Terjemahan Minhajus Shalihin
Terjemahan Minhajus Shalihin
Minhajush Shalihin
Allamah Hilli
File : 024
Allamah Hilli mengatakan: sungguh aku telah menyusun bab ini kepada beberapa
pasal-pasal.
Pasal yang pertama dipembuktian wajib ta’ala Wajibal Wujud li dzatihi ta’ala. Lalu
kami megatakan (yaitu Allamah Hilli): semua yang difahami, yaitu semua mafhum,
apakah dia wajibal wujud di luar akal dengan dirinya sendiri, atau apakah dia
mungkinal wujud dengan dirinya sendiri atau apakah dia mumtani’ul wujud dengan
dirinya sendiri.
Lalu Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan pembahasan utama dan yang paling penting
di ilmu ini adalah pembuktian tentang Pencipta, yaitu Allah SWT. Maka dari itu,
Allamah Hilli memulainya dengan pembahasan tersebut dan mengutamakan
beberapa mukaddimah-muqaddimah untuk penjelasan pembuktian Allah SWT itu di
pembagian mafhum-mafhum atau fahaman-fahaman, dikarenakan kebergantungan-
nya dalil yang akan dijelaskan nantinya terhadap penjelasan tersebut (yaitu terhadap
penjelasan mukaddimah-mukaddimah itu).
Dan jika pensifatannya itu benar maka apakah dia pensifatannya itu wajib dengan
dirinya sendiri atau tidak, yang pertama yaitu yang pensifatannya itu wajib dengan
dirinya sendiri, maka dia adalah wajibul wujud dengan dirinya sendiri (li dzatihi) dan
dia adalah Allah SWT, tidak ada yang lain.
Dan yang kedua yaitu pensifatan yang di luar akal itu tidak wajib, maka dia adalah
mungkinul wujud dengan dirinya sendiri dan dia adalah segala sesuatu selain wajibul
wujud, dan kami menambahkan keterangan terhadap wajibul wujud dengan li zatihi
yaitu dengan dirinya sendiri untuk memisahkan dari wajibul wujud karena yang lain,
seperti kewajiban wujudnya akibat ketika hadirnya sebab sempurna, maka
sesungguhnya kewujudan akibat itu menjadi wajib, namun kewajibannya itu bukan
karena dirinya sendiri melainkan karena keberadaan sebab sempurnanya.
Dan kami menambahkan keterangan terhadap mumtani’ul wujud juga karena dirinya
sendiri itu untuk memisahkan dari kemustahilan dikarenakan yang lain, seperti
kemustahilan wujudnya akibat ketika tiadanya sebab sempurna.
PASAL KE SATU
KEKHUSUSAN WAJIBUL WUJUD DAN MUNGKINUL WUJUD
2) Bahwa Mungkinul wujud itu pasti butuh terhadap pemberi efek atau pemberi
akibat karena ketika dia memiliki arah yang sama dan seimbang yaitu antara
wujud dan adam yang dinisbatkan terhadap dirinya maka mustahilah
keutamaan salah satu dari yang lainnya, kecuali dengan adanya si pemberi
keutamaan dan ilmu terhadap hal ini adalah badihi atau gamblang atau mudah.
3) Bahwa mungkinul wujud yang bertahan yaitu yang terus berlangsung itu butuh
terhadap pemberi efek atau pemberi akibat, dan kami mengatakan demikian
karena imkan itu adalah kelaziman bagi mahiyahnya mungkinul wujud dan
mustahil menghilangkan imkan itu dari mungkinul wujud, karena jika tidak
demikian yakni jika kita menghilangkan imkan dari mungkinul wujud itu, maka
kelazimannya akan menjadi inkilab dan inkilab itu yakni merubahnya suatu zat
ke zat lain tanpa ada perubah dan ini mustahil. Maka jika tidak demikian
kelazimannya adalah inkilabnya dirinya dari imkan menjadi wujub dan
mumtanik, maka terbuktilah bahwa kebutuhan itu adalah kelaziman dari imkan.
Dan imkan adalah kelaziman daripada mahiyahnya mungkinal wujud. Dan
kelazimannya dari kelaziman adalah kelaziman. Maka kebutuhan kebutuhan
itu adalah kelaziman dari pada mahiyah dan hakikatnya mungkinul wujud. Dan
ini adalah yang ingin kita capai dan ini adalah hasil yang kita inginkan.
Allamah Hilli mengatakan bahwa tidak ada keraguan bahwa di alam ini terdapat
maujud secara pasti, jika maujud itu adalah wajibul wujud li dzatihi, maka kita telah
sampai pada kesimpulan kita dan jika si maujud itu adalah wujud mungkin, maka dia
akan butuh kepada wujud yang mewujudkan dirinya secara pasti. Dan jika si pemberi
wujud itu adalah wajibul wujud li dzatihi, maka kita telah sampai pada kesimpulan, dan
jika si pemberi wujud itu juga adalah mungkinul wujud, dia akan butuh kepada pemberi
wujud yang lain, dan jika pemberi wujud yang lain selain dirinya itu adalah si mungkinul
wujud yang pertama, maka ini akan menjadi daur dan daur adalah batal secara pasti.
Dan jika pemberi wujud yang lain itu juga mungkinul wujud yang lain maka akan
tasalsul dan tasalsul juga adalah batal, karena keseluruhan tiap-tiap silsilah yang
melingkupi seluruh mungkinul wujud itu adalah mungkinul wujud secara pasti, maka
mereka memiliki hukum bersama di imkanul wujud secara pastinya, maka tidak ada
cara lain, tidak ada jalan lain bagi si mungkinul wujud dari pada selain si pemberi
wujud yang di luar dari pada silsilah mungkinul wujud itu. Maka si pemberi wujud yang
diluar dari silsilah mungkinul wujud adalah wajibul wujud secara pasti dan dia adalah
kesimpulan kita.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan, bagi seluruh ulama secara keseluruhan di dalam
pembuktian Allah SWT ada dua jalan:
Jalan yang pertama adalah jalan istidlal atau berdalil dengan seluruh akibat-akibat
atau seluruh efek-efek yang butuh terhadap sebab kepada wujudnya sebagaimana
Allah SWT mengisaratkan terhadapnya di kitab Quran Al Aziz dengan perkataan Allah
SWT artinya : “Dan dalam waktu dekat kami akan menunjukkan kepada mereka
tanda-tanda kami di atas, yaitu di langit dan di diri mereka hingga jelas bagi mereka
bahwa hal itu adalah haq yakni bahwa Allah adalah Haq”.
Dan jalan ini adalah jalannya Nabi Ibrahim Al Halil as bahwa sesungguhnya Nabi
Ibrahim Al Halil as berdalil dengan tenggelamnya matahari yaitu dengan ghuruf
dimana dia adalah ghuruf itu adalah terbenamnya.. ke nya itu kegaiban yang
melazimkan dari pada harakat atau gerakan yang pastinya gerakan itu melazimkan
adanya hudus atau pembaharuan dimana pembaharuan itu melazimkan terhadap
pencipta, Allah SWT.
Dan jalan yang kedua dalam pembuktian tuhan adalah: melihat kepada wujud diri
wujud itu sendiri dan wujud itu terbagi menjadi wujud wajib dan wujud mungkin hingga
menjadi saksi terhadap wujudnya “wajibul wujud” yang dari wajibul wujud itu
muncullah seluruh selain wajibul wujud yaitu mungkinul wujud. Dan kepada
pembahasan tersebut dan terhadap pembahasan tersebut isyarah di Quran dengan
perkataan Allah SWT “Apakah tidak cukup bagi Tuhanmu bahwa Dia syahid atau
penyaksi bagi segala sesuatu”.
Maka yang dilazimkan adamul wajib (ketiadaan wajib) itu juga akan menjadi batal
maka butuhlah disini terhadap penjelasan dua hal yang pertama adalah penjelasan
tentang kelaziman daur dan tasalsul dan pembahasan kedua adalah penjelasan
tentang kebatalan daur dan tasalsul. Namun penjelasan hal yang pertama yaitu
tentang kelaziman daur dan tasalsul jika Allah SWT itu tidak ada bahwa di alam ini
yaitu di alam semesta di luar akal ini terdapat mahiyah-mahiyah yang tersifati dengan
wujud khoriji atau wujud luar akal secara pasti.
Jika wajibul wujud itu ada bersama dengan mahiyah-mahiyah yang diluar akal itu,
maka kita telah sampai kepada kesimpulan kita yaitu bahwa Allah SWT itu ada.
Namun jika wajibul wujud lizatihi itu tidak ada, kelazimannya bahwa akan melazimkan
samanya hukum dari mahiyyah-mahiyah itu secara keseluruhan di dalam
kemungkinannya karena tidak ada batasan dan tidak ada sela antara wajibul wujud
dan mungkinul wujud, maka tiada jalan lain daripada mahiyah-mahiyah mungkinul
wujud itu selain dari adanya pemberi dampak atau adanya sebab alam ini secara pasti
maka pemberi dampak itu atau sebab dari mahiyah-mahiyah itu jika dia adalah wajibul
wujud maka kita telah sampai pada kesimpulan pada pembahasan kita.
Dan jika si pemberi sebab itu juga adalah wujud mungkin maka dia akan butuh kepada
pemberi akibat yang lain yaitu sebab dalam hal ini. Dan pemberi akibat itu atau si
sebab itu jika dia adalah wujud mungkin yang sebelumnya telah kita misalkan maka
akan terjadi daur dan jika si pemberi akibat itu atau sebab yang lain itu adalah wujud
mungkin yang lain selain si mungkin yang pertama dan juga selain dirinya itu maka
pertanyaan kita akan terus berlangsung kepada dirinya. Dan kita mengatakan
sebagaimana yang telah kita sebutkan sebelumnya dan akan melazimkan tasalsul
dan telah jelaslah daripada kelaziman dari mahiyah itu.
Dan penjelasan terhadap hal yang ke dua yaitu terhadap kebatalan daripada daur
dan tasalsul dan kami mengatakan bahwa daur itu dia adalah bergantungnya sesuatu
terhadap susuatu dimana sesuatu itu bergantung terhadap sesuatu yang sebelumnya,
sebagaimana bergantungnya A terhadap B dan B terhadap A dan ini adalah batal
secara pasti karena ini, dari hal tersebut akan menghasilkan bahwa sesuatu yang satu
Dan sebab dari segala silsilah mungkinul wujud itu apakah dia dari dirinya sendiri atau
bagian dari dirinya atau sesuatu yang diluar daripada silsilah itu dan seluruh bagian-
bagian itu seluruhnya batal secara pasti. Namun kebatalan dari yang pertama yaitu
bahwa pemberi sebab itu adalah dirinya sendiri dikarenakan kemustahilan pemberian
akibat sesuatu terhadap dirinya sendiri dan jika tidak demikian maka akan melazimkan
dahulunya sesuatu terhadap dirinya sendiri dan ini juga batil atau batal sebagaimana
sebelumnya telah dijelaskan. Namun yang kedua yaitu si sebabnya adalah sebagian
dari silsilah itu. Maka ini juga jika sebabnya itu adalah sebagian dari dirinya, ini akan
melazimkan bawah sesuatu itu dia menjadi sebab dalam dirinya sendiri. Dikarenakan
dia adalah sebagian dari silsilah mungkinul wujud itu dan juga sebagian dari sebab
bagi dirinya sendiri karena akan melazimkan dahulunya sesuatu terhadap dirinya
sendiri dan terhadap sebabnya dan ini juga batal.
Namun yang ketiga yaitu pemberi akibat atau sebabnya adalah sesuatu yang diluar
dari silsilah mereka itu dikarena dua dalil, dalil pertama : Hal ini akan melazimkan
bahwa wujud yang diluar daripada silsilah itu adalah wujud wajib (wajibul wujud)
karena yang kita misalkan adalah keseluruhan dari mungkinul wujud di dalam silsilah
itu maka tidak ada wujud di luar dari silsilah itu selain wajibul wujud, karena tidak ada
antara dan tidak ada sela antara wajibul wujud dan mungkinul wujud. Maka akan
melazimkan kesimpulan kita yaitu adanya wajibul wujud sedangkan dalil yang kedua
menyatakan bahwa jika sebab dalam tiap-tiap dari silsilah mungkinul wujud itu adalah
sesuatu yang di luar dari silsilah mereka (silsilah mungkinul wujud) ini akan
melazimkan bersatunya dua sebab yang mandiri terhadap satu akibat yang satu. Dan
ini juga batal, karena yang kita misalkan adalah bahwa setiap satuan dari silsilah-
silsilah dari mungkinul wujud itu dia adalah sebab bagi yang berikutnya, dimana telah
dimisalkan dampak dan efek dari wujud luar dan di tiap-tiap satuan dari silsilah
PASAL KE DUA
Bahwa Allah SWT Qodir Mukhtar (yang Maha Kuasa dan Tidak Terpaksa)
dikarenakan bahwa alam adalah sesuatu yang terbaharui karena alam ini adalah jism
dan setiap jism tidak akan pernah terpisah daripada pembaharuan, maksud kami dari
pada pembaharuan yaitu harakat dan sukun yaitu bergerak dan berhenti dan
keduanya yaitu harakat dan sukun adalah hadis, adalah pembaharuan dikarenakan
keniscayaan keduanya terhadap keterdahuluan dengan sesuatu yang lain. Dan
sesuatu yang tidak pernah terpisah dari pada pembaharuan, maka dia adalah yang
terbaharui biz-zarurah yaitu secara pasti.
Maka si pemberi sebab di dalam alam ini yaitu Allah SWT adalah Qodir dan Mukhtar
yaitu yang Maha Kuasa dan Tidak Terpaksa (yaitu bebas, yaitu bisa memilih, bebas
memilih) karena jika Allah SWT itu Dia terpaksa, maka akibat-akibat dan dampak-
dampak dari Allah SWT tidak akan pernah berbeda dan tidak akan pernah
bertentangan dengan diriNya secara pasti, maka akan melazimkan dari hal tersebut
bahwa apakah alam ini dia adalah kadim atau Allah SWT yang Hudus dan keduanya
adalah batal.
Dan wujud lebih utama dan lebih mulia dari pada ketiadaan dan sesuatu yang lebih
mulia maka lebih dahulu dan lebih utama dari pada selain dirinya selain hal tersebut
yakni selain yang mulia tersebut. Dan Allamah Hilli memulai dengan sifat Qodir
dikarenakan penciptaan itu butuh terhadap Qudrat atau kekuatan maka perlulah kami
menyebutkan dan menjelaskan disini beberapa mukaddimah yang meliputi terhadap
gambaran dari mufrada-mufrada atau kata-kata di dalam pembahasan hal ini, maka
kami mengatakan Qodir dan Mukhtar dia adalah sesuatu dimana jika dia ingin
melakukan maka dia akan melakukan dan jika dia ingin meninggalkan maka dia akan
meninggalkan dengan disertai dengan adanya tujuan dan iradah dan mujab adalah
sesuatu yang bertentangan terhadap hal itu.
Dan perbedaan antara Mukhtar dan Mujab yaitu perbedaan antara yang bebas
memilih dan yang terpaksa itu ada beberapa perbedaan, Perbedaan yang pertama
bahwa sesuatu yang bebas yakni sesuatu yang Mukhtar maka dimungkinkan baginya
Perbedaan yang kedua yang bebas memilih dan yang terpaksa bahwa perbuatan
dari yang Mukhtar itu didahului dengan ilmu dan tujuan dan iradah dan berbeda
dengan yang terpaksa. Perbedaan yang ketiga antara yang bebas dan yang
terpaksa bahwa pekerjaan yang Mukhtar yaitu pekerjaan yang bebas memilih maka
dimungkinkan keterakhiran atau keterbelakangan dari pekerjaan tersebut yakni
dimungkinkannya keterakhiran pekerjaan tersebut dari si pelakunya.
Sedangkan pekerjaan yang terpaksa, maka dia tidak akan pernah terpisah dari si
pelaku seperti matahari terhadap penyinaran cahayanya dan seperti api terhadap
pembakarannya, dan alam adalah segala sesuatu yang wujud selain Allah SWT dan
Mukhdas (yaitu sesuatu yang terbaharui) dia adalah sesuatu dimana wujudnya di
dahului oleh sesuatu yang lain atau didahului dengan yang adam atau ketiadaan dan
qadim adalah sesuatu yang berbeda dari Mukhdas, atau Qadim adalah selain
Mukhdas dan jism dia adalah sesuatu yang menempati ruang dimana dia menerima
pembagian terhadap tiga arah yaitu panjang, lebar dan tinggi dan ruang dan tempat
adalah satu, bermakna satu dan dia adalah tempat dimana adzam-adzam atau jism-
jism itu memenuhi tempat tersebut dengan kehadirannya si jism di tempat tersebut
dan harikat atau gerakan adalah kehadiran jism di satu tempat setelah tempat yang
lain dan sukun atau diam adalah kehadiran kedua di satu tempat.
Jika hal ini telah jelas maka kami mengatakan : kapan saja alam itu mukhdas maka si
pemberi dampak atau si pemberi akibat di alam tersebut yaitu Allah SWT, maka dia
adalah Qadir dan Mukhtar maka disini ada dua hipotesa, hipotesa yang pertama atau
pengajuan yang pertama bahwa alam ini adalah mukhdas yaitu terbaharui dan
hipotesa atau pengajuan yang kedua bahwa alam yang terbaharui ini melazimkan
ihtiarnya si pencipta atau melazimkan keterbebasannya si pencipta apakah ingin
melakukan seuatu atau tidak melakukan sesuatu, namun penjelasan hipotesa atau
pengajuan awal, pengajuan yang pertama dikarenakan yang dimaksud dengan alam
bagi para mutakallim dia adalah seluruh langit dan bumi dan apa saja yang di langit
dan di bumi dan apa saja yang diantara langit dan bumi dan hal itu yaitu apakah dia
jism atau araad dan keduanya adalah hadis atau terbaharui.
Namun jism maka jism itu dia tidak akan pernah kosong dari pada Harikat (gerakan)
dan syukun (diam), yang keduanya adalah hadis dan segala sesuatu yang tidak
pernah kosong dari hadis, dari kejadian-kejadian maka dia adalah hadis, namun
bahwa jism itu dia tidak pernah kosong dari pada gerakan dan diam yaitu harakat dan
syukun dikarenakan setiap jism itu tidak ada jalan lain baginya dari pada tempat
karena setiap jism maka pastilah memiliki tempat, dan dalam keadaaan ini apakah dia
berdiam diri di tempat tersebut maka dia adalah berdiam yaitu syukun, atau dia
bergerak dari tempat tersebut dan dia adalah mutahharrik atau yang bergerak karena
tidak ada antara yaitu tidak ada diantara keduanya, diantara syukun dan mutaharrik
tersebut.
Namun bahwa keduanya adalah hadis dikarenakan keduanya didahului oleh sesuatu
yang lain dan tidak ada satupun yang qadim yang terdahului oleh sesuatu yang lain
maka tiada satupun dari harikat dan sukun yang qadim maka keduanya yaitu harikat
dan syukun adalah hadis karena tidak ada perantara qadim dan hadis namun bahwa
keduanya yaitu harikat dan syukun didahului sesuatu yang lain dikarenakan harikat
atau gerakan adalah khusulnya yang awal pada tempat yang kedua yaitu kehadiran
yang awal pada tempat yang kedua.
Maka gerak itu di dahului oleh tempat yang pertama secara pasti dan syukun
bermakna kehadiran yang kedua pada tempat yang pertama maka dia didahului oleh
tempat yang pertama secara pasti, namun setiap segala sesuatu yang tidak kosong
dari kejadian-kejadian, maka dia adalah hadis dikarenakan jika tidak demikian yaitu
jika dia bukanlah hadis maka dia pasti adalah qadim dalam keadaan ini apakah
sesuatu bersamanya di kekadiman itu yaitu dalam keadaan jika dia qadim, maka
apakah bersamanya di kekadiman itu ada sesuatu dari kejadian-kejadian yang lazim
baginya atau tidak demikian atau tidak ada sesuatu yang bersamanya di kekadiman
dari kejadian-kejadian yang melazimkan dirinya jika yang dimaksud adalah yang
pertama yaitu bersamanya di kekadiman itu ada sesuatu dari kejadian-kejadian yang
melazimkan dirinya, maka akan melazimkan penggabungan yang qadim dan yag
khudus secara bersamaan pada sesuatu, dan ini adalah mustahil. Dan jika yang
dimaksud adalah yang kedua, dimana tidak ada sesuatu yang bersamanya dalam
keqadiman dari kejadian-kejadian yang melazimkan dirinya itu, maka akan
melazimkan kebatalannya apa-apa yang telah diketahui secara pasti. Dan apa yang
telah diketahui itu adalah kemustahilan terpisahnya kejadian dari dirinya, dan ini
adalah mustahil.
Namun araad atau sifat-sifat maka dia adalah sesuatu yang butuh dikewujudannya
pada jism-jism dan sesuatu yang butuh kepada yang terbaharui maka diia lebih utama
dan lebih layak terhadap kepembaharuan itu atau khudus itu.
Namun penjelasan tentang hipotesa kedua yaitu bahwa alam yang terbaharui ini akan
melazimkan ikhtiarnya si pencipta, maka penjelasannya bahwa alam yang terbaharui
Namun dampaknya itu juga hudus maka akan melazimkan kehadisan atau
keterbaruan sipemberi dampak akibat tersebut dikarenakan adanya kelaziman antara
pemberi dampak dan dampak yang diberikan itu. dan kedua-duanya adalah mustahil,
maka jelaslah bahwa jika Allah SWT itu mujab maka melazimkan apakah keqadiman
alam atau kekhudusan Allah SWT dan keduanya adalah batal. Maka terbuktilah
bahwa Allah SWT itu Qadir dan Mukhtar dan ini adalah sesuatu yang ingin kita capai.
Allamah Hilli mengatakan: qudratNya atau kekuatan Allah SWT itu meliputi seluruh
makturot yaitu seluruh mungkinul wujud atau seluruh yang dapat dikuasai karena
sebab dari kebutuhan terhadap Allah SWT, dia adalah imkan dan nisbatnya atau
hubungannya Dzat Allah SWT terhadap seluruh mungkinul wujud itu sama, maka
qudrat Allah SWT bersifat umum.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan: ketika terbukti bahwa Allah SWT itu qodir dan
berkuasa, maka Allamah Hilli memulai terhadap penjelasan ke umuman atau
keuniversalan qudrat Allah SWT dan para ulama saling berbeda pendapat terhadap
pembahasan hal ini.
Dan ketika para ulama dan hukamah mengatakan bahwa sesuatu yang satu tidak
keluar darinya kecuali yang satu dan orang-orang yang menyembah dua tuhan ketika
beranggapan bahwa Allah SWT tidak memiiliki kuasa terhadap keburukan dan juga
ulama yang bernama Nazom ketika berkeyakinan bahwa Allah SWT tidak berkuasa
terhadap keburukan dan ulama yang bernama Balaghi ketika menentang atau ketika
menolak kuasa tuhan atau kuasa Allah SWT terhadap sesuatu, yang seperti yang kita
kuasai. dan Jabba’i yaitu dua saudara ulama jabba’i ketika menolak kuasa Allah SWT
terhadap ain atau terhadap sebagaimana kuasa mahlukNya dan yang benar adalah
bertentangan dengan itu semua.
Dan pendapat yang benar adalah yang bertentangan dengan itu semua dan dalil
terhadap apa yang kami sampaikan bahwa ternafikannya penghalang yang
dinisbatkan atau yang dihubungkan terhadap Dzat Allah SWT dan yang dihubungkan
terhadap apa yang dikuasai atau makdur atau yang dikuasai oleh Allah SWT maka
wajiblah keterliputan secara umum atau universal namun penjelasan yang pertama,
bahwa sesungguhnya yang meniscayakan bahwa Allah SWT itu adalah qodir, dia
adalah Dzat Allah SWT itu sendiri dan hubungan Dzat Allah SWT terhadap seluruh
mungkinul wujud dia hubungan seimbang atau hubungan sama dikarenakan
kenonmaterian Dzat Allah SWT itu maka yang diniscayakan dari Dzat itu juga adalah
keseimbangan hubungan atau keseragaman hubungan dan ini adalah yang ingin kita
capai atau ini adalah tujuan yang ingin kita capai.
Dan penjelasan yang kedua maka sesungguhnya yang meniscayakan bahwa sesuatu
itu adalah yang dikuasai oleh Allah SWT adalah keimkanan dan kemungkinan dari
sesuatu itu sendiri dan imkan adalah sama bagi seluruh mungkinul wujud maka sifat
terkuasai itu juga sama bagi seluruh mungkinul wujud dan ini adalah yang ingin kita
capai dan ketika penghalang itu telah ternafikan ketika dihubungkan terhadap yang
qodir yaitu yang menguasai dan hubungan terhadap yang dikuasai maka wajiblah
keterliputan secara umum dan ini adalah yang ingin kita capai yaitu wajiblah
keterliputan kekuasaan Allah SWT secara umum dan ini adalah yang ingin kita capai.
Dan ketahuilah bahwa dari keterliputan qudrat Allah SWT tidak melazimkan
keterjadian dari mungkinul wujud yang terjadi dikarenakan qudrat Allah SWT dia
adalah sebagian dari mungkinul wujud sekalipun Allah SWT itu berkuasa terhadap
segala sesuatu dan Asy’ari bersepakat dalam keyakinan terhadap keumuman
peliputan dari qudrat Allah SWT dan mereka meyakini adanya kejadian mungkinul
wujud sebagaimana yang akan dijelaskan penjelasannya insyaAllah ta’ala.
2. Alim
Allamah Hilli mengatakan sifat yang kedua dari sifat subutiyah Allah SWT, bahwa
Allah SWT adalah “Alim” karena Allah SWT melakukan pekerjaan-pekerjaan yang
muhkam dan mutkan yaitu penuh dengan hikmah dan penuh dengan perhitungan
yang pasti dan setiap sesuatu yang melakukan hal demikian maka dia pastilah alim.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan dari sebagian sifat-sifat subutiyah Allah SWT
bahwa Allah SWT itu alim dan alim adalah sesuatu atau seseorang yang baginya
segala sesuatu itu menjadi jelas sedemikian sehingga segala sesuatu itu hadir bagi
seseorang tersebut dan tidak tersembunyi darinya.
Dan setiap pekerjaan yang muhkam yang penuh hikmat dan penuh keyakinan dan
kepastian itu, itu meliputi segala hal-hal yang ajib gharib dan meliputi seluruh
kehususan yang banyak dan dalil terhadap bahwa Allah SWT itu alim ada dua dalil:
1. Bahwa Allah itu Mukhtar dan setiap yang Mukhtar itu adalah alim namun sugro
(premis pertama/Premis minor) telah berlalu penjelasannya namun qubro
(Premis Mayor) maka dikarenakan pekerjaan Mukhtar atau perbuatan Mukhtar
itu mengikuti tujuan si Mukhtar itu dan mustahil adanya tujuan dari sesuatu
tanpa disertai dengan ilmu terhadap sesuatu itu.
2. Bahwa Allah SWT itu Mukhtar bahwa Allah SWT melakukan perbuatan yang
penuh hikmat dan penuh keyakinan dan kepastian dan segala sesuatu yang
melakukan hal demikian maka dia pastilah alim namun bahwa Allah SWT
melakukan perbuatan yang penuh hikmat dan penuh keyakinan maka dia jelas
dan gamblang dan mudah bagi orang yang mentadabburi dan memikirkan dan
meneliti mahluk-mahluk Allah SWT namun dari sisi langit maka dilihat dari
keteraturannya gerakan-gerakan langit yaitu kehususan dari empat musim
dimana musim panas, musim dingin, musim semi dan musim gugur serta
khaifiyat dan kebagaimanaannya runutan dan susunan dari gerakan-gerakan
itu serta keadaaan dan kondisi dari gerakan itu. Dan ini jelas di dalam ilmu
tuhan namun dari sisi kebumian atau bumi maka dengan jelasnya di dalam
hikmah tiga rangkapan yaitu hewan, tumbuhan dan benda mati dan juga dari
hal-hal yang gharib atau hal-hal yang ajaib yang dihasilkan dari tiga rangkapan
tersebut.
Dan juga dari kehususan yang ajib atau kehusuan yang luar biasa atau kehususan
yang mengherankan yang meliputi terhadap tiga rangkapan tersebut dan jika tidak
ada hikmah tersebut kecuali pada penciptaan manusia, maka cukuplah hikmah
tersebut pada penciptaan manusia itu dan juga pada susunan dari penciptaan itu dan
juga pada indera manusia itu dan juga pada sesuatu yang meliputi hal-hal dari panca
“Apakah mereka tidak berfikir dan tidak memikirkan didalam diri mereka bahwa Allah
SWT tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang diantaranya kecuali dengan
Haq yaitu kecuali dengan kebenaran dan kecuali dengan kepastian”
Dan dari keajaiban tersebut dan sebagian dari keajaiban tersebut dan sebagian dari
keajaiban peciptaan manusia bahwa setiap bagian dari tubuh manusia itu terdapat
empat daya yaitu daya serap, daya rekat, daya penggiling atau penghancur dan daya
penyalur atau penyampai, namun daya serap itu maka hikmahnya daya serap bahwa
badan ketika badan itu senantiasa didalam pergerakan selalu didalam perubahan,
maka butuh terhadap penyerapan yang menyerap apa-apa yang telah dimana
menyerap sesuatu untuk menggantikan apa-apa yang telah dikeluarkannya dan daya
rekat, maka dikarenakan makanan yang telah diserap tadi sifatnya itu dia berantakan,
yaitu tidak merekat yaitu tidak bergumpal atau tidak menyatu dan tubuh-tubuh badan
juga tidak merekat maka tiada jalan lain kecuali dengan bantuan daya rekat tersebut.
Sehingga nantinya daya penghancur itu akan bekerja didalam makanan yang telah
direkatkan itu sedangkan daya penghancur, maka dia merubah makanan menjadi
sesuatu yang bisa digunakan untuk bagian dari pada saripati makanan dan daya
penyalur maka dia adalah daya yang menyalurkan makanan tadi itu yang telah
dihancurkan oleh daya penghancur yang siap dipakai untuk seluruh tubuh namun
setiap segala sesuatu yang melakukan pekerjaan yang penuh hikmah dan keyakinan
dan penuh kepastian maka dia pasti alim maka ini adalah hal yang badihi dan
gamblang bagi orang-orang yang menekuni hal tersebut dan memikirkan hal tersebut.
Allamah Hilli mengatakan bahwa ilmu Allah SWT meliputi segala sesuatu yang bisa
difahami dikarenakan kesamaan hukum dan hubungan ilmu Allah SWT terhadap
seluruh yang bisa difahami itu kenapa karena Allah SWT itu Hayyun yaitu Hayat yaitu
Hidup dan segala yang hidup maka mungkin dan dapat untuk mengetahui segala yang
dapat diketahui maka wajiblah bagi Allah SWT untuk pengetahuan tersebut
dikarenakan kemustahilan kebutuhan Allah SWT terhadap selain diriNya.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan bahwa Allah SWT itu ‘Alim terhadap segala
sesuatu yang bisa difahami apakah dia wajib atau dia mungkin, apakah dia qadim
ataukah dia hadis berbeda dengan filosof, ketika para filosof menentang adanya ilmu
tuhan terhadap segala yang juz’i dan partikular yakni terhadap segala yang juz’i dalam
ke jus’iannya yakni terhadap yang partikular dalam kepartikularannya dikarenakan
perubahan segala yang partikular tersebut dimana perubahan tersebut
melazimkankan perubahan ilmu Dzati Allah SWT.
Kami mengatakan yang berubah itu adalah keterhubungan yang iktibari atau
keterhubungan yang bukan hakiki dan yang berubah itu bukanlah ilmu Dzat Allah SWT
dan dalil terhadap apa yang telah kami katakan bahwa Allah SWT itu bisa mengetahui
segala yang dapat diketahui maka wajiblah bagi Allah SWT pengetahuan tersebut.
Namun bahwa Allah SWT dapat mengetahui segala yang bisa diketahui dikarenakan
bahwa Allah SWT itu hidup dan segala yang hidup maka dia bisa dan bisa baginya
untuk mengetahui dan hubungan kebisaan ini yaitu hubungan kebisaan mengetahui
yang dapat diketahui terhadap segala sesuatu selain Tuhan adalah hubungan yang
sama maka samalah hubungan seluruh yang dapat diketahui terhadap tuhan, namun
bahwa jika sesuatu itu bisa diketahui oleh Allah SWT maka pengetahuan terhadap
sesuatu itu wajib bagi tuhan dikarena sifat Allah SWT adalah sifat Dzati dan sifat Dzati
kapan saja dia bisa berlaku bagi tuhan maka dia wajib bagi tuhan karena jika tidak
demikian maka pensifatan Dzat tuhan terhadap sifat Dzati tersebut akan butuh kepada
selain tuhan maka Allah SWT akan butuh kepada selain diriNya dalam ilmuNya dan
ini mustahil.
3. Hidup (Hayat)
Allamah Hilli mengatakan sifat yang ketiga dari sifat subutiyah bahwa Allah SWT itu
hidup dikarenakan bahwa Allah SWT itu Qodir dan Alim maka Allah SWT Hidup
secara pasti.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan bahwa salah satu dari sifat subutiyah Allah SWT,
bahwa Allah SWT itu Hidup dan para filosof dan Abul Hasan Basri mengatakan bahwa
Hayat tuhan yaitu hidupnya Allah SWT itu adalah kesifatan Allah SWT terhadap yakni
kebolehan disifatinya Allah SWT terhadap Qudrat dan Ilm’.
Dan Asy’ari yakni kelompok Asy’ari mengatakan bahwa sifat hayatnya Allah SWT
adalah sifat yang bertambah bagi Dzat Allah SWT dan sifat itu yakni sifat yang
bertambah bagi Dzat Allah SWT itu, itu berbeda dengan kebolehan dan kebisaan
pensifatan Dzat tuhan terhadap Qudrat dan Ilmu, dan yang benar adalah pendapat
yang pertama dikarenakan yang asli adalah ketiadaan penambahan terhadap Dzat
Tuhan dan Allah SWT itu telah terbuktikan bahwa dia adalah Qodir dan Alim maka
Allah itu hidup secara pasti dan ini adalah yang ingin dibuktikan dan ini adalah yang
ingin dituju dan ini adalah yang kita inginkan.
Allamah Hilli mengatakan sifat ke empat dari sifat subutiyah Allah SWT bahwa Allah
SWT itu yang beriradah dan yang tidak berkehendak, yang berkehendak dan tidak
berkehendak dikarenakan penentuan perbuatan-perbuatan dengan mengwujudkan
perbuatan tersebut disatu waktu bukan di waktu yang lain itu tiada cara lain dari
adanya penentu dan penentu itu dia adalah Iradah dan dikarenakan bahwa Allah SWT
itu memerintah dan melarang dan keduanya itu melazimkan adanya iradah atau
kehedak dan tidak berkehendak atau kirahat atau karohat secara pasti.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan bahwa seluruh muslim itu menyepakati terhadap
pensifatan Allah SWT terhadap iradah. Dan mereka para muslim itu berbeda di
makna iradah tersebut.
Maka Abu Hasan Basri mengatakan bahwa Iradah itu adalah ilmu Tuhan terhadap
sesuatu diperbuatan, yakni diperbuatan tuhan yaitu kemaslahatan yang melazimkan
terhadap penciptaan perbuatan tersebut dan Najjar mengatakan bahwa makna tuhan
itu memiliki Iradah atau kehendak itu adalah bahwa tuhan itu tidak bisa di kalahkan
dan tuhan tidak bisa dikuasai atau tidak bisa dikalahkan dan tuhan tidak bisa
diperintah maka maknanya dalam keadaaan ini maka makna iradah itu adalah makna
salbi atau makna negatif namun si pemberi pendapat ini, yakni orang yang
berpendapat demikian itu mengambil kelaziman sesuatu dari tempatnya yaitu ini
merupakan makna majasi.
Dan Balaghi mengatakan bahwa iradah segala perbuatan tuhan adalah ilmu tuhan
terhadap perbuatan tersebut dan iradah tuhan di segala perbuatan selain tuhan itu
adalah perintah tuhan terhadap perbuatan tersebut, maka jika yang dimaksudkan oleh
Balaghi bahwa kehendak itu adalah ilmu mutlaq maka dia bukanlah iradah, maka ilmu
mutlaq itu bukanlah iradah sebagaimana yang akan dijelaskan nantinya.
Dan jika yang dimaksudkan balaghi bahwa iradah itu atau kehendak itu adalah ilmu
yang dikaitkan (bukan ilmu mutlak) melainkan ilmu yang dikaitkan dengan
kemaslahatan maka dia sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Hasan Basri namun
perintah maka dia melazimkan adanya iradah, bukanlah perintah itu adalah si Iradah
itu sendiri dan As’ari dan Karamiyah dan sebagian dari muktazilah mengatakan bahwa
iradah tuhan adalah sifat yang bertambah bagi Tuhan dan berbeda dari Qudrat Tuhan
dan ilmu Tuhan dan sifat ini adalah penentu bagi perbuatan tuhan atau dan sifat ini
adalah penghusus bagi perbuatan tuhan.
Lalu mereka berbeda pendapat dan Asy’ari mengatakan bahwa iradah ini dia
bertambah bagi tuhan dan bermakna qodim sedangkan muktazilah dan karomiyah
mengatakan bahwa dia bermakna hadis, maka karomiyah mengatakan bahwa sifat ini
adalah Qoim terhadap diri tuhan, yaitu berdiri bagi Dzat tuhan dan mukatazilah
Maka dalam keadaan ini yang benar adalah yang disampaikan oleh Abul Hasan Basri
dan dalil terhadap pembuktian iradah tuhan itu ada dua: yang pertama bahwa
penghususan perbuatan-perbuatan tuhan dengan mewujudkan di satu waktu dan
bukan di waktu yang lain dan terhadap suatu keadaan bukan pada keadaan yang lain
dengan samanya waktu dan keadaan jika dihubungkan terhadap si pewujud dan si
penerima, maka tiada jalan lain kecuali dengan adanya penghusus atau penentu dan
si penghusus dan penentu ini apakah dia qudrat atau dia ilmu.
Jika dia qudrat dzati maka si qudrat dzati ini dia memiliki hubungan yang sama
terhadap seluruh mungkinul wujud, maka dia tiidak bisa menjadi penghusus dan juga
dikarenakan bahwa kelayakan dari si qudrat ini adalah pemberi dampak dan pewujud
tanpa adanya tarjih yakni tanpa adanya pilihan atau kecendrungan sedangkan ilmu
mutlaq, maka ilmu mutlaq itu mengikuti terhadap penentuan mungkinul wujud dan juga
kepastian dan taqdir terhadap kewujudan mungkinul wujud maka dia ilmu mutlaq ini
juga bukanlah penentu dan penghusus karena jika tidak demikian maka si ilmu mutlaq
ini bukanlah pengikut, melainkan yang diikuti namun sifat-sifat yang lain selain kedua
itu maka terbukti dan jelas bahwa sifat-sifat yang lain itu tidak bisa dan tidak memiliki
kelayakan untuk menentukan dan menghususkan.
Maka disimpulkan si penghusus dan penentu dia adalah ilmu khusus tuhan yang
meniscayakan terhadap penentuan mungkinul wujud dan kewajiban wujudnya
mungkinul wujud dari tuhan dan ilmu yang di sertai terhadap kemaslahatan dimana
kemaslahatan itu tidak hadir tidak muncul kecuali pada satu waktu atau pada satu
keadaan dan penentu ini atau penghusus ini dia adalah iradah.
“Bahwa jika ilmu mutlak, maka ilmu mutlak itu mengikuti taiiyin dan penetuan
mungkinul wujud dan juga taqdir terhadap kewujudan si mungkinul wujud itu maka dia
bukanlah muhassis atau dia bukanlah penentu atau penghusus karena jika tidak
demikian maka dia pasti adalah yang di ikuti. “ 1
1
Penjelasannya: bahwa ilmu mutlaq itu setelah adanya yang diketahui sebagaimana kita
memiliki ilmu terhadap manisnya gula setelah ada wujud gulanya maka kalau wujud gula itu
tidak ada maka ilmu terhadap manisnya gula tidak ada maka ilmu itu dia lebih akhir dari pada
wujud yang mau diketahui itu dan ilmu itu bergantung terhadap yang ingin diketahui itu,
barulah ilmu itu ada. Sedangkan penghususan itu harusnya lebih dulu dari pada
wujudnya si gula tadi yaitu secara kaidah semestinya penghususan dulu lalu
muncullah di wujud gula itu baru muncullah si ilmu itu tetapi jika si ilmu itu dia adalah
penghusus maka ilmu ini bukan lagi yang terakhir bukan lagi yang lebih akhir
melainkan dia menjadi lebih awal dari pada si dzat tersebut maka ini bertentangan
dengan keadaan si ilmu itu dimana semestinya ilmu itu lebih akhir maka ketika dia
menjadi penghusus maka dia lebih awal daripada yang ingin diketahui dan ini salah.
Demikian terima kasih.
Dalil kedua bahwa Allah SWT itu memiliki kehendak dan iradah bahwa Allah SWT itu
memerintah dengan perkataannya di firmannya, Firman Allah SWT (surah Rum Ayat
31) dikatakan “dan tegakkanlah sholat” dan juga melarang dengan perkataannya di
firmannya (Surat Al israa ayat 32) “dan jangan dekati zinah”. Maka perintah terhadap
sesuatu melazimkan kehendaknya , melazimkan kehendak tuhan dan melarang dari
sesuatu melazimkan ketidaksukaan Allah tersebut atau ketidak kehendakan Allah
SWT maka Allah SWT dia berkehendak dan dia tidak berkehendak dan ini adalah
yang ingin kita capai. Dan disini ada dua kaidah:
1. Bahwa ketidak sukaan tuhan, atau ketidak kehendakan tuhan dia adalah ilmu
tuhan terhadap sesuatu yang meliputi perbuatan terhadap keburukan dan
kefasadan yang menghalangi dari terwujudnya sesuatu itu sebagaimana bahwa
iradah Allah itu dia adalah ilmu tuhan yang meliputi terhadap kemaslahatan yang
melazimkan terhadap kewujudan sesuatu itu.
2. Bahwa iradah tuhan, dia tidaklah bertambah sebagaimana yang telah kami
katakan yakni dia tidaklah bertambah bagi tuhan sebagaimana yang telah kami
jelaskan karena jika tidak demikian maka sifat itu pastilah apakah dia bermakna
qadim sebagaimana yang dikatakan oleh Asy’ari maka akan melazimkan
banyaknya yang qadim yaitu banyaknya tuhan atau dia melazimkan yang hadis
tetapi jika dia melazimkan yang hadis, apakah kehadisan sifat ini di dzat tuhan
sebagaimana dikatakan oleh Karamiyah maka aka menjadikan bahwa tuhan
adalah tempat bagi sesuatu yang hadis dan ini juga batal sebagaimana yang akan
dijelaskan nantinya. Atau apakah yang hadis ini adalah di selain tuhan maka ini
akan melazimkan kembalinya hukum tuhan terhadap selain tuhan, kembalinya
juga bukan kepada tuhan dan ini juga batal atau juga bahwa yang hadis ini dia
File : 041
Atau juga sifat yang hadis ini dia tidak berada di suatu tempat sebagaimana yang
dikatakan oleh muktazilah dan dalam pernyataan ini terdapat dua kesalahan yang
pertama hal ini melazimkan tasalsul diikarenakan sesuatu yang hadis dia harus
didahului oleh kehendak yang mencipta maka dalam keadaan ini ketika si iradah itu
adalah hadis maka si iradah itu juga harus didahului oleh iradahnya si pencipta berarti
iradah yang pertama itu adalah hadis maka kita tanya lagi kepada iradah yang kedua
itu apakah iradah kedua itu hadis atau bukan jika hadis maka dia juga didahului oleh
iradah pencipta maka kita tanya lagi kepada iradah yang kedua apakah dia hadis atau
bukan jika dia hadis maka akan begitu seterusnya dan akan tasalsul. Kesalahan yang
kedua dikarenakan kemustahilan kewujudan sifat tidak pada suatu tempat.
5. Mudrik
Allamah Hilli mengatakan sifat yang kelima dari sifat Subutiyah bahwa Allah SWT itu
mudrik karena dia hidup maka benarlah bahwa Allah itu mudrik atau mengindraki atau
merasai dan didalam qur’an juga terdapat pembuktian bahwa Allah itu mudrik, maka
wajiblah pembuktian terhadap kemudrikan tuhan.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan bahwa dalil-dalil naqli dan dalil-dalil nash itu telah
menjelaskan dan membuktikan terhadap pensyifatan Allah terhadap idrok atau
merasakan dan dia idrok ini adalah bertambah bagi tuhan dan kita mendapati
perbedaan yang pasti antara ilmu kita terhadap yang hitam dan yang putih dan juga
ilmu kita terhadap suara yang jelek dan suara yang baik dan juga perasaan atau
merasakannya kita terhadap perbedaan-perbedaan itu dan penambahan ini.
Hal itu kembali kepada penerimaan alat indera tetapi dalil-dalil akal itu telah
menjelaskan dan membuktikan kemustahilan alat indera bagi Allah SWT maka
mustahillah penambahan ini bagi Allah SWT maka dari itu idrok Allah SWT dia adalah
ilmu Allah SWT terhadap yang di idroki atau yang rasai dan dalil terhadap kebenaran
pensifatan Allah terhadap idrok itu dia adalah dalil terhadap bahwa tuhan itu alim bagi
seluruh yang bisa diketahui atau mengetahui terhadap seluruh yang bisa diketahui,
karena Allah itu Hayyun yaitu hidup maka dia bisa merasakan atau mengidroki dan
juga didalam qur’an telah membuktikan hal tersebut yaitu disurah An-Aam Ayat 103 :
Maka wajiblah pengisbatan, pensifatan tuhan terhadap idrok ini dan idrok tuhan
adalah ilmu tuhan terhadap yang bisa dirasai itu dan ini adalah yang ingin kita capai.
6. Sarmadi
Allamah Hilli mengatakan sifat ke enam dari sifat subutiyah Allah SWT bahwa Allah
SWT Qadim, Azali, Baqi, dan Abadi dikarenakan Allah SWT adalah Wajibul wujud
maka mustahil ketiadaan dan sobiq atau keterdahuluan dan rohiq atau sesuatu yang
melekat kepadanya.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan keempat siat ini yaitu sifat Qadim, Azali, Baqi dan
Abadi adalah kelaziman dari wajibul wujud. Maka qadim dan Azali keduanya adalah
sesuatu yang menyertai seluruh zaman yang sudah terjadi dan yang telah ditaqdirkan
dimana zaman tersebut dihubungkan terhadap zaman terdahulu dan baqi adalah
keberlangsungan wujud yang disertai pada semua zaman dan abadi adalah sesuatu
yang menyertai seluruh zaman yang terjadi baik itu zaman yang telah terjadi atau
zaman yang ditaqdirkan dinisbatkan terhadap zaman yang akan datang.
Dan Sarmadi meliputi seluruh empat hal tersebut. Yaitu empat sifat tersebut dan dalil
terhadap bahwa Allah SWT itu Sarmadi bahwa sebelumnya telah dibuktikan bahwa
Allah SWT itu wajibal wujud maka mustahillah bagi Allah ketiadaan mutlaq. Baik itu
ketiadaan sebelum yakni ketiadaan sebelum, dimana dimisalkan bahwa Allah itu
tidaklah qadim dan tidaklah azali atau sesuatu itu melekat kepadanya yakni sesuatu
baru masuk kepadanya ini dalam permisalan bahwa tuhan itu tidaklah baqo dan juga
tidak abadi dan ketika ketiadaan mutlaq itu mustahil bagi tuhan maka terbuktilah ke
qadiman tuhan dan keazalian tuhan dan kebaqoan tuhan atau keberlangsungan tuhan
dan juga keabadian tuhan dan ini adalah sesuatu yang ingin kita capai.
7. Mutakallimin
Allamah hilli mengatakan sifat subutiyah yang ke tujuh dari Allah SWT bahwa Allah
SWT Mutakallim dan maksud dari pada kalam adalah huruf dan suara yang didengar
dan yang tersusun dan makna bahwa Allah SWT itu mutakallim bahwa Allah
menciptakan kalam pada jism, dan penafsiran Asy’ari itu tidak makkul atau tidak
masuk akal.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan dari sebagian sifat Allah SWT bahwa Allah SWT
itu mutakallim dan seluruh muslim itu menyepakati terhadap hal tersebut dan orang-
orang muslim itu berbeda pada beberapa bagian pada empat bagian :
Dan pendapatnya muktazilah itu adalah benar karena ketiadaan dalil akal dan
apa yang dijelaskan oleh Asy’ari bahwa itu adalah dalil maka itu bukanlah dalil
yang sempurna dan seluruh nabi bersepakat terhadap hal itu dan pembuktian
nubuwwah dan kenabian para nabi itu tidak bergantung terhadap mutakallim itu
yaitu tidak bergantung terhadap pembuktian sifat mutakallimnya tuhan.
dikarenakan keperbolehan dan kebolehan membuktikan kebenaran kenabian
para nabi selain dengan kalam melainkan pembuktian kebenaran kenabian para
nabi itu bergantung kepada mukjizat maka tidak terjadi daur maka wajiblah
pembuktian kemutakalliman tuhan itu dari nash atau naql ayat qur’an dan
riwayat.
B. Perbedaan yang kedua pada mahiyah dan hakikat kalam tuhan, maka Asy’ari
beranggapan bahwa kalam tuhan itu adalah makna yaitu sebuah makna dan dia
kadim dan dia berdiri sendiri, yaitu berdiri pada tuhan dan mereka mengatakan
bahwa kalam itu dengan penjelasan yang berbeda-beda, yang berbeda dengan
ilmu dan qudrat, maka kalam bagi Asy’ari bukanlah huruf dan bukanlah suara dan
juga bukanlah perintah dan juga bukan larangan dan juga bukan khabar dan juga
bukan sesuatu yang bukan cara-cara kalam itu atau cara-cara berbicara
sedangkan muktazilah dan Karamiyah dan Hanabilah mengatakan bahwa kalam
tuhan itu adalah huruf dan suara yang tersusun dengan susunan yang
Dalil yang pertama adalah bahwa apa yang difahami secara sederhana dari orang-
orang yang berakal bahwa kalam itu adalah huruf dan suara yang tersusun dan
karena itulah orang yang diam dan tidak bisa berbicara itu tidak disifati dengan
kalam.
Dalil yang kedua adalah bahwa apa yang telah disebutkan oleh orang-orang
Asy’ari itu, itu tidak bisa difahami, karena yang bisa difahami apakah dia itu qudrat
dzati tuhan dimana dari Qudrat itu terciptalah huruf dan suara padahal mereka
mengatakan bahwa ini kalam ini adalah selain daripada qudrat tuhan itu.
Atau yang dapat difahami bahwa dia adalah ilmu padahal mereka mengatakan
bahwa kalam itu adalah selain ilmu dan sifat-sifat yang lain itu tidak bisa menjadi
sumber daripada kalam dan ketika kalam yang mereka sebutkan itu tidak bisa
difahami maka tidak bisa dibuktikan karena pembuktian dan pembenaran itu
didahului oleh tasyawwur dan fahaman.
C. Perbedaan yang ketiga dari pada perbedaan orang-orang islam dalam sifat kalam
Allah adalah bahwa sifat itu berdiri pada apa?
Kelompok Asy’ari dikarenakan mengatakan bahwa kalam itu adalah makna maka
mereka mengatakan bahwa kalam itu berdiri pada dzat tuhan sedangkan orang-
orang yang mengatakan bahwa kalam tuhan itu adalah huruf dan suara mereka
juga saling berbeda pendapat, Hanabilah dan Karamiyah mengatakan bahwa
suara dan huruf itu berdiri pada Dzat Tuhan dan bagi mereka yaitu bagi Hanabilah
dan Karamiyah bahwa Allah itu berbicara dengan huruf dan suara dan muktazilah.
serta syiah Imamiyah mengatakan bahwa kalam tuhan itu berdiri pada selain
tuhan bukanlah pada dzat tuhan sebagaimana tuhan menciptakan kalam pada
pohon lalu Nabi Musa mendengar suara tersebut
Dan inilah yang benar dan makna bahwa Allah itu mutakallim atau berbicara
maknanya adalah bahwa Allah menciptakan kalam (suara dan huruf), yaitu tuhan
menciptakan suara dan huruf bukanlah kalam itu berdiri pada tuhan dan dalil
terhadap pernyataan demikian bahwa kalam itu adalah hal yang mungkin dan Allah
SWT itu qodir terhadap segala hal yang mungkin dan apa yang telah disebutkan
oleh mereka, yaitu yang disebutkan oleh Hanabilah dan Karamiyah itu adalah
salah dan dalil dari kesalahan itu ada dua macam :
1. Jika orang yang mutakallim itu, jika orang yang berbicara itu adalah orang
dimana yang suara itu berdiri pada dirinya maka hawa dimana huruf dan suara
itu berdiri pada hawa dia juga mutakallim dan ini batal karena ahli bahasa tidak
menyebut orang yang berbicara kecuali orang yang menciptakan suara atau
orang yang menciptakan huruf tadi, bukanlah mutakallim itu atau orang yang
berbicara itu bukanlah sesuatu dimana kalam berdiri padanya dan karena inilah
2. Bahwa pendapat mereka itu salah bahwa kalam apakah dia makna atau dia itu
huruf dan suara? jika dia makna maka telah jelas kesalahannya dan jika dia
huruf dan suara maka berdirinya huruf dan suara itu tidak boleh pada dzat
tuhan karena jika tidak demikian (jika huruf dan suara itu berdiri pada dzat
tuhan) maka tuhan itu memiliki panca indera dikarenakan kebergantungan
wujudnya huruf dan suara terhadap wujud panca indera maka Allah SWT akan
memiliki panca indera dan ini batal.
2. Kalam itu terangkap dari huruf dan suara dimana suara dan huruf yang
sebelumnya itu sirna dengan adanya suara dan huruf yang berikutnya dan
kadim tidaklah berlaku padanya ketiadaan atau kesirnaan.
3. Jika kalam tuhan itu kadim maka akan melazimkan kebatilan terhadap kalam
tuhan dan hal itu mustahil, penjelasannya bahwa Allah SWT itu mengabarkan
di fimanNya tentang pengiriman Nabi Nuh, yaitu pengutusan Nabi Nuh di alam
Azal yaitu dialam keabadian dengan perkataan tuhan (Surat Nuh Ayat 1)
اب أ َ ِلي ٌم َ س ْلنَا نُو احا إِلَ ٰى قَ ْو ِم ِه أ َ ْن أ َ ْنذ ِْر قَ ْو َم َك ِم ْن قَ ْب ِل أ َ ْن يَأْتِ َي ُه ْم
ٌ ع َذ َ إِناا أ َ ْر
Dan padahal Tuhan tidak mengirim dan tidak mengutus Nuh di alam azal, di
alam abadi itu karena tiada keterdahuluan di dalam azal maka ini menjadi
penipun atau kesalahan.
4. Jika kalam itu kadim akan melazimkan kesia-siaan terhadap perkataan tuhan
َواَقِيُ ٌم الص ًَلة َ َوأَث ٌ ا,
َ واالزكاَة ini karena di alam azal, dan di alam keabadian, dan di
alam kadim tidak ada mukallaf yaitu tidak ada mahluk yang di wajibkan
kepadanya taklif dan syariat dan kesia-siaan itu adalah buruk maka mustahillah
keburukan bagi tuhan.
dan zikir dia adalah Qur’an dikarekan perkataan Allah SWT surat Al-hijr ayat 9
:
Dan Allah mensifati zikir dan Quran itu dengan hudus maka kalam itu bukanlah kadim,
maka perkataan penulis (yaitu Allamah Hilli) -semoga Allah merahmatinya -,
perkataannya yaitu: “dan tafsir orang-orang Asy’ari itu tidak masuk akal”, ini
mengisyarahkan kepada apa yang telah kami jelaskan di empat mukaddimah ini.
8. Sodiq
Allamah Hilli mengatakan sifat yang kedelapan dari sifat Subutiyah Allah SWT bahwa
Allah SWT itu Shodiq karena kebohongan adalah buruk dan Allah suci dari keburukan
dikarenakan kemustahilan ketidaksempurnaan bagi tuhan.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan dari sebagian sifat Allah SWT bahwa Allah SWT
itu sodiq atau jujur dan jujur adalah berita-berita yang sesuai dengan keadaan dan
kebohongan adalah berita-berita yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sesungguhnya, karena jika Allah itu tidak jujur maka Allah itu berbohong dan ini batal
karena kebohongan adalah buruk maka akan melazimkan pensifatan Allah terhadap
keburukan dan ini batal sebagaimana yang akan dijelaskan dipembahasan
selanjutnya dan juga kebohongan adalah kekurangan dan Allah SWT adalah suci dan
bersih dari segala kekurangan.
PASAL KE TIGA
PEMBAHASAN MENGENAI SIFAT SALBIAH TUHAN
Pasal ke tiga, yaitu pembahasan mengenai sifat salbiah tuhan (sifat yang tidak bisa
disematkan kepada tuhan) dan sifat salbiah ini ada tujuh:
Yang pertama bahwa Allah SWT bukanlah rangkapan, karena jika tidak demikian
maka pastilah Allah butuh kepada bagian-bagian itu dan segala sesuatu yang butuh
maka dia adalah mungkinul wujud.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan ketika Allamah Hilli selesai dari pembahasan sifat
subutiyah tuhan dia memulai pada sifat salbiah dan sifat subutiyah dinamakan dengan
sifat Kamal, serta sifat salbiah dinamakan dengan sifat jalal.
Dan jika engkau mau engkau dapat mengatakan bahwa seluruh sifat-sifat Allah itu
adalah sifat jalal karena sesungguhnya pembuktian qudrat Allah SWT itu adalah
berdasarkan penafian dan penegasian ketidakmampuan dari Dzat Tuhan dan
pembuktian ilmu tuhan itu berdasarkan penafian dan penegasian kejahilan dari dzat
tuhan dan begitupun sifat-sifat yang lain dan pada hakikatnya segala sesuatu yang
bisa difahami bagi kita dari sifat-sifat tuhan melainkan penafian dan penegasian,
sedangkan hakikat dzat tuhan dan sifat tuhan maka dia tidak dapat difahami oleh akal
kita dan tidak ada yang mengetahuiNya kecuali diriNya sendiri. Dan penulis (Allamah
Hilli) mengatakan ada tujuh sifat salbiah tuhan.
Sifat yang pertama bahwa Allah bukanlah rangkapan dan sesuatu yang berangkap
dia adalah segala sesuatu yang memiliki bagian-bagian dan pertentangan - kebalikan
dari rangkapan adalah basith (sederhana), dan basith adalah segala sesuatu yang
tidak memiliki bagian, lalu rangkapan terkadang dia diluar akal seperti rangkapan jism
yang terangkap dari jauhar-jauhar dan terkadang rangkapan itu rangkapan dalam akal
seperti rangkapan mahiyah dan definisi yang terangkap dari jenis dan fasal pembeda
dan sesuatu yang berangkap dengan kedua maknanya baik itu rangkapan luar akal
dan rangkapan dalam akal, maka dia butuh pada bagian-bagiannya dikarenakan
kemustahilan perwujudan dirinya baik itu diluar akal dan di dalam akal tanpa bagian-
bagian dirinya itu dan bagian dirinya adalah selain dirinya yaitu bukan dirinya,
Allamah hilli mengatakan sifat kedua dari sifat salbiah tuhan adalah bahwa Allah itu
bukanlah jism, bukanlah araadh dan bukanlah jauhar karena jika tidak demikian maka
pasti Allah akan butuh kepada tempat dan tidak bisa berlepasnya Allah dari yang
hudus maka Allah akan menjadi yang hadis maka ini mustahil.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan bahwa Allah SWT bukanlah jism bertentangan
dengan orang-orang mujassamah (yaitu orang-orang yang menjismkan tuhan) dan
jism adalah sesuatu yang memiliki panjang, lebar dan tinggi dan araad adalah sesuatu
yang melekat pada jism dan dia tidak memiliki wujud tanpa jism dan dalil bahwa tuhan
bukanlah jism dan juga bukanlah araad ada dua:
1. Jika tuhan itu salah satu dari keduanya (jism ataupun araad) maka tuhan akan
menjadi mungkinul wujud dan ini mustahil. Penjelasannya dimana kita mengetahui
secara pasti bahwa segala jism maka dia butuh kepada tempat dan segala araad
dia butuh kepada yang ditempati (tempat bersandar) dan tempat serta juga tempat
bersandar adalah selain dari pada jism dan araad dan segala sesuatu yang butuh
kepada selain dirinya maka dia adalah mungkinul wujud maka jika Allah SWT itu
jism atau araad maka dia mungkinul wujud, pastilah dia mungkinul wujud.
2. Jika Allah SWT itu jism maka dia pasti hadis dan ini mustahil. Penjelasannya
bahwa segala jism maka dia tidak pernah kosong dan tidak pernah lepas dari yang
hadis dan segala sesuatu yang tidak pernah kosong dan tidak pernah terlepas dari
yang hadis maka dia adalah hadis dan penjelasannya telah berlalu sebelumnya
maka jika Allah adalah jism maka Allah pasti hadis, namun Allah itu Qadim maka
terjadilah penggabungan dua hal yang saling bertentangan dan ini mustahil.
1
Bahwa hujjiah dan pembuktian bahwa kita bisa menggunakan ayat quran sebagai dalil itu
menggunakan sirah orang-orang yang berakal, jika akal dibuang maka pembuktian
terhadap ayat quran juga terbuang .
Allamah Hilli mengatakan tidak berlaku bagi tuhan kelezatan dan kesakitan
dikarenakan kemustahilan mizat (rasa) bagi Allah SWT.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan sakit dan kelezatan adalah dua hal yang fitrawi
maka tidak butuh kepada pendefinisian dan terkadang dikatakan bagi keduanya
bahwa, yang pertama kelezatan adalah idroq dan rasa yang sesuai atau rasa yang
menyenangkan dari sudut pandang dia menyenangkan, dan rasa sakit adalah rasa
yang tidak disukai dari sudut pandang dia tidak disukai dan keduanya terkadang
adalah hissi atau yang bisa diinderai dan juga terkadang adalah akli atau tidak bisa
diinderai.
Jika idrok kita adalah hissi maka kelezatan dan rasa sakit juga hissi, dan jika idroknya
akli maka keduanya (rasa sakit dan kelezatan) juga akli. Jika penjelasan tersebut telah
difahami maka kami mengatakan bahwa rasa sakit dia mustahil bagi Allah SWT
karena tidak ada sesuatu yang bertentangan bagi tuhan sedangkan kelezatan jika dia
hissi atau inderawi maka juga mustahil bagi tuhan karena kelezatan yang hissi dia
mengikuti mizat dan rasa indera, dan mizat atau rasa indera mustahil bagi Allah SWT
karena jika tidak demikian maka Allah adalah jism dan jika kelezatan itu adalah akli
maka para filosof dan juga penulis buku Al ya’kub mengatakan bahwa Allah SWT
memiliki kelezatan akli karena Allah SWT tersifati dengan kesempurnaan yang layak
baginya dikarenakan kemustahilan kekurangan bagi Allah SWT dan dari itu Allah juga
merasai dan meresapi dzatnya sendiri dan kesempurnaan dirinya maka Allah SWT
yang paling tingginya pelezat dikarenakan paling tingginya sesuatu yang dilezatinya
itu (DzatNya dan kesempurnaan diriNya)
Dan kami tidak memaksudkan kelezatan bagi tuhan kecuali hal ini sedangkan
mutakallim maka mereka menolak kelezatan bagi tuhan apakah dikarenakan
keyakinan mereka terhadap kelezatan akli atau dikarenakan ketiadaan kelezatan akli
tersebut di dalam agama atau ayat dan riwayat.
Dan sesungguhnya sifat-sifat Allah SWT dan Nama-nama Allah SWT adalah taukifi
(adalah sesuatu yang telah ditentukan baik dari ayat maupun riwayat) dan tidak
diperbolehkan bagi selain than untuk menambahkan sifat-sifat dan nama-nama
tersebut kecuali dengan izin dari tuhan karena sekalipun hal itu diperbolehkan dari
sudut pandang akal namun hal itu bukanlah adab, namun hal itu dianggap tidak
beradab dikarenakan bahwa hal tersebut ( yaitu penambahan nama-nama dan sifat-
sifat Allah ) tidak diperbolehkan dari satu sudut pandang dimana kita tidak
mengetahuinya.
Allamah Hilli mengatakan dan Allah tidak bersatu dengan selain dirinya dikarenakan
kemustahilan persatuan tuhan.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan : ittihad atau penyatuan dapat dimaknai dengan
dua makna, yang pertama majasi dan yang kedua hakiki. Makna majazi maka
penyatuan adalah perubahan sesuatu pada sesuatu yang lain dengan disertai
perwujudan dan kefasadan atau kemusnahan, apakah dia tanpa penambahan
sesuatu yang lain seperti dikatakan air berubah menjadi udara dan juga dikatakan
udara berubah menjadi air atau dengan penambahan sesuatu yang lain sebagaimana
dikatakan tanah berubah menjadi tanah liat dikarenakan penambahan air terhadap
tanah tersebut.
Sedangkan penyatuan hakiki maka dia adalah perubahan dua wujud menjadi satu
wujud, jika penjelasan ini telah jelas maka ketahuilah bahwa makna yang pertama
yaitu makna majasi mustahil bagi tuhan, dikarenakan kemustahilan perwujudan dan
kefasadan atau kemusnahan bagi tuhan. Sedangkan makna yang kedua yaitu makna
yang hakiki maka sebagian nasrani mengatakan bahwa Allah bersatu dengan “Masih”
dimana mereka berpendapat, berkeyakinan bahwa ketuhanan tuhan bersatu dengan
kemanusiaannya Isa as dan kelompok Nusairiyah mengatakan bahwa Allah bersatu
dengan Imam Ali as dan kelompok sufi mengatakan bahwa Allah bersatu dengan para
arif.
Jika yang dimaksud mereka adalah selain apa yang telah kami jelaskan maka
semestinya hal tersebut harus difahami dan ditasawwuri atau dapat digambarkan lalu
diberi hukum terhadapnya apakah hukum isbat atau pengukuhan atau hukum nafi,
dan jika yang mereka maksudkan adalah apa yang telah kami jelaskan maka hal ini
adalah batal karena persatuan mustahil pada diri tuhan maka mustahillah pengukuhan
penyatuan tuhan dengan selain diri-Nya.
Namun kemustahilan itu maka, bahwa dua hal yang bersatu setelah penyatuan
keduanya apakah kedua-duanya itu tetap wujud atau tidak jika kedua-duanya tetap
wujud maka sesungguhnya tiada penyatuan bagi keduanya karena keduanya itu
adalah dua hal bukan satu hal dan jika kedua-duanya itu sirna secara bersamaan
maka juga tiada penyatuan dari keduanya melainkan mewujudkan satu wujud yang
berbeda atau mewujudkan satu wujud yang ketiga. 1 Dan jika salah satunya sirna dan
yang lain itu tetap mewujud maka juga tiada penyatuan pada keduanya karena sesuatu yang
sirna tidak akan bersatu dengan sesuatu yang wujud.
1
Penjelasan : sebagaimana sirnanya oksigen dan hidrogen lalu mewujudkan air dimana
hidrogen dan oksigen sirna dan yang terwujud adalah air dan air memiliki kehususan dan
kriteria-kriteria yang berbeda dari oksigen dan hidrogen sebagaimana oksigen dan
hidrogen jika terkena api akan terbakar sedangkan air jika terkena api maka api akan mati.
Allamah Hilli mengatakan sifat ke tiga dari sifat Salbiah Allah SWT bahwa Allah SWT
bukanlah tempat bagi yang hudus.
Dikarenakan kemustahilan penerimaan Allah dari selain diriNya dan kemustahilan
ketikdaksempurnaan terhadap Allah SWT, Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan
ketahuilah bahwa sifat-sifat Allah SWT memiliki dua sudut pandang:
1) Dilihat dari sudut pandang dzat sifat tersebut.
2) Dilihat dari kebergantungan sifat tersebut terhadap yang dibutuhkan oleh sifat
tersebut seperti kebergantungan qudrat terhadap maqdud dan kebergantungan
ilmu terhadap maklum, maka sifat-sifat Allah SWT dari sudut pandang yang kedua
ini adalah hal yang iktibari atau nisbi dan berubah disebabkan keperubahan yang
digantunginya.
Namun sifat-sifat Allah SWT dilihat dari sudut pandang yang pertama yaitu dilihat dari
sudut pandang dzat sifat tersebut maka Karamiyah berkeyakinan bahwa sifat tersebut
adalah sifat yang hudus dan yang baru berdasarkan kepembaruan yang
digantunginya. Mereka mengatakan bahwa Allah SWT itu tidak qodir di alam azal lalu
menjadi qodir dan Allah SWT tidak alim lalu menjadi alim dan yang benar adalah yang
bertentangan dengan hal tersebut karena sesuatu yang berubah-ubah sebagaimana
yang disampaikan oleh mereka itu adalah kebergantungan dan kenisbian jika yang
mereka maksudkan dari keperubahan tersebut adalah kebergantugan dan kenisbian
tersebut, maka hal tersebut sudah benar namun jika mereka tidak memaksudkan
demikian, maka pandangan mereka salah dikarenakan dua hal : yang pertama, Jika
sifat Allah SWT itu hadis, hudus dan terperbaharui maka akan melazimkan
kepenerimaan Allah SWT dan melazimkan perubahan Allah SWT dan ini mustahil.1
1
Penjelasannya :
1) Bahwa sifat Allah SWT itu adalah sifat yang dzati maka perubahan dan
pembaharuan sifat tersebut akan melazimkan perubahan dzat Allah SWT dan akan
melazimkan kepenerimaan Allah SWT dari selain diriNya.
2) Bahwa kepembaharuan sifat tersebut melazimkan kepembaharuan potensi pada
tempat bagi sifat tersebut dan hal ini melazimkan kepenerimaan tempat sifat tersebut
dan melazimkan kepembaharuan tempat sifat tersebut namun perubahan mahiyah
dan hakikat Allah SWT dan penerimaan mahiyah dan hakikat Allah SWT dari selain
dirinya mustahil adanya maka dapat disimpulkan bahwa sifat Allah SWT itu bukan
hudus, yang kedua yakni dalil kedua bahwa sifat Allah SWT adalah sifat yang
sempurna dikarenakan kemustahilan kekurangan dan ketidaksempurnaan terhadap
Allah SWT maka jika sifat-sifat Allah SWT itu hudus dan berubah-ubah dan
terpebaharui hal ini akan melazimkan ruang kosong bagi Allah SWT dari sifat-sifat
sempurna tersebut dan kekosongan dari sifat sempurna adalah kekurangan dan
Allah SWT suci dari kekurangan tersebut.
Allamah Hilli mengatakan: sifat ke empat dari sifat salbiyah Allah subhanahu wa ta’ala
bahwa Allah tidak dapat di lihat dengan mata, karena segala segala sesuatu yg dapat
dilihat maka dia memiliki arah, hal ini disebabkan karena dia berada dihadapan yang
melihat atau memiliki hukum arah tersebut (cat kaki : sebagaimana seseorang melihat
mobil yg berada dibelakangnya melalui kaca spion, maka mobil tersebut berada
dibelakang yg melihat, namun dalam hukum dihadapan si pelihat).
Kembali ke atas: jika demikian adanya, maka Allah adalah jism, dan ini mustahil.
Dan juga dikarenakan perkataan Allah SWT ( لن ترانیkau tidak akan pernah melihat-
Ku selamanya), dan kata لنmenjelaskan keabadian dan selamanya.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan: ahli filsafat dan mu'tazilah berkeyakinan terhadap
mustahilnya melihat Allah dengan mata karena Allah itu mujarrad 1
Dan sebagian dari mereka mengatakan bahwa maksud dari melihat bukanlah melihat
dengan pembiasan atau keluarnya cahaya, melainkan maksud dari melihat adalah
sebuah keadaan dimana keadaan itu ada dari hasil melihat sesuatu setelah adanya
ilmu terhadap sesuatu tersebut.
Dan sebagian yang lain mengatakan maksud dari merukyat adalah Allah akan
tersingkap bagi hamba yang beriman sebagaimana tersingkapnya rembulan
purnama.
Namun pendapat yang benar : jika yang mereka maksudkan adalah ketersingkapan
sempurna, maka itu benar, karena semua ma'rifat akan menjadi jelas di hari kiamat.
Namun jika yang dimaksudkan adalah yang lain dari hal ini, maka yg dapat dipahami
dari maksud mereka terhadap rukyat hanyalah rukyat dengan mata, dan ini batal,
secara hukum akal dan naql.
1
Mujarrad adalah segala sesuatu yg tidak memiliki materi dan juga tidak memiliki sifat materi
Karena jika Allah dapat dilihat maka Allah berada pada suatu arah. Jika demikian
maka Allah adalah jism/benda. Dan ini salah, sebagaimana yg telah dijelaskan, bahwa
segala yang dapat dilihat maka dia berada di depan yang melihat atau pada memiliki
hukum tersebut, seperti gambar pada cermin.
Dan segala yang berada di depan atau memiliki hukum tersebut maka dia berada
pada suatu arah. Dan jika Allah dapat dilihat, maka Allah berada pada suatu arah.
1. Ketika nabiyullah Musa ‘alaihi salam meminta untuk melihat allah, dijawab
dengan "kau tidak akan pernah melihatku selamanya - Surat al-a'raf : 143" dan
kata لنmenjelaskan terhadap penafian yg abadi, sebagaimana yg dinukil dari
ahli bahasa arab. Dan ketika nabi Musa alaihi salam tidak bisa melihat, maka
sudah pasti selain nabi Musa alaihi salam tidak bisa melihatnya.
2. Perkataan Allah subhanahu wa taala "semua mata tidak dapat melihatnya -
Surat An'am:103" adalah sanjungan atas kesucian Allah dengan penafian
indrawi mata terhadap Allah taala. Maka penisbatan rukyat mata terhadap Allah
taala adalah sebuah kekurangan.
3. Allah taala membenci dan menganggap sebagai pendosa bagi orang-orang
yang meminta rukyatNya dan mencela mereka serta mengazabnya dan Allah
taala berfirman : Annisa ayat 153 :
س ٰى أ َ ْك َب َر ِم ْن ٰ َذ ِل َك
َ سأَلُوا ُمو
َ اء ۚ فَقَ ْد
ِ س َم َ ب أ َ ْن تُن َِز َل
ع َل ْي ِه ْم ِكتَاباا ِمنَ ال ا ِ َيسْأَلُ َك أ َ ْه ُل ْال ِكتَا
ظ ْل ِم ِه ْم ۚ ث ُ ام ات ا َخذُوا ْال ِع ْج َل ِم ْن َب ْع ِد َما َجا َءتْ ُه ُم َّللا َج ْه َرة ا فَأ َ َخ َذتْ ُه ُم ال ا
ُ ِصا ِعقَةُ ب َ فَقَالُوا أ َ ِرنَا ا
طاناا ُمبِيناا َ س ْل
ُ س ٰى َ ع ْن ٰ َذ ِل َك ۚ َوآت َ ْينَا ُموَ ْالبَيِنَاتُ فَ َع َف ْونَا
Terjemahan :
“Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah
Kitab dari langit. Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa
yang lebih besar dari itu. Mereka berkata: "Perlihatkanlah Allah kepada kami
dengan nyata". Maka mereka disambar petir karena kezalimannya, dan mereka
menyembah anak sapi, sesudah datang kepada mereka bukti-bukti yang nyata,
lalu Kami maafkan (mereka) dari yang demikian. Dan telah Kami berikan
kepada Musa keterangan yang nyata.”
Allamah Hilli mengatakan sifat kelima dari sifat salbiah Allah SWT mengenai penafian
sekutu dari Allah SWT dikarenakan dalil naqli dan dalil tamannuk (saling mengingkari)
maka akan melazimkan kehancuran susunan system wujud dan juga dikarenakan
kelaziman sekutu terhadap Allah SWT melazimkan rankapan dikarenakan
kebersamaan dua wajibul wujud dalam keadaan kedua-duanya adalah wajibul wujud,
maka dibutuhkan adanya pembeda.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan para mutakallim dan para filosof berkeyakinan
terhadap penafian sekutu dan syarik dari Allah SWT dikarenakan beberapa alasan :
1. Dalil Naqli yang menjelaskan terhadap hal tersebut dan juga ijmak para nabi
dan dalil tersebut adalah hujjah atau dapat dijadikan sandaran pada
pembahasan ini (pada pembahasan penafian sekutu dari Allah SWT )
dikarenakan tiadanya kebergantungan keberanaran para nabi terhadap
pembuktian wahdaniat dan kewujudan Allah SWT atau keesaan Allah SWT.
2. Dalil para mutakallim yang juga disebut dalil tamanuk atau saling menafikan
atau saling bertentangan dan dalil ini disarikan dari perkataan Allah SWT, Surat
Al Anbiyah ayat 22:
Dan penjelasan dalil ini bahwa jika terdapat sekutu terhadap Allah SWT maka
akan melazimkan kehancuran susunan wujud dan ini batil.
Penjelasannya: Bahwa jika iradah salah satu dari kedua wajibal wujud tersebut
melekat terhadap pewujudan sebuah benda atau jism yang bergerak maka
kemungkinan bagi wajibal wujud yang lain adalah, apakah wajibal wujud yang
lain itu bisa beriradah terhadap kediaman benda tersebut atau tidak, jika wajibal
wujud yang lain tersebut mungkin untuk beriradah terhadap kediaman benda
tersebut maka apakah iradah keduanya terjadi atau tidak, jika iradah keduanya
terjadi maka akan melazimkan penggabungan dua hal yang saling
bertentangan.
3. Dalil filosof dan penjelasannya bahwa jika pada wujud terdapat dua wajibal
wujud maka akan melazimkan keduanya adalah mumkinul wujud,
penjelasannya bahwa dalam keadaan demikian (kedua-duanya adalah wajibul
wujud) maka keduanya saling bersekutu di wajibul wujud dan hal ini
melazimkan apakah terdapat perbedaan dari keduanya atau tidak.
Jika tidak terdapat perbedaan dari keduanya maka tidak terjadi penduaan dan
jika terdapat perbedaan dari keduanya maka akan melazimkan rangkapan
setiap dari keduanya, atau tiap-tiap dari keduanya, dimana terangkap dari
sesuatu yang adanya keduanya saling bersekutu dari sesuatu dimana
keduanya saling berbeda, dan setiap yang berangkap adalah mumkinul wujud,
maka keduanya adalah mumkinul wujud dan ini bertentangan dengan yang
telah dibuktikan sebelumnya (bahwa Allah SWT adalah wajibul wujud).
Allamah hilli mengatakan sifat ketujuh dari sifat salbiyah Allah SWT bahwa Allah SWT
maha berkecukupan dan tidak butuh terhadap selain dirinya, karena kewajiban wujud
Allah SWT melazimkan dan mewajibkan ketidak-butuhan Allah SWT dari selain
diriNya, Dan melazimkan kebutuhan selain Allah terhadap Allah SWT.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan salah satu dari sifat salbiyah Allah SWT bahwa
Allah SWT tidak butuh terhadap selain diriNya dalam segala hal, tidak pada dzatnya
dan juga tidak pada sifatnya dan hal tersebut dikarenakan wajibul wujud melazimkan
dan mewajibkan ketidak butuhan Allah SWT dari segala sesuatu selain Allah SWT
dalam segala hal.
Maka jika Allah SWT butuh terhadap sesuatu hal ini akan melazimkan kebutuhan Allah
SWT terhadap selain diriNya. Maka Allah SWT akan menjadi mungkinul wujud dan
Allah SWT suci dari hal tersebut, melainkan Allah SWT tidak butuh dari segala sesuatu
selain dirinya dan segala sesuatu yang ada berasal dari wujud Allah SWT.
PASAL KE EMPAT
KEADILAN ILAHI
A. Pembahasan Pertama
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan ketika Allamah Hilli selesai dari pembahasan
tauhid maka beliau memulai pada pembahasan keadilan ilahi, dan yang dimaksud
dengan keadilan adalah pemurnian dan pensucian Allah SWT dari perbuatan buruk
dan dari meninggalkan hal-hal yang wajib dan karena pembahasan ini bergantung
kepada makrifat dan pengenalan kepada kebaikan dan keburukan secara akal, maka
Allamah Hilli memulai pembahasan dari pengenalan kebaikan dan keburukan secara
akal tersebut, maka ketahuilah bahwa perbuatan adalah hal yang mudah difahami dan
bersifat gamblang.
Perbuatan ini apakah dia memiliki sifat tambahan terhadap kejadiannya atau tidak,
jika tidak memiliki sifat tambahan terhadap perbuatan tersebut, contohnya seperti
gerakan yang tidak disengaja atau gerakan orang yang sedang tidur, sedangkan
perbuatan yang memiliki sifat tambahan terhadap kejadiannya apakah akal membenci
atau menghukumi buruk terhadap sifat tersebut atau tidak,
Jika akal menghukumi buruk terhadap sifat tersebut maka ini adalah perbuatan yang
buruk, dan jika akal tidak menghukumi sifat tersebut sebagai keburukan maka apakah
melakukan perbuatan tersebut dan meninggalkan perbuatan tersebut sama
kedudukannya atau tidak, jika sama maka dia adalah mubah, dan jika tidak maka
apakah meninggalkannya itu lebih baik atau tidak,
Jika meninggalkannya lebih baik maka apakah dia disertai dengan larangan dari
pertentangannya atau tidak, jika disertai dengan larangan dari pertentangannya maka
dia adalah haram dan jika tidak maka dia adalah makruh dan jika melakukan
perbuatan tersebut lebih baik daripada meninggalkannya maka apakah dia disertai
dengan larangan dari meninggalkan perbuatan tersebut atau tidak, jika disertai
dengan larangan dari meninggalkan hal tersebut maka dia adalah wajib, jika tidak,
Jika hal ini telah jelas maka ketahuilah bahwa kebaikan dan keburukan itu dapat
dikatakan terhadap tiga makna:
Dan tidak ada pertentangan bahwa kebaikan dan keburukan itu adalah bersifat akli
jika bermakna yang pertama dan bermakna yang kedua namun jika kebaikan dan
keburukan dilihat dari makna yang ketiga maka para mutakallim saling berbeda
pendapat didalamnya.
Asyari mengatakan tidak ada sesuatu yang menjelaskan terhadap kebaikan dan
keburukan pada makna yang ketiga secara akal melainkan syariatlah yang
menentukan kebaikan dan keburukan pada makna yang ketiga, maka apa saja yang
syariat katakan baik maka dia adalah baik, dan apa saja yang syariat katakan buruk
maka dia adalah buruk, dan muktazilah juga syiah imamiyah mengatakan bahwa akal
menjelaskan terhadap kebaikan dan keburukan pada makna yang ketiga maka
kebaikan adalah kebaikan secara mandiri dan keburukan adalah keburukan secara
mandiri, baik itu syariat menghukuminya dengan kebaikan atau tidak, dan muktazilah
dan imamiyah menjelaskannya dalam beberapa dalil :
1. Kita mengetahui secara pasti kebaikan dari sebagian perbuatan seperti jujur
yang bermanfaat dan juga berbuat baik dan mengembalikan pinjaman dan
menyelamatkan orang yang tenggelam dan begitupun seterusnya dan kita
mengetahui secara pasti keburukan sebagian dari perbuatan seperti
kebohongan yang mencelakakan dan kezaliman dan berbuat buruk yang tidak
layak dan sebagainya dan karena itulah maka hukum tersebut diterima
dikalangan manusia, maka kita ketika mengatakan kepada seseorang jika
engkau berbuat baik maka engkau akan mendapatkan seribu dinar dan jika
engkau berbuat jujur maka engkau akan mendapat seribu dinar dan jika engkau
berbuat berbohong maka engkau akan mendapat seribu dinar dan kedua
perbuatan tersebut dalam mendapatkan seribu dinar sama sifatnya maka
orang tersebut dengan akalnya dia akan lebih memilih untuk berbuat jujur.
3. Jika kebaikan dan keburukan secara akal itu dinafikan maka kebaikan dan
keburukan secara syariat juga dinafikan, sedangkan diketahui bahwa kebaikan
dan keburukan syariat itu tidak bisa dinafikan, maka kebaikan dan keburukan
secara akal juga tidak bisa dinafikan.
Penjelasannya: Karena jika kita menafikan kebaikan dan keburukan secara
akal, maka keburukan kebohongan dari pembawa syariat juga akan ternafikan
karena akal tidak menghukumi terhadap keburukan dari kebohongan si
pembawa syariat tersebut, dan ketika keburukan kebohongan dari pembawa
syariat itu ternafikan maka kepercayaan terhadap kebaikan yang mereka
sampaikan kepada kita juga ternafikan, dan ketika keburukan kebohongan dari
pembawa syariat itu ternafikan maka kepercayaan terhadap kebaikan dari
sesuatu atau dari pembuatan yang mereka kabarkan kepada kita bahwa dia
adalah baik itu juga akan ternafikan dan begitupun keburukan dari perbuatan
yang mereka kabarkan kepada kita bahwa itu adalah buruk juga ternafikan.
Allamah Hilli mengatakan, pembahasan kedua dari Keadilan Ilahi bahwa kita manusia
adalah pelaku yang memiliki ihtiyar dan pilihan, dan kenyataan juga menghukumi
demikian, dikarenakan perbedaan secara pasti antara jatuhnya manusia dari suatu
ketinggian dan turunnya secara perlahan dari ketinggian tersebut. Karena jika kita
memiliki ikhtiyar maka taklif dan kewajiban kita terhadap sesuatu menjadi mustahil
dan tidak ada maksiat padanya dan juga dikarenakan keburukan menciptakan
perbuatan terhadap kita lalu mengazab kita karena perbuatan tersebut dan juga
karena ayat dan riwayat.
Syeikh Fadhil Miqdad mengatakan: Abul Hasan Asy’ari dan orang-orang yang
mengikutinya, berkeyakinan bahwa seluruh perbuatan manusia terjadi karena Qudrat
Allah ta’ala, dan juga tidak satupun perbuatan bagi seorang hamba. Dan sebagian
Asy’ari mengatakan bahwa zat dan hakikat perbuatan adanya dari Allah ta’ala.
Sedangkan bagi manusia untuk meraihnya dan mereka menafsirkan pernyataan
tersebut dengan menjelaskan bahwa hal tersebut merupakan keberadaan perbuatan
tersebut sebagai ketaatan atau kemaksiatan. Dan sebagian dari mereka mengatakan
bahwa maknanya adalah “jika seorang hamba telah menetapkan dalam hatinya untuk
melakukan sesuatu maka Allah ta’ala menciptakan perbuatan mengikuti ketetapan
hati hamba tersebut.
Dan Muktazilah dan Zaidiyah dan Imamiyah berkeyakinan bahwa seluruh perbuatan
yang keluar dari seorang hamba dan juga sifat-sifat perbuatan tersebut, serta peraihan
dan penggapaian yang mereka sebutkan. sebelumnya, seluruhnya terjadi dengan
Qudrat dan kekuatan manusia dan juga karena ikhtiyar dan pilihan serta kebebasan
manusia, dan manusia tidak terpaksa untuk melakukan perbuatannya, melainkan di
tanganyalah, apakah dia ingin melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, dan
ini adalah pendapat yang benar, kerena bebarapa dalil:
1) Dalil pertama: bahwa kita menemukan perbedaan yang jelas antara munculnya
perbuatan dari kita dimana perbuatan itu mengikuti tujuan dan alasan kita
dalam melakukan perbuatan tersebut, seperti turun dari suatu ketinggian
secara perlahan, dan juga antara keluarnya perbuatan yang tidak demikian,
seperti jatuh dari suatu ketinggian, baik karena paksaan atau karena tidak hati-
hati dan tidak waspada. Maka sesungguhnya kita memilih untuk “Tidak
melakukan perbuatan” pada bagian yang pertama, namun tidak demikian pada
bagian yang kedua. Maka jika semua perbuatan bukan dari kita manusia
melainkan dari Allah ta’ala maka pastilah semua perbuatan tersebut menjadi
satu mode dan corak tanpa perbedaan, namun pada kenyataannya terdapat
perbedaan pada semua perbuatan kita, maka pastilah perbuatan-perbuatan itu
dari kita, dan inilah yang ingin kita buktikan.
2) Dalil kedua: Jika manusia bukan pelaku pada perbuatannya, maka taklif dan
kewajiban menjadi mustahil baginya, karena hal ini akan melazimkan
memberikan taklif dan kewajiban yang diluar kemampuan manusia.
3) Dalil ketiga: Jika manusia bukan pelaku pada perbuatannya, maka Allah ta’ala
adalah zat yang paling zalim.
Penjelasannya, bahwa jika perbuatan buruk keluar dari Allah ta’ala, maka
menghukum dan mengazab hambanya karena perbuatan tersebut mustahil
adanya, karena hamba itu tidak melakukan perbuatan buruk tersebut namun
semua meyakini, bahwa Allah ta’ala menghukum dan mengazab hamba
tersebut, maka Allah ta’ala seorang yang zalim, Maha Suci Allah dari hal itu.
Al Baqoroh ayat 79 :
Terjemahan:
“Maka kecelakaan yang besarlah bagi orang-orang yang menulis Al Kitab
dengan tangan mereka sendiri, lalu dikatakannya; "Ini dari Allah", (dengan
maksud) untuk memperoleh keuntungan yang sedikit dengan perbuatan itu.
Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat apa yang ditulis oleh
tangan mereka sendiri, dan kecelakaan yang besarlah bagi mereka, akibat
apa yang mereka kerjakan.”
An-Najm, Ayat 28 :
ۙ علَ ٰى قَ ْو ٍم َحت ا ٰى يُغ َِي ُروا َما ِبأ َ ْنفُ ِس ِه ْم ٰ َذ ِل َك ِبأ َ ان ا
َ َّللاَ لَ ْم َيكُ ُمغ َِي ارا نِ ْع َمةا أ َ ْن َع َم َها
ع ِلي ٌم
َ س ِمي ٌع َ َوأ َ ان ا
َ َّللا
Terjemahan:
"(Siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali
tidak akan meubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada
suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka
sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui."
ُسو اءا ي ُْجزَ بِ ِه َو ََّل َي ِج ْد لَه ِ ْس بِأ َ َمانِ ِي ُك ْم َو ََّل أ َ َما ِني ِ أ َ ْه ِل ْال ِكتَا
ُ ب ۗ َم ْن َي ْع َم ْل َ لَي
يراَص ا ِ َّللا َو ِليًّا َو ََّل ن
ِ ُون ا ِ ِم ْن د
Terjemahan:
"(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan
tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan
kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak
mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah."
Ath-Thur Ayat 21 :
Al-Waqiah Ayat 24 :
Dan begitu juga ayat-ayat tentang janji surga dan balasan azab dan celaan
serta pujian, dan ayat ini sangat banyak.