Anda di halaman 1dari 25

PENGGUNAAN MODEL COOPERATIVE LEARNING TIPE STUDENT

TEAMS ACHIEVEMENT DIVISION (STAD) DALAM MENINGKATKAN


KEMAMPUAN MEMBUAT KALIMAT TUNGGAL PADA ANAK
TUNARUNGU KELAS III DI SD DEWI SARTIKA BANDUNG

Proposal Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Oleh

Julianus Joko Utomo

18220380010099

PENDIDIKAN PROFESI GURU DALAM JABATAN


PENDIDIKAN LUAR BIASA
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2018
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam pelaksanaan pendidikan inklusif banyak permasalahan yang ditemukan.
Salah satu permasalahan tersebut ditemukan di SD Dewi Sartika pada siswa kelas III,
dimana dalam satu kelas tersebut terdapat 18 siswa dan 6 diantaranya merupakan
siswa tunarungu. Salah satu permasalahan yang dirasakan adalah keterlambatan
pemahaman siswa tunarungu dalam mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya
materi yang berhubungan dengan pembuatan kalimat. Ketika siswa tunarungu
membuat kalimat, kalimat yang mereka buat tidaklah tersusun dengan benar sesuai
dengan tatanan atau aturan yang ada. Hal ini menjadikan prestasi belajar anak
tunarungu khususnya dalam pelajaran bahasa Indonesia menjadi rendah. Keadaan
tersebut membuat guru kelas khawatir karena seiring dengan berjalannya proses
pembelajaran, materi pembelajaran akan semakin berat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, dalam penelitian ini peneliti akan
menerapkan suatu model pembelajaran untuk membantu meningkatkan kemampuan
membuat kalimat tunggal pada anak tunarungu kelas III di SD Dewi Sartika. Model
pembelajaran yang akan digunakan adalah model cooperative learning tipe Student
Teams Achievement Division (STAD).
Menurut Slavin (2005:8) “pada intinya dalam model cooperative learning,
para siswa akan duduk bersama dalam kelompok yang beranggotakan empat orang
untuk menguasai materi yang disampaikan oleh guru”.
Model cooperative learning, khususnya tipe Student Teams Achievement
Division (STAD) merupakan model pembelajaran yang berpusat pada siswa, dimana
siswa akan saling mambantu agar teman satu kelompoknya paham terhadap materi
yang disampaikan. Karena diakhir pembelajaran akan diadakan sebuah kuis yang
harus dikerjakan secara individual. Pada saat itulah pemahaman dari setiap individu
akan membantu menambah skor kelompok, sehingga jika skor kelompok tersebut
tinggi maka kelompok tersebut bisa saja menjadi kelompok yang terbaik di kelas itu.
Pada kasus yang ditemukan SD Dewi Sartika. Siswa tunarungu mengalami
kesulitan ketika diminta membuat kalimat. Hal ini merupakan dampak dari
ketunarunguan. Tunarungu yang mengalami hambatan dalam menerima informasi
dari indera pendengarannya, akan terhambat pula perkembangan bahasanya termasuk
membentuk bahasa (membuat kalimat). Maka dari itu untuk meningkatkan
kemampuan membuat kalimat khususnya kalimat tunggal pada anak tunarungu di SD
Dewi Sartika akan digunakan suatu model pembelajaran yaitu model cooperative
learning tipe Student Teams Achievement Division (STAD). Dengan menggunakan
model ini, ketika proses pembelajaran tentang kalimat berlangsung anak tunarungu
akan dimasukan ke dalam kelompok yang beranggotakan anak pada umumnya,
sehingga anak tunarungu ketika proses pembelajaran berlangsung akan dibantu oleh
anak pada umumnya yang tentu saja tidak memiliki hambatan dalam perkembangan
bahasanya. Selain itu juga skor kelompok yang diperoleh dari hasil penggabungan
skor masing-masing individu dari kelompok tersebut akan memotivasi anak
tunarungu dalam belajar dan akan memotovasi anak pada umumnya untuk membantu
anak tunarungu dalam belajar. hal tersebut terjadi dikarenakan bila skor salah satu
dari anggota kelompok mereka tidak memuaskan, maka akan berpengaruh pada skor
kelompok.
Menurut Somantri (2006:95) anak tunarungu adalah “anak yang mengalami
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan
atau tidak berfungsinya sebagian seluruh alat pendengarannya, sehingga ia mengalami
hambatan dalam perkembangan bahasanya.”
Bahasa merupakan bagian yang sangat penting dalam kehidupan manusia,
karena dengan berbahasa manusia dapat berkomunikasi dengan manusia lainnya.
Dengan berbahasa pula manusia dapat menungkapkan ide dan keinginannya. Sejalan
dengan itu Leutke-Stahlman dan Lucker (Bunawan,2000:34) mengemukakan “bahasa
sebagai suatu perpaduan atau pertemuan antara fungsi (use), isi (content), dan bentuk
(form).”
Fungsi dari bahasa adalah sebagai alat komunikasi. Isi dari bahasa adalah
makna dalam suatu ungkapan, sedangkan bentuk bahasa meliputi tata bentukan
(morfologi), tata kalimat (sintaksis), dan tata bunyi (fonologi). (Bunawan,2000:34)
Namun berbeda halnya dengan anak tunarungu. Karena mereka memiliki
hambatan dalam pendengaran, maka berdampak pada perkembangan bahasanya yang
terhambat juga. Menurut Somantri (2006:95)
perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman
pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran, anak tunarungu tidak
mempu mendengar dengan baik. Dengan demikian pada anak tunarungu tidak terjadi
proses peniruan suara setelah masa meraban, proses peniruannya hanya terbatas pada
peniruan visual.
Dalam konteks pendidikan, anak tunarungu yang memiliki kebutuhan-
kebutuhan yang khusus berhak juga mendapatkan pendidikan yang sama seperti anak
pada umumnya dan sekarang ini hak anak berkebutuhan khusus, khususnya anak
tunarungu untuk mendapatkan pendidikan telah diatur dalam Peraturan Mentri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia No.70 Tahun 2009 tentang pendidikan
inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan
dan/atau bakat istimewa.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana perencanaan pembelajaran membuat kalimat tunggal dengan model
cooperative learning tipe Student Teams Achievement Division (STAD)?
2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran membuat kalimat tunggal dengan model
cooperative learning tipe Student Teams Achievement Division (STAD)?
3. Bagaimana hasil kemampuan membuat kalimat tunggal setelah diberikan
pembelajaran menggunakan model cooperative learning tipe Student Teams
Achievement Division (STAD)?

C. Tujuan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1) Tujuan Penelitian Secara Umum
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui
peningkatan kemampuan membuat kalimat tunggal setelah diberikan
pembelajaran menggunakan model cooperative learning tipe Student Teams
Achievement Division (STAD) pada siswa kelas III SD Dewi Sartika Kota
Bandung.
2) Tujuan penelitian secara khusus
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah,
a. Untuk mengetahui perencanaan pembelajaran membuat kalimat tunggal
dengan model cooperative learning tipe Student Teams Achievement
Division (STAD).
b. Untuk mengetahui pelaksanaan pembelajaran membuat kalimat tunggal
dengan model cooperative learning tipe Student Teams Achievement
Division (STAD)
c. Untuk mengetahui hasil peningkatan kemampuan membuat kalimat tunggal
dengan model cooperative learning tipe Student Teams Achievement
Division (STAD)

D. Alternatif Pemecahan Masalah


Seperti yang diuraikan dalam latar belakang peneliti akan menggunakan
model cooperative learning tipe Student Teams Achievement Division (STAD)
sehingga anak lebih mudah memahami suatu struktur kalimat. Penggunaan model ini
diharapkan mampu mengatasi permasalahan anak tunarungu di lapangan terutama
pada kemampuan membuat kalimat tunggal.
Diharapkan pula dengan model pembelajaran ini peserta didik tunarungu akan
lebih mudah berinteraksi dan berkomunikasi dengan siswa lainnya, sehingga akan
mengembangkan minat dan memberikan stimulus, sehingga anak dapat membuat
kalimat tunggal dengan benar. Pemecahan masalah dalam penelitian ini yaitu dengan
model cooperative learning tipe Student Teams Achievement Division (STAD) anak
dapat meningkatkan kemampuan membuat kalimat tunggal.

E. Batasan Masalah
Batasan masalah diperlukan agar masalah lebih terfokus, oleh karena itu batasan
masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. model cooperative learning tipe Student Teams Achievement Division
(STAD)
2. Kemampuan membuat kalimat tunggal
3. Siswa kelas III tunarungu di SD Dewi Sartika Bandung

F. Manfaat
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagi siswa, diharapkan dapat meningkatkan kemampuannya dalam membuat
kalimat tunggal.
2. Bagi guru, diharapkan dapat membantu menambah wawasan, pemahaman, dan
pengalaman dalam usaha menggunakan model yang tepat dalam melaksanakan
pembelajaran.
3. Bagi peneliti lainnya, diharapkan penelitian ini dapat menjadi referensi dalam
mengembangkan penelitiannya terkait dengan model cooperative learning tipe
Student Teams Achievement Division (STAD) atau kalimat tunggal.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori

1. Definisi Model Cooperative Learning Tipe Student Teams Achievement


Division (STAD)

Menurut Elias (Engkoswara dan Aan Komariah, 2010:79) mengemukakan


bahwa “model merupakan representasi sistem yang direncanakan.” Sejalan
dengan itu Engkoswara dan Aan Komariah (2010:79) menyimpulkan bahwa
model “...menggambarkan suatu abstraksi, terutama mengenai bagaimana,
adanya, hendaknya, dan seharusnya suatu yang digambarkan tersebut”.
Dari pernyataan beberapa ahli di atas mengenai model, dapat disimpulkan
bahwa model pembelajaran merupakan representasi sistem pembelajaran yang
direncanakan. Terdapat banyak model pembelajaran yang dapat digunakan, salah
satunya adalah model pembelajaran cooperative learning. Menurut Solihatin dan
Raharjo (2009:4) mengatakan bahwa
Pada dasarnya cooperative learning mengandung pengertian sebagai
suatu sikap atau perilaku bersama dalam bekerja atau membantu di antara
sesama dengan struktur kerja sama yang teratur dalam kelompok, yang
terdiri dari dua orang atau lebih di mana keberhasilan kerja sangat
dipengaruhi oleh keterlibatan dari setiap anggota kelompok itu sendiri.

Pendapat lainnya juga dikemukakan oleh Taniredja et al. (2012:55) yang


mengatahan bahwa “pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan
sistem pembelajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja
sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur.” Sejalan dengan
itu semua, Slavin (2005:4) mengemukakan bahwa "cooperative learning merujuk
pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam
kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam
mempelajari materi pelajaran."
Dari pernyataan beberapa ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
cooperative learning merupakan suatu model pembelajaran yang memberikan
kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dan sukses dalam pembelajaran
secara bersama-sama, karena dengan menggunakan model pembelajaran ini
peserta didik diharuskan bekerja sama untuk maju dan sukses dalam
pembelajaran untuk mencapai keberhasilan kelompoknya. Selain model ini dapat
digunakan untuk mencapai suatu tujuan pembelajaran, model ini juga dapat
meningkatkan kerjasama antara siswa, karena siswa dalam kelas yang
menggunakan model cooperative learning diharuskan bekerjasama dalam
kelompok yang ada. Pernyataan tersebut juga diperkuat oleh pernyataan yang
dikemukakan Slavin (2005:4) yang mengatakan;

penggunaan cooperative learning untuk meningkatkan pencapaian


prestasi para siswa, dan juga akibat-akibat positif lainnya yang dapat
mengembangkan hubungan antarkelompok, penerimaan terhadap teman
sekelas yang lemah dalam bidang akademik, dan meningkatkan rasa harga
diri.
Namun setiap bentuk kerja kelompok dalam kelas belum bisa dikatakan
sebagai cooperative learning. Untuk melaksanakan model pembelajaran ini
diharuskan memenuhi unsur-unsur yang ada. Unsur-Unsur dalam model
cooperative learning telah dikemukakan oleh Roger dan David Johnson (Lie,
2002:31) yang mengatakan bahwa “lima unsur model pembelajaran cooperative
learning adalah saling ketergantungan positif, tanggung jawab perseorangan,
tatap muka, komunikasi antar anggota kelompok, dan evaluasi proses kelompok.”
Di dalam cooperative learning, harus terciptanya saling ketergantungan
positif. Anggota kalompok harus bergantung kepada anggota yang lainnya,
karena dalam kelompok cooperative learning setiap anggota kelompok akan
menyumbangkan poin untuk kemajuan kelompoknya. Maka dari itu sesama
anggota kelompok harus mendukung anggota kelompoknya untuk maju, sehingga
dapat menyumbangkan poin lebih besar lagi untuk kelompoknya.
Unsur tanggung jawab perseorangan, merupakan dampak dari unsur
pertama yaitu saling ketergantungan positif. Semua anggota kelompok harus
sadar bahwa setiap anggota kelompok memiliki kontibusi yang besar terhadap
kemajuan kelompok. Oleh sebab itu setiap anggota kelompok harus memiliki
tanggung jawab perseorangan untuk belajar lebih giat agar dapat
menyumbangkan poin yang besar untuk kelompoknya.
Tatap muka dan komunikasi antar anggota juga merupakan unsur yang
penting. Karena dengan tatap muka dan komunikasi antar anggota, semua
anggota kelompok dapat mendiskusikan apa yang sedang mereka pelajari. Hasil
diskusi mereka dapat menjadi suatu pembelajaran bagi setiap anggota kelompok.
Karena dengan berdiskusi, anggota kelompok dapat mengemukakan hasil
pemikirannya.
Evaluasi proses kerja harus dilakukan dengan tujuan mengevaluasi hasil
kerja kelompok, sehingga pada saat kelompok bekerja kembali kerja mereka bisa
lebih efektif. Evaluasi proses kerja ini tidak harus dilakukan pada setiap kali
selesai pembelajaran, akan tetapi dapat dilakukan selang beberapa waktu setelah
beberapa kali pembelajaran.
Ada beberapa tipe dari model pembelajaran cooperative learning, salah
satunya adalah tipe student teams achievement division (STAD). Menurut Slavin
(2005:143) mengatakan bahwa “STAD merupakan salah satu model
pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang
paling baik untuk permulaan bagi guru yang baru menggunakan model
cooperative learning”.
STAD telah digunakan dalam berbagai mata pelajaran yang ada. Model
ini paling sesuai digunakan untuk bidang studi yang sudah terdefinisikan dengan
jelas, seperti matematika, berhitung dan studi terapan, penggunaan dan mekanika
bahasa, ... (Slavin, 2005:12)
Inti dari model cooperative learning tipe student teams achievement
division (STAD) adalah bagaimana cara memotivasi siswa agar siswa dapat saling
membantu dan mendukung untuk sama-sama menguasai materi yang diberikan
oleh guru. Siswa harus mendukung temannya untuk melakukan yang terbaik.
Mereka dapat bekerjasama, mendiskusikan hasil kerja, memberikan kuis kepada
temannya, menilai kelebihan atau kekurangan temannya dan dapat melakukan
cara lainnya untuk saling membantu dan mendukung temannya menguasai materi
pelajaran.
Manfaat lain yang ditimbulkan dari model cooperative learning tipe
student teams achievement division (STAD) adalah terjalinnya hubungan
pertemanan yang lebih akrab dan lebih terbukanya seorang individu menerima
dan dapat berteman dengan individu lainnya yang berbeda kemampuan akademik,
jenis kelamin, latar belakang etniknya, dan sebagainya. Hal ini diperkuat dengan
penelitian yang telah dilakukan Slavin (1979) dimana pada waktu itu ia meminta
kepada siswa yang menjadi subjek penelitiannya untuk menuliskan nama teman-
temannya. Siswa di kelas kontrol mencatat kurang dari satu nama teman dari ras
lain, sedangkan siswa dari kelas ekperimental mencatat dua sampai empat nama
teman dari ras lain. Hal ini menunjukan bahwa STAD berdampak pula dalam
hubungan pertemanan dengan individu yang memiliki latar belakang dan kondisi
yang berbeda.
Dalam pelaksanaan model cooperative learning tipe student teams
achievement division (STAD) para siswa akan dibagi ke dalam beberapa
kelompok. Dimana dalam satu kelompok beranggotakan empat orang yang
beragam baik dari jenis kelamin dan latar belakang etniknya, dan sebagainya.
Selain latar belakang yang berbeda dalam kelompok tersebut pun beranggotakan
siswa yang berbeda tingkat kemampuannya. Dengan kata lain kelompok ini
merupakan kelompok yang heterogen.
Ada lima komponen yang harus ada ketika melaksanakan model
cooperative learning tipe student teams achievement division (STAD).
Komponen-komponen tersebut telah kemukakan oleh Slavin (2005:143) yang
mengatakan bahwa “STAD terdiri dari lima komponen utama, yaitu adalah
presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, dan rekognisi tim.”
Presentasi kelas yang dilakukan dalam kelas STAD, sama halnya dengan
presentasi kelas yang dilakukan oleh kelas pada umumnya. Pada saat presentasi
kelas, guru memperkenalkan materi yang akan dipelajari. Akan tetapi, ada
beberapa perbedaan dalam presentasi kelas pada kelas STAD. Menurut Slavin
(2005:144);

Bedanya presentasi kelas dengan pengajaran biasa hanyalah bahwa


presentasi tersebut haruslah benar-benar berfokus pada unit STAD.
Dengan cara ini, para siswa akan menyadari bahwa harus benar-benar
memberi perhatian penuh selama presentasi kelas, karena dengan
demikian akan sangat membantu mereka mengerjakan kuis-kuis, dan skor
kuis mereka menentukan skor tim mereka.
Telah dijelaskan di atas, bahwa dalam menerapkan model cooperative
learning tipe student teams achievement division (STAD), para siswa dibagi ke
dalam kelompok-kelompok. Maka sudah jelas salah satu komponen yang
terpenting dalam menggunakan model ini adalah tim.
Tim dalam model cooperative learning tipe student teams achievement
division (STAD) ini haruslah mewakili seluruh bagian dari kelas, baik dalam
kemampuan akademik, jenis kelamin, latar belakang budaya, agama, fisik, dan
sebagainya. Slavin (2005:144) mengemukakan;
tim adalah fitur yang paling penting dalam STAD. Pada tiap poinnya,
yang ditekankan adalah membuat anggota tim melakukan yang terbaik
untuk tim, dan tim pun harus melakukan yang terbaik untuk membantu
tiap anggotanya.

Jadi selama masa belajar tugas tim adalah menguasai materi yang telah
disampaikan oleh guru dan membantu teman sekelompoknya untuk bersama-
sama menguasai materi tersebut. Telah dijelaskan sebelumnya, untuk untuk
membantu teman sekelompoknya menguasai meteri siswa dapat bekerjasama,
mendiskusikan hasil kerja, memberikan kuis kepada temannya, menilai kelebihan
atau kekurangan temannya dan dapat melakukan cara lainnya. “Inti dari sibergi
ini adalah menghargai perbedaan, memanfaatkan kelebihan, dan mengisi
kekurangan masing-masing” (Lie,2002:34). Menguasai meteri dengan cara kerja
tim ini sangat menguntungkan bagi semua anggota tim. Pendapat tersebut
diperkuat dengan pendapat yang dikemukakan Lie (2002:33) yang mengatakan;
hasil pemikiran beberapa kepala akan lebih kaya daripada hasil pemikiran
dari satu kepala saja. Lebih jauh lagi, hasil kerjasama ini jauh lebih besar
daripada jumlah hasil masing-masing anggota.
Ciri khas yang ada dalam model cooperative learning tipe student teams
achievement division (STAD) adalah diberikannya kuis setelah dilakukannya
persentasi dan diskusi kelompok. Walaupun cooperative learning merupakan
model pembelajaran yang mengharuskan siswanya bekerja sama untuk menguasai
meteri tertentu, tetapi ketika kuis ini dilaksanakan siswa haruslah mengerjakan
kuis mengenai materi yang telah disampaikan secara sendiri-sendiri dan tidak
boleh membantu satu sama lainnya. Kuis ini merupakan tanggung jawab individu,
dalam arti ketika pengerjaan kuis ini tidak diperkenankan siswa bekerjasama
dengan siswa lainnya. Siswa haruslah mengerjakan kuis ini sendiri dengan
pengetahuan yang telah ia dapatkan ketika diskusi kelompok. Menurut Slavin
(2005:12) ;

Tanggung jawab individu seperti ini memotivasi siswa untuk memberi


penjelasan dengan baik satu sama lain, karena satu-satunya cara bagi tim
untuk berhasil adalah dengan membuat semua anggota tim menguasai
informasi atau kemampuan yang diajarkan.
Skor kemajuan individual merupakan catatan dimana mencatat hasil
kemajuan siswa dari hari ke hari, sehingga guru, siswa, dan bahkan orang tua
mengetahui perkembangan siswa dalam suatu pelajaran yang menggunakan
model cooperative learning tipe student teams achievement division (STAD)
dalam proses pembelajarannya. Skor individu akan dicatat, kemudian skor dari
msing-masing siswa itu akan memberikan kontribusi bagi poin tim. Dengan
demikian, bila ingin menginginkan timnya menjadi yang terbaik siswa tersebut
harus bekerja keras dan membatu skor timnya. Hal tersebut dapat menjadi
motivasi bagi siswa untuk saling mendukung dan membantu satu sama lainnya.
Dari skor kemajuan individual ini kita dapat melihat hasil perolehan siswa dan
dapat menentukan tim yang terbaik.
Rekognisi tim dapat dilakukan dengan cara memberikan sertifikat atau
penghargaan lainnya kepada tim yang menjadi tim yang terbaik, atau tim yang
sudah bisa mencapat target atau kriteria yang telah ditentukan. Pemberian
penghargaan ini tidak bertujuan untuk membuat setiap anggota tim berkompetisi,
tetapi untuk memotivasi tim untuk memiliki skor yang lebih tinggi lagi supaya
tim mereka menjadi tim yang lebih baik. Penentuan suatu tim termasuk tim yang
baik atau tim yang sangat baik tergantung dari kriteria skor yang ditentukan.
Kriteria skor biasanya diambil dari skor rata-rata tim pada kuis pertama. Sebagai
contoh dari hasil kuis pertama tim A mendapatkan skor 10, tim B mendapatkan
skor 20, dan tim C mendapatkan skor 15. Maka tim B akan mendapatkan
penghargaan sebagai tim super, tim C akan mendapatkan penghargaan sebagai
tim sangat baik, dan tim A akan mendapatkan penghargaan sebagai tim baik. Jika
tim A ingin mendapatkan penghargaan sebagai tim sangat baik, maka tim itu
harus bisa mencapai skor 15 pada kuis berikutnya dan apabila ingin mendapatkan
penghargaan sebagai tim super, maka tim itu harus bisa mencapai skor 20 pada
kuis berikutnya. Begitu juga dengan tim C bila ingin mendapatkan penghargaan
sebagai tim super mereka harus mendapatkan skor 20 pada kuis berikutnya.

2. Definisi Kalimat Tunggal


Menurut Alwi (1998:311) “kalimat adalah satuan bahasa terkecil,
dalam wujud lisan atau tulisan, yang mengungkapkan pikiran yang utuh”.
Pendapat lain juga dikemukakan oleh Lado (Putrayasa, 2009:1) ‘kalimat
adalah satuan terkecil dari ekspresi lengkap.’ Pendapat yang dikemukakan Lado
juga dipertegas kembali oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Sutan Takdir
Alisyahbana (Putrayasa, 2009:1) yang mengemukakan bahwa ‘kalimat adalah
satuan bantuk bahasa yang terkecil, yang mengucapkan suatu pikiran yang
lengkap.’
Dari beberapa pernyataan yang dikemukakan oleh para ahli tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa kalimat merupakan suatu komponen yang dapat
digunakan untuk berkomunikasi, baik komunikasi menggunakan bahasa yang
berbentuk lisan maupun tulisan.
Kalimat dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Klasifikasi kalimat
tersebut bisa dilihat berdasarkan isi kalimat, jumlah klausanya, kalimat yang
membentuknya, sifat hubungan aktor-aksi, struktur internal klausa utama, dan
juga ada tidaknya perubahan dalam pengucapan.
Kalimat tunggal merupakan salah satu contoh jenis kalimat yang
diklasifikasikan berdasarkan jumlah klausanya. Putrayasa (2009:41)
mengemukakan bahwa;
Kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri dari atas satu klausa atau satu
konstituen S-P. Jadi, inti utama kalimat tunggal adalah subjek dan
predikat. Di samping itu, tidak mustahil unsur manasuka seperti
keterangan tempat, waktu, dan sebagainya.

Pernyataan senada mengenai kalimat tunggal juga dikemukakan juga oleh


Kosasih (2011:41) yang mengemukakan bahwa “kalimat tunggal adalah kalimat
yang hanya berdiri atas satu pola kalimat atau satu klausa”.
Menurut Cook (Putrayasa, 2008:11) ‘Klausa adalah kelompok kata yang
hanya mengandung satu predikat.’ Pendapat lainnya yang dikemukakan oleh
Keraf (1984:138) menyebutkan bahwa
klausa adalah suatu konstruksi yang di dalamnya terdapat beberapa kata
yang mengandung hubungan fungsional, yang dalam tatabahasa lama
dikenal dengan pengertian subjek, predikat, objek, dan keterangan –
keterangan.

Dari beberapa pernyataan di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa


Komponen yang paling utama dalam pembentukan kalimat tunggal adalah subjek
dan predikat. Untuk menentukan subjek dari suatu kalimat, Putrayasa (2009:43)
mengemukakan ciri-ciri subjek sebagai berikut;
a. Sesuatu yang tentangnya diberitakan sesuatu;
b. Dibentuk dengan kata benda atau sesuatu yang dibendakan;
c. Dapat ditanyakan dengan kata tanya apa atau siapa di hadapan
predikat.
Selain subjek, predikat juga merupakan komponen utama dalam
pembentukan kalimat tunggal. Menurut Alisyahbana (Putrayasa, 2009:43)
predikat adalah bagian yang memberi keterangan tentang sesuatu yang
berdiri sendiri atau subjek itu. Memberi keterangan tentang sesuatu yang
berdiri sendiri tentulah menyatakan apa yang dikerjakan atau dalam
keadaan apakah subjek itu. Sebab itu, predikat biasanya terjadi dari kata
kerja atau kata keadaan.
Agar lebih memahami kalimat tunggal, perhatikan contoh kalimat di
bawah ini.
- Saya makan

Kalimat di atas terdiri dari dua kata, yang masing-masing memiliki suatu
fungsi yang berbeda. Kata saya merupakan kata diberitakannya sesuatu, dibentuk
dari kata yang dibendakan, dan dapat ditanyakan dengan kata tanya siapa. Maka
kata saya dapat diklasifikasikan sebagai subjek. Sedangkan kata makan
menerangkan apa yang sedang dikerjakan atau dalam keadaan apakah subjek itu.
Maka kata makan dapat diklasifikasikan sebagai predikat.

Walaupun komponen utama dalam pembentukan kalimat tunggal adalah


subjek dan predikat, namun tidak menutup kemungkinan dalam kalimat tunggal
terdapat komponen yang lainnya. Hal tersebut telah disampaikan oleh Keraf dan
diperkuat oleh Kosasih (2011:41) yang mengatakan;
Pola kalimatnya itu dibentuk oleh subjek dan predikat. Ada pula yang
lebih lengkap lagi, yakni terdiri atas subjek, predikat, objek, dan atau pelengkap.
Di samping itu, tidak mustahil terdapat pula unsur yang bukan inti, yakni
keterangan.

3. Konsep Ketunarunguan
a. Definisi Tunarungu
Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran
yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan,
terutama melalui indera pendengarannya. (Somantri, 2006:93).
Selain itu, Mufti Salim (Somantri, 2006:93) menyimpulkan;
bahwa anak tunarungu adalah anak yang mengalamai kekurangan atau
kehilangan kemampuan mendengar yang disebabkan oleh kerusakan atau
tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat pendengaran sehingga ia
mengalami hambatan dalam perkembangan bahasanya.
Dapat disimpulkan bahwa tunarungu dapat diartikan sebagai keadaan
dimana seseorang memiliki hambatan dengan pendengarannya, sehingga
berdampak pula pada perkembangan kemampuan yang lainnya.
Ketunarunguan dapat terjadi karena beberapa faktor, baik pada saat
individu sebelum dilahirkan, pada saat dilahirkan, dan setelah dilahirkan. Menurut
Somantri (2006:94) berikut ini merupakan penyebab ketunarunguan;
Pada saat sebelum dilahirkan:
1) Salah satu atau kedua orang tua anak menderita tunarungu atau memiliki gen
sel pembawa;
2) karena penyakit seperti rubella,morobili, dan lain-lain;
3) karena keracunan obat-obatan.

Pada saat kelahiran


1) Sewaktu kelahiran, ibu mengalami kesulitan sehingga persalinan dibantu
dengan penyedotan (tang);
2) Prematuritas, yakni bayi yang lahir sebelum waktunya.

Pada saat kelahiran


1) Karena infeksi, misalnya infeksi pada otak (meningitis) atau infeksi umum
seperti difteri, morbili, dan lain-lain;
2) Pemakaian obat-obatan ototoksi pada anak;
3) Karena kecelakaan yang mengakibatkan kerusakan alat pendengaran.

Karakteristik tunarungu yang beragam membuat beberapa ahli


mengelompokan tunarungu berdasarkan karakteriristik yang dimiliki oleh
tunarungu. Boothroyd (Bunawan dan Yuwati, 2000:5) membagi tunarungu ke
dalam dua kelompok besar, yaitu;
1) Hearing Loss, untuk menunjukan pada segala gangguan dalam deteksi bunyi;
2) Auditory Processing Disorder, yaitu mereka yang mengalami gangguan dalam
menafsirkan bunyi, karena adanya gangguan dalam mekanisme syaraf
pendengaran.
Boothroyd (Bunawan dan Yuwati, 2000:5) juga memberikan 3 istilah
berdasarkan seberapa jauh seseorang dapat memanfaatkan (sisa) pendengarannya
dengan atau tanpa bantuan alat bantu mendengar (ABM), yaitu:

1) Kurang dengar (Hard of Hearing), adalah mereka yang mengalami gangguan


dengar, namun masih dapat menggunakannya sebagai sarana/modalitas utama
untuk menyimak suara percakapan seseorang dan mengembangkan
memampuan bicaranya (speech).
2) Tuli (Deaf), adalah mereka yang pendengarannya sudah tidak dapat digunakan
sebagai sarana utama guna mengembangkan kemampuan bicara, namun masih
dapat difungsikan sebagai suplemen (bantuan) pada pengelihatan dan
perabaan.
3) Tuli Total (Totally Deaf), adalah mereka yang sudah sama sekali tidak
memiliki pendengaran sehingga tidak dapat digunakan untuk
menyimak/mempersepsi dan mengembangkan bicara.
Pengertian tunarungu pun dapat diuraikan juga berdasarkan saat terjadinya
ketunarunguan seperti yang dikemukakan oleh A.Van Uden (Bunawandan Yuwati,
2000:6), yaitu;

1) Tuli Pra-Bahasa (prelingually Deaf), yaitu mereka yang menjadi tuli sebelum
dikuasainya suatu bahasa (usia di bawah 1;6 tahun)
2) Tuli Purna Bahasa (posttlingually Deaf), yaitu mereka yang menjadi tuli
setelah menguasai suatu bahasa.

b. Dampak Ketunarunguan

Keadaan tunarungu yang mengalami hambatan pendengaran, akan


berdampak pula pada aspek perkembangan yang lainnya seperti perkembangan
bicara dan bahasa, perkembangan kognitif, perkembangan emosi, perkembangan
sosial, dan perkembangan perilaku.
Dalam kehidupan sehari – hari manusia sebagai mahluk sosial
membutuhkan bahasa untuk berkomunikasi dengan manusia lainnya. Sama seperti
individu pada umumnya, tunarungu pun membutuhkan bahasa untuk
berkomunikasi. Sadjaah (2003:9) mengemukakan “merekapun tidak lepas dari
kegiatan interaksi berbahasa dengan lingkungannya”. Bentuk pengekspresian
bahasa tersebut dapat berupa pengekspresian secara lisan maupun tulisan. Hal
tersebut diperkuat dengan pernyataan yang dikemukakan Sadjaah (2003:4) yang
mengemukakan bahwa;
Bentuk pengekspresian bahasa (language) baik dilakukan oleh
sekelompok manusia atau perorangan dapat berwujud melalui luncuran
kata-kata dan dilisankan (oral atau verbal) dan kata-kata / ide yang
dituliskan (tertulis).
Tunarungu yang memiliki hambatan pendengaran sudah tentu akan
berdampak pada perkembangan bahasa. Sadjaah (2003:13) mengatakan bahwa;

Gangguan pendengaran yang dialami anak tunarungu sudah barang tentu


erat kaitannya dengan kekayaan bahasa yang dimilikinya walaupun
mungkin di bank kata – kata (Engram Bank) cukup banyak tersimpan
akan tetapi sulit untuk diekspresikan baik secara lisan, tulisan, isyarat atau
gerak mimik muka/tubuh atau tanda-tanda lain ...
Perkembangan bicara dan bahasa pada anak tunarungu yang mengalami
ketunarunguan sebelum menguasai bahasa akan terhambat pula karena mereka
tidak mampu meniru suara yang didengarnya, akan tetapi berbeda halnya dengan
seorang tunarungu yang mengalami ketunarunguan setelah mengenal bahasa.
Tunarungu yang mengalami ketunarunguan setelah mengenal bahasa akan
terhambat perkembangan bahasa dan bicaranya, akan tetapi mereka masih bisa
menggunakan bahasa dan bicaranya untuk berkomunikasi walaupun dengan
artikulasi atau intonasi yang kurang jelas. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan
Somantri (2006:96)

Perkembangan bahasa dan bicara berkaitan erat dengan ketajaman


pendengaran. Akibat terbatasnya ketajaman pendengaran, anak tunarungu
tidak mampu mendengar dengan baik. Dengan demikian pada anak
tunarungu tidak terjadi proses peniruan suara setelah masa meraban,
proses peniruannya hanya terbatas pada peniruan visual.
Selain berdampak pada perkembangan bicara dan bahasa, perkembangan
intelegensi pada anak tunarungu pun terhambat. Secara umum inteligensi anak
tunarungu sama dengan anak pada umumnya, hanya saja karena keterbatasan
dalam segi pendengaran, sehingga menjadikan anak tersebut kesulitan atau bahkan
tidak bisa sama sekali menerima informasi dengan indra pendengarannya. Menurut
Bunawan dan Yuwati (2000:10) mengatakan bahwa “Bila kaum tuli dites dengan
tes non-verbal, ternyata mereka akan menunjukan rentangan IQ normal, baik yang
mencakup angka rata-rata (mean) maupun penyebarannya”. Pernyataan tersebut
diperkuat oleh Somantri (2006:96) yang menyatakan

Pada umumnya inteligensi anak tunarungu secara potensial sama dengan


anak normal, tetapi secara fungsional perkembangannya dipengaruhi oleh
tingkat kemampuan berbahasa, keterbatasan informasi, dan kiranya daya
abstraksi anak.
Walaupun perkembangan intelegensi tunarungu mengalami hambatan
karena keterbatasannya menerima informasi melalui indera pendengarannya,
tunarungu masih bisa menerima informasi dari inderanya yang lain. Pemanfaatan
indera tunarungu yang lainnya dapat membantu tunarungu menerima informasi
yang dibutuhkannya. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Somantri (2006:97)
yang mengemukakan “aspek inteligensi yang bersumber dari pengelihatan dan
yang berupa motorik tidak banyak mengalami hambatan tatapi justru berkembang
lebih cepat.”
Bunawan dan Yuwati (2000:25) mengatakan bahwa “Pendengaran
memegang peran yang berarti (signifikan) dalam perkembangan awal emosi –
sosial namun bukan esensial”. Dari pernyataan tersebut dapat diambil kesimpukan
bahwa tunarungu yang mengalami hambatan pendengaran akan membawa dampak
bagi perkembangan emosinya. Perkembangan emosi tunarungu terhambat pula
dikarenakan tunarungu tidak bisa mengungkapkan apa yang ia inginkan atau pun
terjadi kesalah pahaman arti dari pembicaraan dengan lawan bicara. Menurut
pendapat ahli “emosi anak tunarungu selalu bergejolah di satu pihak karena
kemiskinan bahasanya dan di pihak lain karena pengaruh dari luar yang
diterimanya.” (Somantri, 2006:98)
Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Untuk
memenuhi kebutuhannya manusia akan membutuhkan manusia yang lainnya. Akan
tetapi, suatu perbedaan yang dimiliki oleh individu bisa diterima baik ataupun tidak
oleh lingkungannya. Anak tunarungu yang diterima dengan baik oleh lingkungan
sekitarnya mungkin akan lebih mudah bersosialisasi dengan lingkungannya dari
pada anak tunarungu yang tidak diterima baik oleh lingkungannya. Namun ada
faktor lain juga yang dapat mempengaruhi perkembangan sosial anak tunarungu,
yaitu kemampuan anak tunarungu itu menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
Menurut Somantri (2006:98) mengatakan bahwa;

Pada umumnya lingkungan melihat mereka sebagai individu yang


memiliki kekurangan dan menilainya sebagai seseorang yang kurang
berkarya. Dengan penilaian lingkungan yang demikian, anak tunarungu
merasa benar-benar kurang berharga.
an Somantri (2006:100) yang menyatakan;

Pertemuan antara faktor-faktor dalam diri anak tunarungu, yaitu


ketidakmampuan menerima rangsangan pendengaran, kemiskinan berbahasa,
ketidaktetapan emosi, dan keterbatasaDengan demikian faktor lingkungan
sangatlah berperan besar dalam perkembangan sosial tunarungu.
Perkembangan kepribadian berkaitan erat dengan perkembangan yang
lainnya. Seperti yang diungkapkn inteligensi dihubungkan dengan sikap
lingkungan terhadapnya menghambat perkembangan kepribadiannya.
Ketunarunguan tersebut berdampak pula pada perkembangan motorik
individu tunarungu. Terhambatnya perkembangan motorik individu tunarungu
diperkuat oleh beberapa pernyataan ahli. Menurut P.H Wiegersma (Bunawan dan
Yuwati, 2000:5, 2000:57) mengemukakan “kemandirian dan ketahanan seorang
anak ikut ditentukan oleh ketangkasannya dalam bidang motorik terlebih dalam
kaitannya dengan akseptasi teman sebaya di dalam permainan/olahraga.” Seiring
dengan pendapat diatas yang dikemukakan oleh P.H Wiegersema, Bunawan
(2000:57) mengemukakan bahwa “ketunarunguan akan memberikan pengaruh pula
dalam bidang perkembangan ketangkasan motorik sebagai akibat dari hilangnya
umpan balik pendengaran.”

B. Hipotesis Tindakan
Adapun yang menjadi hipotesis dalam penelitian ini yaitu “terdapat pengaruh
model cooperative learning tipe student teams achievement division (STAD) dalam
meningkatkan kemampuan membuat kalimat tunggal pada anak tunarungu kelas III di
SD Dewi Sartika Bandung.”
BAB III
METODOLOGI
A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan deskriptif kualitatif dengan rancangan
penelitian tindakan kelas menurut Kemmis and Taggart yang meliputi menyusun
perencanaan, tindakan, dan refleksi.

B. Subjek dan Lokasi Penelitian


1. Subyek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa tunarungu Kelas III SD yang berjumlah 4
orang dengan fokus penelitian pada kemampuan membuat kalimat tunggal.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini ialah di SD Dewi Sartika Kota Bandung

C. Teknik Pengumpulan Data


Untuk memperoleh data yang benar dan akurat dalam penelitian ini, maka
penulis menggunakan beberapa metode yang antara lain:
1. Metode Observasi
a. Observasi partisipatif
Cara ini digunakan agar data yang diinginkan sesuai dengan apa yang
dimaksud oleh peneliti. Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kehidupan
sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data
penelitian. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan apa yang
dikerjakan oleh sumber data. Dengan observasi partisipan, maka data yang
diperoleh akan lebih lengkap, tajam dan sampai mengetahui pada tingkat makna
dari setiap perilaku yang nampak.
Selain peneliti ikut berpartisipasi dalam observasi, peneliti juga berperan
sebagai fasilitator. Sehingga peneliti juga turut mengarahkan siswa yang diteliti
untuk melaksanakan tindakan yang mengarah pada data yang diinginkan oleh
peneliti. Metode ini, peneliti dapat mengamati secara langsung terhadap obyek
yang sedang diselidiki. Pendekatan ini digunakan untuk memperoleh data-data
tentang keadaan lokasi penelitian, kegiatan-kegiatan yang dilakukan siswa-siswi
dan lain-lain.

b. Observasi aktivitas kelas


Hal ini merupakan pengamatan langsung terhadap siswa dengan
memperhatikan tingkah laku siswa dalam proses belajar mengajar.
Sehingga peneliti mendapat gambaran langsung bagaimana tingkah laku
siswa, kerjasama, serta komunikasi diantara siswa dalam kelompok dan
pembelajaran.

2. Metode Pengukuran Hasil Tes


Tes ialah seperangkat rangsangan yang diberikan kepada seseorang dengan
maksud untuk mendapatkan jawaban-jawaban yang dapat dijadikan dasar bagi
penetapan skor angka (Furchan, 2004). Pengukuran tes prestasi belajar ini
dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui peningkatan pada prestasi belajar
operasi hitung pengurangan siswa. Tes tersebut juga sebagai salah satu rangkaian
yang dilakukan dalam kegiatan penerapan pembelajaran kooperatif menggunakan
media loncat katak dalam meningkatkan prestasi belajar siswa. Tes yang dilakukan
berbentuk tes formatif yang dilaksanakan pada setiap akhir pembelajaran, hasil tes ini
akan digunakan untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa melalui
penerapan pembelajaran kooperatif menggunakan media loncat katak.

3. Metode Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, berupa catatan,
gambar, karya-karya dan lain sebagainya (Furchan, 2006). Peneliti menggunakan
pendekatan ini untuk mengetahui data- data terkait dengan sejarah berdirinya lokasi
penelitian, stuktur organisasi, jumlah guru, absensi kelas, nilai siswa, serta data-data
yang terkait lainnya.

D. Prosedur Penelitian
Pada setiap pembelajaran terdiri dari 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan
tindakan, refleksi, dan revisi. Tindakan kelas dalam penelitian ini dilaksanakan dalam
4 siklus, masing-masing siklus terdiri dari 1 pertemuan dengan waktu 6 jam pelajaran
( 6 x 30 menit ).
1) Studi Awal
Peneliti melakukan studi lapangan di kelas III SD Dewi Sartika Bandung, dimana
peneliti memberikan tes untuk mengetahui sejauh mana siswa memahami konsep
kalimat tingaal. Berdasarkan hasil tes yang diberikan, ternyata siswa belum mampu
memahami konsep kalimat tunggal. Hal ini disebabkan karena dampak ketunarunguan
siswa sehingga siswa terhambat dalam perkembangan bahasa termasuk pembentukan
bahasa.
2) Siklus 1
a. Perencanaan
1. Merancang pembelajaran
2. Membuat media pembelajaran
3. Menyusun instrumen aktivitas guru dan aktivitas siswa.
4. Menyusun soal tes untuk mengetahui kemampuan siswa sebelum dan setelah
diberikan pembelajaran dengan alat peraga lingkaran dan persegi panjang .
5. Menyusun langkah-langkah pembelajaran.

b. Pelaksanaan tindakan
1. Mempersiapkan siswa sebelum memulai pembelajaran.
2. Menjelaskan materi tentang kalimat tunggal
3. Mengajak siswa belajar dengan model cooperative learning tipe student teams
achievement division (STAD).
4. Memberikan soal tes kemampuan siswa.
5. Membuat rangkuman pembelajaran.

c. Observasi
1. Mengamati aktivitas guru dan aktivitas siswa.

d. Refleksi
1. Menganalisa kelebihan dan kekurangan yang diperoleh dari pembelajaran pada
siklus 1.
2. Menerima saran dari observer untuk perencanaan pada siklus 2.

3) Siklus 2
a. Perencanaan
1. Memilah kelebihan dan kekurangan pembelajaran pada siklus 1.
2. Menyusun rencana pembelajaran berdasarkan revisi pada siklus 1.
b. Pelaksanaan tindakan
1. Mempersiapkan kelas sebelum memulai pembelajaran.
2. Melaksanakan pembelajaran dengan model cooperative learning tipe student
teams achievement division (STAD).

c. Observasi
1. Mengamati aktivitas guru dan aktivitas siswa pada siklus 2.
2. Menganalisa hasil tes siswa.
3. Mendiskusikan hasil pengamatan tersebut dengan observer sebagai bahan
revisi pada siklus 3. Jika hasil yang diperoleh baik, maka tindakan yang
diberikan hanya sampai siklus 2.

d. Refleksi
1. Menganalisa kelebihan dan kekurangan pembelajaran pada siklus 2.
2. Jika berdasarkan hasil pengamatan masih ada kekurangan, maka menerima
saran dari observer untuk perbaikan pada siklus 3.

E. Indikator Keberhasilan
Indikator keberhasilan penelitian tindakan kelas ini adalah sebagai berikut.
1) Peningkatan aktivitas guru dalam proses pembelajaran, dimana kriteria yang
dihasilkan termasuk dalam guru aktif dan/atau guru sangat aktif.
2) Peningkatan aktivitas siswa pada setiap siklusnya dan menghasilkan kriteria
minimal siswa aktif.
3) Peningkatan hasil belajar siswa, dimana siswa dikatakan tuntas ketika siswa
memperoleh nilai minimal 70.

F. Teknik Analisis Data


Data yang diperoleh berupa aktivitas guru, aktivitas siswa, dan hasil tes
kemampuan siswa menyederhanakan pecahan. Data ini kemudian dianalisa secara
kuantitatif dan kualitatif. Aktivitas guru diukur dengan menggunakan rumus berikut.
Jumlah S kor
Nilai= ×100=…
10
Kriteria kategori aktivitas guru :
81 - 100 = Guru sangat aktif
61 - 80 = Guru aktif
41 - 60 = Guru cukup aktif
21 - 40 = Guru kurang aktif
1 - 20 = Guru tidak aktif

Aktivitas siswa diukur dengan menggunakan rumus berikut.


Ju mlah Skor
Nilai= × 100=…
10

Kriteria kategori aktivitas siswa :


81 - 100 = Siswa sangat aktif
61 - 80 = Siswa aktif
41 - 60 = Siswa cukup aktif
21 - 40 = Siswa kurang aktif
1 - 20 = Siswa tidak aktif

Hasil tes kemampuan siswa diukur dengan menggunakan rumus berikut.


Jumlah Jawaban Benar
Nilai= ×100=…
10

Kriteria kategori siswa tuntas ketika siswa memperolah nilai diatas atau sama
dengan 70.
DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H. et al. (1998). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka

Arikunto, S. (2005). Dasar – Dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara

Bunawan, L dan Yuwati, C. S. (2000). Penguasaan Bahasa Anak Tunarungu. Jakarta:


Yayasan Santi Rama

Engkoswara dan Komariah, A. (2010). Administrasi Pendidikan. Bandung: Alfaabeta

Keraf, G. (1984). Tatabahasa Indonesia. Flores: Nusa Indah

Kosasih. (2011). Ketatabahasaan dan Kesusastraan. Bandung: CV. Yrama Widya

Lie, A. (2002). Mempraktekan Cooperative Learning di ruang – ruang kelas. Jakarta: PT.
Gramedia

Putrayasa, I. B. (2008). Analisis Kalimat. Bandung: Rafika Aditama

Putrayasa, I. B.(2009). Jenis Kalimat Dalam Bahasa Indonesia. Bandung: PT. Refika
Aditama

Sadjaah, E. (2003). Layanan dan Latihan Artikulasi Anak Tunarungu. Bandung: San Grafika

Slavin, R.E. (2005). Cooperative Learning Teori, Riset dan Praktek. Bandung: Nusa Media

Solihatin, E dan Raharjo. (2009). Cooperative Learning Analisis Model Pembelajaran IPS.
Jakarta: Bumi Aksara

Somantri, S. (2006). Psikologi Anak Luar Biasa. Bandung: Rafika Aditama

Sugiono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta

Surapranata, S. (2004). Analisis, Validitas, Reliabilitas dan Interpretasi Hasil Tes. Bandung:
Remaja Rosdakarya

Surapranata, S. (2004). Panduan Penulisan Tes Tertulis. Bandung: Remaja Rosdakarya

Suryabrata, Sumadi. (2003). Metodologi Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Susetyo, B. (2010). Statistika Untuk Analisis Data Penelitian. Bandung: PT. Refika Aditama

Taniredja, T. et al. (2012). Model – Model Pembelajaran Inovatif. Bandung: Alfabeta

Anda mungkin juga menyukai