Pembatalan Peminangan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Adat Aceh (Studi Kasus Di Kecamatan Pidie-Sigli, Nad)
Pembatalan Peminangan Dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam Dan Adat Aceh (Studi Kasus Di Kecamatan Pidie-Sigli, Nad)
TESIS
Oleh
NIDA DESIANTI
137011010/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
TESIS
Oleh
NIDA DESIANTI
137011010/M.Kn
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
Menyetujui
Komisi Pembimbing
Pembimbing Pembimbing
(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)
Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri
bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena
kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi
Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas
perbuatan saya tersebut.
Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan
sehat.
Medan,
Yang membuat Pernyataan
ii
iii
NIDA DESIANTI
Nim : 137011010
iv
I. DATA PRIBADI
Nama : Nida Desianti
Tempat/Tanggal Lahir : Cot Rheng, 28 Desember 1974
Status : Menikah
Agama : Islam
Alamat : Perumahan Tata Alam Asri Jalan Bakti
Indah III Nomor 237, Kec. Helvetia,
Medan
Email : nidadesianti74@gmail.com
IV. PENDIDIKAN
1. Sekolah Dasar : SD Negeri TGK Dianjong, Lulus tahun
1987
2. Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri 2 Sigli, Lulus tahun 1990
3. Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 1 Sigli, Lulus tahun 1993
4. Strata-1 : Fakultas Hukum, Universitas Syiah Kuala,
Lulus tahun 1998
5. Strata-2 : Magister Kenotariatan Program Studi
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara, Tahun 2013
Halaman
ABSTRAK ........................................................................................................... i
ABSTRACT .......................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR......................................................................................... iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................... v
DAFTAR ISI........................................................................................................ vi
DAFTAR ISTILAH ............................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................. 1
A. Latar Belakang Permasalahan ..................................................... 1
B. Permasalahan .............................................................................. 11
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 12
E. Keaslian Penelitian ..................................................................... 12
F. Kerangka Teori dan Konsepsi .................................................... 14
1. Kerangka Teori ................................................................... 14
2. Konsepsi .............................................................................. 18
G. Metodologi Penelitian ................................................................ 20
BAB II PENGATURAN HUKUM PEMINANGAN DALAM FIQIH
ISLAM DAN KOMPILASI HUKUM ISLAM.............................. 28
A. Dasar Hukum Peminangan Dalam Islam ................................... 28
B. Peminangan Dalam Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam .. 36
C. Hak dan Kewajiban Peminang dan Yang Dipinang Dalam
Fiqh Islam Dan Adat Aceh ......................................................... 40
a. Dalam Fiqh Islam ................................................................ 40
b. Dalam Adat Aceh ................................................................ 47
D. Perjanjian dan Kesepakatan Yang Dibuat Dalam Acara
Peminangan Menurut Fiqh Islam dan Adat Aceh ..................... 52
vi
vii
viii
ix
PENDAHULUAN
Menurut hukum adat pada umumnya di Indonesia, perkawinan itu bukan saja
berarti sebagai perikatan perdata, tetapi juga merupakan perikatan adat dan sekaligus
keperdataan seperti hak dan kewajiban suami-istri, harta bersama, kedudukan anak,
hak dan kewajiban orang tua, tetapi juga menyangkut hubungan adat istiadat,
Saat peralihan dari masa remaja kemasa berkeluarga merupakan suatu yang
berkesan bagi seseorang atau masyarakat. Oleh karena itu, setiap masyarakat di dunia
hampir dipastikan mempunyai adat dan upacara yang berkaitan dengan perkawinan.
Masa ini disebut masa perkawinan yang ditandai dan diawali dengan adanya upacara
perkawinan. Bentuk- bentuk upacara perkawinan antara daerah satu dengan daerah
lain tidaklah sama. Pada umumnya orang-orang menggunakan adat dan tata cara
tersebut mungkin tinggal di daerah lain atau kota lain. Hal tersebut bisa terjadi karena
1
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat,
CV. Mandar Maju, Bandung, 2007, hal. 8.
masing-masing suku bangsa didunia telah menciptakan suatu aturan yang mengatur
tak jarang masyarakat mengganggap perkawinan sebagai sesuatu yang sakral dalam
kehidupannya. Karena itu adat istiadat Aceh mengatur upacara perkawinan. Upacara
perkawinan masyarakat Aceh bukan proses ritual belaka. Upacara adat perkawinan
Ada beberapa tahapan dalam upacara perkawinan adat Aceh sejak persiapan
2
Rusdi Sufi, dkk, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Dinas Kebudayaaan Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, 2002, hal. 73-74.
e. Khatam Al-Qur’an.
kegiatan yang tidak saja menjadi urusan pribadi atau keluarga, akan tetapi juga pada
bertempat tinggal. Umumnya urusan mencari jodoh untuk seorang pemuda dan anak
untuk melamar seorang gadis, orang tua baik laki-laki maupun wanita dalam memilih
calon menantu akan memantau jauh dengan melihat pada garis keturunan derajat dan
kedudukan dalam masyarakat, mereka lebih menyukai pilihan keturunan yang tidak
tercela dalam masyarakat dan lebih disukai dari keluarga yang taat dalam beribadat,
mengutamakan pada kaum kerabat dekat. Seorang wanita yang dijadikan pilihan
dan berbudi luhur.4 Pada masa dahulu di Aceh, kalangan bangsawan “uleebalang”
lebih mengutamakan dengan memilih jodoh dari kalangannya sendiri atau penguasa.
Demikian pula dari kalangan Said/Syarifah akan mengutamakan jodoh bagi putrinya
dari kalangan Said pula. Demikian seterusnya srata yang setara dengan pilihan yang
setara pula.5
3
Badruzzaman Ismail dan Sjamsuddin Daud, Romantika Warna-Warni Adat Perkawinan
Etnis-Etnis Aceh, Majelis Adat Aceh Provinsi Aceh, 2012, hal. 161.
4
Ibid., hal. 163.
5
Ibid.
Langkah pertama yang dilakukan oleh orang tua pemuda yang hendak
mencarikan seorang gadis untuk putranya, adalah mencari calon istrinya bagi
putranya dengan menentukan pilihan putranya dengan gadis yang ada di dalam
gampongnya dengan prioritas pada kerabat dekat, jika tidak di ketemukan gadis yang
cocok maka dicarikan dari gampong lainnya. Kegiatan ini disebut dengan “cah rot”
atau membuka jalan. Setelah ditemukan pilihan yang cocok diberitahukan kepada si
putranya dan pada masa lalu biasanya seorang pemuda tidak akan menolak pilihan
orang tuanya.6
Tahap selanjutnya adalah tahap “meulake” (meminang). Pada tahap ini peran
orang tua yang telah melakukan cah rot digantikan oleh seseorang yang disebut
seulangke bersama dengan Keucik dan Teungku (ustad) datang kerumah si gadis
untuk meminang secara resmi. Dalam acara ini orang tua pemuda jarang ikut serta.
Hal ini dimaksudkan untuk menghindari jika dalam meminang tidak mendapat respon
yang baik dari yang dipinang, yang meminang tidak kehilangan muka dan mendapat
malu. Lagi pula dalam acara meminang turut dibicarakan masalah yang sangat
prinsipil seperti jumlah mahar “jeuname” dan asal-usul calon pengantin laki-laki yang
kurang layak apabila langsung dilakukan didepan orang tua yang meminang, maka
untuk itu perlu dicarikan tokoh netral yang diutus sebagai wakil untuk melakukan
6
Ibid., hal. 165.
7
Ibid., hal. 166.
utusan pihak keluarga pengantin laki-laki dan sebaliknya juga menjadi pembawa
permulaan, pertama yang dilakukan adalah memilih waktu, hari dan bulan baik, yaitu
dengan cara memperhitungkan hari dan bulan yang dianggap memberi berkah,
dan maut. Bila hitungan ini terhenti pada rezeki atau pertemuan, maka dianggap hari
Pada hari yang telah ditentukan oleh kedua belah pihak, seulangke bersama
dengan keuchik dan teungku (ustad) datang ke rumah si gadis untuk meminang secara
resmi. Pada acara meminang turut dibicarakan masalah berapa besar mahar
(jeuname).
Bagi masyarakat Aceh, jeuname (mas kawin atau mahar) merupakan syarat
mutlak bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan. Hal ini sesuai dengan
aturan dalam agama Islam dimana pihak laki-laki diharuskan membayar sejumlah
uang kepada calon istrinya. Jeuname (mas kawin atau mahar) tersebut kemudian
membawa emas 1 atau 2 mayam sebagai tanda pertunangan dan tidak jarang pula
juga dibawa 1 stel pakaian dan panganan.10 Benda –benda ini disebut dengan tanda
kong haba. Setelah menerima benda-benda ini pihak keluarga si gadis tidak
8
Ibid., hal. 167.
9
Ibid.
10
Rusdi Sufi, dkk, Op.cit., hal. 82.
dibenarkan menerima lamaran orang lain. Apabila ketentuan ini dilanggar, pihak
Sinonim meminang adalah melamar yang dalam bahasa Arab disebut dengan
dijadikan istri, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Esiklopedia Hukum
kepada pihak wanita tertentu untuk mengawininya dan pihak wanita menyebar
luaskan berita pertunangan ini. Pengertian diatas hampir serupa dengan definisi yang
keinginan dari seorang laki-laki untuk menikah dengan wanita tertentu, lalu pihak
wanita memberitahukan hal tersebut pada walinya. Pernyataan ini bisa disampaikan
secara langsung atau melalui keluarga lelaki tersebut. Apabila wanita yang di khitbah
atau keluarganya sepakat, maka sang lelaki dan wanita yang dipinang telah terikat
dan implikasi hukum dari adanya khitbah berlaku diantara mereka. Sayyid Sabiq
mendefinisikan khitbah sebagai suatu upaya untuk menuju perkawinan dengan cara-
lelaki kepada seorang wanita untuk menikah dengannya. Maksud agar perkawinan
11
Ibid., hal. 85.
12
http://perdata-islam. Blogspot.com/2013/01/peminangan-dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.
13
Ibid.
Dari definisi-definisi khitbah yang telah diungkapkan oleh para ahli fiqih
diatas, dapat dijelaskan bahwa khitbah merupakan proses yang dilakukan sebelum
Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum Islam, baik dalam Al-
Qur’an maupun al-Hadits. Dalam Al- Qur’an surat al- Baqarah ayat 235, yang
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu,
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
jaganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan jaganlah
kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.
Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu.
Maka takutlah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun. “
Selain Al-Qur’an, hukum tentang peminangan pun ada diatur dalam Hadist
Rasulullah Muhammad SAW, yaitu dalam sunnah qauliyah (sunnah yang bersumber
pada ucapan),14 Hadist ini menandai larangan kaum muslim agar tidak melakukan
peminangan diatas peminangan saudaranya sesama muslim. Atau dengan kata lain,
hadist ini mengisyaratkan kewajiban menghormati hak peminang yang telah dahulu
serta tidak melanggar hak yang dimaksud. Dan juga, hadist ini memiliki kandungan
pesan makna pengokohan yang jelas dari Rasulullah bahwa peminangan itu
14
Al- Bukhari, Shahihul al-Bukhari: Kitab al-Nikah, Dar Al-Fikr, Bairut,1994, VI, hal. 166,
Hadist No. 5142.
Nabi Muhammad SAW tak membenarkan dua orang lelaki yang saling
bersaing untuk menikahi seorang wanita. Hal ini dilarang karena itu akan
Imam Abu Hanafiah, Imam Syafi’i dan Imam Malik bahkan berpendapat
pertama ditolak, maka cukuplah bagi pelamar kedua, kalau ia berhasil, meminta maaf
kepada pelamar pertama dan memohon ampun kepada Allah. Tetapi kaum zhahiriyah
fi’liyah (yaitu sunnah yang bersumber pada perbuatan) dijumpai dalam praktik Nabi
Salamah dan Juwairiyah. Lalu, dalam sunnah taqririyah (sunnah yang bersumber
Muhammad tidak mengingkari akan itu (peminangan) yang dilakukan sahabat, malah
laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan seseorang yang
dipercayainya.16
15
H. M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Fakultas Hukum
Universitas Darmawangsa, Medan, 1993, hal. 26.
16
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Sinar Baru Algensindo, 2001, hal.
380.
Ada beberapa pedoman yang perlu diperhatikan bagi seseorang yang akan
1. Perempuan itu tidak sedang dalam pinangan orang lain.17 Hal ini berdasarkan
Hadits Nabi Muhammad SAW: tidak boleh seorang meminang perempuan yang
Muhammmad SAW: lihatlah perempuan itu karena sesungguhnya hal itu lebih
pendapat tentang batasan yang boleh dilihat. Menurut Mazhab Maliki yang boleh
dilihat hanya wajah dan telapak tangan. Menurut Abu hanifah, boleh dilihat
a. Perempuan yang masih dalam masa iddah talaq raj’i haram dipinang, baik
b. Perempuan dalam masa iddah talaq ba’in, cara meminangannya dengan cara
sindiran.
c. Perempuan dalam masa iddah kematian, cara peminangan juga dengan cara
17
Ibnu Rusdy, Al qawanin Al Fiqhiyyah, Daral Fikr, hal. 168.
18
Ibid., hal. 3.
pertunangan (peminangan) tidak dapat disebut peristiwa hukum, karena tidak ada
implikasi hukum dari suatu pertunangan (peminangan). Hal ini berbeda dengan
hukum Islam, yang menyatakan peminangan dan pertunangan dapat disebut dengan
suatu peristiwa hukum karena perempuan yang sudah dipinang dan sudah
bertunangan tidak boleh dipinang oleh laki-laki lain dan peristiwa peminangan
tersebut tetap menimbulkan implikasi moral. Atas dasar itu maka peminangan
walaupun memiliki implikasi hukum tetap diberikan aturan-aturan moral dan tegas.
bahwa peminangan ialah terjadi hubungan perjodohan antara seorang pria dengan
seorang wanita.
untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat menarik hati peminang hingga peminang
sebaliknya, peminang dapat mengetahui cacat atau cela yang dipinang, maka untuk
tidak terjadi penyesalan setelah perkawinan lebih baik peminangan itu diputuskan
berakhir dengan perkawinan, ada juga yang tidak berakhir dengan perkawinan. Jika
salah satu pihak tidak lagi berkeinginan untuk melanjutkan pertunangan ke jenjang
peminanagan, maka ada sanksi adat yang diberikan kepada pihak yang membatalkan
peminangan. Sanksi tersebut sudah berlaku dan dijalankan oleh masyarakat adat Aceh
tesis “Pembatalan Peminangan dan Akibat Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam
B. Permasalahan
Adapun permasalahan pokok yang akan diteliti dalam tesis ini adalah :
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat
E. Keaslian Penelitian
Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatra Utara Medan, belum
Hukumnya Ditinjau Dari Hukum Islam dan Adat Aceh”. Akan tetapi ada satu
dilakukan oleh :
Islam?
tersebut berbeda dengan daerah dan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini. Dengan demikian penelitian ini adalah asli baik dari segi substansi
secara ilmiah.
1. Kerangka Teori
teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses
tertentu.19
Kerangka teori merupakan landasan dari teori atau dukungan teori dalam
Kerangka teori dimaksud adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori,
menduduk masalah penelitian yang telah dirumuskan didalam kerangka teoritis yang
relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Adapun kerangka teori yang
Lafal akad berasal dari lafal Arab Al-‘aqad yang berarti perikatan,
19
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
1986, hal. 122.
20
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian,Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 80.
21
Soejono Soekanto, Op.cit., hal. 121.
Akad adalah kesepakatan antara dua pihak atau lebih dalam melakukan
Ulama ushul fiqih sepakat bahwa ‘urf yang tidak bertentangan dengan
syarak, baik itu ‘urf Amm ataupun ‘urf khass, baik ‘urf lafdzhi maupun ‘urf
antara kedua belah pihak (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga wanita)
untuk itu. Dengan adanya pertukaran tanda tersebut, pada beberapa daerah
22
H. M. Hasballah Thaib, Hukum Akad (kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank
Sistem Syariah, Program Pasca Sarjana USU, 2005, hal. 1.
23
Naskah Akademik, Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Mahkamah Agung Republik
Indonesia, pasal 20 (1).
24
H. Zamakhsyari, Teori- Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, Cita Pustaka,
Bandung, 2013, hal. 124.
diartikan sebagai suatu jaminan untuk pihak-pihak yang saling berjanji untuk
peralatan dan pakaian wanita serta tanda kong haba berupa perhiasan emas.
istrinya. Mas kawin adalah lambang kesiapan dan kesediaan suami untuk
memberi nafkah lahir kepada istri dan anak-anaknya, dan selama mas kawin
sebanyak mungkin mas kawin (QS An nisa 4:20). Ini karena pernikahan
bukan akad jual-beli, dan mahar bukan harga seorang wanita. Menurut Al-
25
T. Jafizham, Persintuhan Hukum di Indonesia dengan Hukum Perkawinan Islam, PT.
Mestika, Jakarta, hal. 193.
26
M. Qurais Shihab, Wawasan Al- Quran Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat,
Penerbit Mizan, Jakarta, hal. 204.
Qur’an, suami tidak boleh mengambil kembali mas kawin itu, kecuali bila istri
merelakannya.
hadis nabi Muhammmad SAW tidak diatur. Oleh sebab itu dicarilah alasan
dan dasar hukumnya tentang cara meminang dan bertunangan. Cara itu
terdapat dalam ketentuan dari para ahli, yang disebut dengan ‘urf, artinya
adalah kebiasaan yang diterapkan sebagai hukum. Hal tersebut diambil dari
“Apa yang dilihat baik oleh kaum muslimin, maka sesungguhnya adalah
dia baik pada Tuhan”. Tetapi hadis tersebut tidak cukup kuat, karena perawi
Hadis tersebut mempunyai cacat dan tidak sampai berpangkal pada Nabi
Kata ‘urf, yang sering diartikan kedalam bahasa Indonesia dengan arti
adat, diambil dari akar kata yang sama dengan makruf lawan kata mungkar,
karena itu ‘urf berarti sesuatu yang baik. Secara terminologi, kata ‘urf ini
27
T. Jafizham, Op.cit., hal. 193.
perkataan atau perbuatan. ‘Urf ini merupakan salah satu dalil dalam
perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, ‘urf disebut
dengan adat kebiasaan. Sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada
perbedaan pengertian antara adat dengan ‘urf, namun dalam pemahaman biasa
diartikan bahwa pengertian ‘urf adalah kebiasaan (adat) yang sejalan dengan
agama. Sedangkan Adat adalah kebiasaan yang sudah lama berkembang baik
yang sejalan atau tidak dengan agama. Dan adat, seakan-akan telah
yang melanggarnya.
Islam karena tidak bisa dipisahkan antara adat dengan agama. Dimana ada
istilah di aceh “lagee zat de ngon sifet” antara zat dengan sifat. Begitulah
2. Konsepsi
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsepsi
dalam penelitian ini untuk menggabungkan teori dengan observasi, antara abstrak dan
28
H. Zamakhsyari, Op.cit., hal. 117.
29
Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1998, hal. 31.
fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,
Adapun uraian daripada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah:
antara kedua belah pihak (pihak keluarga laki-laki dan pihak keluarga
mengadakan perkawinan.
30
Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 19
Propinsi Aceh.
g. Hukum Islam adalah: keseluruhan perintah Allah SWT yang wajib ditaati
G. Metode Penelitian
Sifat dari penelitian ini adalah bersifat deskriptif analisis, bersifat analisi
deskrptif maksudnya dari penelitian ini diharapkan diperoleh gambaran secara rinci
berdasarkan gambaran, fakta yang diperoleh akan dilakukan analisis secara cermat
metode pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian hukum doktriner yang mengacu
kepada norma-norma hukum,32 yang terdapat dalam Hukum Islam dan Hukum Adat
Aceh maka penelitian ini menekankan kepada sumber-sumber bahan sekunder, baik
hukum yang berupa dogma atau doktrin hukum yang bersifat teoritis ilmiah serta
31
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Alumni,
Bandung, 1994, hal. 101.
32
Bambang Waluyo, Metode Penelitian Hukum, PT. Ghalia Indonesia, Semarang, 1996, hal. 13.
menjawab pertanyaan sesuai dengan pokok permasalahan dalam penulisan tesis ini,
dengan ketentuan hukum Islam. Disamping itu penelitian ini didukung dengan
penelitian hukum sosiologis yang dibutuhkan untuk mengamati bagaimana reaksi dan
interaksi yang terjadi ketika sistem norma tersebut bekerja didalam masyarakat,34
yaitu penerapan kaidah-kaidah hukum adat Aceh serta kaidah-kaidah hukum Islam
yang tekait terhadap perilaku masyarakat dalam melakukan upacara pertunangan pada
suku Aceh.
2. Lokasi Penelitian
merupakan salah satu daerah di Provinsi Aceh dan masyarakat yang tinggal di
Kota Sigli, Kecamatan Pidie, Kecamatan Batee, Kecamatan Muara Tiga, Kecamatan
33
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, hal. 13.
34
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,
Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2010, hal. 49.
karakteristik yang sama.35 Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat
populasi yang ada, diambil sample 2 (dua) orang dari setiap Mukim di Kecamatan
Pidie, dimana yang akan diwawancarai adalah orang yang pernah melakukan
35
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Raja Grafindo, Jakarta,1998, hal :
121.
36
Marzuki, Metodologi Penelitian Hukum, PT.Prasetia Widya Pratama, Yogyakarta, 2002,
hal: 51.
4. Sumber Data
Dalam penelitian ini terdapat dua jenis data yang dibutuhkan, yaitu data
primer, yang akan diperoleh langsung melalui penelitian dilapangan baik dari
masyarakat Aceh yang ada di Kecamatan Pidie maupun dari narasumber dan data
sekunder, yang akan diperoleh dari peneitian kepustakaan dari bahan-bahan pustaka.
data dan informasi dari pihak yang berkaitan dengan kebiasaan pembatalan
pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang
Data sekunder dalam penelitian tesis ini diperoleh melalui studi kepustakaan
data yang ada dikepustakaan atau data sekunder dan data primer serta tertier dalam
utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kompilasi
Yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan
hasil-hasil penelitian, hasil seminar, hasil karya dari kalangan hukum, serta
dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa Aceh,
pergunakan dalam penelitian ini dilakukan dengan mengadakan studi dokumen yaitu
37
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia,
Jakarta, 1990, hal. 53.
38
Ibid.
39
Ibid.
kebiasaan pembatalan peminangan dalam masyarakat adat Aceh, selain itu dilakukan
pengumpulan data menggunakan daftar kuesioner yang bersifat tertutup kepada para
yang digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi dari pihak yang berkaitan
pertanyaan yang telah disusun terlebih dahulu sehingga diperoleh data yang
6. Analisis Data
Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna
untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data dalam
metode kualitatif bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang
bersifat unik dan kompleks. Adanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun
suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.41 Sedangkan metode kualitatif
40
Burhan Bungin, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis
Kearah Penguasaan Midal Aplikasi, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 53.
41
Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2004, hal. 103.
tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.42 Data
sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research) dan data
primer yang diperoleh dari penelitian lapangan (field sesearch) kemudian disusun
dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu cara berpikir yang dimulai dari
42
Ibid., hal. 3.
disebut dengan khitbah, kata khitbah merupakan bentuk masdar dari kata khataba
Mengenai peminangan ini telah diatur oleh hukum Islam, baik dalam Al-
Qur’an maupun Al-Hadits. Dalam Al-Qur’an surat al- Baqarah ayat 235, yang
“Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran
atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu,
Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu
jaganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali
sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma’ruf. Dan jaganlah
kamu ber’azam (bertetap hati) untuk berakad nikah, sebelum habis ‘iddahnya.
Dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu.
Maka takutlah kepada-Nya dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun”. 45
Rasulullah Muhammad SAW, yaitu dalam sunnah qauliyah (sunnah yang bersumber
pada ucapan).46 Hadist ini menandai larangan kaum muslim agar tidak melakukan
43
Eko Endarmoko, Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia, Gramedia, Jakarta, 2006, hal. 477.
44
Warson Munawir, Kamus Arab-Indonesia, PP al-Munawir, Yogyakarta, 1984, hal. 376.
45
Putri Rizky Syawal, Tesis: Kekuatan Hukum Kesepakatan Pertunangan Dalam Masyarakat
Adat Melayu Deli Dikaitkan Dengan Ketentuan Hukum Islam , Mkn-USU, Medan, 2012, hal. 64.
46
Al- Bukhari, Op.cit., hal. 166.
28
peminangan diatas peminangan saudaranya sesama muslim. Atau dengan kata lain,
hadist ini mengisyaratkan kewajiban menghormati hak peminang yang telah dahulu
serta tidak melanggar hak yang dimaksud. Dan juga, hadist ini memiliki kandungan
pesan makna pengokohan yang jelas dari Rasulullah bahwa peminangan itu
Imam Abu Hanafiah, Imam Syafi’i dan Imam Malik bahkan berpendapat
pertama ditolak, maka cukuplah bagi pelamar kedua, kalau ia berhasil, meminta maaf
kepada pelamar pertama dan memohon ampun kepada Allah. Tetapi kaum zhahiriyah
fi’liyah (yaitu sunnah yang bersumber pada perbuatan) dijumpai dalam praktik Nabi
Salamah dan Juwairiyah. Lalu, dalam sunnah taqririyah (sunnah yang bersumber
Muhammad tidak mengingkari akan itu (peminangan) yang dilakukan sahabat, malah
Para ulama telah sepakat bahwa meminang pinangan orang lain hukumnya
haram, karena berarti ia telah menyerang hak dan menyakiti hati peminang pertama,
47
H. M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Op.cit., hal. 26.
disisi lain juga dapat menimbulkan permusuhan diantara muslim.48 Sabda Nabi
Muhammad SAW yang artinya: Hadis dari ‘Uqbah bin Amir, sesungguhnya
Rasulullah SAW bersabda: “orang mukmin adalah saudara orang mukmin lain, maka
tidak halal baginya membeli (menawar) pembelian saudaranya dan tidak boleh
Meminang pinangan orang lain yang diharamkan itu bilamana perempuan itu
sindiran, atau karena laki-laki yang kedua belum tahu ada orang lain sudah
meminangnya atau pinangan pertama belum diterima, juga belum ditolak, atau laki-
laki pertama mengizinkan laki-laki kedua untuk meminangnya, maka yang demikian
itu dibolehkan.50
Meminang mantan istri orang lain yang sedang dalam masa ‘iddah baik
karena kematian suami, karena cerai talak raji’i maupun ba’in, maka hukumnya
haram. Jika perempuan yang sedang ‘iddah karena talak raj’i maka ia haram dipinang
karena masih ada ikatan dengan mantan suaminya dan suaminya itu masih berhak
merujukinya. Jika perempuan yang sedang iddah karena talak raj’i, maka ia haram
48
Wahab az – Zuhaily, al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuha (Damaskus: Dar al- Fikr, 2004
M/1425 M), Jilid. IX, hal. 121.
49
Ibid.
50
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah Jilid 6, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib), PT.
Alma’arif, Bandung, 1990, hal. 39.
terhadap dirinya, juga masih mempunyai hak untuk menikahinya dengan akad baru.
Jika ada laki-laki lain meminangnya di masa iddahnya, berarti ia melanggar hak
mantan suaminya.
boleh dipinang secara sindiran, karena hubungan dengan suaminya telah terputus.
Demikian juga meminang perempuan yang sedang ‘iddah dengan talak ba’in
secara terang-terangan.
sedang dalam masa ‘iddah kematian suaminya, sebab yang dibicarakan dalam ayat ini
ialah soal kematian. Termasuk dalam kategori meminang dengan sindiran ialah
memberikan hadiah kepada seorang perempuan yang sedang dalam ‘iddah atau
yang sedang dalam masa iddah, namun pelaksanaan akad nikahnya dilakukan sesudah
habis masa ‘iddahnya, maka dalam hal ini para ulama fiqih berbeda pendapat. Imam
Malik, Auzan’y dan Lais berpendapat bahwa mereka berdua dipisahkan, dibatalkan
Alasan yang dikemukakan Imam Malik ialah bahwa Umar bin Khattab
menceraikan antara Tulaihah al-Asadiyah dengan suaminya yang bernama Rasyid as-
51
Ibid., hal. 37.
52
Ibid., hal. 38.
Meminang perempuan yang sedang dalam ‘iddah talak ba’in sugra maupun
kubra dengan cara sindiran menurut pendapat mayoritas ulama dibolehkan. Menurut
pendapat kelompok Hanafiah meminang perempuan yang sedang talak ba’in adalah
a. Talak ba’in sugra (kecil) seperti talak tebus (khulu’) dan mentalak istri yang
tersebut.
mantan suaminya masih mempunyai hak atas dirinya dan juga punya hak untuk
b. Talak ba’in kubra (besar) yaitu talak tiga. Agar perempuan tersebut tidak
melakukan kebohongan tentang habis masa ‘iddahnya dan juga supaya tidak ada
Haram bagi wanita ini untuk dipinang secara terang-terangan, ditakutkan dapat
menyinggung perasaan suaminya, meskipun tidak mungkin bagi wanita itu untuk
kembali pada suaminya kecuali dia menikah lagi dengan orang lain dan
kemudian bercerai dan berstatus sebagai janda, maka setelah selesai masa iddah,
53
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib), PT. Al Ma’arif,
Bandung, 1978, hal. 38.
jika mantan suaminya hendak rujuk kembali, maka hal itu bisa dilakukan dengan
Rasulullah, SAW, akan tetapi tidak ditemukan secara jelas perintah ataupun larangan
untuk melakukan khitbah. Oleh karena itu, tidak ada ulama yang menghukumi
khitbah sebagai sesuatu yang wajib, dengan kata lain hukum khitbah adalah mubah.55
sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW bukanlah suatu kewajiban.
tentang khitbah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW, yaitu apakah perbuatan beliau
menghukumi peminangan sebagai sesuatu yang mubah. Syaih Nada Abu Ahmad
mengatakan bahwa pendapat yang dipercaya oleh para pengikut Syafi’iyah yaitu
pendapat yang mengatakan bahwa hukum khitbah adalah sunnah, sesuai dengan
54
Ibid.
55
http://perdata-islam.blogspot.com/2013/01/peminangan -dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.
56
Ibid.
57
Ibid.
Sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa hukum khitbah sama dengan
hukum pernikahan, yaitu wajib, sunnah, makruh, haram atau mubah. Menurut Syaikh
pernikahan, yaitu wajib, sunnah, makruh, haram atau mubah.58 Sunnah apabila pria
yang akan meminang termasuk pria yang sunnah untuk menikah. Makruh apabila
pria yang akan meminang termasuk pria yang makruh untuk menikah, hal tersebut
meminang wanita yang di talak raj’i sebelum habis masa iddahnya, dan peminangan
yang dilakukan oleh lelaki yang memiliki empat orang istri. Khitbah menjadi wajib
bagi orang yang khawatir dirinya akan terjerumus dalam perzinahan jika tidak segera
meminang dan menikah. Sedangkan khitbah dihukumi mubah apabila wanita yang
dipinang kosong dari pernikahan serta tidak ada halangan hukum untuk dilamar.59
wanita, maka ia perlu mengetahui keadaan wanita tersebut. Jika wanita yang ingin ia
pada wali wanita tersebut, Rasulullah SAW bersabda yang artinya: “Abdullah bin
Yusuf menceritakan bahwa Lays bercerita dari Yazid dari ‘Irak dari ‘Urwah bahwa
Nabi Muhammad SAW, meminang Aisyah pada Abu Bakar, lalu Abu Bakar berkata
kepada nabi: “sesungguhnya aku adalah saudaramu”, lalu Nabi SAW, bersabda
58
Ibid.
59
http://perdata-islam.blogspot.com/2013/01/peminangan -dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.
“Engkau adalah saudaraku dalam agama dan kitab Allah, dan dia (Aisyah) halal
bagiku”.60
Namun hak ijbar wali berlaku pada tingkat yang berbeda. Bila wali
menikah dengan seorang lelaki yang berahklah buruk, atau lelaki yang tak mampu
untuk berkeluarga, maka dia, wali itu boleh menghadapi anak perempuannya untuk
menolak lamaran tersebut. Beberapa orang ada yang beranggapan bahwa ia hanyalah
Apabila wanita yang ingin ia lamar sudah baligh, maka ia bisa menyampaikan
tersebut secara langsung, berdasarkan sabda Rasulullah berikut yang artinya: dari
Ummu Salamah bahwasanya dia berkata: “ketika Abu Salamah wafat, aku berkata
siapakah diantara orang-orang islam yang lebih baik dari Abu Salamah, dia dan
keluarganya pertama kali hijrah pada Rasulullah SAW. Kemudian aku mengucapkan
kalimat istirja’, lalu Allah memberi ganti kepadaku yakni Rasulullah SAW. Ummu
Salamah berkata: “ Rasulullah mengutus Hatib bin Abi Balta agar melamarku untuk
beliau, lalu aku berkata: sesungguh aku memiliki seorang anak dan aku adalah wanita
pencemburu”.62
60
Ibid.
61
H. M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Op.cit., 1993, hal. 19.
62
http://perdata-islam.blogspot.com/2013/01/peminangan -dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.
yaitu: secara jelas (sarih) dan secara sindiran (kinayah). Peminangan di katakan sarih
wanita yang hendak dilamar (bi al-kinayah aw al-qarinah) seperti: kamu telah pantas
untuk menikah.
pujian pada Allah SWT. Serta salawat kepada Rasulullah SAW. Yang dilanjutkan
dengan wasiat untuk bertagwa kepada Allah SWT, setelah itu barulah lelaki yang
menggariskan agar masing-masing pasangan yang mau kawin, lebih dahulu saling
63
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, Irsyad Baitus Salam,
Bandung, 1995, hal: 59.
Dari definisi-definisi khitbah yang telah diungkapkan oleh para ahli fiqih ,
dapat dijelaskan bahwa khitbah merupakan proses yang dilakukan sebelum menuju
penuh kesadaran. Hal ini memudahkan mereka untuk menyesuaikan karakter dan
saling bertoleransi ketika telah berada dalam ikatan perkawinan, sehingga tujuan
tercapai.65
dari seorang laki-laki kepada seorang perempuan atau sebaliknya dengan perantaraan
dalam agama Islam terhadap gadis atau janda yang telah habis masa iddahnya,
kecuali perempuan yang masih dalam “iddah ba’in, sebaiknya dengan jalan sindiran
saja.
64
Sayyid Sabiq, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib) Op.cit., hal. 35.
65
http://perdata-islam. Blogspot.com/2013/01/peminangan-dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.
66
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Sinar Baru Algesindo, 2001, hal. 380.
67
Abu al- Walid Muhammad bin Ahmad bin Ibn Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, Bidayah
al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Maktabah Karya Toha Putra, Semarang, t.t), jil II, hal. 2.
a. Tidak didahului oleh pinangan laki-laki lain secara syar’i, sesuai dengan sabda
Nabi SAW, Hadist dari ‘Uqbah bin Amir, sesungguhnya Rasulullah SAW
bersabda: “orang mukmin adalah saudara orang mukmin, maka tidak halal
mayoritas ulama hukumnya haram. Alasannya adalah hadis tersebut diatas dan
haramnya hukum tersebut sudah merupakan ijma’ ulama. Namun jika terjadi,
maka akad nikah tetap sah. Karena peminangan bukanlah merupakan syarat
sahnya nikah. Akan tetapi Dawud az-Zahiry mengatakan bahwa jika terjadi akad
(persetubuhan).
d. Wanita itu bukan orang yang haram dinikahi untuk waktu tertentu atau
selamanya.
e. Tidak dalam ‘iddah, baik ‘iddah ditinggal mati suami atau karena talak, baik
talak raj’i maupun ba’in. Wanita yang masih dalam ‘iddah talak raj’i ia haram di
pinang karena ia masih menjadi hak suaminya. Apabila wanita itu sedang
Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang Ketentuan Hukum, yaitu sebagai kegiatan
upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang
wanita.
dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari jodoh, tapi dapat
peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau
Pasal 12 ayat (2) dan (3) Kompilasi Hukum Islam (KHI) mengatur mengenai
a. Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj’iah, haram
b. Wanita yang sedang di pinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum
pihak pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau
secara diam-diam pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang
(2) Kompilasi Hukum Islam (KHI), dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai
dengan tuntunan agama dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan
C. Hak dan Kewajiban Peminang dan Yang Dipinang Dalam Fiqh Islam Dan
Adat Aceh.
berikut: “hak ialah : mustahak ia, ada keputusan ia”.68 Selanjutnya mengenai
kewajiban berasal dari kata wajib yang berawalan “ke” dan berakhiran “an” berasal
dari kalimat Arab yang bermakna sesuatu yang mesti dilakukan (dilaksanakan).69
sebagai berikut: “Wajib yaitu suatu perbuatan yang apabila ditinggalkan mendapat
siksa”.70
apabila dilakukan dan dipelihara, niscaya akan menjadikan sebagai sumber kekuatan
keluarga. Selain itu, ada juga yang menjadi perhatian utama sebelum memasuki
hanya memandang perkawinan hanya sebelah mata, yang hanya menurut kebutuhan.
68
H.M. Hasballah Thaib, Op.cit., hal. 27.
69
Ibid.
70
M. Rifa’i, Ushul Fiqih, PT. Alma’arif, Bandung, Cet. I, hal. 19.
Dengan begitu, keduanya dapat saling mengenal dan menerima dengan ikhlas
kekurangan masing-masing.71
hingga ajal yang mampu memisahkan. Islam menganjurkan agar laki-laki mengenal
terlebih dahulu sifat wanita yang akan dipinangnya, begitu pun sebaliknya. Ini
dilakukan agar memperoleh apa itu kesejahteraan dan keharmonisan dalam keluarga.
Para ulama telah sepakat tentang bolehnya seseorang melakukan pinangan dan
tentang meminang sebelum pernikahan, dan hal itu merupakan kebiasaan yang tidak
(laki-laki) untuk melihat terlebih dahulu yang akan dipinang (perempuan) agar lebih
Islam seorang laki-laki diperbolehkan melihat perempuan yang akan dipinang. Ini
Dalam Islam melihat perempuan yang akan dipinang dibolehkan dalam batas-
71
J.N.D. Anderson, Hukum Islam di Dunia Modern, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1994, hal. 157.
72
Abd. Nashir Taufik al-Athar, Saat Anda Meminang, Pustaka Azam, Jakarta, 2001, hal. 25-26.
nantinya kamu berdua bisa hidup langgeng. H.R lima orang ahli hadis kecuali
Abu Dawud.73
Bagian badan yang boleh dilihat menurut jumhur ulama adalah muka dan
telapak tangan. Dengan melihat muka, maka akan dapat diketahui halus atau kasarnya
badan perempuan tersebut boleh dilihat oleh laki-laki yang akan meminangnya,
Terlepas dari pendapat diatas, melihat wanita hanya sebatas keperluan saja,
hal itu sesuai dengan kaidah usuliah. Namun dalam kehidupan masyarakat, tak jarang
hanya memberikan foto sebagai pengganti melihat secara langsung oleh pihak
peminang atau pihak laki-laki. Dalam Islam pun diperbolehkan hanya menunjukkan
foto pihak wanita, tapi terkadang apa yang ada dalam foto tidak sesuai dengan
kenyataannya, dan itu tidak bisa mengetahui sifat atau karakter dari wanita tersebut.75
melihat wanita yang dipinang. Pertama, sudah seharusnya tidak lagi ada peraturan
khusus untuk melihat wanita yang hendak dipinang. Kedua, melihat wanita yang akan
73
H. Jamuluddin, Hukum Perkawinan 4 Mazhab, LPPM UISU, Medan 2013, hal. 12.
74
Ibid.
75
Abd. Nashir Taufik, al- Athar, Op.cit., hal. 134.
dipinang bukanlah hal yang tabu untuk dilakukan, selama semua dalam batas
kewajaran. Ketiga, andaikata melihat wanita yang akan dipinang sebelum perkawinan
dengan maksud agar tidak malu seandainya pernikahan itu tidak jadi, maka akan
tiadanya rasa sayang dan simpati dalam pasangan tersebut atau bahkan ada dampak
yang lebih besar lagi, mungkin sampai pada perceraian, karena adanya cacat pada
Bukan perkara yang mudah untuk mengenal sosok wanita, karena tidak cukup
dengan mata memandang. Kepribadian biasanya akan terungkap saat setelah melalui
proses pergaulan yang lama, dan dalam kondisi-kondisi tertentu. Setiap wanita dan
laki-laki yang sedang dalam masa-masa pertunangan bisa mengenal sebagian hal
yang penting, mulai dari mengenal sifat dan semua perilaku sebelum akhirnya
muka, beramah-tamah antara keluarga kedua belah pihak. Hubungan kedua belah
pihak tidak ditutup mati, namun juga tidak dibuka terlalu bebas, karena sejatinya
harus tetap ada yang mendapingi agar terhindar dari tindakan amoral.
Melihat pinangan itu tidaklah hanya khusus buat laki-laki saja, tetapi
perempuan pun boleh juga. Ia berhak melihat laki-laki yang meminangnya, guna
76
M. Fauzil Adhim, Saatnya Untuk Menikah, Gema Insani Press, Jakarta, 2000, hal. 126.
putri-putri anda dengan seorang laki-laki yang jelek. Karena hanya dia (laki-laki
pihak perempuan. Dari sebagian orang ada yang tidak mengizinkan bagi pihak laki-
laki atau peminang mengunjungi pihak wanita atau yang dipinang, apalagi sampai
duduk berdua atau menemani ke suatu acara, hal ini karena kedua belah pihak hanya
mengetahui sisi luarnya saja, yaitu apa yang dilihat dan apa yang didengarnya. Di
satu sisi, ada sebahagian dari masyarakat yang tidak memberikan batasan apapun
kepada kedua belah pihak, diizinkan untuk bertemu, bercengkrama, atau menemani
ikatan suami istri, karena bagi keduanya masih seperti halnya orang lain yang bukan
muhrimnya. Maka tidak diperkenankan bagi keduanya untuk bergaul secara bebas
yang mana akan terjadi hal-hal yang dikhawatirkan akan melampaui kode etik dalam
agama.
Oleh karena itu, dalam peminanganpun ada batas-batas tersendiri agar tidak
terjadi pergaulan bebas dimana sudah diluar kode etik dalam agama. Tidak dapat
dipungkiri bahwa setiap muslim berlaku dengan etika-etika pada setiap perbuatannya,
yang disebut dengan qubh (keindahan atau kesopanan). Akan tetapi, nilai etika itu
77
Sayyid Sabiq, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib), Op.cit., hal. 42.
78
Putri Rizky Syawal, Op.cit., hal. 83.
selamanya dapat dinalar dengan otak manusia sehingga pada suatu saat manusia
sepenuhnya terikat dengan wahyu Tuhan yang kemudian mengantarkan pada sesuatu
Islam bersifat netral, maksudnya tidak cenderung kepada alasan salah satu
pendapat. Islam membolehkan bagi laki-laki berkunjung ke rumah wanita yang telah
tentunya wanita tersebut juga harus bersama laki-laki yang menjadi muhrimnya.
terhadap aturan-aturan agama serta aturan adat serta aturan moral oleh kedua belah
pihak.
dipinang ini kembali pada dasar, yaitu bahwa keduanya belum ada ikatan atau belum
menjadi pasangan suami istri, sehingga tidak ada hubungan muhrim untuk mencegah
dari hal-hal yang keluar dari etika pergaulan dan perbuatan yang akan
biologis, itu justru lebih diharamkan lagi. Itu semua diharamkan bagi laki-laki dan
79
J.N.D. Anderson, Op.cit., hal. 3.
80
Abd. Nashir Taufik al- Athar, Op.cit., hal. 166-167.
wanita meskipun sudah dalam masa peminangan, sebelum diantara keduanya terjadi
hubungan dengan pihak wanita sebagai yang dipinang dengan cara berbincang-
bincang selama perkataan yang ma’ruf, hal ini dalam Islam dimaksudkan agar apa
bukan lantas akan terjerumus pada pergaulan yang melampaui batas sebelum
pernikahan, tetapi hal ini diharapkan akan menumbuhkan cinta kasih dan kematangan
rasa diantara keduanya. Quraish Shihab sebagaimana dikutip Ashad Kusuma Jaya,
meski perkawinan belum dilangsungkan, antara laki-laki dan wanita yang dalam masa
peminangan menjalani hubungan kasih sayang bukanlah hal yang salah. Ini
menunjukkan bahwa dalam Islam aturan itu tidak kaku, karena dengan adanya
hubungan yang jauh lebih akrab disaat penantian perkawinan atau masih dalam masa
peminangan, keduanya bisa lebih menyesuaikan diri, mulai dari lingkungan keluarga
ataupun masyarakat sekitar, agar nantinya disaat perkawinan itu benar terjadi sudah
Yang paling penting adalah, seharusnya di antara kedua belah pihak antara
laki-laki dan perempuan pada saat masa peminangan tabiat masing-masing dapat
terkuak, mulai dari kebiasaan, akhlak, dan semua perilaku yang menjadi karakter.
81
Asyad Kusuma Jaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama, Pesan-Pesan Rasulullah
Menuju Pernikahan Yang Barokah, Yogyakarta, Kreasi Wacana, hal. 102.
Seandainya peminangan itu putus sebelum hari perkawinan berlangsung, maka kedua
belah pihak harus bisa menjaga rahasia masing-masing, tidak saling menjelekkan
dia diam dan jangan mengatakan sesuatu yang bisa menyakitkan hatinya, sebab
boleh jadi perempuan yang tidak disenangi itu akan disenangi oleh laki-laki lain. 82
Ulama Ushul Fiqih membedakan antara ‘urf dengan adat dalam membahas
kedudukannya sebagai salah satu dalil penetapan hukum syarak. Adat didefinisikan
Adat juga kadangkala diartikan dengan “suatu yang berkaitan dengan hasil
pemikiran yang baik dan yang buruk”. Sedangkan ‘urf adalah kebiasaan mayoritas
Adat dalam pengertian umum ialah segala sesuatu yang dibiasakan oleh rakyat
umum atau golongan. Adat kebiasaan memainkan peranan penting dalam sejarah
perkembangan dan kebangkitan manusia, baik dalam kehidupan sosial maupun dalam
dipengaruhi oleh faktor sebab yang pokok, yaitu faktor iklim dan semangat
82
Sayyid Sabiq, (Terjemahan, Penerjemah: Moh. Thalib), Op.cit., hal. 42.
83
Ibid.
84
Ibid.
mengatakan bahwa ‘urf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari
‘urf. Suatu ‘urf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu,
bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf muncul dari suatu pemikiran dan
menetapkan keperluan rumah tangga yang diambilkan dari mahar yang diberikan oleh
suami.85
Di daerah Aceh khususnya Aceh Pidie berlaku hal seperti tersebut diatas,
dimana peralatan rumah tangga seperti isi kamar di tanggung oleh keluarga pihak
perempuan atas pembiayaan orang tua si perempuan, apabila orang tua si perempuan
tidak mampu maka isi kamar tersebut di beli dari hasil penjualan mahar/mas kawin.
lakee ngon bulekat, meu u rambat bek taba aneuk kamo”. Artinya bila belum
diresmikan dengan upacara adat, adalah pantang dan dianggap aib bila seorang laki-
adat sangat menentangnya. Adat akan membolehkan seperti itu apabila setelah
85
Ibid, hal. 118.
86
Badruzzaman Ismail dan Syamsuddin Daud, Op.cit., hal. 179.
bincang diruang tamu. Pihak laki-laki bertandang ke rumah si gadis pada siang hari
dan dalam keadaan penghuni rumah yang lain juga ada dirumah seperti ibunya dan
saudara-saudara si gadis yang lain. Untuk pergi berjalan-jalan atau menonton dengan
tunangannya tidak diizinkan oleh kedua orang tua si gadis sebelum aqad nikah
dilakukan.87 Jadi walaupun telah ada hubungan pertunangan, tetapi antara keduanya
tidak bisa berhubungan secara bebas, ada batas-batas hubungan yang dibenarkan dan
ada hubungan yang tidak dibenarkan sesuai dengan yang telah diatur dalam ajaran
hanya pernah berkunjung ke rumah si gadis hanya satu kali dikarenakan saudara
Burhan tidak berada di Aceh. Ia hanya berkunjung satu kali untuk bertemu dan
melihat langsung saudari Dewi di rumah si gadis karena pada saat ba tanda
dilakukan oleh orang tuanya, sebelumnya saudara Burhan tidak pernah bertemu dan
melihat Dewi secara langsung, ia hanya melihat foto yang dikirim oleh orang tuanya.
sering berkunjung ke rumah Erni karena tempat tinggal keduanya tidak terlalu jauh.
Minimal seminggu sekali saudara Budi datang ke rumah Erni untuk bersilaturrahmi.
Kalau dirumah Erni ada acara apapun Budi sering diundang karena Budi adalah
tunangannya. Tetapi untuk mereka pergi keluar rumah bersama ke suatu acara sangat
87
Wawancara dengan BTM ( yang pernah melakukan peminangan ) Desa Labui kemukiman
Teubeung, Kec. Pidie, Tanggal 28 Maret 2015.
88
Wawancara dengan BRH (yang pernah melakukan pembatalan peminangan) Desa Cot
Rheng Kemukiman Asan Kec. Pidie, Tanggal: 23 Maret 2015.
jarang sekali, kecuali ada acara yang sangat penting orang tuanya baru memberikan
izin. Kalau hanya untuk keluar malam seperti jalan-jalan malam minggu tidak
mendapat izin dari kedua orang tuanya, walaupun antara mereka sudah ada hubungan
pertunangan akan tetapi orang tuanya tidak memberikan izin mereka bergaul secara
bebas.89 Jadi disini jelas terlihat bahwa walaupun mereka telah bertunangan tetapi
antara mereka tidak bebas melakukan hubungan sebelum mereka resmi menjadi
suami istri.
Menurut saudara HSN dan saudari SMN dengan adanya ikatan pertunangan
maka berlakulah hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak
a. Baik pihak yang melamar dan yang dilamar terikat pada kewajiban untuk
b. Baik pria maupun wanita yang telah terikat dalam tali pertunangan, begitu
yang lain. Mengadakan hubungan dengan yang lain dalam maksud yang sama
89
Wawancara dengan ERN (yang pernah melakukan pembatalan peminangan) Desa Teubeng,
Kec. Pidie, Tanggal: 26 Maret 2015.
90
Wawancara dengan saudara HSN dan saudari SMN Desa Sanggeu, Kemukiman Sanggeu,
Kecamatan Pidie, tanggal 3 April 2015.
c. Selama masa pertunangan kedua pihak harus saling membantu dana dan daya
d. Kedua pihak harus saling mengawasi gerak tindak dari para calon mempelai
pertunangan itu, maka pihak yang dirugikan berhak menuntut kembali barang-
barang dan uang serta kerugian lainnya pada pihak yang bersalah atau yang
Ketentuan adat Aceh tersebut diatas sampai saat ini masih berlaku dan
dijalankan oleh masyarakat Aceh khususnya masyarakat Aceh Pidie. Apabila salah
satu pihak membatalkan peminangan dan akibatnya terjadi perselisihan yang tidak
dapat diselesaikan secara kekeluargaan maka geuchik , tuha peut, imum meunasah
dalam Islam. Menepati janji adalah antara ciri-ciri orang Islam yang beriman, karena
hubungan silaturrahmi dan boleh mewujudkan suasana harmoni dan aman damai
apabila membuat sesuatu perjanjian dengan seseorang atau dengan siapapun jua
Allah berfirman dalam Surah al- Baqarah ayat 40, yang artinya :
“wahai bani Israil! Kenangkanlah kamu akan segala nikmat yang telah Ku
berikan kepada kamu, dan sempurnakanlah perjanjian (kamu) dengan-Ku,
supaya Aku sempurnakan perjanjian Ku dengan kamu, dan kepada Akulah
sahaja hendaklah kamu merasa gerun takut, (bukan kepada sesuatu yang
lain)”.92
Dalam Surah al- Baqarah ayat 83, Allah SWT berfirman, yang artinya:
91
Panel Penulis JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia), Ayat-Ayat Suruhan, UTUSAN
PRINTCORP SDN. BHD, 2006, cet. I, hal. 417.
92
Ibid.
Dalam Surah al-Ra’d ayat 20, Allah SWT berfirman, yang artinya:
Serta dalam Surah Al-Nahl ayat: 91 Allah SWT juga berfirman yang artinya:
a. Jika salah satu pihak baik pihak calon suami atau calon istri meninggal dunia
b. Jika pihak laki-laki atau calon suami mungkir janji (tidak mau kawin lagi) maka
hilanglah semua barang-barang bawaan dan emas tanda pertunangan yang telah
c. Jika si wanita atau calon istri mungkir janji (tidak mau kawin lagi) maka pihak
wanita harus membayar 2x lipat dari nilai barang-barang yang telah diterimanya.
Dalam masyarakat Aceh, kesepakatan dan perjanjian yang dibuat oleh kedua
belah pada saat pertunangan tidak dituangkan dalam bentuk tertulis tetapi
93
Ibid., hal. 418.
94
Ibid., hal. 423.
95
Wawancara dengan saudara MLY (yang pernah membatalkan peminangan) Desa Lampoh
Lada, Kemukiman Asan, Kecamatan Pidie, tanggal 2 April 2015.
kesepakatan tersebut dilihat dan didengar oleh semua yang hadir di acara pertunangan
tersebut. Menurut saudara AWY, sebenarnya dia ingin isi kesepakatan dan perjanjian
yang dibuat pada acara peminangan tersebut dibuat dalam bentuk yang tertulis. Untuk
masa sekarang jika perjanjian dan kesepakatan hanya secara lisan rasanya kurang
kuat.96
selama ini yang dilakukan dengan tidak tertulis sudah dirasakan kurang cocok untuk
kesepakatan atau perjanjian yang dibuat secara tetulis atau dalam bentuk otentik.
96
Wawancara dengan saudara AWY (yang pernah dibatalkan peminangan) Desa Tibang,
Kemukiman Utoue, Kecamatan Pidie, tanggal 4 April 2015.
daerah adat di Aceh, kita mendapat kesan yang begitu cepat, bahwa yang pertama
peranan pihak laki-laki lebih aktif dibandingkan dengan pihak perempuan, dan kesan
yang kedua, bahwa penentuan jodoh itu lebih banyak atas prakarsa orang tua atau
keluarga.97
Dapat dibayangkan betapa sulitnya bagi para muda-mudi di Aceh untuk dapat
bergaul dan berkenalan secara intim, karena dua orang muda mudi yang sudah
dewasa dilarang secara adat untuk bertemu, berbicara satu sama lain, apalagi bergaul
secara mesra. Karena hal itu dianggap sebagai suatu hal yang melanggar kesusilaan.
Baik pemuda maupun para gadis biasanya bersikap pasrah saja dalam soal jodoh ini,
karena soal jodoh dianggap sebagai urusan orang tua. Tidaklah mengherankan apabila
orang yang dikawinkan itu belum pernah berkenalan sebelumnya, untuk saling cinta
dan saling mengerti terhadap pribadi satu dengan yang lain. Perkawinan yang
demikian itu banyak juga yang berhasil dan berbahagia, tetapi terdapat juga kasus-
kasus pertentangan rumah tangga yang berkelanjutan, atau dalam pengalaman si istri
97
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Adat Dan
Upacara Perkawinan Daerah Istimewa Aceh, 1978, hal. 62.
55
atau suami tidak sudi bergaul dan hidup bersama sebagaimana layaknya sepasang
suami istri.98
karena pengaruh pendidikan dan pengaruh lingkungan. Pemuda dan pemudi yang
antara muda-mudi dalam batas-batas kesopanan tertentu dianggap tidak lagi tabu,
bahkan masalah persetujuan kawin terutama bagi masing-masing calon adalah hal
yang prinsipil.99
apabila perkawinan itu berlangsung antara pasangan yang seimbang. Dalam istilah
menurut ukuran keturunan, strata sosial, umur, kekayaan, dan seimbang pula menurut
ukuran bentuk dan paras. Hampir semua kelompok adat dianjurkan kawin dengan
Pola perkawinan ideal pada masyarakat Aceh masa kini, terutama dikalangan
yang telah mengalami perubahan sosial dan pendidikan, telah mulai mengalami
98
Ibid., hal. 63.
99
Ibid.
100
Ibid., hal. 47.
maju. Dalam hubungan ini pilihan jodoh lebih ditekankan pada jaminan dan prospek
masa depan dan achievement yang dipunyai oleh masing-masing calon, dan yang
achievement yaitu kemampuan, suatu cita-cita atau prestasi. Jadi dalam uraian ini
sendiri dalam mencapai cita-cita atau prestasi sosial dalam suatu kedudukan tertentu.
Pandangan yang terakhir ini menyebabkan faktor pendidikan dan status pekerjaan
calon (terutama calon laki-laki) telah mendapat perhatian yang amat penting pada
setiap kelompok sosial, disamping faktor budi pekerti dan ketaatan bersama.101
bersifat marriage preferences, yaitu perkawinan yang menjadi referensi umum, yang
dianggap oleh sebagian besar masyarakat sebagai perkawinan yang ideal. Kebalikan
dari norma tersebut ialah segala ketentuan tentang pembatasan jodoh yang dalam hal
ini berlaku pada semua kelompok adat di Aceh, yaitu terhadap siapa perkawinan itu
sama sekali tidak boleh dilakukan dan terhadap siapa yang kurang baik dilakukan,
karena dianggap sumbang adat. Pembatasan jodoh secara mutlak itu, mengikuti
ketentuan agama Islam, seperti larangan kawin dengan ibu, saudara sekandung,
dengan saudara Ayah atau Ibu, dengan saudara sesusu dan seterusnya yang bersifat
muhrimnya, yaitu orang dari lawan seksnya yang tidak menbatalkan air
101
Ibid., hal. 48.
bersangkutan.102
berdampingan dengan norma-norma adat istiadat (hukum adat). Norma agama yang
dimaksud ialah ketentuan menurut hukum Islam, yang diperlakukan secara mutlak,
Sedangkan yang dimaksud ketentuan adat ialah semua ketentuan adat yang dalam
Antara agama dan adat-istiadat di Aceh telah sejak lama terjalin penyesuaian
kultural. Agama mendapat kedudukan lebih penting dalam menyeleksi adat, sehingga
unsur adat yang survival adalah unsur yang tidak terlalu menyimpang dari ketentuan
dasar agama Islam. Penyesuaian kultural tersebut di atas telah menyebabkan adat dan
pemilihan jodoh boleh dikatakan tak pernah datang dari pihak perempuan. Andaikata
102
Ibid., hal. 48.
103
Ibid., hal. 49.
104
Ibid.
terjadi juga mesti dilakukan dengan cara sangat rahasia, misalnya dengan perantaraan
pihak ketiga yang dipercaya dan dapat menyimpan rahasia, sebab kalau hal ini
tersebut seperti terlukis dalam kiasan, “lagee mon mita tima” atau seperti sumur
mencari timba. Maksud kiasan ini ialah seperti perempuan mencari suami.
Cara pemilihan jodoh yang berlaku dalam masyarakat adat Aceh dewasa ini
memang dirasakan kurang memberi kesempatan kepada kedua calon suami istri
dengan perkembangannya masyarakat adat Aceh sekarang, maka telah terjadi pula
Pola pertama terdapat dalam masyarakat adat yang masih murni belum
2. Pemilihan itu dilakukan sendiri oleh pemuda yang bersangkutan, yang kemudian
Pola kedua, Keputusan akhir dari pola kedua ini masih lebih dalam masyarakat
105
Wawancara dengan Bapak Bazruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.
berada pada kedua belah pihak yang nantinya terlibat dalam perkawinan yaitu
kedua belah pihak sewaktu anak mereka masih kecil, pertunangan semacam ini
tidak disertai dengan bawaan maupun pemberian emas tanda pertunangan. Hal
semacam ini biasanya dilakukan karena orang tua kedua belah pihak telah
mereka.
2. Pertunangan antara kedua belah pihak ada hubungan famili, tetapi hubungan
famili tersebut tidak mempunyai hubungan darah yang haram untuk menikah.
Jadi antara orang tua kedua belah pihak ingin mempererat hubungan keluarga
dan biasanya juga karena alasan harta kekayaan mereka jangan sampai jatuh ke
3. Pertunangan mengikuti wasiat salah seorang orang tua dari kedua belah pihak
yang telah meninggal. Orang tuanya sebelum meninggal telah berniat untuk
dengan lamaran dan bawaan pertunangan. Antara orang tua kedua belah pihak
106
Wawancara dengan Bapak Bazruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.
telah berjanji untuk menjodohkan anak-anak mereka untuk menikah jika telah
dewasa. Janji tersebut bisa dihadapan orang lain (saksi) bisa juga tanpa adanya
Lebih jauh dari itu penentuan waktu kapan peresmian perkawinan dilaksanakan.
Apabila calon istri dan calon suami sudah mencapai syarat umur untuk kawin.
dengan kata-kata yang halus, sopan dan hormat. Apabila maksud lamaran ini ditolak,
biasanya orang tua si gadis memberikan alasan yang halus pula supaya pihak laki-laki
tidak tersinggung.
107
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit.,
hal. 66.
108
Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Budaya Masyarakat Aceh, Badan Perpustakaan
Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Cet. I, 2004, hal. 115.
memperhatikan hari baik. Ini didasarkan pada hari pertama dalam bulan Islam jatuh
pada hari langkah, hari kedua jatuh pada rezeki, hari ketiga jatuh pada pertemuan
(peuteumuen), hari keempat jatuh pada hari maut dan seterusnya berulang kembali
seperti tersebut. Hari yang baik menurut perkiraannya itu adalah rezeki atau hari
peuteumuen. Orang Aceh mengetahui dengan baik bahwa langkah, rezeki, pertemuan
dan maut berada dalam tangan Allah. Namun mereka selalu berusaha supaya mereka
Apabila lamaran pihak lelaki diterima, biasanya orang tua si gadis meminta
tempo sekitar 3 (tiga) hari untuk duek pakat (bermusyawarah) dengan kerabatnya.
Setelah itu, pihak keluarga si gadis mengirim kembali khabar kepada pihak laki-laki
untuk datang kembali meminang.109 Kemudian serombongan utusan dari pihak laki-
laki yang terdiri dari keuchik ( kepala desa), seulangke, tuha peut, imum meunasah
dan beberapa orang keluarga dekatnya yang dianggap penting, datang ke rumah si
gadis untuk meminang. Begitu pula pihak keluarga si gadis telah menanti atas
kedatangan rombongan pihak laki-laki untuk meminang. Dari pihak perempuan yang
menunggu di rumah si gadis juga biasanya terdiri dari keuchik dari desa tersebut dan
beberapa keluarga dekat dan perangkat- perangkat desa yang dianggap penting.
Selesai santapan makan dan minum, kedua belah pihak beramah tamah untuk
109
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op. Cit.,
hal. 116.
beberapa waktu lamanya, yang kemudian baru dimulai dengan acara meminang.
Pembukaan kata dimulai oleh salah seorang yang dituakan dan dianggap mampu dari
pihak rombongan dari pengantin laki-laki. Thema pembicaraan itu didasarkan pada
maksud melamar.110
Sementara terjadi pembicaraan dan berbalas pantun antara kedua belah pihak
(biasanya paling lama 3 tahun), uang hangus, dana bu gateng serta jadwal
diadakannya peresmian pernikahan dengan orang tua calon pengantin wanita dan
seulangke yang disertai dengan penyerahan batee ranub (tempat sirih) pertunangan,
hantaran berisi pakaian dan perlengkapan wanita serta alat-alat rias wanita, makanan
dan kue-kue. Tak lupa juga sebentuk perhiasan emas diserahkan kepada keluarga si
gadis. Banyaknya perhiasan emas yang dibawa tergantung pada besarnya mas kawin
seorang gadis. Pada umumnya mas kawin yang dibawa pada saat acara mengantar
tanda pertunangan adalah sepertiga dari jumlah mas kawin. Benda-benda ini disebut
110
Ibid., hal. 66.
111
Ibid., hal. 71.
112
Ibid.
Istilah tanda kong haba di Aceh dimaksudkan adalah benda-benda yang diserahkan
oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan pada saat pertunangan tersebut sebagai
2. Waktu pernikahan.
Setelah segala persoalan itu selesai dirampungkan antara kedua belah pihak,
masyarakat adat di Aceh. Pada masa menunggu ini (watee seumeupreh) pihak
pengantin wanita mengantar balasan kue-kue atau penganan kepada pihak pengantin
laki-laki yang ditangani langsung oleh ibu kandung dan wanita-wanita tua dari
Setelah menerima lamaran dari pihak laki-laki , pihak keluarga si gadis tidak
dibenarkan menerima lamaran orang lain. Apabila ketentuan ini dilanggar, pihak
keluarga si gadis akan dikenakan denda secara adat sebanyak 2 (dua) kali lipat. Dan
113
Ibid.
114
Ibid.
tanda kong haba juga harus dikembalikan kepada pihak laki-laki juga sebanyak 2
pengertian bahwa jika pihak perempuan yang membatalkan peminangan, maka pihak
perempuan tersebut harus mengembalikan emas bawaan pihak laki-laki pada saat ba
tanda. Jika yang di bawa 2 mayam maka pihak perempuan harus mengembalikan 2
mayam bawaan laki-laki tersebut tadi. Karena pihak perempuan yang membatalkan
(wan prestasi) maka dia dikenakan denda sebanyak yang di bawa pihak laki-laki.
Jika yang dibawa 2 mayam, denda si perempuan juga 2 mayam. Dalam hal seperti ini
peminangan di Aceh cukup adil. Dikatakan adil karena kedua belah pihak seimbang
dalam hal sanksi adat yang diberikan. Antara laki-laki dan perempuan diberikan
sanksi yang sama yaitu 1 bagian. Seandainya pihak perempuan yang membatalkan
pihak laki-laki pada saat peminangan. Karena perempuan tersebut tidak jadi menikah
dengan laki-laki yang meminangnya maka dia tidak berhak memiliki barang bawaan
tersebut, dan pihak perempuan ini juga wan prestasi maka dia dikenakan denda 1
bagian juga. Jadi bagian yang harus di kembalikan oleh pihak perempuan kepada
115
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
tanggal: 25 Maret 2015.
pihak laki-laki adalah 2 bagian, 1 bagian pengembalian barang yang telah dibawa
Begitu juga dengan pihak laki-laki, jika membatalkan peminangan sanksi adat yang
diberikan kepadanya juga 1 bagian yaitu barang yang telak dibawanya pada saat
peminangan menjadi hagus. Jadi jelas disini antara laki-laki dan perempuan diberikan
Pada hari peminangan (ba tanda) di Aceh, selalu diiringi dengan perjanjian
atau kesepakatan diantara peminang dengan orang tua perempuan yang dipinang.
Kesepakatan atau perjanjian tersebut dilakukan dihadapan semua yang hadir pada
Jeuname atau mas kawin pada masyarakat yang bersistem sosial bilateral,
pada umumnya merupakan syarat sahnya nikah sesuai ketentuan agama dan adat
berlangsung untuk pertama kalinya. Dalam hal orang tua pengantin laki-laki telah
almarhum, maka kewajiban itu beralih pada keluarga, terutama mereka yang
116
Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Op.cit.,
1978, hal. 59.
117
Ibid.
kawin. Apabila anak yang akan dikawinkan itu anak pertama, maka ukuran
berkisar dari 5 (lima) sampai 25 (duapuluh lima) mayam emas 24 karat. Emas 24
adakalanya diberikan sekaligus pada saat akad nikah. Pelaksanaan mahar dengan
kontan dan berhutang, atau kontan sebagian dan hutang sebahagian, hal ini
Di daerah Aceh Pidie, disamping mas kawin masih ada lagi uang hangus.
Uang hangus ialah sejumlah uang yang diminta atau ditetapkan untuk diserahkan
oleh pihak laki-laki bersamaan dengan penyerahan mas kawin. Besarnya uang
hangus juga ditentukan pada saat ba tanda. Penetapan uang hangus biasanya
kawin dan uang hangus itu diputuskan melalui acara khusus yang disebut ikat
janji.119
118
Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Adat Istiadat Daerah Propinsi D.
I. Aceh, 1978, hal. 134.
119
Ibid., hal. 61.
baru dalam adat kebiasaan perkawinan di Aceh, yang dulunya tidak dikenal
dalam adat yang asli, pada saat mana upacara perkawinan berlangsung secara
salah satu pengaruh perkotaan yang serba ekonomis, dan kenyataannya di Aceh
pun uang hangus lebih banyak dipraktekkan disekitar masyarakat kota untuk
yang ikut mengantar linto pada saat pesta perkawinan nantinya. 120
Disamping uang hangus ada lagi semacam sumbangan yang disebut uang
pengantin laki-laki yang ikut mengantar pada saat intat linto di acara pesta
makan.121
120
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.
121
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.
dilakukan dengan tunangan terlebih dahulu, nikah gantung atau nikah pulang
terus.
ini sebaiknya tidak melebihi 3 (tiga) tahun. Dalam masa menunggu ini masing-
masing pihak harus menjaga diri dari berbagai fitnah dan godaan, terutama bagi
calon pengantin wanita. Selama itu mereka harus mempersiapkan diri dalam
bertingkah laku, tutur kata, kesopanan, pergaulan, dan terutama dalam soal-soal
perkawinan. Persiapan ini lebih terasa pada orang tua pengantin wanita pada
akad nikah (ijab kabul) atau acara peresmian perkawinan dilakukan (ditentukan
122
Wawancara dengan Tgk. Muhammad (Pengurus Pesantren Darul Aitam di Kabupaten
Pidie), Tanggal: 30 Maret 2015.
123
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
Tanggal: 25 Maret 2015.
Apabila hal-hal yang telah disepakati dan telah diperjanjikan pada saat
peminangan tidak ditepati oleh salah satu pihak, maka akan terjadi konflik diantara
penyelesaian adat gampong. Pola seperti ini sebenarnya berasal dari syariat Islam
dengan jalan damai biasanya diselesaikan pada tingkat desa terlebih dahulu. Aparat
desa yang terdiri dari keuchik, sekretaris, dan tuha peut duduk dengan pihak-pihak
yang bermasalah tersebut. Mencari jalan keluar dari permasalah yang para pihak
hadapi. Setelah ada jalan penyelesaian biasanya pada tahap akhir dilakukan peumat
jaroe.124
melihat pengaruhnya yang positif dan perannya yang besar dalam memelihara
dalam Islam. Menepati janji adalah antara ciri-ciri orang Islam yang beriman, karena
hubungan silaturrahmi dan boleh mewujudkan suasana harmoni dan aman damai di
melihat pengaruhnya yang positif dan perannya yang besar dalam memelihara
orang yang mempergauli manusia, maka ia tidak menzhalimi mereka. Dan siapa yang
mengajak berbicara manusia, maka hendaklah tidak mendustakan mereka. Dan jika
berjanji, maka tidak mengingkari janji. Dia termasuk orang yang sempurna harga
janji, bersikap benar terhadap mereka, adalah pertanda sempurnanya kepribadian dan
harga diri serta suatu lambang keadilan. Orang seperti itu wajib dijadikan saudara dan
sahabat.
Allah SWT memerintahkan agar memenuhi janji, baik itu terhadap Allah
ataupun sesama manusia, firman Allah dalam Surah 5 (Al-Maidah) ayat 1 yang
126
artinya: “hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad perjanjian-mu” Dalam
bentuk apapun, pelanggaran terhadap janji dianggap sebagai dosa besar yang perlu
125
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah (Terjemahan, Penerjemah: H. Kamaluddin A. Marzuki , Jilid
XI, Alma’arif, Bandung, 1987, hal. 173.
126
Ibid.
jawabkan dan dihisap di muka Allah.127 Firman Allah dalam surah Bani Israil, ayat 34
jawabannya.”
Menepati janji adalah bagian daripada iman, Rasulullah SAW bersabda yang
Tak ada balasan lain bagi yang menepati janji kecuali syurga, firman Allah
dalam surah Al- Mu’minun ayat 8, 9, 10, 11 yang artinya: “Dan orang-orang yang
shalatnya. Mereka itulah orang-orang yang mewarisi syurga Firdaus. Mereka kekal di
dalamnya”.129
eksistensi agama mereka, menjamin keamanan harta mereka, dengan syarat mereka
kemudian minta maaf. Kemudian kembali (berjanji) dan mereka langgar sekali lagi.
Maka turunlah surah Al- Anfaal ayat 55 dan 56 yang artinya: “sesungguhnya
makhluk yang paling buruk di mata Allah adalah orang kafir, karena mereka tidak
beriman. (yaitu) orang-orang yang kamu telah membuat perjanjian (dengan mereka)
kemudian mereka melanggar janji mereka setiap kali (berjanji), dan mereka tidak
takut (akibatnya)”.130
127
Ibid., hal. 174.
128
Ibid., hal. 175.
129
Ibid.
130
Ibid., hal. 176.
Allah membenci sekali orang yang melanggar janji. Allah berfirman dalam
surah An- Nahl ayat 91 dan 92 yang artinya: “ Dan tepatilah perjanjian dengan
Allah apabila kamu berjanji dan jaganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah
(mu) itu sesudah kamu meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah
sebagai saksimu. Sesungguhnya Allah mengetahui apa-apa yang kamu
lakukan. Dan janganlah kamu seperti seorang perempuan yang menguraikan
benangnya yang sudah dipintal dengan kuat, menjadi cerai berai kembali,
kamu menjadikan sumpah (perjanjianmu) sebagai alat penipu di antaramu,
disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya darigolongan
yang lain. Sesungguhnya Allah hanya menguji kamu dengan hal itu. Dan
sesungguhnya di hari kiamat akan dijelaskan-Nya kepada kamu apa yang
dahulu perselisihkan.”131
beragama Islam seharusnyalah selalu berpegang teguh kepada ajaran hukum Islam
yang senantiasa mengajarkan untuk menepati janji yang telah mereka perbuat dan
jangan mengingkari janji yang telah diperteguhkan di hadapan Allah dan dihadapan
Pada saat mengantar tanda (meminang) biasanya yang ikut hadir di acara
tersebut terdiri dari: seulangkeu, keuchik, tuha peut, imum meunasah, tokoh-tokoh
Keuchik adalah kepala desa yang merupakan Kepala Badan Eksekutif tingkat
desa. Tuha peut adalah dewan orang tua yang mempunyai pegetahuan yang luas
tentang adat dan agama. Tugas tuha peut meningkatkan upaya-upaya pelaksanaan
syariat Islam dalam adat-istiadat dalam masyarakat. Tuha peut juga bertugas
131
Ibid., hal. 178.
memelihara kelestarian adat-istiadat. Disamping itu, tuha peut juga berfungsi sebagai
pemberi nasehat dan pertimbangan kepada keuchik dalam bidang hukum adat, adat-
istiadat dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat. Selain itu keuchik dan tuha peut
gampong juga menjadi hakim perdamaian antara penduduk gampong. Apabila ada
perselisihan antar warga gampong kedua lembaga ini harus bermusyawarah bersama
sehingga persoalan yang ada bisa terselesaikan dan tercipta keharmonisan dalam
hidup di gampong. Pada acara peminangan disamping seulangke, tuha peut adalah
agama.
Menurut saudara SYT, pada saat meminang calon istrinya dulu, orang-orang
yang ikut serta adalah yang terdiri dari Tgk. Razali yang bertindak sebagai
seulangkeu, pak geuchik Desa Paloh, Tuha Peut desa Paloh, imum meunasah dan
Menurut saudara LKM pada saat meminang calon istrinya yang ikut serta
pada saat itu adalah kedua orang tuanya, Bapak Rusli yang bertindak sebagai
132
Wawancara dengan SYT (yang pernah membatalkan pertunangan) Desa Paloh,
Kemukiman Paloh, Kecamatan Pidie, tanggal: 30 Maret 2015.
seulangkeu, geuchik desa Kampong Asan, Tuha Peut desa Kampong Asan dan
saudara dekatnya yang terdiri dari adik ibunya dan abang dari bapaknya.133
pada saat peminangan selalu melibatkan aparat desa dari kedua belah pihak.
Keterlibatan aparat desa dan kerabat dekat dari kedua belah pihak sebagai saksi
dalam perjanjian dan kesepakatan yang mereka buat supaya memperoleh kekuatan
133
Wawancara dengan LKM (yang pernah dibatalkan pertunanganya) Desa Keulibeut Dayah
Tanoh, Kemukiman Keulibeut, Kecamatan Pidie, tanggal: 31 Maret 2015.
sesudah diikuti dengan memberikan pembayaran mas kawin seluruh atau sebahagian
melakukan akad nikah, bukan berarti sudah terjadi aqad nikah. Dan membatalkannya
adalah menjadi hak dari masing-masing pihak yang tadinya telah mengikat perjanjian.
Terhadap orang yang menyalahi janjinya, Islam tidak menjatuhkan hukuman materiil,
sekalipun perbuatan ini dipandang amat tercela dan dianggap sebagai salah satu dari
sifat-sifat kemunafikan, terkecuali kalau ada alasan-alasan yang benar yang menjadi
sebab tidak dipatuhinya perjanjian tadi.134 Dalam sebuah Hadis Shahih, Rasulullah
SAW bersabda, yang artinya: “sifat orang munafik itu ada tiga: Apabila berbicara
Abdullah bin Umar ketika menghadapi maut berkata: lihatlah si Fulan (sambil
menunjuk seorang laki-laki suku Quraisy) bahwa saya telah pernah berkata
kepadanya tentang anak putriku yang dapat dikatakan sebagai janji, dan aku tidaklah
134
Sayyid Sabiq, Op.cit., hal. 45.
135
Ibid.
76
kemunafikan. Karena itu saksikanlah bahwa sekarang saya kawinkan putriku dengan
dia.136
Putusnya peminangan terjadi sebab pembatalan dari salah satu pihak atau
kesepakatan diantara keduanya. Peminangan juga usai jika salah satu pasangan ada
seorang wanita agar bersedia untuk menjadi istrinya. Peminangan yang telah diterima
itu dalam ikatan perkawinan. Masing-masing pihak yang terlibat dalam peminangan,
berhak untuk membatalkan peminangan secara sepihak, baik karena suatu alasan
yang meminangnya, lalu ia menikah dengan peminang kedua, maka perbuatan wanita
sebagian kecil ulama yang mengharuskan komitmen itu dibuktikan dengan akad yang
dijanjikannya, karena hukum menepati janji adalah wajib. Sebagaimana firman Allah
dalam surat As-Saf ayat 3: Artinya: “amat besar kebencian disisi Allah bahwa kamu
136
Ibid.
Ibnu hajar mengatakan bahwa indikasi kewajiban menepati janji sangat kuat.
Akan tetapi, mayoritas ulama berpendapat bahwa menepati janji hukumnya sunnah,
Peminangan juga termasuk komitmen atau janji untuk melakukan akad, oleh karena
itu membatalkan peminangan makruh menurut mayoritas ulama, dan haram menurut
sebagian lainnya. Hal ini berlaku jika pembatalan tersebut tidak disertai dengan
alasan yang jelas, jika pembatalan peminangan memiliki sebab-sebab yang jelas,
Syaih Nada Abu Ahmad mengatakan bahwa jika wali dari seorang wanita
kembali janji untuk menikahkan anaknya. Bahkan wanita itu sendiri juga berhak
untuk membatalkan pinangan jika ia tidak suka dengan peminang. Pernikahan adalah
ikatan seumur hidup, karena wanita yang akan menikah harus berhati-hati dalam
Wali atau tunangan yang menarik kembali janjinya tanpa suatu alasan yang
jelas hukumnya makruh, namun tidak sampai haram. Perumpamaannya adalah seperti
seorang pembeli yang telah menawar barang namun tidak jadi membelinya. Seorang
peminang juga makruh untuk membatalkan peminangan jika wanita tersebut telah
137
http://perdata-islam-blogspot.com/2013/01/peminangan-dalam-hukum-islam.html, diakses
pada hari kamis, 14 Agustus 2014.
oleh orang tua-tua, mengikat kedua belah pihak, orang tua dan kerabatnya masing-
berikut:139
a. Salah satu pihak atau kedua belah pihak, baik si pria dan si wanita yang
terjadi si pria melakukan pertunangan atau perkawinan dengan wanita lain atau si
wanita berlarian untuk kawin dengan orang lain atau dikawinkan dengan orang
lain. Demikian pula apabila salah satu pria atau wanita meninggal dunia.
b. Salah satu pihak atau kedua pihak, menolak untuk meneruskan pertunangan
dikarenakan adanya cacat, cela pribadi dari pria dan wanita yang bertunangan,
misalnya cacat, cela, sifat, watak, perilaku, budi pekerti dan kesehatannya.
Termasuk cacat, cela orang tua/keluarga dan kerabat salah satu pihak, sebagai
dikarenakan pihak yang melamar tidak mampu memenuhi permintaan pihak yang
dilamar atau sebaliknya, pihak yang dilamar merasa permintaannya tidak (dapat)
138
Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat Dan Upacara
Adatnya, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 64.
139
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
tanggal: 25 Maret 2015.
pertunangan diantara para pihak, baik yang sifatnya pelanggaran kesopanan dan
pertunangan berhak menuntut kembali barang-barang tersebut dan pihak yang telah
mengganti kerugian dengan nilai harga yang sama atas barang-barang pertunangan
dari pihak pria sendiri tidak meneruskan ikatan pertunangan atau terjadi sebaliknya
pihak wanita atas persetujuan bersama kedua pihak tidak mengembalikan barang-
barang pertunangan yang telah diberikan, atau hanya dikembalikan sebahagian saja,
Yang terjadi di Aceh Pidie sekarang ini, sifatnya kasuistis. Maksudnya antara
satu kasus dengan kasus lainnya sangatlah berbeda, tergantung pada orangnya.
Menurut saudara SMN yang dibatalkan pertunangan oleh keluarga Ahkyar karena
Akhyar yang telah bertunangan dengan SMN di Aceh Pidie dan ternyata menikah
dengan wanita lain di Pekanbaru. Karena merasa harga dirinya direndahkan oleh
140
Ibid., hal. 66.
141
Ibid.
pihak keluarga Akhyar maka pihak keluarga SMN tidak mau menerima emas tanda
pertunangan dari akhyar walaupun akhyar yang berbuat salah dan membatalkan
Tetapi yang di kembalikan bukan 2x lipat, melainkan sebanyak emas yang dibawa
pihak laki-laki pada saat ba tanda berjumlah 2 mayam, yang dikembalikan hanya
Dalam kasus saudara SMN ini walaupun menurut hukum adat yang berlaku di
Aceh apabila pihak laki-laki yang membatalkan peminangan, pihak perempuan tidak
dibenarkan untuk memiliki barang yang telah diserahkan oleh pihak laki-laki pada
saat peminangan,akan tetapi karena merasa sakit hati dan harga dirinya direndahkan,
dikembalikan hanya barang yang masih ada yaitu emas tanda pertunangan.
Sedangkan barang-barang lain yang sudah tidak ada lagi seperti bahan makanan yang
sudah dimakan dan barang pakain yang sudah dipakai tidak dikembalikan lagi. Jadi
disini jelas bahwa pada kasus-kasus tertentu aturan hukum adat tidak berlaku penuh,
para pihak –pihak yang terlibat dalam peminangan tersebut bisa juga
megesampingkan aturan hukum adat sebatas hal tersebut dalam kewajaran dan tidak
142
Wawancara dengan saudara SMN (yang pernah dibatalkan pertunangan), Desa
Meunasah Tijue, Kemukiman Tijue, Kecamatan Pidie, tanggal: 28 Maret 2015.
Adat selain bermakna dengan adat istiadat, juga merupakan norma, kaidah
pengertian Adat yang bersifat hukum (hukum adat) dengan pengertian yang bersifat
perbuatan prilaku yang tetap/tradisioanl. Namun kejelasan itu akan terlihat dalam
penyelesaian masalah bila ada kasus-kasus adat yang terjadi dalam masyarakat.
Adat/hukum adalah suatu norma yang mengandung sifat dan nilai-nilai hukum dalam
kerukunan dan kesejahteraan masyarakat, dimana bagi siapa saja yang melanggar
adat (hukum adat) akan diberikan sanksi hukum. Hukuman yang dijatuhkan oleh
damai yang mengandung sanksi di gampong-gampong dan mukim (asas: cepat, murah
dan sederhana). Kedua makna adat itu, dalam realiatas kehidupan sosiologis
143
H. Badruzzaman Ismail, Panduan Adat Dalam Masyarakat Aceh, Majelis Adat Aceh,
2009, hal. 7.
1. Adatullah, yaitu hukum adat yang bersumber hampir seluruhnya (muthlak) pada
2. Adat Tunnah, yaitu adat istiadat sebagai manifestasi dari Kanun dan Reusam
kadang-kadang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun masih ada yang
perjanjian diantara peminang dengan orang tua perempuan. Perjanjian itu dalam
bentuk mahar atau mas kawin dan bawaan lain yang dibawa oleh peminang untuk
Isi perjanjian, semua bawaan dan mahar yang telah diserahkan pada waktu
meminang (ba tanda) akan menjadi milik perempuan yang dipinang, bila pembatalan
peminangan tersebut dilakukan oleh pihak peminang (laki-laki). Akan tetapi bila
pembatalan peminangan (ba tanda) itu dilakukan oleh pihak perempuan yang
dipinang maka perempuan tersebut harus membayar 2x (dua kali) lipat atau lebih
kepada pihak laki-laki sesuai dengan perjanjian yang diucapkan pada waktu
meminang. Perjanjian atau kesepakatan itu didengar dan disaksikan oleh mereka
Pada masa pertunangan ini apabila si pria menarik diri atau membatalkan
pertunangannya maka emas yang dibawa pada saat ba tanda tersebut akan hangus,
akan tetapi apabila pihak perempuan yang menarik diri atau membatalkan
pertunangan, maka mas tanda pertunangan tersebut dikembalikan dengan ganda dua
(2x lipat).
Di daerah Aceh Pidie emas yang diberikan sebagai tanda kong haba ada yang
menjadi bahagian dari mahar yang akan diperhitungkan kembali nanti pada waktu
meugatib (nikah), dan ada yang tidak termasuk bahagian dari mahar.
Apabila selama masa pertunangan salah satu pihak ingkar janji atau
mengundurkan diri dengan berbagai alasan, maka upaya yang ditempuh adalah
masyarakat adat dalam menyelesaikan sengketa mereka. Para tokoh adat menjalankan
fungsinya sebagai mediator, fasilitator dan negosiator. Dalam praktiknya para tokoh
dalam sistem hukum adat tidak membedakan hukum privat dan publik, mediasi
dilakukan pada dua lapangan hukum ini. Hal ini berbeda dengan sistem hukum yang
144
Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum Nasional,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2011, hal. 249.
Cara dan pola penyelesaian konflik yang berasal dari syariat Islam
diterjemahkan oleh masyarakat Aceh dalam bingkai adat, sehingga tampak adanya
pergeseran secara tekstual antara yang tertulis dalam doktrin syariah, dengan apa
sesuatu yang bertentangan dengan syariat, akan tetapi mewujudkan makna syariat
bersama yang dibuat para pihak yang bersengketa merupakan pencapaian tertinggi
manusia dalam mengelola atau mengontrol nafsu amarahnya. Karena dalam mediasi,
kemenangan. Ciri masyarakat hukum adat tergambar dari nilai kesederhanaan dan
terwujud bila individu memiliki pribadi yang bersih dari sifat rakus, menang sendiri,
145
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung,
1992, hal. 247.
146
Syahrizal Abbas, Op.cit., hal. 252.
147
Ibid.
kenyataannya cukup berhasil dilaksanakan oleh para pihak disebabkan oleh faktor :
masyarakat hukum adat, dimana para pihak yang selama ini bersengketa telah
menempuh jalur damai. Perdamaian yang dibuat keduanya dibungkus dalam upacara
adat, yang melibatkan tokoh dan keluarga besar dari kedua belah pihak.
masyarakat mengetahui bahwa diantara para pihak tidak ada lagi persengketaan.
Prosesi yang melibatkan tokoh adat dan masyarakat, menjadi pengontrol bagi
pelaksanaan hasil mediasi. Tokoh adat juga akan mudah dalam memantau dan
menemukan kendala-kendala yang dihadapi oleh para pihak dalam melaksanakan isi
kesepakatan.
terlibat para tokoh adat yang telah bertindak sebagai mediator. Pada sisi lain keluarga
besar para pihak yang bersengketa, dapat juga menjadi pendorong bagi memudahkan
realisasi kesepakatan mediasi. Keluarga besar para pihak akan malu, bila diketahui
oleh masyarakat bahwa mereka adalah penghambat dari mulusnya pelaksanaan hasil
mediasi. Oleh karena itu, kontrol masyarakat menjadi amat penting dalam
pelaksanaan hasil mediasi. Hal ini mengingatkan kembali bahwa masyarakat dapat
Menurut saudara MHD, sekarang ini yang terjadi dalam masyarakat Aceh
Pidie, bahwa yang bertindak sebagai mediator adalah tokoh adat atau ulama. Di
daerah Aceh, sebahagian besar ulama di Aceh adalah tokoh adat, karena adat dan
agama menyatu dalam kehidupan masyarakat Aceh. Para tokoh adat dan agama yang
bertindak sebagai mediator memiliki arti penting bagi pihak yang melakukan
adat atau ulama dalam menjalankan mediasi. Sebagai tokoh yang mendapat
kepercayaan para pihak, maka para tokoh adat dan ulama yang dihormati atau
melaksanakan hasil mediasi. Para pihak akan merasa malu jika kesepakatan-
kesepakatan yang telah mereka ucapkan dihadapan tokoh adat dan ulama, mereka
masyarakat hukum adat, jika kesepakatan damai para pihak sudah diikrarkan
dihadapan tokoh adat, apalagi dilakukan pada suatu upacara adat, maka kesepakatan
tersebut harus dilaksanakan dengan segera. Bila salah satu pihak mengingkari atau
tidak bersedia melaksanakan hasil mediasi, maka pihak tersebut akan mendapatkan
sanksi adat dari masyarakat hukum adat. Sanksi ini sangat tergantung pada sejauh
mana tingkat pengingkaran terhadap kesepakatan, dan tergantung pada dampak yang
148
Wawancara dengan Bapak Badruzzaman Ismail, Ketua Majelis Adat Aceh, Banda Aceh,
tanggal: 25 Maret 2015.
hukum adat. Bentuk-bentuk sanksi yang diberikan kepada pihak yang tidak bersedia
melaksanakan hasil mediasi dapat berupa pengucilan dari kegiatan sosial, dan bahkan
sampai kepada pengusiran dari komunitas hukum adat (gampong). Penjatuhan sanksi
kepada para pihak tidak dilakukan secara serta-merta, tetapi dilakukan setelah proses
negosiasi guna merealisasikan hasil mediasi yang dilakukan oleh tokoh adat.149
perlukaan nilai dan rasa keadilan masyarakat hukum adat. Rasa keadilan masyarakat
harus dijunjung tinggi dan bila ada pihak yang mencoba untuk merusaknya, maka
seluruh potensi masyarakat adat harus digunakan untuk mempertahankan nilai itu.
Peminangan.
diminta kembali, bilamana aqad nikahnya tidak jadi karena mahar diberikan sebagai
ganti dan imbalan perkawinan. Selama perkawinan itu belum terlaksana maka pihak
mengembalikan kepada pemiliknya, karena barang itu dialah yang punya. Adapun
149
Wawancara dengan MHD, Desa Tibang, Kemukiman Asan, Kecamatan Pidie, Tanggal 1
April 2015.
dengan hibah. Secara hukum hibah itu tidak boleh diminta kembali, karena
merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian dari
sesuatu.150
Bilamana barang yang diberikan telah diterima berarti sudah jadi miliknya
kembali berarti merampas milik orang yang diberi tanpa keridhaannya. Dan
perbuatan semacam ini menurut hukum maupun adat kebiasaan tidak boleh. Tetapi
bila itu diberikan sebagai imbalan dari sesuatu yang akan diterimanya dari penerima
barang, tetapi kemudian tidak dipenuhi maka pemberiannya itu boleh diminta
kembali. Pemberi barang disini mempunyai hak meminta, karena barang yang
diberikan tadi adalah sebagai imbalan dari sesuatu yang akan diterima. Jadi bilamana
1. Riwayat Ash-habus Sunan (Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi, Nasa’i) dari Ibnu
“tidak halal seorang yang telah memberikan sesuatu, atau menghibahkan sesuatu
“orang yang menarik kembali barang yang diberikannya, adalah laksana orang
150
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Jilid 6, (Terjemahan), PT. Alma’arif, Bandung, hal. 46.
151
Ibid.
152
Ibid., hal. 47.
3. Dari Salim, dari bapaknya, Rasulullah SAW telah bersabda, yang artinya :
“Barang siapa memberikan hibah, maka dia masih tetap lebih berhak terhadap
sebagai berikut: Pemberi hibah yang tidak halal meminta kembali barangnya,
bilamana ia berikan sesuatu derma sukarela, bukan untuk suatu imbalan. Sedang
pemberi hibah yang masih tetap ada hak minta kembali barangnya, bilamana hibah
yang diberikanya sebagai imbalan sesuatu yang akan diterimanya, tetapi kemudian
penerima hibah tidak memenuhi janjinya. Dengan demikian semua hadis di atas dapat
kita pakai pada tempatnya dan tidak bertentangan satu sama lain.154
berdasarkan kepada Madzhab Hanafi yang mengatakan segala hadiah oleh pihak laki-
laki kepada pinangannya berhak untuk diminta kembali selagi barangnya masih utuh,
tidak berubah sesuatu pun. Seperti: kalung atau cincin, gelang atau jam dan lain
sebagainya, dapat dikembalikan kepada peminangnya kalau barang itu masih ada.
Jika barang-barangnya sudah tidak utuh lagi, umpama karena hilang atau dijual atau
dirobah atau ditambah sedikit, atau kalau merupakan bahan makanan sudah dimakan,
atau bahan pakaian sudah dipotong menjadi baju, maka peminang tidak ada hak untuk
meminta kembali barang yang sudah dihadiahkannya atau minta ganti yang lain.155
153
Ibid.
154
Ibid.
155
Ibid.
sepenuhnya terhadap barang hibahan tadi untuk dijual belikan dan sebagainya,
4. Barang hibah yang telah rusak atau habis dipergunakan tak dapat lagi diminta
kembali.
masih utuh.156
pihak lainnya. Ulama sepakat jika pemberian tersebut berupa mahar, maka peminang
boleh memintakan mahar itu secara mutlak, baik pemutusan tersebut dari pihak
wanita, laki-laki, maupun kedua belah pihak. Wanita tidak bisa memiliki mahar
156
Ibid.
Apabila mahar itu masih ada, maka wajib dikembalikan. Sedangkan apabila
barangnya telah habis, maka wajib diganti ataupun diuangkan. Ulama hanafiyah
dengan hibah. Peminang dapat menarik kembaki kecuali barang tersebut sudah rusak
barangnya masih ada, atau dikembalikan persamaan atau harganya jika barangnya
telah rusak atau lebur, baik pemutusan pinangan itu berasal dari pihak wanita maupun
meminta kembali pemberiannya, baik barangnya masih ada maupun sudah tidak ada
lagi. Pihak yang berhak meminta barangnya adalah pihak yang tidak menggagalkan
pinangan. Dia berhak menerima barangnya jika masih ada, atau menerima harganya
Pendapat ulama malikiyah ini cukup logis, karena tidak selayaknya bagi
wanita yang tidak menggagalkan mendapat dua beban, yaitu ditinggal dan beban
untuk mengembalikan hadiah, dan tidak selayaknya pula bagi lelaki yang tidak tidak
157
Ibid.,hal: 48.
158
Ibid.
perempuan dengan diketahui oleh geuchik (kepala desa) mendatangi pihak orang tua
emas bawaan laki-laki sebanyak 8 mayam. Dimana pada saat tunangan disepakati
mayam, dan bawaan lain baik itu makanan dan pakaian sebanyak 6 talam.159
Dalam kasus SST ini pengembalian yang dilakukan oleh pihak perempuan
sebanyak 2x lipat. Yang dikembalikan 2x lipat ini hanya barang emas tanda
pertunangan saja, sedangkan barang makanan dan pakaian yang dibawa pihak laki-
laki pada saat peminangan tidak dikembalikan laki. Jadi di Aceh berlaku juga bahwa
hanya barang yang masih ada saja yang harus di kembalikan, barang yang sudah tidak
ada lagi bisa saja dalam kasus-kasus tertentu tidak di kembalikan. Tetapi ini juga
tergantung setuju atau tidaknya pihak laki-laki. Jika pihak laki-laki juga tetap
meminta barang-barang yang telah dimakan atau dipakai untuk dikembalikan, pihak
dilakukan atas kemauan orang tua pihak laki-laki. Saudara BRH sendiri pada saat itu
tidak berada di Aceh, karena sedang bekerja di luar Aceh. Ibu dari saudara BRH ini
159
Wawancara dengan SST, Desa Kampoeng Baroe, Kemukiman Kampoeng Baroe,
Kecamatan Pidie, tanggal: 23 Maret 2015.
ingin anaknya segera menikah, maka ibunya melamar dewi. Pada saat lamaran
tersebut saudara BRH tidak ikut. Sudara BRH tidak pernah melihat maupun bertemu
langsung dengan saudari Dewi, ia hanya dikirim foto Dewi oleh orang tuanya.
Setelah masa pertunagan 6 bulan sudara BRH pulang ke Aceh dan dipertemukan
dengan Dewi. Saudara BRH tidak tertarik dengan Dewi. Karena alasan itulah maka
Saudara BRH meminta kepada ibunya untuk membatalkan peminangan. Pada saat
sebanyak 2 mayam tersebut tidak di minta kembali (hangus).160 Dalam kasus saudara
BRH aturan hukum adat diberlakukan. Karena pihak laki-laki yang membatalkan,
maka dia dikenakan sanksi adat yaitu tidak boleh meminta kembali barang
bawaannya, baik emas tanda pertunangan maupun barang lain menjadi hak pihak
perempuan.
bahwa mereka akan menikah tahun depan. Akan tetapi setelah satu tahun berjalan
pihak laki-laki belum mau menikah. Dengan alasan belum siap, padahal orang tua
ERN mengetahui kalau Budi ada berpacaran dengan perempuan lain. Pihak Budi
tidak mau membatalkan peminangan. Karena waktu telah berjalan lama, maka pihak
160
Wawancara dengan BRH (yang pernah melakukan pembatalan peminangan) Desa Cot
Rheng, Kemukiman Asan, Kecamatan Pidie, Tanggal: 23 Maret 2015.
161
Wawancara dengan sdr. ERN (yang pernah melakukan pembatalan peminangan) Desa
Teubeung Dayah, Kemukiman Teubeung, Kecamatan Pidie. Tanggal: 26 Maret 2015.
Dalam kasus saudara ERN walaupun penyebab berasal dari pihak laki-laki,
akan tetapi karena pihak perempuan yang membatalkan maka konsekwensinya pihak
perempuan harus mengembalikan bawaan pihak laki-laki pada saat peminangan juga
harus membayar sanksi yang ditentukan dalam hukum adat. Pihak keluarga ERN
khususnya yang berada di Kecamatan Pidie masih menjalankan aturan hukum adat
dimana didalam hukum adat menentukan apabila pihak laki-laki yang melakukan
pembatalan peminangan maka bawaan laki-laki dan emas tanda peminangan yang
dibawa pada saat peminangan menjadi hangus, akan tetapi apabila pihak perempuan
yang dibawa laki-laki pada saat peminangan sebanyak 2x lipat. Disini tidak melihat
dipentingkan disini adalah pihak mana yang membatalkan peminagan maka pihak
itulah yang harus menjalankan sanksi yang ditentukan oleh hukum adat.
A. Kesimpulan
1. Aturan tentang peminangan telah diatur hukum Islam, baik dalam Al-Qur’an
maupun al-Hadits. Dalam Al- Qur’an surat al- Baqarah ayat 235, yang menjadi
dasar dari peminangan. Selain Al-Qur’an, hukum tentang peminangan pun ada
diatur dalam Hadist Rasulullah Muhammad SAW, yaitu dalam sunnah qauliyah,
sunnah fi’liyah serta dalam sunnah taqririyah. Dalam Kompilasi Hukum Islam
hanya diatur dalam Bab III Pasal 11, 12 dan 13. Masyarakat Aceh telah
sampai sekarang pun belum ada Qanun yang mengatur tentang itu walaupun
2. Tata cara peminangan dalam adat Aceh Pidie adalah pihak keluarga laki-laki
yang akan meminang seorang gadis selalu melibatkan aparat desa untuk
demikian juga tentang perjanjian yang akan dibuat pada waktu peminangan.
melibatkan Majelis Adat Aceh dan ulama setempat dalam hal perjanjian atau
96
kesepakatan yang mereka buat berdasarkan adat Aceh. Perjanjian yang dibuat
oleh kedua belah pihak ini disaksikan oleh aparat desa yang hadir dari kedua
belah pihak untuk mendapatkan kekuatan hukum atas perjanjian yang mereka
buat. Di dalam Al- Qur’an dan Sunnah hanya menyebutkan tentang perintah
meminang, tetapi tidak menentukan tentang bagaimana tata cara peminangan itu.
Dalam hukum Islam tentang tata cara peminangan tersebut diserahkan kepada
3. Akibat hukum dari pembatalan peminangan menurut hukum Islam adalah segala
hadiah yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pinangannya berhak untuk
diminta kembali selagi barangnya masih utuh, tidak berubah sesuatu pun dapat
dikembalikan kepada peminangnya kalau barang itu masih ada. Jika barang-
barangnya sudah tidak utuh lagi, maka peminang tidak ada hak untuk meminta
kembali. Adapun akibat dari pembatalan peminangan menurut adat Aceh adalah
jika pihak laki-laki atau calon suami mungkir janji (tidak mau kawin lagi) maka
hilanglah semua barang-barang bawaan dan emas tanda pertunangan yang telah
diserahkan kepada pihak calon istri. Jika si wanita atau calon istri mungkir janji
(tidak mau kawin lagi) maka pihak wanita harus membayar 2x lipat dari barang-
barang yang telah diterimanya. Seperti jika pada saat peminangan pihak laki-laki
sebanyak 4 manyam.
B. Saran
2. Tata cara peminangan pada masyarakat Aceh masih mengacu pada aturan hukum
adat yang bersumber dari aturan hukum Islam. Sebaiknya tata cara-cara
peminangan itu harus tetap dipertahankan sebagai tradisi yang harus terus
dibuat secara lisan saja, tetapi dilaksanakan secara otentik (dicatatkan), sehingga
apabila ada salah satu pihak yang membatalkan atau wan prestasi dapat
A. Buku
Abbas, Syahrizal, 2011, Mediasi Dalam Hukum Syariah, Hukum Adat dan Hukum
Nasional, Jakarta, Prenada Media Group.
Adhim, M.Fauzil, 2000, Saatnya Untuk Menikah, Jakarta, Gema Insani Press.
Al- Bukhari, 1994, Shahibul Al-Bukhari : Kitab Al-Nikah, Dar Al-Fikr, Beirut.
Al-Athar, Abd. Nashir Taufik , 2001, Saat Anda Meminang, Jakarta: Pustaka Azam.
Anderson, J.N.D, 1994, Hukum Islam Di Dunia Modern, Yogyakarta, Tiara Wacana.
Bungin, Burhan, 2003, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan
Metodologi ke Arah Penguasaan Modal Aplikasi, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada.
Fajar, Mukti, dan Yulianto Ahcmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
, 2003, Hukum Perkawinan Adat Dengan Adat Istiadat dan Upacara Adatnya,
Bandung, PT. Citra Aditya Bakti.
Hartono, Sunaryati, 1994, Penelitian Hukum Indonesia Pada Akhir Abad ke-20,
Bandung, Alumni.
99
Ismail, H. Badruzzaman, 2009, Panduan Adat Dalam Masyarakat Aceh, Majelis Adat
Aceh, ProvinsiAceh
Lubis, M. Solly, 1994, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Mandar Maju.
Muhammad, Abu al- Walid bin Ahmad bin Ibn Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd,
Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid (Semarang: Maktabah Karya
Toha Putra, t.t) jilid : II.
Panel Penulis JAKIM (Jabatan Kemajuan Islam Malaysia), 2006, Ayat-Ayat Suruhan,
UTUSAN PRINTCORP SDN. BHD, cet. I.
Proyek Penelitian Dan Pencacatan Kebudayaan Daerah, 1978, Adat Istiadat Daerah
Propinsi Daerah Istimewa Aceh.
Rasjid, Sulaiman, 2001, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), Sinar Baru Algensindo.
Sufi Rusdi dan Wibowo Agus Budi, 2004, Budaya Masyarakat Aceh, Badan
Perputakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Cet. I.
, dan Sri Mamudji, 1995, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada.
, 2005, Hukum Akad (kontrak) Dalam Fiqih Islam Dan Praktek Di Bank
Syariah, Program Pasca Sarjana USU.
Zamakhsyari, H., 2013, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih,
Bandung, Citapustaka Media Perintis.
B. Peraturan PerUndang-Undangan:
C. Tesis
Syawal, Putri Rizky, 2012, Tesis : Kekuatan Hukum Kesepakatan Pertunangan
Dalam Masyarakat Adat Melayu Deli Dikaitkan Dengan Ketentuan Hukum
Islam , Mkn-USU, Medan,