat dilakukan dengan menjauhkan sikap dan tindakan memaksakan
E
R
keyakinan seseorang atau kelompok atas individu atau kelompok lainnya.

5. BahasaP
Bahasa Indonesia adalah unsur lain pembentuk identitas nasional bangsa Indo-
nesia. Keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dijamin oleh konsti-
tusi negara, UUD 1945. Ribuan pulau, etnis dan keragaman budaya dan keyakinan
dapat dipersatukan dengan bahasa Indonesia, yang sebelumnya merupakan bahasa
pengantar (lingua franca), ba­hasa transaksi perdagangan dan pergaulan, masyara-
kat yang mendiami kepulauan yang tersebar di seluruh Nusantara.
Kesadaran akan unsur pemersatu bahasa In­donesia bagi masyarakat Nusantara
yang majemuk dapat ditelusuri pada peristiwa lahirnya Sumpah Pemuda, 28 Ok-
tober 1928. Sumpah Pemuda 1928 menegaskan bahasa Indonesia sebagai bahasa
persatuan Indonesia dalam perjuangan merebut dan mengisi kemerdekaan Indo-
nesia. Momentum Sumpah Pemuda 1928 telah memberikan nilai tersendiri bagi

63
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

pembentukan identitas nasional Indonesia, sebagai unsur pembentuk persatuan


dan nasionalisme Indonesia yang masih relevan hingga hari ini.

B. WAWASAN NUSANTARA
Bangsa Indonesia telah merumuskan identitas nasionalnya dengan apa yang
disebut sebagai konsep Wawasan Kebangsaan dan Wawasan Nusantara. Dua kon-
sep ini merupakan cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungan-
nya. Melalui konsep diri ini, bangsa Indonesia memiliki ukuran dan kategori siapa
dirinya dan bagaimana berbuat dan memandang dunia luar. Jika konsep Wawasan
Kebangsaan banyak menekankan aspek nilai yang terkandung pada empat konsen-
sus dasar bangsa Indonesia, sebagaimana dibahas pada bab sebelumnya, bagian ini
akan menjelaskan sekilas tentang konsep Wawasan Nusantara yang lebih bersifat

U P
teritorial. Namun demikian, terdapat kesamaan tujuan esensial dari kedua wawasan
nasional ini: adalah untuk mewujudkan rasa persatuan dan kesatuan serta bangga
O
GR
dan cinta negeri di kalangan warga negara Indonesia.
Dalam Desain Induk Pemantapan Wawasan Kebangsaan Tahun 2012-2024 yang

I A
disusun oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan

ED
(Menko Polhukam) dijelaskan bahwa Wawasan Nusantara adalah kesamaan per-
sepsi pada segenap komponen bangsa Indonesia sebagai dasar bagi terbangunnya
M
rasa dan semangat nasional yang tinggi dalam semua aspek kehidupan nasional,
A
D
sebagai faktor pendorong untuk berbuat dan berprestasi bagi kejayaan negara dan

N A
bangsa. Wawasan Nusantara mencakup bagaimana implementasi dari realitas kon-
stelasi geografis dan keragaman yang dimiliki NKRI sebagai negara kepulauan yang

R E
memiliki konsep kesatuan yang padu: ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan

P
pertahanan keamanan.
Dalam Wawasan Nusantara terkandung empat konsepsi pokok, yaitu:
1. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan politik:
a. Bahwa kebulatan wilayah nasional dengan segala isi dan kekayaan yang
terkandung di dalamnya merupakan satu kesatuan wilayah, wadah, ruang
hidup dan kesatuan matra seluruh bangsa, serta menjadi modal dan milik
bersama bangsa;
b. Bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, bahasa
daerah, afiliasi politik, dan sebagainya merupakan satu kesatuan bangsa
yang solid;
c. Keanekaragaman Indonesia ini secara psikologis bersatu, senasib, sepe-
nanggungan, sebangsa dan setanah air, dan memiliki satu visi dalam
mewujudkan cita-cita bangsa;

64
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

d. Pancasila adalah satu-satunya falsafah serta ideologi bangsa dan negara


yang melandasi, membimbing, dan mengarahkan bangsa menuju tujuan-
nya;
e. Kehidupan politik di seluruh wilayah NKRI merupakan kesatuan politik
yang diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945;
f. Seluruh kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum dalam arti
hanya ada satu sistem hukum yang mengabdi kepada kepentingan nasi-
onal;
g. Bangsa Indonesia yang hidup berdampingan dengan negara lain ikut men-
ciptakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi, dan keadilan sosial yang diabdikan kepada kepentingan nasional.
2. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai kesatuan ekonomi:

P
a. Kekayaan Nusantara, baik potensial maupun efektif adalah modal dan mi-

luruh wilayah NKRI;


O U
lik bersama bangsa, dan keperluan hidup sehari-hari harus tersedia di se-

GR
b. Perkembangan ekonomi harus serasi dan seimbang di seluruh daerah tan-
pa meninggalkan ciri khas yang dimiliki oleh daerah dalam pengembang­
an kehidupan ekonominya;
I A
ED
c. Kehidupan perekonomian di seluruh wilayah NKRI merupakan satu ke-

M
satuan ekonomi yang diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasar atas

yat.
D A
asas kekeluargaan dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rak-

N A
3. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan sosial dan budaya:

R E
a. Masyarakat Indonesia adalah satu, perikehidupan bangsa harus merupa-
kan kehidupan yang serasi dengan tingkat kemajuan masyarakat yang
P
sama, merata dan seimbang serta adanya keselarasan kehidupan yang se-
suai dengan tingkat kemajuan bangsa;
b. Budaya Indonesia pada hakikatnya adalah satu, sedangkan keragaman bu-
daya yang ada merupakan kekayaan budaya bangsa yang menjadi modal
dan landasan pengembangan budaya bangsa dengan tidak menolak nilai-
nilai budaya lain yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya
bangsa, yang hasilnya dapat dinikmati oleh seluruh komponen bangsa.
4. Perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan pertahanan dan
keamanan:
a. Bahwa ancaman terhadap satu pulau atau satu daerah pada hakikatnya
merupakan ancaman terhadap seluruh bangsa dan negara Indonesia;
b. Bahwa tiap-tiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama
dalam rangka pembelaan negara dan bangsa;

65
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

c. Sistem pertahanan dan keamanan negara Indonesia adalah sistem perta-


hanan dan keamanan rakyat semesta, yaitu seluruh komponen bangsa ter-
libat dan memiliki peranan: rakyat sebagai kekuatan pendukung sedang­
kan TNI dan Kepolisian sebagai kekuatan utama. Keterlibatan seluruh
rakyat, wilayah dan sumber daya nasional secara aktif, terpadu, terarah,
dan berkelanjutan menunjukkan sifat semesta tersebut.

C. KETAHANAN DAN KEWASPADAAN NASIONAL


Jika empat konsepsi kesatuan (politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan
keamanan) ini dijalankan secara konsisten, fleksibel, dan terpadu pada akhirnya
akan melahirkan kualitas ketahanan nasional (Tannas) Indonesia yang diharap-
kan. Tentu saja dalam implementasinya harus mempertimbangkan perkembangan
masyarakat dan situasi ancaman dan peluang yang diakibatkan oleh arus global-
isasi. Menjalankan konsep-konsep Wawasan Nusantara secara monolitik melalui
U P
O
GR
pendekatan keamanan (security approach) yang terlalu dominan seperti yang per-
nah dilakukan di masa lalu telah terbukti gagal melahirkan kemakmuran bagi se-

I A
luruh wilayah dan warga negara Indonesia. Pendekatan dan orientasi kesejahtera­

ED
an dan keadilan bagi seluruh komponen bangsa harus selalu dikedepankan oleh
pemerintah (negara) dalam mengemban amanat Pembukaan UUD 1945.
M
Sebagai sebuah konsep yang komprehensif, Ketahanan Nasional adalah sebuah
A
D
konsep bangsa Indonesia tentang keselamatan nasional atau kelangsungan hidup

N A
bangsa, yang bergantung kepada keserasian aspek kehidupan seperti ideologi, poli-
tik, ekonomi, di mana masing-masing unsur ini saling terkait dan memengaruhi

R E
satu dengan yang lainnya. Kestabilan antara unsur-unsur ini akan sangat berpe-

P
ngaruh kepada kekuatan ketahanan nasional. Dengan kata lain, kekuatan Tannas
tidak hanya ditentukan oleh kekuatan militer semata, tetapi juga sangat dipenga-
ruhi oleh stabilitas unsur-unsur nonmiliter. Konflik sosial tanpa penyelesaian yang
menyeluruh dan adil dan tingginya angka korupsi, mis-
Pendekatan dan alnya, akan berpengaruh sebagai ancaman serius bagi
orientasi kesejahteraan kemampuan negara untuk bertahan.
dan keadilan bagi Ketahanan Nasional Indonesia dikelola berdasar-
seluruh komponen
bangsa harus selalu
kan delapan zona (gatra), yang biasa disebut dengan is-
dikedepankan oleh tilah Asta Gatra, yang terdiri dari tiga zona alamiah (Tri
pemerintah (negara) Gatra) dan lima zona (Panca Gatra) sosial. Tri Gatra
dalam mengemban alamiah dimaksud adalah meliputi geografi, kekayaan
amanat Pembukaan
alam (SDA), dan kependudukan Indonesia; sedangkan
UUD 1945.
Panca Gatra meliputi ideologi, politik, eknonomi, so-

66
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

sial-budaya, dan pertahanan keamanan (IPOLEKSOSBUDHANKAM). Ketahan­an


nasional ada hakikatnya sangat tergantung pada kemampuan dan profesionalitas
bangsa Indonesia (khususnya negara) dalam mengelola, memanfaatkan, dan men-
gatur komponen-komponen Tri Gatra dalam rangka menopang ketahanan (sta-
biltas dan kualitas) Panca Gatra, yakni ketahanan ideologi, politik, ekonomi, sosial-
budaya, pertahanan keamanan.
Kehidupan berbangsa dan bernegara dalam banyak hal memiliki kesamaan
dengan kehidupan setiap individu. Kondisi sehat jasmani dan rohani yang diidam-
kan setiap orang terkadang mengalami hambatan dan ancaman yang merongrong
kekebalan (imunitas) tubuh. Demikian pun sebuah bangsa, ia tidak pernah lepas
dari tantangan dan ancaman terhadap imunitas ketahanannya, baik yang alamiah
maupun sosial. Untuk tetap mempertahankan ketahanan nasional tetap kondusif

U P
dan dinamis, bangsa Indonesia harus selalu peduli akan munculnya gangguan atau
ancaman dari luar maupun dirinya sendiri yang berpotensi merusak sendi-sendi
O
GR
ketahanannya.
Di era demokrasi ini kewaspadaan nasional seyogianya diorientasikan bagi

A
peningkatan peran serta masyarakat dalam proses pembangunan yang tecermin
I
ED
pada peningkatan budaya berdemokrasi se-
cara bermartabat untuk mewujudkan ma- Di era demokrasi ini kewaspadaan

A M
syarakat madani di Indonesia yang egaliter, nasional seyogianya di orientasikan

D
toleran, tanpa diskriminasi dengan konsis- kepada peningkatan peran

A
tensi negara menjalankan prinsip-prinsip serta masyarakat dalam proses

N
de­mokrasi deliberasi dan HAM. Kebijakan
E
pembangunan yang tecermin
pada peningkatan budaya

R
ten­tang kewaspadaan nasional di masa lalu berdemokrasi secara bermartabat

P
yang lebih berorientasi mengontrol warga
negara demi keamanan negara harus diting-
untuk mewujudkan masyarakat
madani di Indonesia yang egaliter,
galkan, dan digantikan dengan menjadikan toleran, tanpa diskriminasi dengan
konsistensi negara menjalankan
warga negara Indonesia sebagai mitra sejajar
prinsip-prinsip demokrasi
dalam mempertahankan dan meningkatkan deliberasi dan HAM.
kualitas ketahanan nasional.

D. GLOBALISASI DAN KETAHANAN NASIONAL


Secara umum globalisasi adalah sebuah gambaran tentang semakin tinggi
ketergantungan di antara sesama masyarakat dunia, baik budaya maupun ekono-
mi. Istilah globalisasi juga sering dihubungkan dengan sirkulasi gagasan, bahasa,
dan budaya populer yang melintasi batas negara. Fenomena global ini acap kali
disederhanakan oleh kalangan ahli sebagai gejala kecenderungan dunia menuju se-

67
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

buah perkampungan global (global village) di mana interaksi manusia berlangsung


tanpa halangan batas geografis. Hal ini tentunya sebagai bagian tak terpisahkan
dari kemajuan teknologi informasi yang menyediakan fasilitas komunikasi secara
murah dan mudah. Pada saat yang sama, isu-isu dunia di bidang politik, ekonomi,
demokrasi, dan HAM dengan begitu cepat dapat memengaruhi situasi yang terjadi
di suatu negara.
Globalisasi adalah fenomena dunia berwajah banyak. Globalisasi sering diiden-
tikkan dengan: (1) Internasionalisasi, yaitu hubungan antarnegara, meluasnya arus
perdagangan dan penanaman modal; (2) Liberalisasi, yaitu pencabutan pemba­
tasan-pembatasan pemerintah untuk membuka ekonomi tanpa pagar (border-less
world) dalam hambatan perdagangan, pembatasan keluar masuk mata uang, kendal­i
devisa, dan izin masuk suatu negara (visa); (3) Universalisasi, yaitu ragam selera

U P
atau gaya hidup seperti pakaian, makanan, kendaraan, di seluruh pelosok penjuru
dunia; (4) Westernisasi atau Amerikanisasi, yaitu ragam hidup model budaya Barat
O
GR
atau Amerika; dan (5) de-teritorialisasi, yaitu perubahan-perubahan geografis se-
hingga ruang sosial dalam perbatasan, tempat, dan jarak menjadi berubah.

A
Beberapa pengertian globalisasi di antaranya:
I
ED
1. Globalisasi sebagai transformasi kondisi spasial-temporal kehidupan. Ke-
hidupan mengandaikan ruang (space) dan waktu (time). Namun fakta ini juga

A M
berarti jika terjadi perubahan dalam pengelolaan tata ruang-waktu, terjadi pula

AD
transformasi pengorganisasian hidup. Misalnya, berbeda dengan masa lampau,
akibat kemajuan teknologi informasi sebuah berita atau kejadian di kawasan

E N
dunia lain dapat diketahui dalam beberapa saat saja oleh penduduk di belahan

P R
dunia lainnya.
2. Globalisasi sebagai transformasi lingkup cara pandang. Dengan kata lain,
globalisasi menyangkut transformasi cara memandang, berpikir, merasa, dan
mendekati persoalan. Isi dan perasaan kita tidak lagi hanya dipengaruhi oleh
peristiwa yang terjadi dalam lingkup hidup di mana kita berada, tetapi oleh ber-
bagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Demikian pula dalam
hal budaya, ekonomi, politik, hukum, bisnis, dan sebagainya. Dengan kata lain,
pada tataran ini globalisasi menyangkut transformasi isi dan cara merasa serta
memandang persoalan di kalangan masyarakat dunia.
3. Globalisasi sebagai transformasi modus tindakan dan praktik. Pada bagian
ini, globalisasi menunjuk pada proses keterkaitan yang makin erat semua aspek
kehidupan pada skala mondial. Gejala yang muncul dari interaksi yang makin
intensif dapat dilihat dalam dunia perdagangan, media, budaya, transportasi,
teknologi, informasi, dan sebagainya.

68
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

Dengan demikian, peningkatan saling keterkaitan antara seseorang atau satu


bangsa dengan bangsa lainnya telah menggiring dunia ke arah pembentukan se-
buah perkampungan global (global village). Perkampungan global merupakan
kenyataan sosial yang saling terpisah secara fisik tetapi saling berhubungan dan
memengaruhi secara nonfisik. Harga minyak bumi di pasaran dunia, misalnya,
akan memengaruhi harga bahan bakar minyak Indonesia, fluktuasi harga tomat
di Eropa akan berdampak pada harga tomat di pasar tradisional di Indonesia. Hal
serupa terjadi pula dalam bidang sosial, politik, dan kebudayaan.
Terdapat banyak faktor yang mendorong terjadinya globalisasi antara lain per­
tumbuhan kapitalisme, maraknya inovasi teknologi komunikasi dan informasi
serta diciptakannya regulasi-regulasi yang meningkatkan persaingan dalam skala
besar dan luas seperti hak cipta, standardisasi teknis dan prosedural dalam produk
dan sistem produksi serta penghapusan hambatan perdagangan.

U P
Gelombang globalisasi yang tidak mungkin dihindari oleh semua bangsa di
O
GR
dunia sangat berkaitan dengan ketahanan nasional masing-masing bangsa terse-
but. Ketahanan nasional Indonesia yang pada hakikatnya sebagai suatu kondisi

A
dinamis bangsa dalam menghadapi dan mengatasi ancaman, gangguan, hambatan
I
ED
dan tantangan (AGHT) dari luar maupun dari dalam yang dapat membahayakan
integritas, identitas, kelangsungan hidup sebagai bangsa dan negara, dapat men-

M
jadi rujukan bersama dalam menangkal hal-hal negatif dan mengambil manfaat
A
D
sebesar-besarnya dari globalisasi. Dalam konteks ini, globalisasi tidak harus dibenci

N A
dan dijauhi, tetapi harus digali manfaatnya untuk kesejahteraan bersama, dan pada
saat yang sama diminimalisasi mudaratnya. Sikap optimis dan waspada terhadap

R E
peluang dan tantangan yang ditimbulkan oleh globalisasi dapat direspons dengan

P
komitmen dan kebijakan pemerintah sebagai berikut:
1. Bidang politik:
a. Demokrasi menjadi sistem politik di Indonesia yang berintikan kebebasan
mengemukakan pendapat.
b. Politik luar negeri yang bebas aktif.
c. Melaksanakan sistem pemerintahan yang baik (good governance) dengan
prinsip partisipasi, transparasi, rule of law, responsif, efektif, dan efisien.
2. Bidang ekonomi:
a. Menjaga kestabilan ekonomi makro dengan menstabilkan nilai tukar ru-
piah dan suku bunga.
b. Menyediakan lembaga-lembaga ekonomi yang modern (perbankan, pasar
modal, dan lain-lain).
c. Mengeksploitasi sumber daya alam secara proporsional.

69
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

3. Bidang sosial-budaya:
a. Meningkatkan sumber daya manusia, yaitu kompetensi dan komitmen
melalui demokratisasi pendidikan.
b. Penguasaan ilmu dan teknologi serta mengaplikasikannya dalam kehidup-
an masyarakat.
c. Menyusun kode etik profesi yang sesuai dengan karakter dan budaya bang-
sa, namun sejalan dengan prinsip dan nilai universal.

E. MULTIKULTURALISME: ANTARA NASIONALISME DAN GLOBALISME


Satu di antara isu penting yang bersifat global adalah munculnya ide dan prak-
tik multikulturalisme, yaitu suatu gagasan kesediaan untuk hidup berdampingan
dengan orang atau kelompok lain yang berbeda secara damai. Sebuah gagasan yang

U P
lahir dari wacana global tentang pluralisme dan harmoni, keberagaman dalam ke-
serasian dan kedamaian, sekaligus sebagai sebuah kritik tajam bagi mereka yang
O
GR
masih bersikap diskriminatif terhadap kelompok marginal, minoritas, miskin, dan
kaum perempuan. Menurut Farida Hanum, secara sederhana multikulturalisme

A
adalah sebuah pengakuan atas pluralisme budaya. Pluralisme bukanlah sesuatu
I
ED
yang statis atau ada begitu saja (taken for granted), tetapi ia terbentuk akibat proses
dinamis dari pertemuan antarnilai-nilai yang ada pada sebuah komunitas.

M
Multikulturalisme memberi penegasan seseorang atau kelompok bahwa segala
A
D
perbedaan diakui dan dipandang sama di dalam ruang publik. Multikulturalisme

N A
menjadi semacam respons kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain,
adanya komunitas yang berbeda saja tidak cukup, karena yang terpenting adalah

R E
komunitas tersebut diperlakukan sama oleh warga negara maupun negara.

1. P Multikulturalisme
Pengertian
Multikulturalisme (multiculturalism) atau budaya plural (cultural pluralism)
adalah sebuah kebijakan atau realitas yang menekankan pada keunikan karakteris-
tik dari keragaman budaya di dunia, terutama pada kalangan imigran yang ada di
suatu negara. Istilah Multikulturalisme pertama kali digunakan pada 1957 untuk
menggambarkan fenomena keragaman budaya imigran di negara Swiss. Kemudian
konsep ini digunakan di Kanada pada tahun 1960-an sebelum akhirnya menyebar
di negara-negara berbahasa Inggris. Menurut the Columbia Electronic Encyclopedia,
Multikulturalisme adalah sebuah istilah yang menjelaskan koeksistensi dari berma-
cam budaya pada suatu tempat, tanpa adanya satu budaya yang mendominasi. De-
ngan menjadikan sejauh mungkin tingkat perbedaan manusia dapat diterima oleh
sebanyak mungkin jumlah penduduk, multikulturalisme sebenarnya ingin mencari

70
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

solusi atas perilaku dan tindakan rasial dan diskriminasi. Dengan kata lain, istilah
multikulturalisme tidak lain sebagai sebuah konsep pengakuan (recognition) suatu
entitas budaya dominan terhadap keberadaan budaya-budaya yang lain.
Namun demikian, terdapat beberapa istilah yang secara konseptual tampak
mirip dengan terminologi multikulturalisme meski dalam beberapa hal berbeda.
Misalnya pluralisme, diversitas, heterogenitas, atau yang sering disebut dengan is-
tilah “masyarakat majemuk.” Masyarakat majemuk (plural society) berbeda dengan
keragaman budaya atau multikulturalisme (plural culture). Masyarakat majemuk
lebih menekankan soal etnisitas atau suku yang pada gilirannya membangkitkan
gerakan etnosentrisme dan etnonasionalisme. Sifatnya sangat askriptif dan primor-
dial. Bahaya chauvinism (merasa paling baik dari yang lain) sangat potensial tum-
buh dan berkembang dalam masyarakat model ini. Karena wataknya yang sangat

U P
mengagungkan ciri stereotip kesukuan, maka anggota masyarakat ini memandang
kelompok lain dengan cara pandang mereka yang rasial dan primordial. Model ma-
O
GR
syarakat ini sangat rentan dengan konflik. Dengan kata lain, konflik yang mereka
miliki dapat terjadi setiap saat.

A
Berbeda dengan konsep dan perspektif masyarakat majemuk, konsep multi-
I
ED
kulturalisme sangat menjunjung perbedaan budaya bahkan menjaganya agar tetap
hidup dan berkembang secara alamiah dan dinamis. Lebih dari sekadar memelihara

M
dan meng­ambil manfaat dari perbedaan, perspektif multikulturalisme memandang
A
D
hakikat kemanusiaan sebagai sesuatu yang universal, bahwa manusia adalah sama.

N A
Bagi masyarakat multikultural perbedaan merupakan sebuah kesempatan untuk
memanifestasikan hakikat sosial manusia dengan dialog dan komunikasi. Multi-

R E
kulturalisme sangat mementingkan dialektika yang kreatif.

P
Karakter masyarakat multikultural adalah to-
leran. Mereka hidup dalam semangat peaceful co-
Berbeda dengan konsep
existence, hidup berdampingan secara damai. Se-
dan perspektif masyarakat
tiap entitas sosial dan budaya tetap membawa jati majemuk, konsep
dirinya, tidak terlebur kemudian hilang, namun multikultural­isme sangat
juga tidak diperlihatkan sebagai kebanggaan me- menjunjung perbedaan
lebihi penghargaan terhadap entitas lain. Dalam bahkan menjaganya agar
tetap hidup dan ber­
perspektif multikulturalisme, baik individu mau- kembang secara dinamis.
pun kelompok dari berbagai etnik dan budaya, Perspektif multikulturalisme
hidup dalam suasana kohesi sosial yang dinamis memandang hakikat
tanpa kehilangan identitas etnik dan kultur mer- kemanu­ siaan sebagai
sesuatu yang universal,
eka. Sekalipun mere­ka hidup bersatu dalam ranah
manusia adalah sama.
sosial, tetapi antar-entitas tetap ada jarak. Prinsip

71
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

“aku dapat bersatu dengan engkau, tetapi antara kita berdua tetap ada jarak” sa-
ngat kuat dalam masyarakat multikultural. “Aku hanya bisa menjadi aku dalam arti
sepenuhnya dengan ‘menjadi’ satu dengan engkau, namun tetap saja antara aku
dan engkau ada jarak,” merupakan prinsip lain pada masyarakat multikultur. Untuk
menjaga jarak sosial tersebut tetap kondusif diperlukan jalinan komunikasi, dialog,
dan toleransi yang kreatif.

2. Multikulturalisme Indonesia
Meskipun istilah “multikulturalisme” tidak terdapat dalam kosakata sejarah ke-
bangsaan dan budaya Indonesia, substansi multikulturalisme sangat lekat dengan
proses perjalanan bangsa Indonesia yang memiliki kemajemukan dalam banyak
hal. Dalam perjalanan sejarah nasionalisme Indonesia terdapat beberapa tahap
yang sudah dan sedang dilalui bangsa Indonesia. Bahkan fenomena multikultural

U P
ini sudah menjadi salah satu dari nilai-nilai konsensus dasar bangsa Indonesia. Ni-
O
lai pluralis dan multikultur adalah nilai yang dijunjung dan dikembangkan oleh

GR
segenap bangsa Indonesia secara kreatif dengan tujuan membangun keadaban sipil

A
(civility) dan warga negara Indonesia yang inklusif.
I
ED
Tahap-tahap plural dan multikultur yang berkembang di dalam sejarah Indo-
nesia yang dimaksud adalah: Tahap pertama ditandai dengan tumbuhnya perasaan

A M
kebangsaan dan persamaan nasib yang diikuti dengan perlawanan terhadap penja-
jahan, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Nasionalisme re-

AD
ligius dan nasionalisme sekuler muncul bersamaan dengan munculnya gagasan In-

N
donesia merdeka. Upaya dari kelompok nasionalis Islam untuk mendirikan negara
E
R
yang berlandaskan Islam dan kalangan nasionalis sekuler yang ingin memperta-

P
hankan negara sekuler berdasarkan Pancasila dijadikan patokan untuk memahami
kesadaran kebangsaan atau perasaan nasionalisme bangsa.
Tahap kedua adalah bentuk nasionalisme Indonesia yang merupakan kelanjut­
an dari semangat revolusioner pada masa perjuangan kemerdekaan, dengan peran
pemimpin nasional yang lebih besar. Nasionalisme pada era ini mengandaikan ada­
nya ancaman musuh dari luar terus-menerus terhadap kemerdekaan Indonesia.
Tahap ketiga adalah nasionalisme persatuan dan kesatuan. Di era Orde Baru,
misalnya, kelompok oposisi atau mereka yang tidak sejalan dengan pemerintah dis-
ingkirkan karena dianggap akan mengancam persatuan dan stabilitas. Perbedaan
diredam agar secara nyata tampak sama, sehingga segala perbedaan ditutupi dan
disembunyi­kan. Terhadap luar negeri, nasionalisme berarti kedaulatan, integritas,
dan identi­tas bangsa. Tetapi untuk bangsa, tekanan terhadap kedaulatan sama ar-
ti­­nya denga­n mengekang hak asasi manusia dan demokrasi. Nilai-nilai Pancasila

72
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

ditekankan dalam segala bidang, dan nilai-nilai


di luar Pancasila dianggap sebagai ancaman dan Prinsip kebinekaan yang
terdapat pada falsafah negara
perusak bangsa.
Pancasila memberikan ruang
Tahap keempat adalah nasionalisme kos- dinamis bagi muncul dan
mopolitan. Dengan bergabungnya Indonesia berkembangnya masyarakat
dalam sistem internasional, nasionalisme In- multikultur Indonesia, di
mana keragaman budaya dan
donesia yang dibangun adalah nasionalisme
pandangan manusia Indonesia
kosmopolitan yang menandaskan bahwa Indo- dapat bersanding secara kreatif
nesia sebagai bangsa tidak dapat menghindari dan dinamis dengan nilai-nilai
dari bangsa lain, namun dengan tetap memiliki budaya dan gagasan global:
nasionalisme kultural keindonesiaan dengan kemanusiaan, persamaan,
keadilan, dan sebagainya.
memberikan kesempatan kepada aktor-aktor
di daerah secara langsung untuk menjadi aktor

U P
kosmopolit. Dalam konteks dan kecenderungan global ini, semakin banyak orang
O
GR
membayangkan menjadi warga dunia (world citizen) dan terikat pada nilai-nilai
kemanusiaan universal. Karena itulah nilai-nilai dan semangat generasi baru pro-

A
duk modernisasi dan globalisasi sekarang tidak dapat dipahami dalam pengertian
I
ED
nasionalisme lama, yaitu cinta dan pembelaan kepada Tanah Air secara total bah-
kan membabi buta. Nilai-nilai, semangat, dan patriotisme mereka mestinya dile-

M
takkan dalam semangat pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan
A
D
yang sudah menjadi wacana masyarakat dunia.

N A
Nasionalisme kosmopolitan yang menjadikan Indonesia sebagai bagian ma-
syarakat dunia secara otomatis menjadikan bangsa Indonesia terbuka bagi gagasan

R E
multikulturalisme. Prinsip kebhinekaan yang terdapat pada falsafah negara Panca-

P
sila memberikan ruang dinamis bagi muncul dan berkembangnya masyarakat mul-
tikultur Indonesia, di mana keragaman budaya dan pandangan manusia Indonesia
dapat bersanding secara kreatif dan dinamis dengan nilai-nilai budaya dan gagasan
global: kemanusiaan, persamaan, keadilan, dan sebagainya.

F. PANCASILA DAN MULTIKULTURALISME


Terdapat lima hal penting dalam melihat hubungan antara Pancasila dan mul-
tikulturalisme di Indonesia. Pertama, multikulturalisme adalah pandangan kebu-
dayaan yang berorientasi praktis, yakni yang menekankan perwujudan ide men-
jadi tindakan. Ciri inilah yang memberikan kata sambung dengan Pancasila yang
seyogianya dipandang sebagai cita-cita. Multikulturalisme menghendaki proses
belajar mengenai perbedaan kebudayaan yang dimulai dari sikap dan interaksi an-
tar-kebudayaan. Interaksi ini semakin penting apabila aneka kebudayaan hidup se-

73
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

makin berdekatan. Dengan kata lain, multikulturalisme dapat juga disebut sebagai
penerjemahan Pancasila ke dalam konteks yang lebih konkret dan praktis. Sesanti
Bhinneka Tunggal Ika memberikan landasan dan peluang bagi aktualisasi prinsip-
prinsip multikulturalisme di Indonesia.
Kedua, multikulturalisme harus menjadi strategi budaya masa depan Indone-
sia, yang dicanangkan dalam program pendidikan sebagai langkah awalnya. Dalam
proses pendidikan, prinsip-prinsip belajar sambil melakukan dan berempati (learn-
ing by doing) dalam perbedaan yang berorientasi tidak semata penguasaan peserta
didik terhadap pengetahuan (kognitif) harus menjadi penekanan utama dunia pen-
didikan nasional. Pendekatan ini akan sangat selaras dengan cita-cita bangun­an
nasionalisme kosmopolit yang bersinergi dengan prinsip-prinsip masyarakat mul-
tikulral Indonesia.

U P
Ketiga, menjadikan multikulturalisme sebagai perwujudan nilai-nilai Pancasila
dengan menjadikan unsur kebudayaan tidak sebatas sebagai hal yang bersifat parti-
O
GR
kular. Sebaliknya, kebudayaan dipandang sebagai suatu faktor penting bahkan uta-
ma dalam membangun karakter bangsa, karena proses integrasi bangsa bertumpu

A
pada masalah-masalah kebudayaan.
I
ED
Keempat, kalau multikulturalisme didefinisikan sebagai “sejumlah kebudayaan
yang hidup berdampingan, dan seyogianya mengembangkan cara pandang yang

M
mengakui dan menghargai keberadaan kebudayaan satu sama lain,” maka secara
A
D
empiris dapat dipertanyakan apakah kriteria “saling menghargai” itu ada dalam ma-

N A
syarakat yang bersangkutan. Dalam konteks empiris ini ditemukan bahwa Pancasila
tampaknya kurang operasional untuk menjelaskan batas-batas kebudayaan. Akan

R E
tetapi, jika memosisikan Pancasila sebagai cita-cita, maka persoalan metodolo­gis

P
tersebut tidak akan mempersulit posisi Pancasila.
Kelima, perubahan dari cara berpikir pluralisme ke multikulturalisme dalam
memandang Pancasila adalah perubahan kebudayaan yang menyangkut nilai-nilai
dasar yang tidak mudah diwujudkan. Diperlukan dua persyaratan: (1) kita harus
memiliki pemahaman yang mendalam mengenai model multikulturalisme yang
sesuai dengan kondisi Indonesia; (2) kebijakan itu harus berjangka panjang, kon-
sisten, dan membutuhkan kondisi politik yang mendukung.
Konsep masyarakat multikultur tampaknya relevan bagi penegasan kem-
bali identitas nasional bangsa Indonesia yang inklusif dan toleran dengan tetap
meng­akar pada identitasnya yang majemuk sebagaimana terefleksi dalam konsep
dasar negara Pancasila. Dengan demikian, konsep masyarakat multikultural dapat
menjadi wadah pengembangan demokrasi dan masyarakat sipil di Indonesia. Ke-
majemukan bangsa Indonesia dapat menjadi modal sosial (social capital) bagi

74
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

pengembang­an model masyarakat multikultural di Indone­sia. Hal ini dapat diwu-


judkan melalui upaya pendidikan demokrasi yang erat kaitannya dengan konsep
multikultur.
Di balik optimisme dari konsep dan aktualisasi multikulturalimse, konsep ini
juga me­ngan­dung beberapa risiko negatif. Satu di an­taranya adalah peluang mun-
culnya sikap fa­na­­­tisme di masyarakat. Jika hal ini muncul, ma­ka ia akan berpotensi
menjadi ancaman yang akan merontokkan seluruh bangunan kebuda­yaan yang
sudah terbangun pada suatu komunitas. Sebaliknya, demikian tegas Hanum, jika
multikulturalisme dapat dibangun dengan baik, sikap toleran dan salin­g menghar-
gai terhadap kebudayaan orang lain akan muncul dan dapat menjadi unsur perekat
bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Unsur yang sangat dibutuhkan bagi tegaknya
semangat persatuan dalam bingkai NKRI.

U P
Terdapat sejumlah kendala yang harus diantisipasi jika konsep multikultural-
isme hendak dijalankan di Indonesia. Selain kedewasaan masyarakat Indonesia,
O
GR
khususnya kalangan elite, terhadap realitas konflik dan praktik berdemokrasi yang
belum matang, sejumlah faktor di bawah ini hendaknya dijadikan pertimbangan

A
yang dapat memicu problem-problem multikulturalisme. Beberapa faktor, simpul
I
ED
Hanum, seperti keragaman identitas dan budaya daerah, pergeseran kekuasaan
dari pusat ke daerah, lemahnya nasionalisme masyarakat, fanatisme sempit, kon-

M
flik antara kesatuan nasional dan multikultural (seperti gerakan yang bertujuan
A
D
memisahkan diri dari wadah NKRI), kesenjangan kesejahteraan antara kelompok

N
multikultur di Indonesia.A
budaya, dapat menjadi kendala serius bagi upaya-upaya mewujudkan masyarakat

R E
Kendala-kendala ini harus segera diatasi dengan memprogramkan pendidikan

P
multikultural sejak dini di mana peserta didik dibimbing untuk membiasakan diri
dengan lingkungan dan teman sebayanya yang majemuk dari sisi budaya, tradisi,
ras, bahasa, dan agama. Pada saat yang sama peserta didik diajarkan untuk meng-
hormati dan mengakui perbedaan-perbedaan tersebut dan memandangnya sebagai
karunia Tuhan yang diberikan kepada bangsa Indonesia. Semua perbedaan terse-
but harus dijadikan sebagai spirit untuk merajut rasa persatuan, persaudaraan se-
sama anak bangsa.

RANGKUMAN
1. Identitas nasional pada hakikatnya merupakan manifestasi nilai-nilai budaya
yang tumbuh dan berkembang dalam aspek-aspek kehidupan suatu bangsa
dengan ciri-ciri khas yang membedakannya dengan bangsa lain. Proses pem-
bentukan identitas nasional bukan merupakan sesuatu yang sudah selesai,

75
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

tetapi sesuatu yang terbuka dan terus berkembang mengikuti perkembangan


zaman.
2. Identitas nasional Indonesia yang memiliki basis pada model masyarakat mul-
tikultur sangat relevan bagi penegasan kembali identitas nasional bangsa Indo-
nesia yang inklusif dan toleran dengan tetap mengakar pada identitasnya yang
majemuk sebagaimana terefleksi dalam konsep dasar negara Pancasila. Konsep
masyarakat multikultural dapat menjadi wadah pengembangan demokrasi dan
masyarakat sipil serta bisa menjadi modal sosial (social capital) bagi pengem-
bangan model masyarakat multikultural Indonesia dalam bingkai Negara Ke-
satuan Republik Indonesia.
3. Wawasan Nusantara adalah kesamaan persepsi pada segenap komponen bang-
sa Indonesia sebagai dasar bagi terbangunnya rasa dan semangat nasional yang

berbuat dan berprestasi bagi kejayaan negara dan bangsa.


U P
tinggi dalam semua aspek kehidupan nasional, sebagai faktor pendorong untuk

O
GR
4. Ketahanan Nasional adalah sebuah konsep yang bersifat menyeluruh tentang
keselamatan nasional atau kelangsungan hidup bangsa, yang bergantung ke-

A
pada keserasian aspek kehidupan seperti ideologi, politik, ekonomi, di mana
I
ED
masing-masing unsur ini saling terkait dan memengaruhi satu dengan yang
lainnya. Secara umum, ketahanan nasional adalah kondisi dinamis suatu bang-

M
sa dalam menghadapi dan mengatasi ancaman, baik dalam maupun luar neg-
A
D
eri, langsung maupun tidak yang dapat membahayakan integritas, identitas,

N
cita-cita nasionalnya.A
kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan dan

5.
R E
Salah satu isu penting yang mengiringi gelombang demokratisasi adalah mun-

P
culnya wacana multikulturalisme. Multikulturalisme pada intinya adalah ke-
sediaan menerima dan mengakui keberadaan kelompok yang berbeda budaya,
etnik, gender, bahasa, ataupun agama.

LEMBAR KERJA

1. Setujukah Saudara jika sebutan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang ramah,
santun, dan agamais tetap melekat pada bangsa Indonesia?
2. Dapatkah identitas ini terus dipertahankan di tengah masih banyaknya tindak­an
anarkis dan korupsi di kalangan birokrasi dan masyarakat Indonesia?
3. Apa yang harus dilakukan bangsa Indonesia agar dapat menjadi bagian dari ma-
syarakat global tanpa kehilangan identitas nasionalnya?

76
BAB 3 • IDENTITAS NASIONAL & GLOBALISASI

4. Diskusikan faktor-faktor selain yang sudah dibahas pada bab ini yang mampu
meningkatkan Ketahanan Nasional Indonesia?
5. Buatlah sebuah gambar, peta konsep, grafik, atau bentuk lainnya yang meng-
gambarkan saling hubungan antara Wawasan Kebangsaan, Wawasan Nusantara,
Ketahanan Nasional dan Globalisasi?
6. Konsep masyarakat multikultural dianggap paling cocok untuk Indonesia yang
majemuk. Diskusikan faktor-faktor apa saja yang mendukung dan menghambat
untuk mewujudkan Indonesia yang multikultural?

U P
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P

77
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
DEMOKRASI: TEORI DAN PRAKTIK

D
emokrasi telah menjadi bagian penting da­lam perkem-
bangan peradaban global. Awal 1950-an, UNESCO me-
nyimpulkan bahwa hampir semua negara di dunia telah
menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental, meski per-
bedaan porsi pembagian peran negara dan masyarakat tidak se-
ragam pada tiap negara. Demokrasi yang lahir dari tradisi politik
Barat telah menjadi gerakan yang bersifat global. Hampir dapat
dipastikan tidak ada satu negara pun di dunia ini yang sepi dari
tuntutan demokrasi. Sekalipun penerapan demokrasi tidak sera-
gam pada masing-masing negara, demokrasi telah menjadi me-
U P
O
GR
dia masyarakat dunia untuk mengekspresikan kebebasan individu
dan hak-­haknya sebagai warga negara. Demokrasi sebagai cara,

A
demokrasi sebagai tujuan, dan demokrasi sebagai nilai dan etika
I Bab
ED
publik adalah tahapan-tahapan dalam kehidupan politik dan sosia­l
yang masih mendominasi wacana demokrasi di negara-negara

M
4
baru demokrasi, salah satunya Indonesia.

D A
Indonesia memiliki akar dan sejarah demokrasi yang tentu ber-

N A
beda dengan negara-negara lain, sehingga di akhir pembahasan,
peserta didik diharapkan mampu:

R E
ƒƒ Menjelaskan hakikat demokrasi.
P
ƒƒ Menguraikan makna demokrasi sebagai sistem yang dijadikan
pegangan bersama dalam berbangsa, dan bernegara.
ƒƒ Memaparkan sejarah perkembangan demokrasi di Barat dan di
Indonesia.
ƒƒ Menjabarkan unsur-unsur penunjang tegaknya demokrasi.
ƒƒ Mengkritisi parameter tatanan kehidupan yang demokratis.
ƒƒ Menjelaskan peran penting partai politik dan Pemilu dalam
sistem demokrasi.
ƒƒ Menguraikan wacara hubungan agama dan demokrasi.
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

4
Demokrasi: Teori dan Praktik

U P
SEJAK Orde Baru lengser pada 1998 demokrasi telah menjadi kosakata paling
banyak diucapkan. Ia telah menjadi kata kunci penting yang identik dengan per­
O
GR
juangan gerakan reformasi yang digulirkan oleh para tokoh reformasi dan kalang­an
mahasiswa. Tak ada reformasi tanpa demokrasi. Demikian sebaliknya, tak ada de-

A
mokrasi tanpa reformasi. Dua kata ini laksana dua sisi dari satu keping mata uang.
I
ED
Secara etimologis, kata demokrasi (dari bahasa Yunani) merupakan bentukan
dari dua kata demos (rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan).

M
Per­paduan kata demos dan cratein atau cratos membentuk kata demokrasi yang me­
A
D
miliki pengertian umum sebagai sebuah bentuk pemerintahan rakyat (government

N A
of the people) di mana kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan
secara langsung oleh rakyat atau melalui para wakil mereka melalui mekanisme

R E
pemilihan yang berlangsung secara bebas. Secara substansial, demokrasi adalah—

P
seperti yang pernah dikatakan oleh Abraham Lincoln—suatu pemerintahan dari,
oleh, dan untuk rakyat.
Karena slogannya yang mengatasnamakan rakyat, kata demokrasi menjadi kata
yang paling diminati oleh siapa pun yang berada atau sedang bertarung menuju
kekuasaan. Tidak jarang kata ini disalahartikan bahkan disalahgunakan oleh para
pemimpin pemerintahan yang paling otoriter sekalipun. Slogan demokrasi acap
kali dijadikan alat untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat, tanpa di-
jalankan praktiknya secara nyata.

A. APA ITU DEMOKRASI


Demokrasi telah mewarnai perubahan sejarah perjuangan kebebasan umat ma-
nusia: dari masa negarawan Pericles di Kota Athena hingga Presiden Vaclav Havel
di era Modern Chekoslovakia; dari deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat oleh

81
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Thomas Jefferson di tahun 1776 hingga pidato terakhir pemimpin Rusia Andrei
Sakharov pada 1989. Dalam sejarahnya, demokrasi sering bersanding dengan ke-
bebasan (freedom). Namun demikian, demokrasi dan kebebasan tidaklah identik:
demokrasi meru­pakan sebuah kumpulan ide dan prinsip tentang kebebasan, bah-
kan juga me­ngandung sejumlah praktik dan prosedur menggapai kebebasan yang
terbentuk melalui perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Secara singkat, de-
mokrasi merupakan bentuk institusionalisasi dari kebebasan (institutionalization of
freedom). Bersandar pada argumen ini, untuk melihat apakah suatu pemerintahan
dapat dikatakan demokratis atau tidak terletak pada sejauh mana pemerintahan
tersebut berjalan pada prinsip-prinsip: konstitusi, hak asasi manusia, dan persama-
an war­ga negara di hadapan hukum.
Sejalan dengan perkembangan kehidupan bernegara di berbagai dunia, kata
demokrasi turut mengalami perluasan makna. Joseph A. Schmitter mendefinisi-

U P
kan demokrasi sebagai suatu perencanaan institusional dalam mencapai keputus­an
O
GR
politik di mana setiap individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara
perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Sidney Hook menjelaskan demokra­si

A
sebagai bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusannya yang penting se-
I
ED
cara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari warga negara dewasa. Dalam pengertian yang lebih

M
luas, Philipp C. Schmitter mendefinisikan de­mokrasi sebagai suatu sistem peme-
A
D
rintahan di mana pemerintah dimintai tang­gung jawab atas tindakan-­tindakannya

N A
di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui
kompetisi dan kerja sama dengan wakil-­wakil mereka yang telah terpilih. Ham-

R E
pir senada dengan pandangan ini adalah pengertian demokrasi yang digambarkan

P
oleh Henry B. Mayo, bahwa demokrasi adalah sistem politik yang menunjukkan
bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil­-wakil rakyat
yang diawasi secara efek­tif oleh rakyat dalam pemilihan­-pemilihan berkala yang di-
dasarkan atas prinsip-­prinsip politik dan diselenggarakan dalam suasana terjamin-
nya kebebasan politik.
Dari beberapa pendapat ahli tentang demokrasi tersebut, dapat disimpulkan
bahwa hakikat demokrasi adalah sebuah proses bernegara yang bertumpu pada
peran utama rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan. Dengan kata lain,
pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang meliputi tiga hal mendasar:
pemerintahan dari rakyat (government of the people), pemerintahan oleh rakyat
(government by the people), dan pemerintahan untuk rakyat (government for the
people). Implementasi ketiga prinsip demokrasi ini dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian

82
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah pemerintahan yang menda­pat


pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui mekanisme demokra­si,
pemilihan umum. Pengakuan dan dukungan rakyat bagi suatu pemerin­tahan
sangatlah penting, karena dengan legitimasi politik tersebut pemerintah dapat
menjalankan roda birokrasi dan program-­programnya sebagai wujud dari
ama­nat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.
2. Pemerintahan oleh rakyat (government by the people) memiliki pengertian bah-
wa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan
atas dorongan pribadi elite negara atau elite birokrasi. Selain penger­tian ini, un-
sur kedua ini mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaan-
nya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat (social control). Pengawasan
dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak lang­sung melalui

U P
para wakilnya di parlemen. Dengan adanya pengawasan para wakil rakyat di
parlemen ambisi otoritarianisme dari para penyelenggara ne­gara dapat di-
hindari.
O
GR
3. Pemerintahan untuk rakyat (government for the people) mengandung penger­
tian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus di-
I A
jalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat umum harus dija­dikan

ED
landasan utama kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis.

M
Demi terciptanya proses demokrasi setelah terbentuknya sebuah pemerintah­an
A
AD
demokratis lewat mekanisme Pemilu demokratis, negara berkewajiban untuk mem-
buka saluran­-saluran demokrasi. Selain saluran demokrasi formal lewat DPR dan

E N
partai politik, pemerintah yang de­mokratis berkewajiban menyediakan dan menja-

R
ga saluran­-saluran demokrasi nonformal bisa

P
berupa penyediaan fasilitas umum atau ruang
tidaklah
Perkembangan demokrasi
berhenti sebatas sebagai
publik (public sphere) sebagai sarana interaksi
cara dan tujuan semata untuk
sosial, seperti stasiun radio dan televisi, taman, mencapai kekuasaan publik,
dan lain­-lain. Saluran nonformal itu penting demokrasi harus bermuara
untuk mendapat masukan dan kritik dari war- pada menjadikannya sebagai
ga negara dalam rangka terjadinya kontrol ter- acuan nilai dan etika publik.
Pada tahapan inilah demokrasi
hadap jalannya pemerintahan. Sarana publik
dapat dikatakan telah mencapai
ini dapat digunakan oleh semua warga negara tahap substansialnya, yakni pada
untuk menyalurkan pendapatnya secara be- saat nilai dan etika demokrasi
bas dan aman. Rasa aman dalam me­nyalurkan tersebut telah terinternalisasi
pendapat dan sikap harus dijamin oleh negara dalam kehidupan politik dan sosial
masyarakat dan lembaga-lembaga
melalui undang-­undang yang dijalankan oleh
demokrasi.
aparaturnya secara adil.

83
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Hal lainnya yang menunjang kebebasan berekspresi dan berorganisasi adalah


dukungan pemerintah terhadap kebebasan pers yang bertanggung jawab. Pers be­
bas bertanggung jawab adalah sistem pers dengan iklim pemberitaan yang objektif
dan seimbang dan tersedianya jalur dan mekanisme hukum bagi siapa saja yang
merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan surat kabar atau media elektronik.

B. NORMA DAN PILAR DEMOKRASI


Demokrasi tidak datang dengan tiba-­tiba dari langit. Ia merupakan proses
panjang melalui pembiasaan, pembelajaran, dan pengamalan. Untuk tujuan ini
dukungan sosial dan lingkungan demokratis adalah mutlak dibutuhkan. Keber­
hasilan demokrasi ditunjukkan oleh sejauh mana demokrasi sebagai prinsip dan
acuan hidup bersama antar-warga negara dan antara warga negara dengan negara
dijalankan dan dipatuhi oleh kedua belah pihak. Dengan kata lain, menjadi de-
U
mokratis membutuhkan norma dan rujukan praktis serta teoretis dari masyarakat
P
O
GR
yang telah maju dalam berdemokrasi. Menurut cendekiawan muslim, Nurcholish
Madjid, pandangan hidup demokratis dapat bersandar pada bahan­-bahan yang

I A
telah berkembang, baik secara teoretis maupun pengalaman praktis di negara-­

ED
negara yang demokrasinya sudah mapan. Setidaknya ada enam norma atau unsur
pokok yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat yang demokra­tis. Keenam norma
tersebut adalah:
A M
D
Pertama, kesadaran akan pluralisme tidak sekadar pengakuan pasif akan ke-

A
nyataan masyarakat yang majemuk melainkan juga kesadaran atas kemajemu-
N
E
kan yang menghendaki tanggapan dan sikap positif terhadap kemaje­mukan itu

P R
sendiri secara aktif. Pengakuan akan kenyataan perbedaan merupakan bagian
dari kewajiban warga negara dan negara yang harus diwu­judkan dalam sikap dan
perilaku menghargai serta mengakomodasi beragam pan­dangan dan sikap orang
atau kelompok lain juga menjaga dan melindungi hak orang lain untuk diakui ke-
beradaannya. Jika norma ini dijalankan secara sadar dan konsekuen diharapkan
dapat mencegah munculnya sikap dan pandangan hegemoni mayoritas dan tirani
mi­noritas. Dalam konteks Indonesia, kenyataan alamiah kemajemukan Indonesia
bisa dijadikan seba­gai modal dasar bagi masa depan demokrasi Indonesia.
Kedua, kesadaran untuk bermusyawarah; makna dan semangat musyawarah
ialah mengharuskan adanya keinsafan dan kedewasaan warga negara untuk secara
tulus menerima ke­mungkinan untuk melakukan negosiasi dan kompromi­sosial
dan po­litik secara damai dan bebas dalam setiap keputusan bersama. Semangat
musya­warah menuntut agar setiap orang menerima kemungkinan terjadinya par-
tial functioning of ideals, yaitu pandangan dasar bahwa belum tentu, dan tak harus,

84
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau kelompok diterima dan dilak­sanakan
sepenuhnya. Konsekuensi dari prinsip ini adalah kesediaan setiap orang maupun
kelompok untuk menerima pandangan yang berbeda dari orang atau kelompok
lain dalam bentuk-­bentuk kompromi melalui jalan musyawarah yang berjalan se-
cara seimbang dan aman.
Ketiga, cara haruslah sejalan dengan tujuan. Norma ini menekankan bahwa
hidup demokratis mewajibkan adanya keyakinan bahwa cara haruslah sejalan de­
ngan tujuan. Dengan ungkapan lain, demokrasi pada hakikatnya tidak hanya se­
batas pelaksanaan prosedur-­prosedur demokrasi (Pemilu, suksesi kepemimpinan,
dan aturan mainnya), tetapi harus dilakukan secara santun dan beradab, yakni me-
lalui proses demokrasi yang dilakukan tanpa paksaan, tekanan, dan ancaman dari,
dan, oleh siapa pun, tetapi dilakukan secara sukarela, dialogis, dan saling me­ng­

U P
untungkan. Unsur-­unsur inilah yang melahirkan demokrasi yang substansial.
Keempat, norma kejujuran dalam pemufakatan. Suasana masyarakat demo­
O
GR
kratis dituntut untuk menguasai dan menjalankan seni permusyawaratan yang ju-
jur dan sehat untuk mencapai kesepakatan yang memberi keuntungan semua pi-

A
hak. Karena itu, faktor ketulusan dalam usaha bersama mewujudkan tatanan sosial
I
ED
yang baik untuk semua warga negara merupakan hal yang sangat penting dalam
membangun tradisi demokrasi. Prinsip ini erat kaitannya dengan paham musya­

M
warah seperti telah dikemukakan sebelumnya. Musyawarah yang benar dan baik
A
D
hanya akan berlangsung jika masing­-masing pribadi atau kelompok memiliki pan-

N A
dangan positif terhadap perbedaan pendapat dan orang lain.
Kelima, kebebasan nurani, persamaan hak, dan kewajiban. Pengakuan akan ke-

R E
bebasan nurani (freedom of conscience), persamaan hak dan kewajiban bagi semua

P
(egalitarianisme) merupakan norma demokrasi yang harus diintegrasikan dengan
sikap percaya pada iktikad baik orang dan kelompok lain (trust attitude). Norma ini
akan berkembang dengan baik jika ditopang oleh pandangan positif dan optimis
terhadap manusia. Sebaliknya, pandangan negatif dan pesimis ter­hadap manusia
dengan mudah akan melahirkan sikap dan perilaku curiga dan tidak percaya ke-
pada orang lain. Sikap dan perilaku ini akan sangat berpotensi melahirkan sikap
enggan untuk saling terbuka, saling berbagi untuk kemaslahatan bersama atau un-
tuk melakukan kompromi dengan pihak­-pihak yang berbeda.
Keenam, trial and error (percobaan dan salah) dalam berdemokrasi. Demokra­
si bukanlah sesuatu yang telah selesai dan siap saji, tetapi ia merupakan sebuah
proses tanpa henti. Dalam kerangka ini, demokrasi membutuhkan percobaan-­per­
cobaan dan kesediaan semua pihak untuk menerima kemungkinan ketidaktepatan
atau kesalahan dalam praktik berdemokrasi.

85
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Dalam praktik pemerintahan yang dibangun berdasarkan prinsip demokrasi,


terdapat beberapa pilar-­pilar demokrasi sebagai indikator umum sebuah peme­
rintahan demokrasi konstitusional. Pakar politik J. Kristiadi menyebutkan sepu­
luh pilar demokrasi sebagai berikut: (1) kedaulatan rakyat; (2) pemerintahan ber­
dasarkan persetujuan yang diperintah; (3) kekuasaan mayoritas (hasil Pemilu); (4)
jaminan hak­-hak minoritas; (5) jaminan hak-­hak asasi manusia; (6) persamaan
di depan hukum; (7) proses hukum yang berkeadilan; (8) pembatasan kekuasaan
pemerintah melalui konstitusi; (9) pluralisme sosial, ekonomi, dan politik; dan (10)
dikembangkannya nilai­-nilai toleransi, pragmatisme, kerja sama, dan mufakat.
Dalam pelaksanaan norma dan pilar demokrasi tersebut peran negara dan par-
tisipasi masyarakat mutlak dibutuhkan. Sebagai negara yang masih tergolong baru
dalam pengalaman berdemokrasi, kesabaran semua pihak untuk melewati pro­ses-­
proses demokrasi akan sangat menentukan kematangan demokrasi Indonesia di

U P
masa yang akan datang. Bagaimanapun juga demokrasi sebagai sebuah sistem poli-
O
GR
tik telah dinilai oleh para ahli sebagai sistem yang paling baik dari sistem-sistem
politik yang pernah ada di dunia. Di Indonesia sendiri, kehidupan demokrasi

A
merupakan agenda pokok dan strategis yang diusung oleh gerakan reformasi 1998,
I
ED
meski masih prematur, demokrasi terbukti telah banyak menghasilkan hal-hal
positif bagi Indonesia yang majemuk.

M
Namun demikian, pelaksanaan kehidupan politik dan sosial yang demokratis
A
D
tidak bisa dilepaskan dari peran penting pemerintah, warga negara dan wakil me-

N A
reka di parlemen. Negara atau pemerintah harus konsisten menjaga prinsip dan pi-
lar demokrasi agar tetap berjalan. Demiki­an juga warga negara dan organisasi ma-

R E
syarakat sipil lainnya dituntut untuk berperan aktif menjaga kebebasan sipil (civil

P
Itu sebabnya menjadi sangat
liberties) yang bertanggung jawab. Peran orga-
nisasi masyarakat begitu penting tidak hanya
penting, prinsip menjaga
dalam hal menjaga demokrasi dari manipulasi
jaminan mayoritas hasil Pemilu
untuk menghasilkan elite-elite
lembaga nega­ra, tetapi juga ketika demokrasi
terbaik yang mampu menjaga disalah artikan dan disalah gunakan oleh ke-
hak-­hak minoritas yang lompok masyarakat lainnya. Pencedera­an atas
dilindungi oleh konstitusi yang demokrasi dapat dilihat, misalnya melalui pe­
juga harus secara bersama-sama
nyalahgunaan makna mayoritas oleh suatu ke-­
dilakukan oleh negara maupun
komponen masyarakat sipil. Hal lompok masyarakat dengan tujuan memaksa-
ini tidak semata demi tegaknya kan penerapan aturan maupun hukum yang
prinsip­-prinsip demokrasi, tetapi diyakininya terhadap kelompok lain maupun
juga demi tetap terpeliharanya golongan minoritas.
wibawa negara.
Penodaan atas demokrasi dapat pula ter-

86
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

jadi pada level elite politik di lembaga perwakilan rakyat. Itu sebabnya menjadi sa-
ngat penting, prinsip menjaga jaminan mayoritas hasil Pemilu untuk menghasilkan
elite-elite terbaik yang mampu menjaga hak-­hak minoritas yang dilindungi oleh
konstitusi yang juga harus secara bersama-sama dilakukan oleh negara maupun
komponen masyarakat sipil. Hal ini tidak semata demi tegaknya prinsip­-prinsip
demokrasi, tetapi juga demi tetap terpeliharanya wibawa negara.
Keterlibatan warga negara sangatlah pen­ting, utamanya saat negara tidak tegas
atau cenderung membiarkan pelang­garan-pelanggaran atas hak konstitusi warga
negara baik dilakukan oleh pemerintah maupun kelompok warga negara atas ke-
lompok yang lain. Dan, hal yang lebih penting untuk dipegang oleh pemerintah
dan masyarakat sipil adalah komitmen memegang teguh prinsip anti-kekerasan
dan anarki dalam menjaga keberlangsungan norma dan pilar demokrasi.

C. SEKILAS SEJARAH DEMOKRASI


U P
O
GR
Konsep demokrasi lahir dari tradisi pemikiran Yunani tentang hubungan ne­
gara dan hukum, yang dipraktikkan antara abad ke­-6 SM sampai abad ke-­4 M.

I A
Demokrasi yang dipraktikkan pada masa itu berbentuk demokrasi langsung, yaitu

ED
hak rakyat untuk membuat keputusan politik dijalankan secara langsung oleh se­
luruh warga negara berdasarkan prosedur mayoritas. Demokrasi langsung tersebut
M
berjalan secara efektif karena negara kota (city state) Yunani Kuno merupakan se-
A
D
buah kawasan politik yang kecil, sebuah wi­layah dengan jumlah penduduk tidak

A
lebih dari 300.000 orang. Cara berdemokrasi yang unik dari demokrasi Yunani itu
N
E
ternyata hanya dinikmati kalangan tertentu (warga negara res­mi). Se­mentara ma-

P R
syarakat yang berstatus budak, pedagang asing, perempuan, dan anak­-anak tidak
bisa menikmati demokrasi.
Demokrasi Yunani Kuno berakhir pada Abad Pertengahan. Pada masa ini ma­
syarakat Yunani berubah menjadi masyarakat feodal yang ditandai dengan kehidup­
an keagamaan yang terpusat pada Paus dan pejabat agama dengan kehidupan poli-
tik yang diwarnai dengan perebutan kekuasaan di kalangan para bangsawan.
Demokrasi tumbuh kembali di Eropa menjelang akhir Abad Pertengahan,
ditandai oleh lahirnya Magna Charta (Piagam Besar) di Inggris. Magna Charta
adalah suatu piagam yang memuat perjanjian antara kaum bangsawan dan Raja
John. Dalam Magna Charta ditegaskan bahwa raja mengakui dan menjamin be­
berapa hak dan hak khusus bawahannya. Terdapat dua hal yang sangat mendasar
pada Piagam ini: pertama, adanya pembatasan kekuasaan raja; kedua, hak asasi ma-
nusia lebih penting daripada kedaulatan raja.
Momentum lainnya yang menandai kemunculan kembali demokrasi di Eropa

87
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

adalah gerakan pencerahan (renaissance) dan reformasi. Renaissance merupakan


gerakan yang menghidupkan kembali minat pada sastra dan budaya Yunani Kuno.
Sebagian ahli, salah satunya sejarawan Philip K. Hitti, menyatakan bahwa gerakan
pencerahan di Barat merupakan buah dari kontak Eropa dengan dunia Islam yang
ketika itu sedang berada pada puncak kejayaan peradaban dan ilmu pengetahuan.
Para ilmuwan Islam pada masa itu, seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun, al­-Razi, al-
Kindi, Umar Khayam, dan al-­Khawarizmi tidak saja berhasil mengembangkan
penge­tahuan Parsi Kuno dan warisan Yunani Kuno, melainkan berhasil pula men-
jadikan temuan mereka sesuai dengan alam pikiran Yunani. Pemuliaan ilmuwan
Muslim terhadap kemampuan akal ternyata telah berpengaruh pada bangkitnya
kembali tuntutan demokrasi di masyarakat Barat. Dengan ungkapan lain, rasionali-
tas Is­lam memiliki sumbangsih tidak sedikit terhadap kemunculan kembali tradisi
ber­demokrasi di Yunani.
Gerakan reformasi merupakan penyebab lain kembalinya tradisi demokrasi
U P
O
GR
di Barat, setelah sempat tenggelam pada Abad Pertengahan. Gerakan reformasi
adalah gerakan revolusi agama di Eropa pada abad ke­-16. Tujuan dari gerakan ini

A
merupakan gerakan kritis terhadap kebekuan doktrin gereja. Selanjutnya, gerakan
I
ED
reformasi ini dikenal dengan gerakan Protestanisme Amerika. Gerakan ini dimo­
tori oleh Martin Luther King yang menyerukan kebebasan berpikir dan bertindak.

M
Gerakan kritis terhadap kejumudan gereja dan monarki absolut bertumpu pada
A
D
rasionalitas yang berdasar pada hukum alam dan kontrak sosial (natural law dan

N A
social contract). Salah satu asas dalam prinsip hukum alam itu adalah pandangan
bahwa dunia ini dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (natural law) yang

R E
mengandung prinsip­-prinsip keadilan yang universal, berlaku untuk semua waktu

P
dan semua orang, baik raja, bangsawan, maupun rakyat jelata. Unsur universalitas
hukum alam pada akhirnya memengaruhi kehidupan politik di Eropa. Politik ti­dak
lagi berdasarkan kepatuhan absolut dari rakyat kepada raja, tetapi didasarkan pada
perjanjian (social contract) yang mengikat kedua belah pihak.
Lahirnya istilah kontrak sosial antara yang berkuasa dan yang dikuasai tidak
lepas dari dua filsuf Eropa, John Locke (Inggris) dan Montesquieu (Perancis). Pe­
mikiran keduanya telah berpengaruh pada ide dan gagasan pemerintah demokra­
si. Menurut Locke (1632-­1704), hak-­hak politik rakyat mencakup hak atas hidup,
kebebasan dan hak kepemilikan, sedangkan menurut Montesquieu (1689–1744),
sistem pokok yang dapat menjamin hak­-hak politik tersebut adalah melalui prin­sip
trias politica. Trias politica adalah suatu sistem pemisahan kekuasaan dalam negara
menjadi tiga bentuk kekuasaan: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Masing­-masing
dari ketiga unsur ini harus dipegang oleh organ tersendiri secara merdeka.

88
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

Gagasan demokrasi dari kedua filsuf Eropa itu pada akhirnya berpengaruh
pada kelahiran konsep konstitusi demokrasi Barat. Konstitusi demokrasi yang ber­
sandar pada trias politica ini selanjutnya berakibat pada munculnya konsep wel-
fare state (negara kesejahteraan). Konsep negara kesejahteraan yang pada intinya
merupa­kan suatu konsep pemerintahan yang memprioritaskan kinerjanya pada
pening­katan kesejahteraan warga negara.

D. DEMOKRASI INDONESIA
Sejarah demokrasi di Indonesia dapat dibagi ke dalam empat periode: periode
1945­-1959, periode 1959-­1965, periode 1965-­1998, dan periode pasca-Orde Baru.

1. Periode 1945-1959

U P
Demokrasi pada masa ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Parlementer. Sis­
tem parlementer mulai diberlakukan sebulan sesudah kemerdekaan diproklamir-
O
GR
kan. Namun demikian, model demokrasi ini dianggap kurang cocok untuk Indone-
sia. Lemahnya budaya berdemokrasi masyarakat Indonesia untuk mempraktikkan

A
demokrasi model Barat, telah memberi peluang sangat besar kepada partai­-partai
I
ED
politik untuk mendomi­nasi kehidupan sosial­politik.
Ketiadaan budaya demokrasi yang sesuai dengan sistem Demokrasi Parlemen-

M
ter pada akhirnya melahirkan fragmentasi politik berdasarkan afiliasi kesukuan dan
A
D
agama. Pemerintahan yang berbasis pada koalisi politik di masa ini tidak mampu

N A
bertahan lama, koalisi yang dibangun sangat mudah pecah. Hal ini mengakibat-
kan destabilisasi politik nasional yang mengancam integrasi nasional yang tengah

R E
dibangun. Persaingan tidak sehat antara faksi­-faksi politik dan pemberontakan

P
daerah terhadap pemerintah pusat telah mengancam berjalannya demokrasi itu
sendiri.
Faktor-­faktor disintegratif di atas, ditambah dengan kegagalan partai­-partai
dalam Majelis Konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara
untuk undang-­undang dasar baru, mendorong Presiden Soekarno untuk menge­
luarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yang menegaskan berlakunya kembali
Undang­-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, masa demokrasi berdasarkan sis­
tem parlementer berakhir, digantikan oleh Demokrasi Terpimpin (Guided Demo-
cracy) yang memosisikan Presiden Soekarno menjadi pusat kekuasaan negara.

2. Periode 1959-1965
Periode ini dikenal dengan sebutan Demokrasi Terpimpin (Guided Democra-
cy). Ciri-­ciri demokrasi ini adalah dominasi politik presiden dan berkembangnya

89
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

pengaruh komunis dan peranan tentara (ABRI) dalam panggung politik nasional.
Hal ini disebabkan oleh lahirnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sebagai usaha untuk
mencari jalan keluar dari kebuntuan politik melalui pembentukan kepemimpin­
an personal yang kuat. Sekalipun UUD 1945 memberi peluang seorang presiden
untuk memimpin pemerintahan selama lima tahun, ketetapan MPRS No. III/1963
mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Dengan lahirnya kete­
tapan MPRS ini secara otomatis telah membatalkan pembatasan waktu lima tahun
sebagaimana ketetapan UUD 1945.
Kepemimpinan Presiden Soekarno tanpa batas ini terbukti melahirkan tindak-
an dan ke­bijakan yang menyimpang dari ketentuan-­ketentuan Undang-Undang
Dasar 1945. Misalnya, pada tahun 1960 Presiden Soekarno membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan Undang­-
Undang Dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak memiliki

U
wewenang untuk berbuat demikian. Dengan kata lain, sejak diberlakukan Dekrit P
O
GR
Presiden 1959 te­lah terjadi penyimpangan konstitusi oleh Presiden Soekarno.
Dalam pandangan sejarawan Ahmad Syafi’i Ma’arif, Demokrasi Terpimpin se-

A
benarnya ingin menempatkan Presiden Soekarno ibarat seorang ayah dalam se-
I
ED
buah keluarga besar yang bernama Indonesia dengan kekuasaan terpusat berada di
tangannya. Hal tersebut bertentangan dan merupakan kekeliruan yang sangat be-

M
sar bagi implementasi UUD 1945. Demokrasi Terpimpin model Presiden Soekarno
A
D
mengandung pengingkaran terhadap nilai­-nilai demokrasi, yakni lahirnya abso-

N A
lutisme dan terpusatnya kekuasaan pada diri pe­mimpin, dan pada saat yang sama
hilangnya kontrol sosial dan check and balance dari legislatif terhadap eksekutif.

R E
Kondisi ini masih diperburuk dengan peran politik Partai Komunis Indonesia

P
(PKI) yang mendominasi di kehidupan politik Indonesia. Bersandar pada Dekrit
Presiden 5 Juli sebagai sumber hukum, didirikan banyak badan ekstra konstitusio-
nal seperti Front Nasional yang digu­nakan oleh PKI sebagai wadah kegiatan politik.
Front Nasional telah dimanipu­lasi oleh PKI untuk menjadi bagian strategi taktik
komunisme internasional yang menggariskan pembentukan Front Nasional seba­
gai persiapan ke arah terben­tuknya demokrasi rakyat. Strategi politik PKI untuk
mendulang keuntungan dari karisma kepemimpinan Presiden Soekarno dilakukan
dengan cara mendukung pembere­delan pers dan partai politik yang tidak sejalan
dengan kebijakan pemerintahan seperti yang dilakukan Presiden atas Partai Mas-
yumi.
Perilaku politik PKI yang sewenang-wenang ini tentu tidak dibiarkan be­gitu
saja oleh partai politik lainnya dan kalangan militer (TNI), yang pada waktu itu
merupakan salah satu komponen politik penting Presiden Soekarno. Akhir dari

90
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

sistem Demokrasi Terpimpin Soekarno yang berakibat pada perseteruan politik


­ideologis antara PKI dan TNI adalah peristiwa berdarah yang dikenal dengan Ge­
rakan 30 September 1965.

3. Periode 1965-1998
Periode ini merupakan masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde
Ba­runya. Sebutan Orde Baru merupakan kritik terhadap periode sebelumnya, Orde
Lama. Orde Baru, sebagaimana dinyatakan oleh pendukungnya, adalah upaya un­
tuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap Undang-Undang Dasar 1945
yang terjadi dalam masa Demokrasi Terpimpin. Seiring pergantian kepemimpin­an
nasional, Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno telah diganti oleh elite Orde
Baru dengan Demokrasi Pancasila. Beberapa kebijakan pemerintah sebelumnya

U P
yang menetapkan masa jabatan presiden seumur hidup untuk Presiden Soekarno
telah dihapuskan dan diganti dengan pembatasan jabatan presiden lima tahun dan
dapat dipilih kembali melalui proses Pemilu.
O
GR
Demokrasi Pancasila secara garis besar menawarkan tiga komponen demokra­

A
si. Pertama, demokrasi dalam bidang politik pada hakikatnya adalah menegakkan
I
ED
kembali asas-­asas negara hukum dan kepastian hukum. Kedua, demokrasi dalam
bidang ekonomi pada hakikatnya adalah kehidupan yang layak bagi semua warga

A M
negara. Ketiga, demokrasi dalam bidang hukum pada hakikatnya bahwa peng­akuan
dan perlindungan HAM, peradilan yang bebas yang tidak memihak.

AD
Hal yang sangat disayangkan di masa ini adalah alih­-alih pelaksanaan ajaran

N
Pancasila secara murni dan konsekuen, Demokrasi Pancasila yang dikampanyekan
E
R
oleh Orde Baru baru sebatas retorika politik belaka. Dalam praktik kenegaraan dan

P
pemerintahannya, penguasa Orde Baru bertindak jauh dari prinsip­-prinsip de­
mokrasi. Ketidakdemokratisan penguasa Orde Baru ditandai oleh: (1) dominannya
peranan militer (ABRI); (2) birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan
politik; (3) pengebirian peran dan fungsi partai politik; (4) campur tangan pemerin-
tah dalam berbagai urusan partai politik dan publik; (5) politik masa mengambang;
(6) monolitisasi ideologi negara; dan (7) inkorporasi lembaga non-pemerintah.

4. Periode Pasca-Orde Baru


Periode pasca-Orde Baru sering disebut dengan era Reformasi. Periode ini erat
hubungannya dengan gerakan reformasi rakyat yang menuntut pelaksanaan de­
mokrasi dan HAM secara konsekuen. Tuntutan ini ditandai oleh lengsernya Pre­
siden Soeharto dari tampuk kekuasaan Orde Baru pada Mei 1998, setelah lebih dari
tiga puluh tahun berkuasa dengan Demokrasi Pancasilanya. Penyelewengan atas

91
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dasar negara Pancasila oleh penguasa Orde Baru berdampak pada sikap anti­pati
sebagian masyarakat terhadap dasar negara tersebut.
Pengalaman pahit yang menimpa Pancasila, yang pada dasarnya sangat terbu­
ka, inklusif, dan penuh nuansa HAM, berdampak pada keengganan kalangan tokoh
reformasi untuk menambahkan atribut tertentu pada kata demokrasi. Bercermin
pada pengalaman manipulasi atas Pancasila oleh penguasa Orde Baru, demokrasi
yang hendak dikembangkan setelah kejatuhan rezim Orde Baru adalah demokrasi
tanpa nama atau demokrasi tanpa embel­-embel di mana hak rakyat merupakan
komponen inti dalam mekanisme dan pelaksanaan pemerintahan yang demokra­
tis. Wacana demokrasi pasca-Orde Baru erat kaitannya dengan pemberdayaan ma-
syarakat madani (civil society) dan penegakan HAM secara sungguh­-sungguh.

E. UNSUR-UNSUR PENDUKUNG TEGAKNYA DEMOKRASI


Tegaknya demokrasi sebagai sebuah tatanan kehidupan kenegaraan, peme­
U P
O
GR
rintahan, ekonomi, sosial, dan politik sangat bergantung kepada keberadaan dan
peran yang dijalankan oleh unsur-­unsur penopang tegaknya demokrasi itu sen­diri.

I A
Beberapa unsur­-unsur penting penopang tegaknya demokrasi, antara lain: (1) ne-

D
gara hukum; (2) masyarakat sipil; dan (3) aliansi kelompok strategis.

E
1.
M
Negara Hukum (Rechtsstaat atau The Rule of Law)
A
D
Negara hukum (rechtsstaat atau the rule of law) memiliki pengertian bahwa

N A
ne­gara memberikan perlindungan hukum bagi warga negara melalui pelembagaan
peradilan yang bebas dan tidak memihak serta penjaminan hak asasi manusia
E
PR
(HAM). Secara garis besar, negara hukum adalah sebuah negara dengan gabung­an
kedua konsep rechtsstaat dan the rule of law. Konsep rechtsstaat mempunyai ciri­-ciri
sebagai berikut: (1) adanya perlindungan terhadap HAM; (2) adanya pe­misahan
dan pembagian kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin per­lindungan
HAM; (3) pemerintahan berdasarkan peraturan; dan (4) adanya per­adilan admi-
nistrasi. Adapun, the rule of law dicirikan oleh adanya: (1) supremasi aturan­-aturan
hukum; (2) kesamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law); dan (3)
jaminan perlindungan HAM.
Lebih luas dari ciri-­ciri di atas, sebagaimana dinyatakan oleh pakar hukum
tata negara Moh. Mahfud M.D., ciri-­ciri negara hukum sebagai berikut: (1) ada­
nya perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-­hak individu, kon­
stitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh atas hak­-hak
yang dijamin (due process of law); (2) adanya badan kehakiman yang bebas dan
tidak memihak; (3) adanya Pemilu yang bebas; (4) adanya kebebasan menyatakan

92
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

pendapat; (5) adanya kebebasan berserikat dan beroposisi; dan (6) adanya pendi­
dikan kewarganegaraan.
Istilah negara hukum di Indonesia dapat ditemukan dalam penjelasan UUD
1945 yang berbunyi: “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (rechtssta-
at) dan bukan berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).” Penjelasan ini seka-
ligus merupakan gambaran sistem pemerintahan negara Indonesia.

2. Masyarakat Sipil (Civil Society)


Masyarakat sipil atau masyarakat madani (civil society) adalah masyarakat de-
ngan ciri-­cirinya yang terbuka, egaliter, bebas dari dominasi dan tekanan negara.
Masyarakat sipil merupakan elemen yang sangat signifikan dalam membangun de-
mokrasi. Posisi penting masyarakat sipil dalam pembangunan demokrasi adalah

di­lakukan oleh negara atau pemerintah.


U P
ada­nya partisipasi masyarakat dalam proses­-proses pengambilan keputusan yang

O
Masyarakat sipil mensyaratkan adanya keterlibatan warga negara (civic engage-

GR
ment) melalui asosiasi-­asosiasi sosial yang didirikan secara sukarela. Keterlibatan

A
warga negara memungkinkan tumbuhnya sikap terbuka, percaya, dan toleran an-
I
ED
tar-individu dan kelompok yang berbeda. Sikap-­sikap ini sangat penting bagi ba-
ngunan politik demokrasi.

A M
Perwujudan masyarakat sipil secara konkret dilakukan oleh berbagai or­ganisasi­
di luar negara (non-government organizations) atau lembaga swadaya masyarakat

AD
(LSM). Dalam praktiknya, masyarakat sipil dapat men­jalankan peran dan fung-

N
sinya sebagai mitra kerja lembaga-­lembaga
E
R
negara mau­pun melakukan fungsi kontrol Masyarakat madani (civil society)

P
terhadap kebijakan pemerintah. De­ ngan mensyaratkan adanya keterlibatan
warga negara (civic engagement)
demikian, masyarakat sipil (civil society)
melalui asosiasi-­asosiasi sosial yang
sebagaimana negara hukum menjadi sa- didirikan secara sukarela. keterlibatan
ngat penting keberadaannya dalam mewu- warga negara memungkinkan
judkan demokrasi. Masya­rakat sipil dapat tumbuhnya sikap terbuka, percaya,
menjadi tumpuan penyeimbang kekuatan dan toleran antar­individu dan
kelompok yang berbeda. Sikap-­sikap
ne­gara yang memiliki kecenderungan ko-
ini sangat penting bagi bangunan
ruptif. Penjelasan teoretis masyarakat sipil politik demokrasi.
diuraikan pada Bab 11 buku ini.

3. Aliansi Kelompok Strategis


Komponen berikutnya yang dapat mendukung tegaknya demokrasi adalah
ada­nya aliansi kelompok strategis yang terdiri dari partai politik, kelompok ge­rakan

93
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dan kelompok penekan atau kelompok kepentingan termasuk di dalamnya pers


yang bebas dan bertanggung jawab.
Partai politik merupakan struktur kelembagaan politik yang anggota­-anggo­ta-
nya memiliki tujuan yang sama, yaitu memperoleh kekuasaan dan keduduk­an poli-
tik untuk mewujudkan kebijakan­-kebijakan politiknya. Adapun kelompok gerakan
yang diperankan oleh organisasi masyarakat merupakan sekumpulan orang­-orang
yang berhimpun dalam satu wadah organisasi yang berorientasi pada pemberdaya-
an warganya, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persa­tuan Islam
(Persis), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indo-
nesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia (PMKRI), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI),
dan organisasi masyarakat lainnya.
Sejenis dengan kelompok ini adalah kelompok penekan atau kelompok ke­

U P
pentingan (pressure/interest group). Kelompok ketiga ini adalah sekelompok orang
O
GR
dalam sebuah wadah organisasi yang didasarkan pada kriteria keahlian seperti
Ikat­an Dokter Indonesia (IDI), Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia (AIPI), Him­

A
punan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI), Persatuan Guru Republik Indonesia
I
ED
(PGRI), dan sebagainya.
Ketiga jenis kelompok atau asosiasi ini sangat besar peranannya terhadap pro-

M
ses demokratisasi sepanjang organisasi­-organisasi ini memerankan dirinya se­cara
A
D
kritis, independen, dan konstitusional dalam menyuarakan misi organisasi atau

N A
kepentingan organisasinya. Sebaliknya, jika kelompok-­kelompok ini menyu­arakan
aspirasinya secara anarkis, sektarian, dan primordial, maka keberadaan kelompok

R E
ini akan menjadi ancaman serius bagi masa depan demokrasi dan ba­ngunan ma-

P
syarakat sipil.
Hal yang tidak kalah pentingnya bagi tegaknya demokrasi adalah keberadaan
kalangan cendekiawan dan pers bebas. Kaum cendekiawan, kalangan civitas aka­
demika kampus, dan kalangan pers merupakan kelompok penekan yang signifi­kan
untuk mewujudkan sistem demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan ne-
gara. Bersamaan dengan kelompok politik, kedua kelompok dua terakhir ini dapat
saling bekerja sama dengan kelompok lainnya untuk melakukan oposisi terhadap
pemerintah manakala ia berjalan tidak demokratis.

F. PARAMETER TATANAN KEHIDUPAN DEMOKRATIS


Suatu pemerintahan dikatakan demokratis bila dalam mekanisme penyeleng­
garaannya melaksanakan prinsip-­prinsip demokrasi. Prinsip­-prinsip dasar demo­k­
rasi itu adalah persamaan, kebebasan, dan pluralisme. Dalam pandangan Robert A.

94
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

Dahl, terdapat tujuh prinsip yang harus ada dalam sistem demokrasi, yaitu (1) kon­
trol atas keputusan pemerintah, (2) pemilihan umum yang jujur, (3) hak memilih,
(4) hak dipilih, (5) kebebasan menyatakan pendapat tanpa ancaman, (6) kebebasan
mengakses informasi, dan (7) kebebasan berserikat.
Namun demikian, demokrasi tidak sekadar wacana yang mengandung prin­
sip-­prinsip di atas, ia mempunyai parameter sebagai ukuran apakah suatu negara
atau pemerintahan bisa dikatakan demokratis atau sebaliknya. Sedikitnya tiga as-
pek dapat dijadikan landasan untuk mengukur sejauh mana demokrasi itu berjalan
dalam suatu negara. Ketiga aspek tersebut adalah:
1. Pemilihan umum sebagai proses pembentukan pemerintah. Hingga saat ini
pe­milihan umum diyakini oleh banyak ahli demokrasi sebagai salah satu in-
strumen penting dalam proses pergantian pemerintahan.

U P
2. Susunan kekuasaan negara, yakni kekuasaan negara dijalankan secara dis-
tributif untuk menghindari penumpukan kekuasaan dalam satu tangan atau
O
GR
satu wilayah.
3. Kontrol rakyat, yaitu suatu relasi kuasa yang berjalan secara simetris, memiliki

I A
sambungan yang jelas, dan adanya mekanisme yang memungkinkan kontrol

ED
dan keseimbangan (check and balance) terhadap kekuasaan yang dijalankan
eksekutif dan legislatif.

A M
Parameter demokrasi juga bisa diketahui melalui adanya unsur-­unsur seba­gai

D
berikut: (a) hak dan kewajiban politik dapat dinikmati dan dilaksanakan oleh warga
A
N
negara berdasarkan prinsip-­prinsip dasar HAM yang menjamin adanya ke­bebasan,

R E
kemerdekaan, dan rasa merdeka; (b) penegakan hukum yang berasaskan pada prin-
sip supremasi hukum (supremacy of law), kesamaan di depan hukum (equality be-
P
fore the law), dan jaminan terhadap HAM; (c) kesamaan hak dan ke­wajiban anggota
masyarakat; (d) kebebasan pers dan pers yang bertanggung ja­wab; (e) pengakuan
terhadap hak minoritas; (f) pembuatan kebijakan negara yang berlandaskan pada
asas pelayanan, pemberdayaan, dan pencerdasan; (g) sistem kerja yang kooperatif
dan kolaboratif; (h) keseimbangan dan keharmonisan; (i) tentara yang profesional
sebagai kekuatan pertahanan; dan (j) lembaga peradilan yang independen.

G. PEMILIHAN UMUM DAN PARTAI POLITIK DALAM


SISTEM DEMOKRASI
1. Pemilu Indonesia di Era Reformasi
Pemilihan umum (Pemilu) merupakan salah satu mekanisme demokrasi un­tuk
menentukan pergantian pemerintahan di mana rakyat dapat terlibat dalam proses

95
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

pemilihan wakil mereka di parlemen dan pemimpin nasional maupun da­erah yang
dilakukan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan aman. Prinsip-­
prinsip ini sangatlah penting dalam proses pemilihan umum sebagai indi­kator
kualitas demokrasi.
Berbeda dengan masa Orde Baru, Pemilu 1999 yang dilakukan pasca-reforma-
si kental dengan euforia demokrasi. Banyak partai politik didirikan untuk meng-
gaungkan ide mereka yang tidak jarang hanya dilandaskan pada paham keagamaan
dan primordialisme sempit. Sebagai masa transisi menuju demokrasi, Pemilu 1999
diikuti oleh sebanyak 48 partai politik kontestan Pemilu. Pada Pemilu ini, meski di-
ikuti 48 partai politik, mekanisme pemilihan presiden dan wakilnya masih dilaku-
kan melalui mekanisme perwakilan melalui sidang di Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR).
Perjalanan reformasi Indonesia semakin menunjukkan kualitasnya pada Pe­

U P
milu 2004 yang dilaksanakan secara serentak pada 5 April 2004. Pada Pemilu kedua
O
GR
era Reformasi ini, rakyat tidak hanya terlibat langsung dalam pemilihan wakil me­
reka yang duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah

A
(DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), tetapi juga mereka dapat
I
ED
lang­sung memilih presiden dan wakil presiden Republik Indonesia masa bakti
2004-­2009. Sebanyak 24 partai politik menjadi peserta Pemilu 2004 dan diikuti oleh

M
lima pasang calon presiden dan wakil presiden. Pada Pilpres langsung yang per-
A
D
tama di era Reformasi ini dilakukan melalui dua putaran. Hal ini dilakukan karena

N A
pada putaran pertama yang diselenggarakan pada 5 Juli 2004 tidak diper­oleh satu
pasangan peserta Pilpres yang memperoleh lebih dari 50% suara. Putaran kedua

R E
Pilpres dilakukan pada 20 September 2004 yang memenangkan pasangan H. Susilo

P
Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla terpilih menjadi presiden dan
wakil presiden Pemilu 2004. Pasangan ini merupakan presiden dan wakil presiden
pertama In­donesia yang dipilih secara langsung oleh rakyat di era Reformasi.
Pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung 2004 telah
menjadi tonggak sejarah baru bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah (Pilkada) secara langsung di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
Semangat otonomi daerah yang telah digulirkan pada 1999, diimplementasikan se-
tahun setelah Pilpres 2004, Pilkada untuk memilih gubernur, bupati, dan walikota
mulai dilaksanakan di Indonesia. Pelaksanaan Pilkada berdasar­kan UU No. 32
Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah di mana pasangan calon peserta Pilkada
adalah mereka yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Pemilu 2009 merupakan pemilihan umum ketiga di era Reformasi. Pemilu ini
diikuti oleh 38 partai nasional dan 6 partai lokal dari daerah pemilihan Nangroe

96
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

Aceh Darussalam (NAD) dan berhasil menghantarkan pasangan H. Susilo Bambang


Yudhoyono dan Boediono sebagai presiden dan wakil presiden. Pemilu keempat di
era Reformasi dilakukan pada tahun 2014 yang disusul dengan pemilihan presiden
(Pilpres) yang telah memenangkan pasangan Joko Widodo dan Muhamma­d Yusuf
Kalla sebagai presiden dan wakil presiden untuk masa jabatan 2015-2019.
Berbeda dengan pemilihan presiden sebelumnya, pada Pilpres 2014 berlang-
sung hanya diikuti oleh dua pasangan yakni Joko Widodo-Muhammad Yusuf Kalla
berhadapan dengan pasangan Prabowo Subianto-M. Hatta Rajasa. Sedikitnya pa-
sangan Pilpres kali ini menjadikan persaingan di antara kedua pasangan calon pe-
mimpin nasional ini sangat ketat, bahkan telah menciptakan polarisasi di tenga­h
masyarakat Indonesia. Kesengitan persaingan dua pasangan tersebut tecermin dari
maraknya kampanye negatif dalam rangka saling menjatuhkan lawan.

U P
Namun demikian, Pilpres 2014 telah menjadi tonggak bersejarah bagi perjalan­
an demokrasi Indonesia. Di balik beragam kekurangan dan ketidakpuasan terha-
O
GR
dap jalannya Pilpres, banyak kalangan menilai Pilpres 2014 berlangsung aman.
Kekhawatiran banyak pihak terhadap kemungkinan Pilpres 2014 akan melahirkan

A
disintegrasi bangsa ternyata tidak terjadi. Sebaliknya, bangsa Indonesia telah bel­
I
ED
ajar banyak dari Pemilu dan Pilres sebelumnya di mana sistem demokrasi pada
akhirnya akan memutuskan siapa sebagai pemenang dan siapa pihak yang kalah.

M
Bangsa Indonesia telah menyadari sepenuhnya bahwa menjaga persatuan dan ke-
A
D
satuan bangsa jauh lebih penting dari sekadar pesta demokrasi. Sikap demokratis

N A
dan kenegarawanan telah ditunjukkan oleh pasangan Prabowo-Hatta Rajasa yang
mengakui secara terbuka kemenangan pasangan Joko Widodo dan Yusuf Kalla. Si-

R E
kap kenegarawanan pasangan yang kalah juga ditunjukkan saat Prabowo dan Hatta

P
Rajasa menghadiri pelantikan pasangan Joko Widodo dan Yusuf Kalla di gedung
MPR-DPR.
Dari peristiwa di atas banyak kalangan menilai bahwa demokrasi Indonesia
menunjukkan kematangannya. Demokrasi Indonesia sedang beranjak dari fase
transisi menuju fase substansialnya yang ditandai oleh sikap kesatria menerima
kekalahan secara legowo dan mengakui kemenangan lawan.
Dalam konteks demokrasi substansial, ia tidak sebatas ditandai oleh adanya
kelengkapan institusi demokrasi (parlemen, partai politik, Pemilu, dan sebagainya)
serta prosedurnya. Demokrasi substansial harus ditandai oleh sikap-sikap berke-
adaban di kalangan aktor politik maupun aktor masyarakat sipil. Kedua kompo-
nen bangsa ini harus sepenuhnya menyadari bahwa demokrasi haruslah bertujuan
seimbang antara pemenuhan hak-hak politik dan hak-hak ekonomi rakyat yang
berbasis pada nilai dan prinsip keadilan dan kebersamaan.

97
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Kedewasaan demokrasi Indonesia juga ditandai oleh munculnya gagasan calon


independen. Pemicu dari gagasan calon independen dalam pemilihan pemimpin
nasional maupun daerah tidak lepas dari ketidakpuasan publik terhadap praktik
berdemokrasi prosedural yang selama ini berlangsung. Tuntutan ini direspons oleh
peme­rintah melalui terbitnya UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas
UU No. 32 2004 tentang Pemerintah Daerah yang membolehkan calon perorang­
an menjadi kontestan Pilkada, selain calon yang diajukan oleh parpol maupun ga­
bungan parpol. Pelaksanaan Pilkada atau biasa juga dikenal dengan istilah Pemi-
lukada dilakukan oleh KPU tingkat provinsi maupun KPU kabupaten/kota. Selain
KPU, lembaga lain yang terlibat dalam pelaksanaan Pemilu maupun Pemilukada
adalah lembaga pengawas dan pemantau Pemilu: Badan Pengawas Pemilu (Bawas­
lu) dan lembaga pemantau Pemilu yang anggotanya terdiri dari organisasi sosial
kemasyarakatan dan kalangan kampus.
Pada awal 2014 Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan permohonan uji
U P
O
GR
materi undang-undang pemilihan presiden dan wakil presiden yang membatasi
warga negara dari calon independen maju dalam pemilihan presiden. Pada amar

A
putusannya MK telah mengabulkan calon nonpartai untuk maju sebagai kandidat
I
ED
presiden dan wakil presiden tanpa diusung oleh partai politik. Keputusan MK ini
baru bisa dilaksanakan pada Pemilu 2019 yang akan dilaksanakan serentak dengan

M
pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR dan Dewan Perwakilan Da-
A
D
erah (DPD). Untuk menjaga kualitas demokrasi dan pelaksanaan putusan MK ini,

N A
angota DPR dan DPD hasil Pemilu 2014 harus merumuskan tata tertib dan syarat-
syarat warga negara yang bisa dilakukan sebagai calon presiden dan wakil presiden

R E
dari jalur independen.

2. P
Partai Politik
Unsur penting lain dalam sistem demokrasi adalah keberadaan partai politik.
Partai politik memiliki peran yang sangat strategis terhadap proses demokratisasi.
Selain sebagai struktur kelembagaan politik yang anggotanya bertujuan men­da­
patkan kekuasaan dan kedudukan politik, partai politik adalah wadah bagi pe­
nampungan aspirasi rakyat. Peran tersebut merupakan implementasi nilai-­nilai
demokrasi, yaitu keterlibatan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pe­
nyelenggaraan negara melalui partai politik. Melalui partai­-partai politik itulah se­
gala aspirasi rakyat yang beraneka ragam dapat disalurkan secara konstitusional.
Terkait dengan partai politik adalah sistem kepartaian yang berbeda pada se­tiap
negara: ada sistem satu partai (one party system), sistem dwipartai (two party sys-
tem), dan banyak partai (multiparty system).

98
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

a. Sistem satu partai.


Sistem ini sama seperti tidak ada partai politik, karena hanya ada satu partai
un­tuk menyalurkan aspirasi rakyat. Dalam sistem ini, aspirasi rakyat kurang
berkem­bang, segalanya ditentukan oleh satu partai tanpa adanya partai lain,
baik sebagai saingan maupun sebagai mitra. Partai tunggal tersebut adalah par-
tai yang me­ngendalikan pemerintahan (the ruling party), seperti Partai Komu-
nis di China, Uni Soviet, dan Vietnam, dan Partai Fasis di Italia.
b. Sistem dwipartai.
Sistem ini adalah sistem dua partai sebagai wadah penyalur aspirasi rakyat.
Seperti di Amerika Serikat, ada Partai Republik dan Partai Demokrat. Ada-
kalanya sistem ke­partaian di Inggris dan Australia digolongkan sebagai sistem
dwipartai, walaupun sebenarnya terdapat lebih dari dua partai. Partai­-partai

U P
lainnya bisa ikut dalam struktur pemerintahan jika berkoalisi dengan partai
besar, yaitu salah satu dari dua partai yang berpengaruh dan banyak pendu-
O
GR
kungnya.
c. Sistem banyak (multi) partai.

I A
Sistem ini terdiri dari lebih dua partai. Negara yang menganut sistem multipar-

ED
tai antara lain Jerman, Perancis, Jepang, Malaysia, dan Indonesia. Dalam sistem
mul­tipartai, jika tidak ada partai yang meraih suara mayoritas, maka dibentuk

A M
peme­rintahan koalisi yang terdiri dari banyak partai politik.

A D PRO DAN KONTRA


N
H. ISLAM DAN DEMOKRASI:

E
Wacana Islam dan demokrasi adalah salah satu tema yang tak pernah kering

PR
dibicarakan oleh kalangan ahli, baik di Barat maupun di negeri-negeri Muslim. Pro
dan kontra tentang apakah demokrasi dan Islam bisa saling mendukung atau seba-
liknya telah berlangsung sejak awal abad ke-20 hingga saat ini. Perdebatan ini telah
mewakili kelompok yang optimis dan pesimis, baik di kalangan ahli demokrasi
Barat maupun intelektual Muslim atas hubungan Islam dan demokrasi yang makin
kompleks. Di antara kalangan ahli yang pesimis diwakili oleh Larry Diamond, Juan
J. Linze, Seymour Martin Lipset, yang menyimpulkan bahwa dunia Islam tidak
memiliki prospek untuk menjadi demokratis serta ti­dak memiliki pengalaman de-
mokrasi yang cukup andal. Hal senada juga dike­mukakan oleh Samuel P. Hunting-
ton yang meragukan Islam dapat berjalan de­ngan prinsip­-prinsip demokrasi yang
secara kultural lahir di Barat. Karena alasan inilah dunia Islam dipandang tidak
menjadi bagian dari proses gelombang de­mokratisasi dunia. Sebaliknya, kelompok
optimis berkesimpulan bahwa Islam dan demokrasi bisa saling bersinergi.

99
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Kesimpulan para ahli kelompok pesimis tampaknya tidak terbukti jika men-
cermati perjalanan demokrasi di Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia. Ke-
berhasilan Indonesia melaksanakan Pemilu langsung tahun 2004 dan 2009 yang
ber­jalan damai telah menjadi bukti di hadapan dunia bahwa demokrasi dapat di-
praktikkan di tengah­masyarakat Muslim mayoritas. Keberhasilan ini telah menem-
patkan Indonesia sebagai negara paling demokratis urutan ketiga di dunia setelah
Amerika Serikat dan India.
Terkait dengan wacana Islam dan demokrasi, di kalangan pemikir Muslim ter-
dapat dua arus pandangan yang berbeda: kelompok anti dan pro demokrasi dengan
variasi pandangan masing-masing. Bagi ulama konservatif menyimpulkan bahwa
Islam dan demokrasi tidak bisa saling bekerja sama. Kesimpulan ini didasar oleh
alasan-alasan: pertama, bahwa dalam Islam kedaulatan mutlak adalah milik Allah

U P
semata. Mereka menilai bahwa kedaulatan di tangan rakyat dalam sistem demokrasi
bertentangan dengan prinsip fundamental Islam ini. Kedua, di dalam Islam hukum
O
GR
dijelaskan dan disebarkan oleh Allah, dan hukum Allah (syari’ah) tidak bisa digan-
tikan oleh hukum yang dibuat oleh orang-orang ter­pilih dalam parlemen (anggota

A
legislatif). Ketiga, konsep parlemen sebagai sumber huku­m dianggap sebagai peng-
I
ED
hinaan terhadap kedau­latan Allah.
Senada dengan pandangan ulama konservatif ini, pemikir Islam Pakistan

M
pertengahan abad ke-20 Abul ‘Ala Mawdudi mengutarakan adanya perbedaan an-
A
D
tara agama (dien) demokrasi dan agama (dien) al-Islam. Agama demokrasi atau

N A
agama publik adalah identik dengan kedaulatan paling tinggi terletak pada ma-
syarakat suatu negara, di mana mereka harus diatur oleh hukum yang mereka buat

R E
sendiri dan semua warga negara harus taat dan mengabdi kepada otoritas demo-

P
krasi mereka. Konsep ini, menurut Mawdudi, berbeda dengan konsep agama Islam
(Dien al-Islam) di mana ajaran pokoknya bahwa hanya Allah Sang Pemilik dunia
dan Berdaulat atas umat manusia. Karenanya hanya Allah yang berhak ditaati dan
disembah, dan semua urusan manusia harus bersumber dan sesuai dengan hukum-
Nya (syari’ah). Prinsip Islam bahwa hanya Allah sebagai pemegang otoritas paling
tinggi memiliki satu tujuan, bukan yang lain, bahwa hanya perintah Allah yang
harus mengatur dunia.
Dari pandangan doktriner ini berkembang menjadi kesimpulan bahwa Islam
adalah sebuah sistem yang lengkap (kaffah), karenanya Islam dan demokrasi adalah
dua hal yang berbeda. Sebagai konsep yang lahir di Barat dan tidak lengkap, maka
demokrasi menurut pendapat ini tidaklah tepat untuk dijadikan sebagai acuan
dalam hidup bermasyarakat dan bernegara umat Islam. Dengan ungkapan lain,
karena Islam merupakan sistem politik yang mandiri (self-sufficient), maka Islam

100
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

tidak dapat di­subordinatkan ke dalam sistem


Dalam pandangan Ghanoushi,
demokrasi.
“jika demokrasi diartikan
Pandangan anti-demokrasi Mawdudi ini sebagai model pemerintahan
seirama dengan pandangan Kalim Siddiqui liberal yang lahir di Barat, yaitu
yang menyimpulkan bahwa seperti konsep sebuah sistem pemerintahan
nasionalisme, konsep demok­rasi (kedaulatan di mana warga negara memiliki
kebebasan memilih perwakilan
di tangan rakyat), sosialisme (diktator kaum
dan pemimpin mereka sebagai
proletar), dan kapitalisme dengan paham ke- proses pergantian kekuasaan,
bebasan manusia (free will)-nya adalah ideolo- sebagaimana halnya kebebasan
gi modern yang lahir dari sistem politik kafir dan hak asasi manusia, maka
(Barat). Dari pandangan ini, menurut John O. bagi masyarakat Muslim tidak
akan menjumpai alasan dalam
Voll, beberapa pengamat non-Muslim seperti
agama mereka untuk menolak
Elie Kedourie dan Bernard Lewis memafhumi
akan kevakuman tradisi politik Islam dari ide-
U P demokrasi...”

O
GR
ide tentang perwakilan, pemilihan, hak pilih warga negara, lembaga politik yang
diatur oleh undang-undang yang dihasilkan melalui parlemen, pelaksanaan hukum

A
oleh lembaga yudikatif, dan pemisahan agama dan negara. Ide-ide tersebut sama
I
ED
sekali asing dalam tradisi politik umat Islam.
Kesinisan senada juga diungkapkan oleh Bernard Lewis yang menyimpulkan

M
bahwa sejarah politik Islam sangat identik dengan kekuasaan perseorangan (au-
A
D
tokrasi). Hal ini terjadi lantaran umat Islam tidak memiliki lembaga demokrasi

N A
seperti perwakilan, dewan perwakilan, pemerintahan kotapraja, kecuali kekuasaan
para raja yang memiliki ketaatan absolut sebagai bagian dari kewajiban agama yang

R E
diwajibkan oleh hukum Tuhan. Dari pengalaman ini selama ribuan tahun terakhir

P
pemikiran politik Islam didominasi oleh diktum “kekuasaan tiran juah lebih baik
daripada anarki, dan manakala ia berkuasa, maka ketaatan kepadanya adalah hal
yang wajib dilakukan”.
Berbeda dengan pandangan konservatif di atas, sejumlah pemikir dan tokoh
Muslim modern seperti pemikir asal Tunisia Rashid Ghanoushi dan Presiden
Iran Mohammad Khatami memiliki argumen kuat akan keserasian Islam dan de-
mokrasi. Umumnya kelompok ini berpandangan bahwa Islam dapat mengambil
manfaat dari sistem yang datang dari Barat ini. Dalam pandangan Ghanoushi, “Jika
demokrasi diartikan sebagai model pemerintahan liberal yang lahir di Barat, yaitu
sebuah sistem pemerintahan di mana warga negara memiliki kebebasan memilih
perwakilan dan pemimpin mereka sebagai proses pergantian kekuasaan, seba­
gaimana halnya kebebasan dan hak asasi manusia, maka bagi masyarakat Muslim
tidak akan menjumpai alasan dalam agama mereka untuk menolak demokrasi...”

101
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Mencermati jalannya demokrasi, Khatami memprediksi tiga kemungkinan ke


arah mana sebuah sistem demokrasi akan berjalan. Menurutnya, tiga kemungkin­
an yang akan terjadi dengan demokrasi: ia akan melahirkan sistem liberal, atau
sistem sosialis atau sebuah demokrasi yang akan membuka diri terhadap masuknya
nilai-nilai agama ke dalam praktik pemerintahan, di mana Khatami menerima ke-
mungkinan ketiga ini. Pandangan Khatami ini sesungguhnya mewakili pandangan
umum di kalangan pemikir Islam terhadap demokrasi yang mereka nilai sedang
mengalami kegersangan spiritual. Dalam konteks ini, Islam memiliki peluang besar
untuk memadukan nilai-nilai spiritual dan pemerintahannya dengan demokrasi.
Pandangan lain tentang kesesuaian demokrasi dan Islam disuarakan oleh se-
jumlah Ulama al-Azhar. Melalui ilustrasi ayat-ayat Al-Qur'an yang menggambar-
kan kehidupan sosial masyarakat Muslim awal para ulama Azhar menyimpulkan
bahwa gambaran ayat-ayat tersebut merupakan prinsip-prinsip di mana sistem

U P
politik Islam pada awal-awal Islam begitu nyata, yang secara substansial memiliki
O
GR
karakter serupa dengan sistem demokrasi. Sistem politik Islam yang pernah ada
mengakui kebebasan individu dan publik, melindungi tiap individu dan hartanya,

A
dan mengembangan kebajikan-kebajikan publik (civic virtues). Menguatkan argu-
I
ED
men ini, penulis Mesir Ahmad Syauqi al-Fanjari melakukan kompilasi daftar hak-
hak demokrasi dan kebebasan yang ia jumpai pada literatur-literatur penting penu-
lis Muslim pada masa awal Islam.
A M
D
Pandangan keserasian Islam dan demokrasi da­pat pula dijumpai pada pemikir

N A
Muslim kontemporer yang menyimpulkan bahwa doktrin Islam yang terdapat pada
tradisi dan teks (Al-Qur’an) sangat kon­dusif dan menarik bagi pemikiran tentang

R E
demokrasi. Mereka meyakini bahwa masa keemasan kekuasaan Islam terjadi pada

P
saat pembangunan struktur dan intelektual berlangsung sangat de­mok­ratis di du-
nia Islam silam. Bahkan pemikir Muslim seperti Ghanoushi yang memandang
bahwa demokrasi yang tengah berlangsung saat ini
Para ulama Azhar
yakni demokrasi parlementer yang plural merupak-
menyimpulkan bahwa an instrumen ideal bagi implementasi syariah Islam.
gambaran ayat-ayat Dalam hal ini, prinsip kedaulatan Tuhan dapat dijaga
tersebut merupakan dengan argumentasi bahwa demokrasi me­nyediakan
prinsip-prinsip di mana
sebuah sistem yang menolak klaim kedaulatan tung-
sistem politik Islam pada
awal-awal Islam begitu gal individu maupun kelas.
nyata, yang secara Bagi kelompok pemikir ini demokrasi adalah spi-
substansial memiliki rit dari sistem pemerintahan Islam, sekalipun mereka
karakter serupa dengan menolak asumsi-asumsi filosofis demokrasi (Barat)
sistem demokrasi
tentang kedaulatan manusia. Sedikit berbeda dengan

102
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

pandangan ini, pendukung demokrasi Islam asal


Mesir Abdelwahab El-Affendi mengatakan bah- Menururt cendekiawan Mesir
Abdelwahab El-Affendi,
wa konsep tauhid (keesaan Allah) memerlukan
konsep tauhid (keesaan
sistem demokrasi. Hal ini dilandasi oleh prinsip Allah) memerlukan sistem
yang terdapat dalam demokrasi bahwa semua ma- demokrasi. Hal ini dilandasi
nusia diciptakan sama, dan sistem apa pun yang oleh prinsip yang terdapat
dalam demokrasi bahwa
menolak persamaan manusia adalah tidak islami.
semua manusia diciptakan
Searah dengan pandangan di atas diungkap- sama, dan sistem apa pun
kan pula oleh tokoh cendekiawan Turki Fethullan yang menolak persamaan
Gulen. Tentang hubungan Islam dan demokrasi, manusia adalah tidak Islami.
Gulen menekankan perbedaan antara keduanya.
Dalam pandangan Gulen, Islam adalah wahyu sekaligus agama sakral, sedangkan

U P
demokrasi adalah sebuah model pemerintahan yang dibentuk oleh manusia. Kare-
nanya tidak ada model tunggal pemerintahan dan Islam dapat mendukung beragam
O
GR
model pemerintahan. Gulen menegaskan bahwa Islam tidak pernah menawarkan
sebuah model baku pemerintahan dan juga tidak berusaha untuk mendirikannya.

A
Islam, sebaliknya kata Gulen, sangat berkepentingan untuk membangun prinsip-
I
ED
prinsip fundamental yang bertujuan membangun karakter-karakter umum peme-
rintahan, yang dalam reali­sasinya diserahkan kepada Muslim untuk menentukan

M
suatu model dan bentuk pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan perkembang-
A
D
an zaman.

N A
Masih dalam koridor kelompok pro demokrasi, terdapat pandangan di kalang-
an pemikir Muslim yang mengatakan bahwa Islam berbeda dengan demokrasi

R E
jika demokrasi didefinisikan secara prosedural seperti dipahami dan dipraktikkan

P
di negara-­negara Barat. Pandangan ini sepakat dengan pen­dapat tentang adanya
prinsip­-prinsip demokrasi dalam Islam, tetapi me­ngakui ada­nya perbedaan antara
Islam dan demokrasi. Menurut mereka, Islam merupakan sis­tem politik demokra-
tis kalau demokrasi didefinisikan secara sub­stantif, yakni kedaulatan di tangan
rakyat dan negara merupakan terjemahan da­ri kedaulatan rakya­t tersebut. Dengan
demikian, kesimpulan kelompok ini, de­mokrasi adalah konsep yang sejalan de-
ngan Islam setelah diadakan penyesuaian penafsiran terhadap konsep demokrasi
itu sendiri.
Memperkuat pandangan ini, muncul kesimpulan lain yang lebih substantif, yai-
tu bahwa Islam di dalam dirinya sudah demokratis tidak hanya karena ia mempun-
yai prinsip syura (musyawarah), tetapi juga karena adanya konsep ijtihad dan ijma’
(konsensus). Pandangan ini, seperti dinyatakan oleh pa­kar ilmu politik R. William
Liddle dan Saiful Mujani, diwakili oleh demokrasi Indonesia dan beberapa negeri

103
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Muslim lain, karena demokrasi sudah menjadi


Dalam pandangan Gulen, bagian integral sistem pemerintahannya. Di an-
Islam adalah wahyu sekaligus
tara tokoh Muslim yang mendukung pandangan
agama sakral, sedangkan
demokrasi adalah sebuah ini, yaitu Fahmi Huwaidi, M. Husain Haekal, dan
model pemerintahan yang Muhammad Abduh. Di Indonesia diwakili oleh
dibentuk oleh manusia. Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, Amin
Karenanya tidak ada model
Rais, dan Ahmad Syafi’i Ma’arif.
tunggal pemerintahan,
maka Islam dapat
Penerimaan sejumlah ­ negara Muslim ter-
mendukung beragam model hadap demokrasi tidak berarti bahwa demo­krasi
pemerintahan. dapat tumbuh dan berkembang secara otomatis.
Bahkan yang terjadi adalah kebalikannya di mana
negara­-negara Muslim justru merupak­an negara yang tertinggal dalam berdemo-
krasi, sementara kehadiran rezim oto­riter umumnya menjadi kecenderungan yang
masih dominan.
U P
O
GR
Terdapat beberapa argumen teoretis yang bisa menjelaskan lambannya perkem-
bangan demokrasi di dunia Islam. Pertama, pemahaman doktrinal, yaitu panda-

A
ngan kaum Muslim yang menyimpulkan bahwa demokrasi sebagai sesuatu yang
I
ED
bertentangan dengan Islam. Untuk mengatasi hal itu perlu dikembangkan upaya
reaktualisasi pemahaman keagamaan dalam rangka mencari titik temu antara aja-

M
ran Islam dengan konsep-konsep politik yang lahir dari tradisi Barat, seperti de-
A
D
mokrasi, civil society, multikulutralisme, dan sebagainya.

N A
Kedua, persoalan kultur. Demokrasi sebenarnya telah dicoba di negara­-negara
Muslim sejak paruh pertama abad dua puluh, tetapi gagal. Tampaknya, ia tidak

R E
akan sukses pada masa­-masa mendatang, karena warisan kultural masyarakat

P
Muslim sudah terbiasa dengan model pemerintahan autokrasi (raja) dan ketaatan
absolut kepada pemimpin, baik pemimpin agama maupun penguasa, seperti yang
disimpulkan oleh Lewis di atas. Pandangan ini melahirkan rekomendasi bahwa
langkah yang sangat diperlukan adalah penjelasan kultural ke­napa demokrasi tum-
buh subur di Eropa, sementara di kawasan dunia Islam malah otoritarianisme yang
berkembang.
Ketiga, lambannya pertumbuhan demokrasi di dunia Islam tidak ada hu­bungan
dengan teologi maupun kultur, melainkan lebih terkait dengan sifat alami­ah de-
mokrasi itu sendiri. Untuk membangun demokrasi diperlukan kesungguhan, ke-
sabaran, dan di atas segalanya adalah waktu. John Esposito dan John O. Voll adalah
di antara tokoh yang optimis terhadap masa depan demokrasi di dunia Islam, seka­
lipun Islam tidak memiliki tradisi kuat berdemokrasi. Tuntutan demokrasi yang
tengah terjadi di sejumlah negara Muslim, seperti Mesir, Yaman, Suriah, Irak, Li­bia,

104
BAB 4 • DEMOKRASI: TEORI & PRAKTIK

Sudan, Malaysia, dan bahkan Saudi Arabia menguatkan pandangan ini.


Dalam konteks demokrasi Indonesia, peran partai politik nasional sangatlah
penting. Demi nasib demokrasi Indonesia yang lebih baik, para kader dan tokoh
partai politik harus melakukan politik bermartabat serta berorientasi ke­sejahteraan
rakyat. Harapan serupa ditujukan pula kepada kalangan tokoh organisasi sosial ke-
agamaan. Dukungan mereka bagi demokrasi Indonesia diharapkan tecermin pada
perilaku dan sikap toleran dan kesungguh­an mereka dalam menyerukan nilai­-nilai
inklusif dan integratif masing-masing aga­ma. Sebagai negara yang memiliki fal­safah
Pancasila, nilai-nilai luhurnya dapat menjadi spirit atau roh bagi jasad de­mokrasi
yang sedang berlangsung. Ni­lai-nilai agama dan Pancasila dapat salin­g berkolabo-
rasi untuk meminimalisasi akibat-akibat negatif dari demokrasi yang se­dang men-
cari bentuk ideal di Indonesia.

RANGKUMAN
U P
O
GR
1. Demokrasi adalah sebuah sistem politik yang paling baik dari sekian ba­nyak
sistem yang ada dewasa ini. Pengertian umum demokrasi adalah suatu mo­del

I A
pemerintahan atau sistem sosial yang bertumpu pada kepentingan rakyat dari,

ED
oleh, dan/atau rakyat.
2. Tiga faktor yang menjadi tolok ukur umum dari suatu pemerintahan yang de-
M
mokratis, yaitu: (1) pemerintahan dari rakyat (government of the people); (2)
A
D
pemerintahan oleh rakyat (government by the people); dan (3) pemerintahan

A
untuk rakyat (government for the people).
N
E
3. Untuk mendukung terlaksananya demokrasi, perlu didukung oleh enam nor-

P R
ma atau unsur pokok yang dibutuhkan oleh tatanan masyarakat pluralisme,
yaitu: pertama, kesadaran akan adanya pluralisme. Kedua, musyawarah. Ketiga,
sejalan dengan tujuan. Keempat, ada norma kejujuran dan mufakat. Kelima,
kebebasan nurani, persamaan hak, dan kewajiban; dan keenam, adanya trial
and error (per­cobaan dan salah).
4. Wacana Islam dan demokrasi dapat dikelompokkan menjadi dua pandang­
an di kalangan pemikir Muslim: Kelompok anti dan kelompok pendukung
demokrasi. Kelompok pertama menyimpulkan bahwa Islam dan demokrasi
adalah dua sistem politik yang berbeda dan tidak bisa bertemu. Adapun pan-
dangan kelompok kedua (pro demokrasi) menyimpulkan bahwa Islam sesuai
dengan demokrasi, Islam adalah sistem nilai yang membenarkan dan mendu-
kung sistem politik demokrasi seperti yang dipraktikkan di negara­negara maju.
Islam memiliki instrumen internal (syura, ijtihad, dan ijma’) untuk memprak-
tikkan demokrasi yang lahir dan berkembang di Barat.

105
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

LEMBAR KERJA

1. Apa sesungguhnya makna demokrasi bagi Indonesia yang majemuk?


2. Apa yang harus Saudara lakukan untuk menjadikan demokrasi sebagai pan­dang­
an dan komitmen bersama semua warga negara Indonesia dalam kehidup­an ber­
bangsa dan bernegara?
3. Sebutkan dan diskusikan enam norma masyarakat demokratis dan tiga unsur pe­
nopang demokrasi?
4. Apakah Saudara menjumpai faktor­-faktor pendukung demokrasi di lingkungan
tempat Saudara tinggal? Jika ya sebutkan dan diskusikan; jika tidak, sebagai war-
ga negara yang baik apa yang harus Saudara lakukan?
5. Bagaimana sikap dan perilaku demokratis dipraktikkan di lingkungan Saudara,

rah?
U P
misalnya dalam pemilihan ketua kelas, anggota senat, dan pemilihan kepala dae­

6.
O
Kapan sebuah negara dikatakan demokratis? Diskusikan, sebagai warga negara

GR
apa yang harus Saudara lakukan jika Saudara menjumpai prinsip-­prinsip dan pa-
rameter de­mokrasi belum sempurna!
7.
I A
Apakah Indonesia memiliki masa depan demokrasi? Jika ya jelaskan, jika tidak

ED
apa yang harus Saudara lakukan dan apa akibatnya jika demokrasi tidak diprak­

M
tikkan di Indonesia?
8.
A
Diskusikan dan sebutkan budaya dan nilai Islam yang selaras dengan demokrasi
atau sebaliknya!
D
9.
A
Apakah Islam sejalan dengan prinsip-­prinsip demokrasi, atau sebaliknya? Dis­
N
E
kusikan hubungan Islam dan demokrasi dalam konteks Indonesia!

P R

106
KONSTITUSI DAN
TATA PERUNDANGAN INDONESIA

K
onstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegang­an
dalam penyelenggaraan suatu negara. Ia merupakan se­pe­
rangkat aturan kehidupan bernegara yang mengatur hak
dan kewajiban warga negara dan negara. Di Indonesia, jika menye­
but kata konstitusi negara, maka hal itu mengacu pada Undang-
Undang Dasar (UUD) 1945. Konstitusi untuk sebuah negara adalah
hal yang sangat penting terutama dalam pembangunan negara dan
warga negara yang demokratis. Meski demikian, tidak ada jamin-
U P
O
an konstitusi yang demokratis akan menghasilkan negara yang

GR
demokratis. Konstitusi membutuhkan penyelenggara negara yang
mampu menerjemahkan konstitusi dengan baik, dan penyeleweng-

I A
an atas konstitusi bisa mengubah nilai dan peran dari konstitusi itu
Bab
ED
sendiri.
Undang-Undang Dasar 1945 adalah konstitusi Negara Repub­
M
AD A
lik Indonesia yang berkedudukan sebagai pedoman dan panduan
bangsa Indonesia dalam membangun dan menyelenggarakan sis-
tem kenegaraan dalam rangka mewujudkan tujuan dan cita-cita
5
E N
didirikannya negara. Melalui penelaahan terhadap konstitusi ini,

P R
diharapkan Saudara mampu:
ƒƒ Menjelaskan pengertian, tujuan, dan sejarah konstitusi.
ƒƒ Menguraikan fungsi dan makna konstitusi bagi penyelengga­
raan sistem kenegaraan terutama di dalam mewujudkan tujuan
dan cita-cita negara.
ƒƒ Memaparkan nilai-nilai demokrasi dan HAM pada konstitusi
negara (UUD 1945) setelah amendemen
ƒƒ Membandingkan tugas dan kewajiban masing-masing lembaga
eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam sistem ketatanegaraan
Indonesia setelah amendemen.
ƒƒ Menjelaskan tugas sejumlah lembaga (Komisi Nasional) yang
lahir di era Reformasi.
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

5
Konstitusi dan Tata Perundangan Indonesia

U P
TERDAPAT dua istilah terkait dengan norma atau ketentuan dasar dalam kehidup­
an kenegaraan dan kebangsaan. Kedua istilah ini adalah konstitusi dan Undang-
O
GR
Undang Dasar. Bagi sebuah negara, konstitusi adalah dasar negara. Sebagai dasar
negara, konstitusi merupakan suatu norma dasar yang menjadi sumber bagi per­

A
undang-undangan suatu negara. Di dalam konstitusi terkandung nilai-nilai yang
I
ED
bersumber dari tata kehidupan masyarakat, negara, dan budaya Indonesia.
Menurut pakar hukum tata negara Jimly Asshiddiqie, berlakunya suatu konsti­

M
tusi sebagai hukum dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau
A
D
prinsip kedaulatan yang dianut suatu negara. Jika negara itu menganut paham ke­

N A
daulatan rakyat, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah rakyat. Jika yang ber­
laku adalah paham kedaulatan raja, maka raja yang menentukan berlaku tidaknya

R E
suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power

P
yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang
diaturnya.

A. PENGERTIAN KONSTITUSI
Konstitusi berasal dari bahasa Perancis, constituer, yang berarti membentuk.
Maksud dari istilah ini ialah pembentukan, penyusunan, atau pernyataan akan
suatu negara. Dalam bahasa Latin, kata konstitusi merupakan gabungan dua kata,
yakni cume, berarti “bersama dengan ...,” dan statuere, berarti “membuat sesuatu
agar berdiri” atau “mendirikan, menetapkan sesuatu.” Adapun Undang-Undang
Dasar merupakan terjemahan dari istilah Belanda, grondwet. Kata grond berarti
tanah atau dasar, dan wet berarti undang-undang.
Istilah konstitusi (constitution) dalam bahasa Inggris memiliki makna yang le-
bih luas dari Undang-Undang Dasar, yakni keseluruhan dari peraturan-peraturan

109
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur secara mengikat cara-cara
bagaimana suatu pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat. Konsti­
tusi, menurut Miriam Budiardjo, adalah suatu piagam yang menyatakan cita-cita
bangsa dan merupakan dasar organisasi kenegaraan suatu bangsa. Adapun Un­
dang-Undang Dasar merupakan bagian tertulis dalam konstitusi.
Dari pengertian di atas, konstitusi dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan kekuasaan kepada penguasa.
2. Dokumen tentang pembagian tugas dan wewenangnya dari sistem politik yang
diterapkan.
3. Deskripsi yang menyangkut masalah hak asasi manusia.

B. TUJUAN DAN FUNGSI KONSTITUSI

U
Menurut Bagir Manan, hakikat dari konstitusi merupakan perwujudan paham P
O
tentang konstitusi atau konstitusionalisme, yaitu pembatasan terhadap kekuasaan

GR
pemerintah di satu pihak dan jaminan terhadap hak-hak warga negara maupun
setiap penduduk di pihak lain.

I A
Adapun, menurut Sri Soemantri, dengan mengutip pendapat Steenbeck, me­

ED
nyatakan bahwa terdapat tiga materi muatan pokok dalam konstitusi, yaitu: (1)
jaminan hak-hak asasi manusia; (2) susunan ketatanegaraan yang bersifat men­

A M
dasar; serta (3) pembagian dan pembatasan kekuasaan.

D
Dalam paham konstitusi demokratis dijelaskan bahwa isi konstitusi meliputi:
A
1.
2.
E N
Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik) tunduk pada hukum.
Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia.
3.
4. P R
Peradilan yang bebas dan mandiri.
Pertanggungjawaban kepada rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama
dari asas kedaulatan rakyat.
Keempat cakupan isi konstitusi di atas meru­
Secara garis besar, tujuan pakan dasar utama bagi suatu pemerintahan yang
konstitusi adalah membatasikonstitusional. Namun demikian, indikator suatu
tindakan sewenang-wenang
negara atau pemerintahan disebut demokratis ti­
pemerintah, menjamin hak-
hak rakyat yang diperintah,daklah tergantung pada konstitusinya. Sekalipun
dan menetapkan pelaksanaan konstitusinya telah menetapkan aturan dan prin­
kekuasaan yang berdaulat. sip-prinsip di atas, jika tidak diimplementasikan
dalam praktik penyelenggaraan tata pemerinta­
han, ia belum bisa dikatakan sebagai negara yang konstitusional atau menganut
paham konstitusi demokrasi.

110
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

C. SEJARAH PERKEMBANGAN KONSTITUSI


Konstitusi sebagai suatu kerangka kehidupan politik telah lama dikenal sejak
zaman Yunani yang memiliki beberapa kumpulan hukum. Kota Athena pernah
mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi, Aristoteles sendiri berhasil mengoleksi
sebanyak 158 buah konstitusi dari beberapa negara. Pada masa itu, pemahaman
tentang “konstitusi” hanyalah merupakan suatu kumpulan dari peraturan serta
adat kebiasaan semata-mata.
Sejalan dengan perjalanan waktu, pada masa Kekaisaran Roma pengertian
konstitusi (constitutionnes) mengalami perubahan makna; ia merupakan suatu
kum­pulan ketentuan serta peraturan yang dibuat oleh para kaisar, pernyataan dan
pendapat ahli hukum, negarawan, serta adat kebiasaan setempat selain undang-
undang. Konstitusi Roma memiliki pengaruh cukup besar sampai Abad Pertengah­
P
an yang memberikan inspirasi bagi tumbuhnya paham demokrasi perwakilan dan
U
O
nasionalisme. Dua paham inilah yang merupakan cikal bakal munculnya paham

GR
konstitusionalisme modern.
Selanjutnya, pada abad VII (zaman klasik) lahirlah Piagam Madinah atau Kon­

I A
stitusi Madinah. Piagam Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik Islam (622

ED
M) merupakan aturan pokok tata kehidupan bersama di Madinah yang dihuni oleh
bermacam kelompok dan golongan: Yahudi, Kristen, Islam, dan lainnya. Konsti­

A M
tusi Madinah berisikan tentang hak bebas berkeyakinan, kebebasan berpendapat,

AD
kewajiban dalam hidup kemasyarakatan, dan mengatur kepentingan umum dalam
kehidupan sosial yang majemuk. Konstitusi Madinah merupakan satu bentuk kon­

E N
stitusi pertama di dunia yang telah memuat materi sebagaimana layaknya konstitu­

P R
si modern dan telah mendahului konstitusi-konstitusi lainnya di dalam meletakkan
dasar pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Secara keseluruhan Piagam Madinah mengandung 47 pasal. Nuansa persatu­
an sebagai sebuah komunitas majemuk yang berbeda satu dengan lainnya begitu
kental pada Piagam Madinah. Pasal pertama, misalnya, berbunyi tentang prinsip
persatuan dengan pernyataan “innahum ummatan wahidatan min duuni al-naas”
(sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, lain dari—komunitas—manusia
yang lain). Makna umat dalam pernyataan awal ini menunjukkan arti luas, tidak
sebatas kelompok pengikut Nabi Muhammad yang berada di Madinah. Pada saat
yang sama, pengertian umat pada piagam ini juga membedakan sifat solidaritas
yang dibangun oleh Nabi Muhammad dari yang pernah ada sebelumnya, yaitu soli­
daritas yang berdasarkan pada semangat kelompok yang sempit yang dikenal de-
ngan sebutan kabilah atau perkauman.
Menurut catatan Ahmad Sukardja, sebagaimana disarikan oleh Jimly Asshid­

111
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

diqie, terdapat 13 kelompok masyarakat yang secara eksplisit terikat dalam Piagam
Madinah. Pada Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam) sa-
ling bahu-membahu dalam menghadapi penyerang atas kota mereka yakni Yatsrib
(Madinah).” Semangat saling membantu sebagai sebuah komunitas umat yang plu­
ral tampak terlihat pada bunyi Pasal 24 yang menjelaskan bahwa “kaum Yahudi me­
mikul biaya bersama kaum mukminin selama dalam peperangan.” Ikatan persatuan
ini semakin diperjelas dalam Pasal 25 yang menegaskan bahwa “kaum Yahudi dari
Bani ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin.” Bagi kaum Yahudi agama
mereka, dan bagi kaum mukminin agama mereka. Kebebasan beragama ini juga
berlaku bagi sekutu-sekutu mereka dan diri mereka sendiri.
Hal yang menarik untuk dicermati dalam konteks toleransi beragama di atas
adalah perkataan “mereka” yang digunakan secara seragam baik bagi kelompok Ya­
hudi maupun pengikut Nabi Muhammad SAW di Madinah. Prinsip kebersamaan
dalam perbedaan keyakinan ini dinyatakan lebih tegas dari rumusan Al-Qur'an
U P
O
GR
yang terkenal tentang toleransi berkeyakinan yaitu “lakum diinukum walya diin”
(bagimu agamamu, dan bagiku agamaku) yang menggunakan subjek “aku” atau

A
“kami” versus “kamu”. Dalam Piagam Madinah digunakan kata “mereka”, baik
I
ED
untuk orang Yahudi maupun orang Mukmin dalam jarak yang sama. Sebuah se­
mangat dan praktik toleransi yang sangat tinggi yang pernah dicontohkan Nabi

M
Muhammad, selain menginklusifkan makna “umat” yang tidak sebatas pengikut-
A
D
nya semata. Semangat menjunjung hidup bersama dalam kemajemukan yang te-

N A
cermin dalam Piagam Madinah inilah yang menjadi penilaian ahli agama-agama
Robert N. Bellah dalam mencontohkan bentuk pertama “negara bangsa modern”

R E
(modern nation state) di masa Nabi Muhammad SAW.

P
Pada paruh kedua abad XVII, kaum bangsawan Inggris yang menang dalam
revolusi istana (The Glorious Revolution) telah mengakhiri absolutisme kekuasaan
raja dan menggantikannya dengan sistem parlemen sebagai pemegang kedaulatan.
Akhir dari revolusi ini adalah deklarasi kemerdekaan 12 negara koloni Inggris pada
1776, dengan menetapkan konstitusi sebagai dasar negara yang berdaulat.
Pada 1789 meletus revolusi di Perancis, ditandai oleh ketegangan di masyara­
kat dan terganggunya stabilitas keamanan negara. Kekacauan sosial di Perancis
memunculkan perlunya konstitusi. Maka, pada 14 September 1791 dicatat sebagai
peristiwa diterimanya konstitusi Eropa pertama oleh Louis XVI. Sejak peristiwa ini­
lah sebagian besar negara-negara di dunia, baik monarki maupun republik, nega­
ra kesatuan maupun federal, sama-sama mendasarkan prinsip ketatanegaraannya
pada sandaran konstitusi. Di Perancis muncul buku karya J.J. Rousseau, Du Contract
Social, yang mengatakan bahwa manusia terlahir dalam keadaan bebas dan sede­

112
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

rajat dalam hak-haknya, sedangkan hukum


Konstitusi sebagai UUD, atau sering
merupakan ekspresi dari kehendak umum
disebut dengan “Konstitusi Modern”
(rakyat). Pandangan Rousseau ini sangat baru muncul bersamaan dengan
men­jiwai hak-hak dan kemerdekaan rakyat perkembangan sistem demokrasi
(De Declaratioan des Droit d I’Homme et Du perwakilan. Demokrasi perwakilan
Citoyen). Deklarasi inilah yang mengilhami muncul sebagai pemenuhan
kebutuhan rakyat akan lembaga
pembentukan Konstitusi Perancis (1791),
perwakilan (legislatif). Lembaga
khu­susnya yang menyangkut hak-hak asasi ini dibutuhkan sebagai pembuat
manusia. Setelah peristiwa ini, maka muncul undang-undang untuk mengurangi
konstitusi dalam bentuk tertulis yang dipelo­ dan membatasi dominasi para raja.
pori oleh Amerika.
Konstitusi tertulis model Amerika tersebut kemudian diikuti oleh berbagai

U P
negara di Eropa, seperti Spanyol (1812), Norwegia (1814), dan Belanda (1815). Hal
yang perlu dicatat adalah bahwa konstitusi pada waktu itu belum menjadi hukum
O
GR
dasar yang penting. Konstitusi sebagai UUD, atau sering disebut dengan “Konsti­
tusi Modern” baru muncul bersamaan dengan perkembangan sistem demokrasi

A
perwakilan. Demokrasi perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan rakyat
I
ED
akan lembaga perwakilan (legislatif). Lembaga ini dibutuhkan sebagai pembuat
undang-undang untuk mengurangi dan membatasi dominasi para raja. Alasan

M
inilah yang menempatkan konstitusi tertulis sebagai hukum dasar yang posisinya
A
D
lebih tinggi daripada raja.

N A
D. SEJARAH LAHIR DAN PERKEMBANGAN KONSTITUSI DI INDONESIA
E
PR
Sebagai negara hukum, Indonesia memiliki konstitusi yang dikenal dengan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Undang-Undang Dasar 1945 dirancang se­
jak 29 Mei 1945 sampai 16 Juli 1945 oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiap­
an Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) atau dalam bahasa Jepang dikenal dengan
Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang beranggotakan 62 orang, diketuai Mr. Radjiman
Wedyodiningrat. Tugas pokok badan ini adalah menyusun rancangan Undang-
Undang Dasar. Namun dalam praktik persidangannya berjalan berkepanjangan,
khususnya pada saat membahas masalah dasar negara.
Di akhir sidang I, BPUPKI berhasil membentuk panitia kecil yang disebut de-
ngan Panitia Sembilan. Panitia ini pada 22 Juni 1945 berhasil mencapai kompromi
untuk menyetujui sebuah naskah mukadimah UUD. Hasil Panitia Sembilan ini ke­
mudian diterima dalam sidang II BPUPKI tanggal 11 Juli 1945. Setelah itu Soekar­
no membentuk panitia kecil pada tanggal 16 Juli 1945 yang diketuai oleh Soepomo
dengan tugas menyusun rancangan Undang-Undang Dasar dan membentuk pa­

113
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

nitia untuk mempersiapkan kemerdekaan, yaitu Panitia Persiapan Kemerdekaan


Indonesia (PPKI).
Keanggotaan PPKI berjumlah 21 orang dengan ketua Ir. Soekarno dan Moh.
Hatta sebagai wakilnya. Para anggota PPKI antara lain Mr. Radjiman Wedyodining­
rat, Ki Bagus Hadikoesoemo, Otto Iskandardinata, Pangeran Purboyo, Pangeran
Soerjohamidjojo, Soetarjo Kartohamidjojo, Prof. Dr. Mr. Soepomo, Abdul Kadir,
Drs. Yap Tjwan Bing, Dr. Mohammad Amir (Sumatera), Mr. Abdul Abbas (Su­
matera), Dr. Ratulangi, Andi Pangerang (keduanya dari Sulawesi), Mr. Latuhar­
hary, Mr. Pudja (Bali), A.H. Hamidan (Kalimantan), R.P. Soeroso, Abdul Wachid
Hasyim­, dan Mr. Mohammad Hassan (Sumatera).
Undang-Undang Dasar atau Konstitusi Negara Republik Indonesia disahkan
dan ditetapkan oleh PPKI pada hari Sabtu 18 Agustus 1945. Dengan demikian, se­

U
sistem ketatanegaraan, yaitu Undang-Undang Dasar atau Konstitusi Negara yang P
jak itu Indonesia telah menjadi suatu negara modern karena telah memiliki suatu

O
memuat tata kerja konstitusi modern. Istilah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD

GR
1945) yang memakai angka “1945” di belakang UUD sebagaimana dijelaskan oleh

A
Dahlan Thaib, dkk., barulah timbul kemudian, yaitu pada awal tahun 1959 ketika
I
ED
tanggal 19 Februari 1959 Kabinet Karya mengambil kesimpulan dengan suara bu­
lat mengenai “pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali ke UUD
1945.”
A M
Dalam perjalanan sejarah, konstitusi Indonesia telah mengalami beberapa kali

AD
pergantian baik nama maupun substansi materi yang dikandungnya. Perjalanan se­

N
jarah konstitusi Indonesia, antara lain:
E
P R
1. Undang-Undang Dasar 1945 yang masa berlakunya sejak 18 Agustus 1945–27
Desember 1949.
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat—lazim dikenal dengan sebutan konsti­
tusi RIS—dengan masa berlakunya 27 Desember 1949–17 Agustus 1950.
3. Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Republik Indonesia 1950 yang
masa berlakunya sejak 17 Agustus 1950–5 Juli 1959.
4. Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan pemberlakuan kembali konsti­
tusi pertama Indonesia dengan masa berlakunya sejak Dekrit Presiden 5 Juli
1959–sekarang.

E. PERUBAHAN KONSTITUSI DI INDONESIA


Sistem ketatanegaraan modern mengisyaratkan dua model perubahan kon­
stitusi, yaitu renewal (pembaruan) dan amendemen (perubahan). Renewal adalah
sistem perubahan konstitusi dengan model perubahan konstitusi secara keseluruh-

114
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

an, sehingga yang diberlakukan adalah konstitusi yang baru secara keseluruhan. Di
antara negara yang menganut sistem ini antara lain: Belanda, Jerman, dan Perancis.
Adapun, amendemen adalah perubahan konstitusi yang apabila suatu konstitusi
diubah, konstitusi yang asli tetap berlaku. Dengan kata lain, perubahan pada model
amendemen tidak terjadi secara keseluruhan bagian dalam konstitusi asli sehingga
hasil amendemen tersebut merupakan bagian atau lampiran yang menyertai kon­
stitusi awal. Negara yang menganut sistem ini adalah Amerika Serikat termasuk
Indonesia dengan pengalaman telah empat kali melakukan amendemen UUD.
Menurut Budiardjo, ada empat macam prosedur dalam perubahan konstitusi,
baik dalam model renewal (pembaruan) dan amendemen, yaitu:
1. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat di­
tetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan Undang-

nya. U P
Undang Dasar dan jumlah minimum anggota badan legislatif atau menerima-

O
GR
2. Referendum, pengambilan keputusan dengan cara menerima atau menolak
usulan perubahan undang-undang.

I A
3. Negara-negara bagian dalam negara federal (misalnya, Amerika Serikat, tiga

ED
perempat dari 50 negara-negara bagian harus menyetujui).
4. Perubahan yang dilakukan dalam suatu konvensi atau dilakukan oleh suatu

A M
lembaga khusus yang dibentuk hanya untuk keperluan perubahan.

D
Dalam perubahan keempat UUD 1945 diatur tentang tata cara perubahan un­
A
N
dang-undang. Bersandar pada Pasal 37 UUD 1945 menyatakan bahwa:

E
1. Usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar dapat diagendakan dalam
R
P
sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat apabila diajukan oleh sekurang-ku­
rangnya 1/3 dari jumlah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Setiap usul perubahan pasal-pasal Undang-Undang Dasar diajukan secara ter­
tulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta
alasannya.
3. Untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar, sidang Majelis Permu-
sya­waratan Rakyat dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
4. Putusan untuk mengubah pasal-pasal Undang-Undang Dasar dilakukan de-
ngan persetujuan sekurang-kurangnya lima puluh persen ditambah satu ang­
gota dari seluruh anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Wacana perubahan UUD 1945 mulai mengemuka seiring dengan perkembang­
an politik pasca Orde Baru. Sebagian kalangan menghendaki perubahan total UUD

115
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

1945 dengan cara membentuk konstitusi baru. Menurut kelompok ini, UUD 1945
dianggap tidak lagi sesuai dengan perkembangan politik dan ketatanegaraan In­
donesia, sehingga dibutuhkan konstitusi baru sebagai pengganti UUD 1945. Ada­
pun sebagian kelompok lain berpendapat bahwa UUD 1945 masih relevan denga­n
perkembangan politik Indonesia dan karenanya harus dipertahankan dengan
melakukan amendemen pada pasal-pasal tertentu yang tidak lagi sesuai dengan
perkembangan sosial-politik dewasa ini.
Pendapat kelompok yang terakhir ini didasarkan pada pandangan bahwa
dalam UUD 1945 terdapat Pembukaan yang jika UUD 1945 diubah akan berakibat
pada perubahan konsensus politik yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa
(founding fathers). Lebih dari sekadar perubah­an kesepakatan nasional, perubahan
UUD 1945 akan juga berakibat pada pembubaran Negara Kesatuan Republik Indo­
nesia (NKRI).

U
Dalam sejarah konstitusi Indonesia telah terjadi beberapa kali perubahan P
O
(amendemen) atas UUD 1945. Sejak Proklamasi 1945, telah terjadi perubahan-

GR
perubahan atas UUD negara Indonesia, yaitu:

I A
1. Undang-Undang Dasar 1945 (18 Agustus 1945–27 Desember 1949).

ED
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (27 Desember 1949–17 Agustus 1950).
3. Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (17 Agustus 1950–
5 Juli 1959).
A M
D
4. Undang-Undang Dasar 1945 (5 Juli 1959–19 Oktober 1999).

2000).
N A
5. Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I (19 Oktober 1999–18 Agustus

R E
6. Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I dan II (18 Agustus 2000–9 No­

P
vember 2001).
7. Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, dan III (9 November 2001–
10 Agustus 2002).
8. Undang-Undang Dasar 1945 dan Perubahan I, II, III, dan IV (10 Agustus 2002).

F. KONSTITUSI: PERANTI KEHIDUPAN KENEGARAAN


YANG DEMOKRATIS
Sebagaimana dijelaskan di awal, bahwa konstitusi merupakan aturan-aturan
dasar yang dibentuk untuk mengatur dasar hubungan kerja sama antara negara
dan masyarakat (rakyat) dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara. Se­
bagai sebuah aturan dasar yang mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara,
maka sepatutnya konstitusi dibuat atas dasar kesepakatan bersama antara negara
dan warga negara, agar satu sama lain merasa bertanggung jawab serta tidak terjadi

116
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

penindasan yang kuat terhadap yang lemah.


negara yang memilih demokrasi
Jika konstitusi dipahami sebagai pedo­
sebagai sistem ketatanegaraannya,
man dalam kehidupan berbangsa dan berne- maka konstitusi merupakan aturan
gara, maka konstitusi memiliki kaitan yang yang dapat menjamin terwujudnya
cukup erat dengan penyelenggaraan peme- demokrasi di negara tersebut
rintahan dalam sebuah negara. A. Hamid S. sehingga melahirkan kekuasaan atau
pemerintahan yang demokratis pula.
Attamimi berpendapat bahwa konstitusi Un­
dang-Undang Dasar adalah sebagai pemberi
pegangan dan pemberi batas, sekaligus tentang bagaimana kekuasaan negara harus
dijalankan. Adapun A.G. Pringgodigdo berpendapat bahwa adanya keempat unsur
pembentukan negara belumlah cukup menjamin terlaksananya fungsi kenegara­
an suatu bangsa kalau belum ada hukum dasar yang mengaturnya. Hukum dasar

U P
yang dimaksud adalah konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Dengan demikian,
keberadaan konstitusi atau Undang-Undang Dasar (UUD) dalam kehidupan ke-
O
negaraan menjadi sangat penting, karena ia menjadi acuan dan penentu arah dalam

GR
penyelenggaraan negara.

A
Konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis bagi
I
ED
seluruh warga negara. Negara yang memilih demokrasi sebagai sistem ketatanega­
raannya, maka konstitusi merupakan aturan yang dapat menjamin terwujudnya

M
demokrasi di negara tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau pemerintahan
A
D
yang demokratis pula. Kekuasaan yang demokratis dalam menjalankan prinsip-

N A
prinsip demokrasi perlu dikawal oleh masyarakat sebagai pemegang kedaulatan.
Agar nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan tidak diselewengkan, maka partisi­

R E
pasi warga negara dalam menyuarakan aspirasi perlu ditetapkan di dalam konsti­

P
tusi untuk berpartisipasi dalam proses-proses kehidupan bernegara.
Setiap konstitusi yang digolongkan sebagai konstitusi demokratis haruslah me­
miliki prinsip-prinsip dasar demokrasi. Secara umum, konstitusi yang dapat di­
katakan demokratis mengandung prinsip-prinsip dasar demokrasi, yaitu:
1. Menempatkan warga negara sebagai sumber utama kedaulatan.
2. Mayoritas berkuasa dan terjaminnya hak minoritas.
3. Adanya jaminan penghargaan terhadap hak-hak individu warga negara dan
penduduk negara, sehingga dengan demikian entitas kolektif, tidak dengan
sendirinya menghilangkan hak-hak dasar orang per orang.
4. Pembatasan pemerintahan.
5. Adanya jaminan terhadap keutuhan negara nasional dan integritas wilayah.
6. Adanya jaminan keterlibatan rakyat dalam proses bernegara melalui pemilihan
umum yang bebas.

117
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

7. Adanya jaminan berlakunya hukum dan keadilan melalui proses peradilan


yang independen.
8. Pembatasan dan pemisahan kekuasaan negara yang meliputi:
a. Pemisahan wewenang kekuasaan berdasarkan trias politica;
b. Kontrol dan keseimbangan lembaga-lembaga pemerintahan.
Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa tatanan dan praktik kehidupan ke­
negaraan mencerminkan suasana yang demokratis apabila konstitusi atau Undang-
Undang Dasar negara tersebut memuat rumusan tentang pengelolaan kenegaraan
secara demokratis dan pengakuan hak asasi manusia.

G. LEMBAGA KENEGARAAN SETELAH AMENDEMEN UUD 1945


Secara umum, sistem kenegaraan mengikuti pola pembagian kekuasaan dalam
pemerintahan sebagaimana yang dikemukakan oleh Montesquieu dengan teori
U P
O
trias politica-nya yang terkenal. Menurutnya, pada setiap pemerintahan terdapat

GR
tiga jenis kekuasaan, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Ketiga jenis kekuasa-
an ini terpisah satu sama lainnya, baik mengenai tugas maupun alat perlengkapan

I A
yang melakukannya. Karenanya, menurut teori ini tidak dapat dibenarkan adanya

ED
campur tangan antara satu kekuasaan pada lembaga kenegaraan dengan yang lain­
nya. Pemisahan kekuasaan mengandung arti bahwa ketiga kekuasaan ini masing-

A M
masing harus terpisah, baik lembaga maupun orang yang menanganinya. Namun

AD
demikian, teori pemisahan kekuasaan pemerintahan ini dalam praktiknya berbeda
pada satu negara dengan negara lainnya. Seperti halnya konsep demokrasi, budaya

E N politik pada suatu negara banyak berpengaruh

P R
Dalam kelembagaan negara,
salah satu tujuan utama
pada implementasi teori pemisahan kekuasaan
tersebut.
Dalam perjalanannya, sistem ketatanega­
amendemen UUD 1945 adalah
untuk menata keseimbangan raan Indonesia telah mengalami perubahan
antarlembaga negara. yang sangat mendasar terutama sejak adanya
Pentingnya penataan hubungan amendemen (perubahan) UUD 1945 yang di­
antarlembaga agar tidak terjadi lakukan MPR pasca-Orde Baru. Perubahan ter-
pemusatan kekuasaan dan
sebut dilatarbelakangi adanya kehendak untuk
kewenangan pada salah satu
institusi negara saja. Karena membangun pemerintahan yang demokratis
dengan pemusatan wewenang dengan check and balances yang setara dan
dan kekuasaan pada satu seimbang di antara cabang-cabang kekuasaan,
institusi, maka kehidupan ke- mewujudkan supremasi hukum dan keadilan,
tatanegaraan yang demokratis
serta menjamin dan melindungi hak asasi ma­
sulit diwujudkan.
nusia. Dalam kelembagaan negara, salah satu

118
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

tujuan utama amendemen UUD 1945 adalah untuk menata keseimbang­an antar­
lembaga negara. Pentingnya penataan hubungan antarlembaga agar tidak terjadi
pemusatan kekuasaan dan kewenangan pada salah satu institusi negara saja. Karena
dengan pemusatan wewenang dan kekuasaan pada satu institusi, maka kehidupan
ketatanegaraan yang demokratis sulit diwujudkan.
Sejak lengsernya Orde Baru pada 1998, telah terjadi empat kali perubahan
(amendemen) atas UUD 1945 yaitu Perubahan Pertama pada 1999, Perubahan
Kedua pada 2000, Perubahan Ketiga pada 2002, dan Perubahan Keempat pada
2002. Dalam empat kali perubahan ini, menurut pakar tata negara Jimly Asshid­
diqie, materi UUD 1945 yang asli telah mengalami perubahan materi yang dapat
dikatakan cukup mendasar. Secara substantif, tegas Asshiddiqie, perubahan yang
telah terjadi atas UUD 1945 telah menjadi konstitusi proklamasi itu menjadi kon­

U P
stitusi yang baru sama sekali, meskipun tetap dinamakan sebagai Undang-Undang
Dasar 1945. Perubahan Pertama atas UUD 1945 pada 19 Oktober 1999 merupakan
O
GR
tonggak sejarah yang berhasil mematahkan semangat konservatisme dan roman­
tisme pada sebagian kalangan masyarakat Indonesia yang beranggapan sangat me­

A
nyakralkan UUD 1945 sebagai sesuatu yang tidak bisa disentuh sama sekali oleh
I
ED
ide-ide perubahan.
Hasil amendemen yang berkaitan dengan kelembagaan negara dengan jelas

M
dapat dilihat pada Perubahan Pertama UUD 1945 yang memuat pengendalian
A
D
kekuasaan presiden, tugas serta wewenang DPR dan presiden dalam hal pemben-

N A
tukan undang-undang. Perubahan Kedua UUD 1945 berfokus pada penataan
ulang keanggotaan, fungsi, hak, maupun cara pengisiannya. Perubahan Ketiga

R E
UUD 1945 menitikberatkan pada penataan ulang kedudukan dan kekuasaan MPR,

P
jabatan presiden yang berkaitan dengan tata cara pemilihan presiden dan wakil
presiden secara langsung, pembentukan lembaga
negara baru yang meliputi Mahkamah Konstitusi
Perubahan Pertama atas UUD
(MK), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan 1945 pada 19 Oktober 1999
Komisi Yudisial (KY), serta aturan tambahan un­ merupakan tonggak sejarah
tuk Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Adapun, yang berhasil mematahkan
Perubah­an Keempat UUD 1945 mencakup ma­ semangat konservatisme dan
romantisme pada sebagian
teri tentang keanggotaan MPR, pemilihan presi-
kalangan masyarakat
den dan wakil presiden berhalangan tetap, serta Indonesia yang beranggapan
kewenangan presiden. sangat menyakralkan UUD
Dalam konteks perubahan UUD terdapat 1945 sebagai sesuatu yang
lima unsur penting yang disepakati oleh panitia tidak bisa disentuh sama
sekali oleh ide-ide perubahan.
ad hoc perubahan UUD 1945, yaitu:

119
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

1. Tidak melakukan perubahan atas Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945


yang meliputi sistematika, aspek kesejarahan, dan orisinalitasnya.
2. Tetap mempertahankan eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI).
3. Mempertegas Sistem Pemerintahan Presidensial.
4. Meniadakan penjelasan UUD 1945 dan hal-hal normatif dalam penjelasan di­
masukkan dalam pasal-pasal.
5. Perubahan dilakukan dengan cara penambahan (adendum).
Sebelum perubahan UUD 1945, alat-alat kelengkapan negara dalam UUD 1945
adalah Lembaga Kepresidenan, MPR, DPA, DPR, BPK, dan Kekuasaan Kehakiman.
Setelah amendemen secara keseluruhan terhadap UUD 1945, alat kelengkapan
negara yang disebut dengan lembaga tinggi negara menjadi delapan lembaga, yakni
MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, KY, dan BPK. Posisi masing-masing lembaga
U P
O
setara, yaitu sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki korelasi satu sama lain

GR
dalam menjalankan fungsi check and balances antarlembaga tinggi tersebut.
Reformasi ketatanegaraan di Indonesia terkait dengan lembaga kenegaraan se­

I A
bagai hasil dari proses amendemen UUD 1945 dapat dilihat pada tugas pokok dan

ED
fungsi lembaga tersebut yang dikelompokkan dalam kelembagaan legislatif, ekse­

M
kutif, dan yudikatif sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

1. Lembaga Legislatif
D A
A
Struktur lembaga perwakilan rakyat (legislatif) secara umum terdiri dari dua
N
R E
model, yaitu lembaga perwakilan rakyat satu kamar (unicameral) dan lembaga per­
wakilan rakyat dua kamar (bicameral). Dalam ketatanegaraan Indonesia, lembaga
P
legislatif direpresentasikan pada tiga lembaga, yakni MPR, DPR, dan DPD.
a. MPR
Seiring dengan tuntutan reformasi keberadaan MPR dalam sistem ketatanega­
raan Indonesia banyak melahirkan perdebatan. Satu pihak menghendaki MPR
dihilangkan karena fungsinya sebagai lembaga perwakilan rakyat sudah cukup
dilakukan oleh DPR, sementara di pihak lain tetap menghendaki MPR tidak
dibubarkan.
Dari ketiga lembaga legislatif tersebut posisi MPR merupakan lembaga yang
bersifat khas Indonesia. Menurut Asshiddiqie, keberadaan MPR terkandung
nilai-nilai historis yang cenderung dilihat secara tidak rasional dalam arti jika
kedudukannya sebagai suatu lembaga dihilangkan dapat dinilai menghilang­
kan satu pilar penting dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang justru di­

120
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

anggap perlu dilestarikan. Salah satu keberatan pihak yang mempertahankan


keberadaan MPR ini berargumentasi bahwa jika MPR ditiadakan atau hanya
sekadar dianggap nama dari parlemen dua kamar (bicameral), maka sila “Ke-
rakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan”
menjadi berubah. Prinsip permusyawaratan tecermin dalam kelembagaan MPR,
sedangkan prinsip perwakilan dianggap tecermin dalam kelembagaan DPR.
b. DPR
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga negara dalam sistem ketata-
negaraan Republik Indonesia yang merupakan lembaga perwakilan rakyat dan
memegang kekuasaan membentuk undang-undang. DPR memiliki fungsi le-
gislasi, anggaran, dan pengawasan. Di antara tugas dan wewenang DPR adalah:
ƒƒ Membentuk undang-undang yang dibahas dengan presiden untuk men­

aturan pemerintah pengganti undang-undang. U P


dapat persetujuan bersama. Membahas dan memberikan persetujuan per­

O
GR
ƒƒ Menerima dan membahas usulan RUU yang diajukan DPD yang berkaitan
dengan bidang tertentu dan mengikutsertakannya dalam pembahasan.

A
ƒƒ Menetapkan APBN bersama presiden dengan memerhatikan pertimbang­
I
ED
an DPD
ƒƒ Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan UU, APBN, serta kebi­
jakan pemerintah.
A M
ƒƒ Membahas serta menindaklanjuti hasil pemeriksaan atas kinerja dan per­

AD
tanggungjawaban keuangan negara yang disampaikan oleh BPK.

E N
ƒƒ Memberikan persetujuan kepada presiden untuk menyatakan perang,
membuat perdamaian, dan perjanjian dengan negara lain.

P R
ƒƒ Menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi ma­
syarakat dan sebagainya.
Dalam menjalankan fungsinya, anggota DPR memiliki hak interpelasi (yak­
ni, hak meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerin­
tah yang berdampak kepada kehidupan bermasyarakat dan bernegara), hak an­
gket (hal melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah yang diduga
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan), dan hak menyatakan
pendapat. Di luar institusi, anggota DPR juga memiliki hak mengajukan RUU,
mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, membela diri, hak
imunitas, serta hak protokoler.
Menurut Undang-Undang No. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Ke­
dudukan (Susduk) MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dalam melaksanakan tugas
dan wewenangnya, DPR berhak meminta pejabat negara, pejabat pemerintah,

121
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

badan hukum, atau warga masyarakat untuk memberikan keterangan. Jika per­
mintaan ini tidak dipatuhi, maka bisa dikenakan panggilan paksa (sesuai de-
ngan peraturan perundang-undangan). Jika panggilan paksa ini tidak dipenuhi
tanpa alasan yang sah, yang bersangkutan dapat disandera paling lama 15 hari
(sesuai dengan peraturan perundang-undangan).
c. DPD
Adapun Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga baru dalam
sistem ketatanegaraan Indonesia. Berdasarkan Perubahan Ketiga UUD 1945,
gagasan pembentukan DPD dalam rangka restrukturisasi parlemen di Indone­
sia menjadi dua kamar telah diadopsi. Dengan demikian, resmilah pengertian
dewan perwakilan di Indonesia mencakup DPR dan DPD, yang kedua-duanya
secara bersama-sama dapat disebut sebagai MPR.
Perbedaan keduanya terletak pada hakikat kepentingan yang diwakili
ma­sing-masing. DPR dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan DPD
U P
O
GR
dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah. DPD adalah lembaga negara
dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia yang merupakan wakil-wakil

I A
daerah provinsi dan dipilih melalui pemilihan umum yang memiliki fungsi: (1)

ED
Pengajuan usul, ikut dalam pembahasan dan memberikan pertimbangan yang
berkaitan dengan bidang legislasi tertentu (2) Pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang tertentu.
A M
Lembaga Eksekutif D
A
2.

N
Pemerintahan memiliki dua pengertian: (a) pemerintahan dalam arti luas, yaitu
E
R
pemerintahan yang meliputi keseluruhan lembaga kenegaraan (legislatif, eksekutif,

P
dan yudikatif); dan (b) pemerintahan dalam arti sempit, yaitu pemerintahan yang
hanya berkenaan dengan fungsi eksekutif saja. Dalam hal ini yang akan dibahas
adalah makna pemerintahan yang hanya berkenaan dengan kekuasaan eksekutif.
Di negara-negara demokratis, lembaga eksekutif terdiri dari kepala negara,
seperti raja, perdana menteri, atau presiden, beserta menteri-menterinya. Dalam
sistem presidensial (seperti Indonesia), menteri-menteri merupakan pembantu
presiden dan langsung dipimpin olehnya, sedangkan dalam sistem parlementer
para menteri dipimpin oleh seorang perdana menteri.
Kekuasaan eksekutif dimaknai sebagai kekuasaan yang berkaitan dengan pe­
nyelenggaraan kemauan negara dan pelaksanaan UU. Dalam negara demokratis,
kemauan negara dinyatakan melalui undang-undang. Maka, tugas utama lembaga
eksekutif adalah menjalankan undang-undang. Kekuasaan eksekutif mencakup be­
berapa bidang:

122
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

a. Diplomatik, yakni menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan negara-


negara lain.
b. Administratif, yakni melaksanakan undang-undang serta peraturan lain dan
menyelenggarakan administrasi negara.
c. Militer, yakni mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang, serta
keamanan dan pertahanan negara.
d. Yudikatif, yakni memberi grasi, amnesti, dan sebagainya.
e. Legislatif, yakni membuat rancangan undang-undang yang diajukan ke lem­
baga legislatif negara untuk disahkan, dan membuat peraturan-peraturan.
Dalam ketatanegaraan di Indonesia, sebagaimana pada UUD 1945 bahwa ke-
kuasaan eksekutif dilakukan oleh presiden yang dibantu oleh wakil presiden yang
dalam menjalankan kewajiban negara, seperti yang tercantum dalam Pasal 1, pre-

U P
siden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menurut Perubahan Ketiga UUD 1945

O
Pasal 6A, presiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung

GR
oleh rakyat. Adapun, sebelum amendemen UUD 1945, presiden (dan wakil presi-
den) dipilih oleh MPR. Sebagai kepala negara, presiden adalah simbol resmi nega­

I A
ra Indonesia di dunia. Sebagai kepala pemerintahan, presiden dibantu oleh men­

ED
teri-menteri dalam kabinet, memegang kekuasaan eksekutif untuk melaksanakan

M
tugas-tugas pemerintahan sehari-hari. Dengan adanya perubahan (amendemen)

D A
UUD 1945 pasca-Orde Baru, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR,
dan kedudukan antara presiden dan MPR adalah setara.

N A
Adapun wewenang, kewajiban, dan hak presiden, antara lain:

E
ƒƒ Memegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD.
R
P
ƒƒ Memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan
Angkatan Udara.
ƒƒ Mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR.
ƒƒ Melakukan pembahasan dan pemberian persetujuan atas RUU bersama DPR
serta mengesahkan RUU menjadi UU.
ƒƒ Menetapkan peraturan pemerintah.
ƒƒ Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
ƒƒ Membuat perjanjian internasional lainnya dengan persetujuan DPR.
ƒƒ Mengangkat duta dan konsul serta menerima penempatan duta negara lain
dengan memerhatikan pertimbangan DPR.
ƒƒ Memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi.
ƒƒ Memberi gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan lainnya yang diatur dengan
UU.

123
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

3. Lembaga Yudikatif: MA, MK, dan KY


Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, maka fungsi-fungsi legislatif,
eksekutif, dan yudikatif dikembangkan sebagai cabang-cabang kekuasaan yang ter­
pisah satu sama lain. Jika kekuasaan legislatif berpuncak pada MPR yang terdiri
dari dua kamar, yakni DPR dan DPD, maka cabang kekuasaan yudikatif berpuncak
pada kekuasaan kehakiman yang juga dipahami mempunyai dua pintu, yakni Mah­
kamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Kekuasaan kehakiman, dalam konteks
negara Republik Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menye­
lenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pan­
casila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.
Amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 telah membawa perubahan
kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan
perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh (a)
U P
O
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan

GR
Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, dan
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan (b) Mahkamah Konstitusi.

I A
Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,

ED
UUD 1945 yang telah diamandemen juga mengintroduksi suatu lembaga baru yang
berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial.

A M
Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan ha­

AD
kim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegak­
kan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

E N
Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar mengenai penye­

P R
lenggaraan kekuasaan kehakiman, mendorong perlunya dilakukan perubahan se­
cara komprehensif mengenai undang-undang yang berkaitan dengan Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penye­
lenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman,
jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan
dalam mencari keadilan.
1. Mahkamah Agung (MA) adalah salah satu kekuasaan kehakiman di Indone­
sia. Sesuai dengan UUD 1945 (Perubahan Ketiga), kekuasaan kehakiman di In­
donesia dilakukan oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Menu­
rut Undang-Undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MA antara lain:
a. Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya
yang diberikan oleh undang-undang.

124
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

b. Mengajukan tiga orang anggota hakim konstitusi.


c. Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan reha­
bilitasi.
2. Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan lembaga baru yang dilahirkan oleh
Perubahan Ketiga UUD 1945. Salah satu landasan yang melahirkan lembaga
ini karena sudah tidak ada lagi lembaga tertinggi negara. Maka itu bila terjadi
persengketaan antarlembaga tinggi negara, diperlukan sebuah lembaga khusus
yang menangani sengketa tersebut yang disebut Mahkamah Konstitusi (MK).
MK berkedudukan sebagai salah satu lembaga negara yang melakukan kekua­
saan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan pengadil­an guna
menegakkan hukum dan keadilan. Menurut Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, MK memiliki empat kewenangan dan satu
kewajiban.
U P
a. Kewenangan adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang pu­
O
GR
tusannya bersifat final untuk:
ƒƒ Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Re­

A
publik Indonesia Tahun 1945 (Judicial Review).
I
ED
ƒƒ Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya
diberikan oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

A M
ƒƒ Memutus pembubaran partai politik.
ƒƒ Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

AD
b. Kewajiban: MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa

E N
presiden dan/atau wakil presiden diduga:
1) Telah melakukan pelanggaran hukum berupa:

P R
ƒƒ Pengkhianatan terhadap negara;
ƒƒ Korupsi;
ƒƒ Penyuapan;
ƒƒ Tindak pidana lainnya;
2) atau perbuatan tercela lainnya, dan/atau;
3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden
sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Ta­
hun 1945.
Mahkamah Konstitusi beranggotakan sembilan orang hakim konstitusi
yang ditetapkan oleh presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh
MA, DPR, dan Presiden. Adapun Ketua MK dipilih dari dan oleh hakim kons-
titusi. Hakim konstitusi tidak boleh merangkap jabatan sebagai pejabat negara.
3. Komisi Yudisial (KY) adalah lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam

125
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasa­


an lainnya. Dibentuknya Komisi Yudisial dalam struktur kekuasaan kehakim­an
Indonesia adalah agar warga masyarakat di luar struktur resmi lembaga parle­
men dapat dilibatkan dalam proses pengangkatan, penilaian kinerja, dan ke­
mungkinan pemberhentian hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga dan
menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dalam
rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa. Untuk itu, diperlukan suatu institusi pengawasan yang indepen­
den terhadap para hakim. Institusi pengawasan yang dibentuk di luar struk­
tur Mahkamah Agung memberikan ruang penyerapan aspirasi masyarakat di
luar struktur resmi untuk dapat terlibat dalam proses pengangkatan para ha­
kim agung serta dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan
pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika. Dalam men­
jalankan tugasnya, Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap:
U P
a. Hakim Agung di Mahkamah Agung. O
GR
b. Hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada

A
di bawah Mahkamah Agung seperti Peradilan Umum, Peradilan Agama,
I
Peradilan Militer, dan badan peradilan lainnya.
c. Hakim Mahkamah Konstitusi.

M ED
4. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); fungsinya sebagai lembaga pemeriksa

D A
keuangan, BPK pada pokoknya lebih dekat menjalankan fungsi parlemen.

N A
Karena itu, hubungan kerja BPK dan parlemen sangat erat. Bahkan BPK dapat
dikatakan mitra kerja yang erat bagi DPR terutama dalam mengawasi ki-

R E
nerja pemerintahan, yang berkenaan dengan soal-soal keuangan dan kekaya­

P
an negara. BPK adalah lembaga negara Indonesia yang memiliki wewenang
memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Menurut UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, BPK merupakan lembaga yang bebas
dan mandiri. BPK memiliki tugas dan wewenang yang sangat strategis karena
menyangkut aspek yang berkaitan dengan sumber dan penggunaan anggaran
serta keuangan negara, yaitu:
a. Memeriksa tanggung jawab keuangan negara dan memberitahukan hasil
pemeriksaan kepada DPR, DPRD, dan DPD.
b. Memeriksa semua pelaksanaan APBN.
c. Memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang keuangan negara.
Dari tugas dan wewenang tersebut, BPK memiliki tiga fungsi pokok, yakni:
a. Fungsi operatif, yaitu melakukan pemeriksaan, pengawasan, dan penelitian
atas penguasaan dan pengurusan keuangan negara.

126
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

b. Fungsi yudikatif, yaitu melakukan tuntutan perbendaharaan dan tuntutan


ganti rugi terhadap pegawai negeri yang perbuatannya melanggar hukum
atau melalaikan kewajibannya, serta menimbulkan kerugian bagi negara.
c. Fungsi rekomendatif, yaitu memberikan pertimbangan kepada pemerintah
tentang pengurusan keuangan negara.
Reformasi kelembagaan negara yang terjadi di Indonesia bertujuan untuk
mengembalikan kedaulatan di tangan rakyat. Kedaulatan di tangan rakyat tidak
hanya diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, juga tecermin
dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang men­
jamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem penyelenggaraan pemerin­
tahan yang demokratis. Adanya pemisahan kekuasaan dan kewenangan antarlem­
baga negara diharapkan agar terciptanya check and balances. Pemisahan kekuasaan
P
dan check and balances dapat menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan pada
U
O
lembaga tertentu yang sangat rentan diselewengkan oleh para penyelenggara nega­

GR
ra. Dalam kondisi demikian, otoritarianisme dalam penyelenggaraan negara dan
pemerintahan dapat terhindari.

I A
Target akhir dari adanya reformasi kelembagaan negara adalah dapat mem­

ED
bawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan akuntabilitas publik
pemerintah, selain BPK, lembaga lain terlibat dalam penindakan dan pencegahan

A M
tindakan korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara, yakni Komisi Pem­

AD
berantasan Korupsi (KPK). KPK didirikan melalui Undang-Undang No. 30 Tahun
2000 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pembentukan KPK akibat

E N
tuntutan masyarakat sipil yang pesimis terhadap kinerja dan prestasi lembaga pe-

P R
negak hukum negara, yaitu kejaksaan dan kepolisian dalam hal pemberantasan
korupsi. Susunan komisioner KPK disaring dari usulan masyarakat kepada DPR
yang selanjutnya dilantik oleh presiden melalui
proses seleksi yang transparan. Pembentukan KPK akibat
Selain KY dan KPK, menurut Miriam Bu­ tuntutan masyarakat sipil yang
diardjo, terdapat beberapa lembaga baru yang pesimis terhadap kinerja dan
prestasi lembaga penegak
lahir di era Reformasi adalah:
hukum negara, yaitu kejaksaan
1. Komisi Hukum Nasional (KHN) yang dan kepolisian dalam hal
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden pemberantasan korupsi.
No. 15 Tahun 2000 tanggal 18 Februari Susunan komisioner KPK
disaring dari usulan masyarakat
200. Tujuan pendirian KHN adalah untuk kepada DPR yang selanjutnya
mewujudkan sistem hukum nasional demi dilantik oleh presiden melalui
untuk menegakkan supremasi hukum dan proses seleksi yang transparan.

127
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

hak asasi manusia berdasarkan keadilan dan kebenaran melalui kajian perso­
alan-persoalan hukum dan pembaruan di bidang hukum dengan melibatkan
beragam unsur di kalangan masyarakat.
2. Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Anak, atau biasa dikenal dengan
sebutan Komnas Perempuan. Lembaga ini dibentuk pada tanggal 15 Oktober
1998 melalui Keputusan Presiden No. 181 Tahun 1998. Lembaga independen
ini dibentuk sebagai mekanisme nasional untuk menghapus kekerasan terha­
dap perempuan.
3. Komisi Ombudsman Nasional (KON), yang didirikan pada 20 Maret 2000
berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2000. KON bertugas agar pela-
yan­an umum yang dilaksanakan instansi pemerintah berjalan baik. Melalui
kerja sama dengan sejumlah LSM dan peran serta masyarakat, KON memban­
tu menciptakan dan mengambangkan situasi kondusif dalam pemberantasan

U P
ko­rupsi, kolusi, dan nepotisme dalam rangka melindungi hak-hak masyaraka­t

R O
untuk memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan dengan baik.

G
I A
H. TATA URUTAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

E D
Sebagaimana dalam penjelasan konstitusi atau UUD Negara Republik Indone­
sia Tahun 1945 bahwa Indonesia ialah negara yang berdasar hukum (rechsstaat),

A M
tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Konsep rechsstaat mempunyai

A D
ciri-ciri sebagai berikut: (1) adanya perlindungan terhadap HAM; (2) adanya pe­
misahan dan pembagian kekuasaan pada lembaga negara untuk menjamin perlin-

E N
dungan HAM; (3) pemerintahan berdasarkan peraturan; dan (4) adanya peradilan

PR
administrasi. Dalam kaitan dengan negara hukum tersebut, tertib hukum yang ber­
bentuk adanya tata urutan perundang-undangan menjadi suatu kemestian dalam
penyelenggaraan negara atau pemerintahan.
Tata urutan perundang-undangan dalam kaitan implementasi konstitusi nega­
ra Indonesia merupakan bentuk tingkatan perundang-undangan. Sejak 1966 telah
dilakukan perubahan atas hierarki (tata urutan) peraturan perundang-undangan
di Indonesia. Tata urutan (hierarki) perundang-undangan perlu diatur untuk men­
ciptakan keteraturan hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di awal
1966, melalui Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 Lampiran 2, disebutkan bahwa
hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan MPR.
3. Undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

128
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

4. Peraturan pemerintah.
5. Keputusan presiden.
6. Peraturan-peraturan pelaksananya, seperti: (a) peraturan menteri; (b) instruksi
menteri; dan lainnya
Selanjutnya, berdasarkan Ketetapan MPR No. III Tahun 2000, tata urutan per­
aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sebagai berikut:
1. Undang-Undang Dasar 1945.
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
3. Undang-undang.
4. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
5. Peraturan pemerintah.

P
6. Keputusan presiden.
7. Peraturan daerah.

O U
GR
Penyempurnaan terhadap tata urutan perundang-undangan Indonesia terjadi
kembali pada 24 Mei 2004 ketika DPR menyetujui RUU Pembentukan Peraturan

I A
Perundang-undangan (PPP) menjadi undang-undang. Dalam UU No. 10 Tahun

ED
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP), yang berlaku
secara efektif pada November 2004. Keberadaan undang-undang ini sekaligus

A M
menggantikan pengaturan tentang tata urutan peraturan perundang-undangan

AD
yang ada dalam Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 sebagaimana tercantum di atas.
Tata urutan peraturan perundang-undangan dalam UU PPP ini sebagaimana di-

E N
atur dalam Pasal 7 sebagai berikut:
1.
2. P R
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang.
3. Peraturan pemerintah.
4. Peraturan presiden.
5. Peraturan daerah, yang meliputi: (a) Peraturan daerah provinsi; (b) Peraturan
daerah kabupaten/kota; dan (c) Peraturan desa.
Dengan dibentuknya tata urutan perundang-undangan, maka segala peratur­
an dalam hierarki perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan di
atasnya, tidak bisa dilaksanakan dan batal demi hukum. Sebagai contoh peraturan
pemerintah daerah (perda) syari’ah misalnya, secara otomatis tidak bisa dilaksa­
nakan dan batal demi hukum karena bertentangan dengan undang-undang di atas­
nya, yakni peraturan presiden dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hal serupa berlaku pula bagi peraturan presiden dengan sendirinya tidak dapat

129
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dilaksanakan apabila bertentangan dengan undang-undang, apalagi bertentangan


dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Demi menjaga keutuhan NKRI dan
persatuan Indonesia, hendaknya seluruh komponen politik tidak menjadikan per­
aturan atau gagasan yang bertolak belakang dengan UUD Negara Republik Indo­
nesia Tahun 1945 sebagai kompromi politik (political bargaining), khususnya dalam
proses suksesi politik di daerah (pilkada).

RANGKUMAN
1. Konstitusi merupakan kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan
pemerintahan, pihak yang diperintah (rakyat), dan hubungan di antara ke-
duanya.
2. Tujuan konstitusi adalah membatasi tindakan sewenang-wenang pemerin­
tah, menjamin hak-hak rakyat yang diperintah, dan menetapkan pelaksanaan
U
kekuasaan yang berdaulat. Adapun, fungsi konstitusi adalah sebagai dokumen
P
O
GR
nasional dan alat untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum nega­
ranya.

I A
3. Konstitusi demokratis meliputi: (1) Anatomi kekuasaan (kekuasaan politik)

ED
tunduk pada hukum; (2) Jaminan dan perlindungan hak-hak asasi manusia;
(3) Peradilan yang bebas dan mandiri; dan (4) Pertanggungjawaban kepada
M
rakyat (akuntabilitas publik) sebagai sendi utama dari asas kedaulatan rakyat.
A
D
4. Konstitusi merupakan media bagi terciptanya kehidupan yang demokratis

A
bagi seluruh warga negara. Negara yang memilih demokrasi sebagai pilihan­
N
E
nya, maka konstitusi demokratis merupakan aturan yang dapat menjamin ter­

P R
wujudnya demokrasi di negara tersebut sehingga melahirkan kekuasaan atau
pemerintahan yang demokratis pula. Agar nilai-nilai demokrasi yang diper­
juangkan tidak diselewengkan, maka partisipasi warga negara dalam menyu­
arakan aspirasi perlu ditetapkan di dalam konstitusi untuk ikut berpartisipasi
dan mengawal proses demokratisasi pada sebuah negara.
5. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, sebelum perubahan UUD Negara Re­
publik Indonesia tahun 1945, alat-alat kelengkapan negara dalam UUD Negara
Repiblik Indonesia Tahun 1945 adalah Lembaga Kepresidenan, MPR, DPA,
DPR, BPK, dan Kekuasaan Kehakiman. Setelah amendemen secara keseluruh­
an terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, alat kelengkapan
negara yang disebut dengan lembaga tinggi negara menjadi delapan lembaga,
yakni MPR, DPR, DPD, Presiden, MA, MK, KY, dan BPK. Posisi masing-ma­
sing lembaga setara, yaitu sebagai lembaga tinggi negara yang memiliki kore­

130
BAB 5 • KONSTITUSI & TATA PERUNDANGAN INDONESIA

lasi satu sama lain dalam menjalankan fungsi check and balances antarlembaga
tinggi tersebut.
6. Dengan dibentuknya tata urutan perundang-undangan, maka segala peraturan
yang bertentangan dengan peraturan di atasnya batal demi hukum dan tidak
bisa dilaksanakan.

LEMBAR KERJA

1. Apa yang dimaksud dengan konstitusi dan manfaatnya bagi sebuah negara?
2. Bagaimana menurut Saudara jika sebuah peraturan daerah (perda) didukung
oleh sebagian besar masyarakat, namun bertentangan dengan konstitusi nega­ra
atau peraturan di atasnya?

U P
O
3. Diskusikan apakah akibat-akibat yang ditimbulkan bila sebuah perda yang ber-

GR
tentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dijadikan tawar-
menawar politik (political bargaining) antara partai politik dengan calon kepala

A
daerah. Bisakah hal ini dibenarkan dengan alasan demokrasi meski berpeluang

I
mengancam persatuan dan kesatuan bangsa?

ED
4. Apakah konstitusi UUD Tahun 1945 hasil Amendemen telah memenuhi prinsip-

M
prinsip konstitusi demokratis? Diskusikan!
5.
A
Sepanjang era Reformasi telah lahir banyak lembaga baru seperti KPK, KY, KON,

D
dan lain-lain, menurut Saudara apakah Indonesia masih membutuhkan lembaga

N A
independen baru dan dalam bidang apa?

R E
P

131
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
NEGARA, AGAMA, DAN
WARGA NEGARA

S
alah satu unsur penting dalam membangun masyarakat
demokra­tis adalah peranan negara. Negara yang menjalan-
kan perannya secara demokratis akan menumbuhkan ma-
syarakat yang demokratis pula, dan masyarakat yang demokratis
harus bersinergi dengan negara dalam pembangunan peradaban
demokrasi. Hubungan antara negara dan masyarakat di dalam
kehidupan yang demokratis adalah hubungan setara yang saling
mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya.
U P
O
Negara demokratis adalah negara yang berperan aktif dalam

GR
membangun budaya demokrasi di kalangan warga negara dan
melaksanakan konstitusi demokrasi. Pada saat yang sama masyara­

I A
kat demokratis harus bersinergi dengan negara dalam pemba-
Bab
ED
ngunan peradaban demokrasi. Dalam konteks pembangunan de-
mokrasi di Indonesia, salah satu yang paling krusial adalah terkait
M
diharapkan dapat:
AD A
dengan pola hubungan antara negara dan agama dalam negara
bukan berdasarkan agama. Setelah mempelajari bab ini, Saudara 6
E N
ƒƒ Menjelaskan konsep tentang negara demokratis.

P R
ƒƒ Menjabarkan peran negara dalam membangun kehidupan de-
mokratis.
ƒƒ Membedakan beragam teori pembentukan negara dan pandang­
an ahli tentang hubungan negara dan agama.
ƒƒ Menjelaskan bermacam paradigma dan pola hubungan agama
dan negara.
ƒƒ Memaparkan sejarah pengalaman relasi negara dan agama (Is-
lam) di Indonesia di masa Orde Baru.
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

6
Negara, Agama, dan Warga Negara

U P
BEBERAPA tahun belakangan, isu mengenai agama dan negara di Indonesia cu-
kup ramai dibicarakan. Munculnya gerakan radikal yang anti terhadap Pancasila
O
dan pemerintah dalam NKRI tidak lepas dari dinamika hubungan antara agama

GR
dan Negara. Agama menurut beberapa kelompok dipandang perlu menjadi dasar

A
ne-gara, terutama karena Indonesia mayoritas penduduknya Muslim. Sebagian
I
ED
lainnya berpandangan tidak perlu menggunakan agama, karena kemajemukan In-
donesia. Perdebatan panjang antara negara, agama, dan warga negara telah terjadi

M
lama sebelum Indonesia merdeka, dan kini perlu diperjelas kembali kedudukan
A
D NEGARA
ketiganya terutama dalam perkembangan demokrasi Indonesia.

N A
A. KONSEP DASAR TENTANG
E
PR
1. Pengertian Negara
Istilah negara merupakan terjemahan dari beberapa kata asing: state (Inggris),
staat (Belanda dan Jerman), atau etat (Perancis). Secara terminologi, negara diarti­
kan sebagai organisasi tertinggi di antara satu kelompok masyarakat yang memi-
liki cita-cita untuk bersatu, hidup di dalam suatu kawasan, dan mempunyai peme-
rintahan yang berdaulat. Pengertian ini mengandung nilai konstitutif yang pada
lazimnya dimiliki oleh suatu negara berdaulat: masyarakat (rakyat), wilayah, dan
pemerintahan yang berdaulat. Lebih lanjut dari pengertian ini, negara identik de-
ngan hak dan wewenang.

2. Tujuan Negara
Sebagai sebuah organisasi kekuasaan dari kumpulan orang-orang yang men-
diaminya, negara harus memiliki tujuan yang disepakati bersama. Tujuan sebuah
negara dapat bermacam-macam, antara lain:

135
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

a. Bertujuan untuk memperluas kekuasaan.


b. Bertujuan menyelenggarakan ketertiban hukum.
c. Bertujuan untuk mencapai kesejahteraan umum.
Dalam tradisi Barat, pemikiran tentang terbentuknya sebuah negara memiliki
tujuan tertentu sesuai model negara tersebut. Dalam konsep dan ajaran Plato, tujuan
adanya negara adalah untuk memajukan kesusilaan manusia, sebagai perseorangan
(individu) dan sebagai makhluk sosial. Berbeda dengan Plato, menurut ajaran dan
konsep teokratis Thomas Aquinas dan Agustinus, tujuan negara adalah untuk men-
capai penghidupan dan kehidupan aman dan tenteram dengan taat kepada dan di
bawah pimpinan Tuhan. Pemimpin negara menjalankan kekuasaannya hanya ber-
dasarkan kekuasaan Tuhan yang diberikan kepadanya.
Dalam Islam, seperti yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, tujuan negara adalah
agar manusia bisa menjalankan kehidupannya dengan baik, jauh dari sengketa
U P
O
dan menjaga intervensi pihak-pihak asing. Paradigma ini didasarkan pada kon-

GR
sep sosiohistoris bahwa manusia diciptakan oleh Allah SWT dengan watak dan
kecenderungan berkumpul dan bermasyarakat, yang membawa konsekuensi antara

I A
individu-individu satu sama lain saling membutuhkan bantuan. Adapun, menurut

ED
Ibnu Khaldun, tujuan negara adalah untuk mengusahakan kemaslahatan agama
dan dunia yang bermuara pada kepentingan akhirat.

A M
Dalam konteks negara Indonesia, tujuan negara adalah untuk memajukan ke-

AD
sejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan keter-
tiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial

E N
sebagaimana tertuang dalam Pembukaan dan Penjelasan UUD Negara Republik

P R
Indonesia 1945. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan
suatu negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan publik, membentuk
suatu masyarakat adil dan makmur.

3. Unsur-unsur Negara
Suatu negara harus memiliki tiga unsur penting, yaitu rakyat, wilayah, dan
pemerintah. Ketiga unsur ini oleh Mahfud M.D. disebut sebagai unsur konstitutif.
Tiga unsur ini perlu ditunjang dengan unsur lainnya seperti adanya konstitusi dan
pengakuan dunia internasional yang oleh Mahfud disebut dengan unsur deklaratif.
Untuk lebih jelas memahami unsur-unsur pokok dalam negara ini, berikut
akan dijelaskan masing-masing unsur tersebut.
a. Rakyat dalam pengertian keberadaan suatu negara adalah sekumpulan manu-
sia yang dipersatukan oleh rasa persamaan dan bersama-sama mendiami suatu
wilayah tertentu. Tidak bisa dibayangkan jika ada suatu negara tanpa rakyat.

136
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

Hal ini mengingat rakyat atau warga negara adalah substratum personel dari
negara.
b. Wilayah adalah unsur negara yang harus terpenuhi karena tidak mungkin ada
negara tanpa ada batas-batas teritorial yang jelas. Secara umum, wilayah dalam
sebuah negara biasanya mencakup daratan, perairan (samudra, laut, sungai,
dan udara). Dalam konsep negara modern masing-masing batas wilayah terse-
but diatur dalam perjanjian dan perundang-undangan internasional.
c. Pemerintah adalah alat kelengkapan negara yang bertugas memimpin or-
ganisasi negara untuk mencapai tujuan bersama didirikannya sebuah negara.
Pemerintah, melalui aparat dan alat-alat negara, yang menetapkan hukum,
melaksanakan ketertiban dan keamanan, mengadakan perdamaian dan lain-
nya dalam rangka mewujudkan kepentingan warga negaranya yang beragam.

U P
Untuk mewujudkan cita-cita bersama tersebut dijumpai bentuk-bentuk ne-
gara dan pemerintahan. Pada umumnya, nama sebuah negara identik dengan
O
GR
model pemerintahan yang dijalankannya, misalnya, negara demokrasi dengan
pemerintahan sistem parlementer atau presidensial. Ketiga unsur ini dileng-

A
kapi dengan unsur negara lainnya, konstitusi.
I
ED
d. Pengakuan negara lain bersifat menerangkan tentang adanya negara. Hal ini
hanya bersifat deklaratif, bukan konstitutif, sehingga tidak bersifat mutlak. Ada

M
dua jenis pengakuan suatu negara, yakni pengakuan de facto dan pengakuan de
A
D
jure. Pengakuan de facto ialah pengakuan atas fakta adanya negara. Pengakuan

N A
ini didasarkan adanya fakta bahwa suatu masyarakat politik telah memenuhi
tiga unsur utama negara (wilayah, rakyat, dan pemerintah yang berdaulat).

R E
Adapun pengakuan de jure merupakan pengakuan akan sahnya suatu negara

P
atas dasar pertimbangan yuridis menurut hukum. Dengan memperoleh pe-
ngakuan de jure, maka suatu negara mendapat hak-haknya di samping kewa-
jiban sebagai anggota keluarga bangsa sedunia. Hak dan kewajiban dimaksud
adalah hak dan kewajiban untuk bertindak dan diberlakukan sebagai suatu
negara yang berdaulat penuh di antara negara-negara lain.

B. TEORI PEMBENTUKAN NEGARA


Banyak teori tentang terbentuknya sebuah negara. Di antara teori-teori terse-
but akan dipaparkan berikut ini.

1. Teori Kontrak Sosial (Social Contract)


Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa ne-
gara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial

137
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

masyarakat. Teori ini meletakkan negara untuk tidak berpotensi menjadi negara
tirani, karena keberlangsungannya bersandar pada kontrak-kontrak sosial antara
warga negara dengan lembaga negara. Penganut mazhab pemikiran ini, antara lain
Thomas Hobbes, John Locke, dan J.J. Rousseau.
a. Thomas Hobbes (1588-1679), yang menyatakan bahwa kehidupan manusia
terpisah dalam dua zaman, yakni keadaan selama belum ada negara, atau ke-
adaan alamiah (status naturalis, state of nature), dan keadaan setelah ada nega­
ra. Bagi Hobbes keadaan alamiah sama sekali bukan keadaan yang aman dan
sejahtera, tetapi sebaliknya, keadaan alamiah merupakan suatu keadaan sosial
yang kacau, tanpa hukum, tanpa pemerintah, dan tanpa ikatan-ikatan sosial
antar-individu di dalamnya. Karenanya, menurut Hobbes, dibutuhkan kontrak
atau perjanjian bersama individu-individu yang tadinya hidup dalam keadaan
alamiah lalu menyerahkan semua hak-hak kodrat yang dimilikinya kepada se-
U P
O
seorang atau sebuah badan yang disebut negara.

GR
b. John Locke (1632-1704). Berbeda dengan Hobbes yang melihat keadaan ala-
miah sebagai suatu keadaan yang kacau, John Locke melihatnya sebagai suatu

I A
keadaan yang damai, penuh komitmen baik, saling menolong antara individu-

ED
individu di dalam sebuah kelompok masyarakat. Sekalipun keadaan alamiah

M
dalam pandangan Locke merupakan sesuatu yang ideal, ia berpendapat bahwa

D A
keadaan ideal tersebut berpotensi memunculkan kekacauan lantaran tidak ada­
nya organisasi dan pimpinan yang dapat mengatur kehidupan mereka. Di sini,

N A
unsur pimpinan atau negara menjadi sangat penting demi menghindari konflik

R E
di antara warga negara.
Bersandar pada alasan inilah negara mutlak didirikan. Namun demikian,
P
menurut Locke, penyelenggara negara atau pimpinan negara harus dibatasi
melalui suatu kontrak sosial. Dasar pemikiran kontrak sosial antara negara dan
warga negara dalam pandangan Locke ini merupakan suatu peringatan bahwa
kekuasaan pemimpin (penguasa) tidak pernah mutlak, tetapi selalu terbatas.
Hal ini disebabkan karena dalam melakukan perjanjian individu-individu
war­ga negara tersebut tidak menyerahkan seluruh hak-hak alamiah mereka.
Menurut Locke, terdapat hak-hak alamiah yang merupakan hak-hak asasi war-
ga negara yang tidak dapat dilepaskan, sekalipun oleh masing-masing individu.
c. Jean Jacques Rousseau (1712-1778). Berbeda dengan Hobbes dan Locke, me-
nurut Rousseau keberadaan suatu negara bersandar pada perjanjian warga
negara untuk mengikatkan diri dengan suatu pemerintah yang dilakukan me-
lalui organisasi politik. Menurutnya, pemerintah tidak memiliki dasar kon-

138
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

traktual, melainkan hanya organisasi politiklah yang dibentuk melalui kontrak.


Pemerintah sebagai pimpinan organisasi negara dibentuk dan ditentukan oleh
yang berdaulat dan merupakan wakil-wakil dari warga negara. yang berdaulat
adalah rakyat seluruhnya melalui kemauan umumnya. Pemerintah tidak lebih
dari sebuah komisi atau pekerja yang melaksanakan mandat bersama tersebut.
Melalui pandangannya ini, Rousseau dikenal sebagai peletak dasar bentuk
negara yang kedaulatannya berada di tangan rakyat melalui perwakilan organi­
sasi politik mereka. Dengan kata lain, ia juga sekaligus dikenal sebagai peng-
gagas paham negara demokrasi yang bersumberkan pada kedaulatan rakyat,
yakni rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanyalah merupakan
wakil-wakil rakyat pelaksana mandat bersama.

P
2. Teori Ketuhanan (Teokrasi)

O U
Teori ketuhanan dikenal juga dengan istilah doktrin teokratis. Teori ini dite-
mukan baik di Timur maupun di belahan dunia Barat. Doktrin ketuhanan ini

GR
memperoleh bentuknya yang sempurna dalam tulisan-tulisan para sarjana Eropa

A
di abad pertengahan yang menggunakan teori ini untuk membenarkan kekuasaan
I
ED
mutlak para raja.
Doktrin ini memiliki pandangan bahwa hak memerintah yang dimiliki para

A M
raja berasal dari Tuhan. Mereka mendapat mandat Tuhan untuk bertakhta sebagai
penguasa. Para raja mengklaim sebagai wakil Tuhan di dunia yang mempertang-

AD
gungjawabkan kekuasaannya hanya kepada Tuhan, bukan kepada manusia. Prak-

N
tik kekuasaan model ini ditentang oleh kalangan monarchomach (penentang raja).
E
R
Menurut mereka, Raja tiran dapat diturunkan dari mahkotanya, bahkan dapat di-

P
bunuh. Mereka beranggapan bahwa sumber kekuasaan adalah rakyat.
Dalam sejarah tata negara Islam, pandangan teokratis serupa pernah dijalan-
kan oleh raja-raja Muslim sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Dengan mengklaim
diri mereka sebagai wakil Tuhan atau bayang-bayang Allah di dunia (khalifatullah
fi al-Ard, dzillullah fi al-Ard), para penguasa Muslim tersebut pada umumnya men-
jalankan kekuasaan mereka secara absolut dengan atas nama Tuhan dan hukum-
Nya. Serupa dengan para raja-raja di Eropa Abad Pertengahan, raja-raja Muslim
merasa tidak harus mempertanggungjawabkan kekuasaannya kepada rakyat, tetapi
langsung kepada Allah. Paham teokrasi Islam ini pada akhirnya melahirkan dok-
trin politik Islam sebagai agama sekaligus kekuasaan (dien wa dawlah). Pandangan
ini berkembang menjadi paham bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara
agama (church) dan negara (state).
Pandangan teokrasi ini sebenarnya bukan hanya terjadi dalam perjalanan seja-

139
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

rah Islam. Hal serupa terjadi pula dalam sejarah politik teokrasi di Barat, di mana
penguasa teokrasi Kristen menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok anti-
kerajaan. Berbeda dengan Islam yang kurang berhasil memisahkan antara kekua-
saan agama dan negara, Barat-Kristen secara umum mampu memisahkan antara
kekuasaan gereja dan negara. Keberhasilan ini biasa disebut dengan istilah sekulari-
sasi, atau pemisahan antara agama (gereja) dan negara (state).
Terpengaruh oleh perkembangan pemikiran dan sejarah politik Barat yang
berhasil memisahkan antara gereja dan negara, para pemikir modernis Muslim
mengajukan gagasan sekularistik serupa dengan penekanan bahwa agama (Islam)
harus dipisahkan dari urusan pemerintahan yang bersifat publik. Selain melihat sisi
positif pengalaman Barat dalam mengelola negara sebagai urusan publik, kalangan
pemikir Muslim memandang bahwa dalam praktiknya kekuasaan dalam Islam ha-
rus dipertanggungjawabkan, baik kepada Allah maupun rakyat.

U P
Pandangan ini sejalan dengan prinsip demokrasi global bahwa rakyatlah yang
O
GR
berdaulat, dan dari sanalah kekuasaan bersumber dan kepada rakyatlah kekuasaan
harus dipertanggungjawabkan. Sedangkan sebagai seorang penguasa Muslim, ten-

A
tu saja seorang pemimpin Muslim harus mempertanggungjawabkan semua urusan
I
ED
kepemimpinannya di dunia kepada Allah SWT. “Setiap Muslim adalah pemimpin,
dan setiap pemimpin bertanggung jawab terhadap orang-orang yang dia pimpin,”

M
demikian bunyi salah satu Hadis Nabi Muhammad SAW.
A
D
Semakin berkembangnya peradaban manusia, pertanggungjawaban politik

N A
pun mengalami perubahan sesuai tuntutan zaman. Dalam hal ini sistem demokrasi
menawarkan mekanisme pertanggungjawaban pemimpin melalui mekanisme pe-

R E
milihan umum di mana semua warga negara secara bebas terlibat menentukan

P
pilihannya dan terlibat mengawasi pelaksanaan pemerintahan yang mereka pilih
melalui orang-orang yang juga mereka pilih (anggota legislatif) untuk menjaga
hak-hak rakyat, diperjuangkan, dan dilindungi
Berbeda dengan Islam yang
oleh negara. Mekanisme pertanggungjawaban pu-
kurang berhasil memisahkan blik dalam sistem demokrasi selanjutnya dikenal
antara kekuasaan agama dan dengan istilah pelaksanaan fungsi saling mengon-
negara, Barat-Kristen secara trol dan mengawasi jalannya pemerintahan yang
umum mampu memisahkan
dilakukan oleh lembaga perwakilan (DPR) dan
antara kekuasaan gereja
dan negara. Keberhasilan ini lembaga eksekutif (pemerintah yang dipimpin
biasa disebut dengan istilah oleh seorang presiden atau perdana menteri). Me-
sekularisasi, atau pemisahan kanisme ini biasa disebut dengan istilah check and
antara agama (gereja) dan balance (kontrol dan keseimbangan).
negara (state).
Pengaruh sistem demokrasi terhadap dunia

140
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

Muslim tidaklah sepi dari pertentangan dan kerisauan di kalangan umat Islam.
Pro dan kontra mengiringi wacana pertemuan konsep dan tradisi politik Islam
dan sistem demokrasi. Namun demi-kian, pandangan pemikir Muslim asal Tunisia
Rashid Ghanoushi tentang demokrasi dapat dijadikan rujukan tentang kesesuaian
antara demokrasi dan Islam. Menurut Ghanoushi jika demokrasi adalah sebuah
sistem pemerintahan liberal yang memberikan kebebasan bagi rakyat untuk me-
milih pemimpin dan wakil mereka di parlemen sebagai cara peralihan kekuasaan,
sebagaimana kebebasan publik dan perlindungan atas hak asasi manusia, maka ti-
dak ada urusan bagi umat Islam dengan agama mereka untuk menolak demokrasi
yang berlaku di Barat.
Pandangan ini banyak disepakati namun juga banyak mendapatkan perlawan­
an sengit hingga saat ini dari kalangan pemikir dan kelompok Islam di sejumlah
negara Muslim, termasuk di Indonesia. Pan-
dangan ini mendapat perlawanan dari kelom-
U P
O
Menurut Ghanoushi jika

GR
pok yang menolak mentah-mentah sistem demokrasi adalah sebuah sistem
demokrasi karena keyakinan mere­ka bahwa pemerintahan liberal yang
memberikan kebebasan bagi

A
kekuasaan mutlak hanya milik dan bersumber
I rakyat untuk memilih pemimpin

ED
dari Allah semata. Padaha­l, sistem demokrasi dan wakil mereka di parlemen
sama sekali tidak meng­gugat kekuasaan Al- sebagai cara peralihan kekuasaan,

A M
lah SWT, ia hanya me­nawarkan bagaimana sebagaimana kebebasan publik
dan perlindungan atas hak asasi

D
kekuasaan publik diatur dan dipertanggung-

A
manusia, maka tidak ada urusan
jawabkan secara terbuka. Uraian tentang pan-

N
bagi umat Islam dengan agama
dangan cendekiawan Muslim atas demokrasi
E
mereka untuk menolak demokrasi

R
dapat disimak pada bab sebelumnya tentang yang berlaku di Barat.
demokrasi.
P
3. Teori Kekuatan
Secara sederhana teori ini dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena ada­
nya dominasi negara kuat melalui penjajahan. Menurut teori ini, kekuatan men-
jadi pembenaran (raison d’etre) dari terbentuknya sebuah negara. Melalui proses
penaklukan dan pendudukan oleh suatu bangsa atau kelompok (etnis) tertentu
atas kelompok lainnya, kemudian menjadi proses awal pembentukan suatu negara.
Dengan kata lain, terbentuknya suatu negara karena pertarungan kekuat­an di mana
sang pemenang memiliki kekuatan untuk membentuk sebuah negara. Peristiwa ini
dapat terjadi dalam sebuah kawasan yang ditempati oleh beragam suku, atau ke-
hadiran suatu bangsa pada sebuah kawasan yang didiami kelompok atau suku ter-
tentu.

141
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Teori ini berawal dari kajian antropologis atas pertikaian yang terjadi di ka-
lang­an suku primitif, di mana si pemenang akan menjadi penentu urusan kelom-
pok yang kalah. Bentuk penaklukan yang paling nyata di masa modern adalah
penaklukan dalam bentuk penjajahan bangsa Barat atas bangsa-bangsa Timur.
Setelah masa penjajahan berakhir di awal abad ke-20, dijumpai banyak negara baru
yang kemerdekaannya ditentukan oleh penguasa kolonial. Negara Malaysia, Brunei
Darussalam bisa dikategorikan ke dalam contoh negara yang kehadirannya dapat
dipahami lewat teori ini.
Lalu bagaimana dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ke dalam
teori manakah dapat dikategorikan? Ketiga teori tebentuknya negara di atas tam-
paknya kurang tepat disematkan secara ketat pada sejarah terbentuknya NKRI pada
1945. Berdirinya negara Indonesia bersandar pada semangat kebersamaan seluruh
komponen bangsa yang memiliki kesamaan pengalaman senasib dan seperjuang­

U P
an sebagai bangsa terjajah. Semangat inilah yang melahirkan rasa persatuan dan
O
GR
kesatuan di kalangan tokoh kebangsaan Indonesia untuk kemudian bersepakat
(gentleman agreement) untuk membentuk sebuah negara kesatuan dalam bentuk

A
republik yang berdasarkan prinsip-prinsip negara modern yang tidak berdasarkan
I
ED
atas suatu keyakinan (agama), kesukuan, kedaerahan, dan unsur-unsur primordial
lainnya. Hal ini terbukti dalam Pembukaan UUD 1945 dan dasar negara Indonesia

M
Pancasila yang bersifat inklusif dan terbuka.
A
A D
C. BENTUK-BENTUK NEGARA

E N
Negara memiliki bentuk yang berbeda-beda. Secara umum, dalam konsep dan

PR
teori modern, negara terbagi ke dalam dua bentuk: negara kesatuan (unitarian-
isme) dan negara serikat (federasi).

1. Negara Kesatuan
Negara kesatuan adalah bentuk suatu negara yang merdeka dan berdaulat, de-
ngan satu pemerintah pusat yang berkuasa dan mengatur seluruh daerah. Namun
dalam pelaksanaannya, negara kesatuan ini terbagi ke dalam dua macam sistem
pemerintahan: sentral dan otonomi.
a. Negara kesatuan dengan sistem sentralisasi adalah sistem pemerintahan yang
langsung dipimpin oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah di
bawahnya melaksanakan kebijakan pemerintah pusat. Praktik pemerintahan
Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto adalah salah satu contoh
sistem pemerintahan model ini.
b. Negara kesatuan dengan sistem desentralisasi adalah kepala daerah diberikan

142
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

kesempatan dan kewenangan untuk mengurus urusan pemerintah di wilayah-


nya sendiri. Sistem ini dikenal dengan istilah otonomi daerah atau swatantra.
Sistem pemerintahan negara Malaysia dan pemerintahan pasca-Orde Baru di
Indonesia dengan sistem otonomi khusus dapat dimasukkan ke model ini.

2. Negara Serikat
Negara serikat atau federasi merupakan bentuk negara gabungan yang terdi-
ri dari beberapa negara bagian dari sebuah negara serikat. Pada mulanya negara-
negara bagian tersebut merupakan negara yang merdeka, berdaulat, dan berdiri
sendiri. Setelah menggabungkan diri dengan negara serikat, dengan sendirinya
negara tersebut melepaskan sebagian dari kekuasaannya dan menyerahkannya ke-
pada negara serikat.

U P
Di samping dua bentuk ini, dari sisi pelaksana dan mekanisme pemilihannya,
bentuk negara dapat digolongkan ke dalam tiga kelompok: monarki, oligarki, dan
demokrasi.
O
GR
a. Monarki adalah model pemerintahan yang dikepalai oleh seorang raja atau

I A
ratu. Dalam praktiknya, monarki memiliki dua jenis: monarki absolut dan

ED
mo­narki konstitusional. Monarki absolut adalah model pemerintahan dengan
kekuasaan tertinggi di tangan satu orang raja atau ratu. Termasuk dalam kate­

A M
gori ini adalah Arab Saudi. Adapun, monarki konstitusional adalah bentuk

AD
pemerintahan yang kekuasaan kepala pemerintahannya dipegang oleh seorang
perdana menteri yang dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi negara.

E N
Praktik monarki konstitusional ini dijalankan di sejumlah negara, seperti Ma-

P R
laysia, Thailand, Jepang, dan Inggris. Dalam model monarki konstitusional ini,
kedudukan raja hanya sebatas simbol negara.
b. Oligarki adalah model pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang
yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu yang menguasai sum-
ber-sumber ekonomi dan politik. Suatu negara bisa saja tidak disebut sebagai
negar­a oligarki bahkan disebut sebagai negara demokrasi, namun pada kenya­
taannya dikuasai atau dijalankan oleh kelompok-kelompok tertentu yang do-
minan berkuasa.
c. Demokrasi adalah bentuk pemerintahan yang bersandar pada kedaulatan
rakyat atau mendasarkan kekuasaannya pada pilihan dan kehendak rakyat me-
lalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu) yang dilakukan secara periodik
dan berlangsung secara umum, jujur, adil, dan aman.

143
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

D. WARGA NEGARA INDONESIA (WNI)


Unsur lain dari sebuah negara yang berdaulat adalah adanya warga negara yang
menempati di kawasan negara tersebut. Lalu siapakah warga negara Indonesia itu?
Menurut Undang-Undang Kewarganegaraan Indonesia (UUKI) 2006, yang dimak-
sud dengan warga negara adalah warga suatu negara yang ditetapkan berdasarkan
peraturan perundang-undangan. Menurut UUKI 2006 (Pasal 4, 5, dan 6) mereka
yang dinyatakan sebagai warga negara Indonesia, antara lain:
1. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan/atau
berdasarkan perjanjian pemerintah Republik Indonesia dengan negara lain
sebelum undang-undang ini berlaku sudah menjadi warga negara Indonesia
(WNI).
2. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga
negara Indonesia.
U P
O
3. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara In-

GR
donesia dan ibu warga negara asing.
4. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara
asin­g dan ibu warga negara Indonesia.
I A
ED
5. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara Indo-

M
nesia, tetapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau hukum negara.

D A
6. Anak yang lahir dalam tenggang waktu tiga ratus (300) hari setelah ayahnya
meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya warga negara Indone-
sia.
N A
Indonesia.
R E
7. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara

P
8. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga negara as-
ing yang diakui oleh seorang ayah warga negara Indonesia sebagai anaknya dan
pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 tahun atau belum
kawin.
9. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia yang pada waktu lahir
tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.
10. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah negara Republik Indonesia
selama ayah dan ibunya tidak diketahui.
11. Anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibu-
nya tidak memiliki kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.
12. Anak yang lahir di luar wilayah negara Republik Indonesia dari seorang ayah
dan ibu warga negara Indonesia yang karena ketentuan dari negara tempat

144
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

anak tersebut dilakhirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang


bersangkutan.
13. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewar-
ganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengu-
capkan sumpah atau menyatakan janji setia.
Selanjutnya, Pasal 5 UUKI 2006 tentang Status Anak Warga negara Indonesia
menyatakan:
1. Anak warga negara Indonesia yang lahir di luar perkawinan yang sah, sebelum
berusia 18 tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang berke-
warganegaraan asing tetap diakui sebagai warga negara Indonesia.
2. Anak warga negara Indonesia yang belum berusia 5 tahun diangkat secara sah
sebagai anak oleh warga negara asing berdasarkan penetapan pengadilan tetap
diakui sebagai warga negara Indonesia.
U P
O
Adapun tentang pilihan menjadi warga negara bagi anak yang dimaksud pada

GR
pasal-pasal sebelumnya dijelaskan dalam Pasal 6 UUKI 2006, sebagai berikut:

I A
1. Dalam hal status kewarganegaraan Republik Indonesia terhadap anak seba­gai­

ED
mana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, huruf d, huruf h, huruf i, dan Pasal 5
berakibat anak berkewarganegaraan ganda, setelah berusia 18 (delapan belas)
M
tahun atau sudah kawin anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu
A
D
kewarganegaraannya.

A
2. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat
N
E
(1) dibuat secara tertulis dan disampaikan kepada pejabat dengan melampirkan

P R
dokumen sebagaimana ditentukan di dalam peraturan perundang-undangan.
3. Pernyataan untuk memilih kewarganegaraan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disampaikan dalam waktu paling lambat tiga tahun setelah anak berusia 18
tahun atau sudah kawin.

E. HUBUNGAN NEGARA DAN WARGA NEGARA


Hubungan negara dan warga negara ibarat ikan dan airnya. Namun tak jarang
hubungan antara keduanya tidak terjadi secara baik. Ketegangan antara warga ne-
gara dan negara banyak terjadi di negara-negara demokratis maupun negara yang
belum demokratis. Hubungan antara warga negara dan negara demokratis terjadi
secara seimbang (equal), sebaliknya di sejumlah negara yang belum mapan berde-
mokrasi teramat sering warga negara kehilangan hak-hak asasinya sebagai warga
negara. Peristiwa pelanggaran HAM warga negara yang acap kali diabaikan oleh
negara, seperti hak kebebasan berkeyakinan dan berserikat atau hak mendapatkan

145
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

perlindungan negara manakala jiwanya terancam


Peristiwa pelanggaran
masih sering terjadi di sejumlah negara, termasuk
HAM warga negara
yang acap kali diabaikan Indonesia.
oleh negara, seperti hak Hubungan antara negara dan warga negara
kebebasan berkeyakinan di Indonesia di atur dalam konstitusi negara, Un-
dan berserikat atau hak dang-Undang Dasar 1945. Negara Indonesia sesuai
mendapatkan perlindungan
dengan konstitusi, misalnya, berkewajiban untuk
negara manakala jiwanya
terancam masih sering menjamin dan melindungi seluruh warga negara
terjadi di sejumlah negara, Indonesia tanpa kecuali. Secara jelas dalam UUD
termasuk Indonesia. 1945 Pasal 34, misalnya, disebutkan bahwa fakir
miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh ne-
gara (ayat 1); negara mengembangkan sistem jami-
Kewajiban negara untuk
memenuhi hak-hak
U P
nan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tak mampu sesuai de-
warganya tidak akan dapat
O
GR
ngan martabat kemanusiaan (ayat 2); negara ber-
berlangsung dengan baik
tanpa dukungan warga tanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan

A
kesehatan dan fasilitas layanan umum yang layak
I
negara dalam bentuk

ED
pelaksanaan kewajibannya (ayat 3). Selain itu, negara juga berkewajiban untuk
sebagai warga negara. menjamin dan melindungi hak-hak warga negara

M
Misalnya, warga negara
dalam beragama sesuai dengan keyakinannya, hak
berkewajiban membayar
pajak dan mengontrol
D Amendapatkan pendidik­an, kebebasan berorganisa-
jalannya pemerintahan baik

N
melalui mekanisme kontrol A si dan berekspresi, dan sebagainya.
Kewajiban negara untuk memenuhi hak-hak

R E
tidak langsung melalui warganya tidak akan dapat berlangsung dengan

P
wakilnya di lembaga
baik tanpa dukungan warga negara dalam bentuk
perwakilan rakyat (DPR,
DPRD) maupun secara pelaksanaan kewajibannya sebagai warga negara.
langsung melalui cara- Misalnya, warga negara berkewajiban membayar
cara yang demokratis dan pajak dan mengontrol jalannya pemerintahan baik
bertanggung jawab. melalui mekanisme kontrol tidak langsung me-
lalui wakilnya di lembaga perwakilan rakyat (DPR,
DPRD) maupun secara langsung melalui cara-cara yang demokratis dan bertang-
gung jawab. Cara melakukan kontrol secara langsung bisa dilakukan melalui lem-
baga swadaya masyarakat (LSM), pers, atau demonstrasi yang santun dan tidak
mengganggu ketertiban umum.
Pada saat yang sama, dalam rangka menjamin hak-hak warga negara, negara
harus menjamin ke­amanan dan kenyamanan proses penyaluran as­pi­ra­si warga ne-
gara melalui penyediaan fasilitas publik (public space) dan penjagaan ruang publik

146
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

(public sphere) untuk dimanfaatkan seluas-luasnya bagi kepentingan umum. Di an-


tara fungsi ruang dan fasilitas publik itu adalah sebagai media atau wadah publik
untuk mengontrol negara dalam menjalankan fungsinya sebagai pelayan kepen-
ting­an publik maupun sebagai sarana komunikasi di antara kelompok warga negara.
Monopoli penggunaan ruang publik untuk kepentingan individu maupun ke-
lompok sosial dan politik di ruang publik yang sering terjadi pada dunia penyiaran
radio, televisi, ruang publik (gedung pemerintah, perkantoran, sekolah, tempat iba-
dah, jalan, jembatan, dan sebagainya) juga di mass media maupun online tidak bo-
leh terjadi. Peran negara sebagai pengatur dan penjaga kemaslahatan umum harus
berfungsi secara optimal, dan tidak boleh dikalahkan oleh kepentingan subjektif
warga negara, baik individu maupun kelompok. Tentu hal ini saja belumlah cu-
kup bagi negara, ia juga harus memberikan pelayanan publik yang profesional dan

rintahan yang baik dan bersih (clean and good governance).


U P
akuntabel, sebagaimana akan dijelaskan pada bab yang akan datang tentang peme-

O
GR
F. HUBUNGAN AGAMA DAN NEGARA: KASUS ISLAM

I A
Hal penting dari pembicaraan tentang negara adalah hubungan negara de-

ED
ngan agama. Diskursus antara keduanya telah berlangsung lama sekalipun di nega­
ra-negara demokrasi mapan. Wacana ini mendiskusikan bagaimana posisi agama
M
dalam konteks negara modern (nation state).
A
D
Demikian halnya dengan kasus Islam. Hubungan agama dan negara dalam

N A
konteks dunia Islam masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan para pa-
kar Muslim hingga kini. Menurut Azyumardi Azra, perdebatan itu telah berlang-

R E
sung sejak hampir satu abad, dan masih berlangsung hingga dewasa ini. Menurut

P
Azra pula, ketegangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara dalam Is-
lam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din)
dan negara (dawlah).
Berbagai eksperimen telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan
dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat Muslim. Seperti halnya per-
cobaan demokrasi di sejumlah negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di
banyak negara-negara Muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan
wacana demokrasi di kalangan negara-negara Muslim dewasa ini semakin menam-
bah maraknya perdebatan Islam dan negara.
Menurut catatan Abdul Aziz, hingga pertengahan abad ke-19, hampir tak di-
jumpai di kalangan pemikir Muslim yang melakukan kajian kritis terhadap bentuk
negara dalam Islam yang dikenal dengan sebutan kekhalifahan atau kesultanan,
yang telah mapan selama berabad-abad sejarah peradaban Islam. Model pemerin-

147
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

tahan kekhalifahan atau kesultanan yang diperin-


Munculnya wacana Khalifah
tah oleh seorang raja dengan mandat absolut telah
Islamiah adalah fenomena
yang muncul belakangan berlangsung di kawasan Muslim Timur Tengah
seiring persentuhan umat maupun dunia Melayu yang meliputi kawasan
Islam dengan ide-ide yang Asia Tenggara.
datang dari Barat. Wacana Di Indonesia sendiri wacana tentang kekhali-
tentang khilafah Islamiah
fahan ini sudah muncul di awal abad ke-20, dan
kembali bergaung bergaung
akhir-akhir ini akibat dari semakin intensif setelah peristiwa kekalahan
arus besar demokrasi global. pasukan kesultanan Turki Usmani pada perang
dunia pertama. Tiga organisasi Islam terbesar di
Indonesia, Sarekat Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama tercatat di antara
kelompok Umat Islam yang terlibat dalam wacana kekhalifahan tersebut.

U
politik ketatanegaraan yang dihasilkan oleh para pemikir Muslim didedikasikanP
Sepanjang kekuasaan absolut di tangan para raja, banyak karya-karya tentang

O
GR
kepada raja atau khalifah. Umumnya karya-karya tersebut berupa nasihat-nasihat
untuk para raja tentang menjadi pemimpin yang baik. Dengan kata lain, muncul-

A
nya wacana Khalifah Islamiah adalah fenomena yang muncul belakangan seiring
I
ED
persentuhan umat Islam dengan ide-ide yang datang dari Barat. Wacana tentang
khilafah Islamiah kembali bergaung akhir-akhir ini akibat dari arus besar demo-

M
krasi global. Respons balik umat Islam pun bersifat global, kekhawatiran terhadap
A
D
wacana global demokrasi direspons dengan mewacanakan kembali ide khilafah is-

N A
lamiah yang dinilai sebagai solusi menyeluruh. Di antara penyokong ide khalifah
Islam paling getol adalah organisasi Islam Hizbut Tahrir Internasional yang ber-

R E
markas di Inggris dan memiliki cabang di berbagai negara di dunia.

P
Perdebatan Islam dan negara berangkat dari keyakinan di kalangan umat Islam
bahwa Islam adalah sebuah agama yang lengkap dan menyeluruh (kaffah). Artinya
Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang menyeluruh (syumuli), yang meng-
atur semua kehidupan manusia, tidak saja mengandung dimensi hubungan antara
seorang hamba dengan Allah atau aspek ritual (‘ibadah), tetapi juga mengandung
ajaran tentang hubungan antara sesama manusia. Unsur terakhir ini termasuk di
dalamnya hal-hal terkait dengan politik dan ketatanegaraan.
Dari pandangan Islam sebagai agama yang komprehensif ini pada dasarnya
dalam Islam tidak dijumpai konsep pemisahan antara agama (din) dan politik (daw-
lah). Argumentasi ini sering dikaitkan dengan posisi Nabi Muhammad di Madinah.
Di kota hijrah ini, Nabi Muhammad berperan ganda, sebagai seorang pemimpin
agama sekaligus sebagai kepala negara yang memimpin sebuah sistem pemerin-
tahan awal Islam yang, oleh kebanyakan pakar, dinilai sangat modern di masanya.

148
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

Posisi ganda Nabi Muhammad di Kota Madinah disikapi beragam oleh kalang-
an ahli. Secara garis besar perbedaan pandangan ini bermuara pada apakah Islam
identik dengan negara atau se­­baliknya Islam tidak meninggalkan konsep yang te-
gas tentang bentuk negara, mengingat sepeninggal Nabi Muhammad tak seorang
pun dari sahabat-sahabatnya dapat menggantikan peran ganda Nabi Muhammad,
sebagai pemimpin dunia yang sekular dan sebagai si penerima wahyu Allah yang
sakral sekaligus.
Menyikapi realitas perdebatan tersebut, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa po-
sisi Nabi saat itu adalah sebagai Rasul yang bertugas menyampaikan ajaran (al-
Kitab) bukan sebagai penguasa. Menurut Ibnu Taimiyah, kalaupun ada pemerintah-
an, itu hanyalah sebuah alat untuk menyampaikan agama dan kekuasaan bukanlah
agama itu sendiri. Dengan ungkapan lain, politik atau negara dalam Islam hanyalah
sebagai alat bagi agama, bukan eksistensi dari agama Islam.

U P
Pendapat Ibnu Taimiyah ini bersumber pada ayat Al-Qur'an (QS. al-Hadid 57:
O
GR
25) yang artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami yang diser­
tai keterangan-keterangan, dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan timbang­

A
an, agar manusia berlaku adil, dan Kami turunkan besi, padanya ada kekuatan yang
I
ED
hebat dan manfaat-manfaat bagi manusia, dan agar Allah mengetahui siapa yang
menolong-Nya dan (menolong) Rasul-Nya yang gaib (daripadanya).” Bersandar

M
pada ayat ini, Ibnu Taimiyah menyimpulkan bahwa agama yang benar wajib memi-
A
D
liki buku petunjuk dan “pedang” penolong. Hal ini dimaksudkan bahwa kekuasaan

N A
politik yang disimbolkan dengan pedang menjadi sesuatu yang mutlak bagi agama,
tetapi kekuasaan itu bukanlah agama itu sendiri.

R E
Mengelaborasi pandangan Ibnu Taimiyah di atas, cendekiawan Muslim Ah-

P
mad Syafi’i Maarif menjelaskan bahwa istilah
dawlah yang berarti negara tidak dijum-pai
Mengelaborasi pandangan Ibnu
dalam Al-Qur'an. Istilah dawlah memang ada
Taimiyah di atas, cendekiawan
dalam Al-Qur'an pada surah al-Hasyr (QS. al- Muslim Ahmad Syafi’i Maarif
Hasyr 59: 7), tetapi ia tidak bermakna negara. menjelaskan bahwa istilah
Istilah tersebut dipakai secara figuratif untuk dawlah yang berarti negara tidak
melukiskan peredaran atau pergantian tangan dijumpai dalam Al-Qur'an. Istilah
dawlah memang ada dalam Al-
dari kekayaan. Qur'an pada surah al-Hasyr (QS.
Pandangan serupa pernah juga dikemuka- 59: 7), tetapi ia tidak bermakna
kan oleh sejumlah kalangan modernis Mesir, negara. Istilah tersebut dipakai
antara lain Ali Abdul Raziq dan Mohammad secara figuratif untuk melukiskan
peredaran atau pergantian
Husein Haikal. Menurut Haikal, prinsip-prin­
tangan dari kekayaan.
sip dasar kehidupan kemasyarakatan yang di­

149
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

berikan oleh Al-Qur'an dan As-Sunnah tidak ada yang langsung berkaitan dengan
keta­ta­negaraan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dalam Islam tidak terdapat su-
atu sistem pe­merintahan yang baku. Umat Islam bebas meng­anut sistem peme-
rintahan apa pun asalkan sistem tersebut menjamin persamaan antara para warga
negaranya, baik hak maupun kewajiban dan persamaan di hadapan hukum, dan
pelaksanaan urusan negara diselenggarakan atas dasar musyawarah (syura) dengan
berpegang kepada tata nilai moral dan etika yang diajarkan Islam.
Hubungan Islam dan negara modern secara teoretis dapat diklasifikasikan ke
dalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik, dan sekularistik.

1. Paradigma Integralistik
Paradigma integralistik hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi
Islam. Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga
U P
O
yang menyatu (integrated). Paham ini juga memberikan penegasan bahwa negara

GR
merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini me-

A
negaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan
I
ED
politik atau negara (dawlah).
Dalam pergulatan Islam dan negara modern, pola hubungan integratif ini ke-

A M
mudian melahirkan konsep tentang agama-negara, yang berarti bahwa kehidupan
kenegaraan diatur dengan menggunakan hukum dan prinsip agama. Dari sinilah

ADkemudian paradigma integralistik identik dengan pa-

E N
Menurut Haikal, prinsip- ham Islam ad-Din wa dawlah (Islam sebagai agama

R
prinsip dasar kehidupan dan negara), yang sumber hukum positifnya adalah

P
kemasyarakatan yang
diberikan oleh Al-Qur'an
dan As-Sunnah tidak
hukum Islam (syariat Islam). Paradigma integ­ralistik
ini antara lain dianut oleh negara Kerajaan Saudi Ara-
bia dan penganut paham Syi’ah di Iran. Kelompok
ada yang langsung
berkaitan dengan pencinta Ali r.a. ini menggunakan istilah Imamah
ketatanegaraan. sebagaimana dimaksud dengan istilah dawlah yang
banyak dirujuk kalangan Sunni.

2. Paradigma Simbiotik
Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada po-
sisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (simbiosis mutualita). Dalam
pandangan ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestari-
kan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan
agama sebagai sumber moral, etika, dan spiritualitas.

150
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

Paradigma simbiotik tampaknya bersesuaian dengan pandangan Ibnu Taimi-


yah tentang negara sebagai alat agama di atas. Dalam kerangka ini, Ibnu Taimiyah
mengatakan bahwa adanya kekuasaan yang mengatur kehidupan manusia meru-
pakan kewajiban agama yang paling besar, karena tanpa kekuasaan negara, maka
agama tidak bisa berdiri tegak. Pendapat Ibnu Taimiyah tersebut melegitimasi bah-
wa antara agama dan negara merupakan dua entitas yang berbeda, tetapi saling
membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak
saja berasal dari adanya kontrak sosial (social contract), tetapi bisa diwarnai oleh
hukum agama (syariat). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupa­n
bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongkan
kepada paradigma ini.

3. Paradigma Sekularistik
U P
O
Paradigma sekularistik beranggapan bahwa ada pemisahan yang jelas antara

GR
agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan

A
satu sama lain memiliki garapan masing-masing, sehingga keberadaannya harus
I
ED
dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi. Negara adalah
urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing warga
negara.
A M
Berdasar pada pemahaman yang dikotomis ini, maka hukum positif yang ber-

AD
laku adalah hukum yang berasal dari kesepakatan manusia melalui social contract

N
yang tidak terkait sama sekali dengan hukum agama (syariat). Konsep sekularistik
E
R
dapat ditelusuri pada pandangan Ali Abdul Raziq yang menyatakan bahwa dalam

P
sejarah kenabian Rasulullah SAW pun tidak ditemukan keinginan Nabi Muham-
mad SAW untuk mendirikan negara Islam. Negara Turki modern dapat digolong-
kan ke dalam paradigma ini.
Secara konseptual Indonesia memiliki cita-cita mendirikan negara yang ber-
sandar pada prinsip sekularistik, dengan pengertian pemisahan antara urusan
negara dan agama. Hal ini jelas tergambar pada pernyataan proklamator Indonesia
Mohammad Hatta dalam salah satu pidatonya tentang hubungan agama dan ne-
gara, seperti dikutip A.B. Kusuma, secara tegas Hatta menyatakan, “Kita tidak akan
mendirikan negara dengan dasar perpisahan antara “agama” dan “negara”, melain-
kan kita akan mendirikan negara modern di atas dasar perpisahan antara urusan
agama dengan urusan negara. Kalau urusan agama juga dipegang oleh negara,
maka agama menjadi perkakas negara, dan dengan itu hilang sifatnya yang murni.”
Pernyataan Bung Hatta ini tentu saja tidak bermaksud merendahkan peran

151
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dan posisi agama (Islam) dalam kehidupan


Secara tegas Hatta menyatakan, berbangsa dan bernegara di alam modern. Se-
“Kita tidak akan mendirikan
baliknya, Bung Hatta yang dikenal luas sebagai
negara dengan dasar perpisahan
antara ‘agama’ dan ‘negara’, sosok Muslim yang taat, hendak menempat-
melainkan kita akan mendirikan kan posisi agama dalam mahligainya yang
negara modern di atas dasar agung sebagai inspirasi moral bangsa, bukan
perpisahan antara urusan agama
sebagai alat kekuasaan negara (pemerintah
dengan urusan negara. Kalau
urusan agama juga dipegang
yang tengah berkuasa) sebagai banyak terjadi
oleh negara, maka agama di kawasan dunia lain.
menjadi perkakas negara, dan Terkait dengan Islam sebagai agama ma-
dengan itu hilang sifatnya yang yoritas bangsa Indonesia, Hatta menyatakan,
murni.”
“Urusan Negara urusan kita semua. Urusan
agama Islam adalah urusan umat dan masya-

U
rakat Islam semata-mata”. Pandangan futruristik proklamator Hatta ini menemu-P
O
GR
kan momentumnya di Indonesia saat ini. Dalam kenyataan politik praktis nasional,
fenomena penurunan angka perolehan suara partai politik berbasis agama yang

A
mengusung isu-isu bernuansa agama pada Pemilu 2014, menunjukkan ketidak-
I
ED
sepakatan masyarakat atas sikap sejumlah partai politik yang menjadikan agama
sebagai komoditas politik. Kenyataan ini bukan sebagai indikator menurunnya se-

M
mangat keagamaan masyarakat Indonesia, melainkan sebagai tanda kedewasaan
A
D
berdemokrasi masyarakat yang menyadari bagaimana seharusnya posisi agama

A
dalam sebuah negara Indonesia modern dengan sistem demokrasinya.

N
R E
G. HUBUNGAN NEGARA DAN AGAMA: PENGALAMAN

P
ISLAM INDONESIA
Indonesia dikenal sebagai negeri Muslim terbesar di dunia. Uniknya, Indone-
sia bukanlah sebuah negara Islam. Dari keunikan ini perdebatan pola hubungan
Islam dan negara di Indonesia merupakan perdebatan politik yang tidak kunjung
selesai. Perdebatan soal pola hubungan Islam dan negara ini telah muncul dalam
perdebatan publik sebelum Indonesia merdeka. Perdebatan tentang Islam dan na-
sionalisme Indonesia antara tokoh nasionalis Muslim dan nasionalis sekuler pada
tahun 1920-an merupakan babak awal pergumulan Islam dan negara pada kurun
waktu selanjutnya. Tulisan-tulisan tentang Islam dan watak nasionalisme Indonesia
menghiasi surat kabar pergerakan nasional pada waktu itu, menanggapi pandangan
dan paham sekuler yang dilontarkan kalangan tokoh nasionalis sekuler. Perdebatan
tentang Islam dan nasionalisme dan konsep negara sekuler diwakili masing-masing
oleh tokoh nasionalis Muslim Mohammad Natsir dan Soekarno dari kelompok na-

152
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

sionalis sekuler.
Perdebatan Islam dan konsep-konsep ideologi sekuler menemukan titik kli-
maksnya pada persidangan resmi dalam sidang-sidang majelis Badan Penyelidik
Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan pemerinta­h
Jepang pada 1945. Para tokoh nasionalis Muslim seperti H. Agus Salim, K.H. Mas
Mansur, dan K.H. Wachid Hasyim, menyuarakan suara aspirasi Islam dengan
meng­­ajukan usul konsep negara Islam dengan menjadikan Islam sebagai dasar ne­
gar­a bagi Indonesia merdeka. Usulan menjadikan Islam sebagai konsep negara dari
kelompok nasionalis Muslim bersandar pada alasan sosiologis bangsa Indonesia
yang mayoritas memeluk Islam sebagai agama dan keyakinannya.
Alasan kelompok nasionalis Muslim ini ditentang oleh kalangan nasionalis
sekuler yang mengajukan konsep negara sekuler. Menurut para nasionalis sekuler,

U P
kemajemukan Indonesia dan perasaan senasib melawan penjajah mendasari alasan
mereka menolak konsep negara agama (Islam) yang diajukan oleh kalangan nasio-
O
GR
nalis Muslim. Bagi mereka, Indonesia yang majemuk baik agama, suku, dan bahasa
harus melandasi berdirinya negara non-agama (sekuler). Pada kesempatan perhe-

A
latan konstitusional ini, tokoh nasionalis sekuler Soekarno merujuk pengalaman
I
ED
Turki Modern di bawah Kemal Attaturk dengan konsep negara sekulernya. Lebih
lanjut, Soekarno kembali menyuarakan konsep sekulernya tentang lima dasar nega­

M
ra Indonesia, yang kemudian dikenal dengan Pancasila.
A
D
Tentu saja paham kebangsaan Pancasila tidak mudah diterima oleh kelom-

N A
pok nasionalis Muslim. Bagi mereka, selain alasan mayoritas penduduk Indone-
sia memeluk Islam, Islam sebagai agama ciptaan Allah yang bersifat universal dan

R E
lengkap harus dijadikan dasar dalam tata kehidupan kenegaraan dan kebangsaan

P
Indonesia. Akhir dari perdebatan konstitusional BPUPKI menghasilkan kekhawa-
tiran bagi kelompok nasionalis dari kawasan Indonesia Timur. Kekhawatiran me-
reka diwujudkan melalui keinginan mereka mendirikan negara sendiri dengan me-
misahkan diri dari konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Ancaman
pemisah­an diri ini melahirkan kekhawatiran dari semua kelompok nasionalis yang
tengah berdebat tentang masa depan Indonesia. Namun demikian, di balik sengit-
nya perdebatan tentang dasar dan bentuk negara, berakhir dengan kesepakatan
atau kompromi politik di kalangan tokoh nasionalis baik Muslim maupun sekuler.
Klimaks dari perdebatan di sidang BPUPKI berakhir dengan kesediaan kalang­
an nasionalis Muslim untuk tidak memaksakan kehendak mereka menjadikan
Islam sebagai dasar negara Indonesia. Demi persatuan dan kesatuan serta terse-
lenggarakannya kemerdekaan bagi bangsa Indonesia dari cengkeraman penjajah,
mereka menerima konsep negara yang diajukan kalangan nasionalis sekuler, de-

153
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

ngan catatan negara menjamin dijalankannya syariat Islam bagi pemeluk Islam di
Indonesia. Hasil dari kompromi antara kelompok nasionalis Muslim dan nasionalis
sekuler dikenal dengan nama the gentlemen agreement yang tertuang dalam Piagam
Jakarta (Jakarta Charter) yang menyebutkan bahwa negara Indonesia berdasar-
kan Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluknya. Kompromi ini pada akhirnya berujung pada penghilangan tujuh kata
yang diperjuangkan kelompok Muslim dari Sila Pertama Pancasila.
Setelah Indonesia merdeka, hubungan Islam dan negara di bawah kepemim-
pinan Presiden Soekarno kembali mengalami ketegangan. Sumber ketegangan itu
berpusat pada perdebatan seputar tafsir klausul Sila Pertama Pancasila, “dengan ke-
wajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.” Alotnya perdebatan tersebut
berakhir pada kesepahaman di kalangan tokoh nasional bahwa NKRI adalah bukan
negara agama (Islam) dan juga bukan negara sekuler.

U P
Berikut catatan singkat pergumulan Islam dan negara di Indonesia: Pada kurun
O
GR
antara 1950-1959, ketika Indonesia menjalankan prinsip Demokrasi Parlementer,
ketegangan Islam dan negara kembali terulang dalam bentuk perseteruan sengit

A
antara kelompok partai politik Islam, seperti Partai Masyumi dan Partai NU, de-
I
ED
ngan partai politik sekuler: Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Nasionalis In-
donesia (PNI), dan sebagainya. Perseteruan ideologis Islam versus ideologi sekuler

M
kembali terjadi dalam persidangan Konstituante hasil Pemilu demokratis yang per-
A
D
tama pada 1955.

N A
Pemilu 1955 yang dinilai banyak ahli sebagai Pemilu paling demokratis dalam
sejarah politik nasional Indonesia ternyata tak menjamin terselenggarakannya pro­

R E
ses pembuatan konstitusi dengan baik. Sekalipun Majelis Konstituante hampir ram-

P
pung menyelesaikan tugas-tugas konstitusionalnya, ketidakstabilan politik dan an-
caman disintegrasi dianggap oleh Presiden Soekarno sebagai dampak langsung dari
Demokrasi Parlementer yang diadopsi dari Barat. Menurut Soekarno, demokrasi
ala Barat tidak sesuai dengan iklim politik Indonesia. Perseteruan sengit antara par-
tai-partai politik harus diakhiri dengan memberlakukan kembali UUD NRI 1945 di
bawah sistem Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) melalui Dekrit Presiden
5 Juli 1959. Sejak saat itu Presiden Soekarno memiliki kekuasaan yang tak terbatas,
bahkan dinobatkan sebagai presiden seumur hidup.
Kekuasaan Presiden Soekarno yang tidak terbatas di bawah Demokrasi Ter-
pimpin masih tetap mengakomodasi kekuatan Islam. Hubungan Islam dan negara
tecermin pada kepemimpinannya Presiden Soekarno yang menjalankan prinsip
fusi politik ciptaannya, NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis). Nasakom ter-
diri atas tiga komponen dominan dari hasil Pemilu 1955: PNI, Islam (diwakili NU),

154
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

dan PKI. Keberadaan PKI sangat penting bagi pemerintahan Soekarno karena per-
olehan suaranya yang sangat signifikan dalam Pemilu 1955. Model kepemimpinan
“tiga kaki” Presiden Soekarno ini menimbulkan kecemburuan politik di kalangan
militer di bawah Jenderal A.H. Nasution. Perseteruan politik dan ideo­logi antara
TNI (Tentara Nasional Indonesia) dengan PKI berdampak pada persekutuan poli-
tik antara kelompok Islam dan militer untuk menghadapi PKI yang tengah dekat
dengan Presiden Soekarno. Seperti perseteruan ideologi sebelumnya, ideologi sosi-
alis komunis menjadi alasan utama kelompok Islam untuk berkoalisi dengan TNI
melawan paham komunis.
Sistem Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno berakhir dengan peris-
tiwa politik yang tragis, Gerakan 30 September 1965. Gerakan makar ini menurut
beberapa ahli merupakan buah dari perseteruan ideologis panjang antara PKI dan

U P
TNI, khususnya Angkatan Darat, yang berujung pada pembunuhan sejumlah elite
pimpinan TNI di Lubang Buaya, Halim, Jakarta. Peristiwa ini sekaligus merupakan
O
GR
awal kejatuhan politik Presiden Soekarno dan awal naiknya kiprah politik Presiden
Soeharto. Melalui Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Panglima Kostrad

A
(Komando Strategis AD) Letnan Jenderal Soeharto kala itu memimpin pemulihan
I
ED
keamanan nasional dengan melakukan penumpasan terhadap semua unsur komu-
nis di Indonesia.

M
Akhir masa pemulihan keamanan berhasil menaikkan Letnan Jenderal Soe-
A
D
harto ke tampuk kepemimpinan nasional yang disahkan oleh sidang Umum MPRS

N A
(Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) di bawah pim­pin­an Jenderal A.H.
Nasution pada 1968. Dengan slogan kembali ke Pancasila secara murni dan kon-

R E
sekuen, Presiden Soeharto memulai kiprah kepemimpinan nasionalnya dengan

P
sebutan Orde Baru, sebagai pengganti Orde Lama yang dinilainya telah menyim-
pang dari Pancasila dan UUD 1945.

H. ISLAM DAN NEGARA BARU: DARI ANTAGONISTIK HINGGA


AKOMODATIF
Munculnya kekuasaan Orde Baru yang berpusat pada Presiden Soeharto mela-
hirkan babak baru hubungan Islam dan negara di Indonesia. Hubungan antara
keduanya secara umum dapat digolongkan ke dalam dua pola: antagonistis dan
akomodatif. Hubungan antagonistis merupakan sifat hubungan yang mencirikan
adanya ketegangan antara Islam dan Orde Baru. Antara keduanya terjadi saling
mencurigai; sedangkan akomodatif menunjukkan kecenderungan saling membu-
tuhkan antara kelompok Islam dan Orde Baru.
Hubungan antagonis antara pemerintahan Orde Baru dengan kelompok Islam

155
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dapat dilihat dari kecurigaan dan pengekangan kekuatan Islam yang berlebihan
yang dilakukan Presiden Soeharto. Sikap serupa merupakan kelanjutan dari sikap
kalangan nasionalis sekuler terhadap kelompok Islam, khususnya di era 1950-an di
kala Presiden Soekarno masih berkuasa.
Sikap curiga dan kekhawatiran terhadap kekuatan Islam membawa implikasi
terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domes-
tikasi (pendangkalan dan penyempitan) gerak kekuatan politik Islam, baik semasa
Orde Lama maupun di awal-awal pemerintahan Presiden Soeharto. Keinginan para
pemimpin dan aktivis politik Islam di era 40 dan 50 yang berjuang hendak menja-
dikan Islam sebagai ideologi dan/atau agama negara masih menyisakan kecurigaan
negara di era-era selanjutnya. Kuatnya kecurigaan pemerintahan Orde Baru ter-
hadap kekuatan umat Islam telah menempatkan kekuatan Islam sebagai kelom-

U P
pok minoritas atau di luar negara (outsider). Lebih dari sekadar curiga terhadap
kekuatan politik Islam, menurut pakar politik Islam Profesor Bahtiar Effendy, Islam
O
GR
sering dicurigai oleh negara Orde Baru sebagai anti-ideologi negara Pancasila.
Masih menurut Effendy, akar antagonisme hubungan politik antara Islam

A
dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman ke-
I
ED
agamaan umat Islam yang berbeda. Kecenderungan menggunakan Islam sebagai
simbol politik di kalangan aktivis Muslim di awal kekuasaan Orde Baru telah men-

M
jadi sebab kecurigaan pihak penguasa yang berakibat pada peminggiran Islam dari
A
D
arena politik nasional. Akibatnya, kebijakan politik kontrol dan represif terhadap

N A
kekuatan politik Islam mewarnai arah dan kecenderungan politik Orde Baru.
Pendekatan politik keamanan (security approaches) yang dilakukan Orde Baru

R E
dapat ditengarai pada sejumlah peristiwa kekerasan negara atas kelompok Islam di

P
era 1980-an yang dianggap sebagai penentang Asas Tunggal Pancasila. Kekerasan
politik dan peminggiran Islam dari pentas politik nasional yang dilakukan rezim
Orde Baru atas kekuatan Islam inilah menjadi karakter antagonistis hubungan Is-
lam dan negara Orde Baru, yang sejak berdirinya pada awal 1980-an Islam dianggap
sebagai ancaman serius bagi kelangsungan kekuasaan Presiden Soeharto. Waris­an
kebijakan politik Orde sebelumnya masih menghantui pola hubungan Islam dan
negara Orde Baru.
Pertengahan 1980-an merupakan awal perubahan pendulum hubungan Islam
dan pemerintahan Orde Baru. Hal ini ditandai dengan lahirnya kebijakan-kebijakan
politik Presiden Soeharto yang dinilai positif bagi umat Islam. Masih menurut Ef-
fendi, kebijakan-kebijakan Orde Baru memiliki dampak luas bagi perkembangan
politik Islam selanjutnya baik struktural maupun kultural.
Kecenderungan akomodasi negara terhadap Islam menurut Affan Gaffar dapat

156
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

ditengarai dengan adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan


keagamaan serta kondisi dan kecenderungan akomodasionis umat Islam sendiri
terhadap Orde Baru. Pemerintahan Soeharto mulai menyadari akan potensi umat
Islam sebagai kekuatan politik yang potensial. Adapun menurut Thaba, sikap ako-
modatif negara terhadap Islam lebih disebabkan oleh pemahaman negara terhadap
perubahan sikap politik umat Islam terhadap kebijakan negara, terutama dalam
konteks pemberlakuan dan penerimaan Asas Tunggal Pancasila. Perubahan sikap
umat Islam pada paruh kedua tahun 1980-an, dari menentang menjadi menerima
Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara ber-
sinergi dengan sejumlah kebijakan Orde Baru yang menguntungkan umat Islam
pada masa selanjutnya.
Pengesahan RUU Pendidikan Nasional, pengesahan RUU Peradilan Agama,

U P
pembolehan pemakaian jilbab bagi siswi Muslim di sekolah umum, kemunculan
organisasi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan lahirnya Yayasan
O
GR
Amal Bakti Muslim Pancasila yang langsung dipimpin oleh Presiden Soeharto
merupakan indikator adanya hubungan akomodatif yang dilakukan elite pengua-

A
sa Orde Baru terhadap Islam. Pola hubungan yang saling menguntungkan antara
I
ED
pemerintahan Presiden Soeharto dan kekuatan Islam masih berlanjut hingga ber-
akhirnya kekuasaan Orde Baru yang dijatuhkan oleh gerakan reformasi pada tahun

M
1998. Uniknya kejatuhan pemerintahan Presiden Soeharto tidak bisa dilepaskan
A
D
dari daya kritis kekuatan umat Islam, di mana berbagai elemen kekuatan sipil Is-

N A
lam ikut andil dalam mengkritisi kebijakan pemerintahan Orde Baru yang dinilai
penuh dengan praktik korupsi dan nepotisme.

R E
P
I. ISLAM DAN NEGARA DI ERA REFORMASI: BERSAMA MEMBANGUN
DEMOKRASI DAN MENCEGAH DISINTEGRASI BANGSA
Peran agama, khususnya Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sangat
strategis bagi proses transformasi dan substansialisasi demokrasi di Indonesia. Ke-
berhasilan Indonesia melaksanakan beberapa kali pemilihan umum dengan multi-
partai secara bebas dan aman menjadi petanda keberhasilan peran agama dalam
proses peralihan dan internalisasi demokrasi di Indonesia selanjutnya.
Kesuksesan Indonesia dalam berdemokrasi ini tentu saja tidak bisa dilepaskan
dari karakter ideologi negara Pancasila yang fleksibel dan akomodatif terhadap per­
ubahan mainstream politik global di mana demokrasi menjadi wacana dan prosedur
utamanya. Kontribusi Islam dan Pancasila terhadap proses demokratisasi sepanjang
era Reformasi ini telah berbuah positif bagi posisi Indonesia di mata dunia sebagai
negara Muslim paling demokratis di dunia Muslim dan menempati peringkat ketiga

157
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

sebagai negara demokratis di dunia setelah Amerika Serikat dan India.


Sisi positif sistem demokrasi bagi Indonesia tidak berarti tidak melahirkan
ancaman yang serius bagi keutuhannya sebagai sebuah bangsa. Sistem demokrasi
Indonesia juga membutuhkan peran penganut agama mayoritas yang berperan
mencegah ancaman disintegrasi bangsa dengan tetap memelihara sikap inklusif
dan toleran terhadap kodrat kemajemukan Indonesia. Sebaliknya, jika umat Islam
bersikap eksklusif dan cenderung memaksakan kehendak, dengan alasan sebagai
warga negara mayoritas, tidak mustahil kemayoritasan umat Islam akan lebih ber-
potensi menjelma sebagai ancaman disintegrasi daripada sebagai kekuatan integra-
tif bangsa.
Dalam konteks konsolidasi demokrasi setelah lengsernya Orde Baru yang oto­
riter, umat Islam seyogianya memandang dan menjadikan kesepakatan (agreement)
di antara kalangan nasionalis sekuler dan nasionalis Muslim untuk menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara NKRI sebagai komitmen kebangsaan yang harus
U P
O
GR
tetap dijaga dan dipertahankan sampai kapan pun. Kesepakatan tersebut harus di-
pandang sebagai komitmen suci (sacred commitment) para pendiri bangsa (foun-

A
ding fathers) yang harus dilestarikan sepanjang masa oleh semua warga bangsa.
I
ED
Komitmen untuk menjaga kesepakatan para pendiri bangsa inilah masa depan
demokrasi Indonesia diletakkan dalam rangka menguatkan Indonesia yang plural

M
dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
A
D
Bersandar pada komitmen kebangsaan tersebut adalah sangat tidak relevan,

N A
bahkan ahistoris, jika masih dijumpai segelintir individu maupun kelompok dalam
umat Islam yang hendak mengusung gagasan atau ide negara agama. Hal ini se-

R E
lain tidak sejalan dengan prinsip kebhinekaan dan demokrasi, tetapi juga meng-

P khianati kese­pakatan para pendiri bangsa yang di


antara mereka adalah para tokoh umat Islam yang
Dalam konteks konsolidasi
telah disebutkan di atas. Dengan ungkapan lain,
demokrasi setelah lengsernya
Orde Baru yang otoriter, umat
mempertahankan konsep NKRI dan Pancasila
Islam seyogianya memandang sebagai dasar negara tidak bisa di­lepaskan dari
dan menjadikan kesepakatan ijtihad umat Islam Indo­nesia yang harus terus
(agreement) di antara dijaga, dilestarikan, dan di­aktualisasikan dengan
kalangan nasionalis sekuler
pengembangan ajar­an-ajaran Islam yang berwa-
dan nasionalis Muslim untuk
menjadikan Pancasila sebagai wasan inklusif, kemanusiaan, keadilan, dan kein-
dasar NKRI sebagai komitmen donesiaan.
kebangsaan yang harus tetap Hal serupa berlaku pula bagi negara. Negara
dijaga dipertahankan sampai Indonesia memiliki kewajiban konsti­tusional un-
kapan pun.
tuk menjaga dan menjamin kemajemukan dan

158
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

demokrasi di Indonesia. Penyelenggara negara


Bersandar pada komitmen
(pemerintah) harus tetap menjaga dan meng-
kebangsaan tersebut adalah
awal sunnatullah kebhinekaan Indonesia yang sangat tidak relevan, bahkan
telah dijamin oleh konstitusi negara, dengan ahistoris, jika dijumpai segelintir
menindak tegas segala anasir yang me­reduksi individu maupun kelompok
kebhinekaan Indonesia dan keutuhan Negara dalam umat Islam yang hendak
mengusung gagasan atau ide
Kesatuan Republik Indonesia.
negara agama. Hal ini selain
Hal ini perlu menjadi kepedulian semua tidak sejalan dengan prinsip
komponen bangsa mengingat negara pun ber­ kebhinekaan dan demokrasi,
po­tensi menjadi ancaman bagi masa depan de- tetapi juga mengkhianati
mokrasi jika ia tampil sebagai kekuatan represif, kesepakatan para pendiri
bangsa yang di antara mereka
monolitik, dan mendominasi berbagai aspek ke-
adalah para tokoh umat Islam.
hidupan berbangsa dan bernegara, sebagaimana
perna­h terjadi di masa lalu. Lahirnya kekuatan
U P
O
GR
demok­rasi yang diperankan oleh berbagai komponen Masyarakat Madani di Indo-
nesia, seperti LSM, ormas sosial keagamaan, partai politik, mahasiswa, pers, aso-

A
siasi profesi, dan sebagainya, harus disikapi oleh negara sebagai instrumen penting
I
ED
dalam sebuah negara demokrasi. Keberadaan elemen-elemen demokrasi tersebut
harus didorong menjadi kekuatan vital bagi proses demokratisasi di Indonesia dan

M
menjadi pilar penjaga empat konsensus kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI,
A
D
dan Bhinneka Tunggal Ika.

N A
Untuk mewujudkan pola hubungan yang dinamis antara agama dan negara di
Indonesia, pemerintah dan masyarakat harus mengedepankan cara-cara dialogis

R E
manakala terjadi perselisihan pandangan antara keduanya. Untuk menopang tum-

P
buhnya budaya dialog, negara sebagai komponen penting di dalamnya harus tetap
menjaga prinsip-prinsip demokrasi, seperti kebebasan pers, kebebasan berorgan-
isasi, kebebasan berbicara dan mengeluarkan pendapat.
Pada saat yang sama, unsur-unsur masyarakat sipil dituntut untuk bertang-
gung jawab dalam menggunakan hak-hak demokrasi dan konstitusionalnya secara
bermartabat. Perilaku bermartabat dalam berdemokrasi dapat diwujudkan melalui
sikap menghindarkan diri dari tindakan main hakim sendiri, lebih-lebih dengan
mengatasnamakan agama, kelompok, maupun partai politik tertentu, untuk me-
maksakan kehendak individu maupun kelompok. Searah dengan prinsip dialogis
dalam mengungkapkan pendapat, peranan pers dan kelompok intelektual (cendeki-
awan, dosen, guru, tokoh masyarakat maupun ormas serta orpol dan pelajar-maha-
siswa) sangatlah vital dalam hal kesantunan dalam menyuarakan pendapat publik,
sebagai bagian dari praktik berdemokrasi di negara Pancasila.

159
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Tindakan main hakim sendiri sangatlah berlawanan dengan prinsip demokrasi


yang lebih mengedepankan cara-cara musyawarah atau menyerahkan segala seng-
keta hukum antar-warga negara maupun antara warga negara dengan negara kepa-
da lembaga hukum. Sikap mengancam atau merusak fasilitas umum dalam menge­
luarkan pendapat, lebih-lebih menggantikan peran penegak hukum atau melakukan
tindakan teror terhadap aparat hukum maupun kepada kelompok warga negara
lain, sama sekali bertentangan dengan semangat demokrasi dan keseimbang­an an-
tara hak dan kewajiban warga negara dalam suatu negara demokrasi. Tentu saja,
sikap destruktif juga sangat bertentangan dengan ajaran semua agama dan ideologi
Pancasila.
Negara dan agama, melalui kekuatan masyarakat sipil­nya adalah dua kompo-
nen utama dalam proses membangun demokrasi di Indonesia yang berkeadaban.
Dua komponen ini memiliki peluang yang sama sebagai komponen strategis bagi
pembangunan karakter bangsa dan demokrasi Indonesia. Salah satu dari pem-
U P
O
GR
bangunan karakter demokrasi ini adalah melalui proses membangun kepercayaan
(trust) di antara sesama warga negara maupun antara warga negara dan negara.

I A
ED
RANGKUMAN
1. Negara diartikan sebagai organisasi tertinggi di antara kelompok masyara-
M
kat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam satu kawasan, dan
A
D
mempunyai pemerintahan yang berdaulat. Dalam konsepsi Islam, tidak dite-

N A
mukan rumusan yang pasti (qathi’) tentang konsep negara. Dua sumber Islam,
Al-Qur'an dan Sunnah, tidak secara tersurat mendefinisikan model negara

R E
dalam Islam. Meskipun demikian, Islam mengajarkan banyak nilai dan etika

P
bagaimana seharusnya negara itu dibangun dan dibesarkan.
2. Hubungan agama dan negara di Indonesia lebih menganut pada asas ke-
seimbangan yang dinamis, jalan tengah antara sekularisme dan teokrasi. Ke-
seimbangan dinamis adalah tidak ada pemisahan agama dan politik, namun
masing-masing dapat saling mengisi dengan segala peranannya. Agama tetap
memiliki daya kritis terhadap negara dan negara punya kewajiban-kewajiban
terhadap agama. Dengan kata lain, pola hubungan agama dan negara di In-
donesia membantu apa yang sering disebut oleh banyak kalangan sebagai
hubung­an simbiotik-mutualita.
3. Secara konseptual, negara Indonesia dibangun dengan prinsip tidak berlan-
daskan pemisahan agama dan negara (sekularistik), tetapi berlandaskan pe-
mishana antara urusan negara dan urusan agama. Hal ini dirumuskan dengan

160
BAB 6 • NEGARA, AGAMA, & WARGA NEGARA

tujuan menjaga agar agama tidak dijadikan alat atau dimanipulasi oleh negara
atau kekuasaan demi kepentingan politik sesaat.

LEMBAR KERJA

1. Bagaimana sikap Saudara bila menjumpai individu atau kelompok masyarakat


yang hendak mengubah bentuk negara (NKRI) atau dasar negara Indonesia Pan-
casila dengan dasar sebuah agama atau ideologi tertentu?
2. Apa yang seharusnya dilakukan oleh negara dan warga negara ketika muncul ke-
inginan suatu kelompok yang hendak memisahkan diri dari NKRI dengan alas­an
kebebasan dan demokrasi?
3.
P
Bagaimana pola hubungan yang tepat antara agama dan negara dalam kerangka

U
negara demokrasi di Indonesia yang menjunjung tinggi keutuhan NKRI dan Bhin-

O
neka Tunggal Ika? Diskusikan pandangan Bung Hatta tentang masalah ini.

GR
4. Apa yang harus dilakukan warga negara Indonesia dalam menjaga konsep NKRI
dan dasar negara Pancasila?
5.
I A
Bagaimana hubungan negara dan warga negara dalam rangka pembangunan de-

ED
mokrasi di Indonesia?

A M
AD
E N
P R

161
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
HAK ASASI MANUSIA (HAM)

S
ebagaimana demokrasi, penegak­an hak asasi manusia (HAM)
merupakan unsur penting untuk mewu­judkan sebuah negara
yang berkeadaban (civilitized nation). Jika dua unsur ini ber-
jalan dengan baik, pada akhirnya akan lahir ma­syarakat sipil yang
demokra­tis, egaliter, dan peduli HAM. Pada bab ini, akan dibahas
unsur­-un­sur yang terkait dengan hak asasi manu­sia (HAM) yang
meliputi: pengertian, per­kembangan, dan bentuk HAM; hubungan
hak dan kewajiban; serta pelanggaran dan peng­adilan HAM. Di
akhir pembahasan, Saudara diharapkan dapat:
U P
O
ƒƒ Menjelaskan pengertian dasar HAM dan sejarah HAM dunia

GR
dan HAM di Indonesia.
ƒƒ Mengategorikan perkembangan HAM baik dalam konteks glob-
al maupun nasio­nal.
I A Bab
ED
ƒƒ Menentukan bentuk­bentuk pelanggaran HAM yang terjadi.
ƒƒ Menganalisis model pelanggaran HAM.
M
salitas HAM.

AD A
ƒƒ Membedakan antara teori relativisme kultural dan teori univer-

ƒƒ Menelaah prinsip-­prinsip kesetaraan gender dengan HAM.


7
E N
P R
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

7
Hak Asasi Manusia (HAM)

U P
TATA pemerintahan demokratis (democratic governance) sering dipahami dalam
tiga komponen: pemerintahan yang baik (good governance), hak asasi manusia
O
GR
(HAM), dan demokrasi. Indonesia sebagai negara yang tengah membangun bu-
daya demokrasi, berusaha memperbaiki ketiga komponen tersebut. Persoalannya

A
adalah memperbaiki ketiga komponen tersebut di era transisi menuju demokrasi
I
ED
bukan persoalan mudah. Di dalam penguatan hak asasi manusia (HAM), Indonesia
harus menjalankan dua hal sekaligus, perlindungan dan peningkatan HAM serta

M
kepatuh­an menjalankan mekanisme demokrasi yang akan memperkuat good go-
A
D
vernance untuk mencapai democratic governance.

A. PENGERTIAN HAM A
E N
PR
Menurut Teaching Human Rights yang diterbitkan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB), hak asasi manusia (HAM) adalah hak-hak yang melekat pada se-
tiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak
hidu­p, misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu
yang dapat membuat seseorang tetap hidup. Tanpa hak tersebut eksistensinya se-
bagai manusia akan hilang.
Senada dengan pengertian di atas adalah pernyataan awal hak asasi manusia
(HAM) yang dikemukakan oleh John Locke. Menurut Locke, hak asasi manusia
adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta seba­
gai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena sifatnya yang demikian, maka tidak ada
kekuasaan apa pun di dunia yang dapat mencabut hak asasi setiap manusia. HAM
adalah hak dasar setiap manusia yang dibawa sejak lahir sebagai anugerah Tuhan
Yang Maha Esa; bukan pemberian manusia atau lembaga kekuasaan.
Hak asasi manusia ini tertuang dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

165
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Asasi Manusia. Menurut UU ini, hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan di-
lindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN HAM


1. Sebelum Deklarasi Universal HAM 1948
Para ahli HAM menyatakan bahwa sejarah perkembangan HAM bermula dari
kawasan Eropa. Sebagian mengatakan jauh sebelum peradaban Eropa muncul,
HAM telah populer di masa kejayaan Islam seperti akan diuraikan dalam bagian
lain bab ini. Wacana awal HAM di Eropa dimulai dengan lahirnya Magna Charta
P
yang membatasi kekuasaan absolut para penguasa atau raja-raja. Kekuasaan absolut
U
O
raja, seperti menciptakan hukum tetapi tidak terikat dengan peraturan yang me-

GR
reka buat, menjadi dibatasi dan kekuasaan mereka harus dipertanggungjawabkan
secara hukum. Sejak lahirnya Magna Charta (1215), raja yang melanggar aturan

I A
kekuasaan harus diadili dan mempertanggungjawabkan kebijakan pemerintahan-

ED
nya di hadapan parlemen. Sekalipun kekuasaan para raja masih sangat dominan
dalam hal pembuatan undang-undang, Magna Charta telah menyulut ide tentang

A M
keterikatan penguasa kepada hukum dan pertanggungjawaban kekuasaan mereka
kepada rakyat.

AD
Lahirnya Magna Charta merupakan cikal bakal lahirnya monarki konstitu-

E N
sional. Keterikatan penguasa dengan hukum dapat dilihat pada Pasal 21 Magna

P R
Charta yang menyatakan bahwa “…para Pangeran dan Baron dihukum atau diden-
da berdasarkan atas kesamaan, dan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya.”
Adapun pada Pasal 40 ditegaskan bahwa “… tak seorang pun menghendaki kita
mengingkari atau menunda tegaknya hak atau keadilan.”
Empat abad kemudian, tepatnya pada 1689, lahir Undang-Undang Hak Asa-
si Manusia (HAM) di Inggris. Pada masa itu pula muncul istilah equality before
the law, kesetaraan manusia di muka hukum. Pandangan ini mendorong timbul-
nya wacana negara hukum dan negara demokrasi pada kurun waktu selanjutnya.
Menurut Bill of Rights, asas persamaan manusia di hadapan hukum harus diwujud-
kan betapa pun berat rintangan yang dihadapi, karena tanpa hak persamaan, maka
hak kebebasan mustahil dapat terwujud. Untuk mewujudkan kebebasan yang ber-
sendikan persamaan hak warga negara tersebut, lahirlah sejumlah istilah dan teori
sosial yang identik dengan perkembangan dan karakter masyarakat Eropa, dan
selanjutnya Amerika: kontrak sosial (J.J. Rousseau), trias politica (Montesquieu),

166
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

teori hukum kodrati (John Locke), dan hak-hak dasar persamaan dan kebebasan
(Thomas Jefferson).
Teori kontrak sosial adalah teori yang menyatakan bahwa hubungan antara pe-
nguasa (raja) dan rakyat didasari oleh sebuah kontrak yang ketentuan-ketentuan-
nya mengikat kedua belah pihak. Menurut kontrak sosial, penguasa diberi kekua-
saan oleh rakyat untuk menyelenggarakan ketertiban dan menciptakan keamanan
agar hak alamiah manusia terjamin dan terlaksana secara aman. Pada saat yang
sama, rakyat akan menaati penguasa mereka sepanjang hak-hak alamiah mereka
terjamin.
Trias politica adalah teori tentang sistem politik yang membagi kekuasaan
pemerintahan negara dalam tiga komponen: pemerintah (eksekutif), parlemen
(legislatif), dan kekuasaan peradilan (yudikatif).

U P
Teori hukum kodrati adalah teori yang menyatakan bahwa di dalam masyara-
kat manusia ada hak-hak dasar manusia yang tidak dapat dilanggar oleh negara
O
GR
dan tidak diserahkan kepada negara. Menurut teori ini, hak dasar ini bahkan harus
dilindungi oleh negara dan menjadi batasan bagi kekuasaan negara yang mutlak.

A
Hak-hak tersebut terdiri dari hak atas kehidupan, hak atas kemerdekaan, dan hak
I
ED
atas milik pribadi.
Hak-hak dasar persamaan dan kebebasan adalah teori yang mengatakan bahwa

M
semua manusia dilahirkan sama dan merdeka. Manusia dianugerahi beberapa hak
A
D
yang tidak terpisah-pisah, di antaranya hak kebebasan dan tuntutan kesenangan.

kemudian.
N A
Teori ini banyak dipengaruhi oleh Locke sekaligus menandai perkembangan HAM

R E
Pada 1789 lahir deklarasi Perancis. Deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum

P
yang menjamin hak asasi manusia dalam proses hukum, seperti larangan penang-
kapan dan penahanan seseorang secara sewenang-wenang tanpa alasan yang sah
atau penahanan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh lembaga hukum yang
berwenang. Prinsip presumption of innocent adalah bahwa orang-orang yang di-
tangkap dianggap tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuat­
an hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Prinsip ini kemudian dipertegas oleh
prinsip-prinsip HAM lain, seperti kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan
beragama, perlindungan hak milik, dan hak-hak dasar lainnya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai oleh munculnya wacana empat hak
kebebasan manusia (the four freedoms) di Amerika Serikat pada 6 Januari 1941,
yang diproklamirkan oleh Presiden Theodore Roosevelt. Keempat hak ini yaitu: hak
kebebasan berbicara dan menyatakan pendapat; hak kebebasan memeluk agama
dan beribadah sesuai dengan ajaran agama yang dipeluknya; hak bebas dari ke-

167
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

miskinan; dan hak bebas dari rasa takut.


Tiga tahun kemudian, dalam Konferensi Buruh Internasional di Philadel-
phia, Amerika Serikat, dihasilkan sebuah deklarasi HAM. Deklarasi Philadelphia
1944 ini memuat pentingnya menciptakan perdamaian dunia berdasarkan keadil­
an sosial dan perlindungan seluruh manusia apa pun ras, kepercayaan, dan jenis
kelaminnya. Deklarasi ini juga memuat prinsip HAM yang menyerukan jaminan
setiap orang untuk mengejar pemenuhan kebutuhan materiel dan spiritual secara
bebas dan bermartabat serta jaminan keamanan ekonomi dan kesempatan yang
sama. Hak-hak tersebut kemudian dijadikan dasar perumusan Deklarasi Universal
HAM (DUHAM) yang dikukuhkan oleh PBB dalam Universal Declaration of Hu-
man Rights (UDHR) pada 1948.
Menurut DUHAM, terdapat lima jenis hak asasi yang dimiliki oleh setiap in-
dividu: hak personal (hak jaminan kebutuhan pribadi); hak legal (hak jaminan

U P
perlindungan hukum); hak sipil dan politik; hak subsistensi (hak jaminan adanya
O
GR
sumber daya untuk menunjang kehidupan); dan hak ekonomi, sosial, budaya.
Menurut Pasal 3-21 DUHAM, hak personal, hak legal, hak sipil, dan politik

A
meliputi:
I
ED
a. Hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi.
b. Hak bebas dari perbudakan dan penghambaan.

A M
c. Hak bebas dari penyiksaan atau perlakuan maupun hukuman yang kejam, tak

AD
berperikemanusiaan ataupun merendahkan derajat kemanusiaan.
d. Hak untuk memperoleh pengakuan hukum di mana saja secara pribadi.

E N
e. Hak untuk pengampunan hukum secara efektif.

wenang.
P R
f. Hak bebas dari penangkapan, penahanan, atau pembuangan yang sewenang-

g. Hak untuk peradilan yang independen dan tidak memihak.


h. Hak untuk praduga tak bersalah sampai terbukti bersalah.
i. Hak bebas dari campur tangan yang sewenang-wenang terhadap kekuasaan
pribadi, keluarga, tempat tinggal, maupun surat-surat.
j. Hak bebas dari serangan terhadap kehormatan dan nama baik.
k. Hak atas perlindungan hukum terhadap serangan semacam itu.
l. Hak bergerak.
m. Hak memperoleh suaka.
n. Hak atas satu kebangsaan.
o. Hak untuk menikah dan membentuk keluarga.
p. Hak untuk mempunyai hak milik.
q. Hak bebas berpikir, berkesadaran, dan beragama.

168
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

r. Hak bebas berpikir dan menyatakan pendapat.


s. Hak untuk berhimpun dan berserikat.
t. Hak untuk mengambil bagian dalam pemerintahan dan hak atas akses yang
sama terhadap pelayanan masyarakat.
Adapun hak ekonomi, sosial, dan budaya meliputi:
a. Hak atas jaminan sosial.
b. Hak untuk bekerja.
c. Hak atas upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
d. Hak untuk bergabung ke dalam serikat-serikat buruh.
e. Hak atas istirahat dan waktu senggang.
f. Hak atas standar hidup yang pantas di bidang kesehatan dan kesejahteraan.

P
g. Hak atas pendidikan.
h.
U
Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan yang berkebudayaan dari masya-
rakat.
O
2. Setelah Deklarasi Universal HAM 1948 GR
I A
Secara garis besar, perkembangan pemikiran tentang HAM pasca-Perang Du-

M ED
nia II dibagi menjadi empat kurun generasi.
Generasi pertama, merupakan generasi yang mendefinisikan HAM hanya
A
berpusat pada bidang hukum dan politik. Dampak Perang Dunia II sangat mewar-
D
N A
nai pemikiran generasi ini, di mana totaliterisme dan munculnya keinginan nega-
ra-negara yang baru merdeka untuk menciptakan tertib hukum yang baru sanga­t
E
kuat. Seperangkat hukum yang disepakati sangat sarat dengan hak-hak yuridis,
R
P
seperti hak untuk hidup, hak untuk tidak menjadi budak, hak untuk tidak disiksa
dan ditahan, hak kesamaaan dan keadilan dalam proses hukum, hak praduga tidak
bersalah, dan sebagainya. Selain dari hak-hak tersebut, hak nasionalitas, hak pemi-
likan, hak pemikiran, hak beragama, hak pendidikan, hak pekerjaan, dan kehidup­
an budaya juga mewarnai pemikiran HAM generasi pertama ini.
Generasi kedua, merupakan generasi yang berpikiran bahwa HAM tidak saja
menuntut hak yuridis seperti yang dikampanyekan generasi pertama, tetapi juga
menyerukan hak-hak sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Pada generasi kedua ini
lahir dua konvensi HAM Internasional di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, serta
konvensi bidang sipil dan hak-hak politik sipil (international covenant on economic,
social, and cultural rights dan international covenant on civil and political rights).
Kedua konvensi tersebut disepakati dalam sidang umum PBB 1966.
Generasi ketiga. Generasi ini menyerukan wacana kesatuan HAM antara hak

169
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

ekonomi, sosial, budaya, politik, dan hukum dalam satu bagian integral yang dike-
nal dengan istilah hak-hak melaksanakan pembangunan (the rights of development),
sebagaimana dinyatakan oleh Komisi Keadilan Internasional (International Comis-
sion of Justice). Pada era generasi ketiga ini peranan negara tampak begitu dominan.
Generasi keempat, ditandai oleh lahirnya pemikiran kritis HAM. Pemikir­
an HAM generasi keempat dipelopori oleh negara-negara di kawasan Asia yang
pada tahun 1983 melahirkan deklarasi HAM yang dikenal dengan Declaration of
the Basic Duties of Asia People and Government. Lebih maju dari generasi sebelum-
nya, deklarasi ini tidak saja mencakup tuntutan struktural, tetapi juga menyerukan
terciptanya tatanan sosial yang lebih berkeadilan. Tidak hanya masalah hak asasi,
deklarasi HAM Asia ini juga berbicara tentang masalah kewajiban asasi yang harus
dilakukan oleh setiap negara. Secara positif deklarasi ini mengukuhkan keharusan

pelaksanaan dan penghormatan atas hak asasi manusia bukan saja urusan orang
U P
imperatif setiap negara untuk memenuhi hak asasi rakyatnya. Dalam kerangka ini,

O
GR
perorangan, tetapi juga merupakan tugas dan tanggung jawab negara.

A
C. PERKEMBANGAN HAM DI INDONESIA
I
ED
Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Secara garis besar, perkembangan pemikir­
M
an HAM di Indonesia dapat dibagi ke dalam dua periode: sebelum kemerdekaan
A
D
(1908–1945) dan sesudah kemerdekaan.

1.
N A
Periode Sebelum Kemerdekaan (1908-1945)

R E
Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam

P
sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional, seperti Boedi Oetomo (1908),
Sarekat Islam (1911), Indische Partij (1912), Partai Komunis Indonesia (1920), Per-
himpunan Indonesia (1925), dan Partai Nasional
Dalam sejarah pemikiran Indonesia (1927). Lahirnya organisasi pergerakan
HAM di Indonesia, Boedi nasional ini tidak bisa dilepaskan dari sejarah
Oetomo mewakili organisasi pelanggar-an HAM yang dilakukan oleh penguasa
pergerakan nasional mula- kolonial yang melakukan pemerasan hak-hak ma-
mula yang menyuarakan
syarakat terjajah. Puncak perdebatan HAM yang
kesadaran berserikat dan
mengeluarkan pendapat dilontarkan oleh para tokoh pergerakan nasional,
melalui petisi-petisi yang seperti Soekarno, Agus Salim, Mohammad Natsir,
ditujukan kepada pemerintah Mohammad Yamin, K.H. Mas Mansur, K.H. Wa-
kolonial maupun lewat chid Hasyim, dan Mr. Maramis, terjadi dalam si-
tulisan di surat kabar.
dang Badan Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan

170
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

Indonesia (BPUPKI). Dalam sidang BPUPKI tersebut para tokoh nasional berdebat
dan berunding merumuskan dasar-dasar ketatanegaraan dan kelengkapan negara
yang menjamin hak dan kewajiban negara dan warga negara dalam negara yang
hendak diproklamirkan.
Dalam sejarah pemikiran HAM di Indonesia, Boedi Oetomo mewakili organi­
sasi pergerakan nasional yang mula-mula yang menyuarakan kesadaran berserikat
dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang ditujukan kepada pemer-
intah kolonial maupun lewat tulisan di surat kabar. Inti dari perjuangan Boedi
Oetomo adalah perjuangan akan kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat
melalui organisasi massa dan konsep perwakilan rakyat. Sejalan dengan wacana
HAM yang diperjuangkan Boedi Oetomo, para tokoh Perhimpunan Indonesia,
seperti Mohammad Hatta, Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, A. Maramis, lebih

right of self determination) masyarakat terjajah.


U P
menekankan perjuangan HAM melalui wacana hak menentukan nasib sendiri (the

O
GR
Diskursus HAM terjadi pula di kalangan tokoh pergerakan Sarekat Islam (SI)
seperti Tjokro Aminoto, H. Samanhudi, dan Agus Salim. Mereka menyerukan pen-

A
tingnya usaha-usaha untuk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari
I
ED
penindasan dan diskriminasi rasial yang dilakukan pemerintah kolonial. Berbeda
dengan pemikiran HAM di kalangan tokoh nasionalis sekuler, para tokoh SI men-

M
dasari perjuangan pergerakannya pada prinsip-prinsip HAM dalam ajaran Islam.
A
2.
A D
Periode Setelah Kemerdekaan

N
Perdebatan tentang HAM terus berlanjut sampai periode pasca-kemerdekaan
E
PR
Indonesia: 1945-1950, 1950-1959, 1959-1966, 1966-1998, dan periode HAM Indo-
nesia kontemporer (pasca-Orde Baru).

a. Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal pasca-kemerdekaan masih menekankan
pada wacana hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk berserikat melalui organi­
sasi politik yang didirikan, serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat
terutama di parlemen. Sepanjang periode ini, wacana HAM bisa dicirikan melalui:
1) Bidang Sipil dan Politik, pada: UUD 1945 (Pembukaan, Pasal 26, Pasal 27, Pasal
28, Pasal 29, Pasal 30, Penjelasan Pasal 24 dan 25); Maklumat Pemerintah 1 No-
vember 1945; Maklumat Pemerintah 3 November 1945; Maklumat Pemerintah
14 November 1945; KRIS, khususnya Bab V, Pasal 7-33; dan KUHP Pasal 99.
2) Bidang ekonomi, sosial, dan budaya, melalui: UUD 1945 (Pasal 27, Pasal 31,
Pasal 33, Pasal 34, Penjelasan Pasal 31-32) KRIS Pasal 36-40.

171
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

b. Periode 1950-1959
Periode 1950-1959 dikenal dengan masa Demokrasi Parlementer. Sejarah pe-
mikiran HAM pada masa ini dicatat sebagai masa yang sangat kondusif bagi sejarah
perjalanan HAM di Indonesia. Sejalan dengan prinsip demokrasi liberal di masa
itu, suasana kebebasan mendapat tempat dalam kehidupan politik nasional. Menu-
rut catatan Bagir Manan, masa gemilang sejarah HAM Indonesia pada masa ini
tecermin pada lima indikator HAM:
1) Munculnya partai-partai politik dengan beragam ideologi.
2) Adanya kebebasan pers.
3) Pelaksanaan pemilihan umum secara aman, bebas, dan demokratis.
4) Kontrol parlemen atas eksekutif.
5) Perdebatan HAM secara bebas dan demokratis.

U P
Berbagai partai politik yang berbeda haluan dan ideologi sepakat tentang sub-
O
GR
stansi HAM universal dan pentingnya HAM masuk dalam UUD 1945. Bahkan di-
usulkan supaya keberadaan HAM mendahului bab-bab UUD.

A
Tercatat pada periode ini Indonesia meratifikasi dua Konvensi Internasional
I
ED
HAM, yaitu:
1) Konvensi Genewa (1949) yang mencakup perlindungan hak bagi korban per-

A M
ang, tawanan perang, dan perlindungan sipil di waktu perang.

AD
2) Konvensi tentang Hak Politik Perempuan yang mencakup hak perempuan un-
tuk memilih dan dipilih tanpa perlakuan diskriminasi, serta hak perempuan

E N
untuk menempati jabatan publik.

c.
P R
Periode 1959-1966
Periode ini merupakan masa berakhirnya Demokrasi Liberal, digantikan oleh
sistem Demokrasi Terpimpin yang terpusat pada kekuasaan Presiden Soekarno.
Demokrasi Terpimpin (Guided Democracy) tidak lain sebagai bentuk penolakan
Presiden Soekarno terhadap sistem Demokrasi Parlementer yang dinilainya seba­
gai produk Barat. Menurut Soekarno, Demokrasi Parlementer tidak sesuai dengan
karakter bangsa Indonesia yang telah memiliki tradisinya sendiri dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Melalui sistem Demokrasi Terpimpin kekuasaan terpusat di tangan presiden.
Presiden tidak dapat dikontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan
oleh presiden. Kekuasaan Presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan
sebagai Presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan yang
sangat individual ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua pan-

172
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

dangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintah


yang otoriter. Dalam dunia seni, misalnya, atas nama revolusi pemerintahan Pre-
siden Soekarno menjadikan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafiliasi
kepada PKI sebagai satu-satunya lembaga seni yang diakui. Sebaliknya, lembaga
selain Lekra dianggap anti-pemerintah atau kontra-revolusi.

d. Periode 1966-1998
Pada mulanya, kelahiran Orde Baru menjanjikan harapan baru bagi penegakan
HAM di Indonesia. Berbagai seminar tentang HAM dilakukan Orde Baru. Na-
mun pada kenyataannya, Orde Baru telah menorehkan sejarah hitam pelanggaran
HAM di Indonesia. Janji-janji Orde Baru tentang pelaksanaan HAM di Indonesia
mengalami kemunduran sangat pesat sejak awal 1970-an hingga 1980-an. Setelah

P
mendapat mandat konstitusional dari sidang MPRS, pemerintah Orde Baru mulai

O U
menunjukkan watak aslinya sebagai kekuasaan yang anti-HAM yang dianggapnya
sebagai produk Barat. Sikap anti-HAM Orde Baru sesungguhnya tidak berbeda

GR
dengan argumen yang pernah dikemukakan Presiden Soekarno ketika menolak
prinsip dan praktik Demokrasi Parlementer, yakni sikap apologis dengan cara

I A
mempertentangkan demokrasi dan prinsip HAM yang lahir di Barat dengan buda-

ED
ya lokal Indonesia. Sama halnya dengan Orde Lama, Orde Baru memandang HAM

A M
dan demokrasi sebagai produk Barat yang individualistis dan bertentangan dengan
prinsip gotong royong dan kekeluargaan yang dianut oleh bangsa Indonesia. Di an-

AD
tara butir penolakan Pemerintah Orde Baru terhadap konsep universal HAM yaitu:

N
1) HAM adalah produk pemikiran Barat yang tidak sesuai nilai-nilai luhur bu-
E
R
daya bangsa yang tercermin dalam Pancasila.

P
2) Bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertu-
ang dalam rumusan UUD 1945 yang lahir lebih dahulu dibandingkan dengan
deklarasi universal HAM.
3) Isu HAM sering kali digunakan oleh nega-
Sikap anti-HAM Orde Baru
ra-negara Barat untuk memojokkan negara sesungguhnya tidak berbeda
yang sedang berkembang seperti Indone- dengan argumen yang pernah
sia. dikemukakan Presiden Soekarno
ketika menolak prinsip dan
Sikap apriori Orde Baru terhadap HAM praktik Demokrasi Parlementer,
Barat ternyata sarat dengan pelanggaran HAM yakni sikap apologis dengan cara
yang dilakukannya. Pelanggaran HAM Orde mempertentangkan demokrasi
Baru dapat dilihat dari kebijakan politik Orde dan prinsip HAM yang lahir
di Barat dengan budaya lokal
Baru yang bersifat sentralistis dan anti segala
Indonesia.
gerakan politik yang berbeda dengan peme-

173
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

rintah. Sepanjang pemerintahan Presiden Soeharto


Sama halnya dengan tidak dikenal istilah partai yang kritis atau bukan
Orde Lama, Orde Baru
pendukung pemerintah, bahkan sejumlah gerakan
memandang HAM dan
demokrasi sebagai produk yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah
Barat yang individualistis dinilai sebagai anti-pembangunan bahkan anti-
dan bertentangan dengan Pancasila. Melalui pendekatan keamanan (security
prinsip gotong royong dan
approach) dengan cara-cara kekerasan yang ber-
kekeluargaan yang dianut
oleh bangsa Indonesia.
lawanan dengan prinsip-prinsip HAM, Pemerin-
tah Orde Baru tidak segan-segan menumpas segala
bentuk aspirasi masyarakat yang dinilai berlawanan
dengan Orde Baru. Kasus pelanggaran HAM Tanjung Priok, Kedung Ombo, Lam-
pung, Aceh adalah segelintir daftar pelanggaran HAM yang pernah dilakukan oleh
negara di era Orde Baru.

U
Di tengah kuatnya peran negara, suara perjuangan HAM dilakukan oleh ka­ P
O
GR
lang­an organisasi non-pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat (LSM). Upa-
ya penegakan HAM oleh kelompok-kelompok non-pemerintah membuahkan hasil

A
yang menggembirakan di awal tahun ‘90-an. Kuatnya tuntutan penegakan HAM
I
ED
dari kalangan masyarakat mengubah pendirian Pemerintah Orde Baru untuk ber-
sikap lebih akomodatif terhadap tuntutan HAM. Satu di antara sikap akomoda-

M
tif pemerintah tercermin dalam persetujuan pemerintah terhadap pembentukan
A
D
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Keputusan Presiden
(Keppres).

N A
Kehadiran Komnas HAM adalah untuk memantau dan menyelidiki pelaksa-

R E
naan HAM, memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah peri-

P
hal pelaksanaan HAM. Lembaga ini juga membantu pengembangan dan pelak-
sanaan HAM yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Sayangnya, sebagai
lembaga bentukan Pemerintah Orde Baru penegakan HAM tidak berdaya dalam
mengungkap pelanggaran-pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh negara.
Sikap akomodatif lainnya ditunjukkan dengan dukungan pemerintah merati-
fikasi tiga konvensi HAM: (1) Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Dis-
kriminasi Terhadap Perempuan, melalui UU No. 7 Tahun 1984; (2) Konvensi Anti-
Apartheid dalam Olahraga, melalui UU No. 48 Tahun 1993; dan (3) Konvensi Hak
Anak, melalui Keppres No. 36 Tahun 1990.
Namun demikian, sikap akomodatif Pemerintah Orde Baru terhadap tuntut­
an HAM masyarakat belum sepenuhnya diserasikan dengan pelaksanaan HAM
oleh negara. Komitmen Orde Baru terhadap pelaksanaan HAM secara murni dan
konsekuen masih jauh dari harapan masyarakat. Masa pe­merintahan Orde Baru

174
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

masih sarat dengan pelanggaran HAM yang di-


Kuatnya tuntutan penegakan
lakukan oleh aparat negara atas warga negara.
HAM dari kalangan masyarakat
Akumulasi pelanggar­ an HAM negara semasa mengubah pendirian
periode ini tercermin de­ngan tuntutan mundur Pemerintah Orde Baru untuk
Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan yang bersikap lebih akomodatif
disuarakan oleh kelompok reformis dan ma- terhadap tuntutan HAM. Satu
di antara sikap akomodatif
hasiswa pada 1998. Isu pelanggaran HAM dan
pemerintah tecermin dalam
penyalahgunaan kekuasaan mewarnai tuntutan persetujuan pemerintah
reformasi yang disuarakan pertama kali oleh Dr. terhadap pembentukan Komisi
Amin Rais, tokoh intelektual Muslim Indonesia Nasional Hak Asasi Manusia
yang dikenal sangat kritis terhadap kebijakan (Komnas HAM) melalui
Keputusan Presiden (Keppres).
Pemerintah Orde Baru.

e. Periode Pasca-Orde Baru


U P
O
Tahun 1998 adalah era paling penting dalam sejarah HAM di Indonesia. Leng-

GR
sernya tampuk kekuasaan Orde Baru sekaligus menandai berakhirnya rezim militer
di Indonesia dan datangnya era baru demokrasi dan HAM, setelah tiga puluh tahun

I A
lebih terpasung di bawah rezim otoriter. Pada tahun ini, Presiden Soeharto digan-

ED
tikan oleh B.J. Habibie yang kala itu menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Menyusul

A M
berakhirnya pemerintahan Orde Baru, pengkajian terhadap kebijakan Pemerintah
Orde Baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM mulai dilakukan ke-

AD
lompok reformis dengan membuat perundang-undangan baru yang menjunjung

E N
prinsip-prinsip HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan. Tak
kalah penting dari perubahan perundangan, pemerintah di era Reformasi ini juga

P R
melakukan ratifikasi terhadap instrumen HAM Internasional untuk mendukung
pelaksanaan HAM di Indonesia.
Pada masa pemerintahan Habibie misalnya, perhatian pemerintah terhadap
pelaksanaan HAM mengalami perkembangan yang sangat signifikan. Lahirnya Tap
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang HAM merupakan salah satu indikator keserius­
an pemerintahan era Reformasi akan penegakan HAM. Sejumlah konvensi HAM
juga diratifikasi di antaranya: konvensi HAM tentang kebebasan berserikat dan
perlindungan hak untuk berorganisasi; konvensi menentang penyiksaan dan per-
lakuan kejam; konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial; konvensi
tentang penghapusan kerja paksa; konvensi tentang diskriminasi dalam pekerjaan
dan jabatan; serta konvensi tentang usia minimum untuk diperbolehkan bekerja.
Kesungguhan pemerintahan B.J. Habibie dalam perbaikan pelaksanaan HAM
ditunjukkan dengan pencanangan program HAM yang dikenal dengan istilah Ren-

175
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

cana Aksi Nasional HAM, pada Agustus 1998.


Pada masa pemerintahan Agenda HAM ini bersandarkan pada empat pilar,
Habibie misalnya, perhatian
yaitu: (1) Persiapan pengesahan perangkat inter-
pemerintah terhadap
pelaksanaan HAM mengalami nasional di bidang HAM; (2) Diseminasi infor-
perkembangan yang sangat masi dan pendidikan bidang HAM; (3) Penen-
signifikan. Lahirnya Tap MPR tuan skala prioritas pelaksanaan HAM; dan (4)
No. XVII/MPR/1998 tentang
Pelaksanaan isi perangkat internasional di bidang
HAM merupakan salah
satu indikator keseriusan
HAM yang telah diratifikasi melalui perundang-
pemerintahan era Reformasi undangan nasional.
akan penegakan HAM. Komitmen pemerintah terhadap penegakan
HAM juga ditunjukkan dengan pengesahan UU
tentang HAM, pembentukan Kantor Menteri Negara Urusan HAM yang kemudian
digabung dengan Departemen Hukum dan Perundang-undangan menjadi De-
partemen Kehakiman dan HAM, penambahan pasal-pasal khusus tentang HAM
U P
O
GR
dalam Amendemen UUD 1945, penerbitan Inpres tentang pengarusutamaan gen-
der dalam pembangunan nasional, pengesahan UU tentang Pengadilan HAM. Pada

A
tahun 2001, Indonesia juga menandatangani dua Protokol Hak Anak, yakni pro-
I
ED
tokol yang terkait dengan larangan perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak,
serta protokol yang terkait dengan keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Me-

M
nyusul kemudian, pada tahun yang sama pemerintah membuat beberapa pengesa-
A
D
han UU di antaranya tentang perlindungan anak, pengesahan tentang penghapu-

N A
san kekerasan dalam rumah tangga, dan penerbitan Keppres tentang Rencana Aksi
Nasional (RAN) HAM Indonesia Tahun 2004-2009.

R E
Banyak putusan peninjauan terhadap produk hukum (judicial review) yang

P
dikeluarkan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia dalam rangka men-
junjung hak asasi manusia dan pelaksanaan UUD ‘45 secara murni dan konsekuen.
Di antara putusan MK tersebut adalah penghapusan sistem tenaga kontrak (out-
sourcing) tenaga kerja Indonesia karena bertentangan dengan UUD ‘45. Putusan
MK yang dianggap penting bagi pelaksanaan prinsip-prinsip HAM di Indonesia
adalah terkait dengan judicial review atas UU Perkawinan tentang status anak di
luar nikah yang selama ini melanggengkan diskriminasi negara terhadap anak-
anak yang lahir di luar pernikahan yang sah.
Pada 17 Februari 2011, MK mengeluarkan putusan judicial review atas Pasal
43 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa
anak di luar nikah hanya memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga
ibunya. Dalam putusannya, MK menyatakan pasal tersebut bertentangan dengan
UUD 1945 dan HAM. MK menyatakan Pasal 43 ayat (1) UU No. 1/1974 tentang

176
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

Perkawinan diubah dan menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mem-
punyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-
laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah,
termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.” Dengan keluarnya putusan
MK ini, maka setiap anak di luar nikah mendapatkan hak yang sama dengan anak-
anak lainnya, seperti berhak mendapatkan akta lahir dan hak waris.

D. HAM: ANTARA UNIVERSALITAS DAN RELATIVITAS


Sekalipun substansi HAM bersifat universal, namun mengingat sifatnya seba­
gai pemberian Tuhan, dunia tidak pernah sepi dari perdebatan dalam pelaksanaan
HAM. Hampir semua negara sepakat dengan prinsip universal HAM, tetapi me-

U P
miliki perbedaan pandangan dan cara pelaksanaan HAM. Hal demikian kerap kali
disebut dengan istilah wacana universalitas dan lokalitas atau partikularitas HAM.
O
GR
Partikularitas HAM terkait dengan kekhususan yang dimiliki suatu negara atau
kelompok sehingga tidak sepenuhnya dapat melaksanakan prinsip-prinsip HAM

I A
universal. Kekhususan tersebut bisa saja bersumber pada kekhasan nilai budaya,

ED
agama, dan tradisi setempat. Misalnya, hidup serumah tanpa ikatan nikah (kum-
pul kebo) atau berciuman di muka umum dalam perspektif HAM universal diper-
M
bolehkan, tetapi dalam perspektif budaya lokal suatu negara keduanya dipandang
A
D
sebagai praktik yang mengganggu adat kesusilaan setempat bahkan bisa dikenakan
sanksi hukum.
N A
Hal serupa dapat dianalogikan pada masalah prinsip kebebasan beragama bagi

R E
setiap orang yang dijamin oleh HAM. Namun prinsip universal kebebasan ber-

P
keyakin­an ini sering kali digugurkan oleh pandangan keyakinan suatu komunitas
agama yang mengajarkan untuk menyebarkan dan mengamalkan ajaran agamanya
kepada keluarga dan anggota kelompoknya sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran
agama yang diyakininya.
Perdebatan antara universalitas dan partikular HAM tercermin dalam dua teori
yang saling berlawanan: teori relativisme kultural dan teori universalitas HAM. Teo-
ri relativitisme kultural berpandangan bahwa nilai-nilai moral dan budaya bersifat
partikular. Para penganut teori ini berpendapat bahwa tidak ada hak yang univer-
sal, semua tergantung pada kondisi sosial kemasyarakatan yang ada. Hak-hak dasar
bisa diabaikan atau disesuaikan dengan praktik-praktik sosial. Oleh karenanya, ke-
tika berbenturan dengan nilai-nilai lokal, maka HAM harus dikontekstualisasikan,
sehingga nilai-nilai moral HAM bersifat lokal dan spesifik dan hanya berlaku khu-
sus pada suatu negara, tidak pada negara lain.

177
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Para penganut relativisme kultural yang mendukung kontekstualisasi HAM


cenderung melihat universalitas HAM sebagai imperialisme kebudayaan Barat. Hak
asasi, sebagaimana ditetapkan dalam DUHAM, dipandang sebagai produk politis
Barat, sehingga tak bisa diterapkan secara universal. Keengganan untuk menerap-
kan DUHAM secara menyeluruh juga didukung oleh dalih pembelaan terhadap
pluralitas dengan dasar bahwa kemerdekaan pertama-tama berarti kemerdekaan
untuk berbeda, sehingga penyeragaman HAM dipandang sebagai perampasan ke-
merdekaan itu sendiri.
Di sisi lain, kelompok kedua (universalitas HAM) yang berpegang pada teori
radikal universalitas HAM berargumen bahwa perbedaan kebudayaan bukan ber­
arti membenarkan perbedaan konsepsi HAM. Perbedaan pengalaman historis dan
sistem nilai tidak meniscayakan HAM dipahami secara berbeda dan diterapkan se-

U P
cara berbeda pula dari satu kelompok ke kelompok budaya lain. Menurut teori ini
semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah bersifat universal dan tidak bisa di-
O
GR
modifikasi untuk menyesuaikan adanya perbedaan budaya dan sejarah suatu nega-
ra. Kelompok ini menganggap hanya ada satu paket pemahaman mengenai HAM,

A
bahwa nilai-nilai HAM berlaku sama di mana pun dan kapan pun serta dapat dite-
I
ED
rapkan pada masyarakat yang mempunyai latar belakang budaya dan sejarah yang
berbeda. Dengan demikian, pemahaman dan pengakuan terhadap nilai-nilai HAM
berlaku secara universal.
A M
E.
A D
PELANGGARAN DAN PENGADILAN HAM

E N
Unsur lain dalam HAM adalah masalah pelanggaran dan pengadilan HAM.

P R
Secara jelas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM mendefinisikan hal
tersebut. Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan seseorang atau
kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja
atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undang-undang, dan tidak didapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang
berlaku. Dengan demikian, pelanggaran HAM merupakan tindakan pelanggaran
kemanusiaan, baik dilakukan oleh individu maupun oleh institusi negara atau in-
stitusi lainnya terhadap hak asasi individu lain tanpa ada dasar atau alasan yuridis
dan alasan rasional yang menjadi pijakannya.
Pelanggaran HAM dikelompokkan pada dua bentuk, yaitu: (1) pelanggaran
HAM berat; dan (2) pelanggaran HAM ringan. Pelanggaran HAM berat meliput­i
kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Adapun, bentuk pelanggaran

178
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

HAM ringan selain dari kedua bentuk pelanggaran HAM berat tersebut.
Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud
untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bang-
sa, ras, kelompok etnis, dan agama. Kejahatan genosida dilakukan dengan cara:
1. Membunuh anggota kelompok.
2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota ke-
lompok.
3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemus-
nahan secara fisik, baik seluruh maupun sebagiannya.
4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam
kelompok.
5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok
lain.
U P
O
Adapun kejahatan kemanusiaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan de-

GR
ngan serangan yang meluas dan sistematis. Sedangkan serangan yang dimaksud
ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
1. Pembunuhan.
I A
ED
2. Pemusnahan.
3.
4.
Perbudakan.

A M
Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa.
5.
AD
Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewe­

nasio­nal.
E N
nang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan; pokok hukum inter-

6.
7. P R
Penyiksaan.
Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamil­
an, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan
seksual lain yang setara.
8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang di-
dasari perbedaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis
kelamin, atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang
dilarang menurut hukum internasional.
9. Penghilangan orang secara paksa.
10. Kejahatan apartheid, penindasan dan dominasi suatu kelompok ras atas kelom-
pok ras lain untuk mempertahankan dominasi dan kekuasaannya.
Pelanggaran terhadap HAM dapat dilakukan baik oleh aparatur negara mau-
pun warga negara. Untuk menjaga pelaksanaan HAM, penindakan terhadap pe­

179
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

langgaran HAM dilakukan melalui proses peradilan


Pelanggaran HAM HAM melalui tahap-tahap penyelidikan, penyidik-
dikelompokkan pada
an, dan penuntutan. Pengadilan HAM merupakan
dua bentuk, yaitu: (1)
pelanggaran HAM berat; pengadilan khusus yang berada di lingkungan peng-
dan (2) pelanggaran HAM adilan umum.
ringan. Pelanggaran HAM Sebagai salah satu upaya untuk memenuhi rasa
berat meliputi kejahatan keadilan, maka pengadilan atas pelanggaran HAM
genosida dan kejahatan
kategori berat, seperti genosida dan kejahatan ter-
kemanusiaan. Adapun,
bentuk pelanggaran HAM hadap ke­ manusiaan diberlakukan asas retroaktif.
ringan selain dari kedua Dengan demikian, pelanggaran HAM kategori berat
bentuk pelanggaran HAM dapat diadili dengan membentuk Pengadilan HAM
berat tersebut. Ad Hoc. Pengadil­an HAM Ad Hoc dibentuk atas
usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan ke­
putus­an presiden dan berada di lingkungan pengadilan umum.
U P
O
Selain Pengadilan HAM Ad Hoc, dibentuk juga Komisi Kebenaran dan Rekon-

GR
siliasi (KKR). Komisi ini dibentuk sebagai lembaga ekstrayudisial yang bertugas

A
untuk menegakkan kebenaran untuk mengungkap penyalahgunaan kekuasaan dan
I
ED
pelanggaran HAM pada masa lampau, melaksanakan rekonsiliasi dalam perspektif
kepentingan bersama sebagai bangsa.

A M
Pengadilan HAM berkedudukan di daerah ting­kat I (provinsi) dan daerah
tingkat II (kabupaten/kota) yang meliputi daerah hukum pengadilan umum yang

AD
bersangkutan. Pengadilan HAM ber­tu­gas dan berwenang memeriksa dan memutus

E N
per­kara pelanggaran hak asasi manusia yang berat. Pengadilan HAM berwenang
juga memeriksa dan memutuskan perkara pelanggaran hak asasi manusia oleh

P R
warga negara Indonesia yang berada dan dilakukan di luar batas teritorial wilayah
Negara Republik Indonesia.
Pengadilan HAM tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelang-
garan hak asasi manusia yang berat yang dilakukan seseorang yang berumu­r di
bawah 18 tahun pada saat kejahatan dilakukan. Dalam pelaksanaan Peradil­an
HAM, Pengadilan HAM menempuh proses pengadilan melalui hukum acara Peng­
adilan HAM sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Pengadilan HAM.
Upaya mengungkap pelanggaran HAM dapat juga melibatkan peran serta
ma­­syarakat umum. Kepedulian warga negara terhadap pelanggaran HAM dapat
dilakukan melalui upaya-upaya pengembangan komunitas HAM atau penyeleng-
garaan tribunal (forum kesaksian untuk mengungkap dan menginvestigasi sebuah
kasus secara mendalam) tentang pelanggaran HAM.

180
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

F. HAM, GENDER, KEBEBASAN LINGKUNGAN, DAN


LINGKUNGAN HIDUP
Dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu
konsep kultural yang berkembang di masyarakat yang berupaya membuat per-
bedaan peran, perilaku, mentalitas, dan karakter emosional antara laki-laki dan
perempuan. Perbedaan tersebut sudah lama melekat dalam pandangan umum ma-
syarakat sehingga melahirkan anggapan bahwa perbedaan peran tersebut sebagai
sesuatu yang bersifat kodrati dan telah menimbulkan ketimpangan pola hubungan
dan peran sosial antara laki-laki dan perempuan. Konsep budaya yang telah di-
anggap sebagai sesuatu yang kodrati tersebut dapat dilihat pada anggapan umum,
misalnya, bahwa perempuan identik dengan urusan rumah tangga semata, sedang­
kan laki-laki sebaliknya, identik dengan pengelola dan penanggung jawab urusan
ekonomi.
U P
O
Ketimpangan ini terjadi karena adanya aturan, tradisi, dan hubungan timbal

GR
balik yang menentukan batas antara feminitas dan maskulinitas sehingga meng-
akibatkan adanya pembagian peran, dan kekuasaan antara perempuan dan laki-

I A
laki. Dalam kehidupan sosial misalnya, berkembang anggapan bahwa kedudukan

ED
laki-laki lebih tinggi daripada perempuan, karena laki-laki dianggap lebih cerdas,
kuat, dan tidak emosional. Semua anggapan superioritas laki-laki tidak lain meru-

A M
pakan produk budaya belaka. Produk atau konstruk budaya tentang gender tersebut

berbagai bentuk:
AD
telah melahirkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender dapat dilihat dalam

E N
1. Marginalisasi perempuan, yakni pengucilan perempuan dari kepemilikan

P R
akses, fasilitas, dan kesempatan sebagaimana dimiliki oleh laki-laki. Misalnya,
kesempatan perempuan untuk meneruskan sekolah ke jenjang lebih tinggi cen-
derung lebih kecil ketimbang laki-laki. Di sektor pekerjaan, marginalisasi ini
biasanya ditemukan dalam bentuk pengucilan perempuan dari jenis pekerjaan
tertentu; peminggiran perempuan kepada jenis pekerjaan yang tidak stabil,
berupah rendah, dan kurang mengandung keterampilan; pemusatan perem-
puan pada jenis pekerjaan tertentu (feminisasi pekerjaan), dan pembedaan
upah perempuan.
2. Penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, yakni menempatkan
perempuan pada prioritas yang lebih rendah ketimbang laki-laki. Kasus seperti
ini kerap terjadi dalam hal pekerjaan, sehingga perempuan sulit memperoleh
kesempatan mendapatkan posisi yang sejajar dengan laki-laki.
3. Stereotipisasi perempuan, yakni pencitraan atas perempuan yang berkonota-
si negatif. Dalam banyak kasus pelecehan seksual, misalnya perempuan sering

181
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

kali dijadikan penyebab karena pencitraan mereka yang suka bersolek dan
penggoda.
4. Kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan ini timbul akibat anggapan
umum bahwa laki-laki pemegang supremasi dan dominasi atas semua sektor
kehidupan­.
5. Beban kerja yang tidak proporsional. Pandangan bahwa perempuan sebagai
makhluk Tuhan kelas dua yang dibentuk oleh dominasi laki-laki pada akhirnya
memarginalkan peran perempuan yang seharusnya diperlakukan oleh manusia
yang memiliki kesamaan hak dan kewajiban. Pandangan ini tidak saja meming-
girkan peran perempuan tetapi juga ketidakadilan beban kerja atas perempuan:
selain menjalani fungsi reproduksi seperti hamil, melahirkan, dan menyusui,
perempuan juga dibebani pekerjaan domestik lainnya seperti memasak, meng­
urus keluarga, dan sebagainya.

U P
O
Perbedaan jenis kelamin bukanlah dasar untuk berbuat ketidakadilan gender.

GR
Pandangan-pandangan yang mengandung bias negatif terhadap perempuan, dan
sering dinilai sebagai pandangan ajaran Islam, adalah tidak lain bersumber dari bu-

I A
daya patriaki yang menempatkan posisi sosial politik laki-laki di atas perempuan,

ED
yang kemudian menjadi tafsir keagamaan yang dijadikan legitimasi untuk mendo-
minasi atas peran perempuan. Dalam sejarah pemikiran Islam, pandangan patriaki

A M
banyak dijumpai dalam khazanah hukum Islam (fikih). Reorientasi pemahaman

AD
agama (Islam) harus dilakukan supaya dapat menempatkan kedudukan dan peran
perempuan pada proporsi yang benar.

E N
Dalam perspektif membangun toleransi antar-umat beragama, ada lima prinsip

P R
yang bisa dijadikan pedoman semua pemeluk agama dalam kehidupan sehari-hari:
(1) Tidak satu pun agama yang mengajarkan penganutnya untuk menjadi jahat;
(2) Adanya persamaan yang dimiliki agama-agama, misalnya ajaran tentang ber-
buat baik kepada sesama; (3) Adanya perbedaan mendasar yang diajarkan agama-
agama. Di antaranya, perbedaan kitab suci, nabi, dan tata cara ibadah; (4) Adanya
bukti kebenaran agama; dan (5) Tidak boleh memaksa seseorang menganut suatu
agama atau suatu kepercayaan. Bersandar pada
lima prinsip ini, hal yang harus lebih ditunjukkan
Semua anggapan superioritas
laki-laki tidak lain merupakan oleh semua umat beragama adalah untuk meli-
produk budaya belaka. hat persamaan-persamaan dalam agama yang di-
Produk atau konstruk budaya yakini seperti dalam hal perdamaian dan kema-
tentang gender tersebut telah nusiaan. Hal ini jauh lebih bermanfaat daripada
melahirkan ketidakadilan
berkutat dalam perdebatan akan hal-hal perbe-
gender.
daan dari ajaran agama dengan semangat meng-

182
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

uji keyakinan sendiri dengan keyakinan orang


Terkait dengan hubungan HAM
lain. Perbedaan, dalam hal apa pun, adalah rah-
dan lingkungan hidup, tindakan
mat Tuhan yang harus disyukuri, karena jika merusak kelestarian lingkungan
Tuhan menghendaki keseragaman, niscaya Dia hidup merupakan bagian dari
dapat melakukannya. Perbedaan hendaknya pelanggaran HAM. Sayangnya,
dijadikan media untuk berlomba dalam lapan- masih banyak pihak yang kurang
menyadari bahwa perusakan
gan kemanusiaan dan penegakan keadilan.
alam, penggundulan hutan,
Bumi dan segala isinya adalah titipan Tu- dan industrialisasi dalam skala
han kepada umat manusia yang harus dipe- besar misalnya, dapat berakibat
lihara kelestarian dan kemanfaatannya bagi pada perubahan iklim dan
kesejahteraan hidup manusia. Sejalan dengan cuaca dalam skala luas yang
melampaui batas-batas negara.
pandangan ini, munculnya isu-isu tentang
HAM dan lingkungan hidup, salah satunya isu

U P
tentang perubahan iklim (climate change), adalah sangat selaras dengan prinsip aja-
O
GR
ran Islam tentang alam dan kehidupan. Hubungan antara perusak­an lingkungan
dengan HAM adalah bahwa kerusakan suatu ekosistem bumi dapat meng­ancam

A
kelangsungan hidup suatu kelompok ma­­syarakat. Penggundulan hutan, kawasan
I
ED
da­tar­­­an tinggi, dan hutan lindung yang dilindungi undang-undang di suatu ka-
wasan dapat berakibat pada bencana alam banjir dan longsor yang sangat merugi-

M
kan kehidupan masyarakat yang ber­ada di kawasan yang lebih rendah, khususnya
A
D
masyarakat miskin.

N A
Terkait dengan hubungan HAM dan lingkungan hidup, tindakan merusak
kelestaria­n lingkungan hidup merupakan bagian dari pe­lang­garan HAM. Sayang-

R E
nya, masih banyak pihak yang kurang menyadari bahwa perusakan alam, penggun-

P
dulan hutan, dan industrialisasi dalam skala besar misalnya, dapat berakibat pada
perubahan iklim dan cuaca dalam skala luas yang melampaui batas-batas negara.
Perubahan iklim (climate change) yang disebabkan industrialisasi di negara-negara
maju, misalnya, akan sangat berpengaruh pada kehidupan ekonomi negara atau
masyarakat yang hidup di kawasan maritim. Hal ini tampaknya sejalan dengan
keputusan Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang pada Maret 2008
telah mengesahkan perubahan iklim sebagai bagian isu hak asasi manusia.
“Tak seorang pun di antara kamu benar-­benar orang beriman sebelum dia mengingin­
kan bagi saudara­-saudaranya apa yang dia inginkan bagi dirinya sendiri.”
— Sunnah, Islam
“Perbuatlah terhadap orang lain apa yang kamu kehendaki mereka perbuat terhadap
kamu, karena demikianlah ajaran hukum Taurat dan Firman yang disampaikan Allah
melalui para nabi.” — Kristen

183
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

“Janganlah menyakiti orang lain dengan cara-­cara yang akan mendapati dirimu sen­diri
disakiti.” — Buddha
“Jangan lakukan kepada orang lain apa yang kamu sendiri tidak suka dilakukan pada
dirimu. Maka, tidak akan ada kepahitan/kemarahan melawanmu, baik dalam keluar­
gamu maupun di dalam negeri.” — Konfusius

RANGKUMAN
1. Hak asasi manusia (HAM) adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan meru-
pakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta per-
lindungan harkat dan martabat manusia.
2. Tuntutan hak dan pelaksanaan kewajiban harus berjalan secara seimbang dan
simultan. Hak diperoleh bila kewajiban terkait telah dilaksanakan. U P
O
GR
3. Ada dua pendapat mengenai apakah HAM bersifat universal atau kontekstual.
Teori relativitas berpandangan bahwa ketika berbenturan dengan nilai-nilai

I A
lokal, maka HAM harus dikontekstualisasikan, sedangkan teori radikal uni-

ED
versalitas berpandangan bahwa semua nilai termasuk nilai-nilai HAM adalah
bersifat universal dan tidak bisa dimodifikasi sesuai dengan perbedaan budaya
dan sejarah tertentu.
A M
AD
4. Perkembangan HAM dalam sejarahnya tergantung dinamika model dan sistem
pemerintahan yang ada. Dalam model pemerintahan yang otoriter dan repre-

E N
sif, perkembangan HAM relatif mandek seiring ditutupnya atau dibatasinya

P R
keran kebebasan, sedangkan model pemerintahan yang demokratis relatif
mendukung upaya penegakan HAM karena terbukanya ruang kebebasan dan
partisipasi politik masyarakat.
5. Ketidakadilan gender menyebabkan perlakuan sosial seperti marginalisasi
perempuan, penempatan perempuan pada posisi tersubordinasi, citra negatif
perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan pemberian beban kerja yang
tidak proporsional terhadap perempuan.

184
BAB 7 • HAK ASASI MANUSIA

LEMBAR KERJA

1. Apakah HAM bersifat universal atau partikular? Jelaskan!


2. Jelaskan perbedaan dan persamaan HAM dalam Islam dan Barat!
3. Sudah maksimalkah Pemerintah Negara Republik Indonesia menegakkan HAM
warga negaranya?
4. Jika ya atau belum, jelaskan bukti-bukti kesungguhan/ketidakseriusan pemerin-
tah dalam hal penegakan HAM di Indonesia!
5. Apa yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender?
6. Apa yang Saudara lakukan bila menemukan pelanggaran HAM dalam hal kebe-
basan berkeyakinan dan perusakan lingkungan? Temukan kasus-kasus kerusakan
lingkungan hidup di lingkungan Saudara, baik yang dilakukan oleh per-usahaan/

7.
industri, pemerintah, maupun masyarakat umum!

U P
Diskusikan bahwa perubahan iklim (climate change) merupakan bagian dari isu
O
GR
HAM. Apakah rekomendasi dan rencana aksi (kelompok) Saudara untuk mence-
gah kerusakan alam yang ditimbulkan oleh perusakan lingkungan hidup dan per-

A
ubahan iklim?

I
M ED
D A
N A
R E
P

185
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA
NEGARA KESATUAN REPUBLIK
INDONESIA (NKRI)

U
nsur lain dari demokrasi adalah ada­nya pembagian ke­
kuasaan dan ke­wenangan pemerintahan daerah. Tuntut­
an akan pe­ngelolaan pemerintahan daerah yang mandiri
dengan semangat otonomi daerah (Otda) semakin marak diawal-
awal era Revormasi. Namun demikian, kebijakan Otda banyak

P
masih disalahartikan oleh jajaran pemerintah di daerah. Otda di­
pahami sebagai kebebasan mengelola sumber daya daerah yang
cenderung melahirkan pemerintahan daerah yang ti­dak profesio-
O U
GR
nal dan tidak terkontrol. Seiring de­ngan pelaksanaan Otda, hal yang

Bab
sangat mengkhawatirkan adalah lahirnya Perundang­-undangan

I A
daerah (Perda) yang cenderung bertolak belakang dengan kon­

ED
stitusi negara dan dasar nega­ra Pancasila yang dapat mengancam

M
8
keutuhan Ne­gara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada bab

A
ini, akan dipelajari konsep yang berkaitan dengan otonomi daerah
D
A
dan desentralisasi, dan di akhir pembahasan Saudara diharapkan
mampu:

E N
R
ƒƒ Menjelaskan hakikat otonomi daerah dan pengertian desentra-
lisasi.
P
ƒƒ Memaparkan prinsip­-prinsip dalam pe­laksanaan desentralisasi
dan otonomi daerah.
ƒƒ Membandingkan pembagian kewe­nangan antara pemerintah
pusat de­ngan pemerintahan daerah dalam kon­teks desentra-
lisasi dan otonomi daerah.
ƒƒ Menjelaskan keterkaitan antara otonomi daerah dengan pemi­
lih­an kepala dae­rah secara langsung.
ƒƒ Menjabarkan kebijakan otonomi dae­rah sebagai upaya efek­
tivitas dan efi­siensi manajemen pemerintahan dae­rah dalam
kerangka NKRI.
ƒƒ Mengkritisi pelaksanaan otonomi dae­rah.
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
BAB 8 • OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI

8
Otonomi Daerah dalam Kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

U P
KEBIJAKAN Otonomi Daerah bukan hal baru dalam sejarah perjalanan sistem
O
GR
pemerintahan Indonesia. Sejak era Orde Baru pemerintah telah menghasilkan UU
No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah dan kemudian disusul dengan UU

I A
No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Namun kewenangan pemerintah

ED
pusat yang sangat kuat di era Orde Baru telah menjadikan dua UU tersebut tidak
bisa dilaksanakan. Di era Reformasi, wacana Otonomi Daerah kembali digaungkan
M
sebagai salah satu agenda penting pemerintah.
A
D
Ada dua alasan besar yang menyebabkan kebijakan Otonomi Daerah mende­

N A
sak diterapkan di Indonesia. Pertama, ketika dihantam krisis ekonomi tahun 1997,
Indonesia kewalahan menghadapi krisis ini, keuangan terpusat di Jakarta dan da-

R E
erah tidak memiliki kemampuan untuk bangkit karena seluruh kebijakan keuang­

P
an sudah berlangsung serba terpusat. Kedua, konsekuensi dari kebijakan tersebut
adalah ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat sangat tinggi
sehingga tidak ada kemandirian perencanaan daerah, akibatnya pembangunan di
daerah berjalan lamban dan tidak merata. Kebijakan sentralistik telah menghambat
kemampuan prakarsa dan daya kreativitas daerah. Saat kebijakan serba terpusat
tersebut dihentikan dan otonomi daerah diberlakukan, Indonesia menghadapi tan­
tangan baru yang juga menyisakan persoalan yang masih harus dibenahi.

A. HAKIKAT OTONOMI DAERAH


Otonomi Daerah dan Desentralisasi adalah pembagian kewenangan kepada
organ-organ penyelenggara negara. Otonomi menyangkut hak yang mengikuti
pembagian wewenang tersebut, sedangkan desentralisasi adalah sebagaimana
didefinisikan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB):

189
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

“Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat


yang berada di ibu kota negara baik melalui cara dekonsentrasi, misalnya pendelega-
sian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah
atau perwakilan di daerah.”

Batasan ini hanya menjelaskan proses kewenangan yang diserahkan pusat ke­
pada daerah, tetapi belum menjelaskan isi dan keluasan kewenangan serta kon­
sekuensi penyerahan kewenangan itu kepada badan-badan otonomi daerah.
Terdapat beberapa alasan mengapa Indonesia membutuhkan desentralisasi:
Pertama, kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya bidang ekonomi, di
masalalu yang terpusat di ibu kota. Sementara pembangunan di beberapa wilayah
lain cenderung bahkan dijadikan objek “perahan” pemerintah pusat. Kedua, pem­
bagian kekayaan negara kurang adil dan merata.
Filsuf Alexis de Tocqueville
Daerah-daerah yang memiliki sumber kekayaan

U
alam melimpah, seperti Aceh, Riau, Irian JayaP
O
mencatat bahwa kota-kota

GR
kecil di daerah merupakan (Papua), Kalimantan, dan Sulawesi, tidak meneri­
kawasan untuk kebebasan ma peroleh­an dana yang sesuai dengan kebutuhan

A
sebagaimana sekolah dasar daerahdari pemerintah pusat. Ketiga, kesenjangan
untuk ilmu pengetahuan. Di
I
ED
sosial antara satu daerah dengan daerah lain sa-
sanalah tempat kebebasan,
di sana pula tempat ngat mencolok.
orang diajari bagaimana
A M Bersandar pada kenyataan di masalalu ter­sebu­t,

D
kebebasan digunakan dan teoretisi pemerintahan dan politik meng­ajukan se­

A
bagaimana menikmati jumlah argumen yang menjadi dasar pe­laksanaan

N
kebebasan tersebut.
desentralisasi. Di antara argumentasi di balik ke­

R E bijakan desentralisasi otonomi daerah antara lain:

P
1. Untuk terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang
sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sos­
ial, pertahanan, dan keamanan dalam negeri. Selain memiliki fungsi distribu­
tif hal-hal yang telah diungkapkan, pemerintah mempunyai fungsi regulatif,
baik yang menyangkut penyediaan barang dan jasa maupun yang berhubun­
gan dengan kompetensi dalam rangka penyediaan tersebut. Pemerintah juga
memiliki fungsi ekstraktif, yaitu memobilisasi sumber daya keuangan dalam
rangka membiayai aktivitas penyelenggaraan negara. Selain hal-hal tersebut,
pemerintah juga berkewajiban memberi pelayanan dan perlindungan kepada
masyarakat, menjaga keutuhan negara-bangsa, dan mempertahankan diri
dari kemungkinan serangan dari negara lain. Banyaknya fungsi dan kewajiban
pemerintah, tidaklah mungkin bisa dilakukan dengan cara yang sentralistis,

190
BAB 8 • OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI

karena akan berakibat pemerintahan negara menjadi tidak efisien dan tidak
akan mampu menjalan-kan tugasnya dengan baik.
2. Sebagai sarana pendidikan politik. Pemerintahan daerah merupakan bagian
penting bagi pelatihan dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara.
Filsuf Alexis de Tocqueville mencatat bahwa kota-kota kecil di daerah meru­
pakan kawasan untuk kebebasan sebagaimana sekolah dasar untuk ilmu pe-
ngetahuan: Di sanalah tempat kebebasan, di sana pula tempat orang diajari
bagaimana kebebasan digunakan dan bagaimana menikmati kebebasan terse­
but. Senada dengan ungkapan tersebut, menurut John Stuart Mill, pemerintah­
an daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk ber­
partisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih
dalam suatu jabatan politik. Mereka yang tidak mempunyai peluang untuk ter­

U P
libat dalam politik nasional dan memilih pemimpin nasional akan mempunyai
peluang untuk ikut serta dalam politik lokal, baik dalam pemilihan umum lokal
O
ataupun dalam rangka pembuatan kebijakan publik dalam skala lokal.

GR
3. Pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karier politik lanjutan.

A
Pemerintah daerah merupakan langkah persiapan bagi seseorang untuk meni­
I
ED
ti karier lanjutan, terutama karier politik dan pemerintahan di tingkat nasio­
nal. Keberadaan pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) merupakan

A M
wahana yang tepat bagi penggodokan calon-calon pemimpin nasional, setelah
mereka melalui karier politik di daerah-

AD
nya. Melalui mekanisme penggodokan di

N
Kisah sukses karier kepemimpian
daerah diharapkan budaya politik pater­
E
lokal Presiden Jokowi kini telah
nalistis yang sarat dengan praktik budaya
R
membawa dampak positif bagi

P
feodal bisa dikurangi. Dengan kata lain,
calon pemimpin nasional adalah mereka
Indonesia, yaitu tumbuhnya
calon-calon pemimpin nasional
di sejumlah daerah di Indonesia.
yang telah teruji kualitas kepemimpinan­
Kepada mereka para pemimpin
nya (leadership) di tingkat daerah: loyali­
daerah yang telah terbukti
tas, dedikasi, inovasi, dan kemampuan dicintai masyarakatnya, Indonesia
ma­najerialnya. dapat berharap tidak kehabisan
Mulusnya karier politik Presiden stok kepemimpian nasional.
Joko Widodo atau biasa disapa Jokowi ti­­ Inilah salah satu mekanisme
terbaik untuk melahirkan
dak lepas dari kesuksesannya dalam me­­
model kepemimpinan nasional
mimpin pemerintahan di daerah asalnya­, yang rasional yang mampu
Solo, Jawa Tengah yang kemudian ia lan­ memangkas tradisi pemimpin
jutkan di ibukota negara saat dia menja­di instan yang sarat muatan
Gubernur DKI Jakarta. Karakter kepe­ feodalistik dan tidak mengakar.

191
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

mimpinan merakyat yang melekat pada Presiden Jokowi semasa menjadi


Walikota Solo maupun Gubernur Jakarta menjadi modal kepemimpinannya
di tingkat negara. Kisah sukses karir kepemimpian lokal Presiden Jokowi kini
telah membawa dampak positif bagi Indonesia yaitu tumbuhnya calon-calon
pemimpin nasional di sejumlah daerah di Indonesia. Kepada mereka para pe­
mimpin daerah yang telah terbukti dicintai masyarakatnya, Indonesia dapat
berharap tidak kehabisan stok kepemimpian nasional. Inilah salah satu me­
kanisme terbaik untuk melahirkan model kepemimpinan nasional yang ra­
sional yang mampu memangkas tradisi pemimpin instan yang sarat muatan
feodalistik dan tidak mengakar.
4. Stabilitas politik. Menurut Sharpe, stabilitas politik nasional mestinya berawal
dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Dalam konteks sejarah Indonesia, ter­
jadinya pergolakan daerah seperti PRRI dan PERMESTA di tahun 1957-1958,

U P
karena daerah melihat kekuasaan Pemerintah Jakarta yang sangat dominan. Hal
O
GR
serupa terjadi pula di beberapa negara ASEAN, seperti Filipina dan Thailand.
Di kedua negara ini kelompok minoritas Muslim (masing-masing di Minda­

A
nao dan Pattani) berjuang untuk melepaskan diri dari ketidakadilan ekonomi
I
ED
yang dilakukan pemerintahan pusat di Manila maupun Bangkok. Ketidakadil­
an ekonomi akibat kebijakan pemerintah pusat telah berakibat pada lahirnya

M
instabilitas politik di negara-negara tersebut yang disebabkan oleh pelaksanaan
A
D
kebijakan otonomi daerah yang tidak tepat atau bahkan tidak diberlakukan.

Papua.
N A
Kasus-kasus serupa pernah juga dialami oleh Indonesia di wilayah Aceh dan

R E
5. Kesetaraan politik. Melalui desentralisasi akan tercipta kesetaraan politik an­

P
tara daerah dan pusat. Kesetaraan politik akibat kebijakan desentralisasi dan
otonomi daerah yang baik akan menarik minat banyak orang di daerah untuk
berpartisipasi secara politik seperti dijelaskan pada bagian selanjutnya.
6. Akuntabilitas publik. Desentralisasi dan otonomi daerah pada dasarnya
adalah transfer prinsip-prinsip demokrasi dalam pengelolaan pemerintahan
maupun budaya politik. Melalui prinsip demokrasi penyelenggaraan pemerin­
tahan di daerah akan lebih akuntabel dan profesional karena dapat melibatkan
peran serta masyarakat secara luas, baik dalam hal penentuan pemimpin da-
erah (Pilkada) maupun pelaksanaan program pemerintah di daerah.

B. VISI OTONOMI DAERAH


Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintahan mempu-
nyai visi yang dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup utama yang saling ber­

192
BAB 8 • OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI

hubungan satu dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Visi otonomi daerah di bidang politik adalah sebuah proses untuk membuka
ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis,
memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif
ter­hadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengam­
bilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.
Adapun visi otonomi daerah di bidang ekonomi mengandung makna bahwa
otonomi daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan
ekonomi nasional di daerah, di pihak lain mendorong terbukanya peluang bagi
pemerintah daerah mengembangkan kebijakan lokal kedaerahan untuk mengop­
timalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam kerangka ini, oto­
nomi daerah memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk

U P
menawarkan fasilitas investasi, memudahkan proses perizinan usaha, dan mem­
bangun berbagai infrastruktur yang menunjang perputaran ekonomi di daerah.
O
GR
Adapun visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung penger­
tian bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelolaan, penciptaan dan

A
pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial. Termasuk ke dalam visi ini adalah
I
ED
dalam rangka memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya seni, karya
cipta, bahasa, dan karya sastra lokal yang dipandang kondusif dalam mendorong

M
masyarakat untuk merespons positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan ke­
A
D
hidupan global. Karenanya, aspek sosial budaya harus diletakkan secara tepat dan

dan berkembang biak.


N A
terarah agar kehidupan sosial tetap terjaga secara utuh dan budaya lokal tetap eksis

R E
P
C. SEJARAH OTONOMI DAERAH DI INDONESIA
Peraturan perundang-undangan yang pertama kali yang mengatur tentang
pemerintahan daerah pasca kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945. Ditetap­
kannya undang-undang ini merupakan hasil dari berbagai pertimbangan terkait
dengan sejarah pemerintahan di masa kerajaan-kerajaan dan masa pemerintahan
kolonial. Undang-undang ini menekankan aspek cita-cita kedaulatan rakyat me­
lalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Di dalam un­
dang-undang ini ditetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu Karesidenan, Kabu­
paten, dan Kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga
dalam kurun waktu tiga tahun belum ada peraturan pemerintah yang mengatur
mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini
kemudian diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 1948.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 terfokus pada pengaturan tentang

193
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini


ditetapkan dua jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah oto­
nom istimewa, serta tiga tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten/kota
besar, dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan Undang-Undang ini, penye­
rahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian
pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah berdasarkan Undang-Undang ten­
tang Pembentukan Daerah, telah diperinci lebih lanjut peng­aturannya melalui per­
aturan pemerintahan tentang penyerahan sebagian urusan pemerintahan tertentu
kepada daerah.
Sejarah otonomi daerah di Indonesia ditandai dengan lahirnya produk perun­
dang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Periode otonomi daerah
Indonesia paska UU No. 22 Tahun 1948 ditandai oleh munculnya beberapa UU
tentang Pemerintahan Daerah, yaitu UU Nomor 1 Tahun 1957 (sebagai peng­aturan

U
tunggal pertama yang berlaku seragam untuk seluruh Indonesia), UU No. 18 Ta­ P
O
GR
hun 1965 (yang menganut sistem otonomi yang seluas-luasnya), dan UU No. 5 Ta­
hun 1974.

A
Undang-undang yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelengga­
I
ED
raan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah. Prinsip yang
dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi “otonomi yang riil

M
dan seluas-luasnya,” tetapi “otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.” Hal ini
A
D
di­latarbelakangi oleh kekhawatiran bahwa pandangan otonomi daerah yang se-

N A
luas-luasnya dapat berpotensi menimbulkan ancaman yang dapat membahayakan
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), selain bertolak belakang

R E
dengan maksud dan tujuan pemberian otonomi kepada daerah yang sesuai dengan

P
prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara)
yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini (UU
No.5 Tahun 1974) baru diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi bergulir.
Kehadiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkem­
bangan politik nasional yang ditandai dengan lengsernya rezim sentralistik Orde
Baru dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi di semua
aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi terse­
but, Sidang Istimewa MPR Tahun 1998 menetapkan Ketetapan MPR Nomor XV/
MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; pengaturan, pembagian,
dan pemanfaatan sumber daya nasional, yang berkeadilan, serta perimbangan
keuangan pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempat se­

194
BAB 8 • OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI

telah MPR RI melakukan amendemen pada Pasal 18 UUD 1945 dalam perubah­an
kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa negara Indonesia me­
makai prinsip otonomi dan desentralisasi kekuasaan politik.
Sejalan dengan tuntutan reformasi pula, tiga tahun setelah implementasi UU
No. 22 Tahun 1999, dilakukan peninjauan dan revisi terhadap Undang-undang
tersebut yang berakhir dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 yang mengatur ten­
tang pemerintah daerah. Menurut Sadu Wasistiono, hal-hal penting yang ada pada
UU No. 32 Tahun 2004 adalah kembalinya dominasi eksekutif dan pengaturan ten­
tang pemilihan kepala daerah yang bobotnya hampir 25% dari keseluruhan isi UU
tersebut.

D. PRINSIP-PRINSIP PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai berikut:


U P
Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam

O
GR
1. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memerhatikan aspek
demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah.

I A
2. Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata, dan ber­

ED
tanggung jawab.
3. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabu­

A M
paten dan daerah kota, sedangkan pada daerah provinsi merupakan otonomi
yang terbatas.

AD
4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga

E N
tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antardaerah.

P R
5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daera­h
otonom, dan karenanya dalam daerah kabupaten dan kota tidak ada lagi wila­
yah administrasi. Demikian pula di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh
pemerintah atau pihak lain, seperti badan otoritas, kawasan pelabuhan, ka­
wasan perumahan, kawasan industri, kawasan perkebunan, kawasan pertam­
bangan, kawasan kehutanan, kawasan perkotaan baru, kawasan pariwisata, dan
semacamnya berlaku ketentuan peraturan daerah otonom.
6. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi
badan legislatif daerah, baik fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi
anggaran atas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam ke­
dudukan­nya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan tertentu yang dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil
pemerintah.

195
BAB 8 • OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI

manusia potensial, penelitian yang mencakup wilayah provinsi, pengelolaan


pelabuhan regional, pengendalian lingkungan hidup, promosi dagang dan bu­
daya/pariwisata, penanganan penyakit menular, dan perencanaan tata ruang
provinsi.
3. Kewenangan kelautan yang meliputi eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan kekayaan laut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan
tata ruang, penegakan hukum, dan bantuan penegakan keamanan dan ke­
daulatan negara.
4. Kewenangan yang tidak atau belum dapat ditangani daerah kabupaten dan
daerah kota diserahkan kepada provinsi dengan pernyataan dari daerah oto­
nom kabupaten atau kota tersebut.
Dalam rangka negara kesatuan, pemerintah pusat masih memiliki kewenang­
P
an melakukan pengawasan terhadap daerah otonom. Tetapi, pengawasan yang di­
U
O
lakukan pemerintah pusat terhadap daerah otonom diimbangi dengan kewenangan

GR
daerah otonom yang lebih besar, atau sebaliknya, sehingga terjadi semacam kese­
imbangan kekuasaan. Keseimbangan yang dimaksud ialah pengawasan ini tidak

I A
lagi dilakukan secara struktural di mana bupati dan gubernur bertindak sebagai

ED
wakil pemerintah pusat sekaligus kepala daerah otonom, dan tidak lagi secara pre­
ventif perundang-undangan, yaitu setiap peraturan daerah (Perda) memerlukan

A M
persetujuan pusat sebelum diberlakukan. Namun pada kenyataannya hal kedua

AD
ini telah banyak disalahgunakan oleh sejumlah kepala daerah dengan membuat
dan memberlakukan Perda yang secara substantif bertentangan dengan konstitusi

E N
nega­ra, UUD 1945. Jika ini terjadi, maka pemerintah pusat melalui Kementerian

R
Dalam Negeri dapat membatalkan Perda tersebut.

P
F. PEMILIHAN, PENETAPAN, DAN KEWENANGAN KEPALA DAERAH
Menurut UU No. 22 Tahun 1999, bupati dan walikota sepenuhnya menjadi ke­
pala daerah otonom yang dipilih oleh dan bertanggung jawab kepada DPRD dan
dapat diberhentikan oleh DPRD pada masa jabatannya. Tetapi penetapan ataupun
pemberhentian kepala daerah secara administratif (pembuatan surat keputusan)
masih diberikan kepada Presiden. Sedangkan menurut UU Nomor 32 Tahun 2004,
kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat melalui Pilkada langsung. Gubernur pada
saat yang sama masih merangkap sebagai wakil pusat dan kepala daerah otonom.
Pengawasan pemerintah pusat terhadap daerah otonom menurut UU baru ini
dilakukan berdasarkan supremasi hukum. Artinya, setiap peraturan daerah (Perda)
yang dibuat oleh DPRD dan kepala daerah langsung dapat berlaku tanpa memer­
lukan persetujuan pemerintah pusat. Akan tetapi, pemerintah pusat setiap saat

197
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dapat menunda atau membatalkannya bila Perda itu dinilai bertentangan dengan
Konstitusi, UU, dan kepentingan umum. Sebaliknya, bila daerah otonom (DPRD
dan Kepala Daerah) menilai pemerintah pusat menunda atau membatalkan Perda
yang bertentangan dengan konstitusi, UU, atau kepentingan umum, maka daerah
otonom dapat mengajukan gugatan/keberatan kepada Mahkamah Agung untuk
me­nyelesaikan perselisihan tersebut. Pemerintah pusat dan daerah otonom harus
patuh kepada keputusan MA.
Terkait dengan pembagian kewenangan antara pemerintah dengan pemerin-
tah daerah terdapat 11 jenis kewenangan wajib yang diserahkan kepada daerah oto­
nom kabupaten dan daerah otonom kota, yaitu:
1. Pertanahan.
2. Pertanian.
3. Pendidikan dan kebudayaan.
U P
O
4. Tenaga kerja.

GR
5. Kesehatan.
6. Lingkungan hidup.
7. Pekerjaan umum.
I A
ED
8. Perhubungan.
9. Perdagangan dan industri.
10. Penanaman modal.
A M
11. Koperasi.

AD
E N
Selain itu, kabupaten atau kota yang mempunyai batas laut juga diberi ke­
wenangan kelautan seluas 1/3 dan luas kewenangan provinsi yang 12 mil. Jenis

P R
kewenangan lain yang dapat diselenggarakan oleh daerah otonom kabupaten dan
daerah otonom kota ialah kewenangan pilihan, yaitu jenis kewenangan yang tidak
termasuk yang ditangani pusat dan provinsi. Penjabaran kesebelas kewenangan itu,
dalam arti lingkup kegiatan dan tingkat kewenangan yang akan diserahkan kepada
daerah otonom kabupaten dan kota, masih harus menunggu penyesuaian sejumlah
UU yang sejalan dengan paradigma dan jiwa UU No. 22 Tahun 1999 jo. UU No. 32
Tahun 2004.
Penyerahan kesebelas jenis kewenangan ini kepada daerah otonom kabupaten
dan daerah otonom kota dilandasi oleh sejumlah pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, makin dekat produsen dan distributor pelayanan publik dengan warga
masyarakat yang dilayani, semakin tepat sasaran, merata, berkualitas, dan terjang­
kau. Hal ini disebabkan karena DPRD dan Pemda sebagai produsen dan distributor
pelayanan publik dinilai lebih memahami aspirasi warga daerah, lebih mengetahui

198
BAB 8 • OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI

kemampuan warga daerah, lebih mengetahui potensi dan kendala daerah, dan lebih
mampu mengendalikan penyelenggaraan pelayanan publik yang berlingkup lokal
daripada provinsi dan pusat.
Kedua, penyerahan sebelas jenis kewenangan itu kepada daerah otonom kabu­
paten dan daerah otonom kota akan membuka peluang dan kesempatan bagi ak­
tor-aktor politik lokal dan sumber daya manusia yang berkualitas di daerah untuk
mengajukan prakarsa, berkreativitas, dan melakukan inovasi karena kewenang­an
merencanakan, membahas, memutuskan, melaksanakan, mengevaluasi sebelas je­
nis kewenangan tersebut. Hal ini berarti unsur-unsur budaya lokal berupa pengeta­
huan lokal (local knowledge), keahlian lokal (local genius), dan kearifan lokal (local
wisdom), akan dapat didayagunakan secara maksimal.
Ketiga, karena distribusi sumber daya manusia yang berkualitas tidak merata,

U P
dan kebanyakan berada di Jakarta dan kota besar lainnya, maka penyerahan sebelas
jenis kewenangan ini juga dimaksudkan dapat menarik sumber daya manusia yang
O
GR
berkualitas di kota-kota besar untuk berkiprah di daerah-daerah otonom, yang ka­
bupaten dan kota.

A
Keempat, pengangguran dan kemiskinan sudah menjadi masalah nasional
I
ED
yang tidak saja semata tanggung jawab ditanggung pemerintah pusat. Akan tetapi,
dengan adanya pelimpahan kewenangan tersebut, diharapkan terjadi diseminasi

M
kepedulian dan tanggung jawab untuk meminimalisasi atau bahkan menghilang­
A
D
kan masalah tersebut sebagaimana dimaksudkan dalam tujuan awal dari otonomi
daerah.

N A
R E
G. KESALAHPAHAMAN TERHADAP OTONOMI DAERAH

P
Otonomi daerah diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan kebijakan na-
sional yang dapat mencegah kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional. Otono­
mi daerah merupakan sarana yang secara politik ditempuh dalam rangka memeli­
hara keutuhan NKRI. Otonomi daerah dilakukan dalam rangka memperkuat ikatan
semangat kebangsaan serta persatuan dan kesatuan di antara segenap warga bangsa.
Kebijakan otonomi daerah melalui Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 jo.
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 memberikan otonomi yang sangat luas kepada
daerah, khususnya kabupaten dan kota. Hal itu ditempuh dalam rangka mengem­
balikan harkat dan martabat masyarakat di daerah; memberikan peluang pendidik­
an politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, meningkatkan
efisiensi pelayanan publik di daerah, meningkatkan percepatan pembangunan da-
erah, dan pada akhirnya diharapkan mampu menciptakan tata kelola pemerintah­
an yang baik (good governance).

199
BAB 8 • OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI

Keempat, kebijakan otonomi daerah akan menciptakan raja-raja kecil di daerah


dan memindahkan korupsi ke daerah. Pendapat seperti ini dapat dibenarkan ka­
lau para penyelenggara pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha di daerah
menempatkan diri dalam kerangka sistem politik masa lalu (Orde Baru) yang sarat
korupsi, kolusi, nepotisme, dan segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang
lainnya. Untuk menghindari praktik kekuasaan tersebut, pilar-pilar penegakan de­
mokrasi dan masyarakat madani (civil society) seperti partai politik, media massa,
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Ombudsman, Komisi Kepolisian,
Komisi Kejaksaan, dan LSM yang mengawasi praktik korupsi, lembaga legislatif,
dan peradilan dapat memainkan perannya sebagai pengawas jalannya pemerintah­
an daerah secara optimal.

H. OTONOMI DAERAH DAN PEMBANGUNAN DAERAH


U P
Otonomi daerah sebagai komitmen dan kebijakan politik nasional merupa­
O
GR
kan langkah strategis yang diharapkan dapat mempercepat pertumbuhan dan
pembangun­an daerah, di samping menciptakan keseimbangan pembangunan an­

I A
tar-daerah di Indonesia. Namun demikian, pembangunan daerah tidak akan berja­

ED
lan sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintah yang baik dan benar tanpa
pelaksanaan pemerintahan yang akuntabel oleh para penyelenggara pemerintahan
di daerah.
A M
D
Kebijakan otonomi daerah memiliki implikasi sejumlah kewenang­an yang di­

A
miliki pemerintah daerah, terutama 11 kewenangan wajib sebagaimana ditegaskan
N
R E
P

201
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

harus dapat merangsang penanaman modal. Dua hal itu merupakan langkah tepat
dalam rangka menciptakan lapangan kerja secara maksimal bagi warga masyarakat,
sehingga pengangguran juga dapat dikurangi. Dengan demikian, pembangunan di
daerah akan berjalan berkesinambungan dan dapat meningkatkan kesejahteraan
masyarakat daerah. Faktor-faktor prakondisi pelaksanaan Otda:
1. Pemerintah daerah harus kreatif. Pembangunan daerah berkaitan pula de-
ngan inisiatif lokal dan kreativitas dari para penyelenggara pemerintahan di
daerah. Kreativitas tersebut menyangkut bagaimana mencari sumber dana
(bersumber dari Dana Alokasi Umum [DAU] atau dari Pendapatan Asli Daerah
[PAD]) dan mengalokasikannya secara tepat, adil, dan proporsional. Kreati­
vitas juga menyangkut kapasitas untuk menciptakan keunggulan komparatif
bagi daerahnya, sehingga kalangan pemilik modal akan tertarik menanamkan
modal di daerah tersebut. Kreativitas juga menyangkut kemampuan untuk
menarik Dana Alokasi Khusus DAK dari pemerintah pusat melalui penyiapan
U P
O
GR
program-program sosial, budaya, dan ekonomi yang berorientasi peningkatan
kesejahteraan masyarakat daerah.

A
2. Politik lokal yang stabil. Masyarakat dan pemerintah di daerah harus mencip­
I
ED
takan suasana politik lokal yang kondusif melalui transparansi dalam pembuat­
an kebijakan publik dan akuntabel dalam pelaksanaannya.

M
3. Pemerintah daerah harus menjamin kesinambungan berusaha. Ada kecen­
A
D
derungan yang mengkhawatirkan berbagai pihak bahwa pemerintah daerah

N A
sering kali merusak tatanan yang sudah ada. Apa yang sudah disepakati sebe-
lumnya, baik melalui kontrak dalam negeri atau dengan pihak asing, sering kali

R E
“diancam” untuk ditinjau kembali, bahkan hendak dinafikan oleh pemerintah

P
daerah dengan alasan otonomi daerah yang dipahami kebebasan pemerintah
daerah bertindak. Kalangan pengusaha asing dan domestik sering kali merasa
terganggu dengan sikap kalangan politisi dan birokrasi daerah yang mencoba
mengubah apa yang sudah disepakati sebelumnya. Hal ini berdampak dunia
usaha merasa tidak terlindungi dalam kesinambungan usahanya.
4. Pemerintah daerah harus komunikatif dengan LSM/NGO, terutama dalam
bidang perburuhan dan lingkungan hidup. Pemerintah daerah dituntut un­
tuk memahami semua aspirasi yang berkembang di kalangan masyarakat dan
LSM, komunitas buruh salah satunya pemuda harus tanggap memberi solusi
terhadap masalah-masalah perburuhan. Dengan demikian, pemerintah daerah
menjadi jembatan antara kepentingan dunia usaha dengan aspirasi kalangan
pekerja/buruh. Pemerintah daerah juga harus lebih sensitif dengan masalah
atau isu-isu lingkungan hidup seperti penggundulan hutan, pencemaran air

202
BAB 8 • OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI

dan udara, kepunahan habitat hewan dan tumbuhan tertentu, dan pemanasan
global. Hal lain yang tidak kalah penting adalah keharusan pemerintah daera­h
harus berkomitmen untuk menjaga empat konsensus dasar kebangsaan: Pan­
casila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

I. OTONOMI DAERAH DAN PILKADA LANGSUNG


Pemilihan langsung kepala daerah dan wakil kepala daerah yang lazim disebut
dengan Pilkada merupakan perwujudan pengembalian hak-hak rakyat. Dengan
pil­kada langsung, rakyat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan
pemim­pin daerah secara bebas, rahasia, dan aman.
Pilkada langsung merupakan instrumen politik yang sangat strategis untuk
mendapatkan legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala

U P
daerah. Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-
norma yang berdimensi hukum, moral, dan sosial. Seorang kepala daerah yang me­
O
GR
miliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih melalui prosedur yang sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan, pemilihan yang demokratis, dan didu­
kung oleh suara terbanyak.
I A
ED
Penyelenggaraan pilkada harus memenuhi beberapa kriteria:
1. Langsung. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan suaranya

A M
secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.

AD
2. Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesem­
patan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi

E N
berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan,

P R
dan status sosial.
3. Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan pilihan
tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, se­
tiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat memilih sesuai kehen­
dak hati nurani dan kepentingannya.
4. Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya tidak
akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apa pun. Pemilih mem­
berikan suaranya pada surat suara dengan tidak diketahui oleh orang lain ke­
pada siapa pun suaranya diberikan.
6. Jujur. Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada, aparat
pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau pilkada, pe­
milih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

203
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

7. Adil. Dalam penyelenggaraan pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta pilka­


da mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak mana
pun.

RANGKUMAN
1. Otonomi Daerah dapat dijadikan sebagai kawah persiapan yang bersifat ter­
buka bagi semua warga negara di tingkat daerah untuk meniti karier lanjutan,
ter-utama karier politik dan pemerintahan di tingkat nasional. Keberadaan
peme-rintahan daerah (eksekutif dan legislatif) sangat penting dan tepat bagi
penggodokan calon-calon pemimpin nasional.
2. Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintahan mempunyai
tiga visi yang saling terkait: politik, ekonomi, sosial, dan budaya.

U P
3. Otonomi daerah yang diterapkan di Indonesia bersifat luas, nyata, dan bertang­
gung jawab. Luas karena kewenangan berada pada pemerintah pusat; Nyata
O
GR
karena kewenangan yang diselenggarakan itu menyangkut yang diperlukan,
tumbuh dan hidup, dan berkembang di daerah; dan bertanggung jawab karena

I A
kewenangan yang diserahkan harus diselenggarakan demi pencapaian tujuan

ED
otonomi daerah, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyara­
kat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan

A M
pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah
dan antardaerah.
AD
4. Otonomi daerah merupakan langkah strategis yang diharapkan dapat memper­

E N
cepat pertumbuhan dan pembangunan daerah, di samping menciptakan kese­

R
imbangan pembangunan antardaerah di Indonesia.
P
LEMBAR KERJA

1. Mengapa otonomi daerah dan desentralisasi menjadi pilihan pemerintah dalam


penyelenggaraan pemerintahan di daerah? Diskusikan enam argumen dasar
pelaksanaan otonomi daerah!
2. Diskusikan empat pokok pemikiran (pertimbangan) yang melatarbelakangi
pelaksanaan otonomi daerah!

204
BAB 8 • OTONOMI DAERAH DALAM KERANGKA NKRI

3. Bagaimana pelaksanaan kebijakan otonomi daerah selama ini? Sebutkan faktor-


faktor pendukung dan penghambat keberhasilan pelaksanaan kebijakan otonomi
daerah?
4. Diskusikan langkah-langkah menjaring calon pemimpin daerah yang sesuai de-
ngan semangat dan tujuan dari kebijakan Otda dan Desentralisasi? Sebutkanlah
nama-nama calon pemimpin di daerah saudara yang layak diusung menjadi calon
pemimpin nasional?
5. Apa yang Saudara lakukan jika menjumpai peraturan-peraturan daerah (Perda)
berlawanan dengan semangat NKRI dan UUD 1945?
6. Bagaimana analisis Saudara tentang pemilihan kepala daerah melalui Pilkada
langsung dalam kaitan dengan otonomi daerah dan demokratisasi lokal?

U P
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P

205
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
TATA KELOLA PEMERINTAHAN
YANG BAIK DAN BERSIH
(GOOD AND CLEAN GOVERNANCE)

G
ood and clean governance adalah implikasi dari reformasi
dan menjadi daya dukung demokrasi. Istilah good and
clean governance sering kali dikaitkan dengan tuntutan
akan pengelolaan pemerintah yang profesional, akuntabel, dan be-
bas dari ko­rupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Lahirnya gagasan

P
good and clean governance di era Reformasi merupakan bagian dari

dengan korupsi kolusi dan nepotisme (KKN). Dengan demikian,


O U
gerakan perlawanan terhadap pemerintahan di masa lalu yang sarat

GR
komitmen Indonesia mewujudkan prinsip dan nilai-nilai good and

Bab
clean governance sama dengan melakukan perubahan secara sub-

I A
stantif dari praktik pemerintahan yang buruk menuju tata kelola

ED
pemerintahan yang sejalan dengan prinsip-prinsip birokrasi mo-

M
9
dern.

A
Pada bab ini akan dibahas tentang definisi, prinsip dan unsur-
D
A
unsur terkait dengan implementasi good and clean governance. Di

N
akhir pembahasan bab ini Saudara mampu:

E
R
ƒƒ Menjelaskan definisi dan cakupan good governance.

P
ƒƒ Menguraikan pentingnya prinsip-prinsip good governance da­
lam tata kelola pemerintahan.
ƒƒ Menganalisa kebijakan pemerintah terkait dengan paradigm
good and clean governance.
ƒƒ Mengaitkan keterkaitan good and clean governance dengan sek-
tor di luar pemerintah.
ƒƒ Memaparkan keterkaitan antara prinsip-prinsip good and clean
governance dengan kinerja birokrasi pelayanan publik.
BAB 9 • TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK & BERSIH

9
Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih
(Good and Clean Governance)

U P
ISTILAH good and clean governance merupakan wacana baru dalam kosakata ilmu
O
GR
politik. Muncul di awal tahun 1990-an, istilah ini memiliki pengertian akan segala
hal yang terkait dengan tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan,

I A
mengendalikan, atau memengaruhi urusan publik yang bersifat baik (good) dan

ED
bersih (clean). Istilah governance sendiri sudah cukup lama dikenal dalam literatur
administrasi dan ilmu politik, sejak masa Woodrow Wilson, sekitar 125 tahun lalu.

M
Definisi baru governance, muncul sekitar 15 tahun lalu, bersamaan dengan
A
D
berkembangnya gerakan pembiayaan internasional untuk negara-negara berkem-

N A
bang, dengan mensyaratkan “good governance”; penyelenggaraan peme-rintahan
yang amanah, tata pemerintahan yang baik, pengelolaan pemerintahan yang baik

R E
dan bertanggung jawab dan ada juga yang mengartikan secara simpel sebagai

P
pemerintahan yang bersih (clean government).

A. DEFINISI GOOD AND CLEAN GOVERNANCE


Secara umum, pengertian good governance adalah interaksi seimbang antara
lembaga pemerintahan dengan masyarakat dan kalangan swasta, di mana lem-
baga pemerintah memberlakukan kebijakan yang seimbang untuk perkembangan
masyarakat dan sektor swasta. Leftwich menjelaskan good governance sebagai ad-
ministrasi yang sehat, dan sekaligus juga politik yang demokratis, plus serangkaian
keutamaan yang non-ekonomis, seperti kesamaan, keseimbangan gender, meng-
hormati hukum, toleransi sosial, kultural, dan individual. Sementara UN-ESCAP
menyatakan bahwa good governance adalah proses pengambilan keputusan dan
proses dalam mengimplementasikan atau tidak mengimplementasikan suatu kepu-
tusan. John Healey dan Mark Robinson mengatakan bahwa good gover­nance adalah

209
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

kegiatan organisasi negara yang berimplikasi pada perumusan kebijakan yang


berefek pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Dari pengertian di atas tampak bahwa pengertian good governance merupakan
konsep yang kolektif, yang melibatkan seluruh tindakan atau tingkah laku yang
bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau memengaruhi urusan publik untuk
mewujudkan nilai-nilai good dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini,
pengertian good governance tidak sebatas pengelolaan lembaga pemerintahan se-
mata, tetapi me­nyangkut semua lembaga baik pemerintah maupun non-pemerin-
tah (lembaga swadaya masyarakat) dengan istilah good corporate.
Good governance juga berimplikasi pada prinsip-prinsip organisasi yang akun-
tabel, trans­paran, partisipatif, keterbukaan, dan berbasis pada penguatan serta
penegakan hu­kum. Bahkan, prinsip-prinsip good governance dapat pula diterapkan

U P
dalam pengelolaan lembaga sosial dan kemasyarakatan dari yang paling sederhana
hingga yang berskala besar, seperti arisan, pengajian, perkumpulan olahraga di
O
GR
tingkat rukun tetangga (RT), organisasi kelas, hingga organisasi di atasnya.
Di Indonesia, substansi good governan­ce dapat dipadankan dengan istilah

A
pemerintahan yang baik, bersih, dan berwibawa. Pemerintahan yang baik adalah
I
ED
sikap di mana kekuasaan dila­ku­kan oleh masyarakat yang diatur oleh berba­ga­i
tingkatan pemerintah negara yang berkaitan de­ngan sumber-sumber sosial, bu-

M
daya, politik, serta ekonomi. Dalam praktiknya, pemerintahan yang bersih (clean
A
D
government) adalah model pemerintahan yang efektif, efisien, jujur, transparan,
dan bertanggung jawab.

N A Sejalan dengan prinsip di atas, pemerin-

R E
Pengertian good governance
merupakan konsep yang bersifat
tahan yang baik itu berarti baik dalam proses

P
kolektif, yang melibatkan seluruh
tindakan atau tingkah laku
maupun hasil-hasilnya. Semua unsur dalam
pemerintahan bisa bergerak secara sinergis,
yang bersifat mengarahkan, tidak saling berbenturan, dan memperoleh
mengendalikan, atau memengaruhi
dukungan dari rakyat. Pemerintahan juga
urusan publik untuk mewujudkan
nilai-nilai good dalam kehidupan
bisa dikatakan baik jika pembangunan dapat
sehari-hari. Dalam konteks ini, dilakukan de-ngan biaya yang sangat minimal
pengertian good governance tidak namun dengan hasil yang maksimal. Faktor
sebatas pengelolaan lembaga lain yang tak kalah penting, suatu pemerin-
pemerintahan semata, tetapi
tahan dapat dikatakan baik jika produktivitas
menyangkut semua lembaga
baik pemerintah maupun non- bersinergi dengan peningkatan indikator ke-
pemerintah (lembaga swadaya mampuan ekonomi rakyat, baik dalam aspek
masyarakat) dengan istilah good produktivitas, daya beli, maupun kesejahter-
corporate. aan spiritualitasnya.

210
BAB 9 • TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK & BERSIH

Untuk mencapai kondisi sosial-ekonomi di


atas­­, proses pembentukan pemerintahan yang ber­­­ Dalam praktiknya,
pemerintahan yang bersih
langsung secara demokratis mutlak dilakukan. Se­­­
(clean government) adalah
bagai sebuah paradigma pengelolaan lembaga ne­ model pemerintahan
gara, good and clean governance dapat terwujud yang efektif, efisien,
secara maksimal jika ditopang oleh tiga unsur yang jujur, transparan, dan
bertanggung jawab.
salin­g terkait: Unsur Negara, unsur swasta dan un-
sur masyarakat sipil. Negara melalui birokrasi pe­
merintahannya dituntut untuk mengubah pola pelayanan publik dari perspek­tif
birokrasi elitis menjadi birokrasi populis. Birokrasi populis adalah tata kelola peme-
rintahan yang berorientasi melayani dan berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Sistem pemerintahan negara yang bersih (clean government) adalah kunci penting
dalam pelaksanaan good governance.

U P
Prasetijo dalam Sedarmayanti, menegaskan bahwa dalam konteks birokrasi
O
GR
Indonesia Clean Government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kepemerintahan yang mampu mencip­takan keadaan yang memberi rasa nyaman

A
dan menyenangkan bagi para pihak dalam suasana kepemimpinan yang demokra-
I
ED
tis menuju masyarakat yang adil dan berkesejahteraan berdasarkan Pancasila. Para
pihak yang dimaksud dalam kepemerintahan ini adalah kelembagaan yang ada di

M
dalam eksekutif, legislatif, dan yudi­katif. Ketiga pihak ini harus saling bekerja sama,
A
DGOVERNANCE
berkoordinasi, bersinergi dalam menjalankan pemerintahan dan pembangunan.

N A
B. PRINSIP-PRINSIP GOOD
E
PR
Berkaitan dengan good governance, Mardiasmo mengemukakan bahwa orien-
tasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan kepemerintahan yang
baik. Kondisi ini menuntut terjadinya reformasi di berbagai tingkatan, mulai dari
aparatur negara, administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan
ke-terpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dengan praktik prinsip-prinsip good governance. Menurut UNDP,
karakteristik good governance adalah sebagai berikut;
1. Participation (partisipasi); setiap warga negara mempunyai suara dalam pem-
buatan keputusan, baik secara langsung maupun melalui intermediasi institusi
yang mewakili kepentinganya. Bentuk partisipasi menyeluruh ini dibangun
berdasarkan prinsip demokrasi yakni kebebasan berkumpul dan mengung-
kapkan pendapat secara konstruktif. Untuk mendorong partisipasi masyarakat
dalam seluruh aspek pembangunan, termasuk dalam sektor-sektor kehidupan

211
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

sosial lainnya selain kegiatan politik, maka regulasi birokrasi harus diminimal-
isasi.
2. Rule of law (berbasis hukum); kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan
tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. Sehubungan
dengan hal tersebut, realisasi wujud good and clean governance, harus diim-
bangi dengan komitmen pemerintah untuk menegakkan hukum yang mengan­
dung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Supremasi hukum (supremacy of law), yakni setiap tindakan unsur-unsur
kekuasaan negara, dan peluang partisipasi masyarakat dalam kehidupan
ber bangsa dan bernegara didasarkan pada hukum dan aturan yang jelas
dan tegas, dan dijamin pelaksanaannya secara benar serta independen.
Supremasi hukum akan menjamin tidak terjadinya tindakan pemerintah

dimilikinya).
U P
atas dasar diskresi (tindakan sepihak berdasarkan pada kewenangan yang

O
b. Kepastian hukum (legal certainty), bahwa setiap kehidupan berbangsa dan

GR
bernegara diatur oleh hukum yang jelas dan pasti, tidak duplikatif dan ti-
dak bertentangan antara satu dengan lainnya.

I A
c. Hukum yang responsif, yakni aturan-aturan hukum disusun berdasarkan

ED
aspirasi masyarakat luas, dan mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan

M
publik secara adil.

D A
d. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak diskriminatif, yakni pene­
gakan hukum berlaku untuk semua orang tanpa pandang bulu. Untuk itu,

N A
diperlukan penegak hukum yang memiliki integritas moral dan bertang-

R E
gung jawab terhadap kebenaran hukum.
e. Independensi peradilan, yakni peradilan yang independen bebas dari pe-
P
ngaruh penguasa atau kekuatan lainnya.
3. Transparency (terbuka); transparansi yang dibangun atas dasar kebebasan
arus informasi. Hal ini mutlak dilakukan dalam rangka menghilangkan buda­ya
korupsi di kalangan pelaksana pemerintahan, baik pusat maupun yang di ba­
wahnya. Dalam pengelolaan negara terdapat delapan unsur yang harus dilaku-
kan secara transparan, yaitu:
a. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
b. Kekayaan pejabat publik.
c. Pemberian penghargaan.
d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan, kesehat-
an.
e. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
f. Keamanan dan ketertiban.

212
BAB 9 • TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK & BERSIH

g. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat


4. Responsiveness (responsif); setiap lembaga dan proses penyelenggaraan pe-
merintahan dan pembangunan harus mencoba melayani setiap stakeholders.
Sesuai dengan asas responsif, setiap unsur pemerintah harus memiliki dua
etika, yakni etika individual dan sosial kualifikasi etika individual menuntut
pelaksana birokrasi pemerintah agar memiliki kriteria kapabilitas dan loyali-
tas profesional. Adapun etik sosial menuntut mereka agar memiliki sensitivitas
terhadap berbagai kebutuhan publik.
5. Consensus orientation (orientasi konsensus); good governance menjadi peran-
tara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi ke-
penting yang lebih luas. Sekalipun para pejabat pada tingkatan tertentu dapat
mengambil kebijakan secara personal sesuai batas kewenangannya, tetapi me-

U P
nyangkut kebijakan-kebijakan penting dan bersifat publik harus diputuskan se-
cara bersama dengan seluruh unsur terkait. Kebijakan individual hanya dapat
O
GR
dilakukan sebatas menyangkut teknis pelaksanaan kebijakan, sesuai batas ke-
wenangannya. Paradigma ini perlu dikembangkan dalam konteks pelaksanaan

I A
pemerintahan, karena urusan yang mereka kelola adalah persoalan-persoalan

ED
publik yang harus dipertanggungjawabkan kepada rakyat. Semakin banyak
yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan secara partisipatif, maka
M
akan semakin banyak aspirasi dan kebutuhan masyarakat yang terwakili. Selain
A
AD
itu, semakin banyak yang melakukan pengawasan serta kontrol terhadap kebi-
jakan-kebijakan umum, maka akan semakin tinggi tingkat kehati-hatiannya,

E N
dan akuntabilitas pelaksanaannya dapat semakin dipertanggungjawabkan.

P R
6. Equity (kesetaraan); semua warga negara mempunyai kesempatan untuk me­
ningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. Asas kesetaraan (equity) ada­
lah kesamaan dalam perlakuan dan pelayanan publik. Asas kesetaraan ini
mengharuskan setiap pelaksanaan pemerintah untuk bersikap dan berperilaku
adil dalam hal pelayanan publik tanpa mengenal perbedaan keyakinan, suku,
jenis kelamin, dan kelas sosial.
7. Effectiveness and efficiency (efektif dan efisien); proses-proses dan lembaga-
lembaga menghasilkan produknya sesuai dengan yang telah digariskan, de-
ngan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. Adapun
asas efisiensi umumnya diukur dengan rasionalitas biaya pembangunan un-
tuk memenuhi kebutuhan semua masyarakat. Semakin kecil biaya yang ter-
pakai untuk kepentingan yang terbesar, maka pemerintahan tersebut termasuk
dalam kategori pemerintahan yang efisien.

213
BAB 9 • TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK & BERSIH

4. Desentralisasi (decentralization); adalah pendelegasian tugas dan kewenangan


di seluruh tingkatan secara merata dan sinergis. Delegasi tugas ini harus di-
orientasikan pada percepatan pengambilan keputusan, pemberian keleluasaan
dalam pelayanan publik dan pembangunan baik di tingkat pusat atau daerah.
Selain itu, sistem pendelegasian juga perlu didukung oleh sistem koordinasi
dan manajemen yang sungguh-sungguh mencerminkan pengembangan as-
pirasi, potensi dan peluang baik di tingkat pusat atau daerah.
5. Kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private sector and
civil society partnership); munculnya perbaikan sistem penyelenggaraan pela-
yanan terpadu untuk meningkatkan dunia usaha di masyarakat. Kemitraan an-
tara sektor swasta dan masyarakat ini perlu diatur oleh negara dalam kebijakan
yang tidak berat sebelah. Negara memang memerlukan sektor swasta di dalam

U P
percepatan pembangunan terutama di era pasar bebas seperti yang digagas saat
ini, namun negara harus bisa memastikan dunia usaha kecil dan menengah
O
GR
yang dilakukan oleh masyarakat terakomodasi di dalam sistem pasar bebas.
Kebijakan negara tentang pembagian tugas antara swasta, negara, dan masya­

A
rakat serta agenda kemitraan yang dilakukan di antara ketiganya harus jelas
I
ED
dan nyata. Dengan demikian, program pemberdayaan pada institusi ekonomi
lokal/usaha mikro, kecil dan menengah menjadi indikator nyata dari prinsip
ini.
A M
D
6. Komitmen pada pengurangan kesenjangan; kesetaraan dan persamaan ada-

N A
lah prinsip utama good governance. Namun menciptakan kesetaraan dan persa-
maan di dalam berbagai bidang dan kebijakan bukan persoalan yang mudah.

R E
Itu sebabnya menciptakan kesetaraan dan persamaan diartikan pula dengan

P
mereduksi berbagai perlakuan diskriminatif yang menciptakan kesenjangan di
dalam kehidupan bermasyarakat. Indikator nyata dari prinsip ini, salah satunya
adalah tersedia layanan kebutuhan dasar masyarakat secara seimbang (subsidi
silang, affirmative action) serta penguatan kapasitas masyarakat untuk mening­
katkan daya saing serta keterampilan.
7. Komitmen pada lingkungan hidup; kesadaran tentang lingkungan hidup
perlu menjadi prioritas. Saat daya dukung lingkungan ini semakin menurun
akibat pemanfaatan yang tak terkendali, maka penyusunan analisis mengenai
dampak lingkungan sebelum pemanfaatannya perlu ditegakkan. Penegakan ini
juga harus diikuti dengan pengaktifan lembaga-lembaga pengendali dampak
lingkungan serta pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Lebih dari itu, di
dalam governance, dipastikan ada kebijakan hukum yang kuat terhadap pelaku-
pelaku perusakan lingkungan, dan penguatan terhadap ketentuan insentif dan

215
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

disinsentif dalam pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkung-


an hidup.
8. Komitmen pasar yang fair; pengalaman di era Orde Baru di mana sektor eko-
nomi dicampurtangani pemerintah sedemikian intens, sampai masyarakat ke-
cil dan menengah sulit terlibat di dalam persaingan ekonomi perlu dijadikan
pembelajaran. Untuk menegakkan prinsip komitmen pasar yang fair, peme-
rintah bertugas menjadi penjamin berlangsungnya iklim kompetisi yang se-
hat, dengan mengendalikan dan mengarahkan investasi pemerintah, investasi
swasta yang mendorong pe-ningkatan usaha di masyarakat.

C. NEGARA, MASYARAKAT, DAN SEKTOR SWASTA


Secara umum governance diartikan sebagai kualitas hubungan antara pemerin-

U P
tah dan masyarakat yang dilayani dan dilindunginya, private sectors (sektor swasta/
dunia usaha) dan masyarakat. Oleh sebab itu, good governance sektor publik diar-
O
GR
tikan sebagai suatu proses tata kelola pemerintahan yang baik, dengan melibatkan
semua komponen (stakeholders) dalam berbagai kegiatan perekonomian, sosial

I A
politik, dan pemanfaatan berbagai sumber daya seperti sumber daya alam, keuang­

ED
an dan manusia bagi kepentingan rakyat yang dilaksanakan dengan menganut asas
keadilan, pemerataan, persamaan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas.
M
Pada saat yang sama, sebagai komponen di luar birokrasi negara, sektor swasta
A
AD
(corporate sektors) harus pula bertanggung jawab dalam proses pengelolaan sumber
daya alam dan perumusan kebijakan publik dengan menjadikan masyarakat seba­

E N
gai mitra strategis. Dalam hal ini, sebagai bagian dari pelaksanaan good and clean

P R
governance, dunia usaha berkewajiban untuk memiliki tanggung jawab sosial (cor­
porate social responsibility/CSR), yakni dalam bentuk kebijakan sosial perusahaan
yang ber­­­­tanggung jawab langsung dengan pening­katan kesejahteraan masyarakat
di mana suatu perusahaan beroperasi. Bentuk tanggung jawab sosial (CSR) ini
dapat diwujudka­n dalam program-program pengembangan (com­­munity empower­
ment) dan pelestarian ling­kungan hidup.
I Wibowo dalam bukunya Negara Centeng; Negara dan Saudagar di Era Glo­
balisasi menyebutkan ide tentang good governance bisa berimplikasi pada ide ten-
tang meminggirkan negara. Karena administrasi yang sehat, politik yang demokra-
tis dan serangkaian keutamaan non-ekonomis, seperti kesamaan, keseimbangan
gender, penghormatan terhadap hukum, toleransi sosial, kultural dan individual
yang diharapkan menghasilkan politik yang demokratis serta birokrasi yang ram-
ping, efisien dan akuntabel adalah syarat bagi berkembangnya pasar bebas. Denga­n
demikian, tugas pemimpin negara menjadi sederhana, tetapi sekaligus vulgar, yak-

216
BAB 9 • TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK & BERSIH

ni menjaga kepentingan pengusaha. Negara,


menurut Wibowo, pada akhirnya semata- Good governance sektor publik
diartikan sebagai suatu proses
mata dipakai untuk memberi servis kepada
tata kelola pemerintahan
pengusaha dan mengeliminasi masyarakat yang baik, dengan melibatkan
lokal yang ada di negara berkembang. stakeholders dalam berbagai
Asumsi tentang dominasi sektor swasta kegiatan perekonomian, sosial
politik, dan pemanfaatan berbagai
ini yang kemudian dikembangkan ke dalam
sumber daya seperti sumber daya
prinsip-prinsip good governance Indonesia alam, keuangan dan manusia
oleh Bappenas. Dalam konteks Indonesia, bagi kepentingan rakyat yang
Koesnadi Hardjasoemantri menyatakan good dilaksanakan dengan menganut
governance hanya bermakna bila keberadaan- asas keadilan, pemerataan,
persamaan, efisiensi, transparansi
nya ditopang oleh lembaga yang melibatkan
dan akuntabilitas.
kepentingan publik. Jenis lembaga tersebut
adalah sebagai berikut;
U P
O
GR
1. Negara, dalam hal ini bertugas:
ƒƒ Menciptakan kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang stabil

I A
ƒƒ Membuat peraturan yang efektif dan berkeadilan

ED
ƒƒ Menyediakan publik service yang efektif dan accountable
ƒƒ Menegakkan HAM
M
ƒƒ Melindungi lingkungan hidup
A
D
ƒƒ Mengurus standar kesehatan dan standar keselamatan publik

A
2. Sektor swasta memiliki kewajiban:
N
E
ƒƒ Menjalankan industri

P R
ƒƒ Menciptakan lapangan kerja
ƒƒ Menyediakan insentif bagi karyawan
ƒƒ Meningkatkan standar hidup masyarakat
ƒƒ Memelihara lingkungan hidup
ƒƒ Menaati aturan yang berlaku
ƒƒ Melakukan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi pada masyarakat
ƒƒ Menyediakan kredit bagi pengembangan UKM
3. Masyarakat sipil harus didorong untuk:
ƒƒ Menjaga agar hak-hak masyarakat terlindungi
ƒƒ Memengaruhi kebijakan
ƒƒ Berfungsi sebagai sarana checks and balances pemerintah
ƒƒ Mengawasi penyalahgunaan kewenangan sosial pemerintah
ƒƒ Mengembangkan SDM
ƒƒ Berfungsi sebagai sarana berkomunikasi antar-anggota masyarakat

217
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

D. PROGRAM PRIORITAS PEMERINTAHAN YANG BAIK DAN BERSIH


Sejalan dengan prinsip demokrasi, partisipasi masyarakat merupakan salah
satu tujuan dari implementasi good and clean governance. Keterlibatan masyarakat
dalam proses pengelolaan lembaga pemerintahan pada akhirnya akan melahirkan
kontrol masyarakat terhadap jalannya pengelolaan lembaga pemerintahan. Kontrol
masyarakat akan berdampak pada tata pemerintahan yang baik, efektif, dan bebas
dari KKN. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan
prinsip-prinsip pokok good and clean governance setidaknya dapat dilakukan me-
lalui pelaksanaan prioritas program, yakni:
1. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan. Penguatan peran lembaga
perwakilan rakyat (MPR, DPR, DPD, dan DPRD) mutlak dilakukan dalam
rangka peningkatan fungsi mereka sebagai pengontrol jalannya pemerintahan.

U P
Selain melakukan check and balances, lembaga legislatif harus pula mampu me­

O
nyerap dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat dalam bentuk usulan pem­

GR
bangun­an yang berorientasi pada kepentingan masyarakat kepada lembaga
eksekutif.

I A
2. Kemandirian lembaga peradilan. Untuk mewujudkan pemerintahan yang

ED
bersih dan berwibawa berdasarkan prinsip good and clean governance pening-

M
katan profesionalitas aparat penegak hukum dan kemandirian lembaga per-

D A
adilan mutlak dilakukan. Akuntabilitas aparat penegak hukum dan lembaga
yudikatif merupakan pilar yang menentukan dalam penegakan hukum dan
keadilan.
N A
R E
3. Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah. Perubahan paradigma
aparatur negara dari birokrasi elitis menjadi birokrasi populis (pelayan publik)
P
harus dibarengi dengan peningkatan profesionalitas dan integritas moral jaja-
ran birokrasi pemerintah.
4. Penguatan partisipasi masyarakat sipil (civil society). Peningkatan partisipa-
si masyarakat adalah unsur penting lainnya dalam merealisasikan pemerintah-
an yang bersih dan berwibawa. Partisi-
Akuntabilitas jajaran birokrasi
pasi masyarakat dalam proses kebijakan
akan berdampak pada naiknya publik mutlak dilakukan dan difasilitasi
akuntabilitas dan legitimasi oleh negara (pemerintah). Peran aktif
birokrasi itu sendiri. Aparatur masyarakat dalam proses kebijakan pub-
birokrasi yang mempunyai
lik pada dasarnya dijamin oleh prinsip-
karakter tersebut dapat bersinergi
dengan pelayanan birokrasi secara
prinsip HAM. Masyarakat mempunyai
cepat, efektif, dan berkualitas. hak atas informasi, hak untuk menyam-
paikan usulan, dan hak untuk melakukan

218
BAB 9 • TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK & BERSIH

kritik terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Kritik dapat dilakukan melalui


lembaga-lembaga perwakilan, pers maupun dilakukan secara langsung lewat
dialog-dialog terbuka dengan jajaran birokrasi bersama LSM, partai politik,
maupun organisasi sosial lainnya.
5. Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah. Untuk
merealisasikan prinsip-prinsip clean and good governance, kebijakan otonomi
daerah dapat dijadikan sebagai media transformasi perwujudan model peme-
rintahan yang menopang tumbuhnya kultur demokrasi di Indonesia.
Lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah telah memberi-
kan kewenangan pada daerah untuk melakukan pengelolaan dan memajukan ma-
syarakat dalam politik, ekonomi, sosial, dan budaya dalam kerangka menjaga ke-
utuhan NKRI. Dengan pelaksanaan otonomi daerah tersebut, pencapaian tingkat
P
kesejahteraan dapat diwujudkan secara lebih cepat yang pada akhirnya akan men-
U
O
dorong kemandirian masyarakat.

E. REFORMASI BIROKRASI
GR
I A
Perwujudan good local governance di Indonesia telah didukung oleh semangat

ED
kebijakan otonomi daerah. Otonomi daerah telah memberi peluang kepada tiga
sektor, yaitu pemerintah daerah, sektor swasta, dan masyarakat untuk lebih ber-

A M
daya dan berperan secara dinamis dan sehat. Untuk menciptakan kondisi kompe-

AD
tisi yang sehat dan dinamis di antara ketiga unsur ini peran pemerintah pusat sa-
ngatlah penting sebagai pembuat kebijakan. Reformasi birokrasi merupakan salah

E N
satu pendekatan yang dilakukan Pemerintah Indonesia untuk mendukung bukan

P R
hanya good and clean governance di tingkat pusat melainkan juga di tingkat lokal
dan di seluruh aspek birokrasi yang pada gilirannya akan berdampak pada kerja
sama yang sehat dan dinamis antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat.
Reformasi birokrasi hakikatnya adalah
upa­­­ya melakukan pembaruan dan per­ubahan Reformasi birokrasi hakikatnya
men­dasar terhadap sistem penyelenggaraan pe- adalah upaya melakukan
merintahan terutama menyangkut aspek-aspe­k pembaruan dan perubahan
mendasar terhadap sistem
ke­­lembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (bu­
penyelenggaraan pemerintahan
siness process) dan sumber daya manusia atau terutama menyangkut
aparatur pemerintah. Berbagai permasalahan/ aspek-aspek kelembagaan
hambatan yang mengakibatkan sistem peme- (organisasi), ketatalaksanaan
(business process) dan sumber
rintahan tidak berjalan atau diperkirakan tidak
daya manusia atau aparatur
akan berjalan dengan baik harus ditata ulang pemerintah.
atau diperbarui. Reformasi birokrasi dengan

219
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

demikian merupakan sebuah perubahan mendasar di dalam paradigma dan tata


kelola pemerintahan Indonesia, dalam rangka menjauhkan birokrasi dijadikan
lahan subur untuk praktik korusi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Faktor-faktor
yang memengaruhi kinerja birokrasi dan menjadi fokus kerja Reformasi Birokrasi
adalah:
1. Manajemen organisasi dalam menerjemahkan dan menyelaraskan tujuan bi-
rokrasi.
2. Budaya kerja dan organisasi pada birokrasi; kualitas sumber daya manusia yang
dimiliki birokrasi; dan kepemimpinan birokrasi yang efektif dan koordinasi
kerja pada birokrasi. Faktor-faktor ini akan menentukan lancar tidaknya suatu
birokrasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Selain itu, kinerja bi-
rokrasi di masa depan akan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut:

si yang menjalankan aktifitas birokrasi.


U P
a. Struktur birokrasi sebagai hubungan internal, yang berkaitan dengan fung-

O
b. Kebijakan pengelolaan, berupa visi, misi, tujuan, sasaran, dan tujuan dalam

GR
perencanaan strategis pada birokrasi.
c. Sumber daya manusia, yang berkaitan dengan kualitas kerja dan kapasitas
I A
diri untuk bekerja dan berkarya secara optimal.

ED
d. Sistem informasi manajemen, yang berhubungan dengan pengelolaan da­

M
tabase dalam kerangka mempertinggi kinerja birokrasi.

D A
e. Sarana dan prasarana yang dimiliki, yang berhubungan dengan penggu-
naan teknologi bagi penyelenggaraan birokrasi pada setiap aktifitas bi-
rokrasi.
N A
R E
Dalam melakukan perubahan pada faktor-faktor yang memengaruhi birokrasi

P
ini perlu ditetapkan kriteria dan ukuran keberhasilan reformasi birokrasi, sebagai
dasar indikator apakah reformasi birokrasi sudah berjalan sesuai dengan target dan
tujuan yang diharapkan. Kriteria dimaksud termuat di dalam Peraturan Presiden
Nomor 81 tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025 dan
Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Bi-
rokrasi Nomor 20 Tahun 2010 tentang Road Map Reformasi Birokrasi 2010-2014.
Uraian kriteria dan ukuran keberhasilan Reformasi Birokrasi dipaparkan dalam
Permenpan-RB Nomor 11 Tahun 2011 melalui indikator penilaian yang didasarkan
pada prinsip SMART-C, yaitu:
1. Specific (spesifik); indikator yang digunakan harus mampu menyatakan sesu­
atu yang khas/unik dalam menilai kinerja keberhasilan reformasi birokrasi.
2. Measurable (terukur); indikator yang dirancang harus dapat diukur dengan
jelas, memiliki satuan pengukuran dan jelas pula cara pengukurannya.

220
BAB 9 • TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK & BERSIH

3. Achievable (tercapai); indikator yang dipilih harus dapat dicapai oleh kemen-
terian/lembaga dan pemerintah daerah.
4. Relevant (relevan); indikator yang dipilih dan ditetapkan harus sesuai dengan
visi dan misi, serta sasaran reformasi birokrasi.
5. Timely (terbatas); indikator yang dipilih harus mempunyai batas waktu penca-
paian.
6. Continuity (keberlangsungan); indikator yang dibangun harus berkelanjutan
dan dapat menyesuaikan dengan perkembangan kemajuan reformasi birokrasi.
Pada praktiknya, kegiatan reformasi birokrasi ini akan menuntut setiap lem-
baga untuk menjalankan tahapan reformasi sebagai berikut:
1. Manajemen perubahan; yang diimplementasikan dalam kegiatan pembentuk­
an tim manajemen perubahan, penyusunan strategi manajemen perubahan

U P
dan strategi komunikasi serta sosialisasi dan internalisasi manajemen peruba-
han dalam rangka reformasi birokrasi.
O
GR
2. Penataan peraturan perundang-undangan; yang dilakukan melalui penata-
an berbagai peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan/diterbitkan
oleh lembaga birokrasi.
I A
ED
3. Penataan dan penguatan organisasi; dikerjakan dengan kegiatan restruk-

M
turisasi/penataan tugas dan fungsi unit kerja dan penguatan unit kerja yang

diklat.
D A
menangani fungsi, organisasi, tata laksana, pelayanan publik, kepegawaian, dan

N A
4. Penataan tata laksana; dengan cara penyusunan SOP penyelenggaraan tugas

R E
dan fungsi serta pembangunan atau pengembangan e-government.
5. Penataan sistem manajemen SDM aparatur; dengan menata kembali sistem
P
rekrutmen pegawai, menganalisis jabatan dan mengevaluasi jabatan, menyu-
sun standar kompetensi jabatan dan asesmen individu berdasarkan kompeten-
si, penerapan sistem penilaian kinerja individu, pembangunan/pengembangan
database pegawai, pengembangan pendidikan dan pelatihan pegawai berbasis
kompetensi
6. Penguatan pengawasan; dengan melakukan penerapan Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah (SPIP) pada masing-masing lembaga birokrasi, peningkatan
Peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) sebagai penjamin mutu
(quality assurance) dan consulting.
7. Penguatan akuntabilitas kinerja; dengan pengembangan sistem manajemen
kinerja organisasi dan penyusunan indikator kinerja utama pada setiap lem-
baga birokrasi.

221
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

8. Peningkatan kualitas pelayanan publik; dengan menetapkan standar pelayan-


an pada unit kerja masing-masing dan penguatan partisipasi masyarakat dalam
penyelenggaraan pelayanan publik.
9. Monitoring dan evaluasi; tersedia laporan monitoring, laporan evaluasi, dan
langkah pembenahan atas evaluasi.
Reformasi Birokrasi di Indonesia semakin diperkuat dengan melahirkan kon-
sep pegawai pemerintah yang lebih profesional melalui Undang-Undang Apara-
tur Sipil Negara (ASN). Salah satu komponen yang ditekankan di dalam memba-
ngun profesionalitas birokrasi adalah sistem merit. Sistem merit (merit system)
sebagaimana yang tercantum di dalam UU ASN adalah kebijakan dan manajemen
ASN yang berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan
wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama,
asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur ataupun kondisi kecacatan.
U P
O
Sistem merit ini mengandung dua konsekuensi penting, yakni terdapat standar

GR
kompetensi atas kedudukan tugas dan fungsi setiap individu dalam menduduki ja-
batan atau melaksanakan pekerjaan dan harus ada kejelasan dalam memahami tu-

I A
gas serta target pekerjaan yang diembannya. Persoalan-persoalan tentang birokrasi

ED
masa lalu yang minim output, dapat diantisipasi oleh sistem ini. Di luar itu, standar
kompetensi dalam hal ini berfungsi sebagai kecakapan terkait jabatan yang bisa

A M
diperebutkan melalui mekanisme rekrutmen terbuka (open recruitment) atau ases-

AD
men/analisis terbuka (open assessment) dalam menduduki suatu jabatan.
Implikasi dari rekrutmen atau pencarian pejabat publik secara terbuka pada

E N
jajaran birokrasi akan menempatkan pelaku pemerintahan yang sesuai dengan

P R
kecakapan yang dibutuhkan dan secara otomatis akan mengurangi kegiatan-ke-
giatan yang tidak profesional dalam pengangkat­
Sistem merit (merit system) an dan promosi di lingkungan birokrasi. Lebih
sebagaimana yang tercantum dari itu, mekanisme asesmen atau analisis terbu-
di dalam UU ASN adalah ka pada tingkat tertentu membuka peluang dan
kebijakan dan manajemen kesempatan kalangan di luar lingkungan aparat
ASN yang berdasarkan pada
kualifikasi, kompetensi dan
negara untuk menempati posisi dalam birokrasi
kinerja secara adil dan wajar pemerintahan sepanjang memenuhi kriteria dan
dengan tanpa membedakan kecakapan yang ditentukan. Ini menunjukkan
latar belakang politik, ras, bahwa profesionalitas keahlian dan kecakapan
warna kulit, agama, asal-
menjadi poin penting dalam penataan birokrasi,
usul, jenis kelamin, status
pernikahan, umur atau pun
dan kegiatan-kegiatan yang bersifat kolutif dan
kondisi kecacatan. nepotisme tidak lagi diterima dalam birokrasi
yang sehat.

222
BAB 9 • TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK & BERSIH

F. TATA KELOLA BIROKRASI BERBASIS PELAYANAN PUBLIK


Pelayanan umum atau pelayanan publik
adalah pemberian jasa, baik oleh pe­merintah, … yang bisa memberikan pelayanan
pihak swasta atas nama pemerintah maupun publik kepada masyarakat luas
pihak swasta kepada ma­­­­­­syarakat, deng­a­n bukan hanya instansi pemerintah,
melainkan juga pihak swasta.
atau tanpa pembayaran guna memenuhi ke-
Pelayanan publik yang dijalankan
butuhan dan/atau kepentingan masyarakat. oleh instansi pemerintah
Dengan demikian, yang bisa memberikan bermotif sosial dan politik, yakni
pelayanan publik kepada masyarakat luas menjalankan tugas pokok serta
bukan hanya instansi pemerintah, melain- mencari dukungan suara. Adapun
pelayanan publik oleh pihak swasta
kan juga pihak swasta. Pelayanan publik
bermotif ekonomi, yakni mencari
yang dijalankan oleh instansi pemerintah
P
keuntungan.
ber­­motif sosial dan politik, yakni menja­lan­

O U
kan tugas poko­k serta mencari dukungan suara. Adapun pe­layanan publik oleh pi-

GR
hak swasta bermotif ekonomi, yakni mencari keuntungan.
Pelayanan publik kepada masyarakat bisa diberikan secara cuma-cuma atau-

I A
pun disertai dengan pembayaran. Pelayanan pub­­lik yang bersifat cuma-cuma se-

ED
benarnya me­rupakan kompensasi dari pajak yang telah dibayar oleh masyarakat itu
sendiri. Ada­pun, pemberian pelayanan pub-

A M
lik yang disertai dengan penarikan bayaran,
Pelayanan publik yang bersifat

AD
penentuan tarifnya didasarkan pada harga
pasar ataupun didasarkan menurut harga yang
cuma-cuma sebenarnya

N
merupakan kompensasi dari

E
paling terjangkau bukan berdasarkan keten- pajak yang telah dibayar oleh

R
tuan sepihak aparat atau instansi pemerintah. masyarakat itu sendiri. Adapun,

P
Dalam hal ini, rasionalitas dan transparansi
biaya pelayanan publik harus dijalankan oleh
pemberian pelayanan publik
yang disertai dengan penarikan
bayaran, penentuan tarifnya
aparat pelayanan publik, demi tercapainya didasarkan pada harga pasar
penerapan prinsip-prin­sip good and clean go- ataupun didasarkan menurut
vernance. harga yang paling terjangkau
bukan berdasarkan ketentuan
Ada beberapa alasan mengapa pelayanan
sepihak aparat atau instansi
publik menjadi titik strategis untuk memulai pemerintah. Dalam hal ini
pengembangan dan penerapan good and clean rasionalitas dan transparansi
governance di Indonesia: biaya pelayanan publik harus
Pertama, pelayanan publik selama ini dijalankan oleh aparat pelayanan
publik, demi tercapainya
men­­­­jadi area di mana negara yang diwakili penerapan prinsip-prinsip good
pemerintah berinteraksi dengan lembaga non and clean governance.
­pe­merintah, di mana keberhasilan dalam pe­

223
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

layanan publik akan mendorong tingginya du­­kungan masyarakat terhadap kerja


birokrasi; kedua, pelayanan publik adalah wila­yah di mana berbagai aspek good
and clean governance bisa diartikulasikan secara lebih mudah; ketiga, pelayanan
publik melibatkan kepentingan semua unsur tata pemerintahan (gover­nance),
yait­u pemerintah, masyarakat, dan mekanisme pasar. Dengan demikian, pelayanan
publik menjadi titik pangkal efektifnya kinerja birokrasi. Kinerja birok­rasi adalah
ukur­an kuantitatif dan kualitatif yang menggambarkan tingkat pencapaian sasaran
atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan elemen-elemen indi-
kator sebagai berikut:
1. Indikator masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar bi-
rokrasi mampu menghasilkan produknya, baik barang atau jasa, yang meliputi
sumber daya manusia, informasi, kebijakan, dan sebagainya.
P
2. Indikator proses (process), yaitu sesuatu yang berkaitan dengan proses peker-
U
O
jaan berkaitan dengan kesesuaian antara perencanaan dengan pelaksanaan

GR
yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang berupa fisik atau
pun non fisik.

I A
3. Indikator produk (outputs), yaitu sesuatu yang diharapkan langsung dicapai

ED
dari suatu kegiatan yang berupa fisik ataupun non fisik.
4. Indikator hasil (outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfung-

A M
sinya produk kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).

A
dari pelaksanaan kegiatan.D
5. Indikator manfaat (benefits) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir

E N
6. Indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan, baik positif

ditetapkan.
P R
maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah

RANGKUMAN
1. Good and clean governance memiliki pengertian segala hal yang terkait dengan
tindakan atau tingkah laku yang bersifat mengarahkan, mengendalikan, atau
memengaruhi urusan publik secara baik dan bersih. Kedua karakter ini dapat
dicapa jika suatu model tata laksana pemerintahan dilakukan secara efektif
dan efisien, responsif terhadap kebutuhan rakyat, demokratis, akuntabel, serta
transparan. Prinsip-prinsip tersebut tidak hanya terbatas dilakukan di kalang­
an birokrasi pemerintahan, tetapi juga di sektor swasta dan lembaga-lembaga
non-pemerintah.
2. Untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sesuai dengan
cita good governance, seluruh mekanisme pengelolaan negara harus dilakukan

224
BAB 9 • TATA KELOLA PEMERINTAHAN YANG BAIK & BERSIH

secara terbuka dalam hal:


a. Penetapan posisi, jabatan, atau kedudukan.
b. Kekayaan pejabat publik.
c. Pemberian penghargaan.
d. Penetapan kebijakan yang terkait dengan pencerahan kehidupan.
e. Kesehatan.
f. Moralitas para pejabat dan aparatur pelayanan publik.
g. Keamanan dan ketertiban.
h. Kebijakan strategis untuk pencerahan kehidupan masyarakat.
3. Untuk mendukung pemerintahan yang baik dan bersih berdasarkan prinsip-
prinsip pokok good and clean governance, setidaknya dapat dilakukan melalui
pelaksanaan prioritas program, yakni:
a. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan.
b. Kemandirian lembaga peradilan.
U P
c. Profesionalitas dan integritas aparatur pemerintah.
O
GR
d. Penguatan partisipasi Masyarakat Sipil (civil society).
e. Peningkatan kesejahteraan rakyat dalam kerangka otonomi daerah.

I A
4. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pe­

M ED
merintahan yang baik (good governance), untuk membangun aparatur negara
yang lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum
A
pemerintahan dan pembangunan nasional.
D
N A
R E
P

225
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

LEMBAR KERJA

1. Jelaskan pengertian good and clean governance! Apakah persamaan antara prin-
sip-prinsip good governance dengan prinsip-prinsip demokrasi?
2. Diskusikan: Apakah prinsip-prinsip good and clean governance dapat menjamin
pelaksanaan HAM? Apakah program sosial sektor swasta (corporate social res­
ponsibility/CSR) dapat mendukung pelaksanaan prinsip-prinsip good and clean
governance dan HAM? Apa yang dapat dilakukan oleh kalangan akademisi (ma-
hasiswa dan dosen) dalam mendorong program-program CSR di lingkungan
Saudara?
3. Diskusikan peluang dan kendala pelaksanaan prinsip-prinsip good governance
dalam tata kelola pemerintah di Indonesia, misalnya di lingkungan lembaga ne-

4.
gara, birokrasi pemerintah di daerah, LSM, dan sebagainya!

U P
Apa yang harus menjadi prioritas masyarakat sipil dalam rangka mewujudkan

O
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN dalam kerangka implementasi prinsip-

GR
prinsip good and clean governance?
5. Bagaimana membangun birokrasi pemerintah pusat dan daerah yang efektif
dalam hal pelayanan publik?
I A
M ED
D A
N A
R E
P

226
PENCEGAHAN KORUPSI

B
agian penting dari pelaksanaan sistem demokrasi adalah
tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih dari korupsi.
Dalam konteks sejarah reformasi di Indonesia, pemberan­
tasan korupsi di kalangan penyelenggara negara adalah salah satu
mandat penting dari reformasi Indonesia yang lahir pada tahun
1998. Tekad penyelenggaraan pemerintahan yang bebas korupsi
tidak lepas dari dampak negatif tindakan korupsi dan kolusi yang
banyak dilakukan pada pemerintahan era sebelumnya.
Korupsi di Indonesia tampaknya sudah menjangkiti semua
tingkatan masyarakat dan jajaran birokrasi. Dari tindakan suap
U P
O
GR
di jalan raya terkait dengan urusan tilang hingga praktik KKN di
jajaran birokrasi negara. Tanpa disadari, korupsi muncul dari ke­

A
biasaan yang dianggap lumrah dan wajar oleh masyarakat umum,
I Bab
ED
seperti memberi hadiah kepada pejabat/pegawai negeri atau kelu­
arganya sebagai imbal jasa dari pelayanan yang sebenarnya men­

M
10
jadi bagian dari tugas aparatur sipil negara. Bahkan kebiasaan itu

D A
dipandang lumrah dilakukan sebagai bagian dari budaya ketimur­

N A
an, yang pada akhirnya menjadi bibit-bibit korupsi yang berakhir
dengan kerugian yang harus ditanggung oleh negara dan rakyat.

R E
Tindakan penangkapan pelaku korupsi yang dilakukan oleh

P
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbukti masih belum me-
ngurangi secara signifikan angka korupsi di jajaran birokrasi. Ba-
nyak kalangan menilai, langkah-langkah yang dilakukan lembaga
antiraswah ini harus diimbangi dengan program-program pence­
gahan yang selama ini cenderung diabaikan. Padahal langkah-
langkah pencegahan korupsi, meskipun membutuhkan waktu yang
panjang, jauh lebih baik dibanding tindakan yang sudah terbukti
tidak membuat jera para koruptor.
Mengingat korupsi di Indonesia sudah berkembang sangat
canggih dan berdampak negatif terhadap sendi-sendi kehidupan
bangsa dan pembangunan karakter bangsa secara keseluruhan,
peran serta mahasiswa dan unsur generasi muda lainnya sangatlah
penting dan mendesak dalam upaya-upaya pencegahan korupsi di
Indonesia. Dalam hal ini, peran lembaga pendidikan pada semua
tingkatan sangatlah strategis. Bersandar pada agenda ini, setelah
mempelajari bab ini saudara diharapkan dapat:
ƒƒ Menjelaskan pengertian, beragam bentuk, dan faktor penyebab
tindakan korupsi dan akibat dari korupsi.
ƒƒ Membedakan bentuk tindak pidana korupsi dan perilaku ko­
ruptif.
ƒƒ Menganalisis perbuatan korupsi dan perilaku koruptif di ma­
syarakat.
ƒƒ Menjelaskan gerakan pemberantasan dan pencegahan korupsi
di Indonesia.
ƒƒ Menjabarkan efek korupsi bagi perkembangan demokrasi In­
donesia.
U P
O
ƒƒ Menjelaskan peran penting pemerintah, lembaga pendidikan

GR
dan masyarakat sipil dalam gerakan pencegahan korupsi di In­
donesia

I A
M ED
D A
N A
R E
P
BAB 10 • PENCEGAHAN KORUPSI

10
Pencegahan Korupsi

U P
ANGKA penyelewengan anggaran negara melalui tindakan korupsi, kolusi, dan
nepotisme (KKN) telah menempatkan Indonesia yang kaya raya menjadi di antara
O
GR
negara paling koruptif di dunia. Akibat budaya korupsi, kekayaan alam Indonesia
yang melimpah tidak mampu menjadikan rakyatnya hidup dalam kesejahteraan

A
dan keadilan, sebagaimana diimpikan oleh para pendiri bangsa. Kenyataannya,
I
ED
hingga saat ini Indonesia masih dihadapkan dengan angka kemiskinan dan ke­
bodohan yang masih tinggi. Tidak hanya sebagai penyebab kemiskinan dan ke­

M
bodohan rakyat, korupsi menjadi ancaman serius bagi masa depan demokrasi dan
A
D
sendi-sendi karakter bangsa.

N A
Dampak buruk korupsi telah melahirkan kesadaran bersama masyarakat In­
donesia untuk menjadikannya sebagai musuh utama masa depan bangsa. Tidaklah

R E
berlebihan jika korupsi dikategorikan sebagai kejahatan yang luar biasa (extraor-

P
dinary crime), karena tidak hanya negara bisa runtuh, tapi juga dapat mengancam
eksistensi suatu bangsa. Banyak cara telah dilakukan untuk mengatasi korupsi di In­
donesia. Namun upaya pencegahan korupsi masih dinilai belum sebanding dengan
tindakan pemberantasannya. Faktanya tindakan pemberantasan yang dilakukan
oleh Komisi Pemberantasan Komisi (KPK) selama ini belum mampu mengurangi
perilaku korupsi di jajaran penyelenggara negara. Langkah-langkah pencegahan
korupsi menjadi hal yang sangat mendesak.

A. BENTUK-BENTUK KORUPSI
Kata “korupsi” berasal dari bahasa Latin corruptio, atau “corruptus” dari asal ka­
tanya corrumpere. Dari kata Latin inilah kemudian menjelma dalam bahasa Ero­pa:
corruption, corrupt (Inggris), corruption (Perancis), corruptie atau korruptie (Belan­
da). Secara harfiah kata “korupsi” (Arab: risywah, Malaysia: resuah) mengan­dung

229
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

banyak pengertian yang bersifat negatif, yakni kebusukan, kebejatan, ketidakju­


juran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau
ucapan yang menghina atau memfitnah. Nicolas Tarling (2005) dalam Corruption
and Good Government in Asia menjelaskan kata korupsi dari kata benda “corrup-
tion”, yang di dalam kamus English Oxford mengandung pengertian kejahatan atau
penyimpangan integritas akibat tindakan penyuapan; dan perilaku menyimpang
dari kesucian.
Di era modern, masih menurut Tarling, term korupsi secara umum dikaitkan
dengan hubungan antara sektor publik dan privat. Definisi yang diberikan Organi-
zation for Economic Cooperation and Development (OECD) misalnya mendefinisi­
kan korupsi sebagai penyalahgunaan fungsi lembaga atau sumber publik untuk
kepentingan pribadi, baik materi maupun nonmateri. Seperti dikatakan Wijayanto

U
yang diberikan oleh bank dunia dan UNDP terhadap korupsi, yakni “the abuse ofP
(2009), pengertian sejenis atas tindakan korupsi yang banyak diacu adalah definisi

O
GR
public office for private gain” (penyalahgunaan lembaga publik untuk kepentingan
pribadi).

A
Mahzar (2003) mengutip dari Philip (1987) membedakan definisi korupsi yang
I
ED
paling sering digunakan dalam berbagai pembahasan tentang korupsi. Definisi ko­
rupsi yang pertama adalah pengertian korupsi yang berpusat pada kantor publik

M
(public office-centered corruption), yang didefinisikan sebagai tingkah laku dan tin­
A
D
dakan seseorang pejabat publik yang menyimpang dari tugas-tugas publik formal

N A
untuk mendapatkan keuntungan pribadi, atau keuntungan bagi orang-orang ter­
tentu yang berkaitan erat dengannya seperti keluarga, karib kerabat, dan teman.

R E
Definisi kedua adalah pengertian korupsi yang berpusat pada dampak korupsi

P
terhadap kepentingan umum (public interest-centered). Menurut definisi ini, ko­
rupsi dapat terjadi, jika seorang penguasa atau
fungsionaris dalam kedudukan publik melaku­
Korupsi adalah setiap orang
yang dikategorikan melawan
kan tindakan tertentu dari orang-orang yang
hukum, melakukan perbuatan akan memberikan imbalan (apakah uang atau
memperkaya diri sendiri, materi lain), sehingga dengan demikian meru­
menguntungkan diri sendiri atau sak kedudukannya dan kepentingan publik.
orang lain atau suatu korporasi,
Adapun definsi ketiga adalah pengertian ko­
menyalahgunakan kewenangan
maupun kesempatan atau sarana rupsi yang menggunakan teori pilihan publik
yang ada padanya karena jabatan dan sosial, serta pendekatan ekonomi yang di
atau kedudukan yang dapat gunakan dalam kerangka analisis politik.
merugikan keuangan negara atau Menurut Undang-Undang No. 31 Ta­
perekonomian negara.
hun 1999 tentang Pemberantasan Tindak

230
BAB 10 • PENCEGAHAN KORUPSI

Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tin­


Kegiatan korupsi di ranah birokrasi
dak pidana korupsi adalah setiap orang yang
publik ini telah terjadi dengan
dikategorikan melawan hukum, melakukan beragam cara, mulai dari suap
perbuatan memperkaya diri sendiri, meng­ menyuap, penggelapan dalam
untungkan diri sendiri atau orang lain atau jabatan, pemerasan, kecurangan,
suatu kor­ porasi, menyalahgunakan kewe­ benturan kepentingan dalam
pengadaan barang dan jasa,
nang­an mau­­ pun kesempatan atau sarana
hingga gratifikasi atau pemberian
yang ada pa­­danya karena jabatan atau ke­ hadiah (uang, barang, diskon,
dudukan yang dapat merugikan keuangan komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
negara atau pe­ rekonomian negara. Lebih perjalanan, pengobatan gratis, dan
ringkas dari definisi korupsi ini, Badan fasilitas lainnya) dengan tujuan
pamrih atau mengharap balasan
Peng­awas Keuang­ an dan Pembangunan
dari seseorang yang menduduki
(BPKP) mendefinisikan korupsi sebagai tin­
dakan yang merugikan kepentingan umum P
suatu jabatan di pemerintahan.

U
O
GR
dan masyarakat luas demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu.
Kegiatan korupsi di jajaran birokrasi telah terjadi dengan beragam cara, mulai

A
dari suap menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, kecurangan, benturan
I
ED
kepentingan dalam pengadaan barang dan jasa, hingga gratifikasi atau pemberian
hadiah (uang, barang, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, peng­

M
obatan gratis, dan fasilitas lainnya) dengan tujuan pamrih atau mengharap balasan
A
D
dari seseorang yang menduduki suatu jabatan di pemerintahan. Modus pemberian

N A
hadiah ini merupakan bentuk korupsi paling banyak dilakukan di jajaran birokrasi
di Indonesia, bahkan hampir terjadi di semua tingkatan birokrasi. Budaya mem­

R E
beri hadiah di kalangan masyarakat acap kali menjadi alasan seseorang melaku­

P
kan gratifikasi kepada pejabat publik. Tentu saja hal ini berbeda dengan pemberian
hadiah yang bermakna positif, yaitu pemberian hadiah kepada seseorang (sahabat
atau famili) atas dasar ketulusan tanpa pamrih ingin mendapat balasan.
Perilaku korupsi di Indonesia sudah hampir merata pada semua tingkatan
birokrasi dan dan masyarakat. Korupsi seakan telah menajdi sesuatu yang halal
dilakukan oleh siapa saja, tak mengenal latar belakang. Ekonom Kwik Kian Gie,
sebagaimana dikutip oleh Mansyur Sema, pernah mengatakan, bahwa masalah be­
sar yang dihadapi Indonesia dalam bidang ekonomi, kalau ditelusuri lebih dalam
sampai pada akar-akarnya, ternyata bukan masalah ekonomi tetapi karena faktor di
luar ekonomi, yaitu demoralisasi, erosi etika, erosi mental, korupsi, dan sebagainya.
Secara umum korupsi dapat dikategorikan menjadi dua jenis: korupsi be­
sar (grand corruption) dan korupsi kecil (petty corruption). Korupsi besar adalah
tindak­an korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik tingkat tinggi terkait dengan

231
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

kebijakan publik yang berhubungan dengan ber-


Korupsi besar atau grand bagai bidang termasuk ekonomi. Korupsi jenis ini,
corruption adalah tindakan
lanjut Wijayanto, sering pula disebuat sebagai cor-
korupsi yang dilakukan oleh
pejabat publik tingkat tinggiruption by greed yakni korupsi akibat keserakahan
terkait dengan kebijakan pejabat publik yang telah berkecukupan secara
publik yang berhubungan ma­teriel. Korupsi tingkatan ini mengakibatkan ke­
dengan berbagai bidang
rugian negara sangat besar secara finansial mau­
termasuk ekonomi.
pun non-finansial.
Modus korupsi jenis ini secara umum adalah
melalui kolusi antara kekuatan politik, kekuatan ekonomi, dan pemegang kebijakan
publik (seperti presiden, para menteri, gubernur, bupati hingga level birokrasi di
bawahnya). Melalui pengaruh yang mereka miliki kelompok kepentingan terten­
tu dapat memengaruhi pengambil kebijakan untuk mengeluarkan kebijakan yang
menguntungkan seseorang ataupun kelompoknya. Jika pengaruh kelompok terse­
U P
O
GR
but begitu besar dan seolah dapat mengontrol suatu kebijakan publik, maka feno-
mena ini sering disebut dengan istilah state capture atau elite capture.

A
Modus korupsi masih dalam kategori ini, seperti disimpulkan oleh Bank Du­
I
ED
nia terjadi dalam bentuk penyuapan kepada: 1) anggota DPR untuk memengaruhi
perundangan; 2) pejabat negara untuk memengaruhi kebijakan publik; 3) penegak

M
hukum untuk memengaruhi putusan kasus-kasus korupsi berskala besar; 4) peja­
A
D
bat bank sentral untuk memengaruhi kebijakan moneter; 5) partai politik dalam

N A
bentuk sumbangan kampanye ilegal. Jenis korupsi ini banyak terjadi pada proyek-
proyek pemerintah dengan modus suap menyuap dalam proses tender dan pra ten­

R
der suatu proyek. E
P
Menurut konsultan antikorupsi Bank Dunia Susan Rose-Ackerman (2010),
manakala pemerintah sebagai pembeli atau sebagai kontraktor beberapa alasan
mengapa pengusaha melakukan suap terhadap pejabat: 1) pengusaha akan rela
menyuap pejabat asal diikutsertakan dalam daftar perusahaan pra kualifikasi dan
untuk membatasi peserta tender; 2) pengusaha tersebut membayar dalam rang­
ka mendapat informasi dari dalam instansi pemerintah seputar proyek yang akan
ditender; 3) suap dilakukan dalam rangka mendorong pejabat yang bertanggung
ja-wab dengan proyek agar mengatur spesifikasi tender dengan maksud perusa­
haannya menjadi satu-satunya yang lolos dalam proses tender proyek; 4) pengusa­
ha kemungkinan akan membayar agar menjadi pemenang tender, dan jika hal ini
terjadi ia akan menaikkan harga (mark up) kebutuhan proyek atau dengan cara
menurunkan kualitas proyek.
Masih banyak contoh lain dari modus korupsi dalam kategori state capture

232
BAB 10 • PENCEGAHAN KORUPSI

yang berakibat pada kerugian sangat besar yang dialami negara dan masyarakat.
Program privatisasi aset negara (BUMN dan BUMD), demikian papar Wijayan­
to, yang dilakukan secara tidak transparan dan fair, pemberian konsensi eksploi­
tasi tambang dan kekayaan alam lainnya kepada kelompok tertentu, proses tender
proyek negara dalam skala besar yang tidak terbuka, keringanan pajak dan bea ma­
suk untuk komoditas tertentu serta kebijakan bailout untuk pihak atau perusahaan
tertentu dengan alasan supaya terbebas dari jebakan krisis ekonomi. Keringanan
pajak dan bea masuk bagi perusahaan dan importir dengan modus suap terhadap
pegawai pajak dan bea cukai menjadi cara umum korupsi dalam kategori ini.
Modus-modus inilah yang amat banyak terjadi di banyak negara, tak terke­
cuali di Indonesia. Praktik menaikkan nilai harga atau anggaran (mark up) dan
menurunkan kualitas proyek pemerintah oleh perusahaan yang memiliki koneksi

U P
de-ngan pejabat publik atau bahkan perusahaan pemilik kerabat pejabat publik
amat sering dilakukan. Karenanya, tidaklah aneh akibat kolusi antara pejabat dan
O
GR
peng­usaha dalam pengerjaan proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan
jalan raya, jembatan, rumah sakit dan alat-alat kesehatannya (Alkes), sekolah dan

A
laborato­rium, gedung pemerintahan dan pusat-pusat pelayanan masyarakat rusak
I
ED
sebelum waktunya. Hal ini terjadi tidak secara tiba-tiba, tetap terkait dengan adanya
tindakan koruptif sejak perencanaan, penganggaran hingga pelaksanaannya. Bah­

M
kan tindakan korupsi terjadi pula dalam hal penggunaan biaya perawatan alat-alat
A
D
fasilitas umum. Kecelakaan transportasi umum dan pada fasilitas publik lainnya,

N A
seperti pesawat terbang, kapal laut, kereta api, bus, lift di pusat-pusat perbelanjaan,
dan sebagainya banyak terkait dengan lemahnya perawatan dan penyalahgunaan

R E
(korupsi) dana perawatan alat-alat tersebut.

P
Praktik suap menyuap tak luput dilakukan oleh perusahaan asing. Seperti
diungkapkan Rose-Ackerman, pada tahun 1970-an sebuah perusahaan Jerman
melakukan suap sebesar 20% dari nilai kontrak
proyek pembangunan pabrik baja di Indonesia Petty corruption, atau korupsi
kepada seorang pejabat perusahaan minyak mi­ kecil sering disebut dengan
lik negara. istilah survival corruption atau
Bentuk korupsi kedua, dikenal dengan is­ corruption by need (korupsi
untuk bertahan hidup atau
tilah petty corruption, atau korupsi kecil sering karena kebutuhan) adalah
disebut dengan istilah survival corruption atau bentuk korupsi yang dilakukan
corruption by need (korupsi untuk bertahan hi- oleh pegawai pemerintah untuk
dup atau karena kebutuhan) adalah bentuk ko­ memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari karena pendapatan
rupsi yang dilakukan oleh pegawai pemerintah
yang tidak memadai.
untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

233
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

karena pendapatan yang tidak memadai. Sekalipun dalam skala kecil, jika model
korupsi ini terjadi dalam jumlah besar dan menyeluruh dalam sebuah negara, hal
ini akan berdampak pada kerugian negara dan masyarakat juga besar. Suap dalam
pengurusan surat izin mengemudi (SIM), ijin usaha, izin mendirikan bangunan
(IMB), pendaftaran sekolah, suap pada saat terjadi razia kendaraan bermotor atau
pelanggaran lalu lintas kepada petugas dan sebagainya adalah modus umum dari
model korupsi jenis ini di Indonesia dan pada umumnya di negara-negara berkem­
bang. Maraknya jenis korupsi ini sangat berhubungan dengan kegagalan pemerin­
tah dalam menjalankan program reformasi birokrasi dan penerapan prinsip-prin­
sip profesionalisme dalam kinerja birokrasi secara sungguh-sungguh.

B. PEMICU KORUPSI

U P
Korupsi bukanlah sebuah realitas yang memiliki definisi tunggal, korupsi justru
bersifat multitafsir dan terkait dengan banyak kegiatan di luar korupsi itu sendiri.
O
GR
Dalam konteks politik misalnya, korupsi umumnya dilihat sebagai sebuah dampak
dari ketiadaan kontrol yang efektif terhadap kekuasaan. Ketiadaan kontrol terhadap

I A
eksekutif inilah yang menyebabkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan (abuse of

ED
power). Penyelewengan kekuasan akan berdampak luas, mulai dari birokrasi teren­
dah hingga pembunuhan karakter kalangan politisi dan pejabat negara.
M
Dalam konteks Indonesia, masalah korupsi khususnya dalam konteks politik
A
D
merupakan hasil dari beberapa faktor yang saling terkait dan berkelindan. Setidak­

N A
nya ada enam faktor utama penyebab muncul dan berkembangnya korupsi di Indo­
nesia: Pertama, faktor politik yang terutama melibatkan persoalan kemauan atau ik­

R E
tikad baik rezim dan elite politik dalam menyelesaikan kasus korupsi. Kedua, faktor

P
yuridis, yakni persoalan masih lemahnya perundang-undangan dan sanksi hukum
yang terkait dengan persoalan korupsi. Termasuk dalam hal ini adalah komitmen
dan integritas aparat. Ketiga, faktor budaya, termasuk di dalamnya adalah masih
berkembangnya pandangan feodalistik dan sikap ingin dilayani serta hidup mewah
yang bekerja dalam alam bawah sadar kebanyakan aparat dan elite pemerintahan.
Keempat, faktor struktur administrasi pemerintahan yang membuka peluang
terjadinya praktik korupsi. Kelima, faktor insentif ekonomi yang tidak berimbang
sehingga “secara rasional” cukup memancing aparat birokrasi untuk mencari tam­
bahan dengan cara-cara menyalahgunakan wewenang. Dan, keenam, faktor his­
toris warisan kolonialisme yakni hadirnya aparatur negara bermental korup dan
struktur pemerintahan yang berorientasi menjadi pelayan atasan (

234
BAB 10 • PENCEGAHAN KORUPSI

tahan hingga hari ini.


Studi kaitan antara kekuasaan dan korupsi yang dilakukan Lambsdorff, pa­
par Wijayanto (2009), menunjukkan terdapat tiga hal yang menjadikan seseorang
memiliki peluang untuk melakukan korupsi. Jika salah satu dari ketiga unsur ini
absen, seorang pejabat publik belum memenuhi sarat telah melakukan tindakan
korupsi. Ketiga hal itu adalah: 1. Jika seseorang memiliki kekuasaan yang mem­
berikan wewenang kepadanya untuk melakukan kabijakan publik dan melakukan
administrasi atas kebijakan tersebut, 2. Adanya manfaat eknonomi (economic rents)
akibat dari kebijakan tersebut, 3. Sistem yang membuka kesempatan bagi pejabat
publik untuk melakukan pelanggaran.
Unsur ketiga tersebut sering dijadikan pembenaran oleh para koruptor di Indo­
nesia ketika mereka tertangkap oleh KPK. Tentu saja penjelasan ini masih bersifat

U P
sempit dan terbatas pada pejabat publik. Jika hal serupa dilakukan oleh seseorang
yang tidak memiliki posisi sebagai pejabat publik tidak dikatakan sebagai tindakan
O
GR
korupsi. Padahal secara etis, apa pun tindakan yang merugikan kepentingan umum
baik dilakukan oleh pejabat publik maupun bukan dapat dikategorikan sebagai per­

A
buatan korupsi.
I
ED
Tidak mudah memang untuk memberantas korupsi. Banyak faktor, baik struk­
tural maupun budaya, yang menopang tindakan korupsi. Korupsi sudah bukan mo­

M
nopoli suatu negara atau kawasan tertentu. Baik negara maju maupun berkembang
A
D
tidak pernah sepi dari korupsi. Yang membedakannya adalah modus, tindakan

N A
lembaga anti-korupsi dan kuantitasnya. Namun demikian, pada umumnya angka
korupsi sangat tinggi di negara-negara berkembang jika dibanding dengan korupsi

R E
di negara-negara maju dan demokratis. Transparansi dan profesionalisme penegak

P
hukum dalam menangani koruptor menjadi faktor pembeda di negara-negar maju
dan berkembang.
Faktor budaya tak kalah seriusnya sebagai komponen yang menyuburkan bu­
daya korupsi. Sistem sosial tradisional patron klien dan kasta banyak terbukti me­
langgengkan praktik korupsi. Hubungan sosial berbasis kekerabatan yang menyu­
burkan budaya korupsi bertambah parah manakala dilegitimasi oleh paham dan
praktik keagamaan. Budaya memberi hadiah dan shodaqoh dalam Islam, misalnya,
berpotensi disalahgunakan oleh pelakunya sebagai modus menyuap manakala hal
itu ia lakukan kepada pejabat publik atau seseorang yang diyakini memiliki kemam­
puan untuk memengaruhi orang lain yang memiliki kewenangan atas kebijakan
publik. Hal sejenis pun banyak terjadi dalam kelompok masyarakat lain, seperti bu­
daya menolong sesama saudara (utang nalob) di masyarakat Pilipina dan kebiasaan
menolong teman dan kerabat di Spanyol dan Afrika serta di banyak kawasan, pada

235
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

umumnya bertolak belakang dengan upaya-upaya pemberantasan korupsi.


Bukti bahwa budaya dapat menjadi penghambat upaya pemberantasan korupsi
dapat ditelusuri pada hasil studi Transparansi Indonesia tahun 2007 di sejumlah
daerah di Indonesia. Hasil temuan studi tersebut menyimpulkan bahwa faktor bu­
daya merupakan unsur pendorong pejabat publik untuk melakukan korupsi. Ha­
sil temuan studi ini dapat menjadi fakta lapangan budaya menjadi hambatan yang
signifikan bagi pemberantasan korupsi di daerah. Unsur budaya yang mulanya
diasumsikan mampu menjadi faktor penting pengurangan budaya korupsi serta
faktor pendukung prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola
pemerintahan ternyata tidak terbukti. Kebijakan pemerintah pusat tentang Otono­
mi Daerah yang menekankan pentingnya pelestarian nilai dan budaya daerah oleh
pemerintah daerah telah menjadi pintu masuk penyelewengan APBD dan tindakan
kolusi dan nepotisme di jajaran birokrasi daerah.

U P
C. DAMPAK KORUPSI O
GR
Korupsi telah banyak membuktikan berdampak negatif, langsung maupun ti­

I A
dak langsung, kepada sumber daya manusia (SDM) dan sumber daya alam (SDA)

ED
sekaligus. Akibat korupsi anggaran pembangunan pendidikan suatu negara melo­
rot drastis. Korupsi dunia pendidikan di Indonesia, misalnya, sudah membuktikan
M
hal tersebut. Korupsi yang telah berlangsung secara sistematis dalam kurun watu
A
D
lama telah memperlambat pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Akibat

N A
dikorupsi pejabat publik, bangunan sekolah ambruk jauh sebelum waktunya, sa­
rana pembelajaran tidak berkualitas, fasilitas pendidikan kurang bermutu, belum

R E
lagi potongan tidak beralasan jelas atas gaji guru yang dilakukan oleh oknum bi­

P
rokrasi pendidikan telah menambah daftar panjang budaya korupsi di Indonesia.
Budaya korupsi di jajaran birokrasi di Indonesia dapat dengan mudah dicer­
mati pada proses awal penjaringan pegawai negeri sipil (PNS) yang sarat dengan
praktik penyuapan. Praktik kotor ini merupakan realitas kelanjutan dari pelaksa­
naan Ujian Nasional (UN) yang tidak sepi dari manipulasi nilai dan kebocoran soal.
Di luar ini, korupsi telah menjalar kepada ranah politik dalam rupa politik uang
dalam Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Mentalitas serba
instan, ingin cepat sukses tanpa melalui usaha sudah menunjukkan tanda-tanda
yang mengkhawatirkan di kalangan generasi muda adalah salah satu dampak yang
bersifat karakter.
Selain berdampak pada pengikisan karakter anak bangsa, korupsi juga ber­
dampak pada kerusakan alam yang dimiliki suatu negara, termasuk Indonesia yang
dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki SDA yang melimpah. Korupsi yang

236
BAB 10 • PENCEGAHAN KORUPSI

telah berlangsung lama di sektor minyak dan gas bumi, kehutanan, kelautan, di­
antaranya, telah menjadikan negeri yang sangat subur dan kaya raya ini menjadi
di antara negara-negara yang masih jauh dari kelompok negara maju dan mandiri
secara ekonomi.
Praktik korupsi di kalangan pejabat negara ternyata tak mampu menjadikan
kelimpahan SDA yang dimiliki Indonesia menjadikan sebagian besar rakyatnya
hidup dalam kesejahteraan. Sebaliknya, berbarengan dengan budaya korupsi di
sektor-sektor strategi ini masyarakat menyaksikan kemakmuran yang dimiliki oleh
segelinitir pejabat publik dan pejabat di lingkungan Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dan mitra swasta mereka. Kesenjangan kesejahteraan yang sangat luas di
antara kebanyakan rakyat Indonesia dan pejabat publik tidak lain akibat praktik
korupsi yang sudah berlangsung lama di Indonesia, khususnya di lingkungan bi­
rokrasi pengelola SDA dan lingkungan.

U P
Kelanjutan dampak korupsi di bidang pengelolaan SDA, baik dalam skala
O
GR
besar maupun kecil, menurut Carada (2009), adalah kerusakan pada lingkungan
yang disebabkan oleh mengadopsi kebijakan dan regulasi dari luar yang sebenar­

A
nya merusak lingkungan. Pengadopsian regulasi dan pembuatan kebijakan terkait
I
ED
dengan pengelolaan SDA dan lingkungan yang lebih menguntugkan pejabat pusat
maupun daerah dan pihak swasta menjadi modus umum korupsi di sektor ini. Suap

M
untuk mendapatkan tanah, survei-survei untuk menerima tanah atau suap untuk
A
D
mendapatkan akses air irigasi, atau suap untuk melakukan pemancingan ilegal, pe­

N A
malsuan laporan jumlah pohon yang ditebang, suap pertambangan ilegal adalah di
antara modus korupsi skala kecil di sektor SDA ini.

R E
Masih menurut Carada, korupsi dalam skala besar yang melibatkan aparatur

P
negara (state capture) dalam bidang SDA dan lingkungan terjadi dalam bentuk, an­
tara lain: suap untuk transfer hak atas tanah, suap untuk sistem pengairan skala
besar, suap untuk mendapatkan akses sektor perikanan; kehutanan; pertambangan
dan perdagangan ilegal spesies tumbuhan dan hewan tertentu. Sementara modus
korupsi dalam bidang manajemen lingkungan dan SDA yang dilakukan oleh peja­
bat publik tingkat atas terjadi dalam bentuk campur tangan dalam regulasi-regulasi
tanah, perikanan, kehutanan, kehidupan hutan (flora dan fauna), pertambangan,
dan investasi-investasi air publik.

D. GERAKAN ANTI-KORUPSI
Dari pengertian korupsi yang beragam dan luas tersebut, pendekatan terhadap
korupsi tidaklah tunggal, dari pendekatan sosiologis, politik, eknonomi, krimi­
nologi, hingga budaya dan sebagainya. Pendekatan sosiologis yang dilakukan Syed

237
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Hussein Alatas dalam karyanya The Sociology of Corruption, demikian dikutip Isra
dan Hiariej (2009), memasukkan unsur nepotisme, yakni menempatkan kerabat
atau teman pada jabatan dalam pemerintahan tanpa kualifikasi yang sesuai kebu-
tuhan, sebagai bagian dari tindakan korupsi. Adapun dalam perspektif politik dan
ekonomi, Begawan ekonomi kerakyatan Profesor Mubyarto memandang korupsi
yang terjadi di Indonesia lebih banyak sebagai masalah politik daripada persoal­
an ekonomi. Menurut ahli eknonomi kerakyatan ini korupsi atau penyuapan telah
menjadikan dukungan elite terhadap legitimasi pemerintah berkurang.
Secara spesifik pakar politik J. Kristiadi (2009) menjelaskan hubungan korupsi
dengan perpolitikan Indonesia, yang disebutnya dengan istilah korupsi politik.
Menurutnya, carut-marut pemerintahan dan sistem politik nasional yang belum
stabil menjadi faktor penyebab tindakan korupsi terhadap uang negara yang di­
lakukan oleh pegawai pemerintah dan politisi untuk meraup keuntungan pribadi

U P
dan kelompok. Korupsi di era modern Indonesia, menurut Kristiadi, telah terjadi
O
GR
pada kegagalan pemerintah Indonesia dalam menginternalisasikan nilai-nilai luhur
Pancasila melalui pola-pola indoktrinasi dan birokratis.

A
Program-program pencegahan korupsi dapat dilakukan melalui pendidikan
I
ED
dan kampanye antikorupsi di kalangan masyarakat. Hal ini dilakukan dalam rang­
ka mempersiapkan generasi Indonesia sekarang dan mendatang yang anti terhadap
korupsi.
A M
D
Tingginya perilaku korupsi dapat dilihat pada data terkini Transparansi Inter­

N A
nasional (TI), lembaga internasional yang mengukur tingkat korupsi di negara-
negara di dunia melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan pada se­

R E
tiap tahun. Pada tahun 2013, TI menempatkan IPK Indonesia (bersama Mesir yang

P
masih mengalami gejolak politik) pada urutan 114 dari 177 negara yang diukur
dalam hal praktik korupsi di sektor publik. Posisi ini berubah sedikit dari tahun
sebelumnya (2012) yang menempatkan Indonesia
Program-program di urutan 118 dari 176 negara, namun dengan skor
pencegahan korupsi yang tidak berubah yakni 32. Seperti umumnya (65
dapat dilakukan melalui persen dari) negara-negara di kawasan Asia Pasifik
pendidikan dan kampanye memperoleh skor di bawah 50, Indonesia di antara­
antikorupsi di kalangan
masyarakat. Hal ini
nya termasuk ke dalam negara di kawasan ini yang
dilakukan dalam rangka memiliki masalah korupsi yang serius (www.trans­
mempersiapkan generasi parency.org).
Indonesia sekarang dan Menyikapi hasil IPK ini, TI Indonesia mem­
mendatang yang anti
berikan apresiasi atas sejumlah keberhasilan lemba­
terhadap korupsi.
ga antiraswah (KPK) yang telah berhasil dalam hal

238
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dari 15 tahun usia reformasi, korupsi masih menjadi ancaman utama bagi masa
depan Indonesia.
Untuk mengurangi tindakan korupsi dukungan berbagai pihak sangat dibu­
tuhkan. Tidak hanya pemerintah, tapi juga kelompok masyarakat sipil, organisasi
masyarakat profesional dan politik, dan dunia usaha harus bekerja sama dalam
pemberantasan korupsi. Keberadaan Komisi Pemerantasan Korupsi (KPK) sebagai
lembaga independen pemberantasan korupsi belumlah memadani. Jumlah aparat
KPK yang masih jauh dari memadai belum sebanding dengan tingginya kasus ko­
rupsi di Indonesia. Kekurangan ini semakin diperparah dengan masih minimnya
dukungan dari lembaga-lembaga negara. Bukti kuat kurangnya dukungan lembaga
negara terhadap keberadaan KPK dapat ditunjukkan dengan sejumlah pertentang­
an antara KPK dan DPR maupun kepolisian. Sikap kritis DPR dan Kepolisian ter­
hadap peran dan tindakan KPK tak jarang karena berkaitan dengan banyaknya
anggota legislatif dan polisi tersangkut masalah hukum yang ditangani KPK.
U P
O
GR
Di tengah belum maksimalnya fungsi kontrol (check and balance) di antara tiga
lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) dalam koridor trias politika,

A
peran KPK masih sangat dibutuhkan. Peran tersebut semakin penting manakala
I
ED
prinsip-prinsip trias politika berjalan jauh dari yang seharusnya. Bahkan banyak
kalangan menilai prinisp trias politika telah berubah menjadi “trias koruptika” di­

M
mana masing-masing lembaga negara tersebut sarat dengan praktik korupsi.
A
D
KPK telah membuktikan dirinya sebagai benteng terakhir bagi pemberantasan

N A
korupsi di Indonesia. Namun demikian, hal yang jauh lebih penting dari program
pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK, program pencegahan korupsi

R E
melalui jalur pendidikan bagi generasi muda mendesak untuk terus digalakkan

P
di segala tingkatan jenjang pendidikan. Untuk menghentikan tradisi korupsi,
program-program pencegahan korupsi melalui pendidikan formal, informal, dan
nonformal (keluarga) diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang bahaya
korupsi bagi diri dan lingkungan seseorang serta dampak negatif terhadap masa de­
pan bangsa. Korupsi tidak kalah berbahayanya dengan narkoba dan tindakan teror­
isme. Pemberantasan dan pendidikan tentang bahaya ketiga jenis ancaman bangsa
dan negara ini harus berlangsung secara bersamaan, sistematis, berkesinambun­
gan, dan menjadi prioritas pemerintah.
Jeremy Pope menawarkan strategi untuk memberantas korupsi yang mengede­
pankan kontrol kepada dua unsur paling berperan di dalam tindak korupsi. Per-
tama, peluang korupsi; dan kedua, keinginan korupsi. Menurutnya, korupsi terjadi
jika peluang dan keinginan muncul dalam waktu bersamaan. Peluang dapat di­
kurangi dengan cara mengadakan perubahan secara sistematis, sedangkan keingin­

240
BAB 10 • PENCEGAHAN KORUPSI

an dapat dikurangi dengan cara membalikkan siasat “laba tinggi, risiko rendah”
menjadi “laba rendah, risiko tinggi;” dengan cara menegakkan hukum dan mena­
kuti secara efektif, dan menegakkan mekanisme akuntabilitas.
Pada hakikatnya, korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara. Pe-
nang­gulangan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan komprehensif, sistemis,
dan terus-menerus. Penanggulangan tindakan korupsi dapat dilakukan, antara lain
dengan: Pertama, adanya political will dan political action dari pejabat negara dan
pimpinan lembaga pemerintah pada setiap satuan kerja organisasi untuk melaku­
kan langkah proaktif pencegahan dan pemberantasan perilaku dan tindak pidana
korupsi. Tanpa kemauan kuat pemerintah untuk memberantas korupsi di segala
lini pemerintahan, kampanye pemberantasan korupsi hanya slogan kosong belaka.
Kedua, penegakan hukum secara tegas dan berat. Proses eksekusi mati bagi

U P
koruptor di Cina, misalnya telah membuat sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha
di negeri ini menjadi jera untuk melakukan tindak korupsi. Hal yang sama terjadi
O
GR
pula di negara-negara maju di Asia, seperti Korea Selatan, Singapura, dan Jepang
termasuk di antara negara yang tidak kenal kompromi dengan pelaku korupsi. Tin­

A
dakan ini merupakan shock therapy untuk menghilangakan tindakan korupsi di
I
ED
jajaran aparatur pemerintah.
Ketiga, membangun lembaga-lembaga yang mendukung upaya pencegahan

M
korupsi, misalnya komisi Ombudsman sebagai lembaga yang memeriksa pengadu­
A
D
an pelayanan administrasi publik yang buruk. Pada beberapa negara, mandat

N A
Ombudsman mencakup pemeriksaan dan inspeksi atas sistem administrasi peme-
rintah dalam hal kemampuannya mencegah tindakan korupsi aparat birokrasi. Di

R E
Indonesia telah dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tim Penuntasan

P
Tindak Pidana Korupsi (Timtas Tipikor) dengan tugas melakukan investigasi in­
dividu dan lembaga, khususnya aparatur di pemerintah yang melakukan korupsi.
Selain lembaga bentukan pemerintah, masyarakat juga membentuk lembaga yang
mengemban misi tersebut, seperti salah satunya adalah Indonesia Corruption Watch
(ICW).
Keempat, membangun mekanisme penyelenggaraan pemerintahan yang men­
jamin terlaksananya praktik good and clean governance, baik di sektor pemerintah,
swasta, atau organisasi kemasyarakatan.
Kelima, memberikan pendidikan antikorupsi, baik melalui pendidikan formal
maupun nonformal. Dalam pendidikan formal, sejak pendidikan dasar sampai per­
guruan tinggi diajarkan bahwa nilai korupsi adalah bentuk lain dari kejahatan.
Keenam, gerakan umat beragama tentang antikorupsi, yaitu gerakan memba-
ngun kesadaran keagamaan dan mengembangkan spiritualitas antikorupsi.

241
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

E. KORUPSI PENGHAMBAT UTAMA TATA KELOLA PEMERINTAHAN


BAIK DAN BERSIH
Arus deras demokrasi di Indonesia menghadapi kendala sangat serius yakni
perilaku korup di kalangan penyelenggara negara, pegawai pemerintah, maupun
wakil rakyat. Hampir setiap hari masyarakat dibanjiri dengan berita kasus-kasus
penyalahgunaan kekuasaan melalui, di antaranya, tindakan pencurian uang rakyat.
Hal yang sangat memprihatinkan, partai politik dan dunia pendidikan pun ternyata
tidak bebas dari praktik-praktik korupsi. Otonomi daerah yang selama ini dilaku­
kan masih diwarnai oleh pengalihan tradisi korupsi di pusat ke daerah. Tindakan
penyalahgunaan Anggaran Pembangunan dan Biaya Daerah (APBD) yang dilaku­
kan oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dan anggota legislatif (DPRD) tak kalah ra­
mainya diberitakan oleh media massa. Pengawasan yang dilakukan oleh sejumlah
lembaga, seperti Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komi­
U P
O
si Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

GR
seakan belum cukup untuk mengikis tindakan korupsi di aparatur negara.
Kasus-kasus korupsi Indonesia tidaklah berdiri sendiri. Tindakan korupsi ba-

I A
nyak melibatkan kalangan eksekutif dan anggota legislatif di saat mereka melaku­

ED
kan dan menentukan anggaran pembangunan hingga penyelenggaraan tender
proyek dan pelaksanaan proyek pembangunan. Dapat dibayangkan berapa keru­

A M
gian negara jika korupsi sudah dilakukan oleh penyelenggara negara sejak dari hulu

AD
hingga ke hilir pembangunan. Praktik penyelewengan uang dan aset negara ini ma­
sih diramaikan oleh praktik politik uang (money politics) dalam pemilihan kepala

E N
daerah dan pimpinan partai politik maupun suap menyuap yang dilakukan oleh

P R
masyarakat terhadap pejabat publik dan aparat penegak hukum. Dalam hal ini, ti­
daklah mengherankan jika posisi Indonesia masih tertinggal oleh banyak negara di
dunia dalam hal pemberantasan korupsi. Prestasi yang tidak signifikan dibanding
dengan capaian Indonesia dalam hal berdemokrasi.
Kondisi korupsi Indonesia semakin bu­
ruk karena tindakan korupsi dilakukan oleh
Praktik penyelewengan uang dan aktor-aktor politik, baik di lembaga parle­
aset negara ini masih diramaikan
men maupun lembaga-lembaga negara lain­
oleh praktik politik uang (money
politics) dalam pemilihan kepala nya. Dalam perspektif negara modern, sistem
daerah dan pimpinan partai politik demokrasi dengan check and balance
politik maupun suap menyuap nya diharapkan mampu menekan semaksimal
yang dilakukan oleh masyarakat mungkin godaan politik dikalngan penyeleng­
terhadap pejabat publik dan
gara negara dan para politisi, baik melalui
aparat penegak hukum.
modus dalam proses penyusunan perundang-

242
BAB 10 • PENCEGAHAN KORUPSI

undangan maupun pada tahap pelaksana­


Hal yang tak kalah penting dari
an peraturan yang dibuat bersama antara
pengawasan terhadap sirkulasi
pemerintah dan anggota legislatif. Dalam dana partai politik adalah sikap
koridor ini tentu saja kontrol media dan ma­ kritis publik terhadap kemungkinan
syarakat sangat penting peranannya dalam kedekatan pengusaha dengan
mengawasi tindakan korupsi para wakil tokoh politik. Kedekatan-kedekatan
antara pengusaha dan tokoh partai
rakyat dan elite eksekutif di pusat ataupun di
politik ini banyak terjadi pada saat
daerah. menjelang pemilihan umum atau
Hal-hal terkait dengan korupsi politik pemilukada. Selain persekongkolan
yang mendesak dilakukan adalah, demikian antara pegusaha dengan
Kristiadi menekankan, pengawasan terha­ elite Parpol dapat berpotensi
terganggunya kaderisasi di internal
dap tata kelola keuangan parpol. Pertama,
Parpol, fenomena ini acap kali
kejelasan atau transparansi atas dana pema­
sukan partai dari unsur sumbangan. Keje­ P
berakibat pada tindakan korupsi.

U
O
GR
lasan asal usul dan jumlah dana sumbangan yang mengalir ke partai politik dari
seseorang atau lembaga harus dilaporkan kepada publik dan sesuai dengan perun­

A
dang-undangan yang berlaku. Semua sumbangan berupa barang dan jasa harus
I
ED
sesuai dengan harga pasar. Kedua, kejelasan serupa harus pula dilakukan dalam hal
pengeluaran parpol maupun kandidat anggota legislatif dan eksekutif dengan dana

M
yang mereka gunakan selama kegiatan pemilu maupun kegiatan kepartaian.
A
D
Ketiga, keharusan partai politik membuat pelaporan keuangan dengan menun­

N A
juk secara resmi seseorang dengan kualifikasi sebagai akuntan publik serta bersedia
kapan saja untuk memberikan keterangan secara transparan dan kauntabel kepada

R E
konstituen dan masyarakat luas terkait dengan keuangan partai. Keempat, meng­

P
gunakan prinsip-prinsip tranparansi dalam penyusunan laporan keuangan partai.
Kelima, memberikan sanksi yang jelas pada anggota partai yang melakukan pelang­
garan dalam hal penggunaan keuangan partai.
Hal yang tak kalah penting dari pengawasan terhadap sirkulasi dana partai poli­
tik adalah sikap kritis publik terhadap kemungkinan kedekatan pengusaha dengan
tokoh politik. Kedekatan yang terjadi antara pengusaha dan tokoh partai politik
ini banyak terjadi pada saat menjelang Pemilihan Umum atau Pemilukada. Selain
persekongkolan antara pegusaha dengan elite parpol dapat berpotensi terganggu­
nya kaderisasi di internal parpol, fenomena ini acapkali berakibat pada tindakan
korupsi. Persekongkolan antara keduanya dapat dalam betuk masuknya pengusaha
ke dalam posisi penting dalam kepengurusan parpol atau menjadi kandidat ang­
gota legislatif yang diusung oleh parpol tersebut.
Praktik politik kotor yang didasari saling membutuhkan antara pengusaha dan

243
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

menyua­rakan aspirasi rakyat. Alih-laih menjadi pilar demokrasi, pers tidak inde­
penden sangat berpotensi sebagai ancaman bagi demokrasi itu sendiri. Jika kondisi
ini terjadi, pers akan diam terhadap kasus-kasus korupsi, apalagi jika korupsi meli­
batkan sang pemilik modal.
Selain pers yang bebas dan mencerahkan, peran organisasi masyarakat (Or­
mas atau LSM), dan organisasi kalangan profesional dapat memerankan sebagai
pilar penegak demokrasi. Namun sebaliknya, peran strategis ormas sebagai pilar
demokrasi akan sirna manakala eksistensi Ormas tidak lebih hanya sebagai stem­
pel pemerintah, daripada sebagai penyalur suara dan keinginan rakyat atau ang­
gotanya.
Partai politik merupakan pilar penting demokrasi. Meskipun partai politik di­
anggap banyak kalangan sebagai biang keladi korupsi politik, perannya dalam pe-

U P
nguatan demokrasi tidak bisa disepelekan. Peran partai politik, apa pun keadaan­
nya, adalah penting bagi berjalannya sistem demokrasi. Lahirnya ide mengurangi
O
GR
jumlah partai politik sah-sah saja sepanjang bukan untuk memberangus partai
politik dengan alasan sebagai sumber korupsi politik.

A
Menunggu lahirnya partai politik sebagai agen demokrasi yang sesungguhnya
I
ED
pada kenyataannya tidaklah mudah. Menghadapi kenyataan ini, masyarakat ha­
rus bersabar dan tetap kritis terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh

A M partai politik. Dalam rangka membangun de­

D
Lembaga pendidikan, khususnya mokrasi Indonesia yang berkeadaban, sikap

A
perguruan tinggi, memiliki mendukung profesionalime parpol jauh lebih

N
peran strategis bagi penguatan
penting daripada bersikap anti-parpol, apalagi

R E
demokrasi dan kampanye
antikorupsi. Mahasiswa dan dosen pada saat yang sama mencoba menarik militer

P
dapat menjadi agen intelektual
yang selalu kritis terhadap
untuk kembali ke kancah politik nasional. De-
ngan kata lain, penguatan integritas anggota
semua kebijakan pemerintah
parpol menjadi agenda utama pembangun­an
yang dianggap memiliki potensi
untuk disalahgunakan. Posisinya
demokrasi di Indonesia, salah satunya mendo­
sebagai agen perubahan dalam rong setiap parpol untuk transparan dan akun­
setiap momentum perubahan tabel dalam soal manajemen keuangan dan
sejarah di Indonesia, kaum rek­
rutmen anggota parpol. Tanpa program
pelajar dan mahasiswa tidak
pem­berdayaan untuk memandirikan parpol,
boleh lengah dari kemungkinan
pembelokan sistem demokrasi baik dalam hal keuangan dan pengelolaan,
yang sebenarnya menjadi maka harapan kepada parpol sebagai pilar de­
demokrasi sebatas prosedural mokrasi dan simbol meritokrasi akan sia-sia.
semata yang kental dengan Di luar itu semua, pemerintahan sebagai
praktik korupsi dan nepotisme.
pihak yang paling banyak dituding sebagai

246
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

seorang yang menduduki suatu jabatan di pemerintahan. Modus pemberian


hadiah ini merupakan bentuk korupsi paling banyak dilakukan di jajaran bi­
rokrasi di Indonesia.
3. Peluang-peluang untuk melakukan korupsi pada saat seseorang atau pejabat
publik: (a) memiliki kekuasaan yang memberikan wewenang kepadanya un­
tuk melakukan kabijakan publik dan melakukan administrasi atas kebijakan
tersebut; (b) melihat adanya manfaat eknonomi (economic rents) akibat dari
kebijakan tersebut; (c) menilai sistem yang ada membuka kesempatan bagi si
pejabat publik untuk melakukan pelanggaran.
4. Korupsi tidak dapat ditangkal hanya dengan satu cara. Penanggulangan ko­
rupsi harus dilakukan dengan pendekatan komprehensif, sistemis, dan terus.
menerus. Penanggulangan tindakan korupsi dapat dilakukan antara lain me­

hukum yang tegas dan berarti; (3) pembangunan lembaga-lembaga pendukung


U P
lalui: (a) political will dan political action dari pejabat negara; (b) penegakan

upaya pencegahan korupsi; (4) membangun mekanisme penyelenggaraan


O
GR
pemerintahan dengan prinsip-prinsip good and clean governance; (e) memberi­

A
kan pendidikan antikorupsi, baik melalui pendidikan formal maupun nonfor­
I
ED
mal; (f) membangun gerakan keagamaan antikorupsi.

A M
LEMBAR KERJA
AD
1.
E N
Sebutkan perilaku korupsi di kalangan masyarakat atau birokrasi di sekitar Sau-

2.
P R
dara dan bagaimana cara pencegahan atau pemberantasannya?
Jelaskan cara-cara yang dapat mengurangi tindakan korupsi di kalangan masya-
rakat dan birokrasi pemerintahan?
3. Diskusikan bahwa korupsi merupakan bahaya laten bagi masa depan Indonesia?
4. Bagaimana menjadikan mahasiswa dan pelajar sebagai agen strategis bagi ge-
rakan antikorupsi di Indonesia?
5. Bagaimana menjadikan partai politik dan organisasi kemahasiswaan sebagai un-
sur penting dalam gerakan antikorupsi?

248
MASYARAKAT SIPIL

U
nsur terpenting dari sistem demokrasi adalah keberadaan
masyarakat sipil atau civil society atau masyarakat mada-
ni. Ketiga kata dalam pembahasan ini akan digunakan si-
lih berganti dengan maksud dan pengertian yang sama. Demokrasi
dan masyarakat sipil ibarat kolam dan ikannya. Demokrasi tidak
akan lahir dari masyarakat sipil yang lemah, sebaliknya Masyarakat
Sipil tidak akan berkembang dengan baik tanpa dukungan negara
yang bertanggung jawab memfasilitasi tumbuh dan berkembang-
nya masyarakat sipil. Sejalan dengan perkembangan demokrasi
dan teknologi komunikasi, unsur masyarakat sipil tidak hanya se-
U P
O
GR
batas pada organisasi masyarakat atau profesi di luar intitusi ne-
gara (pemerintah), kelompok masyarakat pengguna media sosial

A
(netizen) telah menjadi komponen strategis dan pilar demokrasi
I Bab
ED
yang berpengaruh, selain media massa dan partai politik. Kuatnya
pengaruh kalangan netizen pada proses pemilihan presiden 2014,

M
11
yang menjadikan pasangan Joko Widodo dan Yusuf Kalla sebagai

D A
pemenang, merupakan bukti sahih dari perkembangan yang ter-

N A
jadi dalam komponen strategis dalam masyarakat sipil Indonesia.
Pada bab ini akan dibahas pengertian Masyarakat Sipil (ma-

R E
syarakat madani), sejarah ide terkait dengan Masyarakat Sipil,

P
karakter, dan perannya dalam tatanan kehidupan demokrasi. Di
akhir pembahasan, diharapkan Saudara dapat:
ƒƒ Menjelaskan tentang konsep dan karakter masyarakat sipil.
ƒƒ Memaparkan sejarah umuam masyarakat sipil (civil society).
ƒƒ Menguraikan nilai-nilai masyarakat madani dalam negara de-
mokrasi.
ƒƒ Menjabarkan sejarah kemunuclan masyarakat sipil di Indonesia.
ƒƒ Menjelaskan peran strategis masyarakat madani di era Refor-
masi.
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
BAB 11 • MASYARAKAT SIPIL

11
Masyarakat Sipil

DALAM wacana akademik Barat, masyarakat sipil (civil society) identik dengan
P
lawan negara (state), dalam pola interaksi antara negara (state) dan yang diperintah
U
O
(governed). Termasuk ke dalam yang diperintah, meskipun tidak terbatas, adalah

GR
organisasi-organisasi di luar negara yang terlibat dalam aktivitas pelayanan, dan
advokasi, organisasi nonprofit, yayasan swasta, perkumpulan kaum profesional,

I A
gerakan sosial, dan jaringan para aktivis. Persamaan di antara organisasi-organisasi

ED
komponen masyarakat sipil tersebut adalah sifat nonprofitnya dan cara mereka
mencapai tujuannya melalui modus-modus tanpa kekerasan (James, 2007).

A M
Unsur penting masyarakat di luar struktur negara (state) demokrasi telah ban-

AD
yak diutarakan banyak ahli. Komponen masyarakat tersebut dalam kosakata bahasa
Indonesia bia­sa diistilahkan dengan sebutan masyarakat sipil (civil society) atau ma-

E N
syarakat madani. Seperti halnya demokrasi, masyarakat sipil lahir untuk pertama

P R
kalinya dalam perjalanan sejarah politik di Barat. Kalangan ahli mendefinisikan
karakter masyarakat sipil sebagai komunitas sosial dan politik yang pada umumnya
memiliki peran dan fungsi yang berbeda dengan lembaga negara. Interaksi antara
Masyarakat Sipil dan negara mengalami banyak ragam, dari yang bersifat saling
berlawanan, bekerja sama hingga mendominasi salah satunya terhadap yang lain.
Perbedaan sifat dan pola hubungan antara keduanya sangat ditentukan oleh sistem
politik pada negara.
Di kawasan Asia Tenggara, khususnya di kalangan cendekiawan Muslim, wa-
cana masyarakat sipil banyak disamakan dengan istilah “masyarakat madani”.
Munculnya wacana masyarakat madani tidak bisa dilepaskan dari respons kalang­
an pemikir Muslim kawasan ini terhadap gelombang demokratisasi yang sema-
kin berkembang pada era 1990-an. Istilah ini untuk pertama kalinya digagas oleh
cendekiawan Muslim asal Malaysia, Anwar Ibrahim. Berbeda dengan prinsip ma-
syarakat sipil di Barat yang berorientasi penuh pada kebebasan individu, menurut

251
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

mantan Perdana Menteri Malaysia itu, masyarakat madani adalah sebuah sistem
sosial yang tumbuh berdasarkan prinsip moral yang menjamin keseimbangan an-
tara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan
masyarakat berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan
undang-undang, dan bukan nafsu atau keinginan individu. Menurutnya pula, ma-
syarakat madani memiliki ciri-cirinya yang khas: kemajemukan budaya (multicul-
tural), hubungan timbal balik (reprocity), dan sikap saling memahami dan meng-
hargai. Meminjam istilah Malik Bennabi, Anwar menjelaskan watak masyarakat
madani yang ia maksudkan sebagai guiding ideas, dalam melaksanakan ide-ide
yang mendasari keberadaannya, yaitu prinsip moral, keadilan, kesamaan, musya­
warah, dan demokrasi.
Sejalan dengan gagasan di atas, Dawam Rahardjo mendefinisikan masyarakat

bijakan bersama. Menurutnya, dalam masyarakat madani, warga negara bekerja


U P
madani sebagai proses penciptaan peradaban yang mengacu kepada nilai-nilai ke-

O
GR
sama membangun ikatan sosial, jaringan produktif, dan solidaritas kemanusiaan
yang bersifat nonnegara. Selanjutnya, Rahardjo menjelaskan, dasar utama dari ma-

A
syarakat madani adalah persatuan dan integrasi sosial yang didasarkan pada suatu
I
ED
pedoman hidup, menghindarkan diri dari konflik dan permusuhan yang menye-
babkan perpecahan dan hidup dalam suatu persaudaraan. Pandangan ini tampak-

M
nya terlalu ideal, bahkan utopis. Karakter masyarakat madani yang menghindarkan
A
D
diri dari konflik dan permusuhan adalah hampir mustahil bagi masyarakat modern

N A
yang bebas. Konflik dalam masyarakat terbuka adalah hal yang niscaya dan tidak
bisa dihindari. Namun yang lebih utama adalah bagaimana komponen masyarakat

R E
madani memandang konflik sebagai hal yang biasa dan harus diselesaikan melalui

P
cara-cara damai, bermartabat serta tanpa kekerasan.
Adapun menurut Azyumardi Azra, masyarakat madani lebih dari sekadar
gerakan prodemokrasi, karena ia juga mengacu pada pembentukan masyarakat
berkualitas dan ber-tamaddun (civility). Hal ini sejalan dengan pandangan tokoh
cendekiawan Muslim Indonesia Nurcholish Madjid, sesuai makna akar katanya
yang berasal dari kata tamaddun (Arab) atau civility (Inggris), istilah masyarakat
madani mengandung makna toleransi, kesediaan pribadi-pribadi untuk meneri-
ma pelbagai macam pandangan politik dan tingkah laku sosial. Dari paparan para
cendekiawan di atas, tampak tegas nuansa peradaban dan moralitas begitu kuat
dalam perumusan dan cita-cita ideal masyarakat madani. Sayangnya, istilah ini
pernah dinilai mengandung semangat cita-cita inklusif politik Islam di Indonesia,
di mana istilah ini sering dikaitkan dengan sejarah Piagam Madinah di zaman Nabi
Muhammad SAW.

252
BAB 11 • MASYARAKAT SIPIL

A. SEJARAH SINGKAT MASYARAKAT SIPIL


Konsep civil society dalam sejarah modern dikembangkan oleh G.W.F. Hegel
(1770-1831 M), Karl Marx (1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M).
Hegel memandang civil society sebagai kelompok subordinatif terhadap negara.
Pandangan ini, menurut pakar politik Ryaas Rasyid, erat kaitannya dengan perkem-
bangan sosial masyarakat borjuasi Eropa yang pertumbuhannya ditandai oleh per-
juangan melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Berbeda dengan Hegel, Karl Marx memandang civil society sebagai masyara-
kat Borjuis. Dalam konteks hubungan produksi kapitalis, keberadaan civil society
merupakan kendala terbesar bagi upaya pembebasan manusia dari penindasan
kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan manusia, civil society
harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
P
Beda dengan Marx, Antonio Gramsci tidak memandang masyarakat sipil
U
O
dalam konteks relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila Marx menem-

GR
patkan masyarakat sipil pada basis materiel, Gramsci meletakkannya pada super
struktur yang berdampingan dengan negara yang ia sebut sebagai political society.

I A
Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat perebutan posisi hegemoni di

ED
luar kekuatan negara, yang mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsen-
sus dalam masyarakat.

A M
Pandangan Gramsci ini memberikan peran penting kepada kaum cendekia-

AD
wan sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial dan politik. Gramsci me-
mandang adanya sifat kemandirian dan politis pada masyarakat sipil, sekalipun

E N
keberadaannya juga sangat dipengaruhi oleh basis materiil (ekonomi) sebagaimana

P R
pandangan Marx.
Konsep civil society dikembangkan pula oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859
M). Bersumber dari pengalamannya mengamati budaya demokrasi masyarakat
Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang
kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil
merupakan kekuatan utama yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai
daya tahan yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya demokrasi rakyat Amerika
yang bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga
negara di mana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Pandangan Tocqueville lebih menempatkan masyarakat sipil sebagai sesuatu
yang tidak apriori maupun tersubordinasi kedalam lembaga negara. Sebaliknya,
civil society bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga
mampu menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi nega­

253
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

ra atas warga negara. Lebih lanjut, Tocqueville menegaskan, bahwa karakter civil
society seperti itu dapat pula menjadi sumber legitimasi kekuasaan negara dan pada
saat bersamaan ia pun bisa menjadi kekuatan kritis (reflective-force) untuk mengu-
rangi frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat dari proses modernisasi.
Dapat disimpulkan, pandangan civil society ala Tocquevillian ini merupakan model
masyarakat sipil yang tidak hanya berorientasi pada kepentingan individual, tetapi
juga mempunyai komitmen terhadap kepentingan publik.
Tidak hanya menginspirasikan gerakan demokrasi di Eropa Tengah dan Eropa
Timur, pandangan Tocqueville tentang masyarakat sipil menjadi rujukan cende-
kiawan Indonesia M. Dawam Rahardjo dengan konsep masyarakat madaninya.
Mengelaborasi pemikiran Tocqueville dan Robert Wuthnow, Rahardjo mengilus-
trasikan bahwa peranan pasar (market) sangat menentukan unsur-unsur dalam

Menurut Wuthnow sendiri dalam hubungan antar-unsur pokok masyarakat mada-


U P
masyarakat madani (negara dan hubungan sosial yang bersifat sukarela/voluntary).

O
GR
ni, faktor (kesukarelaan) sangat menentukan pola interaksi antara negara dan pasar.
Lebih lanjut Rahardjo memadukan konsepsi civil society ala Tocqueville de-

A
ngan pandangan Hannah Arendt dan Jurgen Habermas tentang ruang publik yang
I
ED
bebas (free public sphere). Menurut keduanya, dengan adanya ruang publik yang
bebas, maka setiap individu warga negara dapat dan berhak melakukan kegiat­

M
an secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta
A
D
memublikasikan penerbitan yang berkenaan dengan kepentingan umum yang

N A
lebih luas. Lebih lanjut, Rahardjo menyatakan institusionalisasi dari ruang publik
ini adalah melalui kemunculan lembaga-lembaga sosial yang bersifat sukarela, me-

R E
dia massa, sekolah, partai politik, sampai pada lembaga yang dibentuk oleh negara

P
tetapi berfungsi sebagai lembaga pelayanan masyarakat.
Selain kedua model di atas, pola hubungan kerja antara negara (pemerintahan),
masyarakat mdani (civil society), dan swasta (pasar) berada dalam kerangka ke-
seimbangan peran masing-masing. Dengan pola hubungan tersebut, rakyat dapat
mengatur ekonomi, institusi, dan sumber-sumber sosial dan politiknya. Dengan
demikian, jelas sekali, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan-tujuan
pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya di mana
pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan ma-
syarakat madani (civil society).
Seperti dikatakan di muka bahwa tata pemerintahan yang baik itu merupakan
suatu kondisi yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan ke-
seimbangan peran serta adanya saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga kom-
ponen, yakni pemerintah (government), rakyat (citizen) atau civil society, dan usa-

254
BAB 11 • MASYARAKAT SIPIL

hawan (business) yang berada di sektor swasta. Ketiga komponen ini mempunyai
tata hubungan yang sederajat.

B. MASYARAKAT MADANI
Istilah masyarakat madani sering dikaitkan dengan istilah masyarakat sipil Is-
lam (civil Islam). Dalam bukunya yang berjudul “Civil Islam” antropolog Amerika
Robert Hefner menjelaskan, masyarakat madani tidak muncul dengan sendirinya.
Ia membutuhkan unsur-unsur sosial yang menjadi prasyarat terwujudnya tatanan
masyarakat madani. Faktor-faktor tersebut merupakan satu kesatuan yang saling
mengikat dan menjadi karakter khas masyarakat madani. Beberapa unsur pokok
yang harus dimiliki oleh masyarakat madani, yaitu adanya wilayah publik yang be-
bas (free public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan (pluralism), dan keadil­
an sosial (social justice).
U P
1. Wilayah Publik yang Bebas
O
GR
Free public sphere adalah ruang publik yang bebas sebagai sarana untuk me-

A
ngemukakan pendapat warga masyarakat. Di wilayah ruang publik ini semua warga
I
ED
negara memiliki posisi dan hak yang sama untuk melakukan transaksi sosial dan
politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di luar civil soci-

M
ety. Mengacu pada Arendt dan Habermas, ruang publik dapat diartikan sebagai
A
D
wilayah bebas di mana semua warga negara memiliki akses penuh dalam kegiatan

N A
yang bersifat publik. Sebagai prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesung-
guhnya, ketiadaan wilayah publik bebas ini pada suatu negara dapat menjadi suasa-

R E
na tidak bebas di mana negara akan mengontrol warga negara dalam menyalurkan

P
pandang­an sosial-politiknya.

2. Demokrasi
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang
murni (genuine). Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud. Se-
cara umum, demokrasi adalah suatu tatanan sosial politik yang bersumber dan di-
lakukan oleh, dari, dan untuk warga negara.

3. Toleransi
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan. Lebih
dari sikap menghargai pandangan berbeda orang lain, toleransi, meng­acu pandang­
an Nurcholish Madjid adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran
itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata cara pergaulan yang menyenangkan

255
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

antara berbagai kelompok yang berbeda-


Toleransi, mengacu pandangan beda, maka hasil itu harus dipahami sebagai
Nurcholish Madjid, adalah
hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran
persoalan ajaran dan kewajiban
melaksanakan ajaran itu. Jika yang benar. Dalam perspektif ini, toleransi
toleransi menghasilkan adanya bukan sekadar tuntutan sosial masyarakat
tata cara pergaulan yang majemuk belaka, tetapi sudah menjadi bagian
menyenangkan antara berbagai
penting dari pelaksanaan ajaran moral agama.
kelompok yang berbeda-beda,
maka hasil itu harus dipahami
Senada de-ngan Madjid, Azra menyatakan
sebagai hikmah atau manfaat dari bahwa dalam kerangka menciptakan ke-
pelaksanaan ajaran yang benar. hidupan yang berkualitas dan berkeadaban
Dalam perspektif ini, toleransi (tamaddun/civility), masyarakat madani (civil
bukan sekadar tuntutan sosial
society) menghajatkan sikap-sikap toleransi,
masyarakat majemuk belaka, tetapi
sudah menjadi bagian penting dari
U P
yakni kesediaan individu-individu untuk
menerima beragam perbedaan pandangan
O
pelaksanaan ajaran moral agama.

GR
po­litik di kalangan warga bangsa.

4. Kemajemukan
I A
ED
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain bagi civil society.
Pluralisme tidak hanya dipahami sebatas sikap harus mengakui dan menerima ke-

A M
nyataan sosial yang beragam, tetapi harus disertai dengan sikap yang tulus untuk
menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiah dan rahmat Tuhan

AD
yang bernilai po­sitif bagi kehidupan masyarakat.

N
Menurut Madjid, pluralisme adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-
E
R
ikatan keadaban (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bah-

P
kan menurutnya pula, pluralisme merupakan suatu keharusan bagi keselamatan
umat manusia, antara lain melalui mekanisme pengawasan dan pengimbangan
(check and balance).
Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya dengan sikap penuh
pengertian (toleran) kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam ma-
syarakat yang majemuk. Secara teologis, tegas Madjid, kemajemukan sosial meru-
pakan dekrit Allah untuk umat manusia. Jika demikian halnya, kemajemukan ha-
rus terus dijaga dan dikembangkan ke arah penguatan masyarakat sipil dalam hal
kemampuan mereka untuk selalu menyelesaikan semua urusan publik mereka se-
cara damai dan demokratis.

256
BAB 11 • MASYARAKAT SIPIL

5. Keadilan Sosial
Keadilan sosial adalah adanya keseim-
bangan dan pembagian yang proporsional Di dalam tatanan kepemerintahan
atas hak dan kewajiban setiap warga negara yang demokratis, komponen
rakyat atau masyarakat madani
yang mencakup seluruh aspek kehidupan: (civil society) harus memperoleh
ekonomi, politik, pengetahuan, dan kesem­ peran yang utama. hal ini didasari
patan. Dengan pengertian lain, keadil­ an pada kenyataan bahwa dalam
sosia­l adalah hilangnya monopoli dan do­mi­ sistem yang demokratis kekuasaan
tidak hanya di tangan penguasa
nasi salah satu aspek kehidupan yang dila­
melainkan di tangan rakyat.
kukan oleh negara maupun kelompok atau
golong­ an tertentu atas kelompok lainnya.
Hal ini dapat terus berjalan dengan baik jika demokrasi dilaksanakan sebagai me-
P
kanisme politik dan sosial sekaligus, di mana pelaksanaannya harus diorientasi-
U
O
kan pada tercapainya keadilan dalam kehidupan politik, sosial, dan ekonomi secara

GR
berimbang.
Dalam tatanan kepemerintahan yang de­­ mokratis, komponen rakyat atau

I A
masya­rakat madani (civil society) harus memper­oleh peran yang utama. Hal ini

ED
didasari pada prinsip sistem yang demokratis bahwa kekuasaan berada di tangan
rakyat. Demikian juga peran sektor swasta atau pengusaha sangat mendukung ter-

A M
ciptanya proses keseimbangan kekuasaan dalam koridor tata kepemerintahan yang
baik.
AD
Suatu ketika peran sektor swasta ini bisa berada di atas hal ini bisa terjadi jika

E N
pembuat kebijakan publik tergoda untuk memberikan akses yang longgar kepada

P R
konglomerat atau para usahawan swasta. Keadaan seperti ini akan memberikan
warna yang jelas terhadap corak dari sistem dan tata kepemerintahan yang kolusif
dan nepotis. Kondisi sebaliknya juga bisa terjadi di mana negara berada di atas. Hal
itu terjadi, jika kekuasaan negara melebihi dari tataran keseimbangan antara tiga
komponen tersebut. Kekuasaan negara berada pada posisi di atas dua komponen
tersebut, maka sistem sentralistis dan autokratis yang bisa terjadi. Keseimbangan
tiga komponen inilah merupakan kunci terlaksananya konsep demokrasi dan ma-
syarakat madani, sebagaimana hubungan yang dideskripsikan sebagai berikut:

257
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

PEMERINTAH
atau PEMERINTAH
NEGARA SEKTOR
atau
SWASTA
NEGARA

RAKYAT
SEKTOR
RAKYAT
SWASTA

Gambar Keseimbangan 3 Komponen


(Sumber: Miftah Thoha, 2000).

C. SEJARAH MASYARAKAT SIPIL DI INDONESIA


U P
Indonesia memiliki tradisi kuat akan keberadaan masyarakat sipil, dengan
O
GR
pengertian kelompok nonnegara sebagaimana dinyatakan oleh Rahardjo di atas.
Bahkan sebelum negara bangsa (nation state) Republik Indonesia berdiri, kom-
I A
ponen Masyarakat Sipil telah berkiprah dalam pergerakan kebangsaan merebut

M ED
kemerdekaan. Dalam sejarah umat Islam Indonesia, peran kebangsaan kelompok
sipil tersebut telah diwakili oleh kiprah organisasi sosial keagamaan dan pergerakan

A
nasional seperti Syarikat Islam (SI), Nahdlatul Ulama (NU), dan Muhammadiyah,
D
A
telah menunjukkan kiprahnya sebagai komponen civil society yang penting dalam

E N
sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia. Sifat kemandirian dan kesu-
karelaan para pengurus dan anggota organisasi tersebut merupakan karakter khas

P R
dari sejarah masyarakat madani di Indonesia.
Terdapat beberapa strategi yang ditawarkan kalangan ahli tentang bagaimana
seharusnya bangunan masyarakat madani bisa terwujud di Indonesia:
Pertama, pandangan integrasi nasional dan politik. Pandangan ini menyatakan
bahwa sistem demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam kenyataan hidup se-
hari-hari dalam masyarakat yang belum memiliki kesadaran berbangsa dan ber-
negara yang kuat. Bagi pengikut pandangan ini praktik berdemokrasi ala Barat
(demokrasi liberal) hanya akan berakibat konflik antara sesama warga bangsa, baik
sosial maupun politik. Demokrasi tanpa kesadaran berbangsa dan bernegara yang
kuat di kalangan warga negara hanya akan dipahami sebagai kebebasan tanpa batas
yang diwujudkan dengan tindakan-tindakan anarkis yang berpotensi pada lahirnya
kekacauan sosial, ekonomi, dan politik.
Kedua, pandangan reformasi sistem politik demokrasi, yakni pandangan yang

258
BAB 11 • MASYARAKAT SIPIL

menekankan bahwa untuk membangun demokrasi tidak usah terlalu bergantung


pada pembangunan ekonomi. Dalam tataran ini, pembangunan institusi-institusi
politik yang demokratis lebih diutamakan oleh negara dibanding pembangunan
ekonomi. Model pengembangan demokrasi ini pun pada kenyataannya tidaklah
menjamin demokrasi berjalan sebagaimana layaknya. Kegagalan demokrasi di se-
jumlah negara dalam banyak hal berhubungan dengan tingkat kemiskinan warga
negaranya.
Ketiga, paradigma membangun masyarakat madani sebagai basis utama pem-
bangunan demokrasi. Pandangan ini merupakan paradigma alternatif di antara dua
pandangan yang pertama yang dianggap gagal dalam pengembangan demokrasi.
Berbeda dengan dua pandangan tersebut, pandangan ini lebih menekankan pro-
ses pendidikan dan penyadaran politik warga negara, khususnya kalangan kelas

U P
menengah. Hal itu mengingat bahwa demokrasi membutuhkan topangan kultu-
ral, selain dukungan struktural. Usaha-usaha pendidikan dan penyadaran politik
O
warga negara merupakan upaya membangun budaya demokrasi di kalangan warga

GR
negara. Secara teoretis, upaya pendidikan dan penyadaran politik kelas menengah

A
dapat dianggap sebagai bagian dari proses penyadaran ideologis warga negara. Me-
I
ED
lalui proses pen­didik­an politik, diharapkan lahir tatanan masyarakat yang secara
ekonomi dan politik mandiri. Kemandirian Masyarakat Sipil pada akhirnya akan

dap hegemoni negara.


A M
melahirkan kelompok masyarakat madani yang mampu melakukan kontrol terha-

AD
Bersandar pada tiga paradigma di atas, pengembangan demokrasi dan ma-

N
syarakat madani selayaknya tidak hanya bergantung pada salah satu pandangan
E
R
tersebut. Sebaliknya, untuk mewujudkan masyarakat madani yang seimbang de-

P
ngan kekuatan negara dibutuhkan gabungan strategi dan paradigma. Setidaknya
tiga paradigma ini dapat dijadikan acuan dalam pengembangan demokrasi di masa
transisi sekarang melalui cara:
1. Memperluas golongan menengah melalui pemberian kesempatan bagi kelas
menengah untuk berkembang menjadi kelompok masyarakat madani yang
mandiri secara politik dan ekonomi. Dalam pandangan ini, negara harus me-
nempatkan diri sebagai regulator dan fasilitator bagi pengembangan ekonomi
nasional. Tantangan pasar bebas dan demokrasi global mengharuskan negara
mengurangi perannya sebagai aktor dominan dalam proses pembangunan ma-
syarakat madani yang tangguh.
2. Mereformasi sistem politik demokratis melalui pemberdayaan lembaga-lem-
baga demokrasi yang ada berjalan sesuai prinsip-prinsip demokrasi. Sikap
pemerintah untuk tidak mencampuri atau memengaruhi putusan hukum yang

259
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dilakukan oleh lembaga yudikatif merupakan salah satu komponen penting


dari pembangunan kemandirian lembaga demokrasi.
3. Penyelenggaraan pendidikan politik (pendidikan demokrasi) bagi warga nega­
ra secara keseluruhan. Pendidikan politik yang dimaksud adalah pendidikan
demokrasi yang dilakukan secara terus-menerus melalui keterlibatan semua
unsur masyarakat melalui prinsip pendidikan demokratis, yakni pendidikan
dari, oleh, dan untuk warga negara.
Menyinggung masyarakat madani di Indonesia, menurut Rahardjo, masih
merupakan lembaga-lembaga yang dihasilkan oleh sistem politik represif. Ciri
kritisnya lebih menonjol daripada ciri konstruktifnya. Mereka, menurutnya, lebi­h
banyak melakukan protes daripada mengajukan solusi, lebih banyak menuntut
dari­pada memberikan sumbangan terhadap pemecahan masalah.

U
Senada dengan Rahardjo, menurut AS. Hikam, karakter masyarakat madani diP
O
Indo­nesia masih sangat bergantung terhadap ne-gara sehingga selalu berada pada

GR
posisi subordinat, khususnya bagi mereka yang berada pada strata sosial bawah.
Karena itu, menurut Hikam, dalam konteks pengembangan demokrasi kenyataan

I A
ini merupakan tantangan mendesak untuk memperlancar proses demokratisasi.

ED
Mahasiswa merupakan salah satu komponen strategis bangsa Indonesia dalam
pengembangan demokrasi dan masyarakat madani. Peran strategis mahasiswa

A M
dalam proses perjuangan reformasi menumbangkan rezim otoriter seharusnya

D
ditindaklanjuti dengan keterlibatan mahasiswa dalam proses demokratisasi bangsa
A
N
dan pengembangan masyarakat madani di Indonesia. Sebagai bagian dari kelas

R E
menengah, mahasiswa mempunyai tugas dan tanggung jawab terhadap nasib masa
depan demokrasi dan masyarakat madani di Indonesia. Sikap dan tanggung jawab
P
itu dapat diwujudkan dengan pengembangan sikap-sikap demokratis, toleran, dan
kritis dalam perilaku sehari-hari.
masyarakat madani di Indonesia Sikap demokratis salah satunya bisa dieks­
masih merupakan lembaga- presikan melalui peran aktif mahasiswa dalam
lembaga yang dihasilkan oleh
proses pendemokrasian semua lapisan masya­
sistem politik represif. Ciri
kritisnya lebih menonjol daripada rakat melalui cara-cara dialogis, santun, dan
ciri konstruktifnya. Mereka, bermartabat. Sikap toleran bisa ditunjukkan,
menurutnya Dawam Rahardjo, di antaranya, dengan sikap menghargai per-
lebih banyak melakukan protes bedaan pandangan, keyakinan, dan tradisi
daripada mengajukan solusi,
orang lain dengan kesadaraan tinggi bahwa
lebih banyak menuntut daripada
memberikan sumbangan per­bedaan adalah rahmat Tuhan yang harus
terhadap pemecahan masalah. disyukuri, dipelihara, dan dirayakan dalam ke-
hidupan sehari-hari. Adapun sikap kritis dapat

260
BAB 11 • MASYARAKAT SIPIL

dilakukan dengan mengamati, mengkritisi, dan mengontrol pelaksanaan kebijakan


pemerintah atau lembaga publik terkait, khususnya kebijakan yang berhubungan
langsung dengan hajat orang banyak dan masa depan bangsa.
Sejalan dengan sikap ini, keterlibatan mahasiswa dalam menyuarakan isu-isu
strategis bangsa, seperti mutu pendidikan, pendidikan murah, disiplin nasional,
pemberantasan korupsi, KKN, isu-isu lingkungan hidup yang terkait dengan per­
ubahan iklim global (climate change), dan sebagainya. Sejak demokrasi mengha-
jatkan partisipasi warga negara menyuarakan aspirasi masyarakat secara santun
dan tertib merupakan salah satu sumbangan penting bagi pembangunan demokra-
si berkeadaban (civilitized democracy) di Indonesia. Demokrasi berkeadaban tidak
mungkin tercapai tanpa praktik-praktik demokrasi yang santun di kalangan warga
negara. Dalam konteks ini, demokrasi tidak lain merupakan sarana untuk mewu-
judkan masyarakat madani.

U P
D. GERAKAN PENGUATAN MASYARAKAT SIPIL O
GR
Iwan Gardono, mendefinisikan gerakan sosial sebagai aksi organisasi atau ke-

I A
lompok masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang perubahan sosial.

ED
Pandangan lain mengatakan bahwa gerakan sosial pada dasarnya adalah bentuk
perilaku politik kolektif non-kelembagaan yang secara potensial berbahaya karena
M
mengancam stabilitas cara hidup yang mapan.
A
D
Keberadaan masyarakat madani tidak terlepas dari peran gerakan sosial. Ge-

N A
rakan sosial dapat dipadankan dengan perubahan sosial atau masyarakat sipil yang
didasari oleh pembagian tiga ranah, yaitu negara (state), perusahaan atau pasar

R E
(corporation atau market), dan masyarakat sipil. Berdasarkan pembagian ini, maka

P
terdapat gerakan politik yang berada di ranah negara dan gerakan ekonomi di ra-
nah ekonomi. Pembagian ini telah dibahas juga oleh Sidney Tarrow yang melihat
political parties berkaitan dengan gerakan politik, yakni sebagai upaya perebutan
dan penguasaan jabatan politik oleh partai politik melalui pemilu. Sementara itu,
gerakan ekonomi berkaitan dengan lobby di mana terdapat upaya melakukan pe-
rubahan kebijakan publik tanpa harus menduduki jabatan publik tersebut. Selain
itu, perbedaan ketiga ranah tersebut dibahas juga oleh Habermas yang melihat ge-
rakan sosial merupakan resistensi progresif terhadap invasi negara dan sistem eko-
nomi. jadi, salah satu faktor yang membedakan ketiga gerakan tersebut adalah ak-
tornya, yakni parpol di ranah politik, lobbyist dan perusahaan di ekonomi (pasar),
dan organisasi Masyarakat Sipil atau kelompok sosial di ranah Masyarakat Sipil.
Berdasarkan pemetaan di atas, secara empiris ketiganya dapat saling bersinergi.
Pada ranah negara (state) dapat terjadi beberapa gerakan politik yang dilakukan

261
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

oleh parpol dalam pemilu yang mengusung masalah yang juga didukung oleh ge-
rakan sosial, demikian pula upaya lobby dalam ranah ekonomi dapat pula seolah-
olah sebagai gerakan sosial. Sebagai contoh, gerakan sosial oleh masyarakat sipil
seperti mereka yang pro atau anti-Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi
dan Pornoaksi (RUU APP) mempunyai kaitan dengan kelompok atau parpol di
ranah politik maupun kelompok bisnis pada sisi yang lain.
Selain definisi gerakan sosial yang berada di ranah masyarakat sipil, maka para
aktor atau kelompok yang terlibat pun perlu diperjelas pengertian dan cakupannya.
Selama ini ada yang memandang bahwa organisasi non-pemerintah atau Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) merupakan wakil atau penjelmaan masyarakat sipil.

E. ORGANISASI NON-PEMERINTAH DALAM RANAH


MASYARAKAT SIPIL
Dalam arti umum, pengertian organisasi non-pemerintah mencakup semua
U P
O
GR
organisasi masyarakat yang berada di luar struktur dan jalur formal pemerin-
tah, dan tidak dibentuk oleh atau merupakan bagian dari birokrasi pemerintah.

I A
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

ED
mendefinisikan organisasi non-pemerintah sebagai organisasi atau kelompok
dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah
M
(non-government) dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan (non-profit), ti-
A
D
dak untuk melayani diri sendiri atau anggota-anggota (self-serving), tetapi untuk

N A
melayani kepentingan masyarakat yang membutuhkannya. Sosok organisasi non-
pemerintah dalam pengertian riil sebagai gerakan terorganisasi dapat mengambil

R E
berbagai bentuk, berbadan hukum seperti perhimpunan atau yayasan, maupun ti-

P
dak berbadan hukum dan bersifat sementara seperti “Forum”, “Koalisi”, “Aliansi”,
“Konsorsium”, “Asosiasi”, “Jaringan”, “Solidaritas”, dan lain-lain.
Keberadaan LSM dalam masyarakat sipil berperan penting sebagai agen so-
sial dalam upaya pembangunan ekonomi dan sosial, pengikisan kemiskinan, proses
demokratisasi, pengembangan tata pemerintahan yang demokratis, dan penguat­
an masyarakat sipil di negara-negara berkembang. Meskipun masyarakat sipil dan
Negara adalah dua entitas yang terpisah, di dalam negara yang berdemokrasi, ke-
duanya sebenarnya saling melengkapi satu sama lain. Negara menyediakan peme-
rintahan yang akuntabel yang dihasilkan oleh pemilu, masyarakat sipil menikmati
hak-hak sipil dan politik dan otonomi organisasi. Melalui LSM, masyarakat sipil
kemudian menyalurkan aspirasi sekaligus pengawasannya terhadap kinerja peme-
rintah. Melalui LSM pula, pemerintah melakukan komunikasi intens kepada ma-
syarakat luas. Namun perlu dicatat pula, masyarakat sipil perlu diperkuat untuk

262
BAB 11 • MASYARAKAT SIPIL

mendukung daya juang demokrasi pemerintah, masyarakat sipil yang lemah, ter-
fragmentasi, terbelakang, hidup di tengah-tengah krisis ekonomi, korupsi, sistem
hukum yang bobrok dan penuh konflik, akan menjadi ancaman bagi demokrasi itu
sendiri.

F. LSM DAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT SIPIL


Irawati Hermantyo menyebutkan keberadaan LSM menjadi sangat penting di
dalam membangun sinergi dengan program-program pemerintah. Seiring dengan
perkembangan demokrasi, peran LSM tidak lagi semata-mata mengejar peningkat­
an produksi tetapi lebih kepada pemberdayaan masyarakat. Kehadiran Dompet
Dhu’afa serta lembaga nonprofit sejenis menjadi kekuat­an baru di dalam masyara-
kat sipil. Bagaimana pun juga, demokrasi memberikan penekanan pada peran serta

adaban demokrasi.
U P
bersama masyarakat dan pemerintah yang secara bersama-sama membangun ke-

O
GR
Memasuki era pasar bebas, bangsa Indonesia perlu menyadari bahwa persaing­
an yang dihadapi bukan lagi persaingan internal Indonesia, tetapi juga persaingan

I A
dengan bangsa lain. Untuk menunjukkan kemandirian dan daya saing bangsa, ke-

ED
mandirian komunitas ekonomi dan ormas menjadi penting. Pemerintah harus me-
miliki komitmen kuat dalam pemberdayaan dan penguatan kelompok Masyarakat
M
Sipil ini, melalui program dan kebijakan yang bertujuan membangun potensi yang
A
D
mereka miliki.

N A
Keberadaan LSM yang bersinergi dengan program pemerintah menjadi ke-
harusan, sebagai alat untuk pemberdayaan, yang disebut Dadang Solihin dalam

R E
Hidayat S, akan membantu masyarakat mencapai (1) peningkatan standar hidup,

P
(2) peningkatan percaya diri masyarakat, (3) peningkatan kebebasan setiap orang.
Konsep LSM yang berkembang ini dikenal pula dengan konsep Community Based
Development. Ada tiga karakter utama dari LSM yang mengembangkan Commu-
nity Based Development: (1) berbasis pada sumber daya masyarakat, (2) berbasis
pada partisipasi masyarakat, dan (3) bersifat berkelanjutan.
Pengembangan LSM ini cukup berbeda dengan LSM yang berkembang di ma-
sa-masa sebelumnya. Jika, di era sebelum reformasi, LSM yang berkembang lebih
banyak berbasis pada masyarakat dengan mengedepankan komunitas primordial,
seperti Muhammadiyah, NU, Persis, PGI dan sebagainya. Di era reformasi ke-
beradaan dan peran LSM mengalami perubahan yang signifikan, tidak lagi mem-
batasi diri pada pengembangan yang bersifat primordial maupun komunitas ter-
tentu, tetapi berkembang menjadi sebuah organisasi non-profit yang lebih akuntabel
dengan jaringan luas. Sebut saja salah satunya lembaga sosial Dompet Dhuafa (DD)

263
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

yang awalnya didirikan oleh karyawan Koran Republika, kini DD telah berkembang
menjadi sebuah lembaga sosial dengan manajemen modern dengan cakupan ke-
giatan sosial yanga beragam. Seperti DD, masih banyak lagi lembaga sosial di luar
pemerintah yang menambah jumlah LSM di Indonesia dengan basis kegiatan sosial
yang inklusif dan beragam.
Gerakan masyarakat sipil juga semakin beragam dan signifikan. Lewat jeja-
ring media sosial, gerakan masyarakat sipil telah menjelma menjadi perkumpul­
an solidaritas di dunia maya (netizen), yang telah berperan penting dalam meng-
kritisi kebijakan-kebijakan pemerintah dan non-pemerintah yang dianggap tidak
memihak pada kepentingan publik. Gerakan komunitas netizen ini akan semakin
penting dan mewarnai perjalan demokrasi di Indonesia, seiring dengan pelaksa-
naan Pemilu yang akan semakin meningkatkan pemanfaatan teknologi informasi.
Masyarakat Sipil virtual inilah yang akan banyak mewarnai dinamika demokrasi
Indonesia mendatang.
U P
O
GR
RANGKUMAN

I A
1. Masyarakat sipil merupakan sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip mo-

ED
ral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabil­
an masyarakat. Inisiatif dari individu dan masyarakat akan berupa pemikir­an,

M
seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan bukan
A
D
nafsu atau keinginan individu.

N A
2. Masyarakat sipil ditandai dengan karakteristik Masyarakat wilayah publik yang
bebas (free public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan (pluralism), dan

R E
berkeadilan sosial.

P
3. Strategi membangun masyarakat sipil di Indonesia dapat dilakukan dengan in-
tegrasi nasional dan politik, reformasi sistem politik demokrasi, pendidikan,
dan penyadaran politik.
4. Masyarakat sipil (civil society) mengejawantah dalam berbagai wadah sosial-
politik di masyarakat, seperti organisasi keagamaan, profesi, komunitas, media,
dan lembaga pendidikan.
5. Di era Reformasi gerakan masyarakat sipil telah berubah menjadi organisa-
si atau lembaga nonprofit dengan basis manajemen modern, transparan, dan
akuntabel dalam rangka menjalankan kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi,
dan lainnya. Bagian dari perkembangan ini adalah munculnya asosiasi war-
ga masyarakat pengguna media sosial (netizen) yang telah berperan penting
dalam menyuarakan sikap kritis terhadap pemerintah maupun sesama kompo-
nen masyarakat sipil.

264
BAB 11 • MASYARAKAT SIPIL

LEMBAR KERJA

1. Apakah hubungan demokrasi berkeadaban (civilitized democracy) dengan ma-


syarakat sipil?
2. Mengapa masyarakat sipil diperlukan dalam membangun tata kehidupan ber-
bangsa dan bernegara yang demokratis?
3. Faktor-faktor apa saja yang diperlukan sebuah bangsa dalam membangun ma-
syarakat sipil?
4. Bagaimana posisi mahasiswa dalam pembangunan demokrasi dan masyarakat
sipil di Indonesia?
5. Sikap-sikap apa saja yang harus dikembangkan oleh mahasiswa dalam rangka
keterlibatan mereka dalam pengembangan demokrasi dan masyarakat sipil di In-

6.
donesia?

U P
Peran apa saja yang dapat dilakukan oleh organisasi masyarakat (Ormas)/lemba-

O
ga swadaya masyarakat (LSM) dalam membangun masyarakat sipil di Indonesia?

GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P

265
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
Glosarium

Abolisi yudikatif. Di Indonesia, amnesti


Penghentian tuntutan pidana
terhadap seseorang yang sedang
U P
hanya merupakan hak dari presiden
sebagai badan eksekutif tertinggi.
diajukan ke pengadilan. O
GR
Anasir
ABRI Sesuatu (orang, paham, sifat,
Angkatan Bersenjata Republik
I A
dan sebagainya) yang menjadi

ED
Indonesia atau sekarang lebih bagian dari atau termasuk dalam
dikenal dengan Tentara Nasional keseluruhan (suasana, perkumpulan,
Indonesia (TNI).
A M gerakan, dan sebagainya).
Ad-din wa dawlah
AD Antagonistis

N
Agama dan negara. Berlawanan, bermusuhan.

RE
Akuntabel Autokrasi

P
Dapat dipertanggungjawabkan. Model pemerintahan yang
Amendemen dijalankan berdasarkan hukum
Proses perubahan atau perbaikan Tuhan, umumnya dipimpin oleh
undang-undang. seorang raja.

Amnesti Birokrasi
Sistem pemerintahan yang dija­lan­
Sebuah tindakan hukum yang
kan oleh pegawai dengan berpegang
mengembalikan status tak
pada hierarki dan jenjang jabatan.
bersalah kepada orang yang sudah
dinyatakan bersalah secara hukum Civic dispotition
sebelumnya. Amnesti diberikan Pengembangan nilai dan sikap
oleh badan hukum tinggi negara kewargaan dalam interaksi sosial
semisal badan eksekutif tertinggi, kemasyarakatan, kebangsaan, dan
badan legislatif, atau badan pergaulan global.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Civic knowledge pemerintah (departemen) pusat


Pengembangan pengetahuan dengan pejabat birokrasi pusat di
kewargaan tentang demokrasi, lapangan.
HAM, masyarakat madani, dan tata
Delegasi
kepemerintahan.
Pelimpahan pengambilan keputusan
Civic skills dan kewenangan manajerial untuk
Pengembangan keterampilan melakukan tugas-tugas khusus
kewargaan sebagai anggota kepada suatu organisasi yang tidak
masyarakat, bangsa, dan masyarakat secara langsung berada di bawah
global dalam interaksi sosial pengawasan pemerintah pusat.
maupun dalam interaksinya dengan
Demokrasi
negara atau dunia internasional.
Suatu keadaan negara di mana
Check and balance
P
dalam sistem pemerintahannya
U
O
Kontrol dan keseimbangan. berada di tangan rakyat, oleh, dan

GR
Daulah untuk rakyat.
Dinasti, kerajaan, negara, Despotisme
pemerintah; kelompok sosial
I A
Sistem pemerintahan dengan

ED
yang menetap pada suatu wilayah kekuasaan tidak terbatas dan
tertentu dan diorganisasi oleh sewenang-wenang.

A M
suatu pemerintahan yang mengatur
Desentralisasi

mereka.
AD
kepentingan dan kemaslahatan
Pelimpahan wewenang dan

E
Deklarasi HAM universal N kekuasaan dari pusat kepada daerah,
namun tanggung jawab pelimpahan
R
Pernyataan sedunia tentang
P
HAM yang dideklarasikan oleh
tersebut tetap berada di pusat.
Devolusi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
Transfer kewenangan pemerintah
pada tahun 1948 sebagai reaksi atas
pusat untuk pengambilan
kejahatan pada kemanusiaan.
keputusan, keuangan, dan
Deklarasi Kairo manajemen kepada unit otonomi
Konsep-konsep HAM yang pemerintah daerah.
diikrarkan oleh Organisasi
Dialektika
Konferensi Islam (OKI) pada
Ajaran Hegel yang menyatakan
tanggal 5 Agustus 1990.
bahwa segala sesuatu yang terdapat
Dekonsentrasi di alam semesta itu terjadi dari hasil
Pembagian kewenangan dan pertentangan antara dua hal dan
tanggung jawab administratif antara yang menimbulkan hal lain lagi.

268
GLOSARIUM

Dogmatif di masyarakat yang berupaya mem-


Pokok ajaran (tentang kepercayaan, buat perbedaan peran, perilaku,
dan lain sebagainya) yang harus mentalitas, dan karakter emosional
diterima sebagai hal yang benar antara laki-laki dan perempuan.
dan baik, tidak boleh dibantah dan
Genosida
diragukan.
Tindakan kejahatan yang
Dustur dilakukan dengan maksud untuk
Kumpulan kaidah yang mengatur menghancurkan atau memusnahkan
dasar dan hubungan kerja sama seluruh atau sebagian kelompok
antar-sesama anggota masyarakat bangsa, ras, kelompok etnis, dan
dalam sebuah negara, baik yang kelompok agama.
tidak tertulis (konvensi) maupun
Good governance
yang tertulis (konstitusi).
P
Segala hal yang terkait dengan
U
O
Egaliter tindakan atau tingkah laku

GR
Persamaan hak dan kewajiban bagi yang bersifat mengarahkan,
seluruh warga negara. mengendalikan, atau memengaruhi
Etnosentris
I A
urusan publik untuk mewujudkan

ED
Berpusat pada etnik tertentu, nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
biasanya yang terkait dengan etnik sehari-hari.
diri sendiri.
A M Globalisasi
Founding father
AD Suatu perubahan sosial dalam
bentuk semakin bertambahnya

E N
Istilah untuk penyebutan bapak
pendiri negara. Di Indonesia istilah keterkaitan antara masyarakat

P R
ini ditujukan kepada proklamator
Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta,
dengan faktor-faktor yang terjadi
akibat transkulturasi dan perkem-
meskipun masih ada beberapa tokoh bangan teknologi modern.
lain seperti Moh. Yamin, dan lain- Hak Asasi Manusia (HAM)
lain. Seperangkat hak yang melekat pada
Free public sphere hakikat dan keberadaan manusia
Ruang publik yang bebas sebagai sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
sarana untuk mengemukakan Esa dan merupakan anugerah-Nya
pendapat warga masyarakat. yang wajib dihormati, dijunjung
tinggi, dan dilindungi oleh negara,
Gatra hukum, pemerintah, dan setiap
Kawasan atau zona. orang demi kehormatan serta
Gender perlindungan harkat dan martabat
Konsep kultural yang berkembang manusia.

269
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Identitas Konstitusi Madinah


Sifat khas yang melekat dan sesuai Nama lain dari piagam ini adalah
dengan kesadaran diri, golongan, Mitsaqul Madinah. Piagam ini
kelompok, dan komunitas. dideklarasikan oleh Muhammad
Identitas nasional SAW di Madinah pada tahun 622 M.
Identitas yang melekat pada Kolusi
kelompok yang lebih besar yang Kesepakatan rahasia antara dua
diikat oleh kesamaan-kesamaan orang atau lebih untuk deceitful atau
fisik, seperti budaya, agama, dan prudelent (kecurangan) tujuan.
bahasa, atau yang bersifat nonfisik
Konsensus
seperti keinginan, cita-cita, dan
Kesepakatan kata atau permufakatan
tujuan.
bersama (mengenai pendapat,
Ijma’ (Arab)
P
pendirian, dan sebagainya) yang
U
O
Kesepakatan atau konsensus, ajaran dicapai melalui kebulatan suara

GR
membuat kesepakatan dalam Islam.
Korupsi
Ijtihad (Arab) Penyalahgunaan kekuasaan (yang
Mengeluarkan segala daya dan
I A
seharusnya untuk kepentingan

ED
pikiran untuk menentukan umum untuk kepentingan pribadi).
suatu masalah; ajaran Islam agar

AM
Kosmopolitan
umat Islam menggunakan segala
Mempunyai wawasan dan

AD
kemampuan untuk menyelesaikan
suatu masalah yang tidak terdapat
pengetahuan yang luas; terjadi dari

E N
secara tersurat dalam kitab suci
orang-orang atau unsur-unsur yang
berasal dari pelbagai bagian dunia.
R
maupun Hadis Nabi Muhammad

P
SAW, atau belum pernah terjadi Learning to be
Kegiatan belajar yang diarahkan
dalam sejarah perjalanan Islam.
pada pembentukan karakter dan
Inklusif
kepribadian diri sebagai wujud
Global, komprehensif, menyeluruh,
internalisasi pengetahuan dalam
penuh, terhitung, dan termasuk.
diri.
Internalisasi
Learning to do
Penghayatan terhadap suatu
Kegiatan belajar yang diarahkan
ajaran, doktrin, atau nilai sehingga
pada bagaimana melakukan
merupakan keyakinan dan
sesuatu berdasarkan kemampuan
kesadaran akan kebenaran doktrin
keterampilan.
atau nilai yang diwujudkan dalam
sikap dan perilaku. Learning to live together
Kegiatan belajar yang diarahkan

270
GLOSARIUM

pada penciptaan kerja sama dalam kepentingan keluarga atau sanak


rangka membangun kehidupan famili terdekat dalam urusan-urusan
bersama dan saling pengertian. publik dengan tidak mengindahkan
Legitimasi aturan-aturan yang berlaku.
Kekuasaan yang berhak menuntut Perbuatan ini dapat dikategorikan
ketaatan yang memiliki sumber sebagai salah satu bentuk korupsi
keabsahan. nepotisme, yaitu penunjukan teman
atau keluarga secara tidak sah untuk
Magna Charta memegang jabatan pemerintah
Suatu piagam yang memuat atau mendapatkan proyek maupun
perjanjian antara kaum bangsawan kemudahan dan fasilitas tertentu.
dan Raja Inggris.
Otonomi daerah (Otda)

P
Mahkamah Konstitusi Hak, wewenang, dan kewajiban
Mahkamah Konstitusi adalah
salah satu Lembaga Tinggi Negara
O U
daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus sendiri urusan

GR
yang bertugas untuk menguji kepemerintahan dan kepentingan
undang-undang terhadap Undang- masyarakat setempat yang sesuai
Undang Dasar, memutus sengketa
I A
dengan peraturan perundang-

ED
kewenangan lembaga negara yang undangan.
kewenangannya diberikan oleh

AM
UUD 1945 (Perubahan Ketiga UUD Paradigma integralistik

D
1945). Paradigma yang menganut paham

Masyarakat Madani
N A agama dan negara merupakan
suatu kesatuan yang tidak dapat

R E
Sistem sosial berdasarkan prinsip
moral yang menjamin keseimbang-
dipisahkan. Paham ini juga mem-

P
an antara kebebasan individu
dengan kestabilan masyarakat.
berikan penegasan bahwa negara
merupakan suatu lembaga politik
dan sekaligus lembaga agama.
Multikulturalisme Paradigma sekularistik
Pandangan anti-diksriminasi yang Agama dan negara merupakan dua
tidak sekadar menerima perbedaan bentuk yang berbeda dan satu sama
budaya, tetapi juga mengakui lain memiliki garapan masing-
keunikan masing-masing budaya. masing, sehingga keberadaannya
Monolitik harus dipisahkan dan tidak boleh
Sesuatu yang memiliki sifat masif, satu sama lain melakukan intervensi.
totalitas seragam, kuat, dan tangguh Paradigma simbiotik
Nepotisme Hubungan agama dan negara berada
Tindakan yang mendahulukan pada posisi saling membutuhkan

271
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

dan bersifat timbal balik. Renewal


Phobia Perubahan konstitusi dengan
Ketakutan yang sangat berlebihan model perubahan sehingga yang
terhadap benda atau keadaan diberlakukan adalah konstitusi yang
tertentu yang dapat menghambat baru secara keseluruhan.
kehidupan seseorang atau Retroaktif
kelompok. Asas berlaku surut dalam pelaksana-
Pluralisme an peraturan.
Pertalian sejati kebhinekaan dalam Revitalisasi
ikatan keadaban yang disertai Proses, cara, perbuatan menghidup-
dengan sikap tulus untuk menerima kan atau menggiatkan kembali.
kenyataan perbedaan sebagai
P
Separatis
sesuatu yang alamiah dan rahmat
Tuhan bagi kehidupan.
Orang (golongan) yang

O U
menghendaki pemisahan diri dari

GR
Primordial suatu persatuan; golongan (bangsa)
Perasaan kesukuan yang berlebihan. untuk mendapat dukungan.
Privatisasi I A
Sistem merit
Suatu tindakan pemberian
kewenangan dari pemerintah
M ED Model pengangkatan pejabat publik
berdasarkan pada kualifikasi,
kepada badan-badan sukarela,
D A kompetensi dan kinerja secara adil

A
swasta, dan swadaya masyarakat, dan wajar tanpa membedakan latar

E N
tetapi dapat pula merupakan
peleburan badan pemerintah
belakang politik, ras, warna kulit,
agama, asal usul, jenis kelamin,
R
menjadi badan usaha swasta.
P
Reaktualisasi Pancasila
status pernikahan, umur ataupun
kondisi kecacatan.
Upaya penyegaran kembali nilai- Status quo
nilai Pancasila dalam kehidupan Keadaan tidak berubah/tetap dalam
bangsa Indonesia yang sejalan waktu tertentu.
dengan semangat dan tujuan
Streotip
reformasi.
Pelabelan yang berkonotasi negatif.
Referendum
Syura (Arab)
Pengambilan keputusan dengan cara
Artinya bermusyawarah, atau
menerima atau menolak sebuah
perintah bermusyawarah dalam Al-
usulan.
Qur’an.
Rejuvanensi
Penyegaran kembali pemahaman.

272
GLOSARIUM

Toleransi Trias politica


Kesediaan individu-individu untuk Sistem pemisahan kekuasaan
menerima beragam perbedaan dalam negara menjadi tiga bentuk
pandangan di kalangan warga kekuasaan: legislatif, eksekutif, dan
negara. yudikatif.
The Four Freedom Welfare state
Empat hak kebebasan manusia. Konsep pemerintahan yang
Istilah ini muncul dalam memprioritaskan kinerjanya pada
pengembangan HAM yang peningkatan kesejahteraan warga
meliputi hak kebebasan berbicara negara.
dan menyatakan pendapat, hak
kebebasan memeluk agama dan
beribadah, hak kebebasan dari
kemiskinan, dan hak kebebasan dari
U P
rasa takut.
O
GR
I A
M ED
D A
N A
R E
P

273
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
Sumber Bacaan

Bab 1 Pendahuluan

Azra, Azyumardi. 2002. “Pendidikan Demokrasi dan Demokratisasi di Dunia Mus-

ram, 22-23 April. U P


lim.” Makalah Seminar Nasional II Civic Education di Perguruan Tinggi, Mata-

O
GR
_____________. 2001. “Pendidikan Kewargaan untuk Demokrasi di Indonesia,”
Makalah Seminar Nasional Pendidikan Kewargaan (Civic Education) di Pergu-
ruan Tinggi, Jakarta, 28-29 Mei.
I A
ED
Buchori, Mochtar. 2001. “Demokrasi di Indonesia: Prospek dan Tantangan.” Ma-
kalah Lokakarya Civic Education Dosen IAIN/STAIN se-Indonesia, Depok, 7
Agustus.
A M
_____________. 2000. “Peranan Pendidikan dalam Pembentukan Pendidikan

AD
Budaya Politik di Indonesia.” dalam Mochtar Buchori, Menggagas Paradigma

Kanisius.
E N
Baru Pendidikan: Demokratisasi, Otonomi, Civil Society, Globalisasi. Yogyakarta:

P R
Cogan, John J. & Ray Derricott. 2000. Citizenship for the 21st Century: An Interna-
tional Perspective on Education. London: Kogan Page.
Ehrlich, Thomas. 2000. Civic Responsibility and Higher Education. The American
Council on Education and The Oryx Press.
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna. Jakarta: Kompas Gramedia.
Lubis, Todung Mulya. 2001. “Demokrasi, Hak Asasi, dan Masyarakat Internasional.”
Makalah Seminar Nasional Pendidikan Kewargaan (Civic Education) di Pergu-
ruan Tinggi, Jakarta, 28-29 Mei.
Somantri, Muhammad Numan. 2001. Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS.
Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Trans-
formatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Ubaedillah, A. 2004. “Pendidikan Kewarganegaraan yang Membebaskan.” KOMPAS,
29 Maret.
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

__________. 2004. “Pendidikan Kewarganegaraan dan Demokrasi Indonesia.”


KOMPAS, 16 Januari.
Winataputra, Udin S. 2001. “Apa dan Bagaimana Pendidikan Kewarganegaraan.”
Makalah Lokakarya Civic Education Dosen IAIN/STAIN se-Indonesia, Sawang­
an, Depok.
__________. 2002. “Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Ke-
wargaan untuk Mahasiswa Perguruan Tinggi Agama Islam,” Laporan Evaluasi
Program Pembelajaran Civic Education di IAIN dan STAIN, Jakarta.
__________. 2006. “Pendidikan Kewarganegaraan sebagai Alternatif Pembelajaran
Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Civil Society: Tinjauan Psiko-Pedagogis dan
Epistemologis”, Makalah workshop Pendidikan Kewargaan bagi Dosen PTAIS se-
Kopertais IV Jawa Timur, Malang.
Zamroni. 2001. “Civic Education di Perguruan Tinggi: Urgensi dan Metodologi.”

U P
Makalah Seminar Nasional Pendidikan Kewargaan (Civic Education) di Pergu-
ruan Tinggi, Jakarta, 28-29 Mei.
O
GR
__________. 2001. Pendidikan untuk Demokrasi: Tantangan Menuju Civil Society.
Yogyakarta: BIGRAF Publishing.

I A
ED
Bab 2 Pancasila dan Keharusan Reaktualisasi
M
A
Azra, Azyumardi. “Rejuvenasi Pancasila di Tengah Arus globalisasi.” Dalam Try Su-
D
A
trisno. 2006. Reformasi dan Globalisasi: Menuju Indonesia Raya. Jakarta: Yayasan
Taman Pustaka.

E N
Berita, 2011. “Pidato Kebangsaan Presiden Republik Indonesia ke-5 Megawati

P R
Soekarnoputri”, termaktub di dalam website online yang diunduh pada Jum’at,
07 Februari 2014: http://beritasore.com/2011/06/01/pidato-kebangsaan-pres-
iden-republik-indonesiake-5megawati-soekarnoputri.
Erwin, Muhamad. 2010. Pendidikan Kewarganegaraan Republik Indonesia. Ban-
dung: Refika Aditama.
Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi. 2010. Civic Education. Jakarta: Gramedia.
Hidayat, Syarif. 2014, “Demokrasi Simbolik”, Kompas, Selasa 4 Februari 2014
Inilah.com,“Muhammadiyah Ikut Rumuskan Pancasila”. Sabtu 2 Juni, 2012. http://
nasional.inilah.com/read/detail/1867610/muhammadiyah-ikut-rumuskan-
pancasila.
Kaelan. 2010. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indo-
nesia. 2014. Modul Pemantapan Wawasan Kebangsaan. Jakarta: Kemenko Pol-
hukam.

276
SUMBER BACAAN

Kleden, Ignas. 2014, “Keberanian Berdemokrasi”, Kompas, 4 Februari 2014.


Kompas. 2010. Merajut Nusantara, Rindu Pancasila. Jakarta: Kompas Media Nu-
santara.
Latif, Yudi. 2011. Negara Paripurna. Jakarta: Kompas Gramedia.
____________, 2015. Revolusi Pancasila. Jakarta: Penerbit Mizan.
Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI. Buku Induk Nilai-Nilai Kebangsaan
Indonesia yang Bersumber dari Empat Konsensus Dasar Bangsa. Edisi ke-2. Ja-
karta: Lemhannas RI.
Musa, Ali Maskur. 2011. Nasionalisme di Persimpangan. Jakarta: Erlangga.
Oentoro, Jimmy. 2010. Indonesia Satu, Indonesia Beda, Indonesia Bisa. Jakarta:
Kompas Gramedia.
Republika, 2011, “Ini Dia Pidato Lengkap Presiden Ketiga RI, BJ Habibie”, http://
www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/06/01/lm43df-ini-dia-pidato-

U P
lengkap-presiden-ketiga-ri-bj-habibie, di unduh, Jumat, 07 Februari 2014.

O
Sirait, Midian. 2008. Revitalisasi Pancasila. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.

GR
Syarbaini, Syahrial. 2011. Pendidikan Pancasila. Bogor: Ghalia Indonesia.

Bab 3 Identitas Nasional dan Globalisasi


I A
M ED
Anggraeni, Dewi. 2011. “Does Multicultural Indonesia include its Chinese?”, Wa-
cana: Jurnal Ilmu Pengetahuan Budaya, hlm. 256-278. Jakarta: Faculty of Hu-

A
manities, University of Indonesia.
D
A
Azra, Azyumardi. “Rejuvenasi Pancasila di Tengah Arus Globalisasi.” Dalam Try

E N
Sutrisno. 2006. Reformasi dan Globalisasi: Menuju Indonesia Raya. Jakarta:
Yayasan Taman Pustaka.

P R
Bahagijo, Sugeng dan Darmawan Triwibowo. 2006. “Globalisasi, Defisit Pengeta-
huan dan Indonesia.” Dalam Jurnal Hukum Lentera. Jakarta: Juni 2006.
Dhont, Frank. 2005. Nasionalisme Baru Intelektual Indonesia Tahun 1920-an. Yog-
yakarta: Gadjah Mada University Press.
Hanum, Farida, “Multikulturalisme dan Pendidikan”, dalam website staff.uny.ac.id/
sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/multikulturalisme-dan-
pendidikan.pdf, hlm. 1-17. Diunduh, 8 Februari 2014.
Hara, A. Eby. “Nasionalisme Indonesia: Dari Nasionalisme Lokal ke Nasionalisme
Kosmopolit.” Dalam Jurnal Politika. Volume 1, No. 2 Agustus 2005.
Herry-Priyono, B. “Proyek Indonesia dalam Globalisasi: Mencari Terobosan Hak
Asasi Ekonomi.” Dalam Irfan Nasution dan ronny Agustinus. 2006. Restorasi
Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Jakarta: Brighten Press.
Jamhari, “After the Fact: Indonesia dan Multikulturalisme.” Makalah dalam Work-
shop on Civic Education. Bandung, 15-24 Desember 2003.

277
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Republik Indo-


nesia. 2013. Desain Induk Pemantapan Wawasan Kebangsaan Tahun 2012-2024.
Jakarta: Kemenko Polhukam.
Malesevic, Sinisa. 2004. The Sociology of Ethnicity. London: Sage Publication.
Saifuddin, Achmad Fedyani. “Reposisi Pandangan Mengenai Pancasila: Dari Plu-
ralisme ke Multikulturalisme.” Dalam Irfan Nasution dan Ronny Agustinus.
2006. Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Ja-
karta: Brighten Press.
Smith, Anthony D. 2003. Nasionalisme: Teori, Ideologi, Sejarah. Jakarta: Erlangga.
Suradinata, Ermaya. 2005. Hukum Dasar Geopolitik dan Geostrategi dalam Kerang-
ka Keutuhan NKRI. Jakarta: Suara Bebas.
Sutrisno, Try. 2006. Reformasi dan Globalisasi: Menuju Indonesia Raya. Jakarta:
Yayasan Taman Pustaka.

U P
Sumantri, Gumilar Rusli. 2006. “Pancasila dalam Perubahan Sosial-Politik Indone-

O
sia Modern” dalam Irfan Nasution dan Ronny Agustinus (Peny.), Restorasi Pan-

GR
casila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Jakarta: Brighten Press.
Tilaar, H.A.R. 2003. Kekuasaan dan Pendidikan; Suatu Tinjauan dan Perspektif Stu-
di Kultural. Magelang: Indonesia Tera.
I A
ED
_________________. 2004. Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa
Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: grasindo.

A M
_________________. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik

D
Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.

A
E N
Bab 4 Demokrasi: Teori dan Praktik

P R
Asshiddiqie, Jimly. A. 1994. Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ikhtiar Baru van Hoeve.
Azra, Azyumardi. 2000. “Membangun Keadaban Demokratis.” KOMPAS, 28 Juni.
_____________. 2002. Paradigma Baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan De-
mokratisasi. Jakarta: Kompas.
_____________. 2002. Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan
Antar-Umat. Jakarta: Kompas.
Budiardjo, Miriam. 1996. Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan De-
mokrasi Pancasila. Jakarta: Gramedia.
_____________. 1976. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
Culla, Adi Suryadi. 1999. Masyarakat Madani: Pemikiran, Teori, dan Relevansinya
dengan Cita-cita Reformasi. Jakarta: RajaGrafindo.
Esposito, John L dan John O. Voll. 2001, “Islam and Democracy”, Humanities, De-
cember 2001, v.22. No.6. disadur dari link jurnal yakni; www.artic.ua.es/biblio-

278
SUMBER BACAAN

tec/u85/dcumentos/1808.pdf.
Esposito, John L. dan Ihsan Yilmaz. 2011. “Gulen’s Ideas on Freedom of Thought,
Pluralism, Secularism, State, Politics, Civil Society and Democracy.” Dalam John
L. Esposito dan Ihsan Yilmaz (ed). Islam and Peacebuilding: Gulen Movement
Initiatives. New York: Blue Dome Press.
Gaffar, Affan. 2000. “Demokrasi Politik.” Makalah seminar Perkembangan De-
mokrasi di Indonesia Sejak 1994. Jakarta: Widyagraha, LIPI.
____________. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Hasbi, Artani. 2001. Musyawarah dan Demokrasi: Analisa Konseptual Aplikatif
dalam Lintasan Sejarah Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Hidayat, Komaruddin. 1994. “Tiga Model Hubungan Agama dan Demokrasi.”
Dalam Elza Peldi Taher, Demokratisasi Politik, Budaya, dan Ekonomi. Jakarta:
Paramadina.
U P
O
Hermawan Sulistyo, Dr., dan A. Kadar. 2000. Uang dan Kekuasaan dalam Pemilu

GR
1999. Jakarta: KIPP Indonesia.
____________. 2000. Kekerasan Politik dalam Pemilu 1999: Laporan dari Lima
Daerah. Jakarta: KIPP Indonesia.
I A
ED
Ihza Mahendra, Yusril. 1996. Dinamika Tata Negara di Indonesia: Kompilasi Aktual
Masalah Konstitusi Dewan Perwakilan dan Sistem Kepartaian. Jakarta: Gema In-
sani Press.
A M
AD
Kaelani. 1999. Pendidikan Pancasila: Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Kleden, Ignas. 2000. “Melacak Akar Konsep Demokrasi: Suatu Kajian Kritis.”
N
Dalam Ahmad Suaedy, Pergulatan Pesantren dan Demokratisasi. Yogyakarta:
E
R
LKiS.

P
Komisi Pemilihan Umum, Modul I: Pemilu untuk Pemula.
Kristiadi, J., 2000. “Transisi: Koridor Menuju Demokrasi, Catatan Pembuka,” Meng­
awal Transisi, JAMPIPB PMII dan UNDP.
Liddle, William, R. dan Saiful Mujani. 2000. “Islam, Kultur Politik, dan Demokrati-
sasi,” Jurnal Demokrasi dan HAM, Vol. 1, No.1, (Meiagustus).
Madjid, Nurcholish. 2000. “Membangun Oposisi Menjaga Momentum Demokrati-
sasi,” Voice Center Indonesia.
Mahfud MD, Moh. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gema
Media.
____________. 1993. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Yogyakarta: Liberty.
Malarangeng, Andi, Dr., dkk. 1999. Kajian Pemilu 1999. Jakarta: Pusat Pengkajian
Etika dan Pemerintahan (PUSKAP).
Mu’is, Abdul. 2000. Titian Jalan Demokrasi, Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya
Komunikasi Politik. Jakarta: Kompas.

279
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Moussalli, Ahmad S. 2001. The Islamic Quest for Democracy, Pluralism, and Human
Rights. USA: University Press of Florida.
Rasyid, Muhammad Ryaas. 1997. Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan dan Politik
Orde Baru. Jakarta: Yayasan Wantapone.
Rudy, May. 2003. Pengantar Ilmu Politik: Wawasan Pemikiran dan Kegunaannya.
Bandung: Refika.
Sirry, Mun’im. A. 2002. Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim
dalam Transisi Indonesia. Bekasi: Gugus Press.
Suseno, Frans Magnis. 1997. Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis. Ja-
karta: Gramedia Pustaka Utama.
United States Information Agency. 1991. What’s Democracy? Voll, John O. 2007. “Is-
lam and Democracy: Is Modernization a Barrier?”, Religion Compass, 1/1, 170-
178. Blackwell Publishing 2006.

U P
Bab 5 Konstitusi dan Tata Perundangan Indonesia
O
GR
Asshiddiqie, Jimly, Prof. Dr. S.H. 2005. Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran

A
Kekuasaan dalam UUD 1945. Cetakan ke-2. Yogyakarta: UII Press.
I
ED
Attamimi, A. Hamid S. 1990. Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertasi UI, Jakarta.

dia Pustaka Utama.


A M
Budiardjo, Miriam. 2006. Dasar-dasar Ilmu Politik. Cetakan ke-28. Jakarta: Grame-

AD
_______________________. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. (Edisi Revisi), ce-

E N
takan ke-2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Busroh, Abu Daud. 2006. Ilmu Negara. Cetakan ke-4. Jakarta: Bumi Aksara.

kasi. P R
Juliantara, Dadang. 2002. Negara Demokrasi untuk Indonesia. Solo: Pondok Edu-

Mahfud M.D., Mohammad. 2000. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia. Cetakan


ke-2. Jakarta: PT Rineka Cipta.
Malian, Sobirin. 2001. Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945. Ce-
takan ke-1. Yogyakarta: UII Press.
Manan, Bagir, Prof. Dr. 2005. DPR, DPD, dan MPR dalam UUD 1945 Baru. Cetakan
ke-3. Mei. Yogyakarta: FH UII Press.
Nasution, Adnan Buyung. 1995. Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia.
Penerjemah Sylvia Tiwon. Jakarta: Grafiti.
Sekretariat Jenderal MPR RI. 2005. UUD Negara Republik Indonesia 1945. Jakarta.
Strong, C.F. 2004. Konstitusi-konstitusi Politik Modern: Studi Perbandingan tentang
Sejarah dan Bentuk-bentuk Konstitusi Dunia. Cetakan ke-1. Nusa Media.

280
SUMBER BACAAN

Sukardja, Ahmad. 1995. Piagam Madinah dan Undang-Undang Dasar 1945. Kajian
Perbandingan tentang Dasar Bersama dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: UI
Pers. Thaib.
Dahlan, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda. 2005. Teori dan Hukum Konstitusi. Cetakan
ke-5. Jakarta: Rajawali Press.
Tutik, Titik Triwulan, S.H., M.H. 2006. Pokok-pokok Hukum Tata Negara. Cetakan
ke-1. Prestasi Pustaka.

Bab 6 Negara, Agama, dan Warga Negara

Aziz, Abdul. 2011. Chiefdom Madinah: Salah Paham Negara Islam. Jakarta: Pustaka
Alvabet dan Lembaga Kajian Islam & Perdamaian (LaKIP).
Aziz, Imam M., et al. (ed.). 1993. Agama, Demokrasi, dan Keadilan. cetakan ke-1.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
U P
Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam. Cetakan ke-1. Jakarta: Parama-
O
GR
dina.
Budiardjo, Miriam. 1987. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Me-

A
dia.
I
ED
Effendy, Bahtiar. 2001. Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan
Demokrasi. Cetakan ke-1. Yogyakarta: Galang Press.

PMII.
A M
Hikam, Muhammad AS. 2000. Fiqih Kewarganegaraan. Cetakan ke-1. Jakarta: PB

AD
Ismail, Faisal. 1999. Ideologi Hegemoni dan Otoritas Agama: Wacana Ketegangan

E N
Kreatif Islam dan Pancasila. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Iqbal, Muhammad. 2001. Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam. Ce-

P R
takan ke-1. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Kaelani. 1999. Pendidikan Pancasila: Yuridis Kenegaraan. Yogyakarta: Paradigma.
Kansil, C.S.T. 1979. Sistem Pemerintahan Indonesia. Jakarta: Aksara Baru.
_____________. 2001. Ilmu Negara Umum dan Indonesia. Cetakan ke-1. Jakarta:
PT Pradnya Paramita.
Kusuma, A.B. 2009. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945.
L. Esposito, John dan John O. Voll. 1999. Demokrasi di Negara-negara Muslim:
Problem dan Prospek. Bandung: Mizan.
Lubis, M. Solly. 1982. Asas-asas Hukum Tata Negara. Bandung: Alumni.
Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Per-
caturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Madjid, Nurcholish. 1995. “Agama dan negara dalam Islam: Telaah Kritis atas Fiqh
Siyasah Sunni.” Dalam Budhy Munawar Rachman (ed.), Kontekstualisasi Dok-
trin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina.

281
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Mahfud M. D., Moh. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gema
Media.
_____________. 2001. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: PT
Rineka Cipta.
Muhammad, Hussein. 2000. “Islam dan negara Kebangsaan: Tinjauan Politik.”
Dalam Ahmad Suaedy. Pergulatan Pesantren dan Demokrasi. Yogyakarta: LKiS.
Prasetyo, Dossy Iskandar, dan Bernard L. Tanya. 2005. Ilmu Negara: Beberapa Isu
Utama. Cetakan ke-1, Surabaya: Srikandi.
Syadzali, H. Munawir. 1993. Islam dan Tata Negara. Cetakan ke-1. Jakarta: Univer-
sitas Indonesia Press.
Syafi’ie, Inu Kecana. 1994. Ilmu Pemerintahan. Bandung: Mandar Maju.
Thaba, Abdul Azis. 1996. Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru. cetakan ke-1.
Jakarta: Gema Insani Press.

U P
Bab 7 Hak Asasi Manusia (HAM)
O
GR
Al-Maududi, Abu A’la. 1998. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Jakarta: YAPI.

A
An-Naim, Abdullahi Ahmed. 2001. Dekonstruksi Syari’ah. Yogyakarta: LKiS.
I
ED
Ash-Shiddiqy, Teungku Muhammad Hasbi. 1999. Islam dan HAM. Semarang: PT
Pustaka Rizki Utama.

A M
Baehr, Peter, et al. 2001. Instrumen Internasional Pokok Hak-hak Asasi Manusia.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

AD
Bahar, Safroeddin. 2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan.

E N
Chang, William. 2002. Kerikil-kerikil di Jalan Reformasi: Catatan-catatan dari Sudut

P R
Etika Sosial. Jakarta: Buku Kompas.
Cipto, Bambang, dkk. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan: Menuju Kehidupan yang
Demokratis dan Berkeadaban. LP3 UMY-The Asia Foundation.
Davies, Peter. 1994. Hak-hak Asasi Manusia: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yaya-
san Obor Indonesia.
Effendi, Masyhur. 1994. Dimensi dan Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum
Nasional dan Internasional. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Engineer, Ali Asghar. 1994. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Yogyakarta: Bentang.
Faqih, Mansour, dkk. 2003. Menegakkan Keadilan dan Kemanusiaan: Pegangan un-
tuk Membangun Gerakan HAM. Yogyakarta: Insist Press.
_____________. 1996. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pusta-
ka Pelajar.
Howard, Rhoda E. 2000. HAM: Penjelajahan Dalih Relativisme Budaya. Jakarta: PT
Grafiti.

282
SUMBER BACAAN

Lincoln, Erik dan Irfan Amalee. 12 Nilai Dasar Perdamaian: Buku Panduan untuk
Guru. Bandung: Pelangi Mizan.
Lopa, Baharuddin. 2001. Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Kom-
pas.
_____________. 1999. Al-Qur‘an dan Hak-hak Asasi Manusia. Yogyakarta: PT
Dana Bhakti Prima Yasa.
Manan, Bagir, et al. 2001. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan Hak Asasi Ma-
nusia di Indonesia. Bandung: PT Alumni.
Marzuki, Suparman dan Sobirin Malian. 2002. Pendidikan Kewarganegaraan dan
HAM. Yogyakarta: UII Press.
Mernissi, Fatima dan Riffat Hasan. 1995. Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam
Tradisi Islam Pasca Patriarki. Yogyakarta: LSPPA-Yayasan Prakarsa.
Nasution, Harun, dan Bahtiar Effendy. 1987. Hak Asasi Manusia dalam Islam. Ja-
karta: Yayasan Obor Indonesia.
U P
O
Nickel, James W. 1996. Hak Asasi Manusia: Refleksi Filosofis Atas Deklarasi Univer-

GR
sal Hak Asasi Manusia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Pusat Studi Wanita (PSW) UIN Jakarta. 2003. Pengantar Kajian Gender. Jakarta.

I A
Thayib, Anshari, et al. 1997. HAM dan Pluralisme Agama. Surabaya: Pusat Kajian

ED
Strategis dan Kebijakan.
Tilaar, H.A.R. et al. Dimensi-dimensi Hak Asasi Manusia dalam Kurikulum Perseko-

A M
lahan Indonesia. Bandung: PT Alumni.

AD
Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani di Indone-
sia: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Rosda Karya.
N
Waldron, Jeremy. 1984. Theories of Rights. New York: Oxford University Press.
E
R
Yayasan Jurnal Perempuan. 2001. Hak-hak Asasi Perempuan: Sebuah Panduan pada

P
Konvensi-konvensi Utama PBB tentang Hak Asasi Perempuan. Jakarta.

Bab 8 Otonomi Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan


Republik Indonesia

Croissant, Aurel, dalam Aurel Croissant, et al. 2003. “Pendahuluan”, Politik Pemilu
di Asia Tenggara dan Asia Timur. Jakarta: Pensil-324 dan Friedrich Ebert Stif-
tung, Oktober.
Dwiyanto, Agus. 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.
Yogyakarta: JICA-UGM.
Koswara, E. 2001. Otonomi Daerah untuk Demokrasi dan Kemandirian Rakyat. Ja-
karta: Yayasan Fariba.
Masykur, Nur Rif ’ah. 2001. Peluang dan Tantangan Otonomi Daerah. Jakarta: PT
Permata Artistika Kreasi.

283
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Muluk, M. R. Khairul. 2005. Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah. Malang:


Bayu Media.
Nadir, Ahmad. 2005. Pilkada Langsung dan Masa Depan Demokrasi. Malang: Aveo-
es. Prasodjo, Eko, Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan. 2006. Desen-
tralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi
Struktural. Jakarta: FISIP UI.
Pramusinto, Agus. 2004. “Otonomi Daerah dan Pemilihan Kepala Daerah dalam
Mencermati Hasil Pemilu 2004.” Jurnal Analisis CSIS Vol. 33, No. 2. Juni, Jakarta.
Prihatmoko Joko J. 2005. Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Reynolds, Andrews. 2001. “Merancang Sistem Pemilihan umum”. Dalam Ikrar
Nusa Bhakti dan Riza Sihbudi (eds.), Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat: Bela-
jar dari Kekeliruan Negara-negara Lain. Bandung: Mizan.

U P
Rondinelli, Dennis A. dan Cheema G. Shabir. 1988. Decentralization and Develop-

O
ment, Policy Implementation in Developing Countries. California: SAGE Publica-

GR
tions Inc., Beverly Hills.
Sinaga, Kastorius. 2003. “Pemilihan Langsung Kepala Daerah Kota dan Kabupaten:

I A
Beberapa Catatan Awal.” Dalam Abdul Gaffar Karim (ed.), Kompleksitas Per-

ED
soalan Otonomi Daerah di Indonesia. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik universitas Gadjah Mada dan Pustaka Pe-
lajar, Agustus.
A M
George Allen & Unwin.
AD
Smith, Brian C. 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of State. London:

N
Surbakti, Ramlan. 2001. Otonomi Daerah Seluas-luasnya dan Faktor Pendukung-
E
R
nya. Jakarta.

P
Suseno, Franz Magnis. 1988. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan
Modern. Jakarta: Gramedia.
UU No. 22 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Pemerintah Daerah.
UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Daerah.
UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.
Widjaja, A. W. 2001. Titik Berat Otonomi pada Daerah Tingkat II. Jakarta: Rajawali.

Bab 9 Tata Kelola Pemerintahan yang Baik dan Bersih


(Good and Clean Governance)

Dwidjowijoto, Riant Nugroho, dan Tri Hanurita Sudwikatmono. 2005. Tantangan


Indonesia: Solusi Pembangunan Politik Negara Berkembang. Jakarta: Elex Media
Komputindo.

284
SUMBER BACAAN

Dwiyanto, Agus, (ed.). 2005. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan


Publik. Yogyakarta: JICA-UGM Press.
Gaffan, Affan. 2001. “Etika Birokrasi dan Good Governance.” Makalah.
Hardjasoemantri, Koesnadi. “Good Governance dalam Pembangunan Berkelanju-
tan di Indonesia.” Makalah untuk Lolakarya Pembangunan Hukum Nasional ke
VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003.
Lembaga Administrasi Negara. 2000. Akuntabilitas dan Good Governance. Jakarta:
LAN.
Sedarmayanti, 2007. Good Governance (pemerintahan yang baik) dan Good Corpo-
rate Governance. CV Mandar Maju.
Tarling, Nicolas (ed), 2005. Corruption and Good Government in Asia. London and
New York: Routledge.
Thoha, Miftah, 2014. Birokrasi Politik & Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta:
Prenadamedia Group.
U P
O
Ubaedillah, A dan Abdul Rozak. 2012. Pendidikan Kewarga[negara]an (Civic Edu-

GR
cation): Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada-
media Group.

I A
UNDP. 1977. “Reconceptualising Governance,” paper of Management Development

ED
and Governance Bureau for Policy and Programme Support. Jakarta.
UNDP, 2008. Civic Engagement in Public Governance. New York: UNDP: World
Public Sector.
A M
AD
Undang-Undang ASN No. 5 Tahun 2014.
Wibowo, I. 2010. Negara Centeng; Negara dan Saudagar di Era Globalisasi. Kanisius.
N
Wrihatnolo, Randy R., dan Riant Nugroho Dwidjowijoto. 2007. Manajemen Pem-
E
R
berdayaan. Jakarta: Gramedia.

P
Word Bank. 1998. Environmental Implication of the Economic Crisis and Adjustment
in East Asia. Jakarta.

Bab 10 Pencegahan Korupsi

Carada, Wilfredo B. 2009. “Korupsi, Sumber Daya Aalam, dan Isu Lingkungan.”
Dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed). Korupsi Mengorupsi Indonesia: Se-
bab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: PT Gramedia Utama.
Isra, Saldi dan Eddy O.S. Hiariej, 2009. “Perspektif Hukum Pemberantasan Korupsi
di Indonesia.” Dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed) Korupsi Mengorupsi
Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: PT Gramedia
Utama.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI Dirjen Pendidikan Tinggi. 2011. Pen-
didikan Anti Korupsi untuk Perguruan Tinggi. Jakarta: Kemendikbud.

285
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami untuk Membasmi, Buku Saku


untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Komisi Pemberantasan Ko-
rupsi.
Kristiadi, J. 2009. “Demokrasi dan Korupsi Politik”. Dalam Wijayanto dan Ridwan
Zachrie (Ed). Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pember-
antasan. Jakarta: PT Gramedia Utama.
Mahzar, Asyumardi. 2003. “Pemberantasan Korupsi Menuju Tata Pemerintahan
yang Lebih Baik.” Makalah Seminar Internasional Praktik-praktik yang Baik
dalam Memerangi Korupsi di Asia. Jakarta: Transparency International Indone-
sia, 16-17 Desember 2003.
Noor, Firman. 2007. Tren Korupsi 2007. Fenomena Melokalnya Korupsi dan Alter-
natif Pemberantasannya. Dalam LIPI, Democrazy Pilkada, Yayasan Obor Indo-
nesia.

U P
Rianto, Bibit S. dan Nurlis E. Meuko. 2009. Koruptor Go to Hell! Mengupas Anatomi
Korupsi di Indonesia. Jakarta: Hikmah.
O
GR
Semma, Mansyur. 2008. Negara dan Korupsi; Pemikiran Mochtar Lubis atas Negara,
Manusia Indonesia dan Perilaku Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

I A
Sugiarto, Bima Arya, 2009. “Politik Uang dan Pengaturan Dana Politik di Era Re-

ED
formasi”. Dalam Wijayanto dan Ridwan Zachrie (Ed). Korupsi Mengorupsi Indo-
nesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan. Jakarta: PT Gramedia Utama.

A M
Tarling, Nicolas. 2005. “Keynote Speech: Corruption” dalam Nicolas Tarling (ed),

AD
Corruption and Good Government in Asia. London and New York: Routledge.
Transparency International Indonesia, 2008. Membedah Fenomen Korupsi: Analisa
N
Mendalam Fenomena Korupsi di 10 Daerah di Indonesia. Frenky Simanjuntak
E
R
dan Anita Rahman Akbarsyah (Ed.). Jakarta: Transparancy International, In-
donesia.
P
Bab 11 Masyarakat Sipil

Azra, Azyumardi. 1999. Menuju Masyarakat Madani. Cetakan ke-1. Bandung: PT


Remaja Rosdakarya.
Harmsen, Egbert. 2008. Islam, Civil Society and Social Work. Amsterdam. Univer-
sity Press.
Hefner, Robert W. 2000. Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia.
Princeton University Press.
Hermayanto, A. Irawati. “Pengalaman LSM dalam Pendampingan dan Pemberdaya­
an Keluarga Miskin di Sektor Pertanian (Sektor Refleksi). pse.litbang.pertanian.
go.id, diakses tanggal 3 Juni 2014

286
SUMBER BACAAN

Hikam, Muhammad AS. 1999. Demokrasi dan Civil Society. Cetakan ke-2. Jakarta:
LP3ES.
James, Helen. 2007. Civil Society, Religion and Global Governance. USA-Kanada:
Routledge.
Madjid, Nurcholish. 2000. “Asas-asas Pluralisme dan Toleransi dalam Masyarakat
Madani.” Dalam makalah Lokakarya Islam dan Pemberdayaan Civil Society di
Indonesia, kerja sama IRIS Bandung-PPIM jakarta-The Asia Foundation.
Mahfudz, Moh. M.D. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gamma
Media Sukma.
Rahardjo, M. Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menengah, dan Pe-
rubahan Sosial. Cetakan ke-1. Jakarta: LP3ES.
Salvatore, Armando. 2007. The Public Sphere: Liberal Modernity, Catholicism, Islam.
New York: Palgrave Macmillan.

U P
Suharko. NGO, Civil Society dan Demokrasi: Kritik atas Pandangan Liberal, Jurnal
Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Vol. 7 No. 2 November 2003.
O
GR
Suseno, Franz-Magnis. 1997. Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis.
Cetakan ke-2. Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama.

I A
Thoha, Miftah, 2014. Birokrasi Politik & Pemilihan Umum di Indonesia. Jakarta:

ED
Prenadamedia Group.
Tocqueville, Alexis de, 1998. Democracy in America. Wordsworth Classics of World
Literature.
A M
AD
Thamrin, Husni. “Pendekatan Pemberdayaan pada Kelompok-kelompok Masyarakat
Prakarsa Pemerintah, LSM dan Swadaya Masyarakat di Kelurahan Tanah Enam
N
Ratus Kecamatan Medan Marelan, repository.usu.ac.id, diakses 3 Juni 2014.
E
R
Thoha, Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada.
P
Triwibowo, Darmawan. 2006. Gerakan Sosial Wahana Civil Society bagi Demokrati-
sasi. Jakarta: LP3ES dan Perkumpulan Prakarsa.
Ubaedillah, A. dan Abdul Rozak. 2012. Pendidikan Kewarga[negara]an (Civic Edu-
cation): Pancasila, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: Prenada-
media Group.
UNDP, 2012. Strategy on Civil Society and Civic Engagement.

287
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
Indeks

A Amin Rais 104, 175


Andi Pangerang 114
P
A. Hamid S. Attamimi 117

U
A.A. Maramis 39, 171 Andrei Sakharov 82
A.G. Pringgodigdo 117
O
Anhar Gonggong 35, 41-42

GR
A.H. Hamidan 114 Antonio Gramsci 253
A.S. Hikam 260 Anwar Ibrahim 251
Abdelwahab El-Affendi 103
I A
Aparatur sipil negara (ASN) 222

ED
Abdul Aziz 147 Arendt 255
Abdul Hadi W.M. 33,36 Aristoteles 111
Abdul Wachid Hasyim 114
A M Asia Tenggara 59, 148

D
Abdulkahar Moezakir 39 Asosiasi Ilmuwan Politik Indonesia 94

A
Abikoesno Tjokro Soejoso 39
N
Asta Gatra 66
Azyumardi Azra 14, 31, 147
E
Abraham Lincoln 81

P R
Abul ‘Ala Mawdudi 100
Abuse of power 234
B
B.J. Habibie 31, 45, 175-176
Afeksi 4
Bagir Manan 110, 132, 172
Agustinus 136
Bernard Lewis 101
Ahmad Soebardjo 171
Bicameral 120
Ahmad Sukardja 111
BPUPKI 37-38, 45, 47, 51, 133, 153, 171
Ahmad Syafi’i Ma’arif 19, 90, 104
Ahmad Syauqi al-Fanjari 102
C
Alexis de Tocqueville 253-254
Check and balance 46
Ali Abdul Raziq 149, 151
Civic Education 1
Al-Khawarizmi 88
Civil society 4
Al-Kindi 88
Clean government 210-211
Al-Razi 88
Common Platform 29
Amendemen (perubahan) 114
Community empowerment 216
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

Corporate social responsibility Gerakan Aceh Merdeka 26


(CSR) 216 Globalisasi 23, 67-68
Good corporate 210
D Good governance 209-210
Dayak 60 Gotong royong 6
Dekrit Presiden 89 Grand corruption 231
Deliberative democracy 42 Gratifikasi 231
Demokrasi 1, 81 Guided Democracy 89, 154
Demokrasi Liberal 172 Gus Dur 44-45
Demokrasi Pancasila 91
Demokrasi Parlementer 89 H
Demokrasi Terpimpin 89, 172 H. Agus Salim 39, 153
Dompet Dhuafa 263 Habermas 255
DPD 120, 122 HAM 1
U P
O
DPR 120 Henry B. Mayo 82

GR
Dr. Mohammad Amir 114 Hizbut Tahrir Internasional 148
Dr. Ratulangi 114
I
Drs. Yap Tjwan Bing 114
I A
ED
I Wibowo 216
E Ibnu Arabi 136
Eksekutif 118
Elie Kedourie 101
A M Ibnu Khaldun 88, 136
Ibnu Sina 88
Elite capture 232
AD Ibnu Taimiyah 149

E
Equality before the law 95N
Empat Konsensus Dasar Bangsa 21 Identitas nasional 61
Ikatan Dokter Indonesia 94
Era Reformasi 1
P R Indoktrinasi 2
Internasionalisasi 68
F Ir. Soekarno 38
Fahmi Huwaidi 104
Farida Hanum 70 J
Fethullan Gullen 103 J. Kristiadi 86
Founding fathers 11 J.J. Rousseau 112, 138, 166
Franz Magnis-Suseno 50 Jakarta Charter 154
Free public sphere 254 Jeremy Pope 240
Jimly Asshiddiqie 109, 111
G John Locke 88, 138, 167
G.W.F. Hegel 243 John O. Voll 101
GBHN 194 Joko Widodo 191
Gerakan 30 September 1965 91 Jong Djava 51

290
INDEKS

Joseph A. Schmitter 82 Mark up 233


Joseph M. Bessete 42 Martin Luther King 88
Juan J. Linze 99 Masyarakat sipil 4
Megawati Soekarnoputri 45
K Melayu 59
K.H. Abdurahman Wachid 44, 104 Militeristik 2
K.H. Mas Mansur 153 Miriam Budiardjo 110, 127
K.H. Wachid Hasyim 39 Mohammad Hatta 39, 171
Kalim Siddqui 101 Mohammad Husein Haikal 149
Kanada 70 Mohammad Khatami 101
Karakter bangsa 4 Monarchomach 139
Karl Marx 253 Monolitik 4
Kelompok strategis 93 Montesquieu 88, 118, 166
Kemal Attaturk 153 MPR 120, 122
U P
O
Ketahanan Nasional 66 Mr. Abdul Abbas 114

GR
Ki Bagus Hadikusumo 40 Mr. Achmad Soebardjo 39
Koesnadi Hardjosomantri 217 Mr. Latuharhary 114
Kofi Annan 2
I A
Mr. Moh. Yamin 39

ED
Komisi Pemberantasan Korupsi Mr. Mohammad Hassan 114
(KPK) 229 Mr. Pudja 114
Kristen 60
A M Mr. Radjiman Wedyodiningrat 113

D
Kuntowijoyo 32 Muhammad Abduh 104
L
N A Multikulturalisme 70
Muslim 60

R
Legislatif 118 E
Larry Diamond 99
N
P
Liberalisasi 68
Living ideology 31
Nahdlatul Ulama (NU) 258
NASAKOM 154
LP3ES 262 Nasionalisme kosmopolitan 73
M Nasionalisme persatuan
dan kesatuan 72
M. Dawam Rahardjo 254
Nation and character building 5
M. Husain Haekal 104
Nation state 59
Machtsstaat 34, 93
Natural law 88
Madura 60
Nazir Pamontjak 171
Magna Charta 87, 166
Negarakertagama 36
Mahfud M.D. 136
Nurcholish Madjid 84
Majapahit 62
Nusantara 62-63
Majelis Konstituante 89

291
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN: PANCASILA, DEMOKRASI, & PENCEGAHAN KORUPSI

O R
Open ideology 31 R. William Liddle 103
Orde Baru 4 R.P. Soeroso 114
Radikalisasi 32
P Rashid Ghanoushi 101, 141
Panca Gatra 66 Rasionalisasi 21
Pancasila 59 Reaktualisasi 21
Pangeran Purboyo 114 Rechtsstaat 92, 93
Pangeran Soerjohamidjojo 114 Reformasi 1
Panitia Persiapan Kemerdekaan Reformasi birokrasi 234
Indonesia 41, 114 Rejuvenasi 2
Panitia Sembilan 39 Renaissance 88
Paradigma 3, 4
P
Renewal (pembaruan) 114

U
Partai Komunis Indonesia 42 Revitalisasi 4, 21
Pedoman Penghayatan & Pengamalan Revolusi Pancasila 33
O
GR
Pancasila 4 Robert A. Dahl 94
Penataran P4 4 Robert N. Bellah 112
Pendidikan Kewarganegaraan 1, 4
I A
Robert Wuthnow 254

ES D
Pendidikan Kewiraan 4
Pengusaha Muda Indonesia 94

AM
Pericles 81 Saiful Mujani 103
PERMESTA 192

AD
Persatuan Guru Republik Indonesia 94
Samuel P. Huntington 99
Security approach 66

E
Petty corruption 231, 233
N Sedarmayanti 211

R
PGRI 94 Selat Malaka 59

P
Philip K. Hitti 88
Philosofische groundslag 45
Seymour Martin Lipset 99
Sidney Hook 82
Piagam Jakarta 39, 154 Social contract 88
Plato 136 Soeharto 25-26, 45
PPKI 41, 114 Sri Soemantri 110
Prasetijo 211 Sriwijaya 62
Pressure/interest group 94 Stakeholders 213
Prof. Soepomo 38 State capture 232
Protestanisme Amerika 88 Steenbeck 110
PRRI 192 Supremacy of Law 95
Psikomotorik 4 Swatantra 143

292
INDEKS

Swiss 70 Universalisasi 68
Syarikat Islam (SI) 258 UUD 1945 122

T V
Tamaddun/civility 256 Vaclav Havel 81
The four freedoms 167
Theodore Roosevelt 167
W
Thomas Aquinas 136 Wawasan Kebangsaan 64
Thomas Hobbes 138 Wawasan Nusantara 64
Thomas Jefferson 82 Way life 45
Tri Gatra 67 Westernisasi 68
Trias politica 88, 118 Y
U
Umar Khayam 88
Yudi Latif 32
Yudikatif 118
U P
O
GR
Unicameral 120

I A
MED
D A
N A
R E
P

293
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P
Tentang Penulis

Achmad Ubaedillah, lahir di Tangerang, Banten Agustus 1967. Selepas me-


nyelesaikan tingkat sarjana di Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah Ja-

U P
karta (sekarang UIN Jakarta) pada tahun 1995 dan program magister di tempat

O
yang sama pada 2002, penulis yang sehari-harinya sebagai dosen Pendidikan Ke-

GR
warganegaraan (Civic Education) di FISIP UIN Jakarta ini mendapatkan kesem-
patan mengambil program master pada kajian Asia Tenggara di Ohio University,

I A
Athens, Amerika Serikat. Setamat dari Ohio University pada tahun 2004, setahun

ED
kemudian ayah tiga putri ini melanjutkan program doktor di bidang Sejarah Asia

M
Tenggara di University of Hawaii at Manoa, Honolulu, AS sekaligus sebagai peser-

D A
ta fellowship program East-West Center (EWC), sebuah lembaga riset dan kajian
strategis pada kampus tersebut. Setelah memperoleh gelar doktor dengan disertasi

N A
tentang gerakan tarekat di Sulawesi Selatan pada 2011, penulis kembali mengabdi

R E
di almamaternya dengan tetap menekuni bidang yang selama ini menjadi perhati-
annya: Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan), Islam dan Demokrasi, serta
P
gerakan Islam kontemporer, khususnya tarekat di Indonesia. Selain sebagai dosen,
penulis juga aktif sebagai trainer, curriculum developer, narasumber dan konsultan
pada kegiatan program, seminar dan workshop seputar Pendidikan Kewarganega-
raan dan Wawasan Kebangsaan di sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah
dan swasta. Saat ini penulis menjadi direktur Indonesian Center for Civic Education
(ICCE) UIN Jakarta.
U P
O
GR
I A
MED
D A
N A
R E
P

Anda mungkin juga menyukai