Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/320432532

Pembangunan Politik : Demokrasi, Governance, dan Supremasi Hukum

Article · January 2013

CITATIONS READS

2 31,599

1 author:

Anyualatha Haridison
Universitas Palangka Raya
13 PUBLICATIONS 27 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Social Capital View project

STRATEGI PENGAWASAN PEMILU View project

All content following this page was uploaded by Anyualatha Haridison on 16 October 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

PEMBANGUNAN POLITIK :
DEMOKRASI, GOVERNANCE DAN
SUPREMASI HUKUM

Anyualatha Haridison 1

ABSTRAK

Tulisan ini bertujuan untuk mengeksplorasi pemahaman tentang pembangunan politik yang
mencakup variabel demokrasi, governance, dan supremasi hukum. Pembangunan politik ditandai
dengan proses perubahan sosial, khususnya dalam sistem politik. Namun perubahan sosial tidak
bisa disebut sebagai pembangunan politik. Demokrasi yang tidak lain adalah idealisasi dari
Pembangunan Politik, tidak begitu saja bisa dicapai tanpa pemerintahan yang bersih (good
governance) dan pelaksanaan supremasi hukum (rule of law) yang adil bagi seluruh tingkat
masyarakat. Dengan demikian, bila memahami pembangunan politik merupakan upaya perubahan
terus menerus sistem demokrasi yang didukung oleh governance dan penegakan hukum.

Kata Kunci : Pembangunan, Demokrasi, Governance, Supremasi Hukum (rule of law)

Persoalan minimnya pengetahuan atas ruang lingkup suatu ilmu atau kajian tertentu
kadangkala berujung pada blunder dalam penerapan ilmu tersebut ketika dihadapmukakan
dengan persoalan real yang ada di masyarakat. Khususnya bahasan tentang pembangunan,
demarkasinya teramat luas, karenanya para ahli berusaha menspesifikan kajian
pembangunan ke dalam sub-sub kajian tertentu, seperti: pembangunan ekonomi,
pembangunan sosial, pembangunan politik, pembangunan kebudayaan, dan lain-lain.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas luasan konsepsi pembangunan yang ada, tetapi
mengambil salah satu bagian saja, yaitu kajian pembangunan politik. Bahasan tentang
pembangunan politik dalam tulisan ini, belum menjadi sajian lengkap tetapi hanya memuat
ringkasan-ringkasan umum secara konseptual. Gagasan yang ingin disajikan dalam tulisan
ini, antara lain : (1) Makna Pembangunan Politik; (2) Demokrasi ; (3) Governance; (4)
supremasi hukum (rule of law). Keterkaitan antara demokrasi, governance dan supermasi
hukum merupakan core dari tulisan ini.

MAKNA PEMBANGUNAN POLITIK

1
Staf Pengajar Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Palangka Raya

1
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

Terminologi pembangunan politik [political development] mulai mengemuka


pada dekade tahun 1950 ketika sejumlah ilmuwan politik Amerika mencoba melakukan
kajian tentang dinamika politik kemunculan negara-negara baru di Asia, Afrika dan
Amerika Latin. Studi itu dilakukan dengan menghitung data kuantitatif dan statistik atas
aspek demografi, sosial, politik dan ekonomi negara-negara tersebut dan kemudian
menganalisis sikap, nilai dan pola-pola perilaku masyarakat. Untuk lebih mendalam
kembali akan diulas makna pembangunan politik menurut para ilmuwan yang concern
terhadap terminologi ini.
Learner (1958) memahami pembangunan politik sebagai modernisasi politik,
yaitu sebagai gejala diterapkannya kontrol rasionalitas atas kekuasaan dan keberlanjutan
tujuan manusia dalam lingkungan fisik dan sosial. Bagi Almond (….) Proses diferensiasi
dari struktur politik dan sekularisasi dari kebudayaan politik rupanya menciptakan sebuah
efektivitas dan efisiensi dari masyarakat dalam sistem politik.
Pye (1969) mengidentifikasi tiga level atribut dalam pembangunan politik, yakni
equality, capacity, differentiation. (1) equality (persamaan) adalah keterlibatan masyarakat
dalam kegiatan-kegiatan politik, seperti kegiatan masyarakat untuk memengaruhi
pengambilan keputusan pemerintah. Kegiatan-kegiatan tersebut bisa dilakukan secara
spontan dan terorganisir, sporadik, damai atau kekerasan, legal atau tidak legal, efektif
atau tidak efektif. (2) capacity (kapasitas) merupakan adaptasi dan potensi kreatif yang
dimiliki seseorang untuk memanipulasi lingkungannya. Kemampuan personal dan
kelompok ini berdampak pada potensi untuk memengaruhi sistem politik untuk menangani
kompleksitas masalah-masalah dalam masyarakat, baik politik, ekonomi dan sosial.
(3) differentiation (diferensiasi) merupakan proses pemisahan secara progresif dan
spesialisasi atas peran, institusi dan asosiasi dalam pengembangan sistem politik. Misalnya
saja peran dalam lembaga pemerintahan : legislatif, eksekutif dan yudikatif.
Huntington (1968) menggarisbawahi bahwa pembangunan politik bukan
merupakan fenomena tunggal tetapi berdimensi jamak. Konsep pembangunan politik
menurutnya bisa dilihat secara geografis, derivatif, teleologis dan fungsional. (1) geografis
berarti telah terjadi perubahan politik pada negara-negara sedang berkembang dengan
menggunakan konsep-konsep dan metode-metode yang pernah digunakan oleh negara
maju. Tentunya fenomena ini berdampak pada kapasitas dan instabilitas sistem politik. (2)
derivatif berarti pembangunan politik merupakan aspek dan konsekuensi politik dari
proses perubahan secara menyeluruh, yakni konsekuensi pada economic growth,
urbanisasi, peningkatan pendidikan, media massa, dan banyak lagi. (3) teleologis dipahami
sebagai sebuah proses perubahan menuju suatu tujuan tertentu dari sistem politik, seperti
stabilitas politik, integrasi politik, demokrasi, penegakan hukum, good governance, dan
lain sebagainya. (4) fungsional adalah suatu proses perubahan menuju sistem politik yang
ideal yang ingin dikembangkan oleh suatu negara.
Selanjutnya Pye (1966) juga menerangkan beberapa aspek dari pembangunan
politik, yang diinterpretasikan sebagai development syndrome, di antaranya pembangunan
politik sebagai : (1) politik pembangunan; (2) ciri khas politik masyarakat industri;
(3) modernisasi politik; (4) operasi negara-bangsa; (5) pembangunan administrasi dan
hukum; (6) mobilisasi dan partisipasi masyarakat; (7) postur demokrasi; (8) perubahan
teratur dan stabilitas; (9) mobilisasi dan kekuasaan; (10) salah satu aspek proses perubahan
sosial yang multidimensi.
Bila mencermati pandangan beberapa ilmuwan politik tadi, maka objek formal
dari pembangunan politik terletak pada aktivitas-aktivitas dalam sistem politik itu sendiri.
Aktivitas-aktivitas dalam sistem politik memengaruhi dinamika dan mobilisasi sebuah
kekuasaan. Pada satu kondisi apabila sistem politik tersebut dapat mengakomodir tujuan
politik individu atau kelompok maka sistem tersebut akan mapan. Sebaliknya ketika sistem

2
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

politik itu sudah tidak mampu memberikan yang dinginkan maka akan dipertanyakan
kemapanannya. Akibat dari itu, masing-masing individu dan kelompok kepentingan
kembali melakukan dekonstruksi terhadap sistem politik tadi dan terjadilah perubahan.
Pembangunan politik selalu berarti perubahan, akan tetapi tidak sebaliknya. Hal ini
dikarenakan bahwa pada satu pohak perubahan diperlukan untuk pembangunan, namun
pada pihak lain perubahan dapat pula menghambat pembangunan, walaupun dampak dari
perubahan sosial bisa saja memacu pembangunan. Dialektika antara pembangunan dan
perubahan sosial selalu ambigu dan kiranya dapat dijadikan bahan perdebatan lebih lanjut.

DEMOKRASI
Demokrasi sejati dimaknai sebagai “pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan
untuk rakyat”. Menurut Schumpeter (1947) demokrasi adalah pengaturan kelembagaan
untuk mencapai keputusan-keputusan politik di mana individu-individu, melalui
perjuangan memperebutkan suara rakyat pemilih, memperoleh kekuasaan untuk membuat
keputusan. Gagasan yang memandang demokrasi sebagai suatu sistem untuk memproses
konflik di mana partai yang kalah dalam pemilu tidak berusaha merusak rezim demi
mencapai tujuannya, tetapi bersedia menerima kenyataan dan menunggu putaran
pertarungan dalam pemilihan umum berikut.
Menurut Diamond (1997) demokrasi menunjukkan adanya kondisi alamiah yang
menekankan pada hak kewarganegaraan, hak asasi, penegakkan hukum, dan sebagainya.
Kemudian menurut Robert Dahl (2001), ilmuwan yang merumuskan tatanan politik yang
disebutnya poliarki (polyarchy), suatu istilah yang dipakainya untuk menyebut
‘demokrasi’. Menurutnya ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara
terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya. Tatanan poitik seperti
itu bisa digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu : (1) seberapa tinggi
tingkat kontestasi, kompetisi, oposisi yang dimungkinkan dan (2) seberapa banyak warga
negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.
Demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan mempunyai tiga syarat pokok:
kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu-individu dan kelompok-
kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan
pemerintahan yang memiliki kekuasaan efektif, pada jangka waktu yang reguler dan tidak
melibatkan penggunaan daya paksa; partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin
warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui pemilihan
umum yang diselenggarakan secara reguler dan adil, sedemikian rupa sehingga tidak
satupun kelompok sosial (warga negara dewasa) yang dikecualikan; dan suatu tingkat
kebebasan sipil dan politik, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk
membentuk dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup menjamin integritas
kompetisi, dan partisipasi politik.
Untuk mengukur demokrasi, Moore (1995) mengetengahkan beberapa indikator :
(1) proporsi masyarakat yang memberikan suara; (2) pemilihan terbuka; (3) hasil
pemilihan kepala negara dan anggota legislatif; (4) perolehan suara oleh partai politik; (5)
proporsi masyarakat yang memberi suara; (6) kekuasaan legislatif yang melebihi eksekutif;
(7) kebebasan media massa; (8) kebebasan kelompok individual dan politik; (9) tidak ada
intervensi negara secara paksa.
Pertanyaan yang muncul bagaimana menjamin agar pemerintah selalu tanggap
terhadap kehendak rakyat atau berperilaku demokratis? . Menurut Dahl, untuk menjamin
itu rakyat harus diberi kesempatan: pertama, merumuskan preferensi atau kepentingannya
sendiri; kedua, memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan
kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektive; ketiga, mengusahakan

3
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan
pemerintah, artinya tidak didiskriminasi berdasar isi atau asal-usulnya.
Pengalaman di Eropa bahwa Industrialisasi bisa menghasilkan demokrasi. Ada
kecenderungan tertentu bahwa dalam kapitalisme hanya bisa bermanfaat bagi
demokratisasi kalau ada faktor-faktor yang mendukungnya. Industrialisasi tahap akhir di
Asia tidak didahului oleh demokratisasi; bahkan pembangunan industrial yang paling cepat
di wilayah itu justru dilakukan oleh masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang tidak
demokratis. Walaupun juga harus diakui proses industrialisasi itu semakin matang dan
kelas-kelas pemilik kapital semakin kuat dan percaya diri, kecenderungan ke arah
demokratisasi bisa muncul.
Dalam konteks pembangunan, demokrasi dimaknai dengan kerja sama antara
pemerintah dan oposisi demokratis, yaitu pola “transisi melalui transaksi” (Share) atau
“transformasi” dan “transplacement” (Huntington). Dalam hal ini pemerintah
dimungkinkan melakukan bargaining dengan masyarakat. Insentif bagi pemerintah
sehingga mau membuka diri terhadap pengaruh dari anggota masyarakat tentu saja adalah
kebutuhannya untuk menyelesaikan persoalan yang cukup mendasar dan strategis.
Mungkin saja isu-isu tersebut menyangkut dinamika akumulasi dan ekspansi kapital,
terutama upaya-upaya untuk mereproduksi kondisi-kondisi yang memungkinkan. Dengan
demikian demokratisasi dalam pembangunan adalah kemampuan pemerintah untuk
memperkecil wewenangnya dalam prosesisasi pembuatan kebijakan. Artinya dalam
melakukan kebijakan-kebijakan menyangkut pembangunan, pemerintah senantiasa
bernegosiasi dengan para pengusaha, individu berkaitan dengan jaminan yang ada.
Memberikan wewenangnya yang lebih besar bagi aktor di tingkat lokal untuk
mengembangkan dan mengelola sendiri sumberdayanya.
Dalam berbagai pendapat tentang demokrasi, ada sejumlah pihak yang
mengatakan bahwa kemajuan ekonomi sebuah negara menjadi tolak ukur kadar demokrasi.
Semakin maju ekonomi sebuah negara maka akan semakin tinggi kadar demokrasinya dan
sebaliknya. Namun, kenyataannya, negara sekaliber Amerika sebagai negara adi~maju,
belum bisa menjadi tolak ukur sebuah demokrasi sesungguhnya. Bagaimana mungkin bisa
jika negara penggiat demokrasi (Amerika) semakin membentangkan kesenjangan antar
kelompok, terdapat kelompok superkaya, kelompok penikmat privilese dan pada sisi lain
terdapat kelompok minoritas yang tersingkirkan (Wibowo,2011). Dengan demikian,
apakah memang demokrasi itu masih perlu, sebagaimana istilah Giddens “democratization
of democracy”~mengalami demokratisasi lagi atau tidak sama sekali. Bagi tinjauan
pembangunan politik, demokrasi masih perlu, karena merupakan idealisasi atau tujuan dari
pembangunan politik itu sendiri.

GOVERNANCE
Secara umum, pemerintahan berarti aktivitas yang dikontrol dengan mengacu
pada standar baku (established standard) yang ada. Penerapannya menekankan pada relasi
dan keterlibatan institusi dalam proses manajemen publik maupun urusan pribadi (private
affairs).
World Bank (1991) mendefinisikan governance sebagai: cara di mana kekuasaan
dilaksanakan dalam pengelolaan sumber daya suatu negara ekonomi dan sosial untuk
pembangunan. Penggunaan lembaga, struktur otoritas dan bahkan kolaborasi untuk
mengalokasikan sumber daya dan mengkoordinasikan atau mengontrol aktivitas dalam
masyarakat atau ekonomi (Bell,2002). Governance sebagai: (a) aktivitas atau proses
memerintah; (b) suatu kondisi dari aturan yang dijalankan; (c) orang-orang yang diberi
tugas memerintah atau pemerintah; (d) cara, metode, atau sistem di mana masyarakat
tertentu diperintah.

4
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

Penggunaan istilah governance bukan merupakan sinonim dari government,


padahal dalam kamus-kamus konvensional kedua istilah itu dipersamakan. Governance
mengalami perubahan makna yang berarti dari government, mengacu pada proses
pemerintahan; atau kondisi yang berubah dari pelaksanaan aturan; atau metode baru untuk
memerintah masyarakat. Sejauh ini sebenarnya sederhana, tetapi masalah definisi menjadi
kompleks ketika meninjau secara khusus proses, kondisi, atau metode akhir-akhir ini.
Rhodes (1996) memahami governance dalam arti : (a) sebagai “good government”;
(b) sebagai negara dalam keadaan minimal; (c) sebagai cara menjalankan perusahaan;
(d) sebagai manajemen publik baru; (e) sebagai cara memerintah yang baik; (f) sebagai
sistem sosio-sibernetik; (g) sebagai jaringan pengorganisasian diri.
Governance sebagai “Good Government”. Sebagian besar definisi yang secara
politik digunakan oleh Departemen Pembangunan Internasional adalah dengan label “good
government”. Definisi ini terdiri dari empat komponen utama. Legitimacy yang
menyiratkan bahwa suatu sistem pemerintah mesti berlangsung dengan meletakkan
kepedulian terhadap yang diperintah, yang karena itu, harus memiliki perlengkapan untuk
memberikan atau menegakkan persetujuan itu: legitimasi semacam itu, misalnya, dapat
dilihat dalam dokumen kebijakan di Inggris yang tampaknya dijamin dengan adanya
demokrasi pluralis, sistem multipartai. Accountability yang meliputi adanya mekanisme-
mekanisme yang menjamin bahwa para pejabat publik dan pemimpin politik bertanggung-
jawab terhadap tindakan-tindakan mereka dan terhadap penggunaan sumberdaya publik,
dan adanya kemauan terhadap pemerintah yang terbuka dan media yang bebas.
Competence dalam membuat dan melaksanakan kebijakan-kebijakan publik yang tepat dan
memberikan pelayanan publik yang efisien, sementara penghargaan terhadap hukum dan
perlindungan terhadap hak-hak azasi manusia menjadi penopang seluruh sistem
pemerintahan yang baik.
Governance sebagai Negara dalam Keadaan Minimal. Penggunaan istilah ini
merupakan suatu istilah yang didefinisikan kembali yang diperluas dan bentuk dari
intervensi publik dan penggunaan pasar dalam memberikan “pelayanan publik”. Dengan
menerapkan istilah yang cocok, maka governance merupakan pemotongan anggaran yang
diterima. Besarnya perubahan merupakan hal masih diperdebatkan. Ukuran pemerintahan
dikurangi dengan privatisasi dan pemotongan dalam pelayanan sipil. Tetapi, anggaran
publik secara kasar masih tetap sebagai proporsi GDP; angkatan kerja meningkat tipis
pada pemerintahan lokal dan pelayanan kesehatan nasional. Apa pun hasilnya di dalam
praktik, acuan ideologis terhadap berkurangnya kekuasaan pemerintah telah dinyatakan
dengan lantang dan sering. Governance meliputi acuan seperti itu, namun sedikit berbeda
dari retorika politik.
Governance sebagai Cara Pengelolaan Perusahaan. Penggunaan istilah ini
secara khusus merujuk pada “sistem di mana organisasi diarahkan dan dikontrol”. Peranan
governance bukan pada menjalankan bisnis perusahaan semata, melainkan memberikan
seluruh arahan kepada perusahaan, dengan mengatur dan mengawasi tindakan para
eksekutif manajemen dan dengan pemuasan harapan-harapan yang sah terhadap
akuntabilitas dan regulasi oleh minat-minat di luar batas-batas perusahaan (Tricker, 1984).
Pengembangan dari hal semacam itu sebagai tawaran kompetitif yang bersifat wajib,
penciptaan unit bisnis yang berciri khas dalam pasar internal dan pengenalan secara umum
dari gaya manajemen yang lebih komersial membawa budaya dan iklim yang berbeda,
yang menunjukkan suatu perubahan dari etos pelayanan publik yang tradisional, dan nilai-
nilainya mengenai pelayanan yang tidak menarik dan terbuka.
Governance sebagai Manajemen Publik Baru. Secara ringkas “manajemen
publik baru” (MPB) memiliki dua arti: manajerialisme dan ekonomi institusional baru.
Manajerialisme mengacu pada pengenalan metode-metode manajemen sektor privat ke

5
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

dalam sektor publik. Ini menekankan pada penguasaan manajemen profesional, standar
dan pengukuran kinerja yang jelas; mengelola berorientasi hasil; nilai uang; dan yang
terbaru: kedekatan dengan pelanggan. Ekonomi institusional baru mengacu kepada
pengenalan struktur insentif (seperti persaingan pasar) ke dalam kebijakan pelayanan
publik. Hal Ini menekankan kepada pemecahan birokrasi; persaingan yang lebih besar
melalui sistem kontrak dan pasar semu; dan pilihan pelanggan. MPB relevan dalam diskusi
mengenai governance karena pengendalian (steering) merupakan pusat untuk analisis
manajemen publik dan pengendalian sinonim dengan governance (Osborne dan Gaebler,
1992).
Governance sebagai Cara Mengendalikan Pemerintahan yang Baik.
Reformasi pemerintahan merupakan kecenderungan di seluruh dunia dan good government
merupakan kemauan terbaru dari Bank Dunia dalam melakukan kebijakan pemberian
bantuan kepada negara-negara Dunia Ketiga. Bagi Bank Dunia, governance merupakan
pelaksanaan kekuasaan politik untuk mengelola masalah-masalah negara dan “good
government”. Pelayan publik yang dapat diaudit dan memiliki akuntabilitas terbuka dan
efisien dengan birokrasi yang berkompetensi untuk membantu merancang dan menerapkan
kebijakan dan pengelolaan yang tepat pada sektor publik yang ada.
Governance sebagai Sistem Sosio-Sibernetik. “Sosio-Sibernetik” merupakan
bahasa yang masih samar, walaupun mentereng. Barangkali akan lebih banyak membantu
dalam memahami pengertian ini dengan mengemukakan pendapat Jan Kooiman mengenai
governance. Baginya Governance, dapat dilihat sebagai pola atau struktur yang muncul di
dalam sistem sosio-politik sebagai konsekuensi logis dari interaksi usaha-usaha campur
tangan yang melibatkan semua pihak secara khusus (Kooiman, 1993). Dengan kata lain,
hasil kebijakan bukan merupakan produk tindakan dari pemerintahan pusat. Pusat bisa saja
menetapkan hukum, tetapi sesudah itu ia menjadi urusan pemerintah lokal, badan
kesehatan, lembaga swadaya masyarakat, sektor privat, dan pada gilirannya menjadi
urusan bersama. Kooiman (1993) membedakan antara proses pemerintahan government
(atau intervensi yang berorientasi tujuan) dan cara mengendalikan pemerintahan
governance yang merupakan hasil (atau efek total) dan campur tangan dan interaksi yang
bersifat sosial-politis-administratif. Memang terdapat aturan di dalam bidang kebijakan,
tetapi hal itu bukanlah dipaksakan dari atas, melainkan tumbuh dari negosiasi-negosiasi
beberapa kelompok yang terlibat. Semua pihak dalam bidang kebijakan tertentu saling
memerlukan satu sama lain. Masing-masing dapat memberikan sumbangan pengetahuan
atau sumberdaya yang relevan. Tak satu pihak pun memiliki pengetahuan atau sumberdaya
yang relevan untuk menjalankan kebijakan dengan baik. Pemerintahan menghadapi
tantangan-tantangan sebagai konsekuensi dari digunakannya negara atau pasar sebagai
sandaran. Secara sosio-politis cara pemerintahan diarahkan kepada penciptaan pola-pola
interaksi di mana pemerintahan secara politis dan hierarkis tradisional, dan secara sosial
organisasi mandiri saling melengkapi, di mana responsibilitas dan akuntabilitas
intervensinya menyebar ke pihak publik dan privat (Kooiman, 1993).
Governance sebagai Jaringan-Jaringan Pengorganisasian Diri. Pengguna
istilah ini melihat governance sebagai istilah yang memiliki arti lebih luas daripada
government di mana pelayanan diberikan melalui pemerintah, sektor privat, dan lembaga
swadaya masyarakat secara bergantian. Jaringan antar-organisasi merupakan ciri
pengantaran pelayanan yang disebutkan dengan jelas dan Rhodes (1996) menggunakan
istilah jaringan untuk menggambarkan beberapa pihak yang terkait dalam rangka
pemberian pelayanan. Jaringan-jaringan ini dibuat oleh organisasi-organisasi tersebut
dengan saling mempertukarkan sumberdaya (misalnya, uang, informasi, keahlian) untuk
mencapai tujuannya, untuk memaksimalkan pengaruh mereka terhadap hasil, dan untuk
menghindari ketergantungan pada pihak lain dalam menjalankan perannya. Sebagaimana

6
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

dimaklumi, pemerintah-pemerintah menciptakan lembaga-lembaga, melangkahi


pemerintah lokal, menggunakan lembaga-lembaga yang mengemban tugas khusus untuk
memberikan pelayanan, dan mendorong kemitraan sektor publik-privat, sehingga kian
lama jaringan-jaringan itu mencapai kedudukan penting di antara struktur-struktur
pemerintahan. Memang, manajemen publik “membuat sesuatu bekerja melalui organisasi
lain” dan melihat dengan kritis reformasi manajerial dalam manajemen pelayanan publik
demi mengonsentrasikan diri pada manajemen internal. Governance kira-kira merupakan
usaha mengelola jaringan-jaringan itu.

SUPREMASI HUKUM
Supremasi hukum [dikenal dengan istilah rule of law merupakan suatu doktrin
hukum yang mulai muncul pada abad ke XIX, bersamaan dengan kelahiran Negara
berdasarkan hukum (konstitusi) dan demokrasi. Kehadiran rule of law boleh disebut
sebagai reaksi dan koreksi terhadap Negara absolute (kekuasaan di tangan penguasa) yang
telah berkembang sebelumnya.
Berdasarkan pengertiannya, Friedmann (1959) membedakan rule of law menjadi
2 yaitu pengertian secara formal (in the formal sense) dan pengertian secara hakiki/
materiil (ideological sense). Secara formal , rule of law diartikan sebagai kekuasaan umum
yang terorganisir (organized public power) . Hal ini dapat diartikan bahwa setiap Negara
mempunyai aparat penegak hukum yang menyangkut ukuran yang baik dan buruk (just
and unjust law). Negara yang penyelenggaraan kekuasaan pemerintah dan lembaga –
lembaga lain dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Dalam Negara hukum, kekuasaan menjalankan
pemerintahan berdasarkan kedaulatan (supremasi hukum) dan bertujuan untuk
menyelenggarakan ketertiban hukum (Pasha, 2003). Rule of law pada hakikatnya
merupakan jaminan secara formal terhadap “rasa keadilan “ bagi rakyat dan juga “
keadilan sosial “. Inti dari rule of law adalah adanya keadilan bagi masyarakat, teruatama
keadilan sosial.
Unsur – unsur rule of law menerurut AV Dicey terdiri dari : (a) Supremasi
hukum, dalam artian tidak boleh ada kesewenang-wenangan, sehingga seseorang hanya
boleh dihukum jika melanggar hukum; (b) Kedudukan yang sama di depan hukum, baik
bagi rakyat baisa maupun bagi pejabat; (c) Terjamin hak-hak manusia dalam undang-
undang atau keputusan pengadilan.
Secara kuantatif, peraturan perundang – undangan yang terkait dengan rule of law
telah banyak dihasilkan di Indonesia, namun implementtasi / penegakannya belum
mencapai hasil yang optimal.sehingga rasa keadilan sebagai perwujudan pelaksanaan rule
of law belum dirasakan sebagian masyarakat.
Dasar pijakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum sekarang ini
tertuang dengan jelas pada pasal 1 ayat 3 Undang – Undang Dasar 1945 Perubahan Ketiga,
yang berbunyi “ Negara Indonesia adalah Negara hukum “. Dimasukkanya ketentuan ini
ke dalam pasal UUD 1945 menunjukkan semakin kuatnya dasar hukum bahwa Indonesia
harus dan merupakan Negara hukum. Dasar lain yang dapat dijadikan landasan bahwa
Indonesia adalah Negara hukum dalam arti materiil terdapat dalam pasal – pasal UUD
1945, sebagai berikut : (a) Pada Bab XIV tentang Perekonomian Negara dan kesejahteraan
sosial Pasal 33 dan pasal 34 Undang – Undang Dasar 1945, yang menegaskan bahwa
Negara turut aktif dan bertanggung jawab atas perekonomian Negara dan kesejahteraan
rakyat; (b) Pada bagian penjelasan umum tentang pokok – pokok pikiran dalam
pembukaan juga dinyatakan perlunya turut serta dalam kesejahteraan rakyat.

7
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

Pelaksanaan rule of law mengandung keinginan untuk terciptanya Negara hukum,


yang membawa keadilan bagi seluruh rakyat. Penegakan rule of law harus diartikan secara
hakiki (materil) yaitu dalam arti pelaksanaan dari just law. Prinsip – prinsip rule of law
secara hakiki sangat erat kaitannya dengan “the enforcement of the rules of law “ dalam
penyelenggaraan pemerintahan terutama dalam hal penegakan hukum dan implementasi
prinsip – prinsipnya.
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalulintas
atau hubungan–hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau
dari sudut subyeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan
dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua subyek hukum
dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma
aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subyeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai
upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan tegaknya
hukum itu. Apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk
menggunakan daya paksa.
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut obyeknya, yaitu
dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan
sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pada nilai-nilai keadilan yang
terkandung di dalam bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan
peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan “law
enforcement” ke dalam bahasa indonesia dalam menggunakan perkataan “Penegakan
Hukum” dalam arti luas dapat pula digunakan istilah “Penegakan Peraturan” dalam arti
sempit. Pembedaan antara formalita aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai
keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan
dikembangkannya istilah “the rule of law” atau dalam istilah “ the rule of law and not of a
man” versus istilah “ the rule by law” yang berarti “the rule of man by law”. Dalam istilah
“ the rule of law” terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya
yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya.
Karenanya, digunakan istilah “the rule of just law”. Dalam istilah “the rule of law and not
of man”, dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu
negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya
adalah “the rule by law” yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang
menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Dengan uraian diatas jelaslah kiranya bahwa yang dimaksud dengan penegakan
hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik
dalam artian formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman
perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan
maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh
Undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dari pengertian yang luas itu, pembahasan kita
tentang penegakan hukum dapat kita tentukan sendiri batas-batasnya apakah kita akan
membahas keseluruhan aspek dan dimensi penegakan hukum itu, baik dari segi subyeknya
maupun obyeknya atau kita batasi haya membahas hal-hal tertentu saja, misalnya hanya
menelaah aspek-aspek subyektif saja.
Agar pelaksanaan rule of law dalam arti penegakan hukum bisa berjalan sesuai
dengan yang diharapkan, maka : (a) Keberhasilan “the enforcement of the rules of law”

8
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

harus didasarkan pada corak masyarakan hukum yang bersangkutan dan kepribadian
masing-masing setiap bangsa; (b) rule of law yang merupakan institusi sosial harus
didasarkan pada budaya yang tumbuh dan berkembang pada bangsa; (c) Rule of law
sebagai suatu legalisme yang memuat wawasan sosial, gagasan tentang hubungan antar
manusia, masyarakan dan negara, harus ditegakkan secara adil juga memihak pada
keadilan. Untuk mewujudkannya perlu hukum progresif (Raharjo, 2006), yang memihak
hanya pada keadilan itu sendiri, bukan sebagai alat politik atau keperluan lain. Asumsi
dasar hukum progresif bahwa ”hukum adalah untuk manusia”, bukan sebaliknya. Hukum
progresif memuat kandungan moral yang kuat. Arah dan watak hukum yang dibangun
harus dalam hubungan yang sinergis dengan kekayaan yang dimiliki bangsa yang
bersangkutan atau “back to law and order”.

PENUTUP
Pembangunan politik ditandai dengan proses perubahan sosial, khususnya dalam
sistem politik. Namun perubahan sosial tidak bisa disebut sebagai pembangunan politik.
variabel pembangunan politik yang disinggung dalam tulisan ini adalah demokrasi,
governance dan supremasi hukum. Jelaslah bahwa demokrasi yang adil adalah tujuan
pembangunan politik negara-bangsa di dunia. Sehingga untuk membangunan sebuah
demokrasi yang sejati mesti melibatkan sinergitas berbagai aspek. Dalam karya mengenai
demokratisasi adalah bahwa mayoritas ilmuwan menghasilkan kesimpulan yang sama,
bahwa transisi ke arah demokrasi disebabkan oleh perilaku elit. Wajib sepakat bahwa
kalau terdapat dalam lingkungan struktural yang sangat tidak menguntungkan bagi
demokratisasi, seringkali terjadi karena ketidakmampuan para politisi untuk menghasilkan
reformasi ekonomi dan inovasi pelembagaan yang diperlikan bagi tumbuhnya demokrasi.
Untuk mencapai demokrasi yang diharapkan maka tidak bisa lepas dari peran
good governance dan supremasi hukum yang tegak. Dalam konteks pembangunan,
kekuatan pemerintah dalam melakukan proses pembuatan dan penerapan kebijakan
pembangunan yang jauh dari pengaruh rakyat telah berhasil membawa akumulasi kapital
dan keberhasilan industrialisasi. Penerapan “good gevernance”, yaitu prinsip mengatur
pemerintahan yang memungkinkan layanan publiknya efisien, sistem pengendaliannya
bisa diandalkan, dan administrasinya bertanggung jawab pada publik dan di mana
mekanisme pasar merupakan pertimbangan utama dalam proses pembuatan keputusan
mengenai alokasi sumber daya. Pada gilirannya proses demokratisasi tersebut mulai
digalakkan, yaitu adanya jaminan dari kedua belah pihak.
Pentingnya komitmen para pemimpin politik yang kuat terhadap demokrasi
sehingga menolak penerapan kekerasan dan sarana yang ilegal dan tidak konstitusional
untuk mengejar kekuasaan. Komitmen yang kuat terhadap demokrasi hendaknya disertai
dengan supremasi hukum yang kuat pula. Hal ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan
pembangunan, kekuasaan tidak mudah diselewengkan oleh penguasa. Karena demokrasi
adalah tujuan dari pembangunan politik maka demokrasi baru bisa tercapai bila berada
dalam sistem pemerintahan yang bersih (good governance) serta pelaksanaan penegakan
hukum yang adil.

9
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

DAFTAR PUSTAKA

Bell, Stephen, 2002. Economic Governance and Institutional Dynamics, Australia:


Melbourne University Press.
Chilcote, Ronald, H., 1999. Teori Perbandingan Politik: Penelusuran Paradigma,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Dahl, Robert A. 2001. How democratic is the American Constitution?, New Haven &
London : Yale University Press.
Diamond, et al., eds., 1997. Consolidating the Third-Wave Democracies, Baltimore: Johns
Hopkins University Press, forthcoming.
Edward, Shils, 1960. Political Development in the New States, Comparative Studies in
Society and History, Vol. 2, No. 3, Cambridge University Press.
Friedmann, W., 1959. Law in a Changing Society, California: University of California
Press.
Huntington, Samuel, 1968. Political Order in Changing Societies New Haven: Yale
University Press.
Kooiman, Jan, 1993. Modern Governance: New Government-Society Interaction, London:
Sage Publications.
Lerner, Daniel, 1958. The Passing of Traditional: Society Modernizing the Middle East,
London: Glencoe Collier Macmillan.
Moore, Mark H., 1995, Creating Public Value Strategic Management in
Government, Harvard University Press.
Osborne, David Gaebler, Ted, 1993. Reinventing Government: How the Entrepreneurial
Spirit is Transforming the Public Sector, A Plume book : Political science.
Pasha, Musthafa Kamal, Et al., 2003, , Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis dan
Filosofis, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri
Pye, Lucian W., 1963. Communications and Political Development Princeton: Princeton
University Press.
Pye, Lucian W., 1969. Political Development: Analytical and Normative Perspectives
Comparative Political Studies.
Raharjo, Satjipto, 2006, Membedah Hukum Progresif, Jakarta, Buku Kompas
Riggs, Fred W., 1964. Administration in Developing Countries, Boston: Houghton Mifflin
Company.
Rodhes, R.A.W, 1996. Political Studies, XLIV, University of Newcastle-Upon-tyne.
Volume 44, Issue 4.
Schumpeter, Joseph A., 1947. Economic History Association : The Creative Response in
Economic History, The Journal of Economic History, Vol. 7, No. 2, Cambridge
University Press.
Tricker, R. I., 1984. Corporate Governance. Gower.

10
Jurnal Administrasi Publik, FISIP Universitas Palangka Raya, 2013
ISSN 2337-4985

Wibowo, I, 2011. Negara dan Bandit Demokrasi, Jakarta: Kompas.


World Bank, 1991, Managing Development - The Governance Dimension, Washington
D.C

11

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai