Evaluasi Pengajaran Bahasa Arab
Evaluasi Pengajaran Bahasa Arab
Evaluasi Pengajaran Bahasa Arab
EVALUASI
PENGAJARAN BAHASA ARAB
Disusun oleh:
Prof. Dr. Moh. Matsna HS, MA.
Disampaikan pada
Acara TOT Dosen Bahasa Arab PTAI
Tanggal 12 s.d. 20 Agustus 2008
Di Asrama Haji PONDOK GEDE
0
EVALUASI PENGAJARAN BAHASA ARAB
I. Pendahuluan
Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai
sampai dimanakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat tercapai.
Secara umum dapat dikatakan, evaluasi pengajaran adalah penilaian terhadap
pertumbuhan dan kemajuan peserta didik ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam kurikulum. Hasil penilaian ini, dapat dinyatakan secara kuantitatif atau
kualitatif.
Evaluasi kemajuan mahasiswa adalah merupakan aspek utama dari pekerjaan
dosen. Gambaran yang bagus tentang dimana dan bagaimana kemajuan mahasiswa
merupakan hal yang mendasar pada efesiensi kegiatan dosen dan efesiensi belajar
mahasiswa.
Secara garis besar alat evaluasi yang digunakan dosen dapat digolongkan
kepada dua macam; yaitu bentuk tes dan non tes.
1
Dengan mengacu kepada tujuan evaluasi tersebut di atas, maka fungsi evaluasi
pengajaran bahasa Arab di perguruan tinggi-perguruan tinggi pada dasarnya dapat
digolongkan menjadi dua :
Pertama untuk menentukan angka kemajuan belajar masing-masing mahasiswa
yang antara lain diperlukan untuk pemberian laporan semester dan kenaikan kelas.
Kedua untuk memberikan feed back kepada dosen sebagai dasar untuk memperbaiki
proses belajar mengajar, baik yang menyangkut kelemahan dan kekurangan murid
maupun kelemahan dan kekurangan dosen.
2. menyeluruh ()الشمول
3. terpadu ()التكامل
5. kerjasama ()التعاون
7. ekonomis ()االقتصادية
2
Ad. 2 Menyeluruh.
Evaluasi hendaknya tidak terbatas pada pengukuruan dan penilaian tingkat
kemampuan individu saja, tetapi harus lebih dari itu. Dosen hendaknya dalam
melakukan evaluasi memandang bahwa kepribadian mahasiswa terdiri dari
unsur mental dan sosial, juga mahasiswa harus dievaluasi aspek kognitif,
afektif, dan psikomotornya.
Dan dari aspek bahasa serta keterampilan bahasa yang ingin dicapai juga harus
menjadi target sasaran yang dalam proses evaluasi.
Ad. 3 Terpadu.
Seperti yang akan kita jelaskan bahwa evaluasi memiliki beberapa alat untuk
mengukur dan menilai, dan setiap alat memiliki sasaran yang ingin dicapai.
Oleh karena itu perlu adanya keterpaduan antara berbagai alat tersebut,
sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang target yang ingin
dicapai oleh evaluasi tersebut. Keterpaduan itu harus tercermin dalam hal-hal
berikut:
- Terpadu antara macam-macam alat evaluasi yang akan digunakan.
- Terpadu antara proses evaluasi dengan proses belajar mengajar.
- Terpadu antara evaluasi dengan berbagai sistem yang lain seperti drill,
bimbingan, dan konseling.
Ad. 4 Ilmiah.
Evaluasi yang baik juga harus disusun berdasarkan teori-teori ilmiah yaitu,
valid, reliable, dan obyektif. Ketiga hal ini akan dijelaskan pada bagian kriteria
tes yang baik.
Ad. 5 Kerjasama.
Yang dimaksud dengan kerjasama di sini, adalah bahwa evaluasi harus
dilakukan dengan melibatkan berbagai individu atau kelompok yang terkait
agar bisa mencapai sasaran yang ingin dicapai. Evaluasi bukan hanya tanggung
jawab dosen, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait
semisal tenaga administrasi, para mahasiswa, bahkan penjaga sekolah.
3
Ad. 6 Berkesinambungan (Kontinyu)
Evaluasi merupakan alat untuk mengukur dan menilai kemajuan mahasiswa
dalam proses belajar mengajar. Dosen dapat memvonis seorang mahasiswa
naik kelas atau tidak karena hasil evaluasi yang diadakan untuknya. Evaluasi
menjadi penentu kenaikan atau ketidaknaikan seorang mahasiswa. Maka di sini
dosen harus hati-hati betul dalam memberikan penilaian, tidak cukup sekali dua
kali untuk menentukan berapa sebenarnya nilai yang layak diberikan kepada
seorang mahasiswa dalam mata pelajaran bahasa Arab umpamanya. Bahkan
nilai angka yang diberikan kepada seorang mahasiswa, tidak cukup hanya dari
hasil tes yang diadakan tetapi dosen harus juga melihat hasil pengamatan,
wawancara, bahkan survey dari kegiatan sehari-hari mahasiswa.
Paling tidak evaluasi harus dilakukan setiap proses pembelajaran, di tengah
semester, dan di akhir semester.
Ad. 7 Ekonomis.
Evaluasi harus dilakukan dengan efektif dan efisien, tidak menghambur –
hamburkan waktu, tenaga, dan biaya. Tetapi dengan alasan ekonomis juga
tidak boleh mengorbankan aspek akademisnya.
Macam-macam evaluasi bisa dilihat dari sisi mana melihatnya. Bila dilihat
dari sisi waktu, maka evaluasi bisa dibagi menjadi formatif, mid, dan summatif. Dan
bila dilihat dari alat atau instrumennya maka evaluasi dibagi menjadi yang bersifat
- kuesioner (questionair)
- wawancara (interview)
4
- survey
Sedangkan yang berupa tes ada yang bersifat subyektif dan yang bersifat
Istilah "tes" dalam bahasa Arab disebut ikhtibâr (ار44)اختب. Secara umum, tes
adalah alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu
dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. 1 Dalam kaitannya
dengan bidang kebahasaan, tes bahasa dipahami sebagai sejumlah pertanyaan atau tugas
yang harus dijawab/direspon mahasiswa dengan tujuan mengukur tingkat mereka dalam
hal penguasaan keterampilan bahasa tertentu dan menjelaskan kemajuan prestasi serta
tersebut dilakukan pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung disebut kuis. 2
dan seberapa mendalam kemampuan berbahasa Arab yang dimiliki oleh seorang
mahasiswa.
lain, terlepas dari ada tidaknya pengetahuan tentang teori dan seluk beluk bahasa Arab
yang digunakan untuk berkomunikasi itu. Kenyataan bahwa seorang mahasiswa dapat
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.53
1
5
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab bukanlah semata-mata disebabkan
oleh karena dia mengetahui aturan (teori) penyusunan kalimat, pemilihan dan
perangkaian kata-kata, atau jenis, klasifikasi, dan ciri bunyi-bunyi bahasa yang
digunakannya. Semua itu merupakan bagian dari pengetahuan tentang bahasa Arab yang
digunakan, tetapi bukan merupakan bagian dari kemampuan berbahasa Arab.3 Kedua hal
itu perlu dibedakan satu dari yang lain, baik dalam pengertian maupun dalam
penerapannya, termasuk kaitannya dengan tes bahasa Arab. Pengertian dan penggunaan
tes bahasa Arab erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa Arab, tidak dengan
kepada kemampuan yang bersifat abstrak, berupa potensi yang dimiliki seorang pemakai
bahasa. Kompetensi itu memungkinkan pemakai bahasa untuk memahami bahasa yang
digunakan orang lain, maupun mengungkapkan dirinya melalui bahasa. Karena sifatnya
yang abstrak, kompetensi berbahasa tidak dapat dilihat, didengar, atau dibaca, meskipun
bahasa senyatanya, dalam bentuk lisan yang dapat didengar, atau dalam bentuk tertulis
yang dapat dibaca. Oleh karena sasaran pokoknya adalah kemampuan berbahasa, maka
tes bahasa meliputi tes kompetensi berbahasa, dan tes performansi berbahasa.
3
Ibn Khaldûn, Muqaddimah (Mesir: Mushthafâ Muhammad, tth), h. 560
4
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Kompetensi Bahasa (Bandung: Angkasa, 1990), H. 23
6
Kemampuan berbahasa Arab secara konvensional dianggap meliputi empat jenis
menyimak (mahârat al-istimâ') untuk memahami bahasa yang digunakan secara lisan;
secara lisan; dan keterampilan menulis (mahârat al-kitâbah) untuk mengungkapkan diri
secara tertulis. Dengan demikian, tes bahasa Arab yang sasaran umumnya adalah
membaca, berbicara, dan menulis. Sejalan dengan rincian sasaran itu, tes bahasa Arab
dapat dirinci ke dalam tes menyimak, tes membaca, tes berbicara, dan tes menulis.
komponen bahasa Arab seperti dimaksudkan dalam ilmu bahasa struktural ('ilm al-
terdiri dari bagian-bagian yang dapat dipisahkan dan dibedakan satu dari yang lain.
Bagian-bagian yang dikenal sebagai komponen bahasa itu, terdiri dari bunyi bahasa
komponen bahasa Arab dianggap merupakan bagian dari kemampuan berbahasa Arab.
Oleh karena itu, tes bahasa Arab yang sasarannya adalah kemampuan berbahasa Arab,
5
Aliran struktural merupakan penamaan pendekatan kebahasaan yang dilakukan oleh L.
Bloomfield dan sangat berpengaruh dari tahun 1930-an sampai akhir tahun 1950-an. Aliran ini melihat
bahasa dari segi strukturnya. Makna ditentukan oleh struktur. Dalam menganalisis kalimat, kaum
struktural menempuh apa yang disebut Analisis Unsur Bawahan Langsung, yaitu metode analisis kalimat
atau kata-kata dengan membaginya kepada unsur-unsurnya yang disebut dengan constituen. Lih. A.
Chaedar Alwasilah, Beberapa Madhab & Dikotomi Teori Linguistik (Bandung: Angkasa, 1993), h. 43-50
7
juga meliputi pula tes bunyi bahasa (ikhtibârât al-ashwât), tes kosakata (ikhtibârât al-
Sebagai suatu usaha yang titik berat kegiatannya adalah bahasa, penyelenggaraan
pengajaran bahasa senantiasa dipengaruhi oleh pendekatan tertentu dalam ilmu bahasa. 6
pendekatan yang digunakan sebagai acuan pokok itu. Bagaimana bahasa dimengerti dan
mempengaruhi penentuan tujuan pengajarannya. Pengaruh itu lebih lanjut dapat pula
terasa dalam hal bagaimana bahasa itu diajarkan, atau apa yang perlu diajarkan. Dan
karena eratnya hubungan antara tes bahasa dan penyelenggaraan pengajarannya, dan
bahkan juga dengan tujuan pengajarannya, pengaruh pendekatan ilmu bahasa terhadap
Kajian tentang pendekatan terhadap tes bahasa dapat dilakukan dengan titik tolak
dan kriteria yang berbeda, dan yang menghasilkan rincian pendekatan yang berbeda
berbagai ahli, pendekatan tes bahasa secara keseluruhan dapat dibedakan ke dalam
Jack Richards & Theodore S. Rodgers, Approach and Methods in Language Teaching (New
6
8
1. Pendekatan Tradisional
khusus dalam bidang tes bahasa, sehingga siapa yang mampu mengajarkan bahasa
dianggap mampu pula menyelenggarakan tes bahasa. Demikian pula penilaian yang
penilaian pengajar dengan segala unsur subjektifnya. Bahan yang digunakan dalam tes
banyak merujuk kepada karya sastra, dan bentuk tes yang banyak dipakai khususnya
meliputi terjemahan, atau menulis esei.7 Itulah sebabnya pendekatan tradisional ini
sering juga disebut pendekatan esei dan terjemahan. Selain terjemahan dan menulis esei,
terdapat juga bentuk tes tatabahasa yang memuat pertanyaan-pertanyaan tentang bahasa,
bukan tentang penggunaan bahasa. Tes jenis itu tidak merupakan bagian dari tes bahasa,
2. Pendekatan Diskret
dalam kajian kebahasaan yang dipelopori oleh Robert Lado pada tahun 1961. 8 Dalam
pendekatan struktural, bahasa dianggap sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang
tertata rapi, dan terdiri dari komponen-komponen bahasa, yaitu komponen bunyi bahasa,
7
Muhammad 'Abd al-Khâliq Muhammad, Ikhtibârât al-Lughah (Riyâdh: Jâmi'ah al-Malik Sa'ûd,
1989), h. 1
8
Tim McNamara, Language Testing (New York: Oxford University Press, 2000), h. 13
9
membentuk bagian-bagian yang lebih besar, bagian-bagian lebih besar membentuk
bagian-bagian yang lebih besar lagi, dan demikian selanjutnya, sampai terbentuknya
bahasa sebagai struktur terbesar. Ditinjau dari arah sebaliknya, pendekatan struktural
menggambarkan bahasa sebagai sesuatu yang memiliki struktur, yang terdiri dari
komponen-komponen yang dapat dibedakan dan dipisahkan satu dari yang lain.
Dan dalam tes bahasa pendekatan diskret, satu bentuk tes dimaksudkan untuk
mengukur tingkat penguasaan terhadap satu, dan hanya satu jenis kemampuan berbahasa
atau komponen bahasa.9 Dalam pengertian itu, suatu bentuk tes bahasa hanya dapat
merupakan salah satu dari tes menyimak, tes berbicara, tes membaca, tes menulis, atau
tes bunyi bahasa, tes kosakata, dan tes tatabahasa. Secara lebih ketat, pendekatan diskret
dalam tes bahasa bahkan menjurus kepada pengertian bahwa satu butir tes seharusnya
hanya mempermasalahkan satu dan hanya satu hal saja dari masing-masing aspek
3. Pendekatan Integratif
Apabila pendekatan diskret bertitik tolak dari anggapan bahwa bahasa dapat
didasarkan atas pandangan yang sama dengan pendekatan diskret terhadap bahasa, yaitu
membentuk bahasa. Bahasa merupakan suatu integrasi dari bagian-bagian terkecil yang
9
Ibid., h. 14
10
membentuk bagian-bagian yang lebih besar, yang secara bertahap dan berjenjang
membentuk bagian-bagian yang lebih besar lagi, untuk pada akhirnya merupakan
kemampuan berbahasa atas dasar penguasaan terhadap gabungan antara beberapa bagian
dari komponen bahasa dan kemampuan berbahasa.10 Tes bahasa pendekatan integratif
terhadap gabungan antara beberapa bagian dari komponen bahasa dan kemampuan
kata lepas, atau bahkan bunyi-bunyi bahasa lepas sebagai butir tes, pendekatan integratif
mengandalkan penggunaan bahasa dalam konteks yang besarnya beragam. Konteks yang
kecil ditemukan pada penggunaan bahasa dalam kata-kata, kata-kata dalam kalimat, atau
kalimat-kalimat dalam bacaan. Bahasa dalam konteks hanya dapat dipahami melalui
pemahaman terhadap gabungan berbagai bagian dari komponen bahasa dan kemampuan
berbahasa, seperti yang dapat ditemukan dalam penggunaan bahasa senyatanya. Bentuk
tes menggunakan kalimat, melengkapi kalimat atau teks bacaan, merupakan beberapa
bentuk tes dengan pendekatan integratif. Mengerjakan tes semacam itu selalu
mempersyaratkan penggunaan lebih dari satu bagian komponen bahasa atau kemampuan
4. Pendekatan Pragmatik
Ibid., h. 15
10
11
Dalam pendekatan ini, bahasa dikaitkan dengan penggunaan senyatanya yang
melibatkan tidak saja unsur-unsur kebahasaan seperti kata-kata, frasa, atau kalimat,
melainkan juga unsur-unsur di luarnya, yang selalu terkait dalam setiap bentuk
suatu bentuk penggunaan bahasa yang lengkap, yang mampu mengungkapkan pesan
sesuai dengan yang ingin disampaikan oleh pemakai bahasanya. Hal-hal yang tidak
Sisi lain dari pendekatan pragmatik yang menekankan eratnya kaitan antara
unsur kebahasaan dan nonkebahasaan dalam penggunaan bahasa seutuhnya adalah tidak
nyata sehari-hari, nyaris tidak terdapat penggunaan bahasa yang utuh dan murni, tanpa
hadirnya unsur-unsur lain di dalamnya sebagai kendala.12 Unsur-unsur itu dapat berupa
unsur kebahasaan, seperti penambahan atau pengurangan kata-kata secara tidak sengaja.
Unsur dapat pula berupa unsur nonkebahasaan, seperti suara-suara lain, peristiwa dan
keadaan sekitar, tingkah laku orang-orang sekitar, dan sebagainya yang terjadi pada saat
yang bersamaan dengan suatu penggunaan bahasa. Semua itu menghasilkan penggunaan
11
Burhan Nurgiyantoro, Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (Yogyakarta: BPFE,
1987), h. 164
12
M. Soenardi Djiwandono, Tes Bahasa dalam Pengajaran (Bandung: ITB Bandung, 1996), h.
12
12
bahasa yang tidak seutuh dan semurni seperti dimaksudkan oleh pemakainya. Tetapi
itulah penggunaan bahasa senyatanya, yang pragmatik, yang tidak utuh dan tidak murni.
Meskipun demikian, pesan yang terkandung dalam bahasa yang digunakan senyatanya
dengan berbagai macam kendala itu, pada umumnya dapat dipahami, berkat kemampuan
tes tertentu, khususnya dikte, tes cloze, dan C-tes. Bentuk-bentuk tes itu selalu
menggunakan wacana yang mengandung konteks, bukan semata-mata kalimat atau kata-
pemahaman terhadap wacana secara keseluruhan. Di dalam wacana yang digunakan itu
terdapat pula berbagai gangguan, berupa bagian-bagian yang hilang, atau menjadi kabur
dan kurang jelas, secara alamiah, seperti dalam dikte; atau bagian-bagian yang secara
ditandai dengan adanya tugas untuk memahami wacana, melalui pemahaman unsur-
unsur kebahasaan yang digunakan secara wajar, termasuk adanya berbagai kendala yang
5. Pendekatan Komunikatif
Ibid.
13
13
peranan unsur-unsur nonkebahasaan, terutama unsur-unsur yang terkait dengan
unsur yang mengambil bagian dalam terwujudnya komunikasi yang baik. Sebagai
terjadi, kapan dan bagaimana komunikasi terjadi, dan sebagainya. Hal yang senada
dipaparkan oleh Canale dan Swain ketika menguraikan cakupan kompetensi yang perlu
bahasa menurut pendekatan komunikatif, dapat berarti bahwa setiap bentuk penggunaan
bahasa perlu dibuat rincian seluk-beluknya. Untuk satu bentuk penggunaan bahasa, perlu
disusun satu rincian seluk-beluk komunikasi tersendiri, yang berbeda dengan rincian
15
Rusydi Ahmad Thu'aimah, op. cit.,h.120
14
menggunakan bahasa, digunakan terhadap siapa, untuk maksud apa, dan sebagainya,
maka secara teoritis diperlukan teramat banyak jumlah dan jenis rincian seluk-beluk
penggunaan bahasa yang perlu disusun. Secara lebih praktis, jumlah dan jenis rincian itu
tentu saja dapat disederhanakan, dengan memilih bentuk komunikasi yang berlaku
secara umum, dan tidak terbatas pada penggunaan bahasa yang amat khusus.
beberapa segi penyelenggaraannya, terutama jenis dan isi wacana yang digunakan,
kemampuan berbahasa yang dijadikan sasaran, serta bentuk tugas, soal, atau
pertanyaannya. Semua itu ditentukan atas dasar ciri komunikatifnya, yaitu hubungan dan
digunakan, pertanyaan yang diajukan, dan jawaban yang diharapkan, benar-benar sesuai
bahasa secara komunikatif itu tidak ditemukan, bahkan tidak didekati sekalipun, maka
tes bahasa itu tidak dapat digolongkan sebagai tes bahasa berdasarkan pendekatan
komunikatif.
beragam, yang tidak terpancang pada satu bentuk tertentu, lebih sesuai dengan hakikat
kenyataannya demikian beragam, sehingga secara umum tidak dapat dinyatakan bahwa
satu bentuk tes bahasa tertentu merupakan bentuk tes bahasa komunikatif yang sesuai.
15
Penggunaan bentuk tes bahasa tertentu hanya sesuai dengan bentuk penggunaan bahasa
tertentu pula, yang mungkin tidak sesuai dengan bentuk penggunaan bahasa yang lain.
Oleh karena itu, penggunaan bentuk tes bahasa yang beragam dan tidak terpaku pada
satu bentuk tes saja, lebih sesuai dengan hakikat penggunaan bahasa secara komunikatif.
Penggunaan tes yang beragam itu sekaligus dapat mengurangi kekurangan yang ada,
apabila hanya satu bentuk tes digunakan, dan sekaligus memberikan informasi yang
lebih lengkap tentang tingkat kemampuan berbahasa yang ingin diukur. Tentu saja
bentuk tes bahasa yang digunakan secara beragam itu tetap harus disesuaikan dengan
Kata “valid” sering diartikan dengan tepat, benar, sahih, atau absah. Jadi
kata validitas dapat diartikan dengan ketepatan, kebenaran, kesahihan, atau
keabsahan. Istilah “validitas” merupakan sebuah kata benda, sedangkan “valid”
merupakan kata sifat. Apabila kata valid itu dikaitkan dengan fungsi tes
sebagai alat pengukur, maka sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut
dengan tepat, benar, sahih atau absah dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur.
Anderson dalam Suharsimi menyatakan: “A test is valid if it measures
what is purpose to measures” ( sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut
mengukur apa yang hendak diukur). Jadi, tes hasil belajar dapat dinyatakan
valid apabila tes hasil belajar tersebut secara tepat, benar, sahih atau absah
16
telah dapat mengukur atau mengungkap hasil-hasil belajar yang telah dicapai
oleh peserta didik, setelah mereka menempuh proses belajar mengajar dalam
jangka waktu tertentu.
Untuk menetapkan apakah sebuah tes dapat dinyatakan sebagai tes yang
telah memiliki validitas (daya ketepatan mengukur) ataukah belum, dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi tes sendiri sebagai suatu totalitas, dan dari
segi itemnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tes tersebut. Penganalisaan
terhadap tes sebagai suatu totalitas dapat dilakukan dengan dua (2) cara :
1. Penganalisaan yang dilakukan dengan jalan berfikir secara rasional atau
penganalisaan dengan menggunakan logika (logical analysis).
2. Penganalisaan yang dilakukan dengan mendasarkan diri kepada kenyataan
empiris, dimana penganalisaan dilaksanakan dengan menggunakan
empirical analysis.
2. Reliabilitas ( ) الثبات
17
Sebuah tes dikatakan memiliki praktibilitas yang tinggi apabila tes
tersebut bersifat praktis, mudah pengadministrasiannya. Tes yang praktis itu
adalah tes yang :
1. Mudah dilaksanakan, misalnya tidak menuntut peralatan yang banyak dan
memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk mengerjakan terlebih dahulu
bagian yang dianggap mudah oleh mahasiswa.
2. Mudah pemeriksaannya, artinya bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci
jawaban maupun pedoman skoringnya. Untuk soal bentuk obyektif
pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan jika dikerjakan oleh mahasiswa
dalam lembar jawaban.
3. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas.
4. Bersifat ekonomis, mengandung pengertian bahwa tes hasil belajar tersebut
tidak memakan waktu yang panjang dan tidak memerlukan tenaga serta
biaya yang banyak
4. Obyektivitas ( ) الموضوعية
Tes hasil belajar dapat dikatakan sebagai tes hasil belajar yang obyektif,
apabila tes tersebut disusun dan dilaksanakan “menurut apa adanya” ditinjau
dari segi atau materi tesnya, maka istilah “menurut apa adanya” itu
mengandung pengertian bahwa materi tersebut bersumber dari materi atau
bahan pelajaran yang telah diberikan sesuai dengan tujuan intruksional
khusus(TIK) yang telah ditentukan. Ditinjau dari segi pemberian skor dan
penentuan nilai hasil tesnya, maka dengan istilah ”apa adanya” itu mengan-
dung pengertian bahwa pekerjaan koreksi, pemberian skor dan penentuan
nilainya terhindar dari unsur-unsur subyektivitas yang melekat pada diri
penyusun tes.
Ada dua faktor yang mempengaruhi subyektivitas dari suatu tes, yaitu :
1. Bentuk tes
Tes yang berbentuk uraian, akan memberikan banyak kemungkinan kepada
si penilai untuk memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan
18
demikian maka hasil dari seorang mahasiswa yang mengerjakan soal-soal
dari sebuah tes, akan dapat berbeda apabila dinilai oleh dua orang penilai.
2. Penilaian
Subyektivitas dari penilaian akan dapat masuk secara agak leluasa terutama
dalam tes bentuk uraian. Faktor-faktor yang mempengaruhi subyektivitas
antara lain: kesan penilai terhadap mahasiswa, tulisan, bahasa, waktu
mengadakan penilaian kelelahan, dan sebagainya.
Kualitas obyektivitas suatu tes dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1) Obyektivitas tinggi ialah jika hasil-hasil tes itu menunjukkan tingkat
kesamaan yang tinggi, contoh; tes yang sudah distandarisasi, hasil
penskorannya sangat obyektif.
2) Obyektivitas sedang ialah seperti tes yang sudah distandarisasi, tetapi
pandangan subyektif skor masih mungkin muncul dalam penilaian oleh
interpreternya.
3) Obyektivitas fleksibel ialah seperti beberapa jenis tes yang digunakan oleh
LBP (Lembaga Bimbingan dan Penyuluhan) untuk keperluan counseling,
misalnya tes yang bersifat open-end item (open-end questionaires).
5. Tingkat kesukaran dan daya beda suatu tes ( ) التمييز
Suatu tes tidak boleh terlalu mudah, sehingga dapat dijawab dengan
benar oleh semua mahasiswa, dan juga tidak boleh terlalu sukar, sehingga tidak
dapat dijawab oleh semua mahasiswa. Jadi tes yang baik adalah yang
mempunyai derajat kesukaran tertentu.
Disamping itu karena suatu tes dimaksudkan untuk memisahkan antara
murid-murid yang betul-betul mempelajari suatu pelajaran dengan murid-murid
yang tidak mempelajari pelajaran itu, maka tes yang baik adalah tes yang betul-
betul dapat memisahkan kedua golongan murid tadi. Jadi setiap tes, harus
mampu membedakan antara mahasiswa yang pandai dengan mahasiswa yang
kurang pandai (bodoh).
19
Untuk mencari Derajat Kesukaran (DK) dan Daya Beda (DB) suatu item
dapat dilakukan dengan jalan mengadakan analisis item-item. Dalam analisis
item, disamping mencari DK dan DB-nya, juga dapat dicari efektivitas setiap
option yang digunakan dalam item tersebut.
20
Pada umumnya berbentuk essay (uraian). Tes bentuk essay adalah sejenis tes
kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau
uraian kata-kata. Ciri-ciri pertanyaan didahului dengan kata-kata seperti:
uraikan, jelaskan, mengapa, bagaimana, bandingkan, simpulkan, dan
sebagainya.
Soal-soal bentuk essay biasanya jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar 5-10
buah soal untuk waktu kira-kira 90 s/d 120 menit. Soal-soal bentuk essay ini
menuntut kemampuan mahasiswa untuk dapat mengorganisir,
menginterpretasi, menghubungkan pengertian-pengertian yang telah dimiliki.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tes essay menuntut mahasiswa untuk
dapat mengingat-ingat dan mengenal kembali, dan terutama harus mempunyai
daya kreativitas yang tinggi.
!) Kebaikan-kebaikannya :
a) Mudah disiapkan dan disusun.
b) Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi atau
untung-untungan.
c) Mendorong mahasiswa untuk berani mengemukakan pendapat
serta menyusun dalam bentuk kalimat yang bagus.
d) Memberi kesempatan kapada mahasiswa untuk mengutarakan
meksudnya dengan gaya bahasa dan caranya sendiri.
e) Dapat diketahui sejauh mana mahasiswa mendalami sesuatu
masalah yang diteskan.
2) Keburukan-keburukannya :
a) Kadar validitas dan realibilitas rendah karena sukar diketahui segi-segi
mana dari pengetahuan mahasiswa yang betul-betul telah dikuasai.
b) Kurang refresentatif dalam hal mewakili seluruh scope bahan pelajaran
yang akan dites karena soal-soalnya hanya beberapa saja (terbatas).
c) Cara memeriksanya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur subyektif.
21
d) Pemeriksaannya lebih sulit sebab membutuhkan pertimbangan
individual lebih banyak dari penilai.
e) Waktu untuk koreksinya lama dan tidak dapat diwakilkan kepada orang
lain
3) Petunjuk Penyusunan
a) Hendaknya soal-soal tes dapat meliputi ide-ide pokok dari bahan yang
diteskan , dan kalau mungkin disusun soal yang sifatnya komprehensif.
b) Hendaknya soal tidak mengambil kalimat-kalimat yang disalin
langsung dari buku atau catatan.
c) Pada waktu menyusun, soal-soal itu sudah dilengkapi dengan kunci
jawaban serta pedoman penilaian.
d) Hendaknya diusahakan agar pertanyaannya bervariasi antara
“Jelaskan”, “Bagaimana”, “Seberapa Jauh”, agar dapat diketahui lebih
jauh penguasaan mahasiswa terhadap bahan.
e) Handaknya rumusan soal dibuat sedemikian rupa sehingga mudah
dipahami oleh tercoba.
f) Hendaknya ditegaskan model jawaban apa yang dikehendaki oleh
penyusun tes. Untuk ini pertanyaan tidak boleh terlalu umum, tetapi
haru spesifik.
2. Tes Obyektif
Tes obyekrtif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara
obyektif. Hal ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-
kelemahan dari tes bentuk essay.
Dalam penggunaan tes obyektif ini jumlah soal yang diajukan lebih banyak
daripada tes essay. Kadang-kadang untuk tes yang berlangsung selama 60
menit dapat diberikan 30-40 buah soal atau lebih.
1) Kebaikan-kebaikannya :
a) Mengandung lebih banyak segi-segi yang positif, misalnya lebih
representatif mewakili isi dan luas bahan, lebih obyektif, dapat
22
dihindari campur tangannya unsur-umsur subyektif baik dari segi
mahasiswa maupun segi dosen yang memeriksa.
b) Lebih mudah dan cepat cara memeriksanya karena dapat menggunakan
kunci tes bahkan dengan alat-alat hasil kemajuan teknologi.
c) Pemeriksaannya dapat diserahkan orang lain.
d) Dalam pemeriksaan, tidak ada unsur subyektif yang mempengaruhi.
2) Kelemahan-kelemahannya :
a) Persiapan untuk menyusunnya jauh lebih sulit dari pada tes essay
karena soalnya banyak dan harus teliti untuk menghindari kelemahan-
kelemahan yang lain.
b) Soal-soalnya cenderung untuk mengungkapkan ingatan dan daya
pengenalan kembali saja, dan sukar untuk mengukur proses yang tinggi.
c) Banyak kesempatan untuk main untung-untungan.
d) “kerjasama” antar mahasiswa pada waktu mengerjakan soal tes lebih
terbuka.
23
Contoh :
24
e) Hindarilah kata-kata yang menunjukkan kecenderungan memberi
saran seperti yang dikehendaki oleh item yang bersangkutan,
misalnya: semuanya, tidak selalu, tidak pernah, dan sebagainya.
4) Cara mengolah skor
Rumus untuk mencari skor akhir bentuk Benar-Salah, ada 2 macam, yaitu :
a) Dengan denda.
S = R-W
Dengan pengertian :
S = skor yang diperoleh
R = right (jawaban yang benar)
W = wrong (jawaban yang salah)
Contoh :
A menjawab betul 16 buah dan salah 4 buah.Maka skor untuk A adalah:
16 - 4 = 12
Dengan menggunakan rumus seperti ini maka ada kemungkinan
seorang mahasiswa memperoleh skor negatif.
b) Tanpa denda
Rumus S=R
Yang dihitung hanya yang betul.
(Untuk soal yang tidak dikerjakan dinilai 0).
Multiple Choice Test terdiri atas suatu keterangan atau pemberitahuan tentang
suatu pengertian yang belum lengkap. Dan untuk melengkapinya harus
memilih satu dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Atau
multiple choice test terdiri atas bagian keterangan (stem) dan bagian
kemungkinan jawaban atau alternatif (options). Kemungkinan jawaban
25
(options) terdiri atas satu jawaban yang benar yaitu kunci jawaban dan
beberapa pengecoh (distractor).
1) Penggunaan tes pilihan ganda
Tes bentuk pilihan ganda (PG) ini merupakan bentuk tes obyektif yang
paling banyak digunakan karena banyak sekali materi yang dapat dicakup.
Bentuk-bentuk soal yang digunakan dalam soal pilihan ganda ada beberapa
variasi:
a) Pilihan ganda biasa.
Contoh soal bentuk PG biasa :
Pilihlah satu jawaban yang tepat antara A, B, C, atau D.
. . . . هذا كتاب-
أ – الكتاب الجميل
ب – الكتاب جميل
ج – كتاب الجميل
د – كتاب جميل
26
ٍ
sebab berasal dari kata ثان
c) Asosiasi.
Contoh soal bentuk asosiasi.
Petunjuk pilihan.
(A) Jika (1), (2), dan (3) betul
(B) Jika (1), dan (3) betul
(C) Jika (2), dan (4) betul
(D) Jika hanya (4) yang betul
(E) Jika semuanya betul
Soal :
27
W
S = R - ------
0–1
S = skor yang diperoleh (raw score)
R = jawaban yang betul
W = jawaban yang salah
0 = banyaknya option
1 = bilangan tetap
Contoh : murid menjawab betul 17 soal dari 20 soal. Soal bentuk multiple
choice ini dengan menggunakan option sebanyak 4 buah.
3
Skor = 17 - -------- = 16
4–1
b) Tanpa denda, dengan rumus :
S=R
VIII. Tehnik Penyusunan Tes Pilihan Ganda
Secara khusus bagian ini akan menguraikan bagaimana membuat tes bentuk
pilihan ganda yang baik untuk tes bahasa Arab, karena bentuk ini banyak
digunakan dalam proses belajar mengajar atau dalam dunia pendidikan.
Berikut beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam menyusun soal, yaitu dari
segi; materi soal, konstruksi soal, dan dari segi bahasa yang digunakan.
1. Materi Soal
Dalam menyusun tes obyektif, khususnya pilihan ganda, perlu diperhatikan
kriteria yang menyangkut materi soal, sebagai berikut :
1) Soal harus sesuai dengan indikator TPK yang terdapat pada kisi-kisi.
Contoh indikator: Peserta dapat membedakan penggunaan beberapa adat
istifham.
Contoh soal yang tidak sesuai:
. . . . كيف يذهب أصدقاؤنا يا أمحد ؟ هم يذهبون-
إىل املدرسة-د مع األستاذ علي-ج مشيا على األقدام- صباح اخلري ب-أ
28
Soal yang sesuai dengan TPK
يذهب الطالب إىل املدرسة ؟ يذهب الطالب مشيا على األقدام. . . -
Dalam hal ini perlu diingat, bahwa setiap TPK hanya memuat satu
perilaku yang dapat diukur (kata kerja operasional). Jadi soal berikut
adalah tidak baik:
يا أمحد ؟، كيف يذهب أصدقاؤنا-
Yang diujikan di sini lebih dari satu perilaku, yaitu tentang penguasaan
mufradat, dan tentang penguasaan qawa’id (persesuaian fi’il mudhari
dengan dhamir pelakunya).
2) Pengecoh harus homogen, logis dan berfungsi.
Contoh yang kurang baik:
. . . . تذهب الطالبة كل صباح إىل-
3) Setiap soal hanya mempunyai satu jawaban yang benar atau yang paling
tepat.
Contoh yang kurang baik:
29
. . . . فقال، سألت أخي عن مرضه-
ال بأس عليك-د عندي زكام-ج واحلمد هلل، أحتسن- احلمد هلل خبري ب-أ
ال بأس عليك-د شفاك اهلل-ج واحلمد هلل، أحتسن- احلمد هلل خبري ب-أ
Peserta yang belum mengetahui hal tersebut (sejarah Islam dan nama
mata uang) akan sulit menentukan pilihan, walaupun memiliki pengetahuan
kebahasaan yang relatif tinggi. Yang sudah mengetahui ini, tanpa memahami
stem dengan baikpun akan mudah menebak jawaban pilihan.
2. Konstruksi soal
Kriteria/kaidah dari segi konstruksi adalah seperti berikut:
1) Stem (rumusan pokok soal) harus jelas dan tegas, tidak menimbulkan
pengertian ganda dan hanya mengandung satu persoalan untuk setiap
butir.
Contoh soal yang kurang baik:
. . . . يذهب أمحد كل يوم إىل-
30
Contoh soal yang baik:
. . . . يذهب الفالح إىل-
3) Hindarkan pada stem penggunaan kata atau ungkapan yang persis sama
dengan yang terdapat pada option. Contoh tes kurang baik:
. . . . التالميذ الناجحون ىف االمتحان األخري هم
31
walaupun tidak memahami maknanya. Untuk mengatasi hal ini, dapat
dihilangkan kata التالميذpada stem, hingga menjadi:
atau semisalnya.
Contoh yang tidak baik:
. . . . أعضاء اجلسم اليت جيب غسلها عند الوضوء
Jawaban د jelas bukan salah satu anggota badan. Jadi tidak
homogen dengan option lainnya. Karena itu, tidak sesuai dengan kriteria
pembuatan soal pilihan ganda. Ini dapat diatasi dengan menggantinya
dengan kata yang homogen, menjadi:
. . . . أعضاء اجلسم اليت جيب غسلها عند الوضوء
5) Option yang berupa angka perlu disusun berdasarkan urutan, mulai dari
yang besar ke yang kecil atau sebaliknya.
Contoh yang tidak baik:
. صباحا. . . فأذهب إليها ىف الساعة، بييت فريب من املدرسة
32
membantu mereka dalam menentukan pilihannya, karena mudah
mencarinya dan menghemat waktu. Contoh yang baik adalah:
. صباحا. . . فأذهب إليها ىف الساعة، بييت فريب من املدرسة
التاسعة والربع- السابعة وعشر دقائق د-ج السادسة متاما-ب اخلامسة والنصف-أ
yang menduga, di mana dan kebanyakan apa, dst? Ini merugikan peserta
didik, karena akan menimbulkan pengertian yang berbeda-beda,
tergantung pada latar belakang, lingkungan dan pengalaman masing-
masing. Contoh soal yang baik:
. . . . جيب على املسلمني أن
33
t يسلم الطالب على املدرس-أ
34
. . . . ملاذا جتلسني إىل املائدة ؟
أجلس إىل املائدة ألقرأ القرآن-ب أجلس إىل املائدة ملذاكرة الدروس-أ
أجلس إىل املائدة لتناول الفطر-د أجلس إىل املائدة ملساعدة أمي-ج
11) Penyebaran kunci jawaban dalam satu paket tes harus acak dan
seimbang,
Termasuk dalam jumlah pilihan yang benar. Jadi bila jumlah soal 60
butir, maka yang benar pada ( = ) أ15 butir. Demikian pula pada ( ) ب
3. Bahasa Soal
Yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tes dari segi bahasa:
1. Dalam tes untuk mengukur pemahaman mufradat dan susunan kalimat,
(seperti pada contoh-contoh soal di atas), maka pada stem dan option
harus digunakan bahasa yang benar, baik dari segi imlaknya, maupun
qawa’idnya (nahwu/sharf). Sedangkan dalam tes untuk mengukur
penguasaan qawa’id, maka tiga option memang sengaja “dibuat salah”
( dari segi siyaq kalam, bukan dari segi option itu sendiri). Contoh:
a. Soal tentang penggunaan dhamir:
طالبة ماهرة. . . ، هذه صديقيت عائشة، يا أمحد
35
إىل املدينة املنورة. . . النساء
Tanpa melihat konteks pun, peserta tidak akan menebak option د,
karena dari segi qawa’id adalah salah sejak awal. Soal yang baik:
. إليها. . . ، هل سافرمت إىل مكة ؟ ال
36
IX. Penelaahan soal
Selesai menyusun soal, kegiatan terakhir adalah menelaah seluruh soal yang
telah disusun. Untuk ini dapat digunakan Kartu Tela’ah, sebagai dasar untuk
menganalisa setiap butir soal, seperti berikut ini:
BIDANG KRITERIA YA TIDAK
PENELAAHAN PENELAAHAN
A. MATERI 1. Soal sudah sesuai dengan
indikator
2. Pengecoh sudah homogin,
logis, dan berfungsi.
3. Hanya ada satu jawaban yang
benar/paling tepat.
4. Bebas dari persoalan di luar
kebahasaan.
B. KONSTRUKSI
1. Stem sudah dirumuskan
dengan jelas dan tegas.
2. Soal sudah menggunakan
bahasa yang singkat/
seperlunya.
3. Bebas dari penggunaan
kata/ungkapan yang sama
persis antara yang terdapat
dalm stem dan dalam option.
4. Bebas dari penggunaan
kata/ungkapan:
مجيع اإلجابات السابقة صحيحة
37
atau semisalnya
Dst.
Catatan :
Dalam pengisian “kartu tela’ah dapat dilakukan langkah-langkah seperti
berikut:
1. Membaca butir soal dengan seksama.
2. Mencocokkan soal dengan seksama.
3. Memberi tanda cek (v) pada kolom “YA”, bila soal yang ditela’ah sudah sesuai
dengan kriteria.
4. memberi tanda cek (v) pada kolom “TIDAK”, bila soal yang ditela’ah tidak
sesuai dengan kriteria, kemudian tuliskan penjelasannya dengan ringkas pada
ruang catatan.
5. Soal-soal yang “TIDAK” lalu diperbaiki / disempurnakan sesuai dengan
kriteria / catatan.
c) Menjodohkan (مزاوجة/matching test)
1) Pengertian
Matching test dapat kita ganti dengan istilah mempertandingkan , mencocokkan,
memasangkan atau menjodohkan. Matching test terdiri atas satu seri pertanyaan
dan satu seri jawaban. Masing-masing pertanyaan mempunyai jawabnya yang
tercantum dalam seri jawaban. Tugas murid ialah : mencari dan menempatkan
jawaban-jawaban, sehingga sesuai atau cocok dengan pertanyaannya.
Contoh :
38
“ Pasangkanlah pertanyaan yang ada pada lajur kiri dengan yang ada pada lajur
kanan dengan cara menempatkan huruf yang terdapat di muka pernyataan lajur kiri
pada titik-titik yang disediakan di lajur kanan”.
2) Petunjuk penyusunan
Petunjuk-petunjuk yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes bentuk
matching ialah :
a) Seri pertanyaan-pertanyaan dalam matching test hendaknya tidak labih dari
sepuluh soal (item). Sebab, pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu akan
membingungkan murid. Juga kemungkinan akan mengurangi homogenitas
antara item-item itu. Jika itemnya cukup banyak, lebih baik dijadikan dua seri.
b) Jumlah jawaban yang harus dipilih, harus lebih banyak daripada jumlah soalnya
(kurang lebih 11/2 kali). Dengan demikian, murid dihadapkan kepada banyak
pilihan, yang semuanya mempunyai kemungkinan benarnya, sehingga murid
terpaksa lebih mempergunakan pikirannya.
c) Antara item-item yang tergabung dalam satu seri matching test harus merupakan
pengertian-pengertian yang benar-benar homogen.
Misalnya :
39
Artinya skor terakhir dihitung jawaban yang benar saja.
) لصالة3( . . . ) فى الحمام وبعد ذلك أذهب إلى2( . . . ) مبكرا ثم1( . . . أقوم من
) الفطور4( ... وفى االسادسة والنصف صباحا. الصبح جماعة
. ) للذهاب إلى المدرسة5( . . . و
........ -1
........ -2
40
....... -3
....... -4
....... -5
Cara scooring S=R
(Sama dengan bentuk matching)
2) Petunjuk penyusunan
Saran-saran dalam menyusun tes bentuk isian ini adalah sebagai berikut :
a) Perlu selalu diingat bahwa kita tidak dapat
merencanakan lebih dari satu jawaban yang kelihatan logis.
b) Jangan mengutip kalimat/pernyataan yang tertera pada buku/catatan.
c) Diusahakan semua tempat kosong hendaknya sama panjang.
d) Diusahakan hendaknya setiap pernyataan jangan
mempunyai lebih dari satu tempat kosong.
Bagaimanakah digunakan tes subyektif ?
Tes bentuk essay digunakan apabila :
a) Kelompok yang akan tes kecil, dan tes itu tidak akan
digunakan berulang-ulang.
b) Tester (dosen) ingin menggunakan berbagai cara untuk mengetahui
kemampuan mahasiswa dalam bentuk tertulis.
c) Dosen ingin mengetahui lebih banyak tentang sikap-sikap mahasiswa
daripada hasil yang telah dicapai.
d) Memiliki waktu yang cukup banyak untuk menyusun tes.
Bilamanakah digunakan tes obyektif ?
a) Kelompok yang akan di tes besar dan tesnya akan digunakan lagi berkali-
kali.
b) Skor yang diperoleh diperkirakan akan dapat dipercaya (mempunyai
reliabilitas yang tinggi).
c) Dosen lebih mampu menyusun tes bentuk obyektif
daripada tes bentuk essay (uraian).
41
d) Hanya mempunyai waktu sedikit untuk koreksi dibandingkan dengan
waktu yang digunakan untuk menyusun tes.
Pada umumnya, dosen diseyogyakan menggunakan dua macam bentuk tes ini
dalam perbandingan 3 : 1, yaitu 3 bagian untuk tes obyektif, dan 1 bagian untuk tes
uraian.
42
B–S تاب- طاب
ضل
ضاللة
مضل
أضالع
ضل- دل-
ظل- ذل-
جل- زل-
صار- سار-
ثار- سار-
صورة- سورة-
43
ريش- ريس-
(2) Membaca :
Murid diminta membaca kata atau kalimat atau faqrah (alinea) pendek yang
disiapkan oleh dosen. Yang dinilai oleh dosen dari bacaan murid adalah
pengucapannya, bukan i’rab atau pemahamannya.
b. Sistem tulisan
Tujuan tes ini adalah untuk menguji kemampuan murid mengubah bentuk
ujaran (lisan) menjadi bentuk grafis (tulisan), atau dengan kata lain
kemampuan membentuk alfabetdan mengeja.
Kemampuan ini pada tingkat pemula perlu mendapat porsi latihan yang
banyak, karena merupakan dasar bagi kemampuan menulis pada tingkat
selanjutnya.
Bentuk tes yang biasa dipakai adalah :
1) Menyalin
Bagi murid perguruan tinggi lebih-lebih untuk tingkat Ibtidaiyah,
menyalin bukan sesuatu yang terlalu mudah, apalagi menyalin tulisan
Arab. Di sini murid diuji ketelitian dan kecermatannya. Jadi tes
menyalin ini cukup punya arti.
2 ) Dikte atau imla’
Dikte ini bisa dibedakan menjadi dua :
Pertama, disebut ( ) معه ودةyakni dikte yang materinya telah
diberitahukan terlebih dahulu kepada murid agar dipelajari.
Kedua, disebut ( ) غ ير معه ودةyakni dikte yang materinya tidak
diberitahukan sebelumnya kepada murid.
Materi tes ditekankan pada hal-hal berikut :
1) penulisan huruf Arab dalam berbagai posisinya (awal-tengah-akhir).
2) penulisan alif-lam ( ) ألpada huruf syamsiyah dan qomariyah
44
3) mad ( ) مدdan tasydid ( ) تشديد.
. المدرس ) جديد
َ ِ
- المدرس - المدرس
ُ ( كتاب-
. . . . ذهب-
إلى المسجد-د مع-ج علي-ب أ – عائشة
3) Transformasi/merubah bentuk ( ) تحويل
45
)اسم الفاعل( ) menjadi isim fa’ilماض( Misalnya merubah bentuk
Cantoh :
Murid menjawab soal
).فعل مضارع (
-1رجع أحمد إلى بيته أمس ،و . . .فهمي إلى بيته اليوم .
-2وصل فخري إلى هنا أمس ،و . . .خالد الى هنا اليوم .
-3نزل المطر هناك أمس ،و . . .هنا اليوم .
-4هل حضر األستاذ ؟ ال ،لم . . .منذ الصباح
Contoh lain :
) menjadi isimفعل ماض ( Murid diminta mengubah bentuk fi’ilmadhi
السوق -السو ِ
ق) صباحا ُ -1يذهب التاجر إلى ( السوق َ –
46
. الكتاب) يا أحمد
ُ – الكتاب
َ ِ
– الكتاب ( اقرأ-2
ِ
. األستاذ) على المكتب – كتاب ( األستا ُذ – األستا َذ-3
ٍ – جديد
) ًجديد – جدديدا ٌ ( عندي كتاب-4
. هذه ( كراسةٌ – كراسةُ – كراسة ) خالد-5
Contoh untuk menguji persesuaian fi’il dengan fa’il.
d. Kosakata ( ) مفردات
yang tepat.
47
. عمله مساء. . . رجع أبي-1
فى-د من-ج عن-ب إلى-أ
. إلى السوق كل يوم. . . يذهب-2
التاجر-د الموظف-ج الفالح-ب المدرس-أ
4) mengubah bentuk jamak ke mufrad dan sebaliknya.
48
Dengan memiliki penguasaan keterampilan menyimak yang memadai, diharapkan
Dibandingkan dengan tes bunyi bahasa Arab, tes menyimak ini meliputi
jangkauan lebih luas yang tidak hanya sekedar pengenalan dan pembedaan bunyi
bahasa. Tes menyimak terkait dengan kemampuan untuk memahami makna suatu
bentuk penggunaan bahasa yang diungkapkan secara lisan 17 dan diterima mahasiswa
kemahiran menyimak ini tidak disebutkan secara khusus kecuali pada empat
kompetensi dasar pertama kelas empat Perguruan tinggi Ibtidaiyah. Keadaan ini
sejalan dengan kenyataan bahwa kegiatan menyimak dan berbicara memang sulit
dipisahkan dalam kegiatan berbahasa lisan.18 Begitu pula tidak terdapat indikator
yang secara khusus menyangkut kemahiran menyimak kecuali satu indikator dengan
secara rinci bentuk-bentuk instrumen tes menyimak yang dapat digunakan. Secara
49
atau kalimat, menentukan nama tempat di peta/sketsa sesuai petunjuk,
menjawab pertanyaan mengenai isi kalimat, dialog, atau wacana, menulis angka
berbicara atau kalâm menuntut penguasaan terhadap beberapa aspek dan kaidah
penguasaan topik atau gagasan yang akan disampaikan, dan kemampuan memahami
bahasa interlokutor (lawan bicara). Selain itu, unsur-unsur paralinguistik pun turut
wajah, nada suara, dan gerakan-gerakan tertentu lainnya.20 Semuanya itu merupakan
bagian dari kegiatan berbicara sebagai suatu bentuk penggunaan bahasa lisan yang
harus diperhatikan agar pesan yang disampaikan dapat dimengerti dengan mudah
Shalâh 'Abd al-Majîd al-'Arabîy, Ta'allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta'lîmuhâ baina al-
21
50
tingkat kesulitan yang beragam. Bentuk pengajaran berbicara itu dapat bersifat
terkendali dengan isi dan jenis wacana yang ditentukan atau dibatasi, atau dapat
bersifat bebas tergantung pada keinginan dan kreativitas pembicara. Oleh karena itu,
tes berbicara pun secara umum dapat diselenggarakan secara terkendali atau secara
bebas.22
berbicara tersebut adalah rumusan kompetensi dasar yang diwujudkan secara lebih
mengucapkan materi hiwâr dengan lafal dan intonasi yang baik dan benar
melakukan tanya jawab dengan mufradât dan pola kalimat yang diajarkan.
melakukan tanya jawab tentang bahan bacaan dalam bahasa Arab yang telah
diprogramkan
tes pelafalan, tes struktur (qawâ'id), tes berbicara menggunakan rangsang visual,
dan tes melalui wawancara. Yang termasuk tes pelafalan adalah menirukan
pelafalan, melafalkan tekanan (nabr) dan intonasi, membaca nyaring teks yang
51
pertanyaan sesuai sketsa, dan membaca bersuara. Tes struktur (qawâ'id) secara
lisan dapat berupa mengubah kata atau kalimat, menghubungkan kalimat, saling
berbentuk pertanyan mengenai waktu, jarak, dan ukuran sesuai gambar, membaca
menarasikan cerita bergambar. Rangsang yang berupa gambar ini sangat baik
pembelajar bahasa asing tahap awal.24 Tes berbicara juga dapat dilakukan melalui
wawancara dan diskusi. Berbeda dengan teknik diskusi, tes berbicara dengan
terstruktur25 yang harus dijawab oleh mahasiswa. Teknik diskusi dan wawancara
52
3- Tes Membaca (qirâ`ah)
kemampuan membaca itu tercermin pada tingkat pemahaman terhadap isi bacaan,
baik yang secara jelas diungkapkan di dalamnya (tersurat), maupun yang hanya
terungkap secara tersamar dan tidak langsung (tersirat), atau bahkan sekedar
merupakan implikasi dari isi bacaan. Untuk dapat melakukan kegiatan membaca,
a.membedakan huruf dan mengetahui hubungan antara huruf dengan bunyi yang
diwakilinya.
e.mengetahui hubungan dan keterkaitan ide melalui kata-kata pengacu dan kata-
kata perangkai
f. memperoleh kesimpulan
cepat
53
l. mamahami bentuk kiasan, metafor, dan idiom yang terkandung dalam bacaan
n.kecepatan membaca27
bacaan yang dapat dijadikan dasar dan acuan dalam menyusun butir-butir tes
memang perlu dijadikan sebagai acuan utamanya. Daftar indikator yang berkaitan
benar.29
jahrîyah) daripada pemahaman isi bacaan yang merupakan target utama dari
keterampilan membaca. Oleh karena itu, untuk mengukur pencapaian hasil belajar
yang telah dipaparkan pada bagian tes bunyi bahasa atau tes berbicara.
54
mencocokkan kata, mencocokkan kalimat, mencocokkan kalimat dengan gambar,
lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur bahasa yang bersangkutan sekalipun.30 Agar
seseorang dapat menulis secara runtut dan padu, diperlukan penguasaan yang
memadai mengenai berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri
yang akan menjadi isi tulisan/karangan. Penguasaan terhadap sistem ejaan, kosakata,
dan struktur tatabahasa harus dimiliki oleh mahasiswa untuk dapat melakukan
kegiatan menulis. Namun agar tulisan runtut dan padu, hal itu saja tidak cukup.
menyatakan "menulis merupakan kegiatan bersisi dua: mekanis dan logis. Sisi
mekanis berkaitan dengan kemahiran menulis huruf abjad, mengetahui ejaan dan
tanda baca dalam bahasa asing. Sedangkan aspek logis mencakup pengetahuan yang
Kemampuan menulis Arab, baik yang bersifat mekanis maupun logis, yang
diharapkan dapat dicapai oleh mahasiswa perguruan tinggi tercermin dalam rumusan
55
indikator-indikator yang berhubungan dengan kemampuan menulis dalam kurikulum
a.menulis beberapa huruf Arab yang diprogramkan dalam kata-kata dan kalimat
Arab
….
mengandung ….
32
Pengklasifikasian imlâ` menjadi manqûl, manzhûr, dan ikhtibârîy (ikhtiyârîy?) nampaknya
didasarkan pada tulisan Rusydi Ahmad Thu'aimah. Dalam imlâ` manqûl, mahasiswa hanya menyalin
huruf dan kata-kata dalam bahasa Arab yang ada di papan tulis atau buku pelajaran ke dalam buku latihan
masing-masing. Hal ini berlangsung dengan tetap dipajankannya bentuk tulisan tersebut sehingga
memungkinkan mahasiswa untuk menatapnya kapanpun diperlukan. Dalam imlâ` manzhûr, mahasiswa
menyalin bentuk tulisan Arab setelah mendiskusikan dan membacanya terlebih dahulu. Berbeda dengan
imlâ` manqûl, ketika menyalin dalam imlâ` manzhûr mahasiswa tidak lagi melihat bentuk huruf, kata atau
kalimat Arab yang disalinnya itu. Adapun yang dimaksud dengan imlâ` ikhtibârîy adalah kegiatan di mana
mahasiswa menuliskan kata atau kalimat-kalimat Arab yang dibacakan didiktekan oleh dosen. Istilah dikte
yang dikenal populer pada umumnya mengacu kepada jenis imlâ` ikhtibârîy ini. Lih. Rusydi Ahmad
Thu'aimah, op. cit., h. 190-191
56
h. mengubah bentuk fi'il mudlâri' menjadi bentuk fi'il mâdlî dalam kalimat sesuai
Bentuk instrumen tes kemampuan menulis yang bersifat mekanis antara lain
tersebut dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan dalam hal tanda baca,
tertulisnya huruf nûn ketika tanwîn, huruf-huruf yang tertulis tapi tidak dibaca,
huruf-huruf yang dibaca tapi tidak tertulis, penulisan alif layyinah, dan penulisan
Terdapat banyak bentuk tes untuk insyâ` muwajjah antara lain: mengganti kata-
Ibid., h. 234-247
33
57
keterangan, mengubah bentuk kata atau kalimat, melengkapi kalimat atau wacana,
oo O oo
Daftar Pustaka
58
- al- Baghdadi, Muhammad Ridha, Dr. al- Ahdaf wa al- Ikhtibarat, Kuwait,
Maktabah al- Falah, 1984.
- Cohen, Andrew D, Testing Language Ability in The Classroom
(Massachusetts: Newbury House Publishers, 1980).
- Djiwandono, M. Soenardi, Tes Bahasa dalam Pengajaran (Bandung: ITB
Bandung, 1996)
- Muhammad, Abduk Khaliq Muhammad, Ikhtibar al – Lughah, Riyadh:
Jami’ah Malik al- Sa’ud, 1989.
- Nurgiyantoro, Burhan, Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra
(Yogyakarta: BPFE, 1987).
- Nur Kancana, Wayan, Drs. Sumartana, P,P,N. Drs. Evaluasi Pendidikan,
Usaha Nasional, 1983.
- Purwanto, Ngalim, M. Drs. M.P. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi
Pangajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
- Richards, Jack & Theodore S. Rodgers, Approach and Methods in Language
Teaching (New York: Cambridge University Press, 1992).
- Sudjiono, Anas, Prof. Dr. Pengantar Evaluasi Pendidikan, ( Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2002).
- Sabri, Mahir Ismail, Prof. Dr. al- Taqwim al- Tarbawiy, ( Riyadh: Maktabah
al- Rusyd, 2003).
mhs
59