Pendidikan Di Surakarta
Pendidikan Di Surakarta
Masa Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pendidikan di Surakarta mengalami
perubahan besar. Pada tahun 1950, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 2 Tahun
1950 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tersebut, pendidikan di Indonesia harus
dilakukan secara nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial.
Pada masa ini, pendidikan di Surakarta mulai terbuka bagi seluruh masyarakat. Sekolah-
sekolah swasta mulai didirikan dan terdapat pula pengembangan sekolah-sekolah kejuruan
seperti SMK dan perguruan tinggi.
Masa Kini
Saat ini, pendidikan di Surakarta terus mengalami perkembangan yang pesat. Terdapat
banyak sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang tersebar di seluruh wilayah
kota ini. Selain itu, terdapat pula kebijakan dan program dari pemerintah kota Surakarta
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di kota ini, seperti program beasiswa untuk siswa
berprestasi, pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, dan pelatihan untuk guru.
Pendidikan di Surakarta Pada Masa Hindia Belanda
Politik Etis awalnya dipelopori oleh C. Th. Van Deventer melalui artikelnya yang berjudul
Een Eereschuld atau hutang kehormatan, di dalam majalah berkala de Gids. Ia mengatakan
bahwa negeri Belanda telah berhutang kepada penduduk pribumi terhadap kekayaan yang
telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan
memberi prioritas utama kepada kepentingan pribumi di dalam kebijakan kolonial.1 Politik
Etis diberlakukan di Indonesia pada tahun 1901 yang diterapkan pertama kali di Batavia,
seiring berjalannya waktu mulai dilaksanakan di kotakota lainnya seperti Bandung, Surabaya,
Semarang, Yogyakarta dan Surakarta. Sama seperti di tempat-tempat lain, politik hutang budi
ingin memajukan bangsa Indonesia melalui “edukasi, irigasi, emigrasi” yang lebih
menekankan pada bidang edukasi atau pendidikan. Kemajuan bidang pendidikan ditempuh
melalui sistem pendidikan Barat di Indonesia, yang pada awalnya untuk anak-anak Belanda,
kemudian diperluas untuk anak-anak Indonesia. Pendidikan mulai menunjukkan peran yang
semakin aktif dalam menentukan arah perkembangan politik. Sejak dijalankannya politik etis
tampak
kemajuan yang pesat dibidang pendidikan dalam beberapa dekade dibandingkan dengan yang
terjadi selama beberapa abad pengaruh Kolonial sebelumnya. Jumlah sekolah rendah mulai
meningkat pesat, sekolah-sekolah berorientasi ke Barat diciptakan baik untuk orang Cina
maupun orang Indonesia. Pada periode ini sistem pendidikan mencapai kelengkapan
dibandingkan beberapa abad terakhir.2 Pelaksanaan politik etis di Surakarta membawa
kemajuan dibidang pendidikan dengan didirikannya beberapa sekolah, meskipun hanya
sebagian anak yang merasakan pendidikan. Pada awalnya hanya ada sekolah milik
pemerintah Kolonial Belanda yang diperuntukkan untuk anak-anak Belanda, tapi kemudian
mulai muncul sekolah-sekolah milik swasta, dan juga sekolah-sekolah milik Keraton
Kasunanan dan Mangkunegaran. Pendidirian sekolah-sekolah di Surakarta dapat
dikelompokkan sebagai berikut.
Pelaksanaan politik etis di kota Surakarta memberikan dampak yang baik dalam bidang
pendidikan seperti mulai berdirinya beberapa sekolah sekolah meskipun pada saat itu hanya
beberapa anak saja yang dapat merasakan pendidikan. Pada awalnya sekolah yang berdiri
hanyalah sekolah milik pemerintah yang diperuntukan hanya untuk anak-anak kolonial
Belanda saja, lalu kemudian mulai muncul banyak sekolah-sekolah milik swasta dan juga
sekolah-sekolah milik Keraton Kasunan dan Mangkunegara.
Sekolah rakyat ini pada masa penjajahan Jepang mengjarkan atau memperkenalkan huruf-
huruf Jepang saat siswa berada pada kelas empat ditingkat terendah (dasar). Pada sekolah
rakyat di tingkat menengah pertama lama pendidikan yang ditempuh adalah tiga tahun. Pada
bulan September 1942, sekolah-sekolah menegah baru diperbolehkan berdiri kembali.
Sekolah MULO yang seharusnya menjadi sekolah lanjutan pertama pada awalnya ditiadakan
oleh pemerintah Jepang dengan maksud untuk membatasi perkembangan pendidikan serta
untuk mengalihkan biaya pendidikan untuk kepentingan perang.
Sekolah lanjutan umum tingkat atas awalnya dibuka dengan nama sekolah menengah tinggi.
pada awalnya sekolah tingkat tinggi ini hanya ada 3 sekolah yang ada dikota Jakarta,
Yogyakarta, dan Surabaya. Kemudian di tahun 1943 dibukalah 2 sekolah tingkat tinggi yang
berada dikota Bandung dan satu lagi dikota Surakarta.
Setelah Jepang menguasai kota Surakarta, mereka menutup sekolah-sekolah yang ada pada
masa pemerintahan Belanda. Kemudian sekolah-sekolah itu kembali dibuka pada tanggal 29
April 1944. Hal ini didasari atas undang-undang no.12 tentang pembukaan sekolah yang
berbunyi:
1. Seluruh sekolah rendah baik kepunyaan pemerintah ataupun kepunyaan partikelir yang
menggunakan bahasa Melayu, Djawa, Sunda, dan Madura akan dibuka kembali pada tanggal
29 April 1942. Akan tetapi seolah pemerintah harus mengajukan izin terlebih dahulu kepada
pembesar ditempat sekolah itu berada, sedangkan sekolah partikelir tidak perlu mengajukan
perizinan akan pembukaannya.
2. Seluruh sekolah yang lainya baik yang sudah dibuka mauupun telah ditutup baru boleh
kembali beroprasi jika sudah ada perintah.
Pembukaan kembali sekolah-sekolah pada masa pemerintah Hindia Belanda telah diizinkan
dengan catatan bahwa sekolah-sekolah itu langsung diselenggarakan oleh pemerintah Jepang.
Pemerintah Jepang juga memberikan izin kepada kumpulan-kumpulan untuk membuka
sekolah swasta baru untuk kaum minoritas, serta untuk menampung anak-anak keturunan
Tionghoa.
Sistem pendidikan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan setelah
kemerdekaan. Hal-hal yang membedakannya hanyalah pada nama sekolah saja. Pada masa
pemerintahan Jepang guru-guru diadakan latihan sebelum mengajar disekolah. Pelatihan
terhadap guru-guru ini diadakan pada bulan Juni 1942.
Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan kesulitan dibidang
ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, juga pendidikan. Dimana pada masa penjajahan Jepang
sebelumnya yang hanya memperbolehkan beberapa persen saja anak-anak yang bisa
menikmati sekolah sehingga mayoritas penduduk Indonesia masih buta huruf. Keadaan ini
tentunya menjadi tugas yang cukup berat untuk pemerintah Indonesia mengatasinya.
Pada tahun 1945-1950 telah beberapa kali terjadinnya pergantian Mentri Pengjaran dan
Kebudayaan, yaitu:
1. Ki Hajar Dewantoro: 19 Agustus 1945 -14 November 1945
2. Mr. Dr. TGSC. Mulia: 14 November 1945 – 12 Maret 1946
3. Moh. Syafe’I: 12 Maret – 2 Oktober 1946
4. Mr. Suwandi: 2 Oktober 1946 – 27 Juli 1947
5. Mr. Ali Sastromidjojo: 3 Juli 1947 – 4 Agustus 1949
6. S. Mangunsakoro: 4 Agustus 1949 – 6 Sepetember 1950
Dengan singkatnya pergantian mentri yang bertugas maka dari itu usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengadakan perubahan serta perbaikan tidaklah dirasakan.
Mentri Suwandi dengan keputusan No. 104/Bbg-0/1946 tanggal 1 Maret 1946 telah
membentuk suatu panitia yeng menyelidiki pengajaran yang dipimpi oleh Ki Hadjar
Dewantara dan sekertarisnya Soegarda Purbakawatja yang bermaksud untuk memngatur
sekolah.
Panitia ini selanjutnya mengadakan pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang telah
menghasilkan sistem pendidikan dan pengajaran untuk anak-anak desa sampai kota hingga
pendidikan kejuruan. Dimana tanggung jawab ini diembankan kepada panitia ini.
Tujuan pendidikan ini dirumuskan untuk mendidik warga negara sejati, yang bersedia
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat. Dengam kata lain
pendidikan dimasa ini menekankan pada penanaman semangat patriotisme. Penanaman
semangat patiotisme ini berupa perjuangan fisik yang dimana sewaktu-waktu akan sangat
dibutuhkan. Maka dengan adanya semangat patriotism kemerdekaan akan terus bertahan dan
terisi.
Pendidikan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kota di Surakarta selama berabad-
abad. Sejak zaman Kerajaan Mataram hingga saat ini, pendidikan di Surakarta selalu
mengalami perubahan dan perkembangan yang disesuaikan dengan tuntutan zaman dan
kebutuhan masyarakat.
Pendidikan agama Islam menjadi inti pendidikan di Surakarta pada masa Kerajaan Mataram.
Pesantren dan pesantren merupakan pusat pendidikan formal bagi masyarakat yang ingin
mempelajari Islam. Selain itu, ada juga sekolah yang mengajarkan pelajaran bahasa Arab dan
agama.
Pendidikan di Surakarta mengalami perubahan yang signifikan pada masa penjajahan
Belanda. Pemerintah kolonial membuka sekolah Belanda dan sekolah pribumi dengan
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Namun, pendidikan agama Islam
terus berkembang dan banyak didirikan sekolah-sekolah agama yang mengajarkan bahasa
Arab dan agama Islam.
Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pendidikan di Surakarta terus berkembang pesat.
Pemerintah Indonesia membuka sekolah umum dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar. Selain itu, dibuka pesantren dan pesantren yang terus menjadi bagian penting
pendidikan di Surakarta.
Di era modern saat ini, pendidikan di Surakarta semakin maju dan berkembang pesat.
Terdapat banyak sekolah-sekolah swasta dan universitas yang menawarkan berbagai program
studi. Selain itu, pemerintah daerah juga terus memperbaiki fasilitas pendidikan dan
meningkatkan kualitas guru.
Pendidikan di Surakarta tidak hanya terfokus pada bidang akademik, tetapi juga pada
pengembangan karakter dan budaya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kegiatan
ekstrakurikuler dan program-program pengembangan kepribadian yang diselenggarakan di
sekolah-sekolah.
Namun, masih terdapat beberapa tantangan dalam pengembangan pendidikan di Surakarta,
seperti ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, pengembangan kurikulum yang
adaptif dan peningkatan kualitas guru. Menghadapi tantangan tersebut, peran pemerintah,
masyarakat dan pelaku pendidikan menjadi sangat penting. Untuk menjadikan pendidikan di
Surakarta lebih baik dan berkualitas, diperlukan upaya bersama.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan di Surakarta juga mengalami perubahan baik berupa
teknologi maupun metode pengajaran. Kini, teknologi telah menjadi bagian penting dalam
pendidikan di Surakarta, dan banyak sekolah yang menggunakan teknologi untuk
meningkatkan efektifitas pengajaran.
Singkatnya, pendidikan di Surakarta merupakan bagian penting dari sejarah dan
perkembangan kota. Meskipun pendidikan di Surakarta telah mengalami banyak perubahan
dan tantangan, namun terus berkembang dan berupaya meningkatkan kualitasnya. Dengan
pembangunan dan peningkatan pendidikan yang terus menerus, Surakarta dapat menjadi kota
pendidikan yang maju dan maju.
Setelah seiring berjalannya waktu tepat di kota Surakarta pun mendirikan madrasah
yang Bernama mambaul ulum sekitar 113 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 23 Juli
1905, di Ibukota Kerajaan Surakarta, Raja Paku Buwono (PB) X mendirikan sebuah lembaga
pendidikan Islam yang diberi nama Madrasah Mambaul Ulum. Madrasah ini berdiri, tidak
lama setelah pemerintah Kolonial Belanda memunculkan peraturan Godsdienstinderwijs
Mohammedaansch yang membatasi pengajaran agama Islam di wilayah Hindia Belanda.
Hermanu Joebagio dalam buku Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta (2017)
menjelaskan peraturan yang terdiri dari enam pasal tersebut, pada intinya Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda melakukan pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang memberi
pengajaran agama Islam di Jawa dan Madura, terkecuali di lingkup kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta. Peraturan ini kemudian dimanfaatkan PB X untuk mendirikan beberapa
lembaga pendidikan, di antaranya Mambaul Ulum, sebagai wujud untuk mengembangkan
pendidikan masyarakat bagi anak-anak pribumi di tengah himpitan sistem pendidikan
kolonial yang berlaku diskriminatif bagi warga kelas sosial bawah. Selain itu, pendirian
Mambaul Ulum juga dengan berbagai pertimbangan, yakni sebagai lembaga pendidikan yang
menghasilkan calon tenaga penghulu Landraad dan Raad Agama, serta pengelola masjid atau
langgar di wilayah Kasunanan yang telah meninggal. Akhirnya, pada tanggal 6 Maret 1906,
izin pendirian madrasah diterbitkan. KRTP Tapsiranom V didapuk menjadi pengelola
madrasah dibantu pengasuh Pesantren Jamsaren Kiai Muhammad Idris. Mereka berdua
dibantu guru-guru yang mumpuni seperti Kiai Muhammad Fadhil, Kiai Bagus Arfah, Kiai
Dimyati, Kiai Djauhar, Kiai Kholil, Kyai Mawardi, Kiai Suryani, Kiai Mangunwiyoto dan
lain sebagainya. Adapun pembagian kelas di Mambaul Ulum terdiri dalam tiga tingkat;
tingkat dasar atau Ibtidaiyah (Kelas I sampai kelas V), tingkat menengah atau Tsanawiyah
(Kelas VI sampai kelas VII), dan menengah atas atau kelas Aliyah (Kelas IX sampai kelas
XI). Madrasah Mambaul Ulum, pada waktu pagi dibuka pukul 07.00–12.00. adapun waktu
siang, hanya sampai pada kelas VIII (tsanawiyah), dari pukul 14.00–16.30. Kurikulum di
Mambaul Ulum, tidak hanya mempelajari bidang ilmu agama, tetapi juga pengetahuan
umum. Namun demikian, untuk mendapatkan ijazah, seorang siswa diwajibkan untuk
menyelesaikan beberapa mata pelajaran, dan puncaknya ia akan mendapat pengakuan berupa
syahadah (ijazah).
Sebagai contoh, seorang tokoh NU yang juga pernah menjadi Bupati Tuban KH R. Mustain,
ketika hendak mencapai pangkat sebagai seorang pengulu, ia mesti menyelesaikan beberapa
pelajaran di Madrasah Mambaul Ulum, antara lain ia harus menguasai beberapa kitab, yaitu
Fathul Mu’in, Shahih Bukhari, Tafsir Jalalain, Minhajul Abidin, dan lainnya. Keberadaan
Mambaul Ulum ini, pada akhirnya tidak hanya sekedar menjadi madrasah pencetak para
penghulu ataupun pengelola masjid semata, akan tetapi lebih dari itu mampu melahirkan
tokoh-tokoh besar muslim, yang tidak kalah dengan mereka yang mengenyam pendidikan
umum (sekuler). Para tokoh tersebut antara lain KHR Moh Adnan, KH Saifuddin Zuhri,
Munawir Sadzali, KH R Mustain (Bupati Tuban), KH Imam Zarkasyi (Gontor), dan Prof Dr
Baiquni (Bapak Atom/Nuklir Indonesia). (Ajie Najmuddin)
(sumber diluar pdf-pdf dari grup:
"Pendidikan di Solo, Sekolah yang Masih Butuh Perhatian". CNN Indonesia. Diakses pada
11 Mei 2023.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181107105155-20-344697/pendidikan-di-solo-
sekolah-yang-masih-butuh-perhatian
"Sejarah Pendidikan Indonesia: Masa Kolonial Hingga Masa Kini". Idntimes.com. Diakses
pada 11 Mei 2023. https://www.idntimes.com/education/learning/aulia-fauzi/sejarah-
pendidikan-indonesia-masa-kolonial-hingga-masa-kini-1/full
"Pendidikan di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan". Kemendikbud.go.id. Diakses pada
11 Mei 2023)
Sumber: https://www.nu.or.id/fragmen/mambaul-ulum-surakarta-madrasah-pencetak-tokoh-
bangsa-URT0o
Mati, OE (1943). Chineezen di Nederlandsch-Indië. Assen: Van Gorcum & Komp. (GA Hak & HJ
Prakke) Assen.
Ferguson, TTH (1933). De Ontwikkeling En Studie Van „Kuo-Yü", De Moderne Taal Van China:
Utrecht.
Hasan, N., & ISR, SD (2014). Dinamika Aktivitas Pendidikan Sekolah THHK Mojokerto Pasca
Kemerdekaan.
Lan, NJ (1940). Riwajat 40 Taon Dari Tiong Hoa Hwee Koan Batavia (1900-1939). Batavia.
Lie, R. (2017). Dr Oen Boen Ing: Dokter patriot, aktivis sosial, dan dokter orang miskin. Wacana,
18(2), 455-484.
Mulyadi, H. (2004). Sejarah Peranan dan Potensi Masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta. dalam
Kalimatun Sawa, 2(02), 33-34.