Anda di halaman 1dari 117

PEMBATALAN PEMINANGAN DAN AKIBAT HUKUMNYA

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN ADAT ACEH (STUDI


KASUS DI KECAMATAN PIDIE-SIGLI, NAD)

TESIS

Oleh

NIDA DESIANTI
137011010/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


PEMBATALAN PEMINANGAN DAN AKIBAT HUKUMNYA
DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN ADAT ACEH (STUDI
KASUS DI KECAMATAN PIDIE-SIGLI, NAD)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada


Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara

Oleh

NIDA DESIANTI
137011010/M.Kn

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Judul Tesis : PEMBATALAN PEMINANGAN DAN AKIBAT
HUKUMNYA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
DAN ADAT ACEH (STUDI KASUS DI
KECAMATAN PIDIE-SIGLI, NAD)
Nama Mahasiswa : NIDA DESIANTI
Nomor Pokok : 137011010
Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui
Komisi Pembimbing

(Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD)

Pembimbing Pembimbing

(Prof.Dr.Muhammad Yamin,SH,MS,CN) (Dr.T.Keizerina Devi A,SH,CN,MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Tanggal lulus : 26 Agustus 2015

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Telah diuji pada
Tanggal : 26 Agustus 2015

PANITIA PENGUJI TESIS


Ketua : Prof. H. M. Hasballah Thaib, MA, PhD
Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN
2. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum
3. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum
4. Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :


Nama : NIDA DESIANTI
Nim : 137011010
Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU
Judul Tesis : PEMBATALAN PEMINANGAN DAN AKIBAT
HUKUMNYA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN
ADAT ACEH (STUDI KASUS DI KECAMATAN PIDIE-
SIGLI, NAD)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.

Medan,
Yang membuat Pernyataan

Nama : NIDA DESIANTI


Nim : 137011010

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRAK

Khitbah merupakan pernyataan keinginan dari seorang laki-laki untuk menikah


dengan wanita tertentu, lalu pihak wanita memberitahukan hal tersebut kepada
walinya. Dalam hukum Islam menyatakan bahwa peminangan dan pertunangan dapat
disebut dengan peristiwa hukum karena perempuan yang sudah dipinang dan sudah
bertunangan tidak boleh dipinang oleh lelaki lain. Pada masyarakat Aceh jika salah
satu pihak tidak lagi berkeinginan untuk melanjutkan pertunangan ke jenjang
perkawinan maka salah satu dari mereka melakukan pembatalan peminangan aturan
ada sanksi adat yang diberikan kepada pihak yang membatalkan peminangan.
Permasalah yang menjadi fokus kajian dalam tesis ini adalah, Bagaimana
Pengaturan Hukum Peminangan Dalam Fiqh Islam Dan Kompilasi Hukum Islam,
Bagaimana Tata Cara Peminangan Di Dalam Adat Aceh Pidie, Bagaimana Akibat
Hukum Dari Pembatalan Peminangan Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Adat Aceh.
Penelitian ini menggunakan teori perjanjian (akad) dan teori adat (‘urf). Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptis analisis dengan kajian yuridis normatif dengan
didukung penelitian hukum sosiologis.
Dari penelitian yang dilakukan diketahui bahwa aturan tentang peminangan
telah diatur hukum Islam dalam Al- Qur’an surah Al- Baqarah ayat 235 yang menjadi
dasar dari peminangan dan Hadits Rasulullah Muhammad SAW yaitu dalam sunnah
qauliyah, sunnah fi’liyah serta dalam sunnah taqririyah. Dalam Kompilasi Hukum
Islam hanya mengatur masalah peminangan dalam Bab III Pasal 11, 12 dan 13. Pada
masyarakat Aceh yang aturan mengenai peminangan mengaju pada aturan hukum
Islam. Tata cara peminangan dalam adat Aceh Pidie adalah pihak laki-laki yang akan
meminang seorang gadis selalu melibatkan aparat desa untuk bermusyawarah
membicarakan tata cara dan kewajiban yang akan dipenuhi, demikian juga tentang
perjanjian yang akan dibuat pada waktu peminangan. Pihak perempuan juga
melibatkan aparat desanya dalam menyambut kedatangan rombongan pihak laki-laki,
serta melibatkan Majelis Adat Aceh dan ulama setempat dalam hal perjanjian atau
kesepakatan yang mereka buat berdasarkan adat Aceh. Perjanjian yang dibuat oleh
kedua belah pihak disaksikan oleh aparat desa yang hadir dari kedua belah pihak
untuk mendapatkan kekuatan hukum atas perjanjian yang mereka buat. Mengenai
akibat hukum dari pembatalan peminangan menurut hukum Islam adalah segala
hadiah yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pinangannya berhak untuk diminta
kembali selagi barangnya masih utuh, jika barangnya sudah tidak utuh lagi, maka
peminangannya tidak ada hak untuk meminta kembali. Adapun akibat pembatalan
peminangan menurut adat Aceh adalah jika pihak laki-laki mungkir janji maka
hilanglah semua barang-barang bawaan dan emas tanda pertunangan yang telah
diserahkan kepada pihak calon istri, jika si wanita yang mungkir janji maka pihak
wanita harus membayar 2x lipat kepada pihak laki-laki.

Kata Kunci : Pembatalan Peminangan, Hukum Islam, Adat Aceh.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


ABSTRACT

Khitbah which is the notification of a man’s intention to get married with a


certain woman and she tells about it to her wali. In the Islamic law, it is said that
proposal and engagement can be called as a legal domicile since a woman who has
been engaged cannot be proposed by another man. In Aceh community, especially in
Aceh Pidie community that is mostly Moslems, when one of the parties cancels the
proposalto be the engagement, customary sanction will be imposed on them.
The problems of the research were as follows: how about the regulation of
Law on Proposal in the Islamic Figh and the Compilation of the Islamic Law, how
about the procedure of proposal in Aceh Pidie community, and how about the legal
consequence of cancelling proposal viewed from the Islamic Law and from Aceh
custom. The research used the theory of agreement (akad) and the theory of custom
(‘urf). It also used descriptive analysis and judicial normative approach which were
supported by sociological legal research method.
The result of the research showed that the regulation on proposal was
regulated in the Islamic Law, either in the Al-Quran, Surah Al-Baqarah, Verses 235
which becomes the principle of Proposal or in Al-Hadits, in the Prophet
Muhammad’s sunnah qauliyah, sunnah fi’liyah, and sunnah taqririyah. In the
Compilation of the Islamic Law, it is found in Chapter III, Articles 11, 12, and 13. In
Aceh community, the regulation of proposal is referred to the Islamic Law. The
procedure of proposal in Aceh Pidie custom, is that a man who proposes a woman
has to involve village officials in discussing the required procedure and obligation
and in the agreement made in the proposal, while the woman side also involves
village officials and the Aceh Community Council in receiving the man’s company.
The agreement is witnessed by village officials of both parties in order to get legal
enforcement. He legal consequence of cancelling the engagement, according to the
Islamic law is that all properties given by the man have to be returned to him. When
the man breaches the agreement, all properties including the gold as the token for the
proposal, will belong to the woman will belong to the woman. When the woman
breaches the agreement, she has to pay the man doubled.

Keywords: Proposal Cancelling, Islamic Law, Aceh Custom

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobil’alamin Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT sebagai


rasa syukur yang tak terhingga atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini.
Penulisan tesis yang berjudul “PEMBATALAN PEMINANGAN DAN
AKIBAT HUKUMNYA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN ADAT ACEH
(Studi Kasus Di Kecamatan Pidie- Sigli, NAD)”, merupakan bagian yang wajib
dipenuhi oleh setiap mahasiswa untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
menyelesaikan studi dan mendapatkan gelar Magister Kenotariatan di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Dalam proses penulisan tesis ini banyak
rintangan yang harus dilalui namun niat dan semangatlah yang menjadi modal untuk
menuntaskan penelitian ini sampai akhirnya bisa diselesaikan.
Sebagai salah satu mahasiswa Program Magister Kenotariatan, dari awal
mengikuti perkuliahan dan sampai tahap akhir penulisan tesis ini, sepantasnyalah
Penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Prof.
Subhilhar, PhD, selaku Pejabat Rektor Universitas Sumatera Utara dan Bapak Prof.
Dr. Runtung, SH. M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara, dan kepada para dosen yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang telah
memberikan ilmunya selama masa perkuliahan.
Dengan kerendahan hati kepada Bapak Prof.Dr. Muhammad Yamin Lubis,
SH, MS, CN Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Sumatra
Utara dan selaku Dosen Pembimbing II, Bapak Prof. H.M. Hasballah Thaib,MA, PhD
sebagai Dosen Pembimbing I, Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M. Hum
sebagai Sekretaris Program Magister Kenotariatan sekaligus sebagai Dosen

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Pembimbing III, dan Bapak Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, Mkn sebagai Dosen
Penguji dan Ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum juga sebagai Dosen
Penguji, terima kasih yang tulus dan tak terhingga atas semua masukan dan arahan
yang telah banyak membantu dalam penulisan tesis ini. Juga terima kasih kepada
seluruh staf administrasi di biro pendidikan Program Magister Kenotariatan yang
telah melayani dan membantu segala keperluan administrasi dan kepada teman-teman
angkatan 2013 khususnya grup A dan teman-teman yang lain tidak luput dari ucapan
terima kasih, semoga kalian semua juga dapat menyelesaikan tesis secepatnya.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda Latifah Usman dan
Ayahanda (Alm) Ibrahim Hasan serta kepada suami Azhar walaupun dalam suasana
yang saling berjauhan tetapi senantiasa tetap membantu, memberi semangat,
dukungan dan arahan dalam penulisan tesis ini. Anak-anak tersayang Sanaz Alhusna
Azni, Nazira Almagfira Azni dan Najla Nazhifa Khairunnisa yang selalu menjadi
penyemangat hidup. Selama bunda kuliah dengan bertambahnya kesibukan tidak
berarti perhatian kepada kalian jadi berkurang, terima kasih atas pengertiannya
semoga kalian bisa menjadi anak yang sholeha, sukses dan membanggakan keluarga.
Akhirnya penulis menyadari dengan keterbatasan yang ada walaupun segala
kemampuan telah dicurahkan dalam penulisan tesis ini tentunya masih banyak
kekurangan baik dari substansinya maupun teknik penulisannya, untuk itu penulis
mohon masukan dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan tesis ini, sekali lagi
Alhamdulillah, semoga ada manfaatnya.
Medan, Agustus 2015

NIDA DESIANTI
Nim : 137011010

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. DATA PRIBADI
Nama : Nida Desianti
Tempat/Tanggal Lahir : Cot Rheng, 28 Desember 1974
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Perumahan Tata Alam Asri Jalan Bakti
Indah III Nomor 237, Kec. Helvetia,
Medan
Email : nidadesianti74@gmail.com

II. DATA ORANG TUA


Ayah : Ibrahim Hasan (Almarhum)
Ibu : Latifah Usman

III. DATA KELUARGA


Suami : Azhar, SE., AK
Anak Ke-1 : Sanaz Al Husna Azni
(Muara Bungo, 31 Maret 2002)
Anak Ke-2 : Nazira Al Magfira Azni
(Bangko, 24 agustus 2003)
Anak Ke-3 : Najla Nazhifa Khairunnisa
(Aceh,24 Maret 2006)

IV. PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar : SD Negeri TGK Dianjong, Lulus tahun
1987
2. Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri 2 Sigli, Lulus tahun 1990
3. Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 1 Sigli, Lulus tahun 1993
4. Strata-1 : Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala,
Lulus tahun 1998
5. Strata-2 : Magister Kenotariatan Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara, Tahun 2013

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISI

Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................... v
DAFTAR ISI........................................................................................................ vi
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang Permasalahan ..................................................... 1
B. Permasalahan .............................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 12
E. Keaslian Penelitian ..................................................................... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .................................................... 14
1. Kerangka Teori ................................................................... 14
2. Konsepsi .............................................................................. 18
G. Metodologi Penelitian ................................................................ 20
BAB II PENGATURAN HUKUM PEMINANGAN DALAM FIQIH
ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.............................. 28
A. Dasar Hukum Peminangan Dalam Islam ................................... 28
B. Peminangan Dalam Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam .. 36
C. Hak dan Kewajiban Peminang dan Yang Dipinang Dalam
Fiqh Islam Dan Adat Aceh ......................................................... 40
a. Dalam Fiqh Islam ................................................................ 40
b. Dalam Adat Aceh ................................................................ 47
D. Perjanjian dan Kesepakatan Yang Dibuat Dalam Acara
Peminangan Menurut Fiqh Islam dan Adat Aceh ..................... 52

vi

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III TATA CARA PEMINANGAN DALAM ADAT
MASYARAKAT ACEH ................................................................. 55
A. Keluarga Pihak Calon Pengantin Laki-Laki Mendatangi
Keluarga Perempuan Untuk Menyatakan Kehendaknya ........... 55
B. Isi Kesepakatan Yang Dibuat Pada Acara Peminangan Di
Aceh Tunduk Pada Hukum Islam .............................................. 66

C. Para Pihak Yang Ikut serta Dalam Acara Peminangan .............. 73

BAB IV AKIBAT HUKUM YANG LAHIR DARI PEMBATALAN


PEMINANGAN DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN
ADAT ACEH ................................................................................... 76

A. Putusnya Hubungan Antara Yang Dipinang Dengan Yang


Meminang ................................................................................... 76
B. Sanksi Yang Diberikan Bila Terjadi Pembatalan Peminangan... 82

C. Pengembalian Barang Bawaan Apabila Dilakukan


Pembatalan Peminangan ............................................................. 88
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 96
A. Kesimpulan ................................................................................ 96
B. Saran ........................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 99

vii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR ISTILAH

DAFTAR ISTILAH BAHASA ACEH

Jak Keumalen : Acara Melihat/Mengamati.


Ba Tanda : Pertunangan.
Batee Ranub : Tempat Sirih.
Cah Rot : Membuka Jalan.
Duekpakat : Musyawarah.
Gampong : Desa.
Intat Linto : Mengantar Pengantin.
Jakba Ranub : Mengantar Sirih.
Jakba Tanda : Mengantar Tanda.
Jeuname : Mahar.
Kawom : Keluarga Besar.
Kemukiman/Mukim : Terdiri dari beberapa desa yang
dikepalai oleh seorang Mukim.
Keuchik : Kepala Desa.
Koh Andam : Merapikan Poni.
Koh Gigou : Merapikan Gigi.
Linto : Pengantin Laki-Laki.
Malam Peugaca : Malam Berinai.
Mayam : Ukuran Emas Untuk Orang Aceh. Satu
mayam kira-kira sama dengan 3,30
gram emas.
Meugatib : Nikah.
Meulakeu : Meminta.
Seulangke : Utusan.
Teungku : Ustad.

viii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Tuha Peut : Dewan orang tua yang mempunyai
pengetahuan yang luas tentang adat dan
agama.
Uleebalang : Bangsawan.
Upacara Peumanow : Upacara memandikan pengantin
(siraman).
Watee Seumeupreh : Masa Menunggu.

DAFTAR ISTILAH BAHASA ARAB


‘Azam : Tetap hati.
Ba Tanda : Pertunangan.
Baliqh : Dewasa.
Cah Rot : Membuka Jalan.
Duekpakat : Musyawarah.
Gampong : Desa.
Jak Keumalen : Acara Melihat/Mengamati.
Jakba Ranub : Mengantar Sirih.
Jakba Tanda : Mengantar Tanda.
Jeuname : Mahar.
Kawom : Keluarga Besar.
Keuchik : Kepala Desa.
Khalwat : Menyepi.
Khitbah. : Melamar/Meminang.
Kinayah : Sindiran.
Koh Andam : Merapikan Poni.
Koh Gigou : Merapikan Gigi.
Ma’ruf : Baik.
Malam Peugaca : Malam Berinai.

ix

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


Mayam : Ukuran Emas Untuk Orang Aceh. Satu
mayam kira-kira sama dengan 3,30
gram emas.
Meulakeu : Meminta.
Mubah : Di bolehkan.
Sarih : Jelas.
Seulangke : Utusan.
Sunnah Fi’liyah : Sunnah yang bersumber pada
perbuatan.
Sunnah Qauliyah : Sunnah yang bersumber pada Al-
Qur’an.
Sunnah Taqririyah : Sunnah yang bersumber pada
persetujuan nabi terhadap perbuatan
tertentu.
Talak Ba’in : Suatu talak yang karenanya seorang
suami tidak mempunyai hak untuk
rujuk kembali.
Talak Raj’i : Talak dimana suami boleh rujuk
kembali sekalipun istri itu tidak
menghendakinya.
Tasrih : Keterangan, Penjelasan.
Teungku : Ustad.
Tuha Peut : Dewan orang tua yang mempunyai
pengetahuan yang luas tentang adat dan
agama.
Uleebalang : Bangsawan.
Upacara Peumanow : Upacara memandikan pengantin
(siraman).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan itu bukan saja

berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus

merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggaan. Terjadinya suatu ikatan

perkawinan bukan semata-mata membawa akibat terhadap hubungan- hubungan

keperdataan seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak,

hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat,

pewarisan, kekeluargaan, kekerabatan dan ketetangggaan serta menyangkut upacara-

upacara adat dan keagamaan.1

Saat peralihan dari masa remaja kemasa berkeluarga merupakan suatu yang

berkesan bagi seseorang atau masyarakat. Oleh karena itu, setiap masyarakat di dunia

hampir dipastikan mempunyai adat dan upacara yang berkaitan dengan perkawinan.

Masa ini disebut masa perkawinan yang ditandai dan diawali dengan adanya upacara

perkawinan. Bentuk- bentuk upacara perkawinan antara daerah satu dengan daerah

lain tidaklah sama. Pada umumnya orang-orang menggunakan adat dan tata cara

perkawinan yang sesuai dengan daerah asalnya masing-masing, kendatipun orang

tersebut mungkin tinggal di daerah lain atau kota lain. Hal tersebut bisa terjadi karena

1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 8.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


2

masing-masing suku bangsa didunia telah menciptakan suatu aturan yang mengatur

perkawinan ini secara turun temurun.2

Perkawinan menempati posisi terpenting dalam tata pergaulan masyarakat

Aceh. Perkawinan merupakan proses penting dalam kehidupan seseorang. Bahkan,

tak jarang masyarakat mengganggap perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dalam

kehidupannya. Karena itu adat istiadat Aceh mengatur upacara perkawinan. Upacara

perkawinan masyarakat Aceh bukan proses ritual belaka. Upacara adat perkawinan

Aceh mengandung berbagai makna filosofis.

Ada beberapa tahapan dalam upacara perkawinan adat Aceh sejak persiapan

hingga setelah perkawinan. Tahapan tersebut mempunyai tata cara masing-masing.

Beberapa tahap perkawinan adat Aceh adalah :

1. Persiapan menuju perkawinan yang terdiri dari:

a. Jak keumalen (acara melihat/mengamati).

b. Jak ba ranub (acara mengantar sirih).

c. Jak ba tanda (acara mengantar tanda).

2. Upacara menjelang perkawinan yang terdiri dari:

a. Malam peugaca (malam berinai).

b. Koh gigou (merapikan gigi).

c. Koh andam (merapikan poni).

d. Upacara peumanow (upacara memandikan pengantin/siraman).

2
Rusdi Sufi, dkk, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Dinas Kebudayaaan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2002, hal. 73-74.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


3

e. Khatam Al-Qur’an.

Proses adat perkawinan dikalangan etnis Aceh merupakan serangkaian

kegiatan yang tidak saja menjadi urusan pribadi atau keluarga, akan tetapi juga pada

akhirnya menjadi urusan masyarakat terutama masyarakat gampong dimana mereka

bertempat tinggal. Umumnya urusan mencari jodoh untuk seorang pemuda dan anak

gadis dilakukan oleh orang tuanya berdasarkan pada perkembangan usia,

kemampuan si pemuda untuk berumah tangga.3

Status sosial seseorang dalam mencari jodoh juga menjadi pertimbangan

untuk melamar seorang gadis, orang tua baik laki-laki maupun wanita dalam memilih

calon menantu akan memantau jauh dengan melihat pada garis keturunan derajat dan

kedudukan dalam masyarakat, mereka lebih menyukai pilihan keturunan yang tidak

tercela dalam masyarakat dan lebih disukai dari keluarga yang taat dalam beribadat,

berpendidikan dan mempunyai derajat yang “sekufu” atau sepadan dan

mengutamakan pada kaum kerabat dekat. Seorang wanita yang dijadikan pilihan

sekurang-kurangnya memenuhi empat kriteria yaitu jelas keturunannya, mulia, cantik

dan berbudi luhur.4 Pada masa dahulu di Aceh, kalangan bangsawan “uleebalang”

lebih mengutamakan dengan memilih jodoh dari kalangannya sendiri atau penguasa.

Demikian pula dari kalangan Said/Syarifah akan mengutamakan jodoh bagi putrinya

dari kalangan Said pula. Demikian seterusnya srata yang setara dengan pilihan yang

setara pula.5

3
Badruzzaman Ismail dan Sjamsuddin Daud, Romantika Warna-Warni Adat Perkawinan
Etnis-Etnis Aceh, Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2012, hal. 161.
4
Ibid., hal. 163.
5
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


4

Langkah pertama yang dilakukan oleh orang tua pemuda yang hendak

mencarikan seorang gadis untuk putranya, adalah mencari calon istrinya bagi

putranya dengan menentukan pilihan putranya dengan gadis yang ada di dalam

gampongnya dengan prioritas pada kerabat dekat, jika tidak di ketemukan gadis yang

cocok maka dicarikan dari gampong lainnya. Kegiatan ini disebut dengan “cah rot”

atau membuka jalan. Setelah ditemukan pilihan yang cocok diberitahukan kepada si

putranya dan pada masa lalu biasanya seorang pemuda tidak akan menolak pilihan

orang tuanya.6

Tahap selanjutnya adalah tahap “meulake” (meminang). Pada tahap ini peran

orang tua yang telah melakukan cah rot digantikan oleh seseorang yang disebut

seulangke bersama dengan Keucik dan Teungku (ustad) datang kerumah si gadis

untuk meminang secara resmi. Dalam acara ini orang tua pemuda jarang ikut serta.

Hal ini dimaksudkan untuk menghindari jika dalam meminang tidak mendapat respon

yang baik dari yang dipinang, yang meminang tidak kehilangan muka dan mendapat

malu. Lagi pula dalam acara meminang turut dibicarakan masalah yang sangat

prinsipil seperti jumlah mahar “jeuname” dan asal-usul calon pengantin laki-laki yang

kurang layak apabila langsung dilakukan didepan orang tua yang meminang, maka

untuk itu perlu dicarikan tokoh netral yang diutus sebagai wakil untuk melakukan

pekerjaan meminang.7 Dalam melaksanakan pekerjaan ini seulangke bertugas sebagai

6
Ibid., hal. 165.
7
Ibid., hal. 166.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


5

utusan pihak keluarga pengantin laki-laki dan sebaliknya juga menjadi pembawa

pesan dari keluarga pihak pengantin wanita.8

Tahap awal yang dilakukan oleh seulangke adalah pendekatan bersifat

permulaan, pertama yang dilakukan adalah memilih waktu, hari dan bulan baik, yaitu

dengan cara memperhitungkan hari dan bulan yang dianggap memberi berkah,

kebaikan dan keberuntungan. Rekaan dengan menyebut langkah, rezeki, pertemuan

dan maut. Bila hitungan ini terhenti pada rezeki atau pertemuan, maka dianggap hari

yang baik oleh seulangke melakukan tugasnya.9

Pada hari yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, seulangke bersama

dengan keuchik dan teungku (ustad) datang ke rumah si gadis untuk meminang secara

resmi. Pada acara meminang turut dibicarakan masalah berapa besar mahar

(jeuname).

Bagi masyarakat Aceh, jeuname (mas kawin atau mahar) merupakan syarat

mutlak bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan

aturan dalam agama Islam dimana pihak laki-laki diharuskan membayar sejumlah

uang kepada calon istrinya. Jeuname (mas kawin atau mahar) tersebut kemudian

menjadi hak istri dan tidak diperuntukkan bagi keluarganya.

Pada saat ba tanda (pertunangan) biasanya pihak orang tua si jejaka

membawa emas 1 atau 2 mayam sebagai tanda pertunangan dan tidak jarang pula

juga dibawa 1 stel pakaian dan panganan.10 Benda –benda ini disebut dengan tanda

kong haba. Setelah menerima benda-benda ini pihak keluarga si gadis tidak

8
Ibid., hal. 167.
9
Ibid.
10
Rusdi Sufi, dkk, Op.cit., hal. 82.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


6

dibenarkan menerima lamaran orang lain. Apabila ketentuan ini dilanggar, pihak

keluarga si gadis akan didenda secara adat.11

Peminangan berasal dari kata “pinang” dengan kata kerja “meminang”.

Sinonim meminang adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut dengan

“khitbah”. Secara etimologi, meminang dapat diartikan meminta wanita untuk

dijadikan istri, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Esiklopedia Hukum

Islam menyebutkan bahwa khitbah adalah pernyataan keinginan pihak laki-laki

kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebar

luaskan berita pertunangan ini. Pengertian diatas hampir serupa dengan definisi yang

dikemukakan oleh Wahbah Az-Zuhailiy,12 bahwa khitbah adalah pernyataan

keinginan dari seorang laki-laki untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu pihak

wanita memberitahukan hal tersebut pada walinya. Pernyataan ini bisa disampaikan

secara langsung atau melalui keluarga lelaki tersebut. Apabila wanita yang di khitbah

atau keluarganya sepakat, maka sang lelaki dan wanita yang dipinang telah terikat

dan implikasi hukum dari adanya khitbah berlaku diantara mereka. Sayyid Sabiq

mendefinisikan khitbah sebagai suatu upaya untuk menuju perkawinan dengan cara-

cara yang umum berlaku di masyarakat. Khitbah merupakan pendahuluan dari

perkawinan dan Allah telah mensyiarkan, khitbah adalah permintaaan seseorang

lelaki kepada seorang wanita untuk menikah dengannya. Maksud agar perkawinan

dapat dilaksanakan berdasarkan Pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.13

11
Ibid., hal. 85.
12
http://perdata-islam. Blogspot.com/2013/01/peminangan-dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.
13
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


7

Dari definisi-definisi khitbah yang telah diungkapkan oleh para ahli fiqih

diatas, dapat dijelaskan bahwa khitbah merupakan proses yang dilakukan sebelum

menuju perkawinan agar perkawinan dapat dilakukan oleh masing-masing pihak

dengan penuh kesadaran.

Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum Islam, baik dalam Al-

Qur’an maupun al-Hadits. Dalam Al- Qur’an surat al- Baqarah ayat 235, yang

menjadi dasar dari peminangan, yang artinya :

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu,
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
jaganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan jaganlah
kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.
Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu.
Maka takutlah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun. “

Selain Al-Qur’an, hukum tentang peminangan pun ada diatur dalam Hadist

Rasulullah Muhammad SAW, yaitu dalam sunnah qauliyah (sunnah yang bersumber

pada ucapan),14 Hadist ini menandai larangan kaum muslim agar tidak melakukan

peminangan diatas peminangan saudaranya sesama muslim. Atau dengan kata lain,

hadist ini mengisyaratkan kewajiban menghormati hak peminang yang telah dahulu

serta tidak melanggar hak yang dimaksud. Dan juga, hadist ini memiliki kandungan

pesan makna pengokohan yang jelas dari Rasulullah bahwa peminangan itu

disyari’atkan dalam hukum Islam dan dibolehkan (mubah).

14
Al- Bukhari, Shahihul al-Bukhari: Kitab al-Nikah, Dar Al-Fikr, Bairut,1994, VI, hal. 166,
Hadist No. 5142.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


8

Nabi Muhammad SAW tak membenarkan dua orang lelaki yang saling

bersaing untuk menikahi seorang wanita. Hal ini dilarang karena itu akan

menciptakan rasa permusuhan diantara dua orang muslim yang bersaudara.

Imam Abu Hanafiah, Imam Syafi’i dan Imam Malik bahkan berpendapat

berdosalah orang yang melamar pinangan saudaranya, sedangkan bila pelamar

pertama ditolak, maka cukuplah bagi pelamar kedua, kalau ia berhasil, meminta maaf

kepada pelamar pertama dan memohon ampun kepada Allah. Tetapi kaum zhahiriyah

menganggap bahwa perkawinan semacam itu tidak sah. 15

Ditelusuri lebih jauh tentang disyari’atkannya peminangan, di dalam sunnah

fi’liyah (yaitu sunnah yang bersumber pada perbuatan) dijumpai dalam praktik Nabi

Muhammad SAW saat melakukan peminangan terhadap istri-istrinya, seperti Ummu

Salamah dan Juwairiyah. Lalu, dalam sunnah taqririyah (sunnah yang bersumber

pada persetujuan nabi terhadap perbuatan tertentu), dikemukakan bahwa sahabat

pernah mempraktikkan peminangan pada masa Rasulullah SAW, namun bagi

Muhammad tidak mengingkari akan itu (peminangan) yang dilakukan sahabat, malah

Rasulullah SAW menyetujuinya.

Meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah dari seorang laki-

laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang

dipercayainya.16

15
H. M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum
Universitas Darmawangsa, Medan, 1993, hal. 26.
16
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Sinar Baru Algensindo, 2001, hal.
380.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


9

Ada beberapa pedoman yang perlu diperhatikan bagi seseorang yang akan

meminang, pedoman tersebut adalah:

1. Perempuan itu tidak sedang dalam pinangan orang lain.17 Hal ini berdasarkan

Hadits Nabi Muhammad SAW: tidak boleh seorang meminang perempuan yang

telah dipinang saudaranya. (H.R. Ahmad dan Muslim)

2. Boleh melihat perempuan yang akan dipinang. Berdasarkan hadits Nabi

Muhammmad SAW: lihatlah perempuan itu karena sesungguhnya hal itu lebih

menjamin untuk kelangsungkan hubungan kamu berdua. Namun ulama berbeda

pendapat tentang batasan yang boleh dilihat. Menurut Mazhab Maliki yang boleh

dilihat hanya wajah dan telapak tangan. Menurut Abu hanifah, boleh dilihat

telapak tangan, wajah dan telapak kaki.18

3. Perempuan yang masih dalam masa iddah :

a. Perempuan yang masih dalam masa iddah talaq raj’i haram dipinang, baik

secara langsung maupun sindiran.

b. Perempuan dalam masa iddah talaq ba’in, cara meminangannya dengan cara

sindiran.

c. Perempuan dalam masa iddah kematian, cara peminangan juga dengan cara

sindiran. Tujuannya untuk menghormati suaminya yang baru saja meninggal

dan menjaga perasaan ahli waris yang ditinggalkan.

17
Ibnu Rusdy, Al qawanin Al Fiqhiyyah, Daral Fikr, hal. 168.
18
Ibid., hal. 3.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


10

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Undang-

Undang Perkawinan), pertunangan (peminangan) tidak dikenal. Alasannya karena

pertunangan (peminangan) tidak dapat disebut peristiwa hukum, karena tidak ada

implikasi hukum dari suatu pertunangan (peminangan). Hal ini berbeda dengan

hukum Islam, yang menyatakan peminangan dan pertunangan dapat disebut dengan

suatu peristiwa hukum karena perempuan yang sudah dipinang dan sudah

bertunangan tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain dan peristiwa peminangan

tersebut tetap menimbulkan implikasi moral. Atas dasar itu maka peminangan

walaupun memiliki implikasi hukum tetap diberikan aturan-aturan moral dan tegas.

Pasal 1 Bab 1 Kompilasi Hukum Islam huruf a memberikan pengertian

bahwa peminangan ialah terjadi hubungan perjodohan antara seorang pria dengan

seorang wanita.

Kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan tersebut berguna

untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menarik hati peminang hingga peminang

tersebut berkeinginan untuk mempersunting yang dipinang kearah perkawinan. Atau

sebaliknya, peminang dapat mengetahui cacat atau cela yang dipinang, maka untuk

tidak terjadi penyesalan setelah perkawinan lebih baik peminangan itu diputuskan

dengan cara yang baik pula.

Berdasarkan penelitian awal, di daerah Aceh Pidie masih banyak orang-orang

yang melakukan pertunangan sebelum perkawinan. Pertunangan tersebut ada yang

berakhir dengan perkawinan, ada juga yang tidak berakhir dengan perkawinan. Jika

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


11

salah satu pihak tidak lagi berkeinginan untuk melanjutkan pertunangan ke jenjang

perkawinan maka salah satu dari mereka melakukan pembatalan peminangan.

Di masyarakat Aceh, apabila ada salah satu pihak melakukan pembatalan

peminanagan, maka ada sanksi adat yang diberikan kepada pihak yang membatalkan

peminangan. Sanksi tersebut sudah berlaku dan dijalankan oleh masyarakat adat Aceh

khususnya masyarakat Aceh yang berada di Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie,

Provinsi Aceh dari zaman dahulu sampai dengan sekarang.

Berdasarkan uraian di atas, perlu penelitian lebih lanjut mengenai pembatalan

peminangan (pertunangan) dalam masyarakat Aceh yang dituangkan ke dalam judul

tesis “Pembatalan Peminangan dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam

dan Adat Aceh”.

B. Permasalahan

Adapun permasalahan pokok yang akan diteliti dalam tesis ini adalah :

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Peminangan Dalam Fiqih Islam dan Kompilasi

Hukum Islam (KHI) ?

2. Bagaimana Tata Cara Peminangan Di Dalam Adat Aceh Pidie ?

3. Bagaimana Akibat Hukum Dari Pembatalan Peminangan Ditinjau Dari Hukum

Islam Dan Adat Aceh ?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan diatas, maka tujuan yang

hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


12

1. Untuk mengetahui Pengaturan Hukum Peminangan Dalam Fiqih Islam dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Untuk mengetahui Tata Cara Peminangan Di Dalam Adat Aceh Pidie.

3. Untuk mengetahui Akibat Hukum Dari Pembatalan Peminangan Ditinjau Dari

Hukum Islam Dan Adat Aceh.

D. Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang

hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat

memberi manfaat sebagai berikut :

1. Secara akademis-teoritis, penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi ilmu

pengetahuan, khususnya ketentuan tentang pembatalan peminangan dan akibat

hukumnya dalam masyarakat adat Aceh Pidie.

2. Secara sosial praktis, adalah memberikan sumbangan pemikiran terhadap

mahasiswa-mahasiswa atau praktisi-praktisi hukum dalam mengetahui tentang

perkembangan ketentuan hukum adat yang mengatur kebiasaan pertunangan

dalam masyarakat adat Aceh Pidie pada saat ini.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang

ada di lingkungan Universitas Sumatra Utara, khususnya di lingkungan Magister

Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara Medan, belum

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


13

ada penelitian sebelumnya yang berjudul “Pembatalan Peminangan dan Akibat

Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam dan Adat Aceh”. Akan tetapi ada satu

penelitian yang menyangkut masalah pertunangan antara lain penelitian yang

dilakukan oleh :

1. Saudari Putri Rizkhy Syawal (NIM. 097011031), Mahasiswi Magister

Kenotariatan Universitas Sumatra Utara, dengan judul penelitian “Kekuatan

Hukum Kesepakatan Pertunangan Dalam Masyarakat Adat Melayu Deli

Dikaitkan Dengan Ketentuan Hukum Islam (studi kasus di Kecamatan Medan

Kota)”, permasalahan yang diteliti adalah:

a. Bagaimana kekuatan hukum atas kesepakatan yang dicapai dalam upacara

pertunangan pada masyarakat adat Melayu Deli?

b. Bagaimana kedudukan lembaga pertunangan ditinjau dari aspek hukum

Islam?

c. Bagaimana kebiasaan masyarakat Melayu Deli menyelesaikan masalah yang

timbul apabila hubungan pertunangan tersebut diputuskan oleh salah satu

pihak yang berakibat batalnya pelaksanaan perkawinan yang dijanjikan ?

Daerah penelitian dan permasalahan yang dibahas dalam penelitian- penelitian

tersebut berbeda dengan daerah dan permasalahan yang akan dibahas dalam

penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi

maupun dari permasalahan, sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan

secara ilmiah.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis,

teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses

tertentu.19

Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam

membangun atau memperkuat kebenaran dari permasalahan yang dianalisis.

Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,

tesis, sebagai pegangan baik disetujui atau tidak disetujui.20

Bagi suatu penelitian, teori dan kerangka teori mempunyai kegunaan.

Kegunaan tersebut paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut :21

a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam fakta ;

b. Teori sangat berguna di dalam klasifikasi fakta;

c. Teori merupakan ikhtiar dari hal-hal yang diuji kebenarannya.

Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya

menduduk masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang

relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun kerangka teori yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Teori perjanjian (akad)

Lafal akad berasal dari lafal Arab Al-‘aqad yang berarti perikatan,

perjanjian, dan pemufakatan al-iftifaq. Secara terminologi fiqih, akad

19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
1986, hal. 122.
20
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
21
Soejono Soekanto, Op.cit., hal. 121.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


15

didefinisikan dengan: pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul

(pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang

berpengaruh pada objek perikatan.22

Akad adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih dalam melakukan

perbuatan hukum tertentu.23

2. Teori Adat (‘urf).

Ulama ushul fiqih sepakat bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan

syarak, baik itu ‘urf Amm ataupun ‘urf khass, baik ‘urf lafdzhi maupun ‘urf

amali, dapat dijadikan Hujjah dalam menetapkan hukum syarak.24

‘Urf sama kata dengan makruf artinya kebiasaan-kebiasaan adat istiadat

yang baik, yang sejalan dengan hukum Islam.

Dalam hukum adat, pada umumnya sebelum perkawinan didahului

dengan lamaran (pinangan) kemudian dilanjutkan dengan bertunangan.

Pertunangan adalah suatu keadaan yang timbul setelah adanya persetujuan

antara kedua belah pihak (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga wanita)

untuk mengadakan perkawinan. Menurut hukum adat, suatu persetujuan untuk

bertunangan baru mengikat apabila kedua belah pihak bersangkutan

mempertukarkan tanda (zichtbaar reken) sebagai bukti adanya persetujuan

untuk itu. Dengan adanya pertukaran tanda tersebut, pada beberapa daerah

22
H. M. Hasballah Thaib, Hukum Akad (kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank
Sistem Syariah, Program Pasca Sarjana USU, 2005, hal. 1.
23
Naskah Akademik, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, pasal 20 (1).
24
H. Zamakhsyari, Teori- Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Cita Pustaka,
Bandung, 2013, hal. 124.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


16

diartikan sebagai suatu jaminan untuk pihak-pihak yang saling berjanji untuk

melaksanakan perkawinan yang telah disepakati.25

Dalam masyarakat Aceh pada saat melakukan peminangan, pihak laki-

laki membawa bawaan berupa makanan-makanan khas Aceh, seperangkat

peralatan dan pakaian wanita serta tanda kong haba berupa perhiasan emas.

Pemberian tanda kong haba tersebutlah merupakan perjanjian antara

peminang dengan orang tua perempuan yang dipinang.

Mengenai mahar secara tegas Allah memerintahkan para calon suami

untuk memberikan mahar kepada calon istrinya.

Allah berfirman di surat An Nisa ayat 4, yang artinya: “Berikanlah mas

kawin (mahar) kepada wanita-wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian

yang penuh kerelaan “.

Suami berkewajiban menyerahkan mahar atau mas kawin kepada calon

istrinya. Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk

memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin

itu bersifat lambang, maka sedikitpun jadilah.26

Nabi Muhammad SAW bersabda “sebaik-baik mas kawin adalah

seringan-ringannya”. Walaupun Al-Qur’an tidak melarang untuk memberikan

sebanyak mungkin mas kawin (QS An nisa 4:20). Ini karena pernikahan

bukan akad jual-beli, dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut Al-

25
T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, PT.
Mestika, Jakarta, hal. 193.
26
M. Qurais Shihab, Wawasan Al- Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
Penerbit Mizan, Jakarta, hal. 204.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


17

Qur’an, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri

merelakannya.

Dalam hukum Islam terdapat pula beberapa cara pendahuluan untuk

melangsungkan perkawinan, sebagaimana tertulis dalam hadis Nabi

Muhammad SAW dan Al Qur’an, terdapat ketentuan-ketentuan mengenai

melamar atau meminang. Sedangkan penjelasan mengenai bagaimana cara

meminang dan terjadinya suatu pertunangan, baik menurut Al Qur’an maupun

hadis nabi Muhammmad SAW tidak diatur. Oleh sebab itu dicarilah alasan

dan dasar hukumnya tentang cara meminang dan bertunangan. Cara itu

terdapat dalam ketentuan dari para ahli, yang disebut dengan ‘urf, artinya

adalah kebiasaan yang diterapkan sebagai hukum. Hal tersebut diambil dari

Hadis Nabi Muhammad SAW :

“Apa yang dilihat baik oleh kaum muslimin, maka sesungguhnya adalah

dia baik pada Tuhan”. Tetapi hadis tersebut tidak cukup kuat, karena perawi

Hadis tersebut mempunyai cacat dan tidak sampai berpangkal pada Nabi

Muhammad SAW, namun demikian para ahli telah menetapkan bahwa

kebiasaan ditetapkan sebagai hukum.27

Kata ‘urf, yang sering diartikan kedalam bahasa Indonesia dengan arti

adat, diambil dari akar kata yang sama dengan makruf lawan kata mungkar,

karena itu ‘urf berarti sesuatu yang baik. Secara terminologi, kata ‘urf ini

didefinisikan dengan kebiasaan mayoritas ummat dalam penilaian suatu

27
T. Jafizham, Op.cit., hal. 193.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


18

perkataan atau perbuatan. ‘Urf ini merupakan salah satu dalil dalam

menentukan hukum syarak.28

Pengertian mengenai ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh

masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan masyarakat baik berupa

perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, ‘urf disebut

dengan adat kebiasaan. Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada

perbedaan pengertian antara adat dengan ‘urf, namun dalam pemahaman biasa

diartikan bahwa pengertian ‘urf adalah kebiasaan (adat) yang sejalan dengan

agama. Sedangkan Adat adalah kebiasaan yang sudah lama berkembang baik

yang sejalan atau tidak dengan agama. Dan adat, seakan-akan telah

merupakan hukum tidak tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang

yang melanggarnya.

Mengenai adat kebiasaan masyarakat Aceh semua sejalan dengan hukum

Islam karena tidak bisa dipisahkan antara adat dengan agama. Dimana ada

istilah di aceh “lagee zat de ngon sifet” antara zat dengan sifat. Begitulah

eratnya hubungan antara adat dengan hukum Islam di Aceh.

2. Konsepsi

Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi

dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan

kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang

digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut defenisi operasional.29

28
H. Zamakhsyari, Op.cit., hal. 117.
29
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 31.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


19

Menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu

fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,

keadaan, kelompok atau individu tertentu.30

Adapun uraian daripada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

a. Pembatalan adalah: suatu proses, cara, perbuatan membatalkan. Arti kata

membatalkan yaitu menyatakan batal (tidak sah).

b. Peminangan adalah: suatu proses, cara, perbuatan meminang. Meminang

dapat diartikan meminta wanita untuk dijadikan istri.

c. Kekuatan Hukum adalah: daya mengikat dari suatu ketentuan pengaturan

perundang-undangan yang berlaku dan mengatur suatu peristiwa hukum.

d. Kesepakatan Pertunangan adalah : persetujuan yang dilakukan oleh pihak

laki-laki dan pihak wanita untuk mengadakan ikatan janji guna

melaksanakan perkawinan dalam waktu yang telah disepakati.

e. Pertunangan adalah: suatu ikatan yang timbul setelah adanya persetujuan

antara kedua belah pihak (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga

wanita) yang merupakan suatu ikatan janji/ikrar yang dilakukan dengan

memberikan suatu tanda sebagai bukti adanya ikatan perjanjian untuk

mengadakan perkawinan.

f. Masyarakat adat Aceh adalah: suatu kesatuan hidup manusia yang

berinteraksi satu sama lain dengan menggunakan bahasa Aceh,

30
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


20

melaksanakan adat istiadat Aceh, beragam Islam dan bermukim diwilayah

Propinsi Aceh.

g. Hukum Islam adalah: keseluruhan perintah Allah SWT yang wajib ditaati

oleh seorang muslim, termasuk didalamnya adalah Sunnah Rasul, Ijma’

Ulama dan Fatwa Ulama.

G. Metode Penelitian

1. Sifat dan Metode Pendekatan.

Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat analisi

deskrptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci

dan sistematis tentang permasalahn yang akan diteliti. Analisis dimaksudkan

berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat

untuk menjawab permasalahan.31

Mengingat bahwa penelitian ini menggunakan jenis penelitian hukum dengan

metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu

kepada norma-norma hukum,32 yang terdapat dalam Hukum Islam dan Hukum Adat

Aceh maka penelitian ini menekankan kepada sumber-sumber bahan sekunder, baik

berupa peraturan-peraturan maupun teori-teori hukum, disamping menelaah kaidah-

kaidah hukum yang berlaku dimasyarakat, sehingga ditemukan suatu asas-asas

hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta

31
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, 1994, hal. 101.
32
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, 1996, hal. 13.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


21

dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan yang dibahas,33 yang dapat

menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini,

yaitu mengenai pembatalan peminangan dalam masyarakat adat Aceh dikaitkan

dengan ketentuan hukum Islam. Disamping itu penelitian ini didukung dengan

penelitian hukum sosiologis yang dibutuhkan untuk mengamati bagaimana reaksi dan

interaksi yang terjadi ketika sistem norma tersebut bekerja didalam masyarakat,34

yaitu penerapan kaidah-kaidah hukum adat Aceh serta kaidah-kaidah hukum Islam

yang tekait terhadap perilaku masyarakat dalam melakukan upacara pertunangan pada

suku Aceh.

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie, yang

merupakan salah satu daerah di Provinsi Aceh dan masyarakat yang tinggal di

Kecamatan Pidie tersebut pada umumnya merupakan masyarakat bersuku Aceh.

Kabupaten Pidie memiliki 23 kecamatan yaitu: Kecamatan Geumpang,

Kecamatan Geulumpang Tiga, Kecamatan Mutiara, Kecamatan Tiro/Truseb,

Kecamatan Tangse, Kecamatan Keumala, Kecamatan Sakti, Kecamatan Mila,

Kecamatan Padang Tiji, Kecamatan Delima, Kecamatan Indra Jaya, Kecamatan

Peukan Baro, Kecamatan Kembang Tanjong, Kecamatan Simpang Tiga, Kecamatan

Kota Sigli, Kecamatan Pidie, Kecamatan Batee, Kecamatan Muara Tiga, Kecamatan

33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 13.
34
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2010, hal. 49.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


22

Mane, Kecamatan Grong-grong, Kecamatan Glumpang Baro, Kecamatan Mutiara

Timur dan Kecamatan Titeu.

3. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri atau

karakteristik yang sama.35 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat

Aceh yang melaksanakan upacara pertunangan di Kecamatan Pidie. Dari keseluruhan

populasi yang ada, diambil sample 2 (dua) orang dari setiap Mukim di Kecamatan

Pidie, dimana yang akan diwawancarai adalah orang yang pernah melakukan

pembatalan peminangan sesuai adat Aceh. Pengambilan sampel dilakukan dengan

menggunakan teknik Purposive Sampling,36 dimana setiap kemukiman diambil 2

(dua) orang sebagai responden, yaitu:

a. Di kemukiman Tijue diambil sebanyak 2 (dua) orang yaitu :

1. SMN (yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Meunasah Tijue,

Kemukiman Tijue, Kecamatan Pidie.

2. RHT (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Lampeudeu Baroh,

Kemukinan Tijue, Kecamatan Pidie.

b. Di kemukiman Teubeung diambil sebanyak 2 (dua) orang yaitu :

1. ERN (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Teubeung Dayah,

Kemukiman Teubeung, Kecamatan Pidie.

35
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo, Jakarta,1998, hal :
121.
36
Marzuki, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Prasetia Widya Pratama, Yogyakarta, 2002,
hal: 51.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


23

2. BTM (yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Labui, Kemukiman

Teubeung, Kecamatan Pidie.

c. Di kemukiman Asan diambil sebanyak 2 (dua) orang yaitu :

1. MLY ( yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Lampoh Lada,

Kemukiman Asan, Kecamatan Pidie.

2. BRH (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Cot Rheng,

Kemukiman Asan, Kecamatan Pidie.

d. Di kemukiman Keulibeut diambil sebanyak 2 (dua) orang yaitu :

1. LKM (yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Keulibeut Dayah

Tutong, Kemukiman Keulibeut, Kecamatan Pidie.

2. BYN (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Keulibeut Dayah

Tanoh, Kemukiman Keulibeut, Kecamatan Pidie.

e. Di kemukiman Paloh diambil sebanyak 2 (dua) orang yaitu:

1. SYT (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Paloh, Kemukiman

Paloh, Kecamatan Pidie.

2. FTH (yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Kampong Barat,

Kemukiman Paloh, Kecamatan Pidie.

f. Di kemukiman Kampoeng Baroe diambil sebanyak 2 (dua) orang yaitu:

1. SST (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Kampong Baroe,

Kemukiman Kampoeng Baroe, Kecamatan Pidie.

2. MHD (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Tibang, Kemukiman

Kampoeng Baroe, Kecamatan Pidie.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


24

g. Di kemukiman Sanggeu diambil sebanyak 2 (dua) orang yaitu :

1. YMN (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Sanggeu,

Kemukiman Sanggeu, Kecamatan Pidie.

2. HSN (yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Sanggeu, Kemukiman

Sanggeu, Kecamatan Pidie.

h. Di kemukiman Utoue diambil sebanyak 2 (dua) orang yaitu :

1. AWY (yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Tibang, Kemukiman

Utoue, Kecamatan Pidie.

2. SBH (yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Utoue, Kemukiman

Utoue, Kecamatan Pidie.

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang dibutuhkan, yaitu data

primer, yang akan diperoleh langsung melalui penelitian dilapangan baik dari

masyarakat Aceh yang ada di Kecamatan Pidie maupun dari narasumber dan data

sekunder, yang akan diperoleh dari peneitian kepustakaan dari bahan-bahan pustaka.

Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan

daftar kuesioner dan pedoman wawancara, yang digunakan untuk mengumpulkan

data dan informasi dari pihak yang berkaitan dengan kebiasaan pembatalan

peminangan dalam masyarakat Aceh dikaitkan dengan ketentuan hukum Islam.

Daftar kuesioner dan wawancara dilakukan dengan berpedoman pada daftar

pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang

diperlukan dalam penelitian tesis ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


25

Data sekunder dalam penelitian tesis ini diperoleh melalui studi kepustakaan

yaitu untuk memperoleh bahan-bahan yang digunakan untuk mengumpulkan data-

data yang ada dikepustakaan atau data sekunder dan data primer serta tertier dalam

bidang hukum antara lain :

a. Bahan hukum primer.37

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan

utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kompilasi

Hukum Islam, Ketentuan Al-Qur’an dan Al Hadits.

b. Bahan hukum sekunder.38

Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan

dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti

hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta

dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan kebiasaan pembatalan

peminangan di masyarakat Aceh dikaitkan ketentuan hukum Islam.

c. Bahan hukum tertier.39

Yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer

dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa Aceh,

ensiklopedia, dan lain-lain.

5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan untuk mengumpulkan data yang di

pergunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi dokumen yaitu

37
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hal. 53.
38
Ibid.
39
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


26

dengan melakukan inventarisasi dan sistematisasi literatur yang berkaitan dengan

kebiasaan pembatalan peminangan dalam masyarakat adat Aceh, selain itu dilakukan

pengumpulan data menggunakan daftar kuesioner yang bersifat tertutup kepada para

responden dan wawancara menggunakan pedoman wawancara dengan narasumber,

yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang berkaitan

dengan kebiasaan pembatalan peminangan dalam masyarakat Aceh dikaitkan

dengan ketentuan hukum Islam. Wawancara dilakukan dengan berpedoman pada

pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang

diperlukan dalam penelitian tesis ini.

6. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna

untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam

penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan

metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang

bersifat unik dan kompleks. Adanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun

penuh dengan variasi (keragaman).40

Analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikan kedalam

suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.41 Sedangkan metode kualitatif

merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

40
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Midal Aplikasi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 53.
41
Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal. 103.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


27

tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.42 Data

sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data

primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field sesearch) kemudian disusun

secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan

metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan

dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari

hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus.

42
Ibid., hal. 3.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB II

PENGATURAN HUKUM PEMINANGAN DALAM FIQIH ISLAM DAN


KOMPILASI HUKUM ISLAM

A. Dasar Hukum Peminangan Dalam Islam.

Peminangan mengakar pada kata pinang-meminang yang artinya melamar,

meminta, mempersunting, dan menanyakan.43 Dalam bahasa Arab, peminangan

disebut dengan khitbah, kata khitbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba

yang diartikan sebagai meminang atau melamar.44

Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum Islam, baik dalam Al-

Qur’an maupun Al-Hadits. Dalam Al-Qur’an surat al- Baqarah ayat 235, yang

menjadi dasar dari peminangan, yang artinya:

“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu,
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
jaganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan jaganlah
kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.
Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu.
Maka takutlah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun”. 45

Selain Al-Qur’an, hukum tentang peminangan pun diatur dalam Hadist

Rasulullah Muhammad SAW, yaitu dalam sunnah qauliyah (sunnah yang bersumber

pada ucapan).46 Hadist ini menandai larangan kaum muslim agar tidak melakukan

43
Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2006, hal. 477.
44
Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia, PP al-Munawir, Yogyakarta, 1984, hal. 376.
45
Putri Rizky Syawal, Tesis: Kekuatan Hukum Kesepakatan Pertunangan Dalam Masyarakat
Adat Melayu Deli Dikaitkan Dengan Ketentuan Hukum Islam , Mkn-USU, Medan, 2012, hal. 64.
46
Al- Bukhari, Op.cit., hal. 166.

28

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


29

peminangan diatas peminangan saudaranya sesama muslim. Atau dengan kata lain,

hadist ini mengisyaratkan kewajiban menghormati hak peminang yang telah dahulu

serta tidak melanggar hak yang dimaksud. Dan juga, hadist ini memiliki kandungan

pesan makna pengokohan yang jelas dari Rasulullah bahwa peminangan itu

disyari’atkan dalam hukum Islam dan dibolehkan (mubah).

Imam Abu Hanafiah, Imam Syafi’i dan Imam Malik bahkan berpendapat

berdosalah orang yang melamar pinangan saudaranya, sedangkan bila pelamar

pertama ditolak, maka cukuplah bagi pelamar kedua, kalau ia berhasil, meminta maaf

kepada pelamar pertama dan memohon ampun kepada Allah. Tetapi kaum zhahiriyah

menganggap bahwa perkawinan semacam itu tidak sah. 47

Ditelusuri lebih jauh tentang disyari’atkannya peminangan, di dalam sunnah

fi’liyah (yaitu sunnah yang bersumber pada perbuatan) dijumpai dalam praktik Nabi

Muhammad SAW saat melakukan peminangan terhadap istri-istrinya, seperti Ummu

Salamah dan Juwairiyah. Lalu, dalam sunnah taqririyah (sunnah yang bersumber

pada persetujuan nabi terhadap perbuatan tertentu), dikemukakan bahwa sahabat

pernah mempraktikkan peminangan pada masa Rasulullah SAW, namun bagi

Muhammad tidak mengingkari akan itu (peminangan) yang dilakukan sahabat, malah

Rasulullah SAW menyetujuinya.

Para ulama telah sepakat bahwa meminang pinangan orang lain hukumnya

haram, karena berarti ia telah menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama,

47
H. M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Op.cit., hal. 26.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


30

disisi lain juga dapat menimbulkan permusuhan diantara muslim.48 Sabda Nabi

Muhammad SAW yang artinya: Hadis dari ‘Uqbah bin Amir, sesungguhnya

Rasulullah SAW bersabda: “orang mukmin adalah saudara orang mukmin lain, maka

tidak halal baginya membeli (menawar) pembelian saudaranya dan tidak boleh

meminang pinangan saudaranya, sampai saudaranya membatalkan pinangan itu”.

H.R. Ahmad dan Muslim.49

Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu

telah menerima pinangan pertama dan walinya telah dengan terang-terangan

mengizinkannya. Tetapi kalau pinangan semula ditolak dengan terang-terangan atau

sindiran, atau karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah

meminangnya atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-

laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian

itu dibolehkan.50

Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa ‘iddah baik

karena kematian suami, karena cerai talak raji’i maupun ba’in, maka hukumnya

haram. Jika perempuan yang sedang ‘iddah karena talak raj’i maka ia haram dipinang

karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya dan suaminya itu masih berhak

merujukinya. Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i, maka ia haram

dipinang terang-terangan karena mantan suaminya masih tetap mempunyai hak

48
Wahab az – Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuha (Damaskus: Dar al- Fikr, 2004
M/1425 M), Jilid. IX, hal. 121.
49
Ibid.
50
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 6, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib), PT.
Alma’arif, Bandung, 1990, hal. 39.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


31

terhadap dirinya, juga masih mempunyai hak untuk menikahinya dengan akad baru.

Jika ada laki-laki lain meminangnya di masa iddahnya, berarti ia melanggar hak

mantan suaminya.

Perempuan yang berada dalam ‘iddah karena kematian suaminya, maka ia

boleh dipinang secara sindiran, karena hubungan dengan suaminya telah terputus.

Demikian juga meminang perempuan yang sedang ‘iddah dengan talak ba’in

dibolehkan meminang dengan cara sindiran. Namun demikian dilarang meminang

secara terang-terangan.

Perempuan-perempuan yang disebutkan dalam ayat ini ialah perempuan yang

sedang dalam masa ‘iddah kematian suaminya, sebab yang dibicarakan dalam ayat ini

ialah soal kematian. Termasuk dalam kategori meminang dengan sindiran ialah

memberikan hadiah kepada seorang perempuan yang sedang dalam ‘iddah atau

seorang laki-laki menyampaikan jasa baiknya.51

Apabila terjadi peminangan secara terang-terangan kepada seorang perempuan

yang sedang dalam masa iddah, namun pelaksanaan akad nikahnya dilakukan sesudah

habis masa ‘iddahnya, maka dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Imam

Malik, Auzan’y dan Lais berpendapat bahwa mereka berdua dipisahkan, dibatalkan

pernikahannya dan mereka berdua tidak halal nikah untuk selama-lamanya.52

Alasan yang dikemukakan Imam Malik ialah bahwa Umar bin Khattab

menceraikan antara Tulaihah al-Asadiyah dengan suaminya yang bernama Rasyid as-

Saqafi ketika mengawininya sedang dalam ‘iddah.

51
Ibid., hal. 37.
52
Ibid., hal. 38.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


32

Meminang perempuan yang sedang dalam ‘iddah talak ba’in sugra maupun

kubra dengan cara sindiran menurut pendapat mayoritas ulama dibolehkan. Menurut

pendapat kelompok Hanafiah meminang perempuan yang sedang talak ba’in adalah

haram. Mereka beralasan karena :

a. Talak ba’in sugra (kecil) seperti talak tebus (khulu’) dan mentalak istri yang

belum dicampuri. Perempuan tersebut masih harus ditunggu habis masa

‘iddahnya. Seandainya dibolehkan meminangnya dengan cara sindiran, maka hal

tersebut merupakan tindakan sewenang-wenang terhadap hak perempuan

tersebut.

Haram bagi wanita tersebut untuk dipinang secara terang-terangan, karena

mantan suaminya masih mempunyai hak atas dirinya dan juga punya hak untuk

menggaulinya dengan cara menikahinya dengan akad yang baru.53

b. Talak ba’in kubra (besar) yaitu talak tiga. Agar perempuan tersebut tidak

melakukan kebohongan tentang habis masa ‘iddahnya dan juga supaya tidak ada

anggapan bahwa laki-laki yang meminangnya tersebut merupakan penyebab

putusnya hubungan perkawinan mereka sebelumnya.

Haram bagi wanita ini untuk dipinang secara terang-terangan, ditakutkan dapat

menyinggung perasaan suaminya, meskipun tidak mungkin bagi wanita itu untuk

kembali pada suaminya kecuali dia menikah lagi dengan orang lain dan

kemudian bercerai dan berstatus sebagai janda, maka setelah selesai masa iddah,

53
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib), PT. Al Ma’arif,
Bandung, 1978, hal. 38.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


33

jika mantan suaminya hendak rujuk kembali, maka hal itu bisa dilakukan dengan

menikah kembali seperti layaknya orang baru menikah.54

Peminangan atau khitbah banyak disinggung dalam Al-qur’an dan Hadits

Rasulullah, SAW, akan tetapi tidak ditemukan secara jelas perintah ataupun larangan

untuk melakukan khitbah. Oleh karena itu, tidak ada ulama yang menghukumi

khitbah sebagai sesuatu yang wajib, dengan kata lain hukum khitbah adalah mubah.55

Ibnu Rusyd mengatakan bahwa menurut mayoritas ulama, khitbah

sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW bukanlah suatu kewajiban.

Sedangkan menurut Imam Daud az-Zahiri hukum khitbah adalah wajib. 56

Perbedaan pendapat diantara mereka disebabkan karena perbedaan pandangan

tentang khitbah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu apakah perbuatan beliau

mengindikasikan pada kewajiban atau pada kesunnahan.

Imam al-Nawawi menyatakan bahwa hukum peminangan adalah sunnah, akan

tetapi Iman an-Nawawi menegaskan bahwa pendapat dalam Mazhab Syafi’iyah

menghukumi peminangan sebagai sesuatu yang mubah. Syaih Nada Abu Ahmad

mengatakan bahwa pendapat yang dipercaya oleh para pengikut Syafi’iyah yaitu

pendapat yang mengatakan bahwa hukum khitbah adalah sunnah, sesuai dengan

perbuatan Rasulullah dimana beliau meminang Aisyah binti Abu Bakar.57

54
Ibid.
55
http://perdata-islam.blogspot.com/2013/01/peminangan -dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.
56
Ibid.
57
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


34

Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hukum khitbah sama dengan

hukum pernikahan, yaitu wajib, sunnah, makruh, haram atau mubah. Menurut Syaikh

Syihabuddin Al-Qalyubi khitbah memiliki hukum yang sama dengan hukum

pernikahan, yaitu wajib, sunnah, makruh, haram atau mubah.58 Sunnah apabila pria

yang akan meminang termasuk pria yang sunnah untuk menikah. Makruh apabila

pria yang akan meminang termasuk pria yang makruh untuk menikah, hal tersebut

dikarenakan hukum sarana mengikuti hukum tujuan.

Khitbah dihukumi haram apabila meminang wanita yang sudah menikah,

meminang wanita yang di talak raj’i sebelum habis masa iddahnya, dan peminangan

yang dilakukan oleh lelaki yang memiliki empat orang istri. Khitbah menjadi wajib

bagi orang yang khawatir dirinya akan terjerumus dalam perzinahan jika tidak segera

meminang dan menikah. Sedangkan khitbah dihukumi mubah apabila wanita yang

dipinang kosong dari pernikahan serta tidak ada halangan hukum untuk dilamar.59

Seorang lelaki yang ingin menyampaikan kehendaknya untuk meminang

wanita, maka ia perlu mengetahui keadaan wanita tersebut. Jika wanita yang ingin ia

lamar termasuk wanita mujbiroh, maka kehendak untuk meminangnya disampaikan

pada wali wanita tersebut, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Abdullah bin

Yusuf menceritakan bahwa Lays bercerita dari Yazid dari ‘Irak dari ‘Urwah bahwa

Nabi Muhammad SAW, meminang Aisyah pada Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata

kepada nabi: “sesungguhnya aku adalah saudaramu”, lalu Nabi SAW, bersabda

58
Ibid.
59
http://perdata-islam.blogspot.com/2013/01/peminangan -dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


35

“Engkau adalah saudaraku dalam agama dan kitab Allah, dan dia (Aisyah) halal

bagiku”.60

Namun hak ijbar wali berlaku pada tingkat yang berbeda. Bila wali

mendapatkan bahwa anak perempuan yang berada dalam perlindungannya akan

menikah dengan seorang lelaki yang berahklah buruk, atau lelaki yang tak mampu

untuk berkeluarga, maka dia, wali itu boleh menghadapi anak perempuannya untuk

menolak lamaran tersebut. Beberapa orang ada yang beranggapan bahwa ia hanyalah

kewajiban moral saja, sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa ia merupakan

kewajiban moral sekaligus juga kewajiban hukum.61

Apabila wanita yang ingin ia lamar sudah baligh, maka ia bisa menyampaikan

kehendak untuk meminang kepada walinya atau menyampaikan kepada wanita

tersebut secara langsung, berdasarkan sabda Rasulullah berikut yang artinya: dari

Ummu Salamah bahwasanya dia berkata: “ketika Abu Salamah wafat, aku berkata

siapakah diantara orang-orang islam yang lebih baik dari Abu Salamah, dia dan

keluarganya pertama kali hijrah pada Rasulullah SAW. Kemudian aku mengucapkan

kalimat istirja’, lalu Allah memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah SAW. Ummu

Salamah berkata: “ Rasulullah mengutus Hatib bin Abi Balta agar melamarku untuk

beliau, lalu aku berkata: sesungguh aku memiliki seorang anak dan aku adalah wanita

pencemburu”.62

60
Ibid.
61
H. M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Op.cit., 1993, hal. 19.
62
http://perdata-islam.blogspot.com/2013/01/peminangan -dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


36

Cara penyampaian kehendak peminangan dapat dibedakan menjadi 2 macam,

yaitu: secara jelas (sarih) dan secara sindiran (kinayah). Peminangan di katakan sarih

apabila peminang melakukannya dengan perkataan yang dipahami secara langsung,

seperti “saya ingin menikahi fulana”.

Peminangan secara kinayah (sindiran) dilakukan dengan cara peminang

menyampaikan kehendaknya secara sindiran atau memberi tanda-tanda kepada

wanita yang hendak dilamar (bi al-kinayah aw al-qarinah) seperti: kamu telah pantas

untuk menikah.

Peminangan disunnahkan dimulai dengan bacaan hamdallah dan pujian-

pujian pada Allah SWT. Serta salawat kepada Rasulullah SAW. Yang dilanjutkan

dengan wasiat untuk bertagwa kepada Allah SWT, setelah itu barulah lelaki yang

akan meminang menyampaikan keinginannya. Kesunnahan ini hanya berlaku bagi

khitbah yang hanya boleh dilakukan dengan cara sindiran.

B. Peminangan Dalam Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam

Menurut ilmu fiqh, peminangan artinya “permintaan”.63 Meminang

maksudnya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi

istrinya, dengan cara-cara yang sudah umum berlaku di tengah-tengah masyarakat.

Meminang termasuk usaha pendahuluan dalam rangka perkawinan. Allah

menggariskan agar masing-masing pasangan yang mau kawin, lebih dahulu saling

63
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Irsyad Baitus Salam,
Bandung, 1995, hal: 59.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


37

mengenal sebelum dilakukan aqad nikahnya, sehingga pelaksanaan perkawinannya

nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.64

Dari definisi-definisi khitbah yang telah diungkapkan oleh para ahli fiqih ,

dapat dijelaskan bahwa khitbah merupakan proses yang dilakukan sebelum menuju

perkawinan agar perkawinan dapat dilakukan oleh masing-masing pihak dengan

penuh kesadaran. Hal ini memudahkan mereka untuk menyesuaikan karakter dan

saling bertoleransi ketika telah berada dalam ikatan perkawinan, sehingga tujuan

perkawinan untuk membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah dapat

tercapai.65

Dalam Fiqh Islam meminang artinya menyatakan permintaan untuk menikah

dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan

seseorang yang di percayainya.66 Meminang dengan cara tersebut diperbolehkan

dalam agama Islam terhadap gadis atau janda yang telah habis masa iddahnya,

kecuali perempuan yang masih dalam “iddah ba’in, sebaiknya dengan jalan sindiran

saja.

Meminang menurut mayoritas ulama hukumnya sunat, sementara Dawud dan

Ibn Hazm mengatakan bahwa meminang hukumnya wajib.67

Meminang harus memenuhi syarat- syarat yaitu :

64
Sayyid Sabiq, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib) Op.cit., hal. 35.
65
http://perdata-islam. Blogspot.com/2013/01/peminangan-dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.
66
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Sinar Baru Algesindo, 2001, hal. 380.
67
Abu al- Walid Muhammad bin Ahmad bin Ibn Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Maktabah Karya Toha Putra, Semarang, t.t), jil II, hal. 2.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


38

a. Tidak didahului oleh pinangan laki-laki lain secara syar’i, sesuai dengan sabda

Nabi SAW, Hadist dari ‘Uqbah bin Amir, sesungguhnya Rasulullah SAW

bersabda: “orang mukmin adalah saudara orang mukmin, maka tidak halal

baginya untuk membeli (menawar) pembelian saudaranya dan tidak boleh

meminang pinangan saudaranya, sampai saudaranya membatalkan pinangan itu”.

H.R. Ahmad dan Muslim.

Meminang perempuan yang masih dalam pinangan orang lain, menurut

mayoritas ulama hukumnya haram. Alasannya adalah hadis tersebut diatas dan

hadis-hadis lain yang melarangnya, bahkan imam Nawawi mengatakan bahwa

haramnya hukum tersebut sudah merupakan ijma’ ulama. Namun jika terjadi,

maka akad nikah tetap sah. Karena peminangan bukanlah merupakan syarat

sahnya nikah. Akan tetapi Dawud az-Zahiry mengatakan bahwa jika terjadi akad

nikah dengan peminang kedua, maka nikahnya di fasakh sebelum dukhul

(persetubuhan).

b. Perempuan yang dipinang tidak terhalang oleh halangan syar’i yang

menyebabkan tidak dapat dinikahi.

c. Wanita itu tidak bersuami.

d. Wanita itu bukan orang yang haram dinikahi untuk waktu tertentu atau

selamanya.

e. Tidak dalam ‘iddah, baik ‘iddah ditinggal mati suami atau karena talak, baik

talak raj’i maupun ba’in. Wanita yang masih dalam ‘iddah talak raj’i ia haram di

pinang karena ia masih menjadi hak suaminya. Apabila wanita itu sedang

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


39

ber’iddah dengan talak ba’in, haram dipinang dengan terang-terangan, namun

boleh di pinang dengan sindiran (kinayah).

Selanjutnya mengenai definisi peminangan dijabarkan didalam Pasal 1 Bab 1

Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Ketentuan Hukum, yaitu sebagai kegiatan

upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang

wanita.

Pada pasal 11 Kompilasi Hukum Islam (KHI) disebutkan bahwa peminangan

dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari jodoh, tapi dapat

pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.

Pasal 12 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyebutkan bahwa

peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau

terhadap janda yang telah habis masa iddahnya.

Pasal 12 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur mengenai

larangan melakukan peminangan terhadap beberapa wanita, antara lain :

a. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram

dan dilarang untuk dipinang.

b. Wanita yang sedang di pinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum

putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.

Selanjutnya dalam pasal 12 ayat (4) juga menyebutkan putusnya pinangan

pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau

secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang

dipinang. Kebebasan memutuskan hubungan peminangan ini menurut pasal 13 ayat

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


40

(2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai

dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan

dan saling menghargai.

C. Hak dan Kewajiban Peminang dan Yang Dipinang Dalam Fiqh Islam Dan

Adat Aceh.

1. Dalam Fiqh Islam.

Didalam kamus Idris Al Marbawy di kemukakan tentang hak itu sebagai

berikut: “hak ialah : mustahak ia, ada keputusan ia”.68 Selanjutnya mengenai

kewajiban berasal dari kata wajib yang berawalan “ke” dan berakhiran “an” berasal

dari kalimat Arab yang bermakna sesuatu yang mesti dilakukan (dilaksanakan).69

M. Rifa’i mengemukakan dalam bukunya Ushul Fiqih tentang wajib itu

sebagai berikut: “Wajib yaitu suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat

siksa”.70

Untuk kepentingan perkawinan itu sendiri, Islam sudah mengaturnya, yang

apabila dilakukan dan dipelihara, niscaya akan menjadikan sebagai sumber kekuatan

dan menjauhkan dari renik-renik kehidupan yang dapat menghancurkan kekokohan

keluarga. Selain itu, ada juga yang menjadi perhatian utama sebelum memasuki

perkawinan, yaitu mengensampingkan sikap egois dari masing-masing dan tidak

hanya memandang perkawinan hanya sebelah mata, yang hanya menurut kebutuhan.

68
H.M. Hasballah Thaib, Op.cit., hal. 27.
69
Ibid.
70
M. Rifa’i, Ushul Fiqih, PT. Alma’arif, Bandung, Cet. I, hal. 19.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


41

Dengan begitu, keduanya dapat saling mengenal dan menerima dengan ikhlas

kekurangan masing-masing.71

Sudah sering dijumpai, bahwa prinsip-prinsip perkawinan dalam Islam,

adanya rasa kerelaan di antara keduanya sehingga perkawinan dapat berlangsung

hingga ajal yang mampu memisahkan. Islam menganjurkan agar laki-laki mengenal

terlebih dahulu sifat wanita yang akan dipinangnya, begitu pun sebaliknya. Ini

dilakukan agar memperoleh apa itu kesejahteraan dan keharmonisan dalam keluarga.

Para ulama telah sepakat tentang bolehnya seseorang melakukan pinangan dan

disyari’atkannya pinangan itu, sebagaimana yang menjadi kebiasaan kaum muslimin

tentang meminang sebelum pernikahan, dan hal itu merupakan kebiasaan yang tidak

bertentangan dengan Al-Qur’an dan al-Sunnah.72 Ada langkah-langkah yang harus

dilakukan sebelum peminangan, sebagaimana Islam menganjurkan bagi peminang

(laki-laki) untuk melihat terlebih dahulu yang akan dipinang (perempuan) agar lebih

mantap dalam pilihannya.

Demi untuk kebahagian, kerukunan dan keutuhan berumah tangga, dalam

Islam seorang laki-laki diperbolehkan melihat perempuan yang akan dipinang. Ini

dimaksudkan agar tidak terjadi penyesalan dibelakang hari.

Dalam Islam melihat perempuan yang akan dipinang dibolehkan dalam batas-

batas tertentu. Sabda Rasulullah SAW:

71
J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994, hal. 157.
72
Abd. Nashir Taufik al-Athar, Saat Anda Meminang, Pustaka Azam, Jakarta, 2001, hal. 25-26.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


42

“Dari Mugirah ibn Syu’bah, ia pernah meminang seorang perempuan, lalu

Rasulullah SAW berkata kepadanya: “Lihatlah ia lebih dahulu, karena

nantinya kamu berdua bisa hidup langgeng. H.R lima orang ahli hadis kecuali

Abu Dawud.73

Bagian badan yang boleh dilihat menurut jumhur ulama adalah muka dan

telapak tangan. Dengan melihat muka, maka akan dapat diketahui halus atau kasarnya

kulit perempuan tersebut.

Sebahagian Fuqaha’, seperti Abu Dawud mengatakan bahwa seluruh tubuh

badan perempuan tersebut boleh dilihat oleh laki-laki yang akan meminangnya,

kecuali kemaluannya.74 Golongan Syi’ah membolehkan melihat perempuan yang

dipinang seluruh tubuhnya kecuali antara pusat dan lutut.

Terlepas dari pendapat diatas, melihat wanita hanya sebatas keperluan saja,

hal itu sesuai dengan kaidah usuliah. Namun dalam kehidupan masyarakat, tak jarang

hanya memberikan foto sebagai pengganti melihat secara langsung oleh pihak

peminang atau pihak laki-laki. Dalam Islam pun diperbolehkan hanya menunjukkan

foto pihak wanita, tapi terkadang apa yang ada dalam foto tidak sesuai dengan

kenyataannya, dan itu tidak bisa mengetahui sifat atau karakter dari wanita tersebut.75

M. Fauzil Adhim berpendapat sehubungan dengan keistimewaan di saat ingin

melihat wanita yang dipinang. Pertama, sudah seharusnya tidak lagi ada peraturan

khusus untuk melihat wanita yang hendak dipinang. Kedua, melihat wanita yang akan

73
H. Jamuluddin, Hukum Perkawinan 4 Mazhab, LPPM UISU, Medan 2013, hal. 12.
74
Ibid.
75
Abd. Nashir Taufik, al- Athar, Op.cit., hal. 134.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


43

dipinang bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan, selama semua dalam batas

kewajaran. Ketiga, andaikata melihat wanita yang akan dipinang sebelum perkawinan

dengan maksud agar tidak malu seandainya pernikahan itu tidak jadi, maka akan

tiadanya rasa sayang dan simpati dalam pasangan tersebut atau bahkan ada dampak

yang lebih besar lagi, mungkin sampai pada perceraian, karena adanya cacat pada

pasangan atau aib yang tersembunyi.76

Bukan perkara yang mudah untuk mengenal sosok wanita, karena tidak cukup

dengan mata memandang. Kepribadian biasanya akan terungkap saat setelah melalui

proses pergaulan yang lama, dan dalam kondisi-kondisi tertentu. Setiap wanita dan

laki-laki yang sedang dalam masa-masa pertunangan bisa mengenal sebagian hal

yang penting, mulai dari mengenal sifat dan semua perilaku sebelum akhirnya

pernikahan dilangsungkan. Melihat wanita yang selanjutnya dapat diartikan bertatap

muka, beramah-tamah antara keluarga kedua belah pihak. Hubungan kedua belah

pihak tidak ditutup mati, namun juga tidak dibuka terlalu bebas, karena sejatinya

harus tetap ada yang mendapingi agar terhindar dari tindakan amoral.

Melihat pinangan itu tidaklah hanya khusus buat laki-laki saja, tetapi

perempuan pun boleh juga. Ia berhak melihat laki-laki yang meminangnya, guna

mengetahui hal-hal yang bisa menyebabkan ia tertarik sebagaimana laki-laki melihat

faktor-faktor yang menyebabkan ia tertarik. Umar berkata: janganlah anda nikahkan

76
M. Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, Gema Insani Press, Jakarta, 2000, hal. 126.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


44

putri-putri anda dengan seorang laki-laki yang jelek. Karena hanya dia (laki-laki

tersebut) merasa senang kepadanya, sedangkan dia (wanita) tidak menyukainya.77

Menurut Abd. Nashir Taufiq al-Athar, pihak laki-laki diperbolehkan

berkunjung, namun dalam sebatas berbincang-bincang untuk mencari informasi dari

pihak perempuan. Dari sebagian orang ada yang tidak mengizinkan bagi pihak laki-

laki atau peminang mengunjungi pihak wanita atau yang dipinang, apalagi sampai

duduk berdua atau menemani ke suatu acara, hal ini karena kedua belah pihak hanya

mengetahui sisi luarnya saja, yaitu apa yang dilihat dan apa yang didengarnya. Di

satu sisi, ada sebahagian dari masyarakat yang tidak memberikan batasan apapun

kepada kedua belah pihak, diizinkan untuk bertemu, bercengkrama, atau menemani

keluar hingga larut malam.78

Telah menjadi kesepakatan bersama, bahwasanya pertunangan belum ada

ikatan suami istri, karena bagi keduanya masih seperti halnya orang lain yang bukan

muhrimnya. Maka tidak diperkenankan bagi keduanya untuk bergaul secara bebas

yang mana akan terjadi hal-hal yang dikhawatirkan akan melampaui kode etik dalam

agama.

Oleh karena itu, dalam peminanganpun ada batas-batas tersendiri agar tidak

terjadi pergaulan bebas dimana sudah diluar kode etik dalam agama. Tidak dapat

dipungkiri bahwa setiap muslim berlaku dengan etika-etika pada setiap perbuatannya,

yang disebut dengan qubh (keindahan atau kesopanan). Akan tetapi, nilai etika itu

77
Sayyid Sabiq, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib), Op.cit., hal. 42.
78
Putri Rizky Syawal, Op.cit., hal. 83.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


45

selamanya dapat dinalar dengan otak manusia sehingga pada suatu saat manusia

sepenuhnya terikat dengan wahyu Tuhan yang kemudian mengantarkan pada sesuatu

yang tidak sopan.79

Islam bersifat netral, maksudnya tidak cenderung kepada alasan salah satu

pendapat. Islam membolehkan bagi laki-laki berkunjung ke rumah wanita yang telah

dipinang, mengajaknya berbincang-bincang atau menemaninya ke suatu acara, tapi

tentunya wanita tersebut juga harus bersama laki-laki yang menjadi muhrimnya.

Dengan duduk bersama diharapkan dapat menyingkap tabiat di antara keduanya.

Muhrim disini, bertindak sebagai pencegah jangan sampai terjadi penyimpangan

terhadap aturan-aturan agama serta aturan adat serta aturan moral oleh kedua belah

pihak.

Khalwat (menyepi) bersama dengan wanita dalam ajaran Islam tidak

diperbolehkan karena bukan muhrimnya. Pengharaman antara peminang dan yang

dipinang ini kembali pada dasar, yaitu bahwa keduanya belum ada ikatan atau belum

menjadi pasangan suami istri, sehingga tidak ada hubungan muhrim untuk mencegah

dari hal-hal yang keluar dari etika pergaulan dan perbuatan yang akan

menjerumuskan kedalam kemaksiatan.80

Dalam syariat Islam, melakukan khalwat saja sudah diharamkan apalagi

sampai memegang tangan, menyentuh leher, mencium atau sampai berhubungan

biologis, itu justru lebih diharamkan lagi. Itu semua diharamkan bagi laki-laki dan

79
J.N.D. Anderson, Op.cit., hal. 3.
80
Abd. Nashir Taufik al- Athar, Op.cit., hal. 166-167.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


46

wanita meskipun sudah dalam masa peminangan, sebelum diantara keduanya terjadi

ikatan pernikahan (ijab qabul).

Bagi laki-laki sebagai pihak peminang diizinkan untuk lebih mengakrabkan

hubungan dengan pihak wanita sebagai yang dipinang dengan cara berbincang-

bincang selama perkataan yang ma’ruf, hal ini dalam Islam dimaksudkan agar apa

yang menjadi maksud untuk meminang wanita bisa terealisasikan. Dengan

pengakraban melalui bincang-bincang antara pihak laki-laki dengan pihak wanita,

bukan lantas akan terjerumus pada pergaulan yang melampaui batas sebelum

pernikahan, tetapi hal ini diharapkan akan menumbuhkan cinta kasih dan kematangan

rasa diantara keduanya. Quraish Shihab sebagaimana dikutip Ashad Kusuma Jaya,

meski perkawinan belum dilangsungkan, antara laki-laki dan wanita yang dalam masa

peminangan menjalani hubungan kasih sayang bukanlah hal yang salah. Ini

menunjukkan bahwa dalam Islam aturan itu tidak kaku, karena dengan adanya

hubungan yang jauh lebih akrab disaat penantian perkawinan atau masih dalam masa

peminangan, keduanya bisa lebih menyesuaikan diri, mulai dari lingkungan keluarga

ataupun masyarakat sekitar, agar nantinya disaat perkawinan itu benar terjadi sudah

terbiasa dengan kondisi tersebut.81

Yang paling penting adalah, seharusnya di antara kedua belah pihak antara

laki-laki dan perempuan pada saat masa peminangan tabiat masing-masing dapat

terkuak, mulai dari kebiasaan, akhlak, dan semua perilaku yang menjadi karakter.

81
Asyad Kusuma Jaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama, Pesan-Pesan Rasulullah
Menuju Pernikahan Yang Barokah, Yogyakarta, Kreasi Wacana, hal. 102.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


47

Seandainya peminangan itu putus sebelum hari perkawinan berlangsung, maka kedua

belah pihak harus bisa menjaga rahasia masing-masing, tidak saling menjelekkan

demi menjaga kehormatan dan ketentraman dalam bermasyarakat.

Bilamana laki-laki melihat pinangannya, ternyata tidak menarik, hendaklah

dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang bisa menyakitkan hatinya, sebab

boleh jadi perempuan yang tidak disenangi itu akan disenangi oleh laki-laki lain. 82

2. Dalam Adat Aceh.

Ulama Ushul Fiqih membedakan antara ‘urf dengan adat dalam membahas

kedudukannya sebagai salah satu dalil penetapan hukum syarak. Adat didefinisikan

sebagai “suatu perbuatan yang dikerjakan secara berulang-ulang tanpa hubungan

rasional. Pembatasan tersebut menyangkut perbuatan pribadi, seperti kebiasaan

seseorang dalam tidur, makan, maupun perbuatan orang banyak”.83

Adat juga kadangkala diartikan dengan “suatu yang berkaitan dengan hasil

pemikiran yang baik dan yang buruk”. Sedangkan ‘urf adalah kebiasaan mayoritas

umat, baik dalam perkataan maupun perbuatan”.84

Adat dalam pengertian umum ialah segala sesuatu yang dibiasakan oleh rakyat

umum atau golongan. Adat kebiasaan memainkan peranan penting dalam sejarah

perkembangan dan kebangkitan manusia, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam

aspek-aspek kebudayaan lainnya. Peranannya di dalam hal tersebut banyak

dipengaruhi oleh faktor sebab yang pokok, yaitu faktor iklim dan semangat

82
Sayyid Sabiq, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib), Op.cit., hal. 42.
83
Ibid.
84
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


48

kebangsaan. Kebangsaan semakin tambah kuat kedudukannya dengan perantaraan

tradisional yang mengopernya sampai menjadi kepastian di dalam kehidupan bangsa.

Mustafa Ahmad Al-Zarqa, Ahli Fiqih di Universitas Amman Jordania,

mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari

‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu,

bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf muncul dari suatu pemikiran dan

pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu dalam

menetapkan keperluan rumah tangga yang diambilkan dari mahar yang diberikan oleh

suami.85

Di daerah Aceh khususnya Aceh Pidie berlaku hal seperti tersebut diatas,

dimana peralatan rumah tangga seperti isi kamar di tanggung oleh keluarga pihak

perempuan atas pembiayaan orang tua si perempuan, apabila orang tua si perempuan

tidak mampu maka isi kamar tersebut di beli dari hasil penjualan mahar/mas kawin.

Pada masyarakat Aceh, ada pribahasa yang mengatakan “meunyo hana ta

lakee ngon bulekat, meu u rambat bek taba aneuk kamo”. Artinya bila belum

diresmikan dengan upacara adat, adalah pantang dan dianggap aib bila seorang laki-

laki datang berkunjung ke rumah tunangannya, apalagi untuk pergi bersama-sama,

adat sangat menentangnya. Adat akan membolehkan seperti itu apabila setelah

diresmikan dalam suatu upacara perkawinan.86

Menurut saudara BSM selama masa pertunangan pihak laki-laki

diperbolehkan untuk berkunjung ke rumah si gadis tapi hanya sebatas berbincang-

85
Ibid, hal. 118.
86
Badruzzaman Ismail dan Syamsuddin Daud, Op.cit., hal. 179.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


49

bincang diruang tamu. Pihak laki-laki bertandang ke rumah si gadis pada siang hari

dan dalam keadaan penghuni rumah yang lain juga ada dirumah seperti ibunya dan

saudara-saudara si gadis yang lain. Untuk pergi berjalan-jalan atau menonton dengan

tunangannya tidak diizinkan oleh kedua orang tua si gadis sebelum aqad nikah

dilakukan.87 Jadi walaupun telah ada hubungan pertunangan, tetapi antara keduanya

tidak bisa berhubungan secara bebas, ada batas-batas hubungan yang dibenarkan dan

ada hubungan yang tidak dibenarkan sesuai dengan yang telah diatur dalam ajaran

hukum Islam dan Adat Aceh.

Menurut saudara BRH, selama masa pertunangan berlangsung pihak laki-laki

hanya pernah berkunjung ke rumah si gadis hanya satu kali dikarenakan saudara

Burhan tidak berada di Aceh. Ia hanya berkunjung satu kali untuk bertemu dan

melihat langsung saudari Dewi di rumah si gadis karena pada saat ba tanda

dilakukan oleh orang tuanya, sebelumnya saudara Burhan tidak pernah bertemu dan

melihat Dewi secara langsung, ia hanya melihat foto yang dikirim oleh orang tuanya.

Pertunangan tersebut dilakukan atas kemauan orang tua Burhan.88

Menurut saudari ERN, selama masa pertunangan berlangsung saudara Budi

sering berkunjung ke rumah Erni karena tempat tinggal keduanya tidak terlalu jauh.

Minimal seminggu sekali saudara Budi datang ke rumah Erni untuk bersilaturrahmi.

Kalau dirumah Erni ada acara apapun Budi sering diundang karena Budi adalah

tunangannya. Tetapi untuk mereka pergi keluar rumah bersama ke suatu acara sangat

87
Wawancara dengan BTM ( yang pernah melakukan peminangan ) Desa Labui kemukiman
Teubeung, Kec. Pidie, Tanggal 28 Maret 2015.
88
Wawancara dengan BRH (yang pernah melakukan pembatalan peminangan) Desa Cot
Rheng Kemukiman Asan Kec. Pidie, Tanggal: 23 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


50

jarang sekali, kecuali ada acara yang sangat penting orang tuanya baru memberikan

izin. Kalau hanya untuk keluar malam seperti jalan-jalan malam minggu tidak

mendapat izin dari kedua orang tuanya, walaupun antara mereka sudah ada hubungan

pertunangan akan tetapi orang tuanya tidak memberikan izin mereka bergaul secara

bebas.89 Jadi disini jelas terlihat bahwa walaupun mereka telah bertunangan tetapi

antara mereka tidak bebas melakukan hubungan sebelum mereka resmi menjadi

suami istri.

Menurut saudara HSN dan saudari SMN dengan adanya ikatan pertunangan

maka berlakulah hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak

antara lain meliputi hal-hal sebagaimana dibawah ini : 90

a. Baik pihak yang melamar dan yang dilamar terikat pada kewajiban untuk

memenuhi persetujuan yang telah disepakati bersama, terutama untuk

melangsungkan perkawinan, bagi kedua calon mempelai.

b. Baik pria maupun wanita yang telah terikat dalam tali pertunangan, begitu

pula orang tua/keluarga dan kerabat kedua pihak dilarang berusaha

mengadakan hubungan peminangan, pertunangan dan perkawinan dengan

yang lain. Mengadakan hubungan dengan yang lain dalam maksud yang sama

dapat berakibat putusnya pertunangan dan batalnya perkawinan yang telah

direncanakan dan disepakati.

89
Wawancara dengan ERN (yang pernah melakukan pembatalan peminangan) Desa Teubeng,
Kec. Pidie, Tanggal: 26 Maret 2015.
90
Wawancara dengan saudara HSN dan saudari SMN Desa Sanggeu, Kemukiman Sanggeu,
Kecamatan Pidie, tanggal 3 April 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


51

c. Selama masa pertunangan kedua pihak harus saling membantu dana dan daya

yang diperlukan, terutama dalam rangka persiapan perkawinan.

d. Kedua pihak harus saling mengawasi gerak tindak dari para calon mempelai

yang bertunangan, termasuk memperhatikan sifat watak, perilaku dari mereka,

baik di dalam rumah tangga maupun dalam pergaulan muda-mudinya.

e. Apabila pertunangan tidak dapat diteruskan kejenjang perkawinan

dikarenakan salah satu pihak atau kedua pihak memutuskan hubungan

pertunangan itu, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut kembali barang-

barang dan uang serta kerugian lainnya pada pihak yang bersalah atau yang

telah menerima barang-barang pemberian selama pertunangan itu. Menurut

adat Aceh apabila pihak laki-laki yang membatalkan peminangan maka

barang-barang bawaannya menjadi hangus tidak dapat diminta kembali, akan

tetapi jika pihak perempuan yang membatalkan peminangan maka pihak

perempuan harus mengembalikan barang-barang bawaan pihak laki-laki pada

saat peminangan sebanyak 2x lipat.

Ketentuan adat Aceh tersebut diatas sampai saat ini masih berlaku dan

dijalankan oleh masyarakat Aceh khususnya masyarakat Aceh Pidie. Apabila salah

satu pihak membatalkan peminangan dan akibatnya terjadi perselisihan yang tidak

dapat diselesaikan secara kekeluargaan maka geuchik , tuha peut, imum meunasah

dan pemuka adat yang melakukan penyelesaian secara damai.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


52

D. Perjanjian dan Kesepakatan Yang Dibuat Dalam Acara Peminangan

Menurut Fiqh Islam dan Adat Aceh.

Sifat menyempurnakan janji adalah salah satu daripada sifat-sifat mulia di

dalam Islam. Menepati janji adalah antara ciri-ciri orang Islam yang beriman, karena

setiap ikatan janji yang dimaterikan dengan sempurnanya boleh mempererat

hubungan silaturrahmi dan boleh mewujudkan suasana harmoni dan aman damai

dalam sebuah masyarakat dan negara.

Allah memerintahkan kepada umat Islam supaya senantiasa menepati janji

apabila membuat sesuatu perjanjian dengan seseorang atau dengan siapapun jua

semasa menjalani hidup di dunia ini.91

Allah berfirman dalam Surah al- Baqarah ayat 40, yang artinya :

“wahai bani Israil! Kenangkanlah kamu akan segala nikmat yang telah Ku
berikan kepada kamu, dan sempurnakanlah perjanjian (kamu) dengan-Ku,
supaya Aku sempurnakan perjanjian Ku dengan kamu, dan kepada Akulah
sahaja hendaklah kamu merasa gerun takut, (bukan kepada sesuatu yang
lain)”.92

Dalam Surah al- Baqarah ayat 83, Allah SWT berfirman, yang artinya:

“Dan (ingatlah wahai Muhammad), ketika kami mengikat perjanjian setia


dengan Bani Israil (dengan berfirman): “janganlah kamu menyembah
melainkan Allah, dan berbuat baiklah kepada kedua ibu-bapa dan kaum
kerabat, dan anak-anak yatim, serta orang-orang miskin, dan katakanlah
kepada sesama manusia perkataan-perkataan yang baik, dan dirikanlah
sembahyang serta berikanlah zakat. Kemudian kamu berpaling
membelakangkan (perjanjian setia kamu itu) kecuali sebahagian kecil

91
Panel Penulis JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia), Ayat-Ayat Suruhan, UTUSAN
PRINTCORP SDN. BHD, 2006, cet. I, hal. 417.
92
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


53

daripada kamu, dan sememangnya kamu orang-orang yang tidak


menghiraukan perjanjian setia”.93

Dalam Surah al-Ra’d ayat 20, Allah SWT berfirman, yang artinya:

“Orang-orang yang menyempurnakan perjanjian Allah dan tidak merombak


(mencabuli) perjanjian yang telah diperteguhkan itu”.

Serta dalam Surah Al-Nahl ayat: 91 Allah SWT juga berfirman yang artinya:

“Dan sempurnakanlah pesanan-pesanan dan perintah-perintah Allah apabila


kamu berjanji, dan janganlah kamu merombak (mencabuli) sumpah kamu
sesudah kamu menguatkannya (dengan nama Allah), sedang kamu telah
menjadikan Allah sebagai penjamin kebaikan kamu, sesungguhnya Allah
sedia mengetahui akan apa yang kamu lakukan”.94

Menurut saudara MLY, adapun perjanjian dan kesepakatan yang dibuat

dalam acara peminangan di Aceh adalah:95

a. Jika salah satu pihak baik pihak calon suami atau calon istri meninggal dunia

sebelum pernikahan berlangsung, maka barang-barang yang telah diantar

dikembalikan kepada pihak orang tua laki-laki.

b. Jika pihak laki-laki atau calon suami mungkir janji (tidak mau kawin lagi) maka

hilanglah semua barang-barang bawaan dan emas tanda pertunangan yang telah

diserahkan kepada pihak calon istri.

c. Jika si wanita atau calon istri mungkir janji (tidak mau kawin lagi) maka pihak

wanita harus membayar 2x lipat dari nilai barang-barang yang telah diterimanya.

Dalam masyarakat Aceh, kesepakatan dan perjanjian yang dibuat oleh kedua

belah pada saat pertunangan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis tetapi

93
Ibid., hal. 418.
94
Ibid., hal. 423.
95
Wawancara dengan saudara MLY (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Lampoh
Lada, Kemukiman Asan, Kecamatan Pidie, tanggal 2 April 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


54

kesepakatan tersebut dilihat dan didengar oleh semua yang hadir di acara pertunangan

tersebut. Menurut saudara AWY, sebenarnya dia ingin isi kesepakatan dan perjanjian

yang dibuat pada acara peminangan tersebut dibuat dalam bentuk yang tertulis. Untuk

masa sekarang jika perjanjian dan kesepakatan hanya secara lisan rasanya kurang

kuat.96

Kesepakatan atau perjanjian yang dibuat pada saat peminangan di Aceh

selama ini yang dilakukan dengan tidak tertulis sudah dirasakan kurang cocok untuk

masa sekarang ini. Mereka yang terlibat dalam pertunangan menginginkan

kesepakatan atau perjanjian yang dibuat secara tetulis atau dalam bentuk otentik.

96
Wawancara dengan saudara AWY (yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Tibang,
Kemukiman Utoue, Kecamatan Pidie, tanggal 4 April 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB III

TATA CARA PEMINANGAN DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH

A. Keluarga Pihak Calon Pengantin Laki-Laki Mendatangi Keluarga


Perempuan Untuk Menyatakan Kehendaknya.

Apabila kita memberi perhatian mengenai cara pemilihan jodoh di segenap

daerah adat di Aceh, kita mendapat kesan yang begitu cepat, bahwa yang pertama

peranan pihak laki-laki lebih aktif dibandingkan dengan pihak perempuan, dan kesan

yang kedua, bahwa penentuan jodoh itu lebih banyak atas prakarsa orang tua atau

keluarga.97

Dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi para muda-mudi di Aceh untuk dapat

bergaul dan berkenalan secara intim, karena dua orang muda mudi yang sudah

dewasa dilarang secara adat untuk bertemu, berbicara satu sama lain, apalagi bergaul

secara mesra. Karena hal itu dianggap sebagai suatu hal yang melanggar kesusilaan.

Baik pemuda maupun para gadis biasanya bersikap pasrah saja dalam soal jodoh ini,

karena soal jodoh dianggap sebagai urusan orang tua. Tidaklah mengherankan apabila

orang yang dikawinkan itu belum pernah berkenalan sebelumnya, untuk saling cinta

dan saling mengerti terhadap pribadi satu dengan yang lain. Perkawinan yang

demikian itu banyak juga yang berhasil dan berbahagia, tetapi terdapat juga kasus-

kasus pertentangan rumah tangga yang berkelanjutan, atau dalam pengalaman si istri

97
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Dan
Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh, 1978, hal. 62.

55

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


56

atau suami tidak sudi bergaul dan hidup bersama sebagaimana layaknya sepasang

suami istri.98

Keadaan yang seperti disebutkan diatas kini telah menunjukkan perubahan

karena pengaruh pendidikan dan pengaruh lingkungan. Pemuda dan pemudi yang

telah berpendidikan telah banyak yang berinisiatif menentukan pilihan sendiri,

meskipun dengan meminta persetujuan orang tuanya. Pembicaraan atau pertemuan

antara muda-mudi dalam batas-batas kesopanan tertentu dianggap tidak lagi tabu,

bahkan suasana demikian telah sampai ke desa-desa. Perkembangan keadaan yang

terus-menerus berkembang telah memberikan kesadaran baru kepada orang tua,

bahkan masalah persetujuan kawin terutama bagi masing-masing calon adalah hal

yang prinsipil.99

Secara umum perkawinan yang ideal menurut pandangan masyarakat di Aceh

apabila perkawinan itu berlangsung antara pasangan yang seimbang. Dalam istilah

Aceh disebut “kawin sekufu”. Keseimbangan yang dimaksud ialah keseimbangan

menurut ukuran keturunan, strata sosial, umur, kekayaan, dan seimbang pula menurut

ukuran bentuk dan paras. Hampir semua kelompok adat dianjurkan kawin dengan

pasangan yang sepadan.100

Pola perkawinan ideal pada masyarakat Aceh masa kini, terutama dikalangan

yang telah mengalami perubahan sosial dan pendidikan, telah mulai mengalami

pergeseran-pergeseran dari pada nilai-nilai sebelumnya, kearah nilai-nilai yang lebih

98
Ibid., hal. 63.
99
Ibid.
100
Ibid., hal. 47.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


57

maju. Dalam hubungan ini pilihan jodoh lebih ditekankan pada jaminan dan prospek

masa depan dan achievement yang dipunyai oleh masing-masing calon, dan yang

amat penting ialah persesuain yang bersangkutan. Yang dimaksud dengan

achievement yaitu kemampuan, suatu cita-cita atau prestasi. Jadi dalam uraian ini

achievement adalah kemampuan seorang calon untuk memperoleh dengan usaha

sendiri dalam mencapai cita-cita atau prestasi sosial dalam suatu kedudukan tertentu.

Pandangan yang terakhir ini menyebabkan faktor pendidikan dan status pekerjaan

calon (terutama calon laki-laki) telah mendapat perhatian yang amat penting pada

setiap kelompok sosial, disamping faktor budi pekerti dan ketaatan bersama.101

Norma-norma pemilihan jodoh yang ideal seperti tersebut di atas adalah

bersifat marriage preferences, yaitu perkawinan yang menjadi referensi umum, yang

dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai perkawinan yang ideal. Kebalikan

dari norma tersebut ialah segala ketentuan tentang pembatasan jodoh yang dalam hal

ini berlaku pada semua kelompok adat di Aceh, yaitu terhadap siapa perkawinan itu

sama sekali tidak boleh dilakukan dan terhadap siapa yang kurang baik dilakukan,

karena dianggap sumbang adat. Pembatasan jodoh secara mutlak itu, mengikuti

ketentuan agama Islam, seperti larangan kawin dengan ibu, saudara sekandung,

dengan saudara Ayah atau Ibu, dengan saudara sesusu dan seterusnya yang bersifat

muhrimnya, yaitu orang dari lawan seksnya yang tidak menbatalkan air

sembahyangnya. Sementara pembatasan jodoh yang tidak mutlak sifatnya berlaku

101
Ibid., hal. 48.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


58

menurut kebiasaan setempat, berdasarkan hukum-hukum kekerabatan daerah yang

bersangkutan.102

Perkawinan biasa sepanjang yang dikenal di dalam masyarakat Aceh ialah

perkawinan yang berlangsung menurut ketentuan norma agama, yang sekaligus

berdampingan dengan norma-norma adat istiadat (hukum adat). Norma agama yang

dimaksud ialah ketentuan menurut hukum Islam, yang diperlakukan secara mutlak,

tanpa meninggalkan syarat-syaratnya yang minimalnya untuk sahnya perkawinan.

Sedangkan yang dimaksud ketentuan adat ialah semua ketentuan adat yang dalam

kenyataan diperlakukan sesuai dengan keterikatan adat atas masyarakatnya, atau

menurut batas-batas kemampuan dan penghayatan anggota-anggota masyarakat

terhadap adatnya. Dengan demikian identitas berlakunya hukum adat dalam

perkawinan adalah relatif sekali.103

Antara agama dan adat-istiadat di Aceh telah sejak lama terjalin penyesuaian

kultural. Agama mendapat kedudukan lebih penting dalam menyeleksi adat, sehingga

unsur adat yang survival adalah unsur yang tidak terlalu menyimpang dari ketentuan

dasar agama Islam. Penyesuaian kultural tersebut di atas telah menyebabkan adat dan

agama di Aceh berkembang selaras dan sukar dipisah-pisahkan.104

Menurut pola pemikiran masyarakat Aceh, pemilihan jodoh ini adalah

merupakan kegiatan-kegiatan dari pihak laki-laki. Dengan lain perkataan, inisiatif

pemilihan jodoh boleh dikatakan tak pernah datang dari pihak perempuan. Andaikata

102
Ibid., hal. 48.
103
Ibid., hal. 49.
104
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


59

terjadi juga mesti dilakukan dengan cara sangat rahasia, misalnya dengan perantaraan

pihak ketiga yang dipercaya dan dapat menyimpan rahasia, sebab kalau hal ini

diketahui umum pasti menimbulkan ocehan-ocehan yang memalukan. Ocehan

tersebut seperti terlukis dalam kiasan, “lagee mon mita tima” atau seperti sumur

mencari timba. Maksud kiasan ini ialah seperti perempuan mencari suami.

Cara pemilihan jodoh yang berlaku dalam masyarakat adat Aceh dewasa ini

memang dirasakan kurang memberi kesempatan kepada kedua calon suami istri

sebagai pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkawinan mereka nanti. Sesuai

dengan perkembangannya masyarakat adat Aceh sekarang, maka telah terjadi pula

perubahan-perubahan dalam tata cara memilih jodoh, sehingga dalam masyarakat

Aceh dewasa ini, terdapat 2 tata cara pemilihan jodoh :105

1. Dilakukan oleh orang tua atas persetujuan anaknya.

Pola pertama terdapat dalam masyarakat adat yang masih murni belum

terpengaruh dengan sifat-sifat masyarakat urban (kota).

2. Pemilihan itu dilakukan sendiri oleh pemuda yang bersangkutan, yang kemudian

diminta persetujuan kedua orang tuanya.

Pola kedua, Keputusan akhir dari pola kedua ini masih lebih dalam masyarakat

yang telah menerima pengaruh-pengaruh perkotaan. Pengaruh ini telah

menyusup sampai ke desa-desa, sebagai akibat perkembangan teknologi dan

pendidikan modern. Berbagai media telah tersedia yang memungkinkan

105
Wawancara dengan Bapak Bazruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


60

pertemuan atau perkenalan muda-mudi. Keputusan terakhir menurut pola ini

berada pada kedua belah pihak yang nantinya terlibat dalam perkawinan yaitu

pemuda dan pemudi.

Pada masyarakat Aceh juga dikenal lamaran lain yang mengakibatkan

pertunangan (tanda), yaitu:106

1. Pertunangan (tanda) yang dilakukan berdasarkan kesepakatan oleh Ibu Bapak

kedua belah pihak sewaktu anak mereka masih kecil, pertunangan semacam ini

tidak disertai dengan bawaan maupun pemberian emas tanda pertunangan. Hal

semacam ini biasanya dilakukan karena orang tua kedua belah pihak telah

menjalin persahabatan mereka dengan akrab, jadi berniat menjodohkan anak

mereka.

2. Pertunangan antara kedua belah pihak ada hubungan famili, tetapi hubungan

famili tersebut tidak mempunyai hubungan darah yang haram untuk menikah.

Jadi antara orang tua kedua belah pihak ingin mempererat hubungan keluarga

dan biasanya juga karena alasan harta kekayaan mereka jangan sampai jatuh ke

keluarga lain yang belum dikenal.

3. Pertunangan mengikuti wasiat salah seorang orang tua dari kedua belah pihak

yang telah meninggal. Orang tuanya sebelum meninggal telah berniat untuk

menjodohkan anak mereka. Pertunangan semacam ini biasanya tidak disertai

dengan lamaran dan bawaan pertunangan. Antara orang tua kedua belah pihak

106
Wawancara dengan Bapak Bazruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


61

telah berjanji untuk menjodohkan anak-anak mereka untuk menikah jika telah

dewasa. Janji tersebut bisa dihadapan orang lain (saksi) bisa juga tanpa adanya

saksi, hanya antara orang tua kedua belah pihak.

Seseorang yang akan mencarikan jodoh anaknya, terlebih dahulu akan

mengundang kawom (keluarga besar seketurunan) untuk duekpakat (musyawarah).

Musyawarah ini dimaksudkan untuk memanggil seluruh keluarganya dan meminta

persetujuan kaum kerabatnya serta merencanakan persiapan-persiapan selanjutnya.

Persiapan-persiapan itu merupakan penentuan waktu mengantar tanda pertunangan.

Lebih jauh dari itu penentuan waktu kapan peresmian perkawinan dilaksanakan.

Apabila calon istri dan calon suami sudah mencapai syarat umur untuk kawin.

Dimusyawarahkan juga apakah nanti dalam pelaksanaan perkawinan akan

dilangsungkan kenduri sekedarnya atau secara besar-besaran.107

Apabila duekpakat telah ada kesesuaian untuk meminang seorang gadis,

maka ditugaskan seorang seulangke (utusan) untuk menyampaikan maksud kepada

pihak perempuan.108 Untuk ini, seulangke sering menggunakan pantun-pantun tradisi

dengan kata-kata yang halus, sopan dan hormat. Apabila maksud lamaran ini ditolak,

biasanya orang tua si gadis memberikan alasan yang halus pula supaya pihak laki-laki

tidak tersinggung.

107
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit.,
hal. 66.
108
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh, Badan Perpustakaan
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Cet. I, 2004, hal. 115.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


62

Sebelum melakukan pekerjaan yang telah menjadi urusannya, seulangke juga

memperhatikan hari baik. Ini didasarkan pada hari pertama dalam bulan Islam jatuh

pada hari langkah, hari kedua jatuh pada rezeki, hari ketiga jatuh pada pertemuan

(peuteumuen), hari keempat jatuh pada hari maut dan seterusnya berulang kembali

seperti tersebut. Hari yang baik menurut perkiraannya itu adalah rezeki atau hari

peuteumuen. Orang Aceh mengetahui dengan baik bahwa langkah, rezeki, pertemuan

dan maut berada dalam tangan Allah. Namun mereka selalu berusaha supaya mereka

mendapat kebajikan di dunia dan akhirat.

Apabila lamaran pihak lelaki diterima, biasanya orang tua si gadis meminta

tempo sekitar 3 (tiga) hari untuk duek pakat (bermusyawarah) dengan kerabatnya.

Setelah itu, pihak keluarga si gadis mengirim kembali khabar kepada pihak laki-laki

untuk datang kembali meminang.109 Kemudian serombongan utusan dari pihak laki-

laki yang terdiri dari keuchik ( kepala desa), seulangke, tuha peut, imum meunasah

dan beberapa orang keluarga dekatnya yang dianggap penting, datang ke rumah si

gadis untuk meminang. Begitu pula pihak keluarga si gadis telah menanti atas

kedatangan rombongan pihak laki-laki untuk meminang. Dari pihak perempuan yang

menunggu di rumah si gadis juga biasanya terdiri dari keuchik dari desa tersebut dan

beberapa keluarga dekat dan perangkat- perangkat desa yang dianggap penting.

Sebelum penyerahan tanda pertunangan, terlebih dahulu rombongan

pendatang beserta rombongan penanti disuguhkan kenduri (makan) ala kadarnya.

Selesai santapan makan dan minum, kedua belah pihak beramah tamah untuk

109
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit.,
hal. 116.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


63

beberapa waktu lamanya, yang kemudian baru dimulai dengan acara meminang.

Pembukaan kata dimulai oleh salah seorang yang dituakan dan dianggap mampu dari

pihak rombongan dari pengantin laki-laki. Thema pembicaraan itu didasarkan pada

ungkapan kata-kata yang cenderung bernadakan kata-kata puitis yang mengandung

maksud melamar.110

Sementara terjadi pembicaraan dan berbalas pantun antara kedua belah pihak

di serambi rumah, sedangkan seulangke saat itu merembukkan masalah-masalah yang

menyangkut mahar (jeuname), masa menunggu hingga saat peresmian perkawinan

(biasanya paling lama 3 tahun), uang hangus, dana bu gateng serta jadwal

diadakannya peresmian pernikahan dengan orang tua calon pengantin wanita dan

keluarga dekatnya di serambi belakang.111

Selesai melakukan pembicaraan tentang rencana pernikahan, keuchik atau

seulangke yang disertai dengan penyerahan batee ranub (tempat sirih) pertunangan,

hantaran berisi pakaian dan perlengkapan wanita serta alat-alat rias wanita, makanan

dan kue-kue. Tak lupa juga sebentuk perhiasan emas diserahkan kepada keluarga si

gadis. Banyaknya perhiasan emas yang dibawa tergantung pada besarnya mas kawin

seorang gadis. Pada umumnya mas kawin yang dibawa pada saat acara mengantar

tanda pertunangan adalah sepertiga dari jumlah mas kawin. Benda-benda ini disebut

dengan tanda kong haba.112

110
Ibid., hal. 66.
111
Ibid., hal. 71.
112
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


64

Istilah tanda kong haba di Aceh dimaksudkan adalah benda-benda yang diserahkan

oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat pertunangan tersebut sebagai

lambang kesepakatan atau ikat janji bagi kedua belah pihak.

Untuk meluruskan jalan dan merampungkan segala sesuatu yang menyangkut

dengan masalah-masalah perkawinan itu, perlu diperjelas juga tentang masalah:

1. Besarnya mas kawin.

2. Waktu pernikahan.

3. Saat peresmian perkawinan.

4. Sanksi- sanksi terhadap hal-hal yang mungkin terjadi di kemudian hari.

Setelah segala persoalan itu selesai dirampungkan antara kedua belah pihak,

pimpinan rombongan pengantar tanda pertunangan minta diri. Sebelumnya masing-

masing pihak mengucapkan pidato-pidato perpisahan dan pelepasan yang diucapkan

oleh ketua rombongan masing-masing.113

Setelah mengantar tanda pertunangan, ada acara tertentu di masing-masing

masyarakat adat di Aceh. Pada masa menunggu ini (watee seumeupreh) pihak

pengantin wanita mengantar balasan kue-kue atau penganan kepada pihak pengantin

laki-laki yang ditangani langsung oleh ibu kandung dan wanita-wanita tua dari

kampung pihak calon pengantin wanita.114

Setelah menerima lamaran dari pihak laki-laki , pihak keluarga si gadis tidak

dibenarkan menerima lamaran orang lain. Apabila ketentuan ini dilanggar, pihak

keluarga si gadis akan dikenakan denda secara adat sebanyak 2 (dua) kali lipat. Dan

113
Ibid.
114
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


65

tanda kong haba juga harus dikembalikan kepada pihak laki-laki juga sebanyak 2

(dua) kali lipat.

Menurut Bapak Badruzzaman Ismail, pengembalian 2x lipat tersebut dalam

pengertian bahwa jika pihak perempuan yang membatalkan peminangan, maka pihak

perempuan tersebut harus mengembalikan emas bawaan pihak laki-laki pada saat ba

tanda. Jika yang di bawa 2 mayam maka pihak perempuan harus mengembalikan 2

mayam bawaan laki-laki tersebut tadi. Karena pihak perempuan yang membatalkan

(wan prestasi) maka dia dikenakan denda sebanyak yang di bawa pihak laki-laki.

Jika yang dibawa 2 mayam, denda si perempuan juga 2 mayam. Dalam hal seperti ini

pihak perempuan harus mengembalikan kepada pihak laki-laki sebanyak 4 mayam.115

Jadi dalam hal pengembalian barang bawaan apabila terjadi pembatalan

peminangan di Aceh cukup adil. Dikatakan adil karena kedua belah pihak seimbang

dalam hal sanksi adat yang diberikan. Antara laki-laki dan perempuan diberikan

sanksi yang sama yaitu 1 bagian. Seandainya pihak perempuan yang membatalkan

peminangan jadi perempuan tersebut diharuskan mengembalikan 1 bagian bawaan

pihak laki-laki pada saat peminangan. Karena perempuan tersebut tidak jadi menikah

dengan laki-laki yang meminangnya maka dia tidak berhak memiliki barang bawaan

tersebut, dan pihak perempuan ini juga wan prestasi maka dia dikenakan denda 1

bagian juga. Jadi bagian yang harus di kembalikan oleh pihak perempuan kepada

115
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
tanggal: 25 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


66

pihak laki-laki adalah 2 bagian, 1 bagian pengembalian barang yang telah dibawa

oleh pihak laki-laki, 1 bagian lagi dendanya.

Begitu juga dengan pihak laki-laki, jika membatalkan peminangan sanksi adat yang

diberikan kepadanya juga 1 bagian yaitu barang yang telak dibawanya pada saat

peminangan menjadi hagus. Jadi jelas disini antara laki-laki dan perempuan diberikan

beban sanksi adat yang sama atau seimbang.

B. Isi Kesepakatan Yang Dibuat Pada Acara Peminangan Di Aceh Tunduk

Pada Hukum Islam.

Pada hari peminangan (ba tanda) di Aceh, selalu diiringi dengan perjanjian

atau kesepakatan diantara peminang dengan orang tua perempuan yang dipinang.

Kesepakatan atau perjanjian tersebut dilakukan dihadapan semua yang hadir pada

acara tersebut. Kesepakatan janji mengenai :

1. Jumlah Jeuname ( Mahar atau Mas Kawin).

Jeuname atau mas kawin pada masyarakat yang bersistem sosial bilateral,

pada umumnya merupakan syarat sahnya nikah sesuai ketentuan agama dan adat

istiadat.116 Pada umumnya kewajiban membayar mas kawin (jeuname) di

bebankan kepada orang tua pengantin laki-laki, apabila perkawinan itu

berlangsung untuk pertama kalinya. Dalam hal orang tua pengantin laki-laki telah

almarhum, maka kewajiban itu beralih pada keluarga, terutama mereka yang

termasuk dalam jalur wali si pemuda.117

116
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit.,
1978, hal. 59.
117
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


67

Jumlah jeuname (mahar) dalam suatu perkawinan di Aceh Pidie biasanya

ditentukan menurut jumlah jeuname dari kakak-kakaknya yang lebih dahulu

kawin. Apabila anak yang akan dikawinkan itu anak pertama, maka ukuran

jeuname menurut kelaziman berlaku dalam kerabatnya. Biasanya jeuname

berkisar dari 5 (lima) sampai 25 (duapuluh lima) mayam emas 24 karat. Emas 24

karat adalah emas 90 % sampai 97 %. Kadang-kadang penentuan jeuname ini

dilihat juga menurut status sosial keluarga si gadis.118

Pemberian jeuname lazimnya dibayar tunai (meskipun agama

membolehkan diutang), tetapi adakalanya diberikan setengah dahulu, dan

adakalanya diberikan sekaligus pada saat akad nikah. Pelaksanaan mahar dengan

kontan dan berhutang, atau kontan sebagian dan hutang sebahagian, hal ini

tergantung kepada adat masyarakat dan kebiasaan mereka yang berlaku.

2. Jumlah Uang Hangus.

Di daerah Aceh Pidie, disamping mas kawin masih ada lagi uang hangus.

Uang hangus ialah sejumlah uang yang diminta atau ditetapkan untuk diserahkan

oleh pihak laki-laki bersamaan dengan penyerahan mas kawin. Besarnya uang

hangus juga ditentukan pada saat ba tanda. Penetapan uang hangus biasanya

dilakukan secara musyawarah, bersamaan pada saat melakukan lamaran. Mas

kawin dan uang hangus itu diputuskan melalui acara khusus yang disebut ikat

janji.119

118
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat Istiadat Daerah Propinsi D.
I. Aceh, 1978, hal. 134.
119
Ibid., hal. 61.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


68

Menurut Badruzzaman Ismail, kebiasaan uang hangus merupakan unsur

baru dalam adat kebiasaan perkawinan di Aceh, yang dulunya tidak dikenal

dalam adat yang asli, pada saat mana upacara perkawinan berlangsung secara

gotong royong dengan semangat kekeluargaan. Adanya uang hangus merupakan

salah satu pengaruh perkotaan yang serba ekonomis, dan kenyataannya di Aceh

pun uang hangus lebih banyak dipraktekkan disekitar masyarakat kota untuk

maksud membantu biaya penyelenggaraan pesta atau peralatan perkawinan.

Besarnya jumlah uang hangus biasanya ditentukan berdasarkan jumlah tamu

yang ikut mengantar linto pada saat pesta perkawinan nantinya. 120

3. Uang Pengantar (bu gateng).

Disamping uang hangus ada lagi semacam sumbangan yang disebut uang

pengantar yang di Aceh sering disebut dengan istilah bu gateng. Uang

pengantar itu dimaksudkan sebagai uang pengganti untuk melayani tamu

pengantin laki-laki yang ikut mengantar pada saat intat linto di acara pesta

perkawinan nantinya karena di rumah pengantin laki-laki tidak diadakan jamuan

makan.121

4. Tahap-tahap proses perkawinan yang harus dilalui seperti : tunangan, nikah

pulang terus, nikah gantung, dan lain-lain.

Mengenai tahap-tahap proses yang dilalui dalam suatu perkawinan,

ditentukan dan diperjanjikan pada saat meminang. Apakah perkawinan itu

120
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.
121
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


69

dilakukan dengan tunangan terlebih dahulu, nikah gantung atau nikah pulang

terus.

Menurut Tgk. Muhammad, masa pertunangan di Aceh Pidie sering di

umpamakan sebagai masa menunggu perkawinan. Masa menunggu perkawinan

ini sebaiknya tidak melebihi 3 (tiga) tahun. Dalam masa menunggu ini masing-

masing pihak harus menjaga diri dari berbagai fitnah dan godaan, terutama bagi

calon pengantin wanita. Selama itu mereka harus mempersiapkan diri dalam

bertingkah laku, tutur kata, kesopanan, pergaulan, dan terutama dalam soal-soal

yang berhubungan dengan keagamaan.122

Menurut Bapak Badruzzaman Ismail, pada masa menunggu ini pihak

masing-masing orang tua calon pengantin mempersiapkan diri dengan alat-alat

maupun bekalan-bekalan yang digunakan pada saat berlangsungnya peresmian

perkawinan. Persiapan ini lebih terasa pada orang tua pengantin wanita pada

masyarakat adat Aceh.123

5. Jadwal Perkawinan (Peresmian).

Kalau perkawinan tersebut dengan tunangan dahulu, maka ditentukan saat

akad nikah (ijab kabul) atau acara peresmian perkawinan dilakukan (ditentukan

bulan dan tahun peresmiannya).

122
Wawancara dengan Tgk. Muhammad (Pengurus Pesantren Darul Aitam di Kabupaten
Pidie), Tanggal: 30 Maret 2015.
123
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


70

Apabila hal-hal yang telah disepakati dan telah diperjanjikan pada saat

peminangan tidak ditepati oleh salah satu pihak, maka akan terjadi konflik diantara

mereka. Masyarakat Aceh memiliki pola tersendiri dalam penyelesaian konflik

(sengketa), baik konflik vertikal maupun horizontal. Pola penyelesaian masalah

pembatalan pertunangan ini biasanya masyarakat Aceh dikenal dengan pola

penyelesaian adat gampong. Pola seperti ini sebenarnya berasal dari syariat Islam

yang bersumber pada ajaran Al-qur’an dan as-Sunnah. Penyelesaian permasalah

dengan jalan damai biasanya diselesaikan pada tingkat desa terlebih dahulu. Aparat

desa yang terdiri dari keuchik, sekretaris, dan tuha peut duduk dengan pihak-pihak

yang bermasalah tersebut. Mencari jalan keluar dari permasalah yang para pihak

hadapi. Setelah ada jalan penyelesaian biasanya pada tahap akhir dilakukan peumat

jaroe.124

Bahwa penghormatan terhadap perjanjian menurut Islam hukumnya wajib,

melihat pengaruhnya yang positif dan perannya yang besar dalam memelihara

perdamaian dan melihat urgensinya dalam mengatasi kemusykilan, menyelesaikan

perselisihan dan menciptakan kerukunan.

Sifat menyempurnakan janji adalah salah satu daripada sifat-sifat mulia di

dalam Islam. Menepati janji adalah antara ciri-ciri orang Islam yang beriman, karena

setiap ikatan janji yang dimaterikan dengan sempurnanya boleh mempereratkan

hubungan silaturrahmi dan boleh mewujudkan suasana harmoni dan aman damai di

dalam sebuah masyarakat dan negara.


124
Wawancara dengan Bachtiar, Keuchik Desa Tijue, Mukim Tijue, Kecamatan Pidie,
tanggal: 24 Maret 2015..

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


71

Bahwa penghormatan terhadap perjanjian menurut Islam hukumnya wajib,

melihat pengaruhnya yang positif dan perannya yang besar dalam memelihara

perdamaian dan melihat urgensinya dalam mengatasi kemusykilan, menyelesaikan

perselisihan dan menciptakan kerukunan.125 Di dalam ungkapan orang Arab, “siapa

orang yang mempergauli manusia, maka ia tidak menzhalimi mereka. Dan siapa yang

mengajak berbicara manusia, maka hendaklah tidak mendustakan mereka. Dan jika

berjanji, maka tidak mengingkari janji. Dia termasuk orang yang sempurna harga

dirinya dan menonjol keadilannya, serta wajib menjadikannya sebagai saudara.”

Sesungguhnya mengadakan hubungan dengan manusia dengan baik, menepati

janji, bersikap benar terhadap mereka, adalah pertanda sempurnanya kepribadian dan

harga diri serta suatu lambang keadilan. Orang seperti itu wajib dijadikan saudara dan

sahabat.

Allah SWT memerintahkan agar memenuhi janji, baik itu terhadap Allah

ataupun sesama manusia, firman Allah dalam Surah 5 (Al-Maidah) ayat 1 yang
126
artinya: “hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad perjanjian-mu” Dalam

bentuk apapun, pelanggaran terhadap janji dianggap sebagai dosa besar yang perlu

diberikan sanksi dan kemurkaan.

Firman Allah dalam Surah Ash-Shaf ayat 2 dan 3 yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, mengapakah kamu mengatakan apa yang


kamu tidak perbuat. Amat besar dosanya di sisi Allah lantaran kamu
mengatakan apa yang kamu tidak lakukan”.

125
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Terjemahan, Penerjemah: H. Kamaluddin A. Marzuki , Jilid
XI, Alma’arif, Bandung, 1987, hal. 173.
126
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


72

Semua penjegalan janji yang dilakukan manusia, akan dipertanggung

jawabkan dan dihisap di muka Allah.127 Firman Allah dalam surah Bani Israil, ayat 34

yang artinya: “Dan tepatilah janji, sesungguhnya janji diminta pertanggung

jawabannya.”

Menepati janji adalah bagian daripada iman, Rasulullah SAW bersabda yang

artinya: “Bahwasanya, baik dengan janji bagian daripada iman”.128

Tak ada balasan lain bagi yang menepati janji kecuali syurga, firman Allah

dalam surah Al- Mu’minun ayat 8, 9, 10, 11 yang artinya: “Dan orang-orang yang

memelihara amanat-amanat dan janji mereka. Dan orang-orang yang memelihara

shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di

dalamnya”.129

Rasulullah SAW melakukan perjanjian dengan orang Yahudi, mengakui

eksistensi agama mereka, menjamin keamanan harta mereka, dengan syarat mereka

tidak membantu orang-orang musyrik. Kemudian mereka melanggar janji dan

kemudian minta maaf. Kemudian kembali (berjanji) dan mereka langgar sekali lagi.

Maka turunlah surah Al- Anfaal ayat 55 dan 56 yang artinya: “sesungguhnya

makhluk yang paling buruk di mata Allah adalah orang kafir, karena mereka tidak

beriman. (yaitu) orang-orang yang kamu telah membuat perjanjian (dengan mereka)

kemudian mereka melanggar janji mereka setiap kali (berjanji), dan mereka tidak

takut (akibatnya)”.130

127
Ibid., hal. 174.
128
Ibid., hal. 175.
129
Ibid.
130
Ibid., hal. 176.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


73

Allah membenci sekali orang yang melanggar janji. Allah berfirman dalam
surah An- Nahl ayat 91 dan 92 yang artinya: “ Dan tepatilah perjanjian dengan
Allah apabila kamu berjanji dan jaganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah
(mu) itu sesudah kamu meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah
sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa-apa yang kamu
lakukan. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali,
kamu menjadikan sumpah (perjanjianmu) sebagai alat penipu di antaramu,
disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya darigolongan
yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan
sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang
dahulu perselisihkan.”131

Masyarakat Aceh khususnya masyarakat Aceh Pidie yang mayoritas

beragama Islam seharusnyalah selalu berpegang teguh kepada ajaran hukum Islam

yang senantiasa mengajarkan untuk menepati janji yang telah mereka perbuat dan

jangan mengingkari janji yang telah diperteguhkan di hadapan Allah dan dihadapan

orang-orang yang hadir pada acara peminangan.

C. Para Pihak Yang Ikut serta Dalam Acara Peminangan.

Pada saat mengantar tanda (meminang) biasanya yang ikut hadir di acara

tersebut terdiri dari: seulangkeu, keuchik, tuha peut, imum meunasah, tokoh-tokoh

masyarakat, kerabat dekat dari kedua belah pihak.

Keuchik adalah kepala desa yang merupakan Kepala Badan Eksekutif tingkat

desa. Tuha peut adalah dewan orang tua yang mempunyai pegetahuan yang luas

tentang adat dan agama. Tugas tuha peut meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan

syariat Islam dalam adat-istiadat dalam masyarakat. Tuha peut juga bertugas

131
Ibid., hal. 178.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


74

memelihara kelestarian adat-istiadat. Disamping itu, tuha peut juga berfungsi sebagai

pemberi nasehat dan pertimbangan kepada keuchik dalam bidang hukum adat, adat-

istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Selain itu keuchik dan tuha peut

gampong juga menjadi hakim perdamaian antara penduduk gampong. Apabila ada

perselisihan antar warga gampong kedua lembaga ini harus bermusyawarah bersama

sehingga persoalan yang ada bisa terselesaikan dan tercipta keharmonisan dalam

hidup di gampong. Pada acara peminangan disamping seulangke, tuha peut adalah

orang yang paling mengetahui tentang adat-istiadat. Teungku imum meunasah

merupakan pimpinan di bidang keagamaan. Tengku imum meunasah disini sangat

diperlukan dalam hal memberikan nasihat-nasihat spritual sesuai dengan hukum

agama.

Menurut saudara SYT, pada saat meminang calon istrinya dulu, orang-orang

yang ikut serta adalah yang terdiri dari Tgk. Razali yang bertindak sebagai

seulangkeu, pak geuchik Desa Paloh, Tuha Peut desa Paloh, imum meunasah dan

keluarga dekatnya yaitu Pak Cek dan Nyak Cek nya.132

Menurut saudara LKM pada saat meminang calon istrinya yang ikut serta

pada saat itu adalah kedua orang tuanya, Bapak Rusli yang bertindak sebagai

132
Wawancara dengan SYT (yang pernah membatalkan pertunangan) Desa Paloh,
Kemukiman Paloh, Kecamatan Pidie, tanggal: 30 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


75

seulangkeu, geuchik desa Kampong Asan, Tuha Peut desa Kampong Asan dan

saudara dekatnya yang terdiri dari adik ibunya dan abang dari bapaknya.133

Berdasarkan pemaparan diatas dapat diketahui bahwa masyarakat Aceh Pidie

pada saat peminangan selalu melibatkan aparat desa dari kedua belah pihak.

Keterlibatan aparat desa dan kerabat dekat dari kedua belah pihak sebagai saksi

dalam perjanjian dan kesepakatan yang mereka buat supaya memperoleh kekuatan

hukum atas kesepakatan tersebut.

133
Wawancara dengan LKM (yang pernah dibatalkan pertunanganya) Desa Keulibeut Dayah
Tanoh, Kemukiman Keulibeut, Kecamatan Pidie, tanggal: 31 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB IV

AKIBAT HUKUM YANG LAHIR DARI PEMBATALAN PEMINANGAN


DI TINJAU DARI HUKUM ISLAM DAN ADAT ACEH

A. Putusnya Hubungan Antara Yang Dipinang Dengan Yang Meminang.

Pinangan merupakan langkah pendahuluan sebelum aqad nikah. Seringkali

sesudah diikuti dengan memberikan pembayaran mas kawin seluruh atau sebahagian

dan memberikan macam-macam hadiah serta pemberian-pemberian guna

memperkokoh pertalian dan hubungan yang masih baru itu.

Sebenarnya pinangan itu semata-mata baru merupakan perjanjian hendak

melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi aqad nikah. Dan membatalkannya

adalah menjadi hak dari masing-masing pihak yang tadinya telah mengikat perjanjian.

Terhadap orang yang menyalahi janjinya, Islam tidak menjatuhkan hukuman materiil,

sekalipun perbuatan ini dipandang amat tercela dan dianggap sebagai salah satu dari

sifat-sifat kemunafikan, terkecuali kalau ada alasan-alasan yang benar yang menjadi

sebab tidak dipatuhinya perjanjian tadi.134 Dalam sebuah Hadis Shahih, Rasulullah

SAW bersabda, yang artinya: “sifat orang munafik itu ada tiga: Apabila berbicara

dusta, bila berjanji menyalahi, dan bila dipercaya khianat.”135

Abdullah bin Umar ketika menghadapi maut berkata: lihatlah si Fulan (sambil

menunjuk seorang laki-laki suku Quraisy) bahwa saya telah pernah berkata

kepadanya tentang anak putriku yang dapat dikatakan sebagai janji, dan aku tidaklah

134
Sayyid Sabiq, Op.cit., hal. 45.
135
Ibid.

76

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


77

senang akan menghadap kepada Tuhan sambil membawa sepertiga sifat

kemunafikan. Karena itu saksikanlah bahwa sekarang saya kawinkan putriku dengan

dia.136

Putusnya peminangan terjadi sebab pembatalan dari salah satu pihak atau

kesepakatan diantara keduanya. Peminangan juga usai jika salah satu pasangan ada

yang meninggal dunia. Peminangan merupakan permohonan seorang pria kepada

seorang wanita agar bersedia untuk menjadi istrinya. Peminangan yang telah diterima

tidak menimbulkan suatu ikatan yang mengharuskan untuk melanjutkan peminangan

itu dalam ikatan perkawinan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam peminangan,

berhak untuk membatalkan peminangan secara sepihak, baik karena suatu alasan

yang jelas atau tidak.

Apabila seorang perempuan membatalkan pinangan karena ada lelaki lain

yang meminangnya, lalu ia menikah dengan peminang kedua, maka perbuatan wanita

tersebut haram namun pernikahannya tetap sah.

Khitbah adalah komitmen untuk berakad nikah. Menurut mayoritas ulama,

komitmen tersebut tidak mengharuskan seseorang untuk melakukan akad, hanya

sebagian kecil ulama yang mengharuskan komitmen itu dibuktikan dengan akad yang

dijanjikannya, karena hukum menepati janji adalah wajib. Sebagaimana firman Allah

dalam surat As-Saf ayat 3: Artinya: “amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu

mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

136
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


78

Ibnu hajar mengatakan bahwa indikasi kewajiban menepati janji sangat kuat.

Akan tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa menepati janji hukumnya sunnah,

sedangkan lainnya berpendapat bahwa menepati janji merupakan suatu kewajiban.

Peminangan juga termasuk komitmen atau janji untuk melakukan akad, oleh karena

itu membatalkan peminangan makruh menurut mayoritas ulama, dan haram menurut

sebagian lainnya. Hal ini berlaku jika pembatalan tersebut tidak disertai dengan

alasan yang jelas, jika pembatalan peminangan memiliki sebab-sebab yang jelas,

maka hukumnya mubah.

Syaih Nada Abu Ahmad mengatakan bahwa jika wali dari seorang wanita

melihat kemaslahatan dalam pembatalan peminangan, maka ia boleh menarik

kembali janji untuk menikahkan anaknya. Bahkan wanita itu sendiri juga berhak

untuk membatalkan pinangan jika ia tidak suka dengan peminang. Pernikahan adalah

ikatan seumur hidup, karena wanita yang akan menikah harus berhati-hati dalam

menentukan keberuntungan dirinya sendiri, termasuk dalam hal memilih pasangan

yang sesuai dengan dirinya.137

Wali atau tunangan yang menarik kembali janjinya tanpa suatu alasan yang

jelas hukumnya makruh, namun tidak sampai haram. Perumpamaannya adalah seperti

seorang pembeli yang telah menawar barang namun tidak jadi membelinya. Seorang

peminang juga makruh untuk membatalkan peminangan jika wanita tersebut telah

tertarik pada dirinya.

137
http://perdata-islam-blogspot.com/2013/01/peminangan-dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


79

Dalam hukum adat, suatu ikatan pertunangan yang persetujuannya ditetapkan

oleh orang tua-tua, mengikat kedua belah pihak, orang tua dan kerabatnya masing-

masing.138 Menurut Bapak Badruzzaman Ismail, latar belakang yang menyebabkan

putusnya ikatan pertunangan antara lain adalah dikarenakan hal-hal sebagai

berikut:139

a. Salah satu pihak atau kedua belah pihak, baik si pria dan si wanita yang

bertunangan ataupun kerabat mereka “ mungkir janji”, tidak memenuhi

perjanjian untuk mengikat perkawinan, misalnya di dalam masa pertunangan itu

terjadi si pria melakukan pertunangan atau perkawinan dengan wanita lain atau si

wanita berlarian untuk kawin dengan orang lain atau dikawinkan dengan orang

lain. Demikian pula apabila salah satu pria atau wanita meninggal dunia.

b. Salah satu pihak atau kedua pihak, menolak untuk meneruskan pertunangan

dikarenakan adanya cacat, cela pribadi dari pria dan wanita yang bertunangan,

misalnya cacat, cela, sifat, watak, perilaku, budi pekerti dan kesehatannya.

Termasuk cacat, cela orang tua/keluarga dan kerabat salah satu pihak, sebagai

akibat penilaian selama masa pertunangan.

c. Selain salah satu pihak menolak untuk diteruskan ikatan pertunangan

dikarenakan pihak yang melamar tidak mampu memenuhi permintaan pihak yang

dilamar atau sebaliknya, pihak yang dilamar merasa permintaannya tidak (dapat)

dipenuhi oleh pihak yang melamar.

138
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 64.
139
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
tanggal: 25 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


80

d. Terjadinya pelanggaran-pelanggaran adat yang dilakukan oleh salah pihak

sehingga menyebabkan timbulnya perselisihan selama berlakunya masa

pertunangan diantara para pihak, baik yang sifatnya pelanggaran kesopanan dan

kesusilaan maupun perbuatannya dapat dituntut berdasarkan K.U. H Pidana.

Akibat putusnya pertunangan, maka yang telah memberi barang-barang

pertunangan berhak menuntut kembali barang-barang tersebut dan pihak yang telah

menerima berkewajiban mengembalikannya sebagai wujudnya semula atau

mengganti kerugian dengan nilai harga yang sama atas barang-barang pertunangan

yang tidak dapat lagi dikembalikan dalam wujudnya semula.140

Adakalanya terjadi dimana kerabat pria malu menarik kembali barang-barang

pertunangan yang telah diberikannya kepada pihak wanita, dikarenakan kesalahan

dari pihak pria sendiri tidak meneruskan ikatan pertunangan atau terjadi sebaliknya

pihak wanita atas persetujuan bersama kedua pihak tidak mengembalikan barang-

barang pertunangan yang telah diberikan, atau hanya dikembalikan sebahagian saja,

dan kedua pihak mempererat tali persaudaraan mereka.141

Yang terjadi di Aceh Pidie sekarang ini, sifatnya kasuistis. Maksudnya antara

satu kasus dengan kasus lainnya sangatlah berbeda, tergantung pada orangnya.

Menurut saudara SMN yang dibatalkan pertunangan oleh keluarga Ahkyar karena

Akhyar yang telah bertunangan dengan SMN di Aceh Pidie dan ternyata menikah

dengan wanita lain di Pekanbaru. Karena merasa harga dirinya direndahkan oleh

140
Ibid., hal. 66.
141
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


81

pihak keluarga Akhyar maka pihak keluarga SMN tidak mau menerima emas tanda

pertunangan dari akhyar walaupun akhyar yang berbuat salah dan membatalkan

pertunangan. Keluarga SMN mengembalikan emas tanda pertunagannya kembali.

Tetapi yang di kembalikan bukan 2x lipat, melainkan sebanyak emas yang dibawa

pihak laki-laki pada saat ba tanda berjumlah 2 mayam, yang dikembalikan hanya

emasnya saja sedangkan bawaan lainnya tidak dikembalikan.142

Dalam kasus saudara SMN ini walaupun menurut hukum adat yang berlaku di

Aceh apabila pihak laki-laki yang membatalkan peminangan, pihak perempuan tidak

diharuskan mengembalikan barang bawaan laki-laki. Pihak perempuan tersebut

dibenarkan untuk memiliki barang yang telah diserahkan oleh pihak laki-laki pada

saat peminangan,akan tetapi karena merasa sakit hati dan harga dirinya direndahkan,

keluarga perempuan tetap mengembalikan bawaan laki-laki. Tetapi yang

dikembalikan hanya barang yang masih ada yaitu emas tanda pertunangan.

Sedangkan barang-barang lain yang sudah tidak ada lagi seperti bahan makanan yang

sudah dimakan dan barang pakain yang sudah dipakai tidak dikembalikan lagi. Jadi

disini jelas bahwa pada kasus-kasus tertentu aturan hukum adat tidak berlaku penuh,

para pihak –pihak yang terlibat dalam peminangan tersebut bisa juga

megesampingkan aturan hukum adat sebatas hal tersebut dalam kewajaran dan tidak

melanggar hukum agama.

142
Wawancara dengan saudara SMN (yang pernah dibatalkan pertunangan), Desa
Meunasah Tijue, Kemukiman Tijue, Kecamatan Pidie, tanggal: 28 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


82

B. Sanksi Yang Diberikan Bila Terjadi Pembatalan Peminangan.

Adat selain bermakna dengan adat istiadat, juga merupakan norma, kaidah

yang mengandung nilai-nilai hukum. Bagi masyarakat adat, sulit memisahkan

pengertian Adat yang bersifat hukum (hukum adat) dengan pengertian yang bersifat

perbuatan prilaku yang tetap/tradisioanl. Namun kejelasan itu akan terlihat dalam

penyelesaian masalah bila ada kasus-kasus adat yang terjadi dalam masyarakat.

Adat/hukum adalah suatu norma yang mengandung sifat dan nilai-nilai hukum dalam

tatanan perilaku kehidupan masyarakat, dipanuti, dipatuhi untuk ketertiban,

kerukunan dan kesejahteraan masyarakat, dimana bagi siapa saja yang melanggar

adat (hukum adat) akan diberikan sanksi hukum. Hukuman yang dijatuhkan oleh

pimpinan adat/ ketua adat, berdasarkan hasil keputusan musyawarah, berazaskan

nilai-nilai kepatutan, kelayakan dan keseimbangan dengan mendahulukan prinsip-

prinsip damai sebagai suatu landasan mekanisme mewujudkan keadilan. Prinsip

utama yang digunakan adalah “damai” untuk membangun keseimbangan

(equilibrium) dalam masyarakat, beralaskan nilai-nilai konpensasi. Adat sebagai

norma/kaidah hukum diaktualkan dalam sistem penyelesaian berbagai persengketaan

dalam masyarakat melalui lembaga penegakan hukum adat/peradilan adat/lembaga

damai yang mengandung sanksi di gampong-gampong dan mukim (asas: cepat, murah

dan sederhana). Kedua makna adat itu, dalam realiatas kehidupan sosiologis

masyarakat Aceh di gampong-gampong dan mukim menjadi pilar dalam penegakan

norma-norma adat dalam simbol “peukong pageu gampong”.143

143
H. Badruzzaman Ismail, Panduan Adat Dalam Masyarakat Aceh, Majelis Adat Aceh,
2009, hal. 7.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


83

Adat Aceh mengacu pada 4 (empat) sumber klasifikasi adat, yaitu ;

1. Adatullah, yaitu hukum adat yang bersumber hampir seluruhnya (muthlak) pada

hukum Allah (al Qur’an dan al hadis).

2. Adat Tunnah, yaitu adat istiadat sebagai manifestasi dari Kanun dan Reusam

yang mengatur kehidupan masyarakat.

3. Adat Muhakamah, yaitu hukum adat yang dimanifestasikan pada asas

musyawarah dan mufakat.

4. Adat Jahiliyah, yaitu adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat yang

kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun masih ada yang

digemari oleh masyarakat.

Diwaktu terjadi peminangan (ba tanda) di Aceh selalu diiringi dengan

perjanjian diantara peminang dengan orang tua perempuan. Perjanjian itu dalam

bentuk mahar atau mas kawin dan bawaan lain yang dibawa oleh peminang untuk

keluarga perempuan yang dipinang.

Isi perjanjian, semua bawaan dan mahar yang telah diserahkan pada waktu

meminang (ba tanda) akan menjadi milik perempuan yang dipinang, bila pembatalan

peminangan tersebut dilakukan oleh pihak peminang (laki-laki). Akan tetapi bila

pembatalan peminangan (ba tanda) itu dilakukan oleh pihak perempuan yang

dipinang maka perempuan tersebut harus membayar 2x (dua kali) lipat atau lebih

kepada pihak laki-laki sesuai dengan perjanjian yang diucapkan pada waktu

meminang. Perjanjian atau kesepakatan itu didengar dan disaksikan oleh mereka

yang hadir pada acara meminang (ba tanda) tersebut.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


84

Pada masa pertunangan ini apabila si pria menarik diri atau membatalkan

pertunangannya maka emas yang dibawa pada saat ba tanda tersebut akan hangus,

akan tetapi apabila pihak perempuan yang menarik diri atau membatalkan

pertunangan, maka mas tanda pertunangan tersebut dikembalikan dengan ganda dua

(2x lipat).

Di daerah Aceh Pidie emas yang diberikan sebagai tanda kong haba ada yang

menjadi bahagian dari mahar yang akan diperhitungkan kembali nanti pada waktu

meugatib (nikah), dan ada yang tidak termasuk bahagian dari mahar.

Apabila selama masa pertunangan salah satu pihak ingkar janji atau

mengundurkan diri dengan berbagai alasan, maka upaya yang ditempuh adalah

penyelesaian menurut hukum adat. Penyelesaian sengketa melalui mekanisme hukum

adat dapat dilakukan melalui musyawarah yang mengambil bentuk mediasi,

negosiasi, fasilitasi. Ketiga model penyelesaian sengketa ini sering dipraktikkan

masyarakat adat dalam menyelesaikan sengketa mereka. Para tokoh adat menjalankan

fungsinya sebagai mediator, fasilitator dan negosiator. Dalam praktiknya para tokoh

adat umumnya menggunakan pendekatan ini secara bersama-sama, terutama dalam

menyelesaikan sengketa privat maupun publik.144

Tokoh adat mendominasi penyelesaian sengketa melalui mediasi , karena

dalam sistem hukum adat tidak membedakan hukum privat dan publik, mediasi

dilakukan pada dua lapangan hukum ini. Hal ini berbeda dengan sistem hukum yang

144
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal. 249.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


85

berlaku di Indonesia yang mana mediasi hanya digunakan sebagai alternatif

penyelesaian sengketa dalam kasus-kasus perdata.145

Cara dan pola penyelesaian konflik yang berasal dari syariat Islam

diterjemahkan oleh masyarakat Aceh dalam bingkai adat, sehingga tampak adanya

pergeseran secara tekstual antara yang tertulis dalam doktrin syariah, dengan apa

yang dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Kenyataan ini bukanlah

sesuatu yang bertentangan dengan syariat, akan tetapi mewujudkan makna syariat

melalui perangkat dan institusi adat dan budaya.146

Dalam masyarakat hukum adat, mediasi cenderung tidak dituangkan dalam

bentuk kesepakatan tertulis karena terkait dengan kebiasaan tulis-menulis yang

terbatas dikalangan masyarakat adat. Bagi masyarakat hukum adat, kesepakatan

bersama yang dibuat para pihak yang bersengketa merupakan pencapaian tertinggi

manusia dalam mengelola atau mengontrol nafsu amarahnya. Karena dalam mediasi,

mengharuskan para pihak sama-sama mundur selangkah guna sama-sama mencapai

kemenangan. Ciri masyarakat hukum adat tergambar dari nilai kesederhanaan dan

kebersahajaan dalam perilaku sehari-hari. Kesederhanaan dan kebersahajaan,

terwujud bila individu memiliki pribadi yang bersih dari sifat rakus, menang sendiri,

dan tidak menghargai hak-hak orang lain.147

145
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1992, hal. 247.
146
Syahrizal Abbas, Op.cit., hal. 252.
147
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


86

Menurut Bapak Badruzzaman Ismail, penyelesaian sengketa yang

kesepakatannya cenderung tidak dituangkan dalam bentuk tertulis, tetapi dalam

kenyataannya cukup berhasil dilaksanakan oleh para pihak disebabkan oleh faktor :

Penyelesaian sengketa yang disepakati para pihak diberitahukan kepada seluruh

masyarakat hukum adat, dimana para pihak yang selama ini bersengketa telah

menempuh jalur damai. Perdamaian yang dibuat keduanya dibungkus dalam upacara

adat, yang melibatkan tokoh dan keluarga besar dari kedua belah pihak.

Prosesi ini amat penting untuk dijadikan momentum dimana seluruh

masyarakat mengetahui bahwa diantara para pihak tidak ada lagi persengketaan.

Prosesi yang melibatkan tokoh adat dan masyarakat, menjadi pengontrol bagi

pelaksanaan hasil mediasi. Tokoh adat juga akan mudah dalam memantau dan

menemukan kendala-kendala yang dihadapi oleh para pihak dalam melaksanakan isi

kesepakatan.

Pelaksanaan hasil mediasi dalam praktik masyarakat adat, bukan hanya

semata-mata menjadi tanggung-jawab para pihak yang bersengketa, tetapi juga

terlibat para tokoh adat yang telah bertindak sebagai mediator. Pada sisi lain keluarga

besar para pihak yang bersengketa, dapat juga menjadi pendorong bagi memudahkan

realisasi kesepakatan mediasi. Keluarga besar para pihak akan malu, bila diketahui

oleh masyarakat bahwa mereka adalah penghambat dari mulusnya pelaksanaan hasil

mediasi. Oleh karena itu, kontrol masyarakat menjadi amat penting dalam

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


87

pelaksanaan hasil mediasi. Hal ini mengingatkan kembali bahwa masyarakat dapat

melakukan intervensi, jika hasil mediasi tidak dilaksanakan dengan baik.148

Menurut saudara MHD, sekarang ini yang terjadi dalam masyarakat Aceh

Pidie, bahwa yang bertindak sebagai mediator adalah tokoh adat atau ulama. Di

daerah Aceh, sebahagian besar ulama di Aceh adalah tokoh adat, karena adat dan

agama menyatu dalam kehidupan masyarakat Aceh. Para tokoh adat dan agama yang

bertindak sebagai mediator memiliki arti penting bagi pihak yang melakukan

kesepakatan mediasi, karena mereka memberikan kepercayaan penuh kepada tokoh

adat atau ulama dalam menjalankan mediasi. Sebagai tokoh yang mendapat

kepercayaan para pihak, maka para tokoh adat dan ulama yang dihormati atau

disegani tersebut, akan menjadi penggerak yang memudahkan para pihak

melaksanakan hasil mediasi. Para pihak akan merasa malu jika kesepakatan-

kesepakatan yang telah mereka ucapkan dihadapan tokoh adat dan ulama, mereka

ingkari kembali dengan tidak melaksanakan hasil kesepakatan tersebut. Dalam

masyarakat hukum adat, jika kesepakatan damai para pihak sudah diikrarkan

dihadapan tokoh adat, apalagi dilakukan pada suatu upacara adat, maka kesepakatan

tersebut harus dilaksanakan dengan segera. Bila salah satu pihak mengingkari atau

tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi, maka pihak tersebut akan mendapatkan

sanksi adat dari masyarakat hukum adat. Sanksi ini sangat tergantung pada sejauh

mana tingkat pengingkaran terhadap kesepakatan, dan tergantung pada dampak yang

148
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
tanggal: 25 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


88

ditimbukan oleh pengingkaran tersebut kepada nilai-nilai sosial dalam masyarakat

hukum adat. Bentuk-bentuk sanksi yang diberikan kepada pihak yang tidak bersedia

melaksanakan hasil mediasi dapat berupa pengucilan dari kegiatan sosial, dan bahkan

sampai kepada pengusiran dari komunitas hukum adat (gampong). Penjatuhan sanksi

kepada para pihak tidak dilakukan secara serta-merta, tetapi dilakukan setelah proses

negosiasi guna merealisasikan hasil mediasi yang dilakukan oleh tokoh adat.149

Sanksi-sanksi ini diberikan atas pertimbangan bahwa pengingkaran

kesepakatan damai atau tidak bersedia merealisasikan kesepakatan merupakan bentuk

perlukaan nilai dan rasa keadilan masyarakat hukum adat. Rasa keadilan masyarakat

harus dijunjung tinggi dan bila ada pihak yang mencoba untuk merusaknya, maka

seluruh potensi masyarakat adat harus digunakan untuk mempertahankan nilai itu.

Penjatuhan nilai sanksi tersebut diberikan oleh tokoh adat.

C. Pengembalian Barang Bawaan Apabila Dilakukan Pembatalan

Peminangan.

Mahar yang telah diberikan oleh peminang kepada pinangannya berhak

diminta kembali, bilamana aqad nikahnya tidak jadi karena mahar diberikan sebagai

ganti dan imbalan perkawinan. Selama perkawinan itu belum terlaksana maka pihak

perempuan belum mempunyai hak sedikitpun terhadapnya dan wajib ia

mengembalikan kepada pemiliknya, karena barang itu dialah yang punya. Adapun

pemberian-pemberian dan hadiah-hadiah yang telah diberikannya hukumnya sama

149
Wawancara dengan MHD, Desa Tibang, Kemukiman Asan, Kecamatan Pidie, Tanggal 1
April 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


89

dengan hibah. Secara hukum hibah itu tidak boleh diminta kembali, karena

merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian dari

sesuatu.150

Bilamana barang yang diberikan telah diterima berarti sudah jadi miliknya

dan ia boleh menggunakannya menurut kemauannya. Bilamana pemberinya meminta

kembali berarti merampas milik orang yang diberi tanpa keridhaannya. Dan

perbuatan semacam ini menurut hukum maupun adat kebiasaan tidak boleh. Tetapi

bila itu diberikan sebagai imbalan dari sesuatu yang akan diterimanya dari penerima

barang, tetapi kemudian tidak dipenuhi maka pemberiannya itu boleh diminta

kembali. Pemberi barang disini mempunyai hak meminta, karena barang yang

diberikan tadi adalah sebagai imbalan dari sesuatu yang akan diterima. Jadi bilamana

perkawinannya ternyata dibatalkan maka pihak peminang berhak meminta kembali

barang-barang yang telah dihibahkannya. Hal ini didasarkan kepada :

1. Riwayat Ash-habus Sunan (Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Nasa’i) dari Ibnu

Abbas, Rasulullah telah bersabda, yang artinya:

“tidak halal seorang yang telah memberikan sesuatu, atau menghibahkan sesuatu

lalu meminta kembali barangnya, kecuali ayah terhadap anaknya”.151

2. Dari Ibnu Abas, Rasulullah SAW telah bersabda, yang artinya:

“orang yang menarik kembali barang yang diberikannya, adalah laksana orang

yang menarik kembali sesuatu yang dimuntahkannya.”152

150
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 6, (Terjemahan), PT. Alma’arif, Bandung, hal. 46.
151
Ibid.
152
Ibid., hal. 47.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


90

3. Dari Salim, dari bapaknya, Rasulullah SAW telah bersabda, yang artinya :

“Barang siapa memberikan hibah, maka dia masih tetap lebih berhak terhadap

barangnya, selama belum mendapat imbalannya”.153

Hadits-hadits yang saling bertentangan tersebut di atas, jalan untuk

mengkompromikannya sebagaimana dikatakan dalam kitab I’lamul Muqin’in adalah

sebagai berikut: Pemberi hibah yang tidak halal meminta kembali barangnya,

bilamana ia berikan sesuatu derma sukarela, bukan untuk suatu imbalan. Sedang

pemberi hibah yang masih tetap ada hak minta kembali barangnya, bilamana hibah

yang diberikanya sebagai imbalan sesuatu yang akan diterimanya, tetapi kemudian

penerima hibah tidak memenuhi janjinya. Dengan demikian semua hadis di atas dapat

kita pakai pada tempatnya dan tidak bertentangan satu sama lain.154

Praktek-praktek yang dijalankan pada Pengadilan- pengadilan (Mesir)

berdasarkan kepada Madzhab Hanafi yang mengatakan segala hadiah oleh pihak laki-

laki kepada pinangannya berhak untuk diminta kembali selagi barangnya masih utuh,

tidak berubah sesuatu pun. Seperti: kalung atau cincin, gelang atau jam dan lain

sebagainya, dapat dikembalikan kepada peminangnya kalau barang itu masih ada.

Jika barang-barangnya sudah tidak utuh lagi, umpama karena hilang atau dijual atau

dirobah atau ditambah sedikit, atau kalau merupakan bahan makanan sudah dimakan,

atau bahan pakaian sudah dipotong menjadi baju, maka peminang tidak ada hak untuk

meminta kembali barang yang sudah dihadiahkannya atau minta ganti yang lain.155

153
Ibid.
154
Ibid.
155
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


91

Pengadilan Agama tingkat pertama di kota thantha (Mesir) pernah

menjatuhkan keputusan terakhirnya bertanggal 13 Juli 1933 yang didalamnya

menyatakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

1. Segala yang diberikan oleh peminang kepada pinangannya, diluar barang-barang

yang dimaksudkan bagi akad nikad, dianggap sebagai hadiah.

2. Barang-barang hadiah, hukum dan pengertiannya sama dengan barang hibah.

3. Barang-barang hibah, merupakan ikatan pemberian yang menjadi milik

penerimanya sejak barang itu diterima. Dan bagi penerimanya ia berhak

sepenuhnya terhadap barang hibahan tadi untuk dijual belikan dan sebagainya,

dan sifat penggunaannya, juga mutlak (bebas).

4. Barang hibah yang telah rusak atau habis dipergunakan tak dapat lagi diminta

kembali.

5. Pemberi hibah berhak meminta kembali barang hibahnya, selama barangnya

masih utuh.156

Salah satu pihak dalam peminangan terkadang memberikan sesuatu pada

pihak lainnya. Ulama sepakat jika pemberian tersebut berupa mahar, maka peminang

boleh memintakan mahar itu secara mutlak, baik pemutusan tersebut dari pihak

wanita, laki-laki, maupun kedua belah pihak. Wanita tidak bisa memiliki mahar

selama akad belum dilaksanakan secara sempurna sehingga peminang boleh

memintanya kembali dalam segala kondisi.

156
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


92

Apabila mahar itu masih ada, maka wajib dikembalikan. Sedangkan apabila

barangnya telah habis, maka wajib diganti ataupun diuangkan. Ulama hanafiyah

berpendapat bahwa hadiah yang diberikan dalam peminangan hukumnya sama

dengan hibah. Peminang dapat menarik kembaki kecuali barang tersebut sudah rusak

atau tidak ada.

Ulama syafi’iyah menyatakan bahwa hadiah wajib dikembalikan jika

barangnya masih ada, atau dikembalikan persamaan atau harganya jika barangnya

telah rusak atau lebur, baik pemutusan pinangan itu berasal dari pihak wanita maupun

dari pihak lelaki.157

Ulama malikiyah berpendapat bahwa pihak yang memutuskan tidak boleh

meminta kembali pemberiannya, baik barangnya masih ada maupun sudah tidak ada

lagi. Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang tidak menggagalkan

pinangan. Dia berhak menerima barangnya jika masih ada, atau menerima harganya

jika barang pemberiannya sudah tidak ada.158

Pendapat ulama malikiyah ini cukup logis, karena tidak selayaknya bagi

wanita yang tidak menggagalkan mendapat dua beban, yaitu ditinggal dan beban

untuk mengembalikan hadiah, dan tidak selayaknya pula bagi lelaki yang tidak tidak

meninggalkan mendapat dua kerugian, yaitu ditinggalkan seorang wanita dan

memberikan harta tanpa imbalan.

157
Ibid.,hal: 48.
158
Ibid.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


93

Menurut saudara SST (bukan nama Sebenarnya) yang pernah melakukan

pembatalan peminangan. Pembatalan pertunangan dilakukan oleh orang tua

perempuan dengan diketahui oleh geuchik (kepala desa) mendatangi pihak orang tua

dari laki-laki. Pada saat pembatalan peminangan Pihak perempuan mengembalikan

emas bawaan laki-laki sebanyak 8 mayam. Dimana pada saat tunangan disepakati

maharnya berjumlah 16 mayam. Emas tanda pertunangan diserahkan sebanyak 4

mayam, dan bawaan lain baik itu makanan dan pakaian sebanyak 6 talam.159

Dalam kasus SST ini pengembalian yang dilakukan oleh pihak perempuan

sebanyak 2x lipat. Yang dikembalikan 2x lipat ini hanya barang emas tanda

pertunangan saja, sedangkan barang makanan dan pakaian yang dibawa pihak laki-

laki pada saat peminangan tidak dikembalikan laki. Jadi di Aceh berlaku juga bahwa

hanya barang yang masih ada saja yang harus di kembalikan, barang yang sudah tidak

ada lagi bisa saja dalam kasus-kasus tertentu tidak di kembalikan. Tetapi ini juga

tergantung setuju atau tidaknya pihak laki-laki. Jika pihak laki-laki juga tetap

meminta barang-barang yang telah dimakan atau dipakai untuk dikembalikan, pihak

perempuan harus mengembalikan nilai barang tersebut dengan harga sekarang,

barang tersebut dihargakan berapa jumlah nilai rupiahnya. Pihak perempuan

mengembalikan nominal uangnya.

Menurut saudara BRH (bukan nama sebenarnya) pertunangan tersebut

dilakukan atas kemauan orang tua pihak laki-laki. Saudara BRH sendiri pada saat itu

tidak berada di Aceh, karena sedang bekerja di luar Aceh. Ibu dari saudara BRH ini

159
Wawancara dengan SST, Desa Kampoeng Baroe, Kemukiman Kampoeng Baroe,
Kecamatan Pidie, tanggal: 23 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


94

ingin anaknya segera menikah, maka ibunya melamar dewi. Pada saat lamaran

tersebut saudara BRH tidak ikut. Sudara BRH tidak pernah melihat maupun bertemu

langsung dengan saudari Dewi, ia hanya dikirim foto Dewi oleh orang tuanya.

Setelah masa pertunagan 6 bulan sudara BRH pulang ke Aceh dan dipertemukan

dengan Dewi. Saudara BRH tidak tertarik dengan Dewi. Karena alasan itulah maka

Saudara BRH meminta kepada ibunya untuk membatalkan peminangan. Pada saat

peminangan tersebut orang tuanya menyerahkan 2 mayam emas tanda pertunangan.

Karena pembatalan peminangan dilakukan oleh pihak laki-laki,maka bawaan emas

sebanyak 2 mayam tersebut tidak di minta kembali (hangus).160 Dalam kasus saudara

BRH aturan hukum adat diberlakukan. Karena pihak laki-laki yang membatalkan,

maka dia dikenakan sanksi adat yaitu tidak boleh meminta kembali barang

bawaannya, baik emas tanda pertunangan maupun barang lain menjadi hak pihak

perempuan.

Menurut saudara ERN (bukan nama sebenarnya). Pihak keluarga perempuan

yang melakukan pembatalan peminangan, karena pada saat pertunangan disepakati

bahwa mereka akan menikah tahun depan. Akan tetapi setelah satu tahun berjalan

pihak laki-laki belum mau menikah. Dengan alasan belum siap, padahal orang tua

ERN mengetahui kalau Budi ada berpacaran dengan perempuan lain. Pihak Budi

tidak mau membatalkan peminangan. Karena waktu telah berjalan lama, maka pihak

keluarga perempuan yang membatalkan peminangan dan mengembalikan emas tanda

pertunangan sebanyak 4 mayam dan di ganti 8 mayam.161

160
Wawancara dengan BRH (yang pernah melakukan pembatalan peminangan) Desa Cot
Rheng, Kemukiman Asan, Kecamatan Pidie, Tanggal: 23 Maret 2015.
161
Wawancara dengan sdr. ERN (yang pernah melakukan pembatalan peminangan) Desa
Teubeung Dayah, Kemukiman Teubeung, Kecamatan Pidie. Tanggal: 26 Maret 2015.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


95

Dalam kasus saudara ERN walaupun penyebab berasal dari pihak laki-laki,

akan tetapi karena pihak perempuan yang membatalkan maka konsekwensinya pihak

perempuan harus mengembalikan bawaan pihak laki-laki pada saat peminangan juga

harus membayar sanksi yang ditentukan dalam hukum adat. Pihak keluarga ERN

harus mengembalikan sebanyak 2x lipat.

Berdasarkan pemaparan para responden diatas bahwa masyarakat Aceh

khususnya yang berada di Kecamatan Pidie masih menjalankan aturan hukum adat

dimana didalam hukum adat menentukan apabila pihak laki-laki yang melakukan

pembatalan peminangan maka bawaan laki-laki dan emas tanda peminangan yang

dibawa pada saat peminangan menjadi hangus, akan tetapi apabila pihak perempuan

yang melakukan pembatalan peminangan harus menganti emas tanda pertunangan

yang dibawa laki-laki pada saat peminangan sebanyak 2x lipat. Disini tidak melihat

apa sebab salah satu pihak melakukannya pembatalan peminangan, yang

dipentingkan disini adalah pihak mana yang membatalkan peminagan maka pihak

itulah yang harus menjalankan sanksi yang ditentukan oleh hukum adat.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Aturan tentang peminangan telah diatur hukum Islam, baik dalam Al-Qur’an

maupun al-Hadits. Dalam Al- Qur’an surat al- Baqarah ayat 235, yang menjadi

dasar dari peminangan. Selain Al-Qur’an, hukum tentang peminangan pun ada

diatur dalam Hadist Rasulullah Muhammad SAW, yaitu dalam sunnah qauliyah,

sunnah fi’liyah serta dalam sunnah taqririyah. Dalam Kompilasi Hukum Islam

sangat sedikit sekali mengatur mengenai peminangan. Masalah peminangan

hanya diatur dalam Bab III Pasal 11, 12 dan 13. Masyarakat Aceh telah

mempraktekan peminangan sejak masa kerajaan Sultan Iskandar Muda namun

sampai sekarang pun belum ada Qanun yang mengatur tentang itu walaupun

masyarakat telah mempraktekkan peminangan itu secara luas, terutama untuk

masyarakat Aceh Pidie dan Aceh Besar.

2. Tata cara peminangan dalam adat Aceh Pidie adalah pihak keluarga laki-laki

yang akan meminang seorang gadis selalu melibatkan aparat desa untuk

bermusyawarah membicarakan tata cara dan kewajiban yang akan dipenuhi,

demikian juga tentang perjanjian yang akan dibuat pada waktu peminangan.

Begitu juga dengan pihak perempuan, melibatkan aparat desanya dalam

menyambut kedatangan rombongan pihak laki-laki, disamping itu juga mereka

melibatkan Majelis Adat Aceh dan ulama setempat dalam hal perjanjian atau

96

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


97

kesepakatan yang mereka buat berdasarkan adat Aceh. Perjanjian yang dibuat

oleh kedua belah pihak ini disaksikan oleh aparat desa yang hadir dari kedua

belah pihak untuk mendapatkan kekuatan hukum atas perjanjian yang mereka

buat. Di dalam Al- Qur’an dan Sunnah hanya menyebutkan tentang perintah

meminang, tetapi tidak menentukan tentang bagaimana tata cara peminangan itu.

Dalam hukum Islam tentang tata cara peminangan tersebut diserahkan kepada

budaya masing-masing daerah yang tentunya sejalan dengan hukum Islam.

3. Akibat hukum dari pembatalan peminangan menurut hukum Islam adalah segala

hadiah yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pinangannya berhak untuk

diminta kembali selagi barangnya masih utuh, tidak berubah sesuatu pun dapat

dikembalikan kepada peminangnya kalau barang itu masih ada. Jika barang-

barangnya sudah tidak utuh lagi, maka peminang tidak ada hak untuk meminta

kembali. Adapun akibat dari pembatalan peminangan menurut adat Aceh adalah

jika pihak laki-laki atau calon suami mungkir janji (tidak mau kawin lagi) maka

hilanglah semua barang-barang bawaan dan emas tanda pertunangan yang telah

diserahkan kepada pihak calon istri. Jika si wanita atau calon istri mungkir janji

(tidak mau kawin lagi) maka pihak wanita harus membayar 2x lipat dari barang-

barang yang telah diterimanya. Seperti jika pada saat peminangan pihak laki-laki

membawa 2 manyam emas maka harus dikembalikan sebanyak 2x lipat yaitu

sebanyak 4 manyam.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


98

B. Saran

1. Perlu ditingkatkan pengawasan dan penyadaran tentang pertunangan karena

dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia sangat minim

sekali mengatur masalah pertunangan, diharapkan kepada orang-orang yang

melakukan pertunangan tetap mengacu kepada aturan agama masing-masing dan

selalu berpegang kepada komitmen sesuai dengan kesepakatan dan perjanjian

yang telah mereka sepakati.

2. Tata cara peminangan pada masyarakat Aceh masih mengacu pada aturan hukum

adat yang bersumber dari aturan hukum Islam. Sebaiknya tata cara-cara

peminangan itu harus tetap dipertahankan sebagai tradisi yang harus terus

dijalankan dan dilestarikan dalam masyarakat adat Aceh.

3. Sebaiknya di masa yang akan datang, kesepakatan pertunangan jangan hanya

dibuat secara lisan saja, tetapi dilaksanakan secara otentik (dicatatkan), sehingga

apabila ada salah satu pihak yang membatalkan atau wan prestasi dapat

ditentukan sanksi-sanksi sesuai dengan kesepakatan yang mereka catatkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abbas, Syahrizal, 2011, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, Jakarta, Prenada Media Group.

Adhim, M.Fauzil, 2000, Saatnya Untuk Menikah, Jakarta, Gema Insani Press.

Al- Bukhari, 1994, Shahibul Al-Bukhari : Kitab Al-Nikah, Dar Al-Fikr, Beirut.

Al-Athar, Abd. Nashir Taufik , 2001, Saat Anda Meminang, Jakarta: Pustaka Azam.

Anderson, J.N.D, 1994, Hukum Islam Di Dunia Modern, Yogyakarta, Tiara Wacana.

Ashshofa, Burhan, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta.

Az- Zuhaily, Wahab, 2004, Al- Fiqh al-Islamy wa Adillatuha, Damaskus.

Bungin, Burhan, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologi ke Arah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada.

Endarmoko, Eko, 2006, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta, Gramedia.

Fajar, Mukti, dan Yulianto Ahcmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Hadikusuma, Hilman, 1992, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Bandung,


Mandar Maju.

, 2003, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya,
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.

, 2007, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,


Bandung, CV. Mandar Maju.

Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Bandung, Alumni.

Ismail Badruzzaman dan Daud Sjamsuddin, 2012, Romantika Warna-Warni Adat


Perkawinan Etnis-Etnis Aceh, Majelis Adat Aceh, Provinsi Aceh.

99

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


100

Ismail, H. Badruzzaman, 2009, Panduan Adat Dalam Masyarakat Aceh, Majelis Adat
Aceh, ProvinsiAceh

Jafizham, T., 2006, Persintuhan Hukum Di Indonesia Dengan Hukum Perkawinan


Islam , Jakarta, PT. Mestika

Jamaluddin, H., Hukum Perkawinan 4 Mazhab, 2013, Lembaga Penelitian dan


Pengabdian pada Masyarakat UISU

Jaya, Arsyad Kusuma, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama, Pesan-Pesan


Rasulullah Menuju Pernikahan Yang Barokah, Yogyakarta, Kreasi Wacana.

Lubis, M. Solly, 1994, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju.

Marzuki, Metodologi Penelitian Hukum, Yogyakarta, PT. Prasetia Widya Pratama

Moloeong, Lexy J, 2004, Metode Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakarya

Muhammad, Abu al- Walid bin Ahmad bin Ibn Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd,
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (Semarang: Maktabah Karya
Toha Putra, t.t) jilid : II.

Mukhtar, Kamal, 1995, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Bandung,


Irsyad Baitus Salam.

Munawir, Warso, 1984, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta, PP al-Munawir.

Panel Penulis JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia), 2006, Ayat-Ayat Suruhan,
UTUSAN PRINTCORP SDN. BHD, cet. I.

Proyek Penelitian Dan Pencacatan Kebudayaan Daerah, 1978, Adat Istiadat Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh.

Pusat Penelitian Sejarah Dan Budaya, 1978, Departemen Pendidikan Dan


Kebudayaan, Adat Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh,

Rasjid, Sulaiman, 2001, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Sinar Baru Algensindo.

Rifa’i, M, Ushul Fiqih, Bandung, PT. Alma’arif.

Rusdy, Ibnu, Al Qowanin Al Fiqhiyyah, Darar Fikr. (Terjemahan).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


101

Sabiq, Sayyid, 1978, Fikih Sunnah, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib),


Bandung, PT. Al Ma’arif.

, 1987, Fiqih Sunnah Jilid XI, (Terjemahan, Penerjemah H. Kamaluddin A.


Marzuki), Bandung, PT. Alma’arif.

, 1990, Fiqih Sunnah Jilid 6, (Terjemahan, Penerjemah Drs. Moh. Thalib),


Bandung, PT. Alma’arif.

Shihab, M. Quraish, Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu,i Atas Pelbagai Persoalan


Umat, Jakarta, Penerbit Mizan.

Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Universitas


Indonesia Press.

Soemitro, Ronny Hanitijo, 1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Juritmetri,


Jakarta, Ghalia Indonesia.

Sufi Rusdi dan Wibowo Agus Budi, 2004, Budaya Masyarakat Aceh, Badan
Perputakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Cet. I.

,dkk, 2002, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi


Nanggroe Aceh Darussalam.

, dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.

Sunggono, Bambang, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, PT. Raja


Grafindo.

Suryabrata, Smadi, 1998, Metodologi Penelitian, Jakarta, Raja Grafindo Persada.

Thaib, H. M. Hasballah, 1993, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Fakultas


Hukum Universitas Darmawangsa.

, 2005, Hukum Akad (kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank
Syariah, Program Pasca Sarjana USU.

Waluyo, Bambang, 1996, Metodologi Penelitian Hukum, Semarang, PT. Ghalia


Indonesia.

Zamakhsyari, H., 2013, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih,
Bandung, Citapustaka Media Perintis.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


102

B. Peraturan PerUndang-Undangan:

1. Kompilasi Hukum Islam, Hukum Perkawinan, Waris Perwakafan, Inpres No. 1


Tahun 1991, Penerbit : Karya Anda, Surabaya, Indonesia.

2. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, 2007, Mahkamah Agung Republik


Indonesia, Jakarta.

3. Naskah Akademik, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung


Republik Indonesia.

C. Tesis
Syawal, Putri Rizky, 2012, Tesis : Kekuatan Hukum Kesepakatan Pertunangan
Dalam Masyarakat Adat Melayu Deli Dikaitkan Dengan Ketentuan Hukum
Islam , Mkn-USU, Medan,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Anda mungkin juga menyukai