Anda di halaman 1dari 11

PENDIDIKAN DI SURAKARTA

Pendidikan memiliki peran penting dalam pembangunan sebuah kota. Di Surakarta,


pendidikan telah diperkenalkan sejak masa kolonial Belanda. Seiring berjalannya waktu,
pendidikan di Surakarta mengalami perubahan dan perkembangan yang pesat.. Artikel ini
akan membahas sejarah pendidikan di Surakarta dari masa kolonial hingga masa kini, dengan
tujuan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana pendidikan berkembang di kota ini.
Artikel ini didasarkan pada sumber-sumber yang diperoleh dari media online dan situs web
resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Dalam artikel ini akan dibahas
tentang sejarah pendidikan di Surakarta pada masa kolonial Belanda, masa kemerdekaan, dan
masa kini. Selain itu, artikel ini juga akan membahas tentang kebijakan dan program dari
pemerintah kota Surakarta untuk meningkatkan kualitas pendidikan di kota ini. Dengan
membahas sejarah pendidikan di Surakarta, diharapkan dapat memberikan pemahaman
tentang bagaimana pendidikan berkembang di kota ini serta memberikan inspirasi dan ide
bagi pengembangan pendidikan di masa depan.

Sejarah Pendidikan di Surakarta: Dari Masa Kolonial Hingga Masa Kini


Sejarah pendidikan di Surakarta memiliki peran yang penting dalam perkembangan kota ini.
Sejak masa kolonial Belanda, pendidikan telah diperkenalkan dan berkembang di kota ini.
Berikut adalah gambaran singkat tentang sejarah pendidikan di Surakarta.

Masa Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, pendidikan di Surakarta mengalami
perubahan besar. Pada tahun 1950, pemerintah Indonesia mengeluarkan UU No. 2 Tahun
1950 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tersebut, pendidikan di Indonesia harus
dilakukan secara nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial.

Pada masa ini, pendidikan di Surakarta mulai terbuka bagi seluruh masyarakat. Sekolah-
sekolah swasta mulai didirikan dan terdapat pula pengembangan sekolah-sekolah kejuruan
seperti SMK dan perguruan tinggi.
Masa Kini
Saat ini, pendidikan di Surakarta terus mengalami perkembangan yang pesat. Terdapat
banyak sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang tersebar di seluruh wilayah
kota ini. Selain itu, terdapat pula kebijakan dan program dari pemerintah kota Surakarta
untuk meningkatkan kualitas pendidikan di kota ini, seperti program beasiswa untuk siswa
berprestasi, pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, dan pelatihan untuk guru.
Pendidikan di Surakarta Pada Masa Hindia Belanda
Politik Etis awalnya dipelopori oleh C. Th. Van Deventer melalui artikelnya yang berjudul
Een Eereschuld atau hutang kehormatan, di dalam majalah berkala de Gids. Ia mengatakan
bahwa negeri Belanda telah berhutang kepada penduduk pribumi terhadap kekayaan yang
telah diperas dari negeri mereka. Hutang ini sebaiknya dibayarkan kembali dengan jalan
memberi prioritas utama kepada kepentingan pribumi di dalam kebijakan kolonial.1 Politik
Etis diberlakukan di Indonesia pada tahun 1901 yang diterapkan pertama kali di Batavia,
seiring berjalannya waktu mulai dilaksanakan di kotakota lainnya seperti Bandung, Surabaya,
Semarang, Yogyakarta dan Surakarta. Sama seperti di tempat-tempat lain, politik hutang budi
ingin memajukan bangsa Indonesia melalui “edukasi, irigasi, emigrasi” yang lebih
menekankan pada bidang edukasi atau pendidikan. Kemajuan bidang pendidikan ditempuh
melalui sistem pendidikan Barat di Indonesia, yang pada awalnya untuk anak-anak Belanda,
kemudian diperluas untuk anak-anak Indonesia. Pendidikan mulai menunjukkan peran yang
semakin aktif dalam menentukan arah perkembangan politik. Sejak dijalankannya politik etis
tampak
kemajuan yang pesat dibidang pendidikan dalam beberapa dekade dibandingkan dengan yang
terjadi selama beberapa abad pengaruh Kolonial sebelumnya. Jumlah sekolah rendah mulai
meningkat pesat, sekolah-sekolah berorientasi ke Barat diciptakan baik untuk orang Cina
maupun orang Indonesia. Pada periode ini sistem pendidikan mencapai kelengkapan
dibandingkan beberapa abad terakhir.2 Pelaksanaan politik etis di Surakarta membawa
kemajuan dibidang pendidikan dengan didirikannya beberapa sekolah, meskipun hanya
sebagian anak yang merasakan pendidikan. Pada awalnya hanya ada sekolah milik
pemerintah Kolonial Belanda yang diperuntukkan untuk anak-anak Belanda, tapi kemudian
mulai muncul sekolah-sekolah milik swasta, dan juga sekolah-sekolah milik Keraton
Kasunanan dan Mangkunegaran. Pendidirian sekolah-sekolah di Surakarta dapat
dikelompokkan sebagai berikut.

a. Sekolah-sekolah netral berbahasa Belanda Sekolah-sekolah netral berbahasa Belanda


diperuntukkan bagi anak-anak Eropa. Sekolah ini memiliki fasilitas yang jauh lebih baik
dibandingkan fasilitas sekolah-sekolah untuk pribumi. Sekolah ini juga memiliki mutu
pendidikan yang luas serta memberikan mata pelajaran yang lengkap serta memiliki fasilitas
yang memadai untuk melaksanakan proses belajar mengajar dengan baik, guru-guru di
sekolah ini juga merupakan guru-guru terbaik dari Eropa.
Perkembangan Pendidikan Di Surakarta
Pendidikan di Surakarta Pada Masa Hindia Belanda
Perkembangan pendidikan pada masa ini adanya politik etis yang dipelopori oleh C. Th. Van
Deventer melalui sebuah artikel yang berjudul Een Eereschuld atau kehormatan. didalam
sebuah majalah yang berjudul de Gids. Beliau mengatakan bahwasannya negri Belanda
memiliki hutang kepada para penduduk pribumi. Hutang ini dibayarkan oleh Belanda dalam
bentuk pemberian priotitas utama kepada rakyat pribumi dalam kebijakan kolonial.
Sistem politik etis ini diberlakukan di Indonesia pada tahun 1901 yang dilakukan pertama
kali pada wilayah Batavia, seiring berjalannnya waktu sistem politik etis ini mulai diterapkan
dibeberapa kota lainnya seperti Bandung, Yogyakarta, dan Semarang. Sama halnya seperti di
tempat-tempat lainnya, politik hutang budi ini diterapkan dengan tujuan untuk memajukan
bangsa Indonesia dalam bidang edukasi, irigasi, dan emigrasi teatpi lebih difokuskan pada
bidang edukasi (pendidikan). Kemajuan yang ditempuh dalam bidang pendidikan ini
dilakukan melalu sistem pendidikan Barat di Indonesia, yang dimana awalnya ditujukan
hanya untuk anak-anak Belanda, kemudian diperluas untuk anak-anak Indonesia.

Pelaksanaan politik etis di kota Surakarta memberikan dampak yang baik dalam bidang
pendidikan seperti mulai berdirinya beberapa sekolah sekolah meskipun pada saat itu hanya
beberapa anak saja yang dapat merasakan pendidikan. Pada awalnya sekolah yang berdiri
hanyalah sekolah milik pemerintah yang diperuntukan hanya untuk anak-anak kolonial
Belanda saja, lalu kemudian mulai muncul banyak sekolah-sekolah milik swasta dan juga
sekolah-sekolah milik Keraton Kasunan dan Mangkunegara.

Pendidikan di Sukarta pada Masa Penjajahan Jepang


Pada masa penjajahan Jepang tetrlihat jelas gambaran buruk mengenai pendidikan di
bandingkan pada masa-masa akhir penjajahan Belanda. Sistem pendidikan pada masa
penjajahan Jepang banyak sekali mengalami perubahan dikarenakan sistem menurut bangsa
maupun menurut setatus sosial dihapuskan. Dengan dihapuskannya hal tersebut
mengakibatkan adanya integritas terhadap macam-macam jenis sekolah. Istilah-istilah
Indonesia yang dahulunya dihapuskan kemudian digunakan kembali pada sekolah-sekolah
serta lembaga-lembaga pendidikan yang ada.

Sekolah sekolah pada masa Penjajahan Jepang


Pada masa penjajahan Jepang ini sekolah-sekolah dasar dibuka untuk umum dan hanya ada
satu macam sekolah yang berbeda yang diberi nama dengan Sekolah rakyat. Sekolah rakyat
ini berada diseluruh desa di kota Surakarta ditempat-tempat yang dulunya terdapat sekolah
satu, sekolah dua, HIS atau ELS.

Sekolah rakyat ini pada masa penjajahan Jepang mengjarkan atau memperkenalkan huruf-
huruf Jepang saat siswa berada pada kelas empat ditingkat terendah (dasar). Pada sekolah
rakyat di tingkat menengah pertama lama pendidikan yang ditempuh adalah tiga tahun. Pada
bulan September 1942, sekolah-sekolah menegah baru diperbolehkan berdiri kembali.
Sekolah MULO yang seharusnya menjadi sekolah lanjutan pertama pada awalnya ditiadakan
oleh pemerintah Jepang dengan maksud untuk membatasi perkembangan pendidikan serta
untuk mengalihkan biaya pendidikan untuk kepentingan perang.

Sekolah lanjutan umum tingkat atas awalnya dibuka dengan nama sekolah menengah tinggi.
pada awalnya sekolah tingkat tinggi ini hanya ada 3 sekolah yang ada dikota Jakarta,
Yogyakarta, dan Surabaya. Kemudian di tahun 1943 dibukalah 2 sekolah tingkat tinggi yang
berada dikota Bandung dan satu lagi dikota Surakarta.

Pelaksanaan Pendidikan pada masa Jepang


Sistem pendidikan pada masa Jepang ini terlihat sangat buruk apabila dibandingkan dengan
pelaksanaan pendidikan dimasa penjajahan Belanda. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya
sekolah-sekolah yang tudak beroprasi lagi serta banyaknya anak-anak yang putus sekolah.
Hal ini disebabkan tidak adanya pengelola atau badan khusus yang bergerak pada bidang
pendidikan dan pengajaran melaikan pendidikan ini dijadikan satu dengan badan urus
pemerintahan sehingga terjadinya kekacauan.
Setelah tentara Jepang berkuasa tidak ada lagi satupun sekolah yang diperbolehkan untuk
beroprasi kembali. Dikarnakan belum adanya persiapan persiapan untuk bidang pendidikan.

Setelah Jepang menguasai kota Surakarta, mereka menutup sekolah-sekolah yang ada pada
masa pemerintahan Belanda. Kemudian sekolah-sekolah itu kembali dibuka pada tanggal 29
April 1944. Hal ini didasari atas undang-undang no.12 tentang pembukaan sekolah yang
berbunyi:
1. Seluruh sekolah rendah baik kepunyaan pemerintah ataupun kepunyaan partikelir yang
menggunakan bahasa Melayu, Djawa, Sunda, dan Madura akan dibuka kembali pada tanggal
29 April 1942. Akan tetapi seolah pemerintah harus mengajukan izin terlebih dahulu kepada
pembesar ditempat sekolah itu berada, sedangkan sekolah partikelir tidak perlu mengajukan
perizinan akan pembukaannya.

2. Seluruh sekolah yang lainya baik yang sudah dibuka mauupun telah ditutup baru boleh
kembali beroprasi jika sudah ada perintah.

Pembukaan kembali sekolah-sekolah pada masa pemerintah Hindia Belanda telah diizinkan
dengan catatan bahwa sekolah-sekolah itu langsung diselenggarakan oleh pemerintah Jepang.
Pemerintah Jepang juga memberikan izin kepada kumpulan-kumpulan untuk membuka
sekolah swasta baru untuk kaum minoritas, serta untuk menampung anak-anak keturunan
Tionghoa.
Sistem pendidikan pada masa ini tidak jauh berbeda dengan sistem pendidikan setelah
kemerdekaan. Hal-hal yang membedakannya hanyalah pada nama sekolah saja. Pada masa
pemerintahan Jepang guru-guru diadakan latihan sebelum mengajar disekolah. Pelatihan
terhadap guru-guru ini diadakan pada bulan Juni 1942.

Pendidikan Pasca Kemerdekaan Republik Indonesia


Setelah kemerdekaan, para pemimpin Indonesia segera menjadikan pendidikan sehabgai hak
setiap warga negara, dengan tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa. Diumumkan oleh pera
pemimpin Indonesia bahwa dalam 10 tahun yang akan datang seluruh anak-anak Indonesia
harus bisa menikmati sekolah. Oleh karna itu segera dilakukan persiapan yang baik, mulai
dilakukannya pembenahan seperti penambahan jumlah tenaga pengajar, pembangunan
gedung-gedung sekolah, dsb.
Pemerintah juga membagi tingkatan-tingkatan pendidikan seperti Sekolah Dasar, Sekolah
Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas dan Perguruan Tinggi. Pada awal kemerdekaan,
pembelajaran di sekolah-sekolah ditekankan pada semangat nasionalisme dan membela tanah
air.
Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia yang berkisar pada tahun 1945-1965.
Dimana pada tahun 1945 adalah puncak pergerakan revolusi kemerdekaan, yang telah
mengantarkan Indonesia membentuk suatu sistem pemerintahan yang berdaulat, adil, dan
makmur. Tujuan pemerintahan negara Indonesia tersurat dalam pembukaan UUD yang
berbunyi “melindungi segenap bangsa Indonesi dan seluruh tumpah darah Indonesia, serta
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.
Pada rumusan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa, para pemimpin Indonesia
menyadari bahwa suatu bangsa memiliki peran yang sangat penting untuk menjamin
perkembangan serta kelangsungan kehidupan bangsa melalui bidang pendidikan.
Setelah tercapainya kemerdekaan perkembangan pendidikan memberikan gambaran yang
penuh dengan kesulitan. Dalam kongres pendidikan, Mentri Pengajaran dan Pendidikan
membentuk sebuah panitian perancang RUU mengenai pendidikan dan pengajaran dengan
maksud membuat sebuah sitem pendidikan yang mempunyai landasan pada ideology bangsa
Indonesia sendiri.

Pada masa peralihan antara tahun 1945-1950 bangsa Indonesia merasakan kesulitan dibidang
ekonomi, sosial, politik, kebudayaan, juga pendidikan. Dimana pada masa penjajahan Jepang
sebelumnya yang hanya memperbolehkan beberapa persen saja anak-anak yang bisa
menikmati sekolah sehingga mayoritas penduduk Indonesia masih buta huruf. Keadaan ini
tentunya menjadi tugas yang cukup berat untuk pemerintah Indonesia mengatasinya.
Pada tahun 1945-1950 telah beberapa kali terjadinnya pergantian Mentri Pengjaran dan
Kebudayaan, yaitu:
1. Ki Hajar Dewantoro: 19 Agustus 1945 -14 November 1945
2. Mr. Dr. TGSC. Mulia: 14 November 1945 – 12 Maret 1946
3. Moh. Syafe’I: 12 Maret – 2 Oktober 1946
4. Mr. Suwandi: 2 Oktober 1946 – 27 Juli 1947
5. Mr. Ali Sastromidjojo: 3 Juli 1947 – 4 Agustus 1949
6. S. Mangunsakoro: 4 Agustus 1949 – 6 Sepetember 1950

Dengan singkatnya pergantian mentri yang bertugas maka dari itu usaha-usaha yang
dilakukan untuk mengadakan perubahan serta perbaikan tidaklah dirasakan.
Mentri Suwandi dengan keputusan No. 104/Bbg-0/1946 tanggal 1 Maret 1946 telah
membentuk suatu panitia yeng menyelidiki pengajaran yang dipimpi oleh Ki Hadjar
Dewantara dan sekertarisnya Soegarda Purbakawatja yang bermaksud untuk memngatur
sekolah.
Panitia ini selanjutnya mengadakan pertemuan-pertemuan dan rapat-rapat yang telah
menghasilkan sistem pendidikan dan pengajaran untuk anak-anak desa sampai kota hingga
pendidikan kejuruan. Dimana tanggung jawab ini diembankan kepada panitia ini.
Tujuan pendidikan ini dirumuskan untuk mendidik warga negara sejati, yang bersedia
menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk negara dan masyarakat. Dengam kata lain
pendidikan dimasa ini menekankan pada penanaman semangat patriotisme. Penanaman
semangat patiotisme ini berupa perjuangan fisik yang dimana sewaktu-waktu akan sangat
dibutuhkan. Maka dengan adanya semangat patriotism kemerdekaan akan terus bertahan dan
terisi.

Perkembangan Pendidikan Etnis Tionghoa Di Surakarta Tahun 1904-1942.


Sejak diberlakukanya politik etis 1901 membuat perkembangan pendidikan etnis
Tionghoa di Hindia Belanda khususnya di Surakarta menjadi pesat. Pada rentang tahun 1904
- 1942 munculah dua sekolah modern yaitu THHK pada tahun 1904 dan HCS pada tahun
1917. Rentang waktu 1917-1942 kedua sekolah ini mengalami perbenturan orientasi
kebudayaan. THHK yang condong ke nasionalis Tiongkok dan HCS condong ke pendidikan
gaya modern barat. Pada tahun 1930 terjadilah depresi ekonomi di seluruh dunia. THHK dan
HCS juga terdampak, akan tetapi mereka memiliki masing-masing cara untuk mengatasinya.
Pada tahun 1942 kependudukan Jepang dimulai di Hindia Belanda maka kedua sekolah ini
ditutup oleh pemerintah Jepang.
Perkembangan pendidikan etnis Tionghoa di Surakarta pada tahun 1904-1942 memiliki
berbagai dinamika. Dinamika ini terdapat pada sekolah THHK dan HCS. Perkembangan
kedua sekolah yang berbeda orientasi kebudayaan ini, membawa identitas masing-masing.
Kedua sekolah ini sempat saling bersinggung karena perbedaan orientasi kebudayaan
tersebut. Depresi ekonomi pada tahun 1930 membuat kedua sekolah ini banyak membuat
kebijakan-kebijakan dan langkah perbaikan ekonomi agar terhindar dari kebangkrutan.
Hingga pada tahun 1942 kedua sekolah ini resmi ditutup karena Jepang menguasai Hindia
Belanda.
Strategi sekolah etnis Tionghoa THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) di Surakarta dalam
menghadapi deprei ekonomi tahun 1930-1942. Penelitian ini menggunakan metode sejarah
yang meliputi heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Teknik pengumpulan
data (heuristik) dengan cara studi dokumen dan studi kepustakaan. Setelah mengumpulkan
data, selanjutnya melakukan kritik sumber (kritik intern dan ekstern). Data tersebut dianalisa
sesuai dengan topik penelitian sehingga diperoleh fakta sejarah yang selanjutnya disusun
secara historiografi. Depresi ekonomi pada tahun 1930 banyak mempengaruhi perkembangan
pendidikan etnis Tionghoa di Surakarta. Salah satunya adalah Pendidikan Etnis Tionghoa di
Surakarta yaitu THHK (Tiong Hoa Hwee Koan) mengalami banyak perubahan selama
depresi ekonomi ini. Sekolah THHK yang berorientasi pada kebudayaan Tiongkok asli ini
menghadapi depresi ekonomi dengan cara mengganti kepemimpinan mereka hingga
menggelar beberapa pentas kebudayaan Jawa. Kesimpulannya, Pada rentang waktu 1930 s/d
1942 THHK berhasil mendirikan sebuah klinik kesehatan bagi warga yang tidak mampu,
membentuk organisasi-organisasi sosial dan meningkatkan jumlah siswa secara signifikan.

Pendidikan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kota di Surakarta selama berabad-
abad. Sejak zaman Kerajaan Mataram hingga saat ini, pendidikan di Surakarta selalu
mengalami perubahan dan perkembangan yang disesuaikan dengan tuntutan zaman dan
kebutuhan masyarakat.
Pendidikan agama Islam menjadi inti pendidikan di Surakarta pada masa Kerajaan Mataram.
Pesantren dan pesantren merupakan pusat pendidikan formal bagi masyarakat yang ingin
mempelajari Islam. Selain itu, ada juga sekolah yang mengajarkan pelajaran bahasa Arab dan
agama.
Pendidikan di Surakarta mengalami perubahan yang signifikan pada masa penjajahan
Belanda. Pemerintah kolonial membuka sekolah Belanda dan sekolah pribumi dengan
menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Namun, pendidikan agama Islam
terus berkembang dan banyak didirikan sekolah-sekolah agama yang mengajarkan bahasa
Arab dan agama Islam.

Setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pendidikan di Surakarta terus berkembang pesat.
Pemerintah Indonesia membuka sekolah umum dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa
pengantar. Selain itu, dibuka pesantren dan pesantren yang terus menjadi bagian penting
pendidikan di Surakarta.
Di era modern saat ini, pendidikan di Surakarta semakin maju dan berkembang pesat.
Terdapat banyak sekolah-sekolah swasta dan universitas yang menawarkan berbagai program
studi. Selain itu, pemerintah daerah juga terus memperbaiki fasilitas pendidikan dan
meningkatkan kualitas guru.
Pendidikan di Surakarta tidak hanya terfokus pada bidang akademik, tetapi juga pada
pengembangan karakter dan budaya. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya kegiatan
ekstrakurikuler dan program-program pengembangan kepribadian yang diselenggarakan di
sekolah-sekolah.
Namun, masih terdapat beberapa tantangan dalam pengembangan pendidikan di Surakarta,
seperti ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, pengembangan kurikulum yang
adaptif dan peningkatan kualitas guru. Menghadapi tantangan tersebut, peran pemerintah,
masyarakat dan pelaku pendidikan menjadi sangat penting. Untuk menjadikan pendidikan di
Surakarta lebih baik dan berkualitas, diperlukan upaya bersama.
Seiring berjalannya waktu, pendidikan di Surakarta juga mengalami perubahan baik berupa
teknologi maupun metode pengajaran. Kini, teknologi telah menjadi bagian penting dalam
pendidikan di Surakarta, dan banyak sekolah yang menggunakan teknologi untuk
meningkatkan efektifitas pengajaran.
Singkatnya, pendidikan di Surakarta merupakan bagian penting dari sejarah dan
perkembangan kota. Meskipun pendidikan di Surakarta telah mengalami banyak perubahan
dan tantangan, namun terus berkembang dan berupaya meningkatkan kualitasnya. Dengan
pembangunan dan peningkatan pendidikan yang terus menerus, Surakarta dapat menjadi kota
pendidikan yang maju dan maju.

Setelah seiring berjalannya waktu tepat di kota Surakarta pun mendirikan madrasah
yang Bernama mambaul ulum sekitar 113 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 23 Juli
1905, di Ibukota Kerajaan Surakarta, Raja Paku Buwono (PB) X mendirikan sebuah lembaga
pendidikan Islam yang diberi nama Madrasah Mambaul Ulum. Madrasah ini berdiri, tidak
lama setelah pemerintah Kolonial Belanda memunculkan peraturan Godsdienstinderwijs
Mohammedaansch yang membatasi pengajaran agama Islam di wilayah Hindia Belanda.
Hermanu Joebagio dalam buku Islam dan Kebangsaan di Keraton Surakarta (2017)
menjelaskan peraturan yang terdiri dari enam pasal tersebut, pada intinya Pemerintah
Kolonial Hindia Belanda melakukan pengawasan terhadap sekolah-sekolah yang memberi
pengajaran agama Islam di Jawa dan Madura, terkecuali di lingkup kerajaan Surakarta dan
Yogyakarta. Peraturan ini kemudian dimanfaatkan PB X untuk mendirikan beberapa
lembaga pendidikan, di antaranya Mambaul Ulum, sebagai wujud untuk mengembangkan
pendidikan masyarakat bagi anak-anak pribumi di tengah himpitan sistem pendidikan
kolonial yang berlaku diskriminatif bagi warga kelas sosial bawah. Selain itu, pendirian
Mambaul Ulum juga dengan berbagai pertimbangan, yakni sebagai lembaga pendidikan yang
menghasilkan calon tenaga penghulu Landraad dan Raad Agama, serta pengelola masjid atau
langgar di wilayah Kasunanan yang telah meninggal. Akhirnya, pada tanggal 6 Maret 1906,
izin pendirian madrasah diterbitkan. KRTP Tapsiranom V didapuk menjadi pengelola
madrasah dibantu pengasuh Pesantren Jamsaren Kiai Muhammad Idris. Mereka berdua
dibantu guru-guru yang mumpuni seperti Kiai Muhammad Fadhil, Kiai Bagus Arfah, Kiai
Dimyati, Kiai Djauhar, Kiai Kholil, Kyai Mawardi, Kiai Suryani, Kiai Mangunwiyoto dan
lain sebagainya. Adapun pembagian kelas di Mambaul Ulum terdiri dalam tiga tingkat;
tingkat dasar atau Ibtidaiyah (Kelas I sampai kelas V), tingkat menengah atau Tsanawiyah
(Kelas VI sampai kelas VII), dan menengah atas atau kelas Aliyah (Kelas IX sampai kelas
XI). Madrasah Mambaul Ulum, pada waktu pagi dibuka pukul 07.00–12.00. adapun waktu
siang, hanya sampai pada kelas VIII (tsanawiyah), dari pukul 14.00–16.30. Kurikulum di
Mambaul Ulum, tidak hanya mempelajari bidang ilmu agama, tetapi juga pengetahuan
umum. Namun demikian, untuk mendapatkan ijazah, seorang siswa diwajibkan untuk
menyelesaikan beberapa mata pelajaran, dan puncaknya ia akan mendapat pengakuan berupa
syahadah (ijazah).
Sebagai contoh, seorang tokoh NU yang juga pernah menjadi Bupati Tuban KH R. Mustain,
ketika hendak mencapai pangkat sebagai seorang pengulu, ia mesti menyelesaikan beberapa
pelajaran di Madrasah Mambaul Ulum, antara lain ia harus menguasai beberapa kitab, yaitu
Fathul Mu’in, Shahih Bukhari, Tafsir Jalalain, Minhajul Abidin, dan lainnya. Keberadaan
Mambaul Ulum ini, pada akhirnya tidak hanya sekedar menjadi madrasah pencetak para
penghulu ataupun pengelola masjid semata, akan tetapi lebih dari itu mampu melahirkan
tokoh-tokoh besar muslim, yang tidak kalah dengan mereka yang mengenyam pendidikan
umum (sekuler). Para tokoh tersebut antara lain KHR Moh Adnan, KH Saifuddin Zuhri,
Munawir Sadzali, KH R Mustain (Bupati Tuban), KH Imam Zarkasyi (Gontor), dan Prof Dr
Baiquni (Bapak Atom/Nuklir Indonesia). (Ajie Najmuddin)
(sumber diluar pdf-pdf dari grup:
"Pendidikan di Solo, Sekolah yang Masih Butuh Perhatian". CNN Indonesia. Diakses pada
11 Mei 2023.
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181107105155-20-344697/pendidikan-di-solo-
sekolah-yang-masih-butuh-perhatian
"Sejarah Pendidikan Indonesia: Masa Kolonial Hingga Masa Kini". Idntimes.com. Diakses
pada 11 Mei 2023. https://www.idntimes.com/education/learning/aulia-fauzi/sejarah-
pendidikan-indonesia-masa-kolonial-hingga-masa-kini-1/full
"Pendidikan di Indonesia: Perkembangan dan Tantangan". Kemendikbud.go.id. Diakses pada
11 Mei 2023)
Sumber: https://www.nu.or.id/fragmen/mambaul-ulum-surakarta-madrasah-pencetak-tokoh-
bangsa-URT0o

"Sejarah Pendidikan di Indonesia", Republika, 2019,


https://www.republika.co.id/berita/q6n0n9429/sejarah-pendidikan-di-indonesia

"Sejarah Pendidikan di Indonesia", Kompas, 2019,


https://www.kompas.com/skola/read/2021/04/26/080000769/sejarah-pendidikan-di-indonesia?
page=all

"Perkembangan Pendidikan di Indonesia", Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Atas,


Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2016,
https://psma.kemdikbud.go.id/index.php/psma/article/view/59/40

"Sejarah Pendidikan di Jawa Tengah", Tribun Jateng, 2018,


https://jateng.tribunnews.com/2018/08/04/sejarah-pendidikan-di-jawa-tengah

"Pendidikan di Kota Solo Terus Berkembang", Antara Jateng, 2019,


https://jateng.antaranews.com/berita/230872/pendidikan-di-kota-solo-terus-berkembang

Mati, OE (1943). hi ee ei ederl ds h- di Van Gorcum & Comp : Assen

Mati, OE (1943). Chineezen di Nederlandsch-Indië. Assen: Van Gorcum & Komp. (GA Hak & HJ
Prakke) Assen.

Ferguson, TTH (1933). De Ontwikkeling En Studie Van „Kuo-Yü", De Moderne Taal Van China:
Utrecht.

Hasan, N., & ISR, SD (2014). Dinamika Aktivitas Pendidikan Sekolah THHK Mojokerto Pasca
Kemerdekaan.

Kuntowijoyo, DR (2005). Pengantar ilmu sejarah. Bentang Pustaka.

Lan, NJ (1940). Riwajat 40 Taon Dari Tiong Hoa Hwee Koan Batavia (1900-1939). Batavia.

Lie, R. (2017). Dr Oen Boen Ing: Dokter patriot, aktivis sosial, dan dokter orang miskin. Wacana,
18(2), 455-484.
Mulyadi, H. (2004). Sejarah Peranan dan Potensi Masyarakat Etnis Tionghoa di Surakarta. dalam
Kalimatun Sawa, 2(02), 33-34.

Yayasan Warga. (2005). 100 Tahun Yayasan Pendidikan Warga. Surakarta.

Anda mungkin juga menyukai