Anda di halaman 1dari 16

KOMPETENSI BAHASA DALAM PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

Makalah ini Disusun untuk Memenuhi


Tugas Mata Kuliah Pemerolehan Bahasa Kedua yang Diampu Oleh:
Dr. Roekhan, M.Pd. dan Dr. Nurchasanah, M.Pd.

Kelompok 2

Dwi Fikriyah (230211800183)


Irna Rinawatul Fitriyah (220211818413)
Nurul Khisbiyah (220211818319)
Ulfa Rizqi Putri (220211818321)

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
SEPTEMBER 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah tentang botani sastra ini
dengan sebaik mungkin. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terlibat. Saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah Pemerolehan
Bahasa Kedua, Bapak Dr. Roekhan, M.Pd. dan Ibu Dr. Nurchasanah, M.Pd. yang tak lelah
menerima ajakan diskusi.
Makalah ini membahas tentang kompetensi bahasa dalam pemerolehan bahasa kedua.
Kompetensi tersebut dijabarkan dalam empat topik pembahasan, yaitu (1) pemerolehan
bunyi; (2) pemerolehan struktur; (3) pemerolehan makna; (4) pemerolehan wacana.
Tentunya, tidak akan bisa maksimal jika tidak mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sebagai penyusun, kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan, baik dari
penyusunan maupun tata bahasa penyampaian dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami
dengan rendah hati menerima saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini. Kami berharap semoga makalah yang kami susun ini memberikan manfaat
dan juga inspirasi untuk pembaca.

Malang, 21 September 2023


Penulis

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………………............... 1
Daftar Isi……………………………………………………………………........................ 2
A. Latar Belakang……………………………………………………………………... 3
B. Kompetensi Bahasa……………………………………………………………….... 3
C. Pemerolehan Bunyi………………………………………………………………… 4
D. Pemerolehan Struktur……………………………………………………………….5
E. Pemerolehan Makna………………………………………………………………...6
F. Pemerolehan Wacana………………………………………………………………. 9
G. Simpulan……………………………………………………………………............13
Daftar Pustaka……………………………………………………………………................14

2
A. Latar Belakang
Kajian tentang pemerolehan bahasa menjadi salah satu kajian yang konsisten
memunculkan hal menarik untuk diteliti. Sejalan dengan sifat dinamis dari bahasa itu
sendiri, studi tentang pemerolehan bahasa terus berkembang dari sejak pertama kali
permasalahan ini mulai diteliti. Ingram (1989) membagi perkembangan studi tentang
pemerolehan bahasa menjadi tiga tahap : periode buku harian, periode sampel besar,
dan periode kajian longitudinal. Ryeo (2019) menyebutkan bahwa pemerolehan bahasa
dibedakan menjadi dua yakni pemerolehan bahasa pertama dan pemerolehan bahasa
kedua. Setiap orang memiliki bahasa pertama atau bahasa ibu yakni bahasa asli seorang
penutur yang telah diperoleh sejak kecil. Bahasa ibu dapat mengantarkan seseorang
dalam mempelajari bahasa kedua.
Bahasa pertama atau bahasa ibu umumnya diajarkan dan diperoleh sejak kecil.
Hingga ketika seseorang sudah dewasa, ia mendapatkan pembelajaran mengenai
konsep bahasa pertama. Pemerolehan bahasa kedua umumnya mencakup pemerolehan
fonologi, sintaksis, semantik dan wacana. Sebagaimana proses kemampuan bahasa
pertama, ketiga pemerolehan tersebut harus dikuasai dengan baik untuk dapat
menguasai bahasa kedua.

B. Kompetensi Bahasa
Proses pemerolehan bahasa dapat berawal dari kompetensi kemudian
diimplementasikan melalui performansi. Dua hal ini merupakan hal yang saling
berkaitan satu sama lain. Menurut Fatmawati (2005) kompetensi adalah pengetahuan
tentang gramatika bahasa ibu yang dikuasai anak secara tidak sadar. Gramatika itu
terdiri atas tiga komponen, yaitu semantik, sintaksis, dan fonologi dan diperoleh secara
bertahap. Pada tataran kompetensi ini terjadi proses analisis untuk merumuskan
pemecahan-pemecahan masalah semantik, sintaksis, dan fonologi.
Aspek kompetensi diartikan sebagai pengetahuan yang dimiliki oleh pemakai
bahasa mengenai bahasanya (Rusyana dan Samsuri, 1976:120). Aspek ini bersifat
abstrak, karena hanya berupa seperangkat kaidah (bahasa) yang berada di dalam otak
pemakai bahasa. Mengingat sifatnya abstrak, aspek kompetensi cenderung tidak
disadari oleh pengguna bahasa itu sendiri.
Kompetensi dapat pula diartikan sebagai pengetahuan intuitif yang dimiliki oleh
setiap individu mengenai bahasa ibunya. Intuisi linguistik ini tidak begitu saja ada
melainkan dikembangkan pada anak sejalan dengan pertumbuhannya. Oleh karena itu,

3
aspek kompetensi menjadi salah satu bagian yang penting untuk menunjang kualitas
performansi seseorang.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kompetensi merupakan
proses yang berkaitan dengan proses penguasaan tata bahasa yang meliputi fonologi,
morfologi, sintaksis, dan semantik. Berikutnya, akan dipaparkan secara lebih rinci
terkait pemerolehan bunyi, pemerolehan struktur, pemerolehan makna, dan
pemerolehan wacana dalam pemerolehan bahasa kedua.

C. Pemerolehan Bunyi
Fonologi merupakan bidang kajian linguistik yang mengkaji mengenai bunyi
bahasa. Fonologi memiliki hubungan dengan pemerolehan bahasa. Pemunculan bunyi
yang dihasilkan oleh anak bersifat genetik, artinya tidak mampu diukur dari umur anak.
Hal tersebut disebabkan oleh perbedaan perkembangan setiap anak. Namun umumnya,
anak Indonesia dapat mengucapkan kata pertama pada umur 1;6. Hal tersebut
menyebabkan anak Indonesia memerlukan waktu yang lebih lama untuk menentukan
suku yang akan diambil sebagai wakil dari sebuah kata (Dardjowidjojo, 2012).
Konsonan pada akhir kata sampai dengan umur sekitar 2;0 banyak yang tidak
diucapkan. Contohnya pada kata “mobil”, seorang anak hanya menyebutkan “bil”.
Hingga sekitar umur 3;0 anak belum dapat mengucapkan gugus konsonan. Contohnya
sapaan “Eyang Putri” menjadi “Eyang Ti”.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh A’ban’ dkk (2022) mengenai
pemerolehan bahasa kedua aspek fonologi anak usia 4 – 5 tahun di Toraja menjelaskan
bahwa anak pada usia tersebut memperoleh bahasa indonesia dengan melakukan
beberapa perubahan fonem, penghilangan fonem dan penghilangan silabel. Fonem
konsonan yang berubah adalah fonem /r/ yang menjadi /l/; dan fonem /ə/ menjadi /e/
sebab dalam bahasa Toraja tidak ada bunyi /ə/. Penghilangan fonem terjadi pada
konsonan frikatif /h/ karena posisi fonem tersebut yang termasuk fonem tidak bersuara
sehingga pelafalannya sering terabaikan. Pada penghilangan silabel terjadi pada silabel
pertama sebagai bentuk penyingkatan kata yang umum dilakukan anak pada usia 4 – 5
tahun akibat artikulasi yang belum sempurna.
Pada pemerolehan bahasa kedua, pembelajar bahasa kedua memanfaatkan ciri-
ciri fonologis bahasa pertama sebagai bekal untuk mempelajari bahasa kedua. Namun,
tidak semua bentuk fonologis bahasa kedua sama dengan bahasa pertama. Hal tersebut
menyebabkan banyak pembelajar bahasa kedua yang mengalami kesulitan untuk

4
menguasai pengucapan kata dalam bahasa kedua. Contohnya pembelajar dari Indonesia
yang ingin mempelajari bahasa Inggris akan kesulitan mengucapkan bunyi kata dalam
bahasa Inggris. Hal tersebut disebabkan oleh huruf dalam bahasa Inggris yang
diucapkan berbeda dari bahasa Indonesia seperti huruf “a” yang diucapkan “ai”.
Akan tetapi, kesamaan bunyi antara bahasa pertama dengan bahasa kedua tidak
selalu menguntungkan pembelajar (Flege, 1987). Pembelajar pemula mungkin
memasukkan fitur setara bahasa kedua ke dalam bahasa pertama. Hal tersebut dapat
mencegah pembelajar bahasa membuat kategori fonetik yang benar-benar baru
sehingga dapat memperlambat penguasaan bahasa kedua. Pembelajar bahasa perlu
menyiapkan kategori fonetik baru untuk fitur-fitur yang dianggap berbeda dari bahasa
pertama sehingga akan lebih mudah menguasai bahasa kedua. Dengan kata lain, bunyi
yang berbeda lebih mudah diperoleh dibandingkan dengan bunyi serupa.

D. Pemerolehan Struktur
Pemerolehan bahasa merupakan proses pemilikan kemampuan berbahasa, baik
berupa pemahaman maupun pengungkapan secara alami tanpa melalui kegiatan formal.
Pemerolehan bahasa berdasarkan strukturnya dapat dimulai melalui bagian terkecil
yaitu kata kemudian ke satuan yang lebih besar seperti frasa, klausa, kalimat, dan
hubungan antara satuan-satuan itu. Menurut Salnita (2019) pemerolehan bahasa anak
dimulai dari ujaran satu kata yang sederhana hingga mencapai gabungan kata dan
kalimat yang lebih rumit. Perkembangan bahasa anak dipengaruhi oleh usia anak,
kondisi lingkungan, kecerdasan anak, status sosial ekonomi keluarga, dan kondisi fisik
anak. Menurut Paliling dan Juanda (2022) pada anak usia 2-3 tahun, anak mampu
menuturkan kalimat sederhana yaitu dua kata atau lebih. Perkembangan bahasa anak di
bidang sintaksis dipengaruhi oleh orang di sekitarnya. Anak dapat menghasilkan ujaran
dalam berbagai jenis kalimat karena kemampuan kognitif dan stimulus yang tepat dari
mitra tutur. Pada pembelajaran bahasa, bahasa diperoleh saat dipelajari secara formal
dengan mematuhi konsep-konsep kaidah ketatabahasaan yang berlaku.
Pengetahuan anak tentang gramatikal bahasa ibu dapat dikuasai dengan tidak
sadar. Menurut Suardi, dkk. (2019) struktur bahasa yang diperoleh anak normal dapat
diamati ketika usia 18 bulan. Beberapa anak sudah memperoleh struktur bahasa mereka
ketika usia setahun bahkan sampai di atas dua tahun. Pemerolehan struktur bahasa
ditandai dengan kemampuan anak dalam mengungkapkan sesuatu dalam bentuk
konstruk atau susunan kalimat. Anak mampu memproduksi bahasa untuk mewakili apa

5
yang ia maksud. Pemakaian dan pergantian kata-kata tertentu pada posisi yang sama
menunjukkan anak telah menguasai kelas-kelas kata dan mampu secara kreatif
memvariasikan fungsinya. Contohnya, ‘ayah datang’ menjadi ‘ayah pergi’ atau ‘ibu
datang’.
a. Pemerolehan Bahasa Indonesia dalam Morfologi
Anak yang berumur 3 tahun belum terdapat morfem yang menggunakan
afiksasi, bahkan masih banyak penggunaan morfem yang sebagian, seperti
/dah/, /yum/, /ma/ yang seharusnya /sudah/, /belum/, /bersama/. Pada anak umur
4-5 tahun menunjukkan pemerolehan bahasa yaitu sudah muncul morfem yang
menggunakan afiksasi berupa prefiks dan sufiks, namun infiks dan konfiks
belum muncul. Penggunaan afiksasi berupa prefiks formal {ber-} dan {meN-}.
Pada usia lima tahun anak sudah mencapai perkembangan verba, netralisasi
sufiks {-kan} dan {-i} yang menjadi {in} pada /dibeliin/ yang seharusnya
/dibelikan/ (Wulandari, 2018)
b. Pemerolehan Bahasa Indonesia dalam Sintaksis
Pada anak usia 3 tahun terdapat beberapa kesalahan berbahasa, meliputi:
kesalahan frasa, kesalahan klausa, dan kesalahan kalimat. Contoh kesalahan
frasa yaitu pada kata “maem udah” yang seharusnya “sudah makan”. Kesalahan
tersebut tergolong frasa kerja. Frasa yang dihasilkan anak “anter ibu” yang
berartikan “diantar ibu” seharusnya “diantar oleh ibu”. Pernyataan “anter ibu”
Rere telah menghilangkan kata oleh dalam frasa kerja pasif. Menurut ()selain
frasa, anak usia 3 tahun sudah mampu menghasilkan berbagai jenis kalimat,
seperti kalimat deklaratif (kalimat pernyataan), interogatif (kalimat tanya),
imperatif (kalimat perintah), dan injeksi (kalimat seru) dengan cukup baik.
Bahasa pada anak yang berusia 4-5 tahun, anak tersebut mulai
menghasilkan kalimat-kalimat tunggal seperti berpola SP, S-P-O, K-P-O dan K-
S. Pada tataran sintaksis, anak yang berusia 3 tahun hanya memperoleh ujaran
dua kata, sedangkan anak yang berumur 4-5 tahun sudah memperoleh ujaran
beberapa kata (Wulandari, 2018)

E. Pemerolehan Makna
Dalam kajian kompetensi berbahasa, pemerolehan makna merupakan salah satu
bagian yang tidak dapat dilepaskan dari proses pemerolehan bahasa kedua. Setelah
seorang anak mengenal bunyi bahasa, seorang anak tentu perlu memahami makna kata

6
tersebut untuk dapat digunakan dalam berkomunikasi. Seorang anak perlu mengenali
fitur-fitur dari bunyi bahasa yang telah dimiliki, untuk ditafsirkan maknanya dengan
tepat. Proses pemaknaan kata tentu bukanlah hal yang mudah, Djardjowodjodjo (2014)
menjelaskan bahwa dari masukan yang ada, anak harus menganalisis segala macam
fiturnya sehingga makna yang diperolehnya itu akhirnya sama dengan makna yang
dipakai oleh orang dewasa. Hal ini menunjukkan bahwa untuk memaknai sebauh kata,
seorang anak perlu melakukan analisis terkait referensi dari kata tersebut, baik berupa
referensi fisik ataupun bentuk yang lain. Makna sebuah kata, akan lebih mudah
dipahami jika ada rujukan yang jelas dari kata tersebut.
Dalam hal penentuan makna kata, anak mengikuti prinsip-prinsip universal.
Dalam konsep ini, penentuan makna dinamakan overextension dan underextension.
Overextension diterjemahkan sebagai penggelembungan makna, sementera
underextension diterjemahkan sebagai penciutan makna.
Overextension merujuk kepada situasi dimana seorang anak diperkenalkan pada
suatu konsep baru, anak cenderung untuk mengambil salah satu fitur dari konsep itu,
lalu menerapkannya pada konsep lain yang memiliki fitur tersebut. Misalnya, ketika
seorang anak diperkenalkan pada konsep tentang nyamuk, dia mengambil fitur bentuk
fisiknya, berupa hewan kecil yang dapat terbang. Berikutnya, fitur ini diterapkan pada
semua hewan kecil yang dapat terbang dimaknai sebagai nyamuk.
Sebaliknya, underextension atau penciutan makna lebih membatasi makna hanya
pada referen yang telah dirujuk sebelumnya. Salah satu contoh seorang anak yang
diperkenalkan pada bebek yang berenang di kolam, maka gambar bebek yang ada di
buku beberapa hari kemudian bukanlah bebek. Bebek harus barang hidup, dan mungkin
juga di kolam.
Selain prinsip-prinsip universal yang telah dipaparkan di atas, konsep penentuan
makna kata juga dituangkan dalam artikel yang ditulis oleh Lidz dan Perkinz (2018)
dengan mengisyaratkan bahwa bunyi suatu kata tidak menunjukkan maknanya. Arti
“hewan ternak hitam-putih yang menghasilkan susu’ dikodekan oleh rangkaian bunyi
[kaʊ] (sapi) dalam bahasa Inggris dan [vaʃ] (vache) dalam bahasa Prancis. Urutan bunyi
[fi] berarti biaya atau tagihan dalam bahasa Inggris (fee) dan anak perempuan atau anak
perempuan dalam bahasa Prancis (fille). Untuk melakukan pemetaan antara bentuk dan
makna yang spesifik dalam bahasa ini, salah satu hal yang dapat dijadikan acuan
adalah, situasi di mana kata tersebut digunakan.

7
Salah satu hipotesis lama tentang pembelajaran kata, berasal dari filsuf John
Locke (1690/1998) menunjukkan pandangan yang sama tentang proses pemaknaan
kata. Pada konsep ini, anak-anak diusulkan untuk mempelajari arti kata-kata dengan
mengamati apa yang mereka gunakan untuk memberi label di dunia. Strategi ini disebut
word-to world-mapping (Gleitman, 1990). Konsep ini mengasumsikan bahwa seorang
anak mempelajari arti sebuah kata dengan mengamati kemungkinan penggunaan kata
tersebut di dunia nyata, atau referensi apa yang mungkin untuk kata tersebut ketika kata-
kata tersebut digunakan. Misalnya, anak-anak berbahasa Inggris sering mendengar
rangkaian bunyi [kaʊ] di dalamnya konteks di mana sapi ada, dan pelajari bahwa suara
tersebut digunakan untuk memberi label pada sapi. Sama halnya seperti seorang anak
yang menonton sebuah kompetisi balap sepeda, maka secara tidak langsung anak
tersebut akan menandai sebuah benda dengan dua roda yang dipakai untuk balapan
sebagai sepeda.
Berikutnya, berkaitan dengan pemerolehan makna, salah satu hal yang patut
diperhatikan adalah bagaimana cara seorang anak menguasai makna kata.
Dardjowidjdo (2018) menyatakan bahwa anak tidak menguasai makna kata secara
sembarangan. Terdapat beberapa strategi yang diikuti dalam proses penguasaan makna
tersebut.
1. Strategi referensi, dimana sebuah kata pastilah merujuk pada benda, perbuatan,
proses, atau atribut tertentu. Misalnya, ketika seorang anak mengenal kata sabun,
maka kata tersebut akan merujuk pada sesuatu yang digunakan untuk mencuci
tangan dan lain sebagainya.
2. Strategi cakupan objek, pada strategi ini kata merujuk pada seluruh bagian objek.
Misalnya, ketika seorang anak mengenal kata mobil, maka keseluruhan dari objek
tersebut yang akhirnya dikuasainya.
3. Strategi peluasan, mengasumsikan bahwa kata tidak hanya merujuk pada objek
aslinya saja tetapi juga pada objek-objek lain dalam kelompok yang sama itu.
Misalnya, ketika seorang anak mengenal hewan kambing, maka semua hewan
berbulu dengan ciri-ciri yang sama seperti kambing dianggap sebagai kambing,
meskipun berbulu hitam atau coklat.
4. Strategi cakupan kategorial, kata dapat diperluas pemakaiannya untuk objek objek
yang termasuk dalam kategori dasar yang sama. Misalnya, ketika seorang mulai
mengenal telur ayam, maka ketika anak tersebut melihat telur bebek, telur burung
puyuh, maka dia akan menganggap itu sebagai telur.

8
5. Strategi nama baru kategori tak bernama, anak yang mendengar kata, dan setelah
dicari dalam leksikon mental dia ternyata kata ini tidak ada rujukannya, maka kata
ini akan dianggap kata baru dan maknanya ditempelkan pada objek, perbuatan, atau
atribut yang dirujuk oleh kata itu. Misalnya ketika seorang anak mendengar kata
kancing, sementara rujukannya tidak ada, maka anak tersebut akan menganggap
itu sebagai kata baru.
6. Strategi konvensionalitas, memakai kata yang tidak terlalu umum dan tidak terlalu
khusus. Misalnya ketika seseorang memperkenalkan ikan kepada anak, hamper
tidak mungkin dia memperkenalkan itu sebagai hewan atau makhluk hidup. Akan
tetapi, ikan akan diperkenalkan sebagai ikan, sekalipun itu adalah ikan nila, mujaer,
atau ikan yang lain.

F. Pemerolehan Wacana
Dalam pemerolehan bahasa kedua terdapat urutan yang dilewati anak untuk
menjadi penutur bahasa kedua yang sah. Dimulai dari pemerolehan bunyi, kemudian
berlanjut pada pemerolehan kata, lambat laun berkembang menjadi kalimat dan sampai
pada wacana. Pada pemerolehan wacana, pembelajar bahasa kedua umumnya telah
menguasai urutan pemerolehan bahasa dengan baik, sehingga pada tahap terakhir
pebelajar berfokus pada pengembangan skemata yang dimiliki. Tahap pemerolehan
wacana terjadi karena adanya percakapan yang ada diantara dua orang, biasanya
dicontohkan pada percakapan anak dengan orang dewasa atau dengan anak lain.
Adanya interaksi dan komunikasi, secara perlahan akan menambah masukan bahasa
secara langsung. Dalam percakapan yang terjadi, peran lawan bicara yang responsif dan
mendukung isi komunikasi memiliki dampak pada perkembangan bahasa kedua anak.
Percakapan seperti ini dapat menstimulus anak dalam berbicara.
Berbeda dengan pemerolehan bahasa kedua untuk orang dewasa, yang terjadi
adalah tidak ada dukungan kalimat yang diutarakan atau akan diujarkan sebagai
stimulus dari lawan bicara. Hal ini dipengaruhi oleh usia penutur yang mencukupi, dan
ditinjau dari kematangan penerimaan informasi usia dewasa dinilai lebih mampu dalam
memaknai secara pragmatik. Percakapan yang dilakukan oleh orang dewasa biasanya
didasari oleh asumsi akan adanya pengetahuan tertentu pada interlokutor sehingga
informasi dapat dipilah sesuai dengan kebutuhan. Adapun produksi ujaran yang
memengaruhi kelancaran produksi ujaran yaitu adanya perbedaan dialog dan wacana
monolog, dalam pemerolehan wacana lisan yang menjadi pelaku adalah satu orang saja.

9
Selanjutnya harus ada memproduksi konstituen, dan memasukkan unsur bacaan kedua
sebagai penyesuaian struktur wacana.
Mengenai pemerolehan bahasa, terdapat beberapa pengertian. Pengertian yang
satu mengatakan bahwa pemerolehan bahasa mempunyai suatu permulaan yang tiba-
tiba dan mendadak. Perolehan bahasa anak-anak dapat dikatakan mempunyai ciri
kesinambungan, memiliki suatu rangkaian kesatuan yang bergerak dari ucapan satu
kata sederhana menuju gabungan kata yang lebih rumit. Berbicara mengenai ragam atau
jenis pemeroehan bahasa memang sangat menarik karena dapat kita tinjau dari berbagai
sudut pandang, berikut ragam pemerolehan bahasa:
(1) berdasarkan bentuk
ditinjau dari segi bentuk, kita mengenal
(a) pemerolehan bahasa pertama atau first language acquisition
(b) pemerolehan bahasa kedua atau second language acquisition
(2) pemerolehan ulang atau re-acquisition berdasarkan urutan
ditinjau dari segi urutan, kita mengenal
(a) pemerolehan bahasa pertama atau first language acquisition
(b) pemerolehan bahasa kedua atau second language acquisition
(3) berdasarkan jumlah
ditinjau dari segi jumlah, kita mengenal
(a) pemerolehan satu bahasa atau monolingual acquisition
(b) pemerolehan dua bahasa atau bilingual acquisition
(4) berdasarkan media
ditinjau dari segi media, kita mengenal
(a) pemerolehan bahasa lisan atau oral language (speech) acquisition
(b) pemerolehan bahasa tulis atau written language acquisition
(5) berdasarkan keaslian
ditinjau dari segi keaslian atau keasingan, kita mengenal
(a) pemerolehan bahasa asli atau native language acquisition
(b) pemerolehan bahasa asing atau foreign language acquisition
Salah satu teori yang menyinggung tentang pemerolehan wacana adalah teori
wacana ini sangat sesuai untuk diterapkan dalam konteks pembicaraan ini.
Pemerolehan bahasa kedua dilihat dari segi bagaimana cara anak menemukan makna
potensial bahasa melalui keikutsertaannya dalam komunikasi. Pentingnya komunikasi

10
sebagai upaya pengembangan kaidah struktur bahasa. Adapun prinsip-prinsip teori
wacana sebagai berikut:
1. Pemerolehan B2 akan mengikuti urutan alamiah (mula-mula anak
menggunakan 1 kata, kemudian 2, 3, dan seterusnya)
2. Orang tua atau guru akan menyesuaikan tuturannya untuk menyatukan makna
dengan anak;
3. Strategi percakapan menggunakan makna dan bentuk yang dinegosiasikan,
makna dan bentuk yang fleksibel dan tertata
4. Berasal dari teori penggunaan bahasa yang bersumber dari menemukan makna
potensial bahasa dalam berkomunikasi
Landasan atau dasar kognitif pemerolehan bahasa terlihat dalam tiga hal yaitu:
1. Perkembangan semantik sang anak
2. Perkembangan sintaksis permulaan (yang merupakan tuturan/ujuaran gabungan
permulaan)
3. Penggunaan aktif sang anak akan sejenis siasat belajar
Urutan perkembangan pemerolehan bahasa yang dilalui oleh pebelajar adalah:
1. Perkembangan sekolah, perkembangan pemerolehan bahasa anak-anak
prasekolah dapat dibagi lagi atau, (a) perkembangan prasekolah, (b) tahap satu
kata, (c) ujaran kombinasi permulaan
2. Perkembangan ujaran kombinatori, pembicaraan mengeni perkembangan
ujaran kombinasi anak-anak inik akan kita bagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
perkembangan negative (penyangkalan), perkembangan interogatif
(pertanyaan), perkembangan penggabungan kalimat, dan perkembangan sistem
bunyi
3. Perkembangan masa sekolah
(a) struktur bahasa
(b) pemakaian bahasa
(c) kesadaran metalinguistik
Disisi lain, terdapat faktor yang memengaruhi pemerolehan wacana:
1. usia optimal pemerolehan bahasa
2. waktu yang diperlukan
3. penggunaan bahasa yang diperoleh
4. hubungan bahasa pertama dengan bahasa kedua

11
Sebagai bahan perbandingan dan penambah cakrawala pandangan kita mengenai
perkembangan bahasa anak-anak, perhatikan pendapat Piaget dan Vygotsky.
Usia Tahap Perkembangan Bahasa
0.0-0.5 Tahap meraban (pralinguistik) pertama
0.5-1.0 Tahap meraban (pralinguistik) kedua: kata nonsense
1.0-2.0 Tahap linguistic I: holofarastik; kalimat satu kata
2.0-3.0 Tahap linguistic II: kalimat dua kata
3.0-4.0 Tahap linguistic III: pengembangan tata bahasa
4.0-5.0 Tahap linguistic IV: tata bahasa pradewasa
5.0 Tahap linguistic V: kompetensi penuh
Tahap perkembangan bahasa anak-anak Piaget
Ujaran Luar
Ujaran pribadi Tahap I: bahasa prasosial yang menstimulasi diri sendiri
(egosentrik)
Tahap II: ujaran pribadi yang mengarah ke luar

Tahap III: ujaran pribadi yang mengarah ke dalam


membimbing diri sendiri

Tahap IV: manifestasi-manifestasi eksternal ujaran dalam

Tahap V: ujaran dalam hati atau pikiran

Ujaran dalam
Tahap perkembangan bahasa anak-anak Vygotsky

Keluaran belajar bahasa merupakan suatu sistem kaidah bagi bahasa orang
dewasa. Sistem kaidah atau tata bahasa ini terdiri atas kaidah-kaidah, aturan-aturan,
prinsip-prinsip, dan ketetapan-ketetapan parameter yang terendap dalam kosakata
formal, termasuk kategori-kategori sintaksis, relasi-relasi gramatikal serta kasus, dan
bentuk-bentuk struktur frasa. Tata bahasa memang merupakan subjek bagi
ketidakluasan universal yang dihipotesiskan sebagai pembawaan lahir, tetapi
merupakan subjek bagi variasi parametrik. Pemerolehan bahasa terdiri atas
penyelesaian sang anak terhadap susunan kesatuan lahiriah dalam masukan untuk

12
menentukan kombinasi-kombinasi yang mana saja diantaranya yang dibolehkan atau
diizinkan oleh bahasa.

G. Simpulan
Pemerolehan bahasa kedua mencakup kompetensi bahasa yang terdiri dari empat
kompetensi yakni pemerolehan bunyi, pemerolehan struktur, pemerolehan makna, dan
pemerolehan wacana. Pemerolehan bunyi mencakup kajian linguistik fonologi dalam
sebuah bahasa. Pada pemerolehan bahasa kedua, pembelajar bahasa kedua
memanfaatkan ciri-ciri fonologis bahasa pertama sebagai bekal untuk mempelajari
bahasa kedua. Namun, tidak semua bentuk fonologis bahasa kedua sama dengan bahasa
pertama. Hal tersebut menyebabkan banyak pembelajar bahasa kedua yang mengalami
kesulitan untuk menguasai pengucapan kata dalam bahasa kedua.
Pemerolehan struktur mencakup pemerolehan morfologi dan pemerolehan
sintaksis. Perkembangan bahasa anak di bidang sintaksis dipengaruhi oleh orang di
sekitarnya. Anak dapat menghasilkan ujaran dalam berbagai jenis kalimat karena
kemampuan kognitif dan stimulus yang tepat dari mitra tutur. Pada pembelajaran
bahasa, bahasa diperoleh saat dipelajari secara formal dengan mematuhi konsep-konsep
kaidah ketatabahasaan yang berlaku.
Pemerolehan makna merupakan salah satu bagian yang tidak dapat dilepaskan
dari proses pemerolehan bahasa kedua. Setelah seorang anak mengenal bunyi bahasa,
seorang anak tentu perlu memahami makna kata tersebut untuk dapat digunakan dalam
berkomunikasi. Seorang anak perlu mengenali fitur-fitur dari bunyi bahasa yang telah
dimiliki, untuk ditafsirkan maknanya dengan tepat. Seorang anak perlu melakukan
analisis terkait referensi dari kata tersebut, baik berupa referensi fisik ataupun bentuk
yang lain. Makna sebuah kata, akan lebih mudah dipahami jika ada rujukan yang jelas
dari kata tersebut.
Pada pemerolehan wacana, pembelajar bahasa kedua umumnya telah menguasai
urutan pemerolehan bahasa dengan baik, sehingga pada tahap terakhir pebelajar
berfokus pada pengembangan skemata yang dimiliki. Tahap pemerolehan wacana
terjadi karena adanya percakapan yang ada diantara dua orang, biasanya dicontohkan
pada percakapan anak dengan orang dewasa atau dengan anak lain. Adanya interaksi
dan komunikasi, secara perlahan akan menambah masukan bahasa secara langsung.
Dalam percakapan yang terjadi, peran lawan bicara yang responsif dan mendukung isi
komunikasi memiliki dampak pada perkembangan bahasa kedua anak.

13
DAFTAR PUSTAKA

A’ban’, J. G., Darwis, M., dan Nurhayati. 2022. Pemerolehan Bahasa Kedua Aspek Fonologi
Anak Usia 4 - 5 Tahun di Toraja. Interference: Journal of Language, Literature, and
Linguistics, 3(1), 1 - 16.
Afuri, R., Asriani, P., Afriana, R., & Fatmawati, F. (2023). Pemerolehan Bahasa pada Anak
Usia Dini. Sajak: Jurnal Penelitian Dan Pengabdian Sastra, Bahasa, Dan Pendidikan,
2(2), Art. 2. https://doi.org/10.25299/s.v2i2.11770
Annas, A. (2019). Akuisisi Bahasa Kedua pada Anak Usia 4-5 Tahun di RA Manafiul Ulum
Kudus. ThufuLA: Jurnal Inovasi Pendidikan Guru Raudhatul Athfal, 7(2), 243.
https://doi.org/10.21043/thufula.v7i2.5907
Arsanti, M. (2014). Pemerolehan bahasa pada anak (kajian psikolinguistik). Jurnal PBSI, 3(2).
Ayu Puspitas Indah Sari, A. (2011). Peranan Membaca Ekstensif dalam Pemerolehan Bahasa
Kedua. Bina EDUKASI, 25–34.
Dardjowidjojo, S. 2012. Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Ellis, R. 2015. Understanding Second Language Acquisition. United Kingdom: Oxford
University Press.
Kartika, R. (2018). Pengaruh Produksi Ujaran Terhadap Pemerolehan Bahasa Pada
Anak :Suatu Kajian Neuropsikolinguistik. Bahastra: Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia, 2(2), Art. 2. https://doi.org/10.30743/bahastra.v2i2.2424
Mahajani, T., & Muhtar, R. H. (2019). Pemerolehan Bahasa dan Penggunaan Bahasa Anak
Usia Sekolah Dasar. JPI (Jurnal Pendidikan Indonesia): Jurnal Ilmiah Pendidikan, 5(3),
170–178.
Musfiroh, T. (2004). Pemerolehan Bahasa Kedua. https://staffnew.uny.ac.id
Musfiroh, tadkiroatun. 2004. Pemerolehan bahasa kedua: kasus berbahasa jawa di TK.
Universitas negeri Yogyakarta. Online:
https://staffnew.uny.ac.id/upload/132104302/pengabdian/PEMEROLEHAN+BAHASA
+KEDUA.pdf, diakses tanggal 17 september 2023
Paliling, Yuni, & Juanda. (2022). Pemerolehan Bahasa Anak Usia 3 Tahun 10 Bulan pada
Bilang Fonologi, Sintaksis, dan Semantik. Jurnal Pelita PAUD, 216.
Pallawagau, B., & Rasna, R. (2022). Pemerolehan Bahasa Asing Sebagai Bahasa Kedua
(Kajian Pemerolehan Bahasa Arab). JAEL: Journal of Arabic Education and Linguistics,
2(2), Art. 2. https://doi.org/10.24252/jael.v2i2.31151
Permanamiarta, P. A. (2021). Pemerolehan Bahasa Kedua Dalam Lingkungan Keluarga Pada
Anak Usia Tiga Tahun. 10.
Rusyana, Yus dan Samsuri (ed.). 1978. Pedoman Penulisan Tata Bahasa Bahasa Indonesia.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Ryeo, P. J. 2019. Pemerolehan Bahasa Kedua (Bahasa Indonesia) Pada Anak Usia 2 Tahun.
Ksatra: Jurnal Kajian Bahasa dan Sastra, 8(2), 1 - 12.

14
Suardi, Indah P., R., Syahrul, & Asri, Yasnur. (2019). Pemerolehan Bahasa Pertama pada Anak
Usia Dini. Jurnal Obsesi: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 270.
Tandiana, S. T. (2014). Produksi Bahasa Seorang €Tmnative Bilingualâ€Tm Anak Usia 5
Tahun: Parameter: Jurnal Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, 25(2), Art. 2.
https://doi.org/10.21009/parameter.252.06
Wulandari, Desy Indah. (2018). Pemerolehan Bahasa Indonesia Anak Usia 3-5 Tahun di PAUD
Lestari Desa Blimbing Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan. Lingua Franca: Jurnal
Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya, 80-81.

15

Anda mungkin juga menyukai