Kasus 2 Pediatri
Kasus 2 Pediatri
Disusun
Oleh:
PENDAHULUAN
A. DEIFINISI
Kejang epileptik adalah kejadian klinis yang ditandai aktivitas sinkronisasi
sekumpulan neuron otak yang abnormal, berlebihan, dan bersifat transien. Aktivitas
berlebihan tersebut menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa
fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif (motorik, sensorik, psikis),
negatif (hilangnya kesadaran, tonus otot, kemampuan bicara), atau gabungan
keduanya. Kejang pertama kali tanpa demam dan tanpa provokasi (first unprovoked
seizure) adalah satu atau lebih kejang tanpa demam maupun gangguan metabolik akut
yang terjadi dalam 24 jam disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Epilepsi
didefinisikan sebagai serangan kejang paroksismal berulang tanpa provokasi dengan
interval lebih dari 24 jam tanpa penyebab yang jelas.
B. KLASIFIKASI
Pada tahun 1981, ILAE membagi kejang menjadi kejang umum dan kejang
fokal (parsial) berdasarkan tipe bangkitan (yang diobservasi secara klinis maupun
hasil pemeriksaan elektrofisiologi), yaitu apakah aktivitas kejang dimulai dari satu
bagian otak, melibatkan banyak area, atau melibatkan kedua hemisfer otak.
Klasifikasi epilepsy berdasarkan tipe bangkitan (ILAE 1981) :
C. ETIOLOGI
Etiologi epilepsi umumnya tidak diketahui. Klasifikasi berdasarkan ILAE
2010, mengganti terminologi dari idiopatik, simtomatis, atau kriptogenik, menjadi
genetik, struktural/metabolik, dan tidak diketahui. Genetic epilepsy syndrome adalah
epilepsi yang diketahui/diduga disebabkan oleh kelainan genetik dengan kejang
sebagai manifestasi utama. Structural/metabolic syndrome adalah adanya kelainan
struktural/metabolik yang menyebabkan seseorang berisiko mengalami epilepsi,
contohnya; epilepsi setelah sebelumnya mengalami stroke, trauma, infeksi SSP, atau
adanya kelainan genetik seperti tuberosklerosis dengan kelainan struktur otak (tuber).
Epilepsi digolongkan sebagai “unknown cause” bila penyebabnya belum diketahui.
Kelainan genetik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain:
1. Kelainan kromosom: sindrom fragile X, sindrom Rett.
2. Trisomi parsial 13q22-qter berhubungan dengan epilepsi umum awitan lambat
dan leukoensefalopati.
Kelainan struktural/metabolik yang dapat menyebabkan epilepsi antara lain :
1. Kelainan neurokutan: tuberosklerosis, neurofibromatosis, hipomelanosis Ito,
sindrom Sturge-Weber.
2. Palsi serebral (PS); epilepsi didapatkan pada 50% PS spastik kuadriplegia atau
hemiplegia dan 26% PS spastik diplegia atau diskinetik.
3. Sklerosis hipokampus, gliosis, dan hilangnya neuron sehingga mengubah
rangkaian sirkuit menjadi epileptogenesis, termasuk mesial temporal sclerosis.
4. Malformasi serebral atau kortikal (didapatkan pada 40% epilepsi intraktabel),
hemimegalensefali, focal cortical dysplasia (FCD), heterotopia nodular
periventrikular, agiria, pakigiria, skizensefali, polimikrogiria.
5. umor otak dan lesi lain; astrositoma, gangliositoma, ganglioglioma, angioma
kavernosum.
6. Trauma kepala.
7. Infeksi; ensefalitis herpes simpleks, meningitis bakterial, malaria serebral,
sistiserkosis.
8. Kelainan metabolik bawaan.
D. KRITERIA DIAGNOSIS
Epilepsi umum dengan kejang demam plus (generalized epilepsy with febrile
seizures plus, GEFS+), Diturunkan secara autosomal dominan, Kejang umum disertai
demam, diawali dengan kejang demam pada usia 6 tahun, Umumnya menghilang
pada usia remaja namun dapat berlanjut sampai dewasa.
E. TATALAKSANA
Sebelum memulai pemberian OAE, diagnosis epilepsi atau sindrom epilepsi
harus pasti. Respons individu terhadap OAE tergantung dari tipe kejang, klasifikasi
dan sindrom epilepsi, serta harus dievaluasi setiap kali kunjungan. Pengobatan
epilepsi adalah pengobatan jangka panjang. Oleh sebab itu, untuk menjamin
keberhasilan terapi diperlukan kerjasama yang baik antara dokter, pasien, dan
keluarga pasien untuk menjamin kepatuhan berobat.
BAB II
KASUS
A. GAMBARAN KASUS
Pada tanggal 14 Juli 2023 pasien inisial An. MA datang dibawa kelurgan ke
IGD karena 1 kali kejang dirumah selama 5 menit, setelah kejang sadar, pasien
mengatakan badang sakit, pusing. Pasien dengan Riwayat kejang demam 7 bulan
yang lalu.
B. REKONSILIASI OBAT
Nama : An. MA
Prof. Dr. MARGONO
RM : 021xxxxx
SOEKARJO
Tgl Lahir : 11/ 11/2016
PURWOKERTO
Usia : 6 tahun
INSTALASI FARMASI
RUANG Kelas: I/II/III/Umum/VIP/VVIP Alergi Obat : Tidak ada
ASTER L/P
REKONSILIASI OBAT
SAAT ADMISI
Dari: Rumah
Aturan Tindak lanjut Keterangan
Nama Obat pakai/terakhir aturan pakai Perubahan
penggunaan oleh DPJP
Asam Valproat syr 2 x 6 mL Lanjut/Ada
perubahan/stop*)
SAAT TRANSFER
Dari: IGD Ke : Aster (14/07/2023)
Aturan Tindak lanjut Keterangan
Nama Obat
pakai/terakhir aturan pakai Perubahan
penggunaan oleh DPJP
Inj. Paracetamol 3 x 200 mg Lanjut/Ada
perubahan/stop*)
Inj. Diazepam 1 x 4 mg Lanjut/Ada
perubahan/stop*)
P.O Diazepam 3 x 2 mg Lanjut/Ada
perubahan/stop*)
Inf. Kaen 3A 15 tpm Lanjut/Ada
perubahan/stop*)
SAAT DISCHARGE Tgl :
Nama Obat Aturan Tindak Lanjut Aturan Keterangan
Pakai/Terakhir Pakai Oleh DPJP Perubahan
Penggunaan
C. PEMANTAUAN TERAPI OBAT
Kejang + - - - -
N
Sianosis + - - - -
Batuk + + + + +
Nafsu makan menurut + + + + +
PH urine 8 (H)
Uji Serologi (Anti Salmonella 2
RUTE
IgM (negatif)
Terapi (Nama Obat, Kekuataan) Aturan Pakai 14/7 15/7 16/7 17/7 18/7
Inj. Paracetamol 3x200 mg
Inj. Diazepam 1 x 4mg - - - -
Inj. Cefotaksim 500mg/8jam - - -
Inj. Phenobarbital 1x200 mg -
dilanjut 2 x
50mg
Inj. ceftriaxon 1 gr/24 jam - - -
Diazepam 3x2 mg - - - -
Asam valproat 2x6 m
NAC 1x100 mg - - -
BB : Berat Badan; TB : Tinggi Badan; RPM : Riwayat Penyakit saat MRS; RPD : Riwayat Penyakit Dahulu
TTV:
Nadi : 88/memit
Suhu badan : 37
C
Respirasi : 22
x/menit
Hasil lab:
(13/7/23)
Batang : 0,1 (L)
Eosinofil : 0,3
(L)
Monosit : 10,1
(H)
MPV : 7,4 (L)
RDW : 16,1 (H)
Hemoglobin:
11,4
Hematokrit:
33,9
Leukoksit:
10990
Trombosit:
267000
(15/7/23)
Pemeriksaan
Urin lengkap :
PH : 8 (H)
Hasil lab:
(13/7/23)
Batang : 0,1 (L)
Eosinofil : 0,3
(L)
Monosit : 10,1
(H)
MPV : 7,4 (L)
RDW : 16,1 (H)
Hemoglobin:
11,4
Hematokrit:
33,9
Leukoksit:
10990
Trombosit:
267000
(15/7/23)
Pemeriksaan
Urin lengkap :
PH : 8 (H)
Hasil lab:
(13/7/23)
Batang : 0,1 (L)
Eosinofil : 0,3
(L)
Monosit : 10,1
(H)
MPV : 7,4 (L)
RDW : 16,1 (H)
Hemoglobin:
11,4
Hematokrit:
33,9
Leukoksit:
10990
Trombosit:
267000
(15/7/23)
Pemeriksaan
Urin lengkap :
PH : 8 (H)
Hasil lab:
(13/7/23)
Batang : 0,1 (L)
Eosinofil : 0,3
(L)
Monosit : 10,1
(H)
MPV : 7,4 (L)
RDW : 16,1 (H)
Hemoglobin:
11,4
Hematokrit:
33,9
Leukoksit:
10990
Trombosit:
267000
(15/7/23)
Pemeriksaan
Urin lengkap :
PH : 8 (H)
(18/7/2023)
Uji serologi :
Anti salmonella
Ig M : 2
(negative)
D. PERHITUNGAN DOSIS
Umur : 6 thn Berat badan: 19 Kg
Pada tanggal 13 Juli 2023 pasien baru MA, An datang dari IGD dibawa keluarganya
karena kejang 1 kali dirumah, kejang selama 5 menit, setelah kejang sadar. Demam sejak
pagi, batuk, pasien mengatakan badan sakit, pusing. Riwayat kejang dengan demam 7 bulan
yang lalu. Pasien mendapatkan terapi inf KAEN 3A 15 tpm, inj. Paracetamol 3 x 200 mg, inj.
Diazepam 4 mg iv pelan jika kejang, ekstra diazepam supp 5mg. DPJP mendiagnosa epilepsy
dengan febrile convultion bacterial. Kejang demam terbagi menjadi dua, yakni kejang demam
sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana berlangsung singkat (kurang
dari 15 menit), tonik-klonik. dan terjadi kurang dari 24 jam, tanpa gambaran fokal dan pulih dengan
spontan. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam. Kejang demam
kompleks biasanya menunjukkan gambaran kejang fokal atau parsial satu sisi atau kejang umum yang
didahului kejang parsial. Durasinya lebih dari 15 menit dan berulang atau lebih dari 1 kali kejang
selama 24 jam.
Pada tanggal 14 Juli 2023 pasien kejang 2 kali pada pukul 01.30 dan 05.30, demam,
sianosis, batuk, nafsu makan menurun, keadaan pasien. Hasil pemeriksaan tanda – tanda
vital, suhu 37 C, nadi 88 x/ menit, respirasi 22 x / menit. Hasil laboratorium (13 Juli 2023) :
batang 0,1 (L), eosinophil 0,1 (L), monosit 10,1 (H), MPV 7,4 (L), RDW (16,1) Hemoglobin:
11,4 Hematokrit: 33,9 Leukoksit: 10990 Trombosit: 267000. Pada saat di pindah keruang
aster pasien sudah tidak kejang. DPJP mendiagnosa epilepsy dengan febrile convultion
bacterial. Saat dilakukan rekonsiliasi obat, ibu dari pasien menyampaikan bahwa anaknya
rutin mengkonsumsi obat asam valproate 2 x 6mL, dan keluhan yang dikeluhkan oleh pasien
sudah tidak demam, batuk, dan nafsu makan menurun. Pasien diberikan terapi inf KAEN 3A
15 tpm, inj. Paracetamol 3 x 200 mg, inj. Phenobarbital 200 mg selanjutnya 2 x 50 mg, asam
valproate 2 x 6 mL.
Kaen-3A mengandung Na 60 meq, K 10 meq, Cl 50 meq, Lactate 20 meq dan
Glucose 27 gram per liter. Kaen-3A adalah larutan yang digunakan untuk membantu
memelihara keseimbangan air dan elektrolit dalam tubuh pasie yang tidak tercukupi
kebutuhannya melalui makanan maupun juga pasien yang tidak bias diberikan asupan gizi
secara oral.
Parasetamol diberikan untuk menurukan demam pasien, bekerja menekan
pembentukan prostaglandin yang disintesis dalam susunan saraf pusat. Dosis terapeutik
antara 10-15 mgr/kgBB/kali tiap 4 jam maksimal 5 kali sehari. Dosis maksimal 90
mgr/kbBB/hari. Pada umumnya dosis ini dapat ditoleransi dengan baik. Dosis besar dan
digunakan pada jangka panjang dapat menyebabkan intoksikasi dan kerusakkan hepar.
Pemberiannya dapat secara per oral maupun rektal (Hay, 2009).
Phenobarbital adalah obat untuk mengontrol dan meredakan kejang, termasuk kejang
demam. Phenobarbital atau fenobarbital bekerja dengan cara mengendalikan aktivitas listrik
yang abnormal di sistem saraf dan otak selama terjadinya kejang (Fadila dkk., 2014).
Asam valproat dapat digunakan untuk mengatasi kejang pada kejang demam. Asam
valproat memengaruhi kerja zat kimia pengantar signal listrik di otak (neurotransmitter),
yaitu dengan cara meningkatkan konsentrasi gamma-aminobutyric acid (GABA), sehingga
aktivitas kelistrikan di otak bisa terkendali dan kejang bisa mereda (Zaccara & Perucc, 2014).
Pasien mempunyai Riwayat epilepsi dan rutin mengkonsumsi asam valproate syr 2 x 6 mL.
untuk lama pengobatan rumat diberikan selama 1 tahun bebas kejang, dan dihentikan secara
bertahap 1-2 bulan (Ismael dkk., 2016).
Assesment yang dilakukan pada pasien, pasien mengeluhkan batuk dan penurunan
nafsu makan tetapi belum mendapat terapi, sehingga mengusulkan kepada DPJP untuk
memberikan terapi N-Acetylcistein 3 100 mg dan suplemen makanan dan multivitamin,
Elkana syr 1 x 5 mL.
Pada tanggal 15 Juli 2023 pasien dengan keluhan demam, nafsu makan menurun,
keadaan pasien. Hasil pemeriksaan tanda – tanda vital, suhu 37 C, nadi 112 x/ menit,
respirasi 28 x / menit. Hasil laboratorium (13 Juli 2023) : batang 0,1 (L), eosinophil 0,1 (L),
monosit 10,1 (H), MPV 7,4 (L), RDW (16,1) Hemoglobin: 11,4 Hematokrit: 33,9 Leukoksit:
10990 Trombosit: 267000. Hasil pemeriksaan urin lengkap : PH 8. DPJP mendiagnosa
epilepsy dengan febrile convultion bacterial. Pasien diberikan terapi inf KAEN 3A 15 tpm,
inj. Paracetamol 3 x 200 mg, inj. Cefotaxim 500/8jam, inj. Phenobarbital 200 mg selanjutnya
2 x 50 mg, asam valproate 2 x 6 mL.
Demam yang dialami oleh pasien tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Demam
pada anak dapat disebabkan oleh berbagai sebab, penyebab tersering disebabkan oleh infeksi,
diantaranya seperti infeksi saluran napas akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran
kemih dan infeksi saluran cerna. Demam merupakan faktor utama timbulnya bangkitan
kejang demam. Penyebab tersering demam pada anak dikarenakan infeksi terutama virus
(80%). Pada infeksi terjadi karena reaksi dari lipopolisakarida bakteri, serpihan protein dari
leukosit dan degenerasi jaringan terhadap thermostat hipothalamus. Interleukin-1 dan
prostagladin sebagai pirogen endogen berperan terhadap kenaikan suhu di otak dan
eksitabilitas neuron serta nilai ambang kejang (Simanjutak, E 2016). Pada hasil pemeriksaam
darah lengkap pasien di dapat batang 0,1 (L), eosinophil 0,1 (L), monosit 10,1 (H), MPV 7,4
(L), RDW (16,1) Hemoglobin: 11,4 Hematokrit: 33,9 Leukoksit: 10990 Trombosit: 267000.
Hasil pemeriksaan menunujukan kadar monosit dalam darah tinggi, Monosit beredar pada
darah dan limfa dan terkenal karena kemampuannya yang mampu mengenali ancaman bagi
tubuh berdasarkan pola tertentu. Fungsi utama dari monosit adalah untuk melawan infeksi
serta meningkatkan kekebalan tubuh. Ketika berada di aliran darah, monosit kemudian
berubah menjadi makrofag. Makrofag ini kemudian masuk ke jaringan tubuh untuk memakan
dan melawan mikroorganisme berbahaya yang menginfeksi hingga merusak sel. Selain itu,
makrofag juga mampu mengeluarkan sinyal yang dapat mengaktifkan tipe sel lainnya yang
dibutuhkan untuk membantu melawan infeksi. Kondisi monosit tinggi dalam tubuh dapat
mengindikasikan adanya infeksi. Infeksi ini bisa disebabkan oleh virus, jamur, bakteri,
hingga parasit tertentu.
Pasien masih dilanjutkan dengan terapi sesuai dengan instruksi DPJP, rencana tetap
dilakukan untuk monitoring KU, hasil laboratorium dan TTV pasien, implementasi yang
dilakukan yaitu pemantauan terapi obat, visit, dan edukasi terapi.
BAB IV
KESIMPULAN
Berg AT, Berkovic SF, Brodie MJ. Revised terminology and concepts for organization of
seizures and epilepsies: report of the ILAE Commission on Classification and
Terminology, 2005-2009. Epilepsia. 2010;51:676-85.
Maghfirah & Isra Namira (2022), KEJANG DEMAM KOMPLEKS, AVERROUS: Jurnal
Kedokteran dan Kesehatan Malikussaleh Vol.8 No.1
Fadila, S., Nadjmir, N., dan Rahmatini, R., (2014). Hubungan Pemakaian Fenobarbital Rutin
dan Tidak Rutin Pada Anak Kejang Demam dengan Attention Deficit Hyperactivity
Disorder (ADHD). Jurnal Kesehatan Andalas, 3: .
Hay, W. Current Diagnosis andTreatment of Pediatrics. 19th edition. United States of
America: McGrawHill. 2009; 697-698.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2006. Konsensus Penatalaksanaan Kejang Demam. IDAI:
Unit Kerja Koordinasi Neurologi.
Ismael, S., Pusponegoro, HD., Widodo, PD., Mangunatmadja, I., Handryanstuti, (2016)S.
IDAI. Rekomendasi penatalaksanaan kejang demam. Unit Kerja Koord Neurol Ikat
Dr Anak Indones.