PEMBANGUNANPOLITIKJIP
PEMBANGUNANPOLITIKJIP
net/publication/320432532
CITATIONS READS
2 31,599
1 author:
Anyualatha Haridison
Universitas Palangka Raya
13 PUBLICATIONS 27 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
All content following this page was uploaded by Anyualatha Haridison on 16 October 2017.
PEMBANGUNAN POLITIK :
DEMOKRASI, GOVERNANCE DAN
SUPREMASI HUKUM
Anyualatha Haridison 1
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemahaman tentang pembangunan politik yang
mencakup variabel demokrasi, governance, dan supremasi hukum. Pembangunan politik ditandai
dengan proses perubahan sosial, khususnya dalam sistem politik. Namun perubahan sosial tidak
bisa disebut sebagai pembangunan politik. Demokrasi yang tidak lain adalah idealisasi dari
Pembangunan Politik, tidak begitu saja bisa dicapai tanpa pemerintahan yang bersih (good
governance) dan pelaksanaan supremasi hukum (rule of law) yang adil bagi seluruh tingkat
masyarakat. Dengan demikian, bila memahami pembangunan politik merupakan upaya perubahan
terus menerus sistem demokrasi yang didukung oleh governance dan penegakan hukum.
Persoalan minimnya pengetahuan atas ruang lingkup suatu ilmu atau kajian tertentu
kadangkala berujung pada blunder dalam penerapan ilmu tersebut ketika dihadapmukakan
dengan persoalan real yang ada di masyarakat. Khususnya bahasan tentang pembangunan,
demarkasinya teramat luas, karenanya para ahli berusaha menspesifikan kajian
pembangunan ke dalam sub-sub kajian tertentu, seperti: pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, pembangunan politik, pembangunan kebudayaan, dan lain-lain.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas luasan konsepsi pembangunan yang ada, tetapi
mengambil salah satu bagian saja, yaitu kajian pembangunan politik. Bahasan tentang
pembangunan politik dalam tulisan ini, belum menjadi sajian lengkap tetapi hanya memuat
ringkasan-ringkasan umum secara konseptual. Gagasan yang ingin disajikan dalam tulisan
ini, antara lain : (1) Makna Pembangunan Politik; (2) Demokrasi ; (3) Governance; (4)
supremasi hukum (rule of law). Keterkaitan antara demokrasi, governance dan supermasi
hukum merupakan core dari tulisan ini.
1
Staf Pengajar Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya
1
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
2
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
politik itu sudah tidak mampu memberikan yang dinginkan maka akan dipertanyakan
kemapanannya. Akibat dari itu, masing-masing individu dan kelompok kepentingan
kembali melakukan dekonstruksi terhadap sistem politik tadi dan terjadilah perubahan.
Pembangunan politik selalu berarti perubahan, akan tetapi tidak sebaliknya. Hal ini
dikarenakan bahwa pada satu pohak perubahan diperlukan untuk pembangunan, namun
pada pihak lain perubahan dapat pula menghambat pembangunan, walaupun dampak dari
perubahan sosial bisa saja memacu pembangunan. Dialektika antara pembangunan dan
perubahan sosial selalu ambigu dan kiranya dapat dijadikan bahan perdebatan lebih lanjut.
DEMOKRASI
Demokrasi sejati dimaknai sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat”. Menurut Schumpeter (1947) demokrasi adalah pengaturan kelembagaan
untuk mencapai keputusan-keputusan politik di mana individu-individu, melalui
perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan. Gagasan yang memandang demokrasi sebagai suatu sistem untuk memproses
konflik di mana partai yang kalah dalam pemilu tidak berusaha merusak rezim demi
mencapai tujuannya, tetapi bersedia menerima kenyataan dan menunggu putaran
pertarungan dalam pemilihan umum berikut.
Menurut Diamond (1997) demokrasi menunjukkan adanya kondisi alamiah yang
menekankan pada hak kewarganegaraan, hak asasi, penegakkan hukum, dan sebagainya.
Kemudian menurut Robert Dahl (2001), ilmuwan yang merumuskan tatanan politik yang
disebutnya poliarki (polyarchy), suatu istilah yang dipakainya untuk menyebut
‘demokrasi’. Menurutnya ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara
terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan poitik seperti
itu bisa digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu : (1) seberapa tinggi
tingkat kontestasi, kompetisi, oposisi yang dimungkinkan dan (2) seberapa banyak warga
negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.
Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan mempunyai tiga syarat pokok:
kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu-individu dan kelompok-
kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan
pemerintahan yang memiliki kekuasaan efektif, pada jangka waktu yang reguler dan tidak
melibatkan penggunaan daya paksa; partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin
warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui pemilihan
umum yang diselenggarakan secara reguler dan adil, sedemikian rupa sehingga tidak
satupun kelompok sosial (warga negara dewasa) yang dikecualikan; dan suatu tingkat
kebebasan sipil dan politik, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk
membentuk dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup menjamin integritas
kompetisi, dan partisipasi politik.
Untuk mengukur demokrasi, Moore (1995) mengetengahkan beberapa indikator :
(1) proporsi masyarakat yang memberikan suara; (2) pemilihan terbuka; (3) hasil
pemilihan kepala negara dan anggota legislatif; (4) perolehan suara oleh partai politik; (5)
proporsi masyarakat yang memberi suara; (6) kekuasaan legislatif yang melebihi eksekutif;
(7) kebebasan media massa; (8) kebebasan kelompok individual dan politik; (9) tidak ada
intervensi negara secara paksa.
Pertanyaan yang muncul bagaimana menjamin agar pemerintah selalu tanggap
terhadap kehendak rakyat atau berperilaku demokratis? . Menurut Dahl, untuk menjamin
itu rakyat harus diberi kesempatan: pertama, merumuskan preferensi atau kepentingannya
sendiri; kedua, memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan
kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektive; ketiga, mengusahakan
3
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan
pemerintah, artinya tidak didiskriminasi berdasar isi atau asal-usulnya.
Pengalaman di Eropa bahwa Industrialisasi bisa menghasilkan demokrasi. Ada
kecenderungan tertentu bahwa dalam kapitalisme hanya bisa bermanfaat bagi
demokratisasi kalau ada faktor-faktor yang mendukungnya. Industrialisasi tahap akhir di
Asia tidak didahului oleh demokratisasi; bahkan pembangunan industrial yang paling cepat
di wilayah itu justru dilakukan oleh masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang tidak
demokratis. Walaupun juga harus diakui proses industrialisasi itu semakin matang dan
kelas-kelas pemilik kapital semakin kuat dan percaya diri, kecenderungan ke arah
demokratisasi bisa muncul.
Dalam konteks pembangunan, demokrasi dimaknai dengan kerja sama antara
pemerintah dan oposisi demokratis, yaitu pola “transisi melalui transaksi” (Share) atau
“transformasi” dan “transplacement” (Huntington). Dalam hal ini pemerintah
dimungkinkan melakukan bargaining dengan masyarakat. Insentif bagi pemerintah
sehingga mau membuka diri terhadap pengaruh dari anggota masyarakat tentu saja adalah
kebutuhannya untuk menyelesaikan persoalan yang cukup mendasar dan strategis.
Mungkin saja isu-isu tersebut menyangkut dinamika akumulasi dan ekspansi kapital,
terutama upaya-upaya untuk mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan. Dengan
demikian demokratisasi dalam pembangunan adalah kemampuan pemerintah untuk
memperkecil wewenangnya dalam prosesisasi pembuatan kebijakan. Artinya dalam
melakukan kebijakan-kebijakan menyangkut pembangunan, pemerintah senantiasa
bernegosiasi dengan para pengusaha, individu berkaitan dengan jaminan yang ada.
Memberikan wewenangnya yang lebih besar bagi aktor di tingkat lokal untuk
mengembangkan dan mengelola sendiri sumberdayanya.
Dalam berbagai pendapat tentang demokrasi, ada sejumlah pihak yang
mengatakan bahwa kemajuan ekonomi sebuah negara menjadi tolak ukur kadar demokrasi.
Semakin maju ekonomi sebuah negara maka akan semakin tinggi kadar demokrasinya dan
sebaliknya. Namun, kenyataannya, negara sekaliber Amerika sebagai negara adi~maju,
belum bisa menjadi tolak ukur sebuah demokrasi sesungguhnya. Bagaimana mungkin bisa
jika negara penggiat demokrasi (Amerika) semakin membentangkan kesenjangan antar
kelompok, terdapat kelompok superkaya, kelompok penikmat privilese dan pada sisi lain
terdapat kelompok minoritas yang tersingkirkan (Wibowo,2011). Dengan demikian,
apakah memang demokrasi itu masih perlu, sebagaimana istilah Giddens “democratization
of democracy”~mengalami demokratisasi lagi atau tidak sama sekali. Bagi tinjauan
pembangunan politik, demokrasi masih perlu, karena merupakan idealisasi atau tujuan dari
pembangunan politik itu sendiri.
GOVERNANCE
Secara umum, pemerintahan berarti aktivitas yang dikontrol dengan mengacu
pada standar baku (established standard) yang ada. Penerapannya menekankan pada relasi
dan keterlibatan institusi dalam proses manajemen publik maupun urusan pribadi (private
affairs).
World Bank (1991) mendefinisikan governance sebagai: cara di mana kekuasaan
dilaksanakan dalam pengelolaan sumber daya suatu negara ekonomi dan sosial untuk
pembangunan. Penggunaan lembaga, struktur otoritas dan bahkan kolaborasi untuk
mengalokasikan sumber daya dan mengkoordinasikan atau mengontrol aktivitas dalam
masyarakat atau ekonomi (Bell,2002). Governance sebagai: (a) aktivitas atau proses
memerintah; (b) suatu kondisi dari aturan yang dijalankan; (c) orang-orang yang diberi
tugas memerintah atau pemerintah; (d) cara, metode, atau sistem di mana masyarakat
tertentu diperintah.
4
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
5
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
dalam sektor publik. Ini menekankan pada penguasaan manajemen profesional, standar
dan pengukuran kinerja yang jelas; mengelola berorientasi hasil; nilai uang; dan yang
terbaru: kedekatan dengan pelanggan. Ekonomi institusional baru mengacu kepada
pengenalan struktur insentif (seperti persaingan pasar) ke dalam kebijakan pelayanan
publik. Hal Ini menekankan kepada pemecahan birokrasi; persaingan yang lebih besar
melalui sistem kontrak dan pasar semu; dan pilihan pelanggan. MPB relevan dalam diskusi
mengenai governance karena pengendalian (steering) merupakan pusat untuk analisis
manajemen publik dan pengendalian sinonim dengan governance (Osborne dan Gaebler,
1992).
Governance sebagai Cara Mengendalikan Pemerintahan yang Baik.
Reformasi pemerintahan merupakan kecenderungan di seluruh dunia dan good government
merupakan kemauan terbaru dari Bank Dunia dalam melakukan kebijakan pemberian
bantuan kepada negara-negara Dunia Ketiga. Bagi Bank Dunia, governance merupakan
pelaksanaan kekuasaan politik untuk mengelola masalah-masalah negara dan “good
government”. Pelayan publik yang dapat diaudit dan memiliki akuntabilitas terbuka dan
efisien dengan birokrasi yang berkompetensi untuk membantu merancang dan menerapkan
kebijakan dan pengelolaan yang tepat pada sektor publik yang ada.
Governance sebagai Sistem Sosio-Sibernetik. “Sosio-Sibernetik” merupakan
bahasa yang masih samar, walaupun mentereng. Barangkali akan lebih banyak membantu
dalam memahami pengertian ini dengan mengemukakan pendapat Jan Kooiman mengenai
governance. Baginya Governance, dapat dilihat sebagai pola atau struktur yang muncul di
dalam sistem sosio-politik sebagai konsekuensi logis dari interaksi usaha-usaha campur
tangan yang melibatkan semua pihak secara khusus (Kooiman, 1993). Dengan kata lain,
hasil kebijakan bukan merupakan produk tindakan dari pemerintahan pusat. Pusat bisa saja
menetapkan hukum, tetapi sesudah itu ia menjadi urusan pemerintah lokal, badan
kesehatan, lembaga swadaya masyarakat, sektor privat, dan pada gilirannya menjadi
urusan bersama. Kooiman (1993) membedakan antara proses pemerintahan government
(atau intervensi yang berorientasi tujuan) dan cara mengendalikan pemerintahan
governance yang merupakan hasil (atau efek total) dan campur tangan dan interaksi yang
bersifat sosial-politis-administratif. Memang terdapat aturan di dalam bidang kebijakan,
tetapi hal itu bukanlah dipaksakan dari atas, melainkan tumbuh dari negosiasi-negosiasi
beberapa kelompok yang terlibat. Semua pihak dalam bidang kebijakan tertentu saling
memerlukan satu sama lain. Masing-masing dapat memberikan sumbangan pengetahuan
atau sumberdaya yang relevan. Tak satu pihak pun memiliki pengetahuan atau sumberdaya
yang relevan untuk menjalankan kebijakan dengan baik. Pemerintahan menghadapi
tantangan-tantangan sebagai konsekuensi dari digunakannya negara atau pasar sebagai
sandaran. Secara sosio-politis cara pemerintahan diarahkan kepada penciptaan pola-pola
interaksi di mana pemerintahan secara politis dan hierarkis tradisional, dan secara sosial
organisasi mandiri saling melengkapi, di mana responsibilitas dan akuntabilitas
intervensinya menyebar ke pihak publik dan privat (Kooiman, 1993).
Governance sebagai Jaringan-Jaringan Pengorganisasian Diri. Pengguna
istilah ini melihat governance sebagai istilah yang memiliki arti lebih luas daripada
government di mana pelayanan diberikan melalui pemerintah, sektor privat, dan lembaga
swadaya masyarakat secara bergantian. Jaringan antar-organisasi merupakan ciri
pengantaran pelayanan yang disebutkan dengan jelas dan Rhodes (1996) menggunakan
istilah jaringan untuk menggambarkan beberapa pihak yang terkait dalam rangka
pemberian pelayanan. Jaringan-jaringan ini dibuat oleh organisasi-organisasi tersebut
dengan saling mempertukarkan sumberdaya (misalnya, uang, informasi, keahlian) untuk
mencapai tujuannya, untuk memaksimalkan pengaruh mereka terhadap hasil, dan untuk
menghindari ketergantungan pada pihak lain dalam menjalankan perannya. Sebagaimana
6
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
SUPREMASI HUKUM
Supremasi hukum [dikenal dengan istilah rule of law merupakan suatu doktrin
hukum yang mulai muncul pada abad ke XIX, bersamaan dengan kelahiran Negara
berdasarkan hukum (konstitusi) dan demokrasi. Kehadiran rule of law boleh disebut
sebagai reaksi dan koreksi terhadap Negara absolute (kekuasaan di tangan penguasa) yang
telah berkembang sebelumnya.
Berdasarkan pengertiannya, Friedmann (1959) membedakan rule of law menjadi
2 yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/
materiil (ideological sense). Secara formal , rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum
yang terorganisir (organized public power) . Hal ini dapat diartikan bahwa setiap Negara
mempunyai aparat penegak hukum yang menyangkut ukuran yang baik dan buruk (just
and unjust law). Negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dan lembaga –
lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam Negara hukum, kekuasaan menjalankan
pemerintahan berdasarkan kedaulatan (supremasi hukum) dan bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum (Pasha, 2003). Rule of law pada hakikatnya
merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan “ bagi rakyat dan juga “
keadilan sosial “. Inti dari rule of law adalah adanya keadilan bagi masyarakat, teruatama
keadilan sosial.
Unsur – unsur rule of law menerurut AV Dicey terdiri dari : (a) Supremasi
hukum, dalam artian tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya
boleh dihukum jika melanggar hukum; (b) Kedudukan yang sama di depan hukum, baik
bagi rakyat baisa maupun bagi pejabat; (c) Terjamin hak-hak manusia dalam undang-
undang atau keputusan pengadilan.
Secara kuantatif, peraturan perundang – undangan yang terkait dengan rule of law
telah banyak dihasilkan di Indonesia, namun implementtasi / penegakannya belum
mencapai hasil yang optimal.sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule
of law belum dirasakan sebagian masyarakat.
Dasar pijakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum sekarang ini
tertuang dengan jelas pada pasal 1 ayat 3 Undang – Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga,
yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah Negara hukum “. Dimasukkanya ketentuan ini
ke dalam pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum bahwa Indonesia
harus dan merupakan Negara hukum. Dasar lain yang dapat dijadikan landasan bahwa
Indonesia adalah Negara hukum dalam arti materiil terdapat dalam pasal – pasal UUD
1945, sebagai berikut : (a) Pada Bab XIV tentang Perekonomian Negara dan kesejahteraan
sosial Pasal 33 dan pasal 34 Undang – Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa
Negara turut aktif dan bertanggung jawab atas perekonomian Negara dan kesejahteraan
rakyat; (b) Pada bagian penjelasan umum tentang pokok – pokok pikiran dalam
pembukaan juga dinyatakan perlunya turut serta dalam kesejahteraan rakyat.
7
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
8
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
harus didasarkan pada corak masyarakan hukum yang bersangkutan dan kepribadian
masing-masing setiap bangsa; (b) rule of law yang merupakan institusi sosial harus
didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa; (c) Rule of law
sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar
manusia, masyarakan dan negara, harus ditegakkan secara adil juga memihak pada
keadilan. Untuk mewujudkannya perlu hukum progresif (Raharjo, 2006), yang memihak
hanya pada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik atau keperluan lain. Asumsi
dasar hukum progresif bahwa ”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Hukum
progresif memuat kandungan moral yang kuat. Arah dan watak hukum yang dibangun
harus dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa yang
bersangkutan atau “back to law and order”.
PENUTUP
Pembangunan politik ditandai dengan proses perubahan sosial, khususnya dalam
sistem politik. Namun perubahan sosial tidak bisa disebut sebagai pembangunan politik.
variabel pembangunan politik yang disinggung dalam tulisan ini adalah demokrasi,
governance dan supremasi hukum. Jelaslah bahwa demokrasi yang adil adalah tujuan
pembangunan politik negara-bangsa di dunia. Sehingga untuk membangunan sebuah
demokrasi yang sejati mesti melibatkan sinergitas berbagai aspek. Dalam karya mengenai
demokratisasi adalah bahwa mayoritas ilmuwan menghasilkan kesimpulan yang sama,
bahwa transisi ke arah demokrasi disebabkan oleh perilaku elit. Wajib sepakat bahwa
kalau terdapat dalam lingkungan struktural yang sangat tidak menguntungkan bagi
demokratisasi, seringkali terjadi karena ketidakmampuan para politisi untuk menghasilkan
reformasi ekonomi dan inovasi pelembagaan yang diperlikan bagi tumbuhnya demokrasi.
Untuk mencapai demokrasi yang diharapkan maka tidak bisa lepas dari peran
good governance dan supremasi hukum yang tegak. Dalam konteks pembangunan,
kekuatan pemerintah dalam melakukan proses pembuatan dan penerapan kebijakan
pembangunan yang jauh dari pengaruh rakyat telah berhasil membawa akumulasi kapital
dan keberhasilan industrialisasi. Penerapan “good gevernance”, yaitu prinsip mengatur
pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengendaliannya
bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggung jawab pada publik dan di mana
mekanisme pasar merupakan pertimbangan utama dalam proses pembuatan keputusan
mengenai alokasi sumber daya. Pada gilirannya proses demokratisasi tersebut mulai
digalakkan, yaitu adanya jaminan dari kedua belah pihak.
Pentingnya komitmen para pemimpin politik yang kuat terhadap demokrasi
sehingga menolak penerapan kekerasan dan sarana yang ilegal dan tidak konstitusional
untuk mengejar kekuasaan. Komitmen yang kuat terhadap demokrasi hendaknya disertai
dengan supremasi hukum yang kuat pula. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan
pembangunan, kekuasaan tidak mudah diselewengkan oleh penguasa. Karena demokrasi
adalah tujuan dari pembangunan politik maka demokrasi baru bisa tercapai bila berada
dalam sistem pemerintahan yang bersih (good governance) serta pelaksanaan penegakan
hukum yang adil.
9
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
DAFTAR PUSTAKA
10
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985
11