Evaluasi Pengajaran Bahasa Arab

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 60

`

EVALUASI
PENGAJARAN BAHASA ARAB

Disusun oleh:
Prof. Dr. Moh. Matsna HS, MA.

Disampaikan pada
Acara TOT Dosen Bahasa Arab PTAI
Tanggal 12 s.d. 20 Agustus 2008
Di Asrama Haji PONDOK GEDE

DIREKTORAT PENDIDIKAN TINGGI ISLAM


DIREKTORAT JENDERAL PENDIDIKAN ISLAM
DEPARTEMEN AGAMA RI
2008

0
EVALUASI PENGAJARAN BAHASA ARAB
I. Pendahuluan
Evaluasi adalah kegiatan atau proses untuk mengukur dan selanjutnya menilai
sampai dimanakah tujuan yang telah dirumuskan sudah dapat tercapai.
Secara umum dapat dikatakan, evaluasi pengajaran adalah penilaian terhadap
pertumbuhan dan kemajuan peserta didik ke arah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan
dalam kurikulum. Hasil penilaian ini, dapat dinyatakan secara kuantitatif atau
kualitatif.
Evaluasi kemajuan mahasiswa adalah merupakan aspek utama dari pekerjaan
dosen. Gambaran yang bagus tentang dimana dan bagaimana kemajuan mahasiswa
merupakan hal yang mendasar pada efesiensi kegiatan dosen dan efesiensi belajar
mahasiswa.
Secara garis besar alat evaluasi yang digunakan dosen dapat digolongkan
kepada dua macam; yaitu bentuk tes dan non tes.

II. Tujuan dan Fungsi Evaluasi


Evaluasi pengajaran bahasa mempunyai bermacam-macam tujuan, antara lain
untuk :
1. seleksi / penyaringan
2. mengukur kemampuan umum ( proficiety )
3. mengukur bakat bahasa ( aptitude )
4. mengetahui kelemahan dan kekurangan proses belajar mengajar (
diagnostik )
5. mengukur kemampuan belajar ( achievement )
Untuk pengajaran bahasa Arab di perguruan tinggi yang berkaitan langsung
dengan tugas dosen adalah tujuan nomor 4 dan 5. Dengan demikian dapatlah
dirumuskan bahwa evaluasi pengajaran bahasa Arab di perguruan tinggi-perguruan
tinggi tersebut secara umum bertujuan untuk mengetahui prestasi belajar yang
dicapai oleh mahasiswa dan untuk memperbaiki proses belajar mengajar.

1
Dengan mengacu kepada tujuan evaluasi tersebut di atas, maka fungsi evaluasi
pengajaran bahasa Arab di perguruan tinggi-perguruan tinggi pada dasarnya dapat
digolongkan menjadi dua :
Pertama untuk menentukan angka kemajuan belajar masing-masing mahasiswa
yang antara lain diperlukan untuk pemberian laporan semester dan kenaikan kelas.
Kedua untuk memberikan feed back kepada dosen sebagai dasar untuk memperbaiki
proses belajar mengajar, baik yang menyangkut kelemahan dan kekurangan murid
maupun kelemahan dan kekurangan dosen.

III. Beberapa Prinsip Evaluasi


Ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dan dipedomani dalam
melaksanakan evaluasi. Di antara prinsip-prinsip itu ialah :
1. sesuai dengan tujuan (‫)االتساق مع األهداف‬

2. menyeluruh (‫)الشمول‬

3. terpadu (‫)التكامل‬

4. ilmiah (‫)أن يبىن على أساس علمي‬

5. kerjasama (‫)التعاون‬

6. terus menerus (‫)االستمرار‬

7. ekonomis (‫)االقتصادية‬

Ad. 1 Evaluasi harus sesuai dengan tujuan.


Agar evaluasi bisa menjadi alat ukur dan penilaian yang baik maka semestinya
proses evaluasi dilakukan sejalan dengan kompetensi yang dicanangkan, baik
standar kompetensi, maupun kompetensi dasar. Bila dosen merumuskan
standar kompetensi dalam satu materi umpamanya “mahasiswa mampu
menyebutkan kata-kata yang menjadi khabar dalam satu teks bahasa Arab”,
maka evaluasinya jangan berupa mahasiswa “disuruh menyebutkan macam-
macam dhamir yang ditemukan”.

2
Ad. 2 Menyeluruh.
Evaluasi hendaknya tidak terbatas pada pengukuruan dan penilaian tingkat
kemampuan individu saja, tetapi harus lebih dari itu. Dosen hendaknya dalam
melakukan evaluasi memandang bahwa kepribadian mahasiswa terdiri dari
unsur mental dan sosial, juga mahasiswa harus dievaluasi aspek kognitif,
afektif, dan psikomotornya.
Dan dari aspek bahasa serta keterampilan bahasa yang ingin dicapai juga harus
menjadi target sasaran yang dalam proses evaluasi.
Ad. 3 Terpadu.
Seperti yang akan kita jelaskan bahwa evaluasi memiliki beberapa alat untuk
mengukur dan menilai, dan setiap alat memiliki sasaran yang ingin dicapai.
Oleh karena itu perlu adanya keterpaduan antara berbagai alat tersebut,
sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas tentang target yang ingin
dicapai oleh evaluasi tersebut. Keterpaduan itu harus tercermin dalam hal-hal
berikut:
- Terpadu antara macam-macam alat evaluasi yang akan digunakan.
- Terpadu antara proses evaluasi dengan proses belajar mengajar.
- Terpadu antara evaluasi dengan berbagai sistem yang lain seperti drill,
bimbingan, dan konseling.
Ad. 4 Ilmiah.
Evaluasi yang baik juga harus disusun berdasarkan teori-teori ilmiah yaitu,
valid, reliable, dan obyektif. Ketiga hal ini akan dijelaskan pada bagian kriteria
tes yang baik.
Ad. 5 Kerjasama.
Yang dimaksud dengan kerjasama di sini, adalah bahwa evaluasi harus
dilakukan dengan melibatkan berbagai individu atau kelompok yang terkait
agar bisa mencapai sasaran yang ingin dicapai. Evaluasi bukan hanya tanggung
jawab dosen, tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak yang terkait
semisal tenaga administrasi, para mahasiswa, bahkan penjaga sekolah.

3
Ad. 6 Berkesinambungan (Kontinyu)
Evaluasi merupakan alat untuk mengukur dan menilai kemajuan mahasiswa
dalam proses belajar mengajar. Dosen dapat memvonis seorang mahasiswa
naik kelas atau tidak karena hasil evaluasi yang diadakan untuknya. Evaluasi
menjadi penentu kenaikan atau ketidaknaikan seorang mahasiswa. Maka di sini
dosen harus hati-hati betul dalam memberikan penilaian, tidak cukup sekali dua
kali untuk menentukan berapa sebenarnya nilai yang layak diberikan kepada
seorang mahasiswa dalam mata pelajaran bahasa Arab umpamanya. Bahkan
nilai angka yang diberikan kepada seorang mahasiswa, tidak cukup hanya dari
hasil tes yang diadakan tetapi dosen harus juga melihat hasil pengamatan,
wawancara, bahkan survey dari kegiatan sehari-hari mahasiswa.
Paling tidak evaluasi harus dilakukan setiap proses pembelajaran, di tengah
semester, dan di akhir semester.
Ad. 7 Ekonomis.
Evaluasi harus dilakukan dengan efektif dan efisien, tidak menghambur –
hamburkan waktu, tenaga, dan biaya. Tetapi dengan alasan ekonomis juga
tidak boleh mengorbankan aspek akademisnya.

IV. Macam-Macam Evaluasi

Macam-macam evaluasi bisa dilihat dari sisi mana melihatnya. Bila dilihat

dari sisi waktu, maka evaluasi bisa dibagi menjadi formatif, mid, dan summatif. Dan

bila dilihat dari alat atau instrumennya maka evaluasi dibagi menjadi yang bersifat

non-tes dan yang tes.

Evaluasi dalam bentuk non-test bisa berupa:

- skala bertingkat (rating scale)

- kuesioner (questionair)

- daftar cocok (check list)

- wawancara (interview)

4
- survey

Sedangkan yang berupa tes ada yang bersifat subyektif dan yang bersifat

obyektif, dan bagian ini yang akan banyak dibicarakan.

A. Hakikat Tes Bahasa

Istilah "tes" dalam bahasa Arab disebut ikhtibâr (‫ار‬44‫)اختب‬. Secara umum, tes

adalah alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu

dalam suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan. 1 Dalam kaitannya

dengan bidang kebahasaan, tes bahasa dipahami sebagai sejumlah pertanyaan atau tugas

yang harus dijawab/direspon mahasiswa dengan tujuan mengukur tingkat mereka dalam

hal penguasaan keterampilan bahasa tertentu dan menjelaskan kemajuan prestasi serta

membandingkannya dengan prestasi mahasiswa lainnya. Jika pelaksanaan tes bahasa

tersebut dilakukan pada saat proses pembelajaran sedang berlangsung disebut kuis. 2

Melalui penyelenggaraan tes, diharapkan diperoleh informasi tentang seberapa banyak

dan seberapa mendalam kemampuan berbahasa Arab yang dimiliki oleh seorang

mahasiswa.

Kemampuan berbahasa Arab mengacu kepada kemampuan yang berhubungan

dengan penggunaan bahasa Arab dalam komunikasi nyata sehari-hari. Kemampuan

berbahasa Arab memungkinkan mahasiswa untuk melakukan komunikasi dengan pihak

lain, terlepas dari ada tidaknya pengetahuan tentang teori dan seluk beluk bahasa Arab

yang digunakan untuk berkomunikasi itu. Kenyataan bahwa seorang mahasiswa dapat

Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Jakarta: Bumi Aksara, 2001), h.53
1

Andrew D. Cohen, Testing Language Ability in The Classroom (Massachusetts: Newbury


2

House Publishers, 1980), h. 5

5
berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Arab bukanlah semata-mata disebabkan

oleh karena dia mengetahui aturan (teori) penyusunan kalimat, pemilihan dan

perangkaian kata-kata, atau jenis, klasifikasi, dan ciri bunyi-bunyi bahasa yang

digunakannya. Semua itu merupakan bagian dari pengetahuan tentang bahasa Arab yang

digunakan, tetapi bukan merupakan bagian dari kemampuan berbahasa Arab.3 Kedua hal

itu perlu dibedakan satu dari yang lain, baik dalam pengertian maupun dalam

penerapannya, termasuk kaitannya dengan tes bahasa Arab. Pengertian dan penggunaan

tes bahasa Arab erat kaitannya dengan kemampuan berbahasa Arab, tidak dengan

pengetahuan tentang bahasa Arab.

Dalam kajian kebahasaan, kemampuan berbahasa dibedakan ke dalam

kompetensi berbahasa dan performansi berbahasa.4 Kompetensi berbahasa mengacu

kepada kemampuan yang bersifat abstrak, berupa potensi yang dimiliki seorang pemakai

bahasa. Kompetensi itu memungkinkan pemakai bahasa untuk memahami bahasa yang

digunakan orang lain, maupun mengungkapkan dirinya melalui bahasa. Karena sifatnya

yang abstrak, kompetensi berbahasa tidak dapat dilihat, didengar, atau dibaca, meskipun

kompetensi berbahasa itu senantiasa terdapat di belakang penggunaan bahasa.

Sebaliknya, performansi berbahasa bersifat konkret dan mengacu kepada penggunaan

bahasa senyatanya, dalam bentuk lisan yang dapat didengar, atau dalam bentuk tertulis

yang dapat dibaca. Oleh karena sasaran pokoknya adalah kemampuan berbahasa, maka

tes bahasa meliputi tes kompetensi berbahasa, dan tes performansi berbahasa.

3
Ibn Khaldûn, Muqaddimah (Mesir: Mushthafâ Muhammad, tth), h. 560
4
Henry Guntur Tarigan, Pengajaran Kompetensi Bahasa (Bandung: Angkasa, 1990), H. 23

6
Kemampuan berbahasa Arab secara konvensional dianggap meliputi empat jenis

keterampilan. Keempat jenis keterampilan berbahasa Arab itu adalah: keterampilan

menyimak (mahârat al-istimâ') untuk memahami bahasa yang digunakan secara lisan;

keterampilan membaca (mahârat al-qirâ`ah) untuk memahami bahasa yang diungkapkan

secara tertulis; keterampilan berbicara (mahârat al-kalâm) untuk mengungkapkan diri

secara lisan; dan keterampilan menulis (mahârat al-kitâbah) untuk mengungkapkan diri

secara tertulis. Dengan demikian, tes bahasa Arab yang sasaran umumnya adalah

kemampuan berbahasa Arab, rincian sasarannya meliputi keterampilan menyimak,

membaca, berbicara, dan menulis. Sejalan dengan rincian sasaran itu, tes bahasa Arab

dapat dirinci ke dalam tes menyimak, tes membaca, tes berbicara, dan tes menulis.

Kemampuan berbahasa Arab dapat pula dikaitkan dengan penguasaan terhadap

komponen bahasa Arab seperti dimaksudkan dalam ilmu bahasa struktural ('ilm al-

lughah al-tarkîbîy). Dalam pandangan penganut aliran struktural 5, bahasa dianggap

terdiri dari bagian-bagian yang dapat dipisahkan dan dibedakan satu dari yang lain.

Bagian-bagian yang dikenal sebagai komponen bahasa itu, terdiri dari bunyi bahasa

(ashwât), kosakata (mufradât), dan tatabahasa (qawâ'id). Penguasaan atas komponen-

komponen bahasa Arab dianggap merupakan bagian dari kemampuan berbahasa Arab.

Oleh karena itu, tes bahasa Arab yang sasarannya adalah kemampuan berbahasa Arab,

5
Aliran struktural merupakan penamaan pendekatan kebahasaan yang dilakukan oleh L.
Bloomfield dan sangat berpengaruh dari tahun 1930-an sampai akhir tahun 1950-an. Aliran ini melihat
bahasa dari segi strukturnya. Makna ditentukan oleh struktur. Dalam menganalisis kalimat, kaum
struktural menempuh apa yang disebut Analisis Unsur Bawahan Langsung, yaitu metode analisis kalimat
atau kata-kata dengan membaginya kepada unsur-unsurnya yang disebut dengan constituen. Lih. A.
Chaedar Alwasilah, Beberapa Madhab & Dikotomi Teori Linguistik (Bandung: Angkasa, 1993), h. 43-50

7
juga meliputi pula tes bunyi bahasa (ikhtibârât al-ashwât), tes kosakata (ikhtibârât al-

mufradât), dan tes tatabahasa (ikhtibârât al-qawâ'id).

B. Beberapa Pendekatan dalam Tes Bahasa

Sebagai suatu usaha yang titik berat kegiatannya adalah bahasa, penyelenggaraan

pengajaran bahasa senantiasa dipengaruhi oleh pendekatan tertentu dalam ilmu bahasa. 6

Kadang-kadang seluruh penyelenggaraan pengajarannya bahkan dirancang atas dasar

pendekatan yang digunakan sebagai acuan pokok itu. Bagaimana bahasa dimengerti dan

disikapi menurut suatu pendekatan ilmu bahasa tertentu, pertama-tama dapat

mempengaruhi penentuan tujuan pengajarannya. Pengaruh itu lebih lanjut dapat pula

terasa dalam hal bagaimana bahasa itu diajarkan, atau apa yang perlu diajarkan. Dan

karena eratnya hubungan antara tes bahasa dan penyelenggaraan pengajarannya, dan

bahkan juga dengan tujuan pengajarannya, pengaruh pendekatan ilmu bahasa terhadap

penyelenggaraan pengajaran bahasa itu pada akhirnya tercermin pula pada

pengembangan dan penggunaan tes bahasanya.

Kajian tentang pendekatan terhadap tes bahasa dapat dilakukan dengan titik tolak

dan kriteria yang berbeda, dan yang menghasilkan rincian pendekatan yang berbeda

pula. Dengan memperhatikan rincian yang berbeda-beda seperti dikemukakan oleh

berbagai ahli, pendekatan tes bahasa secara keseluruhan dapat dibedakan ke dalam

pendekatan tradisional, pendekatan diskret, pendekatan integratif, pendekatan pragmatik,

dan pendekatan komunikatif.

Jack Richards & Theodore S. Rodgers, Approach and Methods in Language Teaching (New
6

York: Cambridge University Press, 1992), h. 16-17

8
1. Pendekatan Tradisional

Dalam pendekatan tradisional, tes bahasa diselenggarakan tanpa mengacu kepada

teori kebahasaan tertentu sebagai dasar. Penerapannya tidak menuntut kemampuan

khusus dalam bidang tes bahasa, sehingga siapa yang mampu mengajarkan bahasa

dianggap mampu pula menyelenggarakan tes bahasa. Demikian pula penilaian yang

dilakukan terhadap pekerjaan mahasiswa. Semuanya tergantung pada pendapat dan

penilaian pengajar dengan segala unsur subjektifnya. Bahan yang digunakan dalam tes

banyak merujuk kepada karya sastra, dan bentuk tes yang banyak dipakai khususnya

meliputi terjemahan, atau menulis esei.7 Itulah sebabnya pendekatan tradisional ini

sering juga disebut pendekatan esei dan terjemahan. Selain terjemahan dan menulis esei,

terdapat juga bentuk tes tatabahasa yang memuat pertanyaan-pertanyaan tentang bahasa,

bukan tentang penggunaan bahasa. Tes jenis itu tidak merupakan bagian dari tes bahasa,

yang sasarannya adalah komponen bahasa dan kemampuan berbahasa.

2. Pendekatan Diskret

Pendekatan diskret dalam tes bahasa bersumber pada pendekatan struktural

dalam kajian kebahasaan yang dipelopori oleh Robert Lado pada tahun 1961. 8 Dalam

pendekatan struktural, bahasa dianggap sebagai sesuatu yang memiliki struktur yang

tertata rapi, dan terdiri dari komponen-komponen bahasa, yaitu komponen bunyi bahasa,

kosakata, dan tatabahasa. Komponen-komponen itu tersusun secara berjenjang menurut

suatu struktur tertentu. Dalam struktur itu, bagian-bagian kecil bersama-sama

7
Muhammad 'Abd al-Khâliq Muhammad, Ikhtibârât al-Lughah (Riyâdh: Jâmi'ah al-Malik Sa'ûd,
1989), h. 1
8
Tim McNamara, Language Testing (New York: Oxford University Press, 2000), h. 13

9
membentuk bagian-bagian yang lebih besar, bagian-bagian lebih besar membentuk

bagian-bagian yang lebih besar lagi, dan demikian selanjutnya, sampai terbentuknya

bahasa sebagai struktur terbesar. Ditinjau dari arah sebaliknya, pendekatan struktural

menggambarkan bahasa sebagai sesuatu yang memiliki struktur, yang terdiri dari

komponen-komponen yang dapat dibedakan dan dipisahkan satu dari yang lain.

Dan dalam tes bahasa pendekatan diskret, satu bentuk tes dimaksudkan untuk

mengukur tingkat penguasaan terhadap satu, dan hanya satu jenis kemampuan berbahasa

atau komponen bahasa.9 Dalam pengertian itu, suatu bentuk tes bahasa hanya dapat

merupakan salah satu dari tes menyimak, tes berbicara, tes membaca, tes menulis, atau

tes bunyi bahasa, tes kosakata, dan tes tatabahasa. Secara lebih ketat, pendekatan diskret

dalam tes bahasa bahkan menjurus kepada pengertian bahwa satu butir tes seharusnya

hanya mempermasalahkan satu dan hanya satu hal saja dari masing-masing aspek

kemampuan berbahasa atau komponen bahasa.

3. Pendekatan Integratif

Apabila pendekatan diskret bertitik tolak dari anggapan bahwa bahasa dapat

dipisah-pisahkan ke dalam komponen-komponen bahasa sampai dengan bagian-

bagiannya yang terkecil, pendekatan integratif justru menekankan sebaliknya. Meskipun

didasarkan atas pandangan yang sama dengan pendekatan diskret terhadap bahasa, yaitu

pandangan struktural, pendekatan integratif beranggapan bahwa bahasa merupakan

penggabungan dari bagian-bagian dan komponen-komponen bahasa, yang bersama-sama

membentuk bahasa. Bahasa merupakan suatu integrasi dari bagian-bagian terkecil yang

9
Ibid., h. 14

10
membentuk bagian-bagian yang lebih besar, yang secara bertahap dan berjenjang

membentuk bagian-bagian yang lebih besar lagi, untuk pada akhirnya merupakan

bentukan terbesar berupa bahasa seutuhnya.

Tes bahasa pendekatan integratif melakukan pengukuran penguasaan

kemampuan berbahasa atas dasar penguasaan terhadap gabungan antara beberapa bagian

dari komponen bahasa dan kemampuan berbahasa.10 Tes bahasa pendekatan integratif

melakukan pengukuran penguasaan kemampuan berbahasa atas dasar penguasaan

terhadap gabungan antara beberapa bagian dari komponen bahasa dan kemampuan

berbahasa. Berbeda dengan pendekatan diskret yang memungkinkan penggunaan kata-

kata lepas, atau bahkan bunyi-bunyi bahasa lepas sebagai butir tes, pendekatan integratif

mengandalkan penggunaan bahasa dalam konteks yang besarnya beragam. Konteks yang

kecil ditemukan pada penggunaan bahasa dalam kata-kata, kata-kata dalam kalimat, atau

kalimat-kalimat dalam bacaan. Bahasa dalam konteks hanya dapat dipahami melalui

pemahaman terhadap gabungan berbagai bagian dari komponen bahasa dan kemampuan

berbahasa, seperti yang dapat ditemukan dalam penggunaan bahasa senyatanya. Bentuk

tes menggunakan kalimat, melengkapi kalimat atau teks bacaan, merupakan beberapa

bentuk tes dengan pendekatan integratif. Mengerjakan tes semacam itu selalu

mempersyaratkan penggunaan lebih dari satu bagian komponen bahasa atau kemampuan

berbahasa sekaligus secara integratif.

4. Pendekatan Pragmatik

Ibid., h. 15
10

11
Dalam pendekatan ini, bahasa dikaitkan dengan penggunaan senyatanya yang

melibatkan tidak saja unsur-unsur kebahasaan seperti kata-kata, frasa, atau kalimat,

melainkan juga unsur-unsur di luarnya, yang selalu terkait dalam setiap bentuk

penggunaan bahasa. Pemahaman terhadap bahasa tidak semata-mata tergantung pada

pemahaman terhadap unsur-unsur kebahasaan. Secara pragmatik, pemahaman itu

ditentukan pula oleh pemahaman terhadap unsur-unsur di luar unsur kebahasaan.

Kehadiran unsur-unsur nonkebahasaan yang tidak dapat dihindarkan itu menghasilkan

suatu bentuk penggunaan bahasa yang lengkap, yang mampu mengungkapkan pesan

sesuai dengan yang ingin disampaikan oleh pemakai bahasanya. Hal-hal yang tidak

diungkapkan secara eksplisit melalui ungkapan kebahasaan, dilengkapi secara implisit

melalui unsur-unsur nonkebahasaan.11

Sisi lain dari pendekatan pragmatik yang menekankan eratnya kaitan antara

unsur kebahasaan dan nonkebahasaan dalam penggunaan bahasa seutuhnya adalah tidak

dapat dihindarkannya adanya berbagai kendala. Dipercayai bahwa dalam kehidupan

nyata sehari-hari, nyaris tidak terdapat penggunaan bahasa yang utuh dan murni, tanpa

hadirnya unsur-unsur lain di dalamnya sebagai kendala.12 Unsur-unsur itu dapat berupa

unsur kebahasaan, seperti penambahan atau pengurangan kata-kata secara tidak sengaja.

Unsur dapat pula berupa unsur nonkebahasaan, seperti suara-suara lain, peristiwa dan

keadaan sekitar, tingkah laku orang-orang sekitar, dan sebagainya yang terjadi pada saat

yang bersamaan dengan suatu penggunaan bahasa. Semua itu menghasilkan penggunaan

11
Burhan Nurgiyantoro, Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra (Yogyakarta: BPFE,
1987), h. 164
12
M. Soenardi Djiwandono, Tes Bahasa dalam Pengajaran (Bandung: ITB Bandung, 1996), h.
12

12
bahasa yang tidak seutuh dan semurni seperti dimaksudkan oleh pemakainya. Tetapi

itulah penggunaan bahasa senyatanya, yang pragmatik, yang tidak utuh dan tidak murni.

Meskipun demikian, pesan yang terkandung dalam bahasa yang digunakan senyatanya

dengan berbagai macam kendala itu, pada umumnya dapat dipahami, berkat kemampuan

berbahasa pragmatik yang diakui keberadaannya dalam pendekatan pragmatik.

Dalam tes bahasa, pendekatan pragmatik mendasari penggunaan beberapa jenis

tes tertentu, khususnya dikte, tes cloze, dan C-tes. Bentuk-bentuk tes itu selalu

menggunakan wacana yang mengandung konteks, bukan semata-mata kalimat atau kata-

kata lepas. Mengerjakan tes yang menggunakan wacana, mempersyaratkan kemampuan

memahami unsur-unsur kebahasaan maupun nonkebahasaan, sebagai bagian dari

pemahaman terhadap wacana secara keseluruhan. Di dalam wacana yang digunakan itu

terdapat pula berbagai gangguan, berupa bagian-bagian yang hilang, atau menjadi kabur

dan kurang jelas, secara alamiah, seperti dalam dikte; atau bagian-bagian yang secara

sengaja dihilangkan.13 Tes yang dikembangkan atas dasar pendekatan pragmatik,

ditandai dengan adanya tugas untuk memahami wacana, melalui pemahaman unsur-

unsur kebahasaan yang digunakan secara wajar, termasuk adanya berbagai kendala yang

secara wajar terdapat pula di dalamnya.

5. Pendekatan Komunikatif

Pendekatan komunikatif mendasarkan pandangannya terhadap penggunaan

bahasa dalam komunikasi sehari-hari senyatanya. Sebagai suatu pendekatan dengan

orientasi psikolinguistik dan sosiolinguistik,14 pendekatan komunikatif mementingkan

Ibid.
13

Muhammad 'Abd al-Khâliq Muhammad, op. cit., h. 2


14

13
peranan unsur-unsur nonkebahasaan, terutama unsur-unsur yang terkait dengan

terlaksananya komunikasi yang baik. Namun, berbeda dengan pendekatan pragmatik,

yang menekankan peranan konteks dalam penggunaan dan pemahaman bahasa,

pendekatan komunikatif memperluas unsur konteks itu dengan memperhatikan unsur-

unsur yang mengambil bagian dalam terwujudnya komunikasi yang baik. Sebagai

akibatnya, pendekatan komunikatif secara rinci mempersoalkan seluk-beluk komunikasi,

yang merupakan tujuan pokok penggunaan bahasa.

Seluk-beluk komunikasi itu di antaranya meliputi unsur-unsur seperti siapa yang

berkomunikasi, bagaimana hubungan antara mereka yang melakukan komunikasi, apa

maksud dan tujuan dilakukannya komunikasi, dalam keadaan bagaimana komunikasi

terjadi, kapan dan bagaimana komunikasi terjadi, dan sebagainya. Hal yang senada

dipaparkan oleh Canale dan Swain ketika menguraikan cakupan kompetensi yang perlu

dimiliki agar komunikasi dapat berjalan secara efektif. Kompetensi-kompetensi yang

dimaksud adalah kompetensi gramatikal, kompetensi sosiolinguistik, kompetensi

analisis wacana, dan kompetensi strategik.15

Tuntutan akan adanya telaah yang lengkap terhadap seluk-beluk penggunaan

bahasa menurut pendekatan komunikatif, dapat berarti bahwa setiap bentuk penggunaan

bahasa perlu dibuat rincian seluk-beluknya. Untuk satu bentuk penggunaan bahasa, perlu

disusun satu rincian seluk-beluk komunikasi tersendiri, yang berbeda dengan rincian

seluk-beluk bentuk penggunaan bahasa yang lain. Karena teramat banyaknya

kemungkinan bentuk penggunaan bahasa senyatanya, sesuai dengan siapa yang

15
Rusydi Ahmad Thu'aimah, op. cit.,h.120

14
menggunakan bahasa, digunakan terhadap siapa, untuk maksud apa, dan sebagainya,

maka secara teoritis diperlukan teramat banyak jumlah dan jenis rincian seluk-beluk

penggunaan bahasa yang perlu disusun. Secara lebih praktis, jumlah dan jenis rincian itu

tentu saja dapat disederhanakan, dengan memilih bentuk komunikasi yang berlaku

secara umum, dan tidak terbatas pada penggunaan bahasa yang amat khusus.

Dalam tes bahasa, penerapan pendekatan komunikatif berdampak terhadap

beberapa segi penyelenggaraannya, terutama jenis dan isi wacana yang digunakan,

kemampuan berbahasa yang dijadikan sasaran, serta bentuk tugas, soal, atau

pertanyaannya. Semua itu ditentukan atas dasar ciri komunikatifnya, yaitu hubungan dan

kesesuaiannya dengan penggunaan bahasa dalam komunikasi senyatanya. Untuk

memastikan apakah penyelenggaraan tes bahasa sesuai dengan, atau setidak-tidaknya

mendekati, ciri-ciri pendekatan komunikatif, perlu dikaji apakah wacana yang

digunakan, pertanyaan yang diajukan, dan jawaban yang diharapkan, benar-benar sesuai

dengan ciri-ciri penggunaan bahasa yang komunikatif. Apabila ciri-ciri penggunaan

bahasa secara komunikatif itu tidak ditemukan, bahkan tidak didekati sekalipun, maka

tes bahasa itu tidak dapat digolongkan sebagai tes bahasa berdasarkan pendekatan

komunikatif.

Dalam hubungannya dengan bentuk tes bahasa, penggunaan bentuk yang

beragam, yang tidak terpancang pada satu bentuk tertentu, lebih sesuai dengan hakikat

pendekatan komunikatif. Penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari pada

kenyataannya demikian beragam, sehingga secara umum tidak dapat dinyatakan bahwa

satu bentuk tes bahasa tertentu merupakan bentuk tes bahasa komunikatif yang sesuai.

15
Penggunaan bentuk tes bahasa tertentu hanya sesuai dengan bentuk penggunaan bahasa

tertentu pula, yang mungkin tidak sesuai dengan bentuk penggunaan bahasa yang lain.

Oleh karena itu, penggunaan bentuk tes bahasa yang beragam dan tidak terpaku pada

satu bentuk tes saja, lebih sesuai dengan hakikat penggunaan bahasa secara komunikatif.

Penggunaan tes yang beragam itu sekaligus dapat mengurangi kekurangan yang ada,

apabila hanya satu bentuk tes digunakan, dan sekaligus memberikan informasi yang

lebih lengkap tentang tingkat kemampuan berbahasa yang ingin diukur. Tentu saja

bentuk tes bahasa yang digunakan secara beragam itu tetap harus disesuaikan dengan

kriteria penggunaan bahasa yang komunikatif, dengan tetap memperhitungkan unsur-

unsur nonkebahasaan yang wajar.

V. Kriteria – kriteria Tes yang Baik


Suatau tes dapat dianggap baik apabila tes tersebut memenuhi kriteria-kriteria
berikut :
1. Validitas ( ‫) الصدق‬

Kata “valid” sering diartikan dengan tepat, benar, sahih, atau absah. Jadi
kata validitas dapat diartikan dengan ketepatan, kebenaran, kesahihan, atau
keabsahan. Istilah “validitas” merupakan sebuah kata benda, sedangkan “valid”
merupakan kata sifat. Apabila kata valid itu dikaitkan dengan fungsi tes
sebagai alat pengukur, maka sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut
dengan tepat, benar, sahih atau absah dapat mengukur apa yang seharusnya
diukur.
Anderson dalam Suharsimi menyatakan: “A test is valid if it measures
what is purpose to measures” ( sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut
mengukur apa yang hendak diukur). Jadi, tes hasil belajar dapat dinyatakan
valid apabila tes hasil belajar tersebut secara tepat, benar, sahih atau absah

16
telah dapat mengukur atau mengungkap hasil-hasil belajar yang telah dicapai
oleh peserta didik, setelah mereka menempuh proses belajar mengajar dalam
jangka waktu tertentu.
Untuk menetapkan apakah sebuah tes dapat dinyatakan sebagai tes yang
telah memiliki validitas (daya ketepatan mengukur) ataukah belum, dapat
ditinjau dari dua segi, yaitu dari segi tes sendiri sebagai suatu totalitas, dan dari
segi itemnya, sebagai bagian tak terpisahkan dari tes tersebut. Penganalisaan
terhadap tes sebagai suatu totalitas dapat dilakukan dengan dua (2) cara :
1. Penganalisaan yang dilakukan dengan jalan berfikir secara rasional atau
penganalisaan dengan menggunakan logika (logical analysis).
2. Penganalisaan yang dilakukan dengan mendasarkan diri kepada kenyataan
empiris, dimana penganalisaan dilaksanakan dengan menggunakan
empirical analysis.
2. Reliabilitas ( ‫) الثبات‬

Kata “reliabilitas” sering diterjemahkan dengan keajegan atau


kemantapan. Seperti halnya istilah “validitas dan valid”, kekacauana dalam
penggunaan istilah “reliabilitas” sering dikacaukan dengan istilah “reliabel”,
“Reliabilitas” merupakan kata benda, sedangkan “reliabel” merupakan kata
sifat atau kata keadaan. Apabila istilah tersebut dikaitkan dengan fungsi tes
sebagai alat pengukur mengenai keberhasilan belajar peserta didik, maka
sebuah tes hasil belajar dapat dinyatakan reliabel apabila hasil-hasil
pengukuran yang dilakukan dengan menggunakan tes tersebut secara
berulangkali terhadap obyek yang sama, senantiasa menunjukkan hasil yang
tetap sama atau sifatnya ajeg dan stabil. Dengan demikian suatu tes dikatakan
telah memiliki realibilitas apabila skor-skor atau nilai-nilai yang diperoleh data
peserta ujian untuk pekerjaan ujiannya, adalah stabil, kapan saja – dimana saja
– dan oleh siapa saja ujian itu dilaksanakan, diperiksa, dan dinilai.
3. Praktibilitas ( ‫)سهولة التطبيق‬

17
Sebuah tes dikatakan memiliki praktibilitas yang tinggi apabila tes
tersebut bersifat praktis, mudah pengadministrasiannya. Tes yang praktis itu
adalah tes yang :
1. Mudah dilaksanakan, misalnya tidak menuntut peralatan yang banyak dan
memberi kebebasan kepada mahasiswa untuk mengerjakan terlebih dahulu
bagian yang dianggap mudah oleh mahasiswa.
2. Mudah pemeriksaannya, artinya bahwa tes itu dilengkapi dengan kunci
jawaban maupun pedoman skoringnya. Untuk soal bentuk obyektif
pemeriksaan akan lebih mudah dilakukan jika dikerjakan oleh mahasiswa
dalam lembar jawaban.
3. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas.
4. Bersifat ekonomis, mengandung pengertian bahwa tes hasil belajar tersebut
tidak memakan waktu yang panjang dan tidak memerlukan tenaga serta
biaya yang banyak
4. Obyektivitas ( ‫) الموضوعية‬

Tes hasil belajar dapat dikatakan sebagai tes hasil belajar yang obyektif,
apabila tes tersebut disusun dan dilaksanakan “menurut apa adanya” ditinjau
dari segi atau materi tesnya, maka istilah “menurut apa adanya” itu
mengandung pengertian bahwa materi tersebut bersumber dari materi atau
bahan pelajaran yang telah diberikan sesuai dengan tujuan intruksional
khusus(TIK) yang telah ditentukan. Ditinjau dari segi pemberian skor dan
penentuan nilai hasil tesnya, maka dengan istilah ”apa adanya” itu mengan-
dung pengertian bahwa pekerjaan koreksi, pemberian skor dan penentuan
nilainya terhindar dari unsur-unsur subyektivitas yang melekat pada diri
penyusun tes.
Ada dua faktor yang mempengaruhi subyektivitas dari suatu tes, yaitu :
1. Bentuk tes
Tes yang berbentuk uraian, akan memberikan banyak kemungkinan kepada
si penilai untuk memberikan penilaian menurut caranya sendiri. Dengan

18
demikian maka hasil dari seorang mahasiswa yang mengerjakan soal-soal
dari sebuah tes, akan dapat berbeda apabila dinilai oleh dua orang penilai.
2. Penilaian
Subyektivitas dari penilaian akan dapat masuk secara agak leluasa terutama
dalam tes bentuk uraian. Faktor-faktor yang mempengaruhi subyektivitas
antara lain: kesan penilai terhadap mahasiswa, tulisan, bahasa, waktu
mengadakan penilaian kelelahan, dan sebagainya.
Kualitas obyektivitas suatu tes dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu :
1) Obyektivitas tinggi ialah jika hasil-hasil tes itu menunjukkan tingkat
kesamaan yang tinggi, contoh; tes yang sudah distandarisasi, hasil
penskorannya sangat obyektif.
2) Obyektivitas sedang ialah seperti tes yang sudah distandarisasi, tetapi
pandangan subyektif skor masih mungkin muncul dalam penilaian oleh
interpreternya.
3) Obyektivitas fleksibel ialah seperti beberapa jenis tes yang digunakan oleh
LBP (Lembaga Bimbingan dan Penyuluhan) untuk keperluan counseling,
misalnya tes yang bersifat open-end item (open-end questionaires).
5. Tingkat kesukaran dan daya beda suatu tes ( ‫) التمييز‬

Suatu tes tidak boleh terlalu mudah, sehingga dapat dijawab dengan
benar oleh semua mahasiswa, dan juga tidak boleh terlalu sukar, sehingga tidak
dapat dijawab oleh semua mahasiswa. Jadi tes yang baik adalah yang
mempunyai derajat kesukaran tertentu.
Disamping itu karena suatu tes dimaksudkan untuk memisahkan antara
murid-murid yang betul-betul mempelajari suatu pelajaran dengan murid-murid
yang tidak mempelajari pelajaran itu, maka tes yang baik adalah tes yang betul-
betul dapat memisahkan kedua golongan murid tadi. Jadi setiap tes, harus
mampu membedakan antara mahasiswa yang pandai dengan mahasiswa yang
kurang pandai (bodoh).

19
Untuk mencari Derajat Kesukaran (DK) dan Daya Beda (DB) suatu item
dapat dilakukan dengan jalan mengadakan analisis item-item. Dalam analisis
item, disamping mencari DK dan DB-nya, juga dapat dicari efektivitas setiap
option yang digunakan dalam item tersebut.

VI. Langkah-langkah Penyusunan Tes


Ada beberapa langkah yang perlu dilakukan secara berurutan dalam
rangka penyusunan tes obyektif, yaitu sebagai berikut :
1. Penentuan tujuan; apakah untuk seleksi, untuk mengukur keberhasilan PBM,
atau mengatasi kelemahan/kekurangan PBM atau sekedar untuk mengetahui
kemampuan umum?
2. Menyusun kisi-kisi. Kisi-kisi yang baik harus memenuhi beberapa
persyaratan:
o Kisi-kisi mewakili isi kurikulum suatu lembaga yang bersangkutan atau
mengambil kebijaksanaan yang berkepentingan.
o Komponen-komponennya diuraikan dengan jelas dan mudah dipahami.
o Memberikan indikator yang jelas, sehingga dapat disusun soal-soalnya
3. Penulisan soal dengan memperhatikan beberapa kriteria yang akan dikemuka
kan.
4. Penelaahan soal yang telah disusun pada langkah ke 3.

VII. Jenis Tes Bahasa Menurut Bentuknya


Jenis tes bahasa menurut bentuknya terbagi dua, yaitu tes subyektif dan tes
obyektif. Pengertian subyektif dan obyektif dalam tes bahasa sebenarnya praktis
hanya dalam hal pemeriksaan dan pemberian skor. Sedangkan dalam hal
pembuatan tes oleh dosen dan pengerjaan oleh mahasiswa, keduanya tetap bersifat
subyektif, kedua jenis tes tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan.
1. Tes subyektif.

20
Pada umumnya berbentuk essay (uraian). Tes bentuk essay adalah sejenis tes
kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau
uraian kata-kata. Ciri-ciri pertanyaan didahului dengan kata-kata seperti:
uraikan, jelaskan, mengapa, bagaimana, bandingkan, simpulkan, dan
sebagainya.
Soal-soal bentuk essay biasanya jumlahnya tidak banyak, hanya sekitar 5-10
buah soal untuk waktu kira-kira 90 s/d 120 menit. Soal-soal bentuk essay ini
menuntut kemampuan mahasiswa untuk dapat mengorganisir,
menginterpretasi, menghubungkan pengertian-pengertian yang telah dimiliki.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa tes essay menuntut mahasiswa untuk
dapat mengingat-ingat dan mengenal kembali, dan terutama harus mempunyai
daya kreativitas yang tinggi.

!) Kebaikan-kebaikannya :
a) Mudah disiapkan dan disusun.
b) Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi atau
untung-untungan.
c) Mendorong mahasiswa untuk berani mengemukakan pendapat
serta menyusun dalam bentuk kalimat yang bagus.
d) Memberi kesempatan kapada mahasiswa untuk mengutarakan
meksudnya dengan gaya bahasa dan caranya sendiri.
e) Dapat diketahui sejauh mana mahasiswa mendalami sesuatu
masalah yang diteskan.
2) Keburukan-keburukannya :
a) Kadar validitas dan realibilitas rendah karena sukar diketahui segi-segi
mana dari pengetahuan mahasiswa yang betul-betul telah dikuasai.
b) Kurang refresentatif dalam hal mewakili seluruh scope bahan pelajaran
yang akan dites karena soal-soalnya hanya beberapa saja (terbatas).
c) Cara memeriksanya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur subyektif.

21
d) Pemeriksaannya lebih sulit sebab membutuhkan pertimbangan
individual lebih banyak dari penilai.
e) Waktu untuk koreksinya lama dan tidak dapat diwakilkan kepada orang
lain
3) Petunjuk Penyusunan
a) Hendaknya soal-soal tes dapat meliputi ide-ide pokok dari bahan yang
diteskan , dan kalau mungkin disusun soal yang sifatnya komprehensif.
b) Hendaknya soal tidak mengambil kalimat-kalimat yang disalin
langsung dari buku atau catatan.
c) Pada waktu menyusun, soal-soal itu sudah dilengkapi dengan kunci
jawaban serta pedoman penilaian.
d) Hendaknya diusahakan agar pertanyaannya bervariasi antara
“Jelaskan”, “Bagaimana”, “Seberapa Jauh”, agar dapat diketahui lebih
jauh penguasaan mahasiswa terhadap bahan.
e) Handaknya rumusan soal dibuat sedemikian rupa sehingga mudah
dipahami oleh tercoba.
f) Hendaknya ditegaskan model jawaban apa yang dikehendaki oleh
penyusun tes. Untuk ini pertanyaan tidak boleh terlalu umum, tetapi
haru spesifik.

2. Tes Obyektif
Tes obyekrtif adalah tes yang dalam pemeriksaannya dapat dilakukan secara
obyektif. Hal ini memang dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-
kelemahan dari tes bentuk essay.
Dalam penggunaan tes obyektif ini jumlah soal yang diajukan lebih banyak
daripada tes essay. Kadang-kadang untuk tes yang berlangsung selama 60
menit dapat diberikan 30-40 buah soal atau lebih.
1) Kebaikan-kebaikannya :
a) Mengandung lebih banyak segi-segi yang positif, misalnya lebih
representatif mewakili isi dan luas bahan, lebih obyektif, dapat

22
dihindari campur tangannya unsur-umsur subyektif baik dari segi
mahasiswa maupun segi dosen yang memeriksa.
b) Lebih mudah dan cepat cara memeriksanya karena dapat menggunakan
kunci tes bahkan dengan alat-alat hasil kemajuan teknologi.
c) Pemeriksaannya dapat diserahkan orang lain.
d) Dalam pemeriksaan, tidak ada unsur subyektif yang mempengaruhi.
2) Kelemahan-kelemahannya :
a) Persiapan untuk menyusunnya jauh lebih sulit dari pada tes essay
karena soalnya banyak dan harus teliti untuk menghindari kelemahan-
kelemahan yang lain.
b) Soal-soalnya cenderung untuk mengungkapkan ingatan dan daya
pengenalan kembali saja, dan sukar untuk mengukur proses yang tinggi.
c) Banyak kesempatan untuk main untung-untungan.
d) “kerjasama” antar mahasiswa pada waktu mengerjakan soal tes lebih
terbuka.

3) Cara mengatasi kelemahan


a) Kesulitan menyusun tes obyektif dapat diatasi dengan jalan banyak
berlatih terus-menerus hingga betul-betul mahir.
b) Menggunakan tabel spesifikasi yang mengatasi kelemahan nomor satu
dan dua.
c) Menggunakan norma (standar), penilaian yang menghilangkan faktor
tebakan (guessing) yang bersifat spekulatif itu.

Macam-macam Tes Obyektif


a. Tes Benar-Salah (true-false/‫)ص واب أو خطأ‬. Soal-soalnya berupa pernyataan-
pernyataan (statement). Statement tersebut ada yang benar dan ada yang salah.
Orang yang ditanya bertugas untuk menandai masing-masing pernyataan itu
dengan melingkari huruf B jika pernyataan itu betul menurut pendapatnya dan
melingkari S jika pernyataannya salah.

23
Contoh :

‫ الكراسة خالد جديدة‬: ‫ ص – خ‬-1


‫ مكتبة املدرسة قريبة‬: ‫ ص – خ‬-2
!) Kebaikan tes Benar-Salah :
a) Dapat mencakup bahan yang luas dan tidak banyak memakan
tempat karena biasanya pernyataan-pernyataannya singkat saja.
b) Mudah menyusunnya.
c) Dapat dipergunakan berkali-kali
d) Dapat dilihat secara cepat dan obyektif.
e) Petunjuk cara mengerjakannya mudah dimengerti.
2) Keburukannya :
a) Sering membingungkan.
b) Mudah ditebak / diduga.
c) Banyak masalah yang tidak dapat dinyatakan hanya dengan dua
kemungkinan benar atau salah.
d) Hanya dapat mengungkap daya ingatan dan pengenalan.
3) Petunjuk Penyusunan :
a) Tulislah huruf B-S pada permulaan masing-masing item dengan
maksud untuk mempermudah mengerjakan dan menilai
(scorring).
b) Usahakan agar jumlah butir soal yang harus dijawab B sama
dengan butir soal yang harus dijawab S. Dalam hal ini hendaknya
pola jawaban tidak bersifat teratur misalnya : BS-BS-BS atau SS-
BB-SS-BB-SS.
c) Hindari item yang masih bisa diperdebatkan.
Contoh :

‫ البيت مجعه بيوت‬: ‫ خ‬- ‫ ص‬-6


d) Hindarilah pertanyaan-pertanyaan yang persis dengan buku.

24
e) Hindarilah kata-kata yang menunjukkan kecenderungan memberi
saran seperti yang dikehendaki oleh item yang bersangkutan,
misalnya: semuanya, tidak selalu, tidak pernah, dan sebagainya.
4) Cara mengolah skor
Rumus untuk mencari skor akhir bentuk Benar-Salah, ada 2 macam, yaitu :
a) Dengan denda.
S = R-W
Dengan pengertian :
S = skor yang diperoleh
R = right (jawaban yang benar)
W = wrong (jawaban yang salah)

Contoh :
A menjawab betul 16 buah dan salah 4 buah.Maka skor untuk A adalah:
16 - 4 = 12
Dengan menggunakan rumus seperti ini maka ada kemungkinan
seorang mahasiswa memperoleh skor negatif.
b) Tanpa denda
Rumus S=R
Yang dihitung hanya yang betul.
(Untuk soal yang tidak dikerjakan dinilai 0).

b. Tes Pilihan Ganda ( ‫االختيار من متعدد‬/Mutiple Choice Test)

Multiple Choice Test terdiri atas suatu keterangan atau pemberitahuan tentang
suatu pengertian yang belum lengkap. Dan untuk melengkapinya harus
memilih satu dari beberapa kemungkinan jawaban yang telah disediakan. Atau
multiple choice test terdiri atas bagian keterangan (stem) dan bagian
kemungkinan jawaban atau alternatif (options). Kemungkinan jawaban

25
(options) terdiri atas satu jawaban yang benar yaitu kunci jawaban dan
beberapa pengecoh (distractor).
1) Penggunaan tes pilihan ganda
Tes bentuk pilihan ganda (PG) ini merupakan bentuk tes obyektif yang
paling banyak digunakan karena banyak sekali materi yang dapat dicakup.
Bentuk-bentuk soal yang digunakan dalam soal pilihan ganda ada beberapa
variasi:
a) Pilihan ganda biasa.
Contoh soal bentuk PG biasa :
Pilihlah satu jawaban yang tepat antara A, B, C, atau D.

. . . . ‫ هذا كتاب‬-
‫أ – الكتاب الجميل‬
‫ب – الكتاب جميل‬
‫ج – كتاب الجميل‬
‫د – كتاب جميل‬

b) Hubungan antar hal (pernyataan - SEBAB - pernyataan).


Contoh soal PG hubungan antar hal :
Petunjuk pilihan, “Pilihlah” !
A. Jika pernyataan benar, alasan benar, dan keduanya merupakan
hubungan sebab akibat.
B. Jika pernyataan salah, alasan benar, dan keduanya bukan
merupakan hubungan sebab akibat.
C. Jika pernyataan benar, alasan salah, atau jika pernyataan salah,
alasan benar.
D. Jika pernyataan dan alasan keduanya salah.
Contoh:

10. Tulisan Tsanawiyah yang benar adalah ‫ثناوية‬

26
ٍ
sebab berasal dari kata ‫ثان‬

c) Asosiasi.
Contoh soal bentuk asosiasi.
Petunjuk pilihan.
(A) Jika (1), (2), dan (3) betul
(B) Jika (1), dan (3) betul
(C) Jika (2), dan (4) betul
(D) Jika hanya (4) yang betul
(E) Jika semuanya betul

Soal :

‫ فوق المنضدة مصباح‬-7


‫ فوق مبتدأ‬-1
‫ فوق المنضدة خبر مقدم‬-2
‫ مصباح خبر مبتدأ‬-3
‫ مصباح مبتدأ مؤخر‬-4
2) Petunjuk penyusunan
Pada dasarnya, soal bentuk pilihan ganda ini adalah soal bentuk
benar-salah juga, tetapi dalam bentuk jamak. Tercoba (testee) diminta
membenarkan atau menyalahkan setiap item dengan memilih satu pilihan
jawaban yang dianggap benar. Kemungkinan jawaban itu biasanya
sebanyak tiga atau empat buah, tetapi ada kalanya dapat juga lebih
banyak (untuk tes yang akan diolah dengan komputer banyaknya option
diusahakan 4 buah).

3) Cara mengolah skor :


Untuk mengolah skor dalam tes bentuk pilihan ganda ini digunakan 2
macam rumus pula.
a) Dengan denda, dengan rumus :

27
W
S = R - ------
0–1
S = skor yang diperoleh (raw score)
R = jawaban yang betul
W = jawaban yang salah
0 = banyaknya option
1 = bilangan tetap
Contoh : murid menjawab betul 17 soal dari 20 soal. Soal bentuk multiple
choice ini dengan menggunakan option sebanyak 4 buah.
3
Skor = 17 - -------- = 16
4–1
b) Tanpa denda, dengan rumus :
S=R
VIII. Tehnik Penyusunan Tes Pilihan Ganda
Secara khusus bagian ini akan menguraikan bagaimana membuat tes bentuk
pilihan ganda yang baik untuk tes bahasa Arab, karena bentuk ini banyak
digunakan dalam proses belajar mengajar atau dalam dunia pendidikan.
Berikut beberapa kriteria yang perlu diperhatikan dalam menyusun soal, yaitu dari
segi; materi soal, konstruksi soal, dan dari segi bahasa yang digunakan.
1. Materi Soal
Dalam menyusun tes obyektif, khususnya pilihan ganda, perlu diperhatikan
kriteria yang menyangkut materi soal, sebagai berikut :
1) Soal harus sesuai dengan indikator TPK yang terdapat pada kisi-kisi.
Contoh indikator: Peserta dapat membedakan penggunaan beberapa adat
istifham.
Contoh soal yang tidak sesuai:
. . . . ‫ كيف يذهب أصدقاؤنا يا أمحد ؟ هم يذهبون‬-
‫ إىل املدرسة‬-‫د‬ ‫ مع األستاذ علي‬-‫ج‬ ‫ مشيا على األقدام‬-‫ صباح اخلري ب‬-‫أ‬

28
Soal yang sesuai dengan TPK
‫ يذهب الطالب إىل املدرسة ؟ يذهب الطالب مشيا على األقدام‬. . . -

‫ هل‬-‫د‬ ‫ أين‬-‫ج‬ ‫ كيف‬-‫ب‬ ‫أ – مىت‬

Dalam hal ini perlu diingat, bahwa setiap TPK hanya memuat satu
perilaku yang dapat diukur (kata kerja operasional). Jadi soal berikut
adalah tidak baik:
‫ يا أمحد ؟‬، ‫ كيف يذهب أصدقاؤنا‬-

‫ هم يذهب مشيا على األقدام‬-‫ب‬ ‫ هم يذهبون صباح اليوم‬-‫أ‬

‫ هم يذهبون بالسيارة العامة‬-‫د‬ ‫ أمحد يذهب مع األستاذ‬-‫ج‬

Yang diujikan di sini lebih dari satu perilaku, yaitu tentang penguasaan
mufradat, dan tentang penguasaan qawa’id (persesuaian fi’il mudhari
dengan dhamir pelakunya).
2) Pengecoh harus homogen, logis dan berfungsi.
Contoh yang kurang baik:
. . . . ‫ تذهب الطالبة كل صباح إىل‬-

‫ املسطرة‬-‫د‬ ‫ املدرسة‬-‫ج‬ ‫ املكتبة‬-‫ب‬ ‫ احلديقة‬-‫أ‬

Pilihan jawaban tidak homogen, karena ‫(المس طرة‬penggaris) bukan


merupakan tempat tujuan. Contoh soal yang baik:

. . . . ‫ تذهب الطالبة كل صباح إىل‬-

‫ املسجد‬-‫د‬ ‫ املدرسة‬-‫ج‬ ‫ املكتبة‬-‫ب‬ ‫ احلديقة‬-‫أ‬

3) Setiap soal hanya mempunyai satu jawaban yang benar atau yang paling
tepat.
Contoh yang kurang baik:

29
. . . . ‫ فقال‬، ‫ سألت أخي عن مرضه‬-

‫ ال بأس عليك‬-‫د‬ ‫ عندي زكام‬-‫ج‬ ‫ واحلمد هلل‬، ‫ أحتسن‬-‫ احلمد هلل خبري ب‬-‫أ‬

Pilihan ‫ ب‬dan ‫ ج‬keduanya benar.


Contoh soal yang baik:
. . . . ‫ فقال‬، ‫ سألت أخي عن مرضه‬-

‫ ال بأس عليك‬-‫د‬ ‫ شفاك اهلل‬-‫ج‬ ‫ واحلمد هلل‬، ‫ أحتسن‬-‫ احلمد هلل خبري ب‬-‫أ‬

4) Hindari menanyakan persoalan di luar kebahasaan, seperti:


. . . . ‫اخلليفة الثاين من اخللفاء الراشدين‬

‫ علي بن أيب طالب‬-‫د‬ ‫ عثمان بن عفان‬-‫ج‬ ‫ عمر بن اخلطاب‬-‫ب‬ ‫ أبو بكر‬-‫أ‬

‫ ما عملة دولة الكويت ؟‬-

‫ دينار‬-‫د‬ ‫ درهم‬-‫ج‬ ‫ جنيه‬-‫ب‬ ‫ لاير‬-‫أ‬

Peserta yang belum mengetahui hal tersebut (sejarah Islam dan nama
mata uang) akan sulit menentukan pilihan, walaupun memiliki pengetahuan
kebahasaan yang relatif tinggi. Yang sudah mengetahui ini, tanpa memahami
stem dengan baikpun akan mudah menebak jawaban pilihan.

2. Konstruksi soal
Kriteria/kaidah dari segi konstruksi adalah seperti berikut:
1) Stem (rumusan pokok soal) harus jelas dan tegas, tidak menimbulkan
pengertian ganda dan hanya mengandung satu persoalan untuk setiap
butir.
Contoh soal yang kurang baik:
. . . . ‫ يذهب أمحد كل يوم إىل‬-

‫ السوق‬-‫د‬ ‫ املكتبة‬-‫ج‬ ‫ املزرعة‬-‫ب‬ ‫ املدرسة‬-‫أ‬

Stem tidak jelas karena tidak ditentukan siapa Ahmad itu?

30
Contoh soal yang baik:
. . . . ‫ يذهب الفالح إىل‬-

‫ السوق‬-‫د‬ ‫ املكتبة‬-‫ج‬ ‫ املزرعة‬-‫ب‬ ‫ املدرسة‬-‫أ‬

2) Stem dan option harus merupakan pernyataan yang diperlukan saja


(singkat).
Contoh soal yang kurang baik:
. . . . ‫خرجت أمي وأخيت عائشة من البيت إىل البقالة راكبتني السيارة‬

‫ لبيع املالبس اجلاهزة‬-‫ب‬ ‫ لشراء بعض احلوائج مثل الرز والسكر‬-‫أ‬

‫ للبحث عن األدوات الكتابية‬-‫د‬ ‫ لصرف الروبية إىل الريال‬-‫ج‬

Stem dan option di atas menggunakan keterangan yang tidak diperlukan,


justeru tanpa keterangan tambahan itu, soal akan menjadi singkat dan
jelas sehingga mudah difahami peserta.
Contoh soal yang baik:
. . . . ‫ذهبت أمي إىل البقالة‬

‫ لبيع املالبس اجلاهزة‬-‫ب‬ ‫ لشراء بعض احلوائج مثل الرز والسكر‬-‫أ‬

‫ للبحث عن األدوات الكتابية‬-‫د‬ ‫ لصرف الروبية إىل الريال‬-‫ج‬

3) Hindarkan pada stem penggunaan kata atau ungkapan yang persis sama
dengan yang terdapat pada option. Contoh tes kurang baik:
. . . . ‫التالميذ الناجحون ىف االمتحان األخري هم‬

‫ ىف دراستهم‬t‫ التالميذ اجملتهدون‬-‫ب‬ ‫ الذين يهملون دروسهم‬-‫أ‬

‫ الذين حيبون التالميذ الْمجتهدين‬-‫د‬ ‫ اجملدون ىف القيام بالواجبات املنزليية‬-‫ج‬

Penggunaan kata‫التالميذ‬ dalam stem akan mendorong/memberi

arahan kepada mahasiswa untuk hanya memilih antara jawaban‫ ب‬dan‫د‬

31
walaupun tidak memahami maknanya. Untuk mengatasi hal ini, dapat
dihilangkan kata ‫ التالميذ‬pada stem, hingga menjadi:

. . . . ‫الناجحون ىف االمتحان األخري هم‬

‫ ىف دراستهم‬t‫ التالميذ اجملتهدون‬-‫ب‬ ‫ الذين يهملون دروسهم‬-‫أ‬

‫ الذين حيبون التالميذ الْمجتهدين‬-‫د‬ ‫ اجملدون ىف القيام بالواجبات املنزليية‬-‫ج‬

4) Hindari penggunaan option yang berbunyi: ‫مجيع اإلجابات السابقة صحيحة‬

atau semisalnya.
Contoh yang tidak baik:
. . . . ‫أعضاء اجلسم اليت جيب غسلها عند الوضوء‬

‫ مجيع اإلجابات صحيحة‬-‫د‬ ‫ الرجالن‬-‫ج‬ ‫ بعض الرأس‬-‫ب‬ ‫ املرفق‬-‫أ‬

Jawaban ‫د‬ jelas bukan salah satu anggota badan. Jadi tidak
homogen dengan option lainnya. Karena itu, tidak sesuai dengan kriteria
pembuatan soal pilihan ganda. Ini dapat diatasi dengan menggantinya
dengan kata yang homogen, menjadi:
. . . . ‫أعضاء اجلسم اليت جيب غسلها عند الوضوء‬

‫ باطن األذنني‬-‫د‬ ‫ الرجالن‬-‫ج‬ ‫ بعض الرأس‬-‫ب‬ ‫ املرفق‬-‫أ‬

5) Option yang berupa angka perlu disusun berdasarkan urutan, mulai dari
yang besar ke yang kecil atau sebaliknya.
Contoh yang tidak baik:
. ‫ صباحا‬. . . ‫ فأذهب إليها ىف الساعة‬، ‫بييت فريب من املدرسة‬

‫ السابعة وعشر دقائق‬-‫د‬ ‫التاسعة والربع‬-‫ج‬ ‫ السادسة متاما‬-‫ب‬ ‫ اخلامسة والنصف‬-‫أ‬

Penempatan yang tidak berurutan dapat menggangu pemusatan


perhatian peserta. Sedang penempatan yang berurutan akan banyak

32
membantu mereka dalam menentukan pilihannya, karena mudah
mencarinya dan menghemat waktu. Contoh yang baik adalah:
. ‫ صباحا‬. . . ‫ فأذهب إليها ىف الساعة‬، ‫بييت فريب من املدرسة‬

‫ التاسعة والربع‬-‫ السابعة وعشر دقائق د‬-‫ج‬ ‫ السادسة متاما‬-‫ب‬ ‫ اخلامسة والنصف‬-‫أ‬

6) Hindari penggunaan kata atau ungkapan yang tidak pasti, seperti:


‫ أظن‬- ‫ عادة – تقريبا – األحسن‬- ‫ غالبا‬- ‫أكثرها – كثريا‬

Contoh yang tidak baik:


. . . . ‫أظن أن أكثر املسلمني ىف جاكرتا‬

‫ يتبعون شهواهِت م‬-‫د‬ ‫ اهلل‬t‫ يعصون‬-‫ج‬ ‫ جيتنبون اخلري‬-‫ب‬ ‫ يعملون الصاحلات‬-‫أ‬

Kata ‫ أظن‬dan kata ‫ أكثر‬tidak mempunyai ukuran yang pasti. Siapa

yang menduga, di mana dan kebanyakan apa, dst? Ini merugikan peserta
didik, karena akan menimbulkan pengertian yang berbeda-beda,
tergantung pada latar belakang, lingkungan dan pengalaman masing-
masing. Contoh soal yang baik:
. . . . ‫جيب على املسلمني أن‬

‫ يتبعوا شهواهِت م‬-‫د‬ ‫ يعصوا اهلل‬-‫ج‬ ‫ جيتنبوا اخلري‬-‫ب‬ ‫ يعملوا الصاحلات‬-‫أ‬

Kecuali jika soal memang bertujuan untuk menguji penggunaan kata-kata


seperti tersebut di atas, dengan syarat tidak akan membingungkan.
Umpamanya:
. . . . ‫ فيعملون السيئات‬، ‫ الصاحلون‬t‫قد خيطىء املؤمنون‬

‫ أحيانا‬-‫د‬ ‫ كثريا‬-‫ج‬ ‫ عادة‬-‫ب‬ ‫ غالبا‬-‫أ‬

7) Susunlah option dengan panjang ungkapan yang relatif sama.


Contoh yang tidak baik:
. ‫ إذا دخل الفصل‬. . . ‫من نظام املدرسة أن‬

33
t‫ يسلم الطالب على املدرس‬-‫أ‬

‫ جيلس الطالب على مقعد يقع ىف اجلزء األمامي من الفصل‬-‫ب‬

t‫ يسأل الطالب صديقه عن بعض الدروس‬-‫ج‬

. ‫ يهمل الطالب دروسه‬-‫د‬

Contoh yang baik:


. ‫ إذا دخل الفصل‬. . . ‫من نظام املدرسة أن‬

t‫ يسلم الطالب على املدرس‬-‫أ‬

‫ جيلس الطالب على الكرسي‬-‫ب‬

‫ يتكلم الطالب مع صديقه‬-‫ج‬

. ‫ يهمل الطالب دروسه‬-‫د‬

8) Hindari butir soal yang bergantung pada jawaban soal


sebelumnya/lainnya.
9) Gambar, tabel dan media sejenisnya yang menyertai soal harus jelas dan
berfungsi. Contoh yang tidak baik:
(Gambar seorang murid sedang berdiri). Soal:

. . . . ‫ماذا يعمل الطالب ؟‬

‫ يفكر ىف شيء‬-‫ب‬ ‫ يريد الذهاب إىل املدرسة‬-‫أ‬

‫ يذاكر دروسه‬-‫د‬ ‫ حيفظ اآليات القرآنية‬-‫ج‬

Contoh gambar yang baik, umpanya:


(Seorang murid sedang duduk di ruang belajar sambil memegang/
memperhatikan buku pelajaran yang terbuka)
10) Hindari ungkapan yang sama dalam option. Contoh yang kurang baik:

34
. . . . ‫ملاذا جتلسني إىل املائدة ؟‬

‫ أجلس إىل املائدة ألقرأ القرآن‬-‫ب‬ ‫ أجلس إىل املائدة ملذاكرة الدروس‬-‫أ‬

‫ أجلس إىل املائدة لتناول الفطر‬-‫د‬ ‫ أجلس إىل املائدة ملساعدة أمي‬-‫ج‬

Pengulangan yang sama seperti ini akan membutuhkan waktu


yang lama, mengurangi konsentrasi mahasiswa dan mubadzir.
Contoh yang baik:
. . . . ‫ملاذا جتلسني إىل املائدة ؟ أجلس إليها لـ‬

‫ تناول الفطر‬-‫د‬ ‫ مساعدة أمي‬- ‫ج‬ ‫ أقرأ القرآن‬-‫ب‬ ‫ مذاكرة الدروس‬-‫أ‬

11) Penyebaran kunci jawaban dalam satu paket tes harus acak dan
seimbang,
Termasuk dalam jumlah pilihan yang benar. Jadi bila jumlah soal 60
butir, maka yang benar pada ( ‫ = ) أ‬15 butir. Demikian pula pada ( ‫) ب‬

– ( ‫ ) ج‬dan ( ‫ ) د‬masing-masing = 15 butir, lalu diacak urutannya.

3. Bahasa Soal
Yang perlu diperhatikan dalam penyusunan tes dari segi bahasa:
1. Dalam tes untuk mengukur pemahaman mufradat dan susunan kalimat,
(seperti pada contoh-contoh soal di atas), maka pada stem dan option
harus digunakan bahasa yang benar, baik dari segi imlaknya, maupun
qawa’idnya (nahwu/sharf). Sedangkan dalam tes untuk mengukur
penguasaan qawa’id, maka tiga option memang sengaja “dibuat salah”
( dari segi siyaq kalam, bukan dari segi option itu sendiri). Contoh:
a. Soal tentang penggunaan dhamir:
‫ طالبة ماهرة‬. . . ، ‫ هذه صديقيت عائشة‬، ‫يا أمحد‬

‫ هي‬-‫د‬ ‫ هو‬-‫ج‬ ‫ أنت‬-‫ب‬ ‫ أنا‬-‫أ‬

b. Soal penggunaan bentuk fi’il mudhari sesuai dengan dhamir pelakunya:

35
‫ إىل املدينة املنورة‬. . . ‫النساء‬

‫ تسافرون‬-‫د‬ ‫ تسافرن‬-‫ج‬ ‫ يسافرن‬-‫ب‬ ‫ يسافرون‬-‫أ‬

c. Soal susunan na’at dari jumlah:


. . . . ‫ىف الفصل طالبة‬

‫ قارئ القرآن‬-‫د‬ ‫ يقرأ القرآن‬-‫ج‬ ‫ تقرأ القرآن‬-‫ب‬ ‫ اليت تقرأ القرآن‬-‫أ‬

Perhatikan soal tentang qawa’id yang kurang baik:


. ‫ إليها‬. . . ، ‫هل سافرمت إىل مكة ؟ ال‬

‫ مل تسافرون‬-‫د‬ ‫ مل نسافر‬-‫ج‬ ‫ ما سافرمت‬-‫ب‬ ‫ سافرنا‬-‫أ‬

Tanpa melihat konteks pun, peserta tidak akan menebak option ‫ د‬,
karena dari segi qawa’id adalah salah sejak awal. Soal yang baik:
. ‫ إليها‬. . . ، ‫هل سافرمت إىل مكة ؟ ال‬

‫ مَل تسافروا‬-‫د‬ ‫ مل نسافر‬-‫ج‬ ‫ ما سافرمت‬-‫ب‬ ‫ سافرنا‬-‫أ‬

Untuk tes qawa’id, gunakanlah bahasa yang mudah difahami oleh


peserta, sehingga perhatiannya hanya terfokus kepada persoalan qawa’id
yang dipertanyakan saja.
2. Dalam tes untuk mengetahui hasil belajar (achievement test), gunakanlah
bahasa yang sesuai dengan tingkat penguasaan peserta itu sendiri,
dengan cara tidak menggunakan qawa’id, kata dan kalimat yang belum
pernah diajarkan sebelumnya. Sedangkan dalam tes untuk tujuan-tujuan
yang lain seperti untuk keperluan seleksi/penempatan (placement test)
dan untuk mengetahui kemampuan umum (proficiency test) maka
tingkat kemampuan bahasa itu ditentukan, sesuai dengan tuntutan/
kebutuhan pembuat kebijaksanaan atau pembuat soal.
3. Sebaiknya untuk peserta pemula digunakan tanda baca (titik, koma dan
Sebagainya) untuk memudahkan mereka dalam memahami soal.

36
IX. Penelaahan soal
Selesai menyusun soal, kegiatan terakhir adalah menelaah seluruh soal yang
telah disusun. Untuk ini dapat digunakan Kartu Tela’ah, sebagai dasar untuk
menganalisa setiap butir soal, seperti berikut ini:
BIDANG KRITERIA YA TIDAK
PENELAAHAN PENELAAHAN
A. MATERI 1. Soal sudah sesuai dengan
indikator
2. Pengecoh sudah homogin,
logis, dan berfungsi.
3. Hanya ada satu jawaban yang
benar/paling tepat.
4. Bebas dari persoalan di luar
kebahasaan.

B. KONSTRUKSI
1. Stem sudah dirumuskan
dengan jelas dan tegas.
2. Soal sudah menggunakan
bahasa yang singkat/
seperlunya.
3. Bebas dari penggunaan
kata/ungkapan yang sama
persis antara yang terdapat
dalm stem dan dalam option.
4. Bebas dari penggunaan
kata/ungkapan:
‫مجيع اإلجابات السابقة صحيحة‬

37
atau semisalnya
Dst.

C. BAHASA 1. Sudah menggunakan bahasa


yang benar.
2. Sudah menggunakan jumlah
mufidah.
3. dst.

Catatan :
Dalam pengisian “kartu tela’ah dapat dilakukan langkah-langkah seperti
berikut:
1. Membaca butir soal dengan seksama.
2. Mencocokkan soal dengan seksama.
3. Memberi tanda cek (v) pada kolom “YA”, bila soal yang ditela’ah sudah sesuai
dengan kriteria.
4. memberi tanda cek (v) pada kolom “TIDAK”, bila soal yang ditela’ah tidak
sesuai dengan kriteria, kemudian tuliskan penjelasannya dengan ringkas pada
ruang catatan.
5. Soal-soal yang “TIDAK” lalu diperbaiki / disempurnakan sesuai dengan
kriteria / catatan.
c) Menjodohkan (‫مزاوجة‬/matching test)
1) Pengertian
Matching test dapat kita ganti dengan istilah mempertandingkan , mencocokkan,
memasangkan atau menjodohkan. Matching test terdiri atas satu seri pertanyaan
dan satu seri jawaban. Masing-masing pertanyaan mempunyai jawabnya yang
tercantum dalam seri jawaban. Tugas murid ialah : mencari dan menempatkan
jawaban-jawaban, sehingga sesuai atau cocok dengan pertanyaannya.
Contoh :

38
“ Pasangkanlah pertanyaan yang ada pada lajur kiri dengan yang ada pada lajur
kanan dengan cara menempatkan huruf yang terdapat di muka pernyataan lajur kiri
pada titik-titik yang disediakan di lajur kanan”.
2) Petunjuk penyusunan
Petunjuk-petunjuk yang perlu diperhatikan dalam menyusun tes bentuk
matching ialah :
a) Seri pertanyaan-pertanyaan dalam matching test hendaknya tidak labih dari
sepuluh soal (item). Sebab, pertanyaan-pertanyaan yang banyak itu akan
membingungkan murid. Juga kemungkinan akan mengurangi homogenitas
antara item-item itu. Jika itemnya cukup banyak, lebih baik dijadikan dua seri.
b) Jumlah jawaban yang harus dipilih, harus lebih banyak daripada jumlah soalnya
(kurang lebih 11/2 kali). Dengan demikian, murid dihadapkan kepada banyak
pilihan, yang semuanya mempunyai kemungkinan benarnya, sehingga murid
terpaksa lebih mempergunakan pikirannya.
c) Antara item-item yang tergabung dalam satu seri matching test harus merupakan
pengertian-pengertian yang benar-benar homogen.

Misalnya :

‫ أين وجدت كال من هؤالء األفراد ؟‬-


‫ مدرس‬- ‫ المكتب‬-1
‫ أمين المكتبة‬- ‫ المدرسة‬-2
‫ موظف‬- ‫ المكتبة‬-3
‫ تاجر‬- ‫ الحديقة‬-4
‫ بستاني‬- ‫ المستشفى‬-5
‫ طبيب‬- ‫ الصيدلية‬-6
‫ صيدلي‬-
‫ خادم‬-

Cara mengolah skor : dihitung S = R

39
Artinya skor terakhir dihitung jawaban yang benar saja.

d) Tes isian (‫ ملء الفراغ‬/completion test)


1) Pengertian
Completion test biasa kita sebut dengan istilah tes isian, tes menyempurnakan, atau
tes melengkapi.
Completion test terdiri atas kalimat-kalimat yang bagian-bagiannya ada yang
dihilangkan. Bagian yang dihilangkan atau yang harus diisi oleh murid ini adalah
merupakan pengertian yang kita minta dari murid.
Contoh :

! ‫ ضع فى الفراغ كلمة مناسبة‬-


‫ فى الصباح الباكر‬. . . ‫ أقوم من النوم‬-1
‫ مشيا على األقدام‬. . . ‫ الفالح يذهب إلى‬-2
‫ إللقاء الخطبة‬. . . ‫ صعد الخطيب على‬-3
Ada juga completion test yang tidsak berbentuk kalimat-kalimat pendek seperti di
atas, tetapi kalimat-kalimat berangkai dan memuat banyak isian.
Misalnya :

‫) لصالة‬3( . . . ‫) فى الحمام وبعد ذلك أذهب إلى‬2( . . . ‫) مبكرا ثم‬1( . . . ‫أقوم من‬
‫) الفطور‬4( ... ‫ وفى االسادسة والنصف صباحا‬. ‫الصبح جماعة‬
. ‫) للذهاب إلى المدرسة‬5( . . . ‫و‬

Jawaban-jawaban tidak perlu ditulis di tempat yang dikosongkan, sebab cara


demikian akan menyukarkan pemeriksaan. Tetapi diadakanlah tempat tersendiri
dengan nomor urut ke bawah. Oleh karena itu, dalam membuat soal, tempat-tampat
isian harus diberi nomor seperti di atas.
Contoh tempat jawaban

........ -1
........ -2

40
....... -3
....... -4
....... -5
Cara scooring S=R
(Sama dengan bentuk matching)

2) Petunjuk penyusunan
Saran-saran dalam menyusun tes bentuk isian ini adalah sebagai berikut :
a) Perlu selalu diingat bahwa kita tidak dapat
merencanakan lebih dari satu jawaban yang kelihatan logis.
b) Jangan mengutip kalimat/pernyataan yang tertera pada buku/catatan.
c) Diusahakan semua tempat kosong hendaknya sama panjang.
d) Diusahakan hendaknya setiap pernyataan jangan
mempunyai lebih dari satu tempat kosong.
Bagaimanakah digunakan tes subyektif ?
Tes bentuk essay digunakan apabila :
a) Kelompok yang akan tes kecil, dan tes itu tidak akan
digunakan berulang-ulang.
b) Tester (dosen) ingin menggunakan berbagai cara untuk mengetahui
kemampuan mahasiswa dalam bentuk tertulis.
c) Dosen ingin mengetahui lebih banyak tentang sikap-sikap mahasiswa
daripada hasil yang telah dicapai.
d) Memiliki waktu yang cukup banyak untuk menyusun tes.
Bilamanakah digunakan tes obyektif ?
a) Kelompok yang akan di tes besar dan tesnya akan digunakan lagi berkali-
kali.
b) Skor yang diperoleh diperkirakan akan dapat dipercaya (mempunyai
reliabilitas yang tinggi).
c) Dosen lebih mampu menyusun tes bentuk obyektif
daripada tes bentuk essay (uraian).

41
d) Hanya mempunyai waktu sedikit untuk koreksi dibandingkan dengan
waktu yang digunakan untuk menyusun tes.
Pada umumnya, dosen diseyogyakan menggunakan dua macam bentuk tes ini
dalam perbandingan 3 : 1, yaitu 3 bagian untuk tes obyektif, dan 1 bagian untuk tes
uraian.

X. Jenis Tes Bahasa Menurut Isi dan Tujuannya


Seperti telah kita ketahui bahwa aspek-aspek bahasa yang diajarkan adalah
bunyi, sistem tulisan, struktur kata dan kalimat dan kosakata. Sedangkan kemahiran
yang akan dicapai dalam pengajaran bahasa adalah kemahiran mendengarkan,
berbicara, membaca dan menulis.
Oleh karena itu tes bahasa Arab harus mencakup aspek-aspek bahasa dan
keterampilan bahasa itu.
Jenis-jenis tes menurut isi dan tujuannya, yang akan diuraikan berikut ini
mengacu pada pembagian tersebut di atas, yaitu komponen bahasa dan kemahiran
bahasa.

XI. Tes Komponen Bahasa


a. Sistem bunyi/ucapan
Tes sistem bunyi dan ucapan ini bertujuan menguji kemampuan murid dalam
mengenal dan membedakan berbagai bunyi Bahasa Arab (reseptif), dan
kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi tersebut dengan baik dan benar
(produktif).
Bentuk tes: tulisan dan lisan, obyektif, dan subyektif. Bisa diberikan dalam
bentuk kata-kata lepas atau kata-kata dalam kalimat, atau dengan
mengkontraskan pasangan ucapan yang hampir sama.
Contoh :
Murid diminta menentukan apakah pasangan kata yang diperdengarkan oleh
dosen, fonem pertamanya sama atau berbeda. Murid menyilang S bila sama, dan
menyilang B apabila berbeda.

42
B–S ‫ تاب‬- ‫طاب‬

B–S ‫ سار‬- ‫سار‬

B–S ‫ ظل‬- ‫ضل‬

B–S ‫ عمل‬- ‫أمل‬

B–S ‫ قائد‬- ‫قائد‬

B–S ‫جميلة – زميلة‬

Contoh tes kemampuan mengucapkan:


(1) Menirukan
Dosen memperdengarkan ucapan, murid diminta menirukan. Dosen
memberikan penilaian langsung kepada respon mahasiswa.
Untuk jenis ini ada beberapa variasi:
a) Pengucapan bunyi tertentu yang sulit, misalnya bunyi dhadh (‫)ض‬

‫ضل‬
‫ضاللة‬
‫مضل‬
‫أضالع‬

b) Pengucapan beberapa bunyi yang berdekatan, misalnya:

‫ ضل‬- ‫ دل‬-
‫ ظل‬- ‫ ذل‬-
‫ جل‬- ‫ زل‬-
‫ صار‬- ‫ سار‬-
‫ ثار‬- ‫ سار‬-
‫ صورة‬- ‫ سورة‬-

43
‫ ريش‬- ‫ ريس‬-

(2) Membaca :
Murid diminta membaca kata atau kalimat atau faqrah (alinea) pendek yang
disiapkan oleh dosen. Yang dinilai oleh dosen dari bacaan murid adalah
pengucapannya, bukan i’rab atau pemahamannya.

b. Sistem tulisan
Tujuan tes ini adalah untuk menguji kemampuan murid mengubah bentuk
ujaran (lisan) menjadi bentuk grafis (tulisan), atau dengan kata lain
kemampuan membentuk alfabetdan mengeja.
Kemampuan ini pada tingkat pemula perlu mendapat porsi latihan yang
banyak, karena merupakan dasar bagi kemampuan menulis pada tingkat
selanjutnya.
Bentuk tes yang biasa dipakai adalah :
1) Menyalin
Bagi murid perguruan tinggi lebih-lebih untuk tingkat Ibtidaiyah,
menyalin bukan sesuatu yang terlalu mudah, apalagi menyalin tulisan
Arab. Di sini murid diuji ketelitian dan kecermatannya. Jadi tes
menyalin ini cukup punya arti.
2 ) Dikte atau imla’
Dikte ini bisa dibedakan menjadi dua :
Pertama, disebut ( ‫ ) معه ودة‬yakni dikte yang materinya telah
diberitahukan terlebih dahulu kepada murid agar dipelajari.
Kedua, disebut ( ‫ ) غ ير معه ودة‬yakni dikte yang materinya tidak
diberitahukan sebelumnya kepada murid.
Materi tes ditekankan pada hal-hal berikut :
1) penulisan huruf Arab dalam berbagai posisinya (awal-tengah-akhir).
2) penulisan alif-lam ( ‫ ) أل‬pada huruf syamsiyah dan qomariyah

44
3) mad ( ‫ ) مد‬dan tasydid ( ‫) تشديد‬.

4) penulisan hamzah dalam beberapa posisi.


5) penulisan alif layyinah.
Yang ditekankan di sini adalah kemampuan praktis, bukan teoritis, dan
disesuaikan dengan tingkat penguasaan mufradat.

c. Tatabahasa (Struktur kata/kalimat)


Tes tatabahasa bertujuan menguji kemampuan murid dalam
memahami dan menggunakan struktur kata dan struktur kalimat bahasa
Arab secara benar.
Penguasaan struktur kata dan struktur kalimat merupakan dasar bagi
penguasaan semua jenis keterampilan bahasa, baik ketrampilan mendengar,
berbicara, membaca, dan menulis.
Tes tatabahasa biasanya menggunakan bentuk tes obyektif, baik
pilihan ganda, salah-benar, menjodohkan, maupun melengkapi. Bentuk
umum tes obyektif ini bisa dikembangkan dalam berbagai bentuk seperti
contoh-contoh berikut ini.
1) Melengkapi/pilihan ganda:

‫ السمك فى النهر‬. . . ‫نحن‬


‫د يصيدون‬ ‫ تصيد‬-‫ج‬ ‫ نصيد‬-‫ب‬ ‫ أصيد‬-‫أ‬
bentuk lain:

. ‫المدرس ) جديد‬
َ ِ
- ‫المدرس‬ - ‫المدرس‬
ُ ( ‫ كتاب‬-

)‫(ج‬ )‫(ب‬ )‫(أ‬

2) Menyusun kalimat/pilihan berganda:

. . . . ‫ ذهب‬-
‫ إلى المسجد‬-‫د‬ ‫ مع‬-‫ج‬ ‫ علي‬-‫ب‬ ‫أ – عائشة‬
3) Transformasi/merubah bentuk ( ‫) تحويل‬

45
‫)اسم الفاعل( ‪) menjadi isim fa’il‬ماض( ‪Misalnya merubah bentuk‬‬

‫‪Cantoh :‬‬
‫‪Murid menjawab‬‬ ‫‪soal‬‬

‫ذاهب‬ ‫‪ -1‬ذهب علي ‪ ،‬فهو ‪. . .‬‬


‫راجع‬ ‫‪ -2‬رجع أحمد ‪ ،‬فهو ‪. . .‬‬
‫حاضر‬ ‫‪ -3‬حضر خالد ‪ ،‬فهو ‪. . .‬‬
‫ناجح‬ ‫‪ -4‬نجح فيصل ‪ ،‬فهو ‪. . .‬‬
‫كاتب‬ ‫‪ -5‬كتب محمود ‪ ،‬فهو ‪. . .‬‬
‫‪Contoh lain:‬‬
‫‪ ) menjadi fi’il mudhari‬فعل ماض ( ‪Murid diminta mengubah fi’il madhy‬‬

‫‪ ).‬فعل مضارع (‬

‫‪ -1‬رجع أحمد إلى بيته أمس ‪ ،‬و ‪ . . .‬فهمي إلى بيته اليوم ‪.‬‬
‫‪ -2‬وصل فخري إلى هنا أمس ‪ ،‬و ‪ . . .‬خالد الى هنا اليوم ‪.‬‬
‫‪ -3‬نزل المطر هناك أمس ‪ ،‬و ‪ . . .‬هنا اليوم ‪.‬‬
‫‪ -4‬هل حضر األستاذ ؟ ال ‪ ،‬لم ‪ . . .‬منذ الصباح‬
‫‪Contoh lain :‬‬
‫‪ ) menjadi isim‬فعل ماض ( ‪Murid diminta mengubah bentuk fi’ilmadhi‬‬

‫‪ ).‬المفعول اسم( ‪maf’ul‬‬

‫‪Jawaban yang diminta‬‬ ‫‪soal‬‬

‫مفتوح‬ ‫‪ -1‬فتحت الباب ‪ ،‬فهو ‪. . . .‬‬


‫مأكول‬ ‫‪ -2‬أكلت الرز ‪ ،‬فهو ‪. . . .‬‬
‫مسموع‬ ‫‪ -3‬سمعت الصوت ‪ ،‬فهو ‪. . . .‬‬

‫‪4) Mencoret yang salah‬‬


‫‪Contoh untuk menguji i’rab.‬‬

‫السوق ‪ -‬السو ِ‬
‫ق) صباحا‬ ‫ُ‬ ‫‪ -1‬يذهب التاجر إلى ( السوق َ –‬

‫‪46‬‬
. ‫الكتاب) يا أحمد‬
ُ – ‫الكتاب‬
َ ِ
– ‫الكتاب‬ ( ‫ اقرأ‬-2
ِ
. ‫األستاذ) على المكتب‬ – ‫ كتاب ( األستا ُذ – األستا َذ‬-3
ٍ – ‫جديد‬
) ً‫جديد – جدديدا‬ ٌ ( ‫ عندي كتاب‬-4
. ‫ هذه ( كراسةٌ – كراسةُ – كراسة ) خالد‬-5
Contoh untuk menguji persesuaian fi’il dengan fa’il.

‫ نجحت ( خالد – التلميذ – فاطمة ) فى االمتحان‬-1


‫ أخي ( تتعلم – يتعلم – تتعلمين ) فى المدرسة الثانوية‬-2
ِ
‫ذهبت ) عائشةإلى المدرسة‬ – ‫ذهبت‬
ْ – ‫ (ذهب‬-3
‫ ( يصلي – يصلون – تصلي ) المسلمون المغرب جماعة‬-4

d. Kosakata ( ‫) مفردات‬

Tes kosakata ini bertujuan menguji kemampuan murid dalam


memahami kata-kata yang dibaca atau didengarnya (kemampuan reseptif).
Dan kemampuan menggunakan kata-kata tersebut dalam karangan atau
percakapan.
Bentuk tes bisa subyektif atau obyektif seperti contoh-contoh berikut
ini.

1) memilih sinonim ( ‫) مرادف‬

. . . . ‫ مرادف ينام‬، ‫ ينام خالد على السرير‬-


‫ يضطجع‬-‫د‬ ‫ يبيت‬-‫ج‬ ‫ يرقد‬-‫ب‬ ‫ ينعس‬-‫أ‬
2) memilih antonim ( ‫عكس‬/‫) ضد‬

. . . . ‫ ضد البخيل‬، ‫ ال ينفق البخيل ماله لغيره‬-

‫ الشريف‬-‫د‬ ‫ الغني‬-‫ج‬ ‫ب الكريم‬ ‫ الفقير‬-‫أ‬

3) memakai kata dalam kalimat ( ‫ ) وضع الكلمة‬atau memilih kata

yang tepat.

47
. ‫ عمله مساء‬. . . ‫ رجع أبي‬-1
‫ فى‬-‫د‬ ‫ من‬-‫ج‬ ‫ عن‬-‫ب‬ ‫ إلى‬-‫أ‬
. ‫ إلى السوق كل يوم‬. . . ‫ يذهب‬-2
‫ التاجر‬-‫د‬ ‫ الموظف‬-‫ج‬ ‫ الفالح‬-‫ب‬ ‫ المدرس‬-‫أ‬
4) mengubah bentuk jamak ke mufrad dan sebaliknya.

. ‫ امأل الفراغ بوضع "جمع " للكلمة التى تحتها خط أو عكسه‬-


. ‫ كثيرة‬. . . ‫ وللمدرس‬، ‫ لي كتاب واحد‬-1
. ‫ وفى هذا الفصل أستاذ واحد‬. . . ‫ فى مدرستنا عشرة‬-2
. ‫ و وراءها بيوت المدرسين‬، ‫ ناظر المدرسة‬. . . ‫ بجانب المدرسة‬-3
. ‫ وفى الحصة درس واحد‬، . . . ‫ فى اليوم ستة‬-4
. . . . ‫ أربعة‬. . . ‫ ولعائشة‬، ‫ عندي قلم واحد‬-5
XII. Tes Kemahiran Bahasa

Sesuai dengan tujuan pengajaran bahasa Arab di Perguruan tinggi yakni


penguasaan bahasa Arab aktif dan pasif, maka tes keterampilan bahasa di
perguruan tinggi inipun meliputi keempat jenis keterampilan yaitu mendengarkan,
berbicara, membaca dan menulis. Akan tetapi harus diingat bahwa tingkat
keterampilan yang dimaksudkan di sini adalah keterampilan sederhana atau pada
taraf dasar. Oleh karena itu, jenis tes yang bisa dipakai adalah jenis-jenis tes yang
sederhana dan tidak rumit.
Untuk melakukan tes keempat keterampilan bahasa itu pun bisa digunakan
jenis-jenis tes seperti di atas.

1- Tes Menyimak (istimâ')

Menyimak atau istimâ' merupakan keterampilan dalam berbahasa Arab yang

memungkinkan seseorang untuk memahami bahasa Arab yang digunakan secara

lisan, sehingga terhindar dari kesalahpahaman dalam berkomunikasi yang dapat

menyebabkan berbagai hambatan dalam pelaksanaan tugas dan kegiatan sehari-hari.

48
Dengan memiliki penguasaan keterampilan menyimak yang memadai, diharapkan

mahasiswa terbiasa dengan bunyi-bunyi bahasa Arab yang pada akhirnya

memungkin-kannya untuk melafalkan bunyi-bunyi tersebut secara benar.16

Dibandingkan dengan tes bunyi bahasa Arab, tes menyimak ini meliputi

jangkauan lebih luas yang tidak hanya sekedar pengenalan dan pembedaan bunyi

bahasa. Tes menyimak terkait dengan kemampuan untuk memahami makna suatu

bentuk penggunaan bahasa yang diungkapkan secara lisan 17 dan diterima mahasiswa

melalui sarana pendengaran, baik mempergunakan media rekaman maupun secara

langsung disampaikan (dibacakan) dosen sewaktu tes berlangsung.

Di dalam Standar Kompetensi matapelajaran Bahasa Arab kurikulum 2004,

kemahiran menyimak ini tidak disebutkan secara khusus kecuali pada empat

kompetensi dasar pertama kelas empat Perguruan tinggi Ibtidaiyah. Keadaan ini

sejalan dengan kenyataan bahwa kegiatan menyimak dan berbicara memang sulit

dipisahkan dalam kegiatan berbahasa lisan.18 Begitu pula tidak terdapat indikator

yang secara khusus menyangkut kemahiran menyimak kecuali satu indikator dengan

susunan redaksi menafsirkan makna kata-kata baru.

Mengenai bentuk tes menyimak, 'Abd al-Khâliq Muhammad 19 menguraikan

secara rinci bentuk-bentuk instrumen tes menyimak yang dapat digunakan. Secara

garis besar, instrumen-instrumen tersebut berbentuk: menentukan gambar sesuai kata


16
Hamâdah Ibrâhîm, al-Ittijâhât al-Mu'âshirah fî Tadrîs al-Lughah al-'Arabîyah wa al-Lughât al-
Hayyah al-Ukhrâ li Ghair al-Nâthiqîna bihâ (Kairo: Dâr al-Fikr al-'Arabîy, 1987), h. 223
17
M. Soenardi Djiwandono, op. cit., h. 55
18
Arthur Hughes, Testing for Language Teachers (Cambridge: Cambridge University Press,
1989), h.134
19
Muhammad 'Abd al-Khâliq Muhammad, op. cit., h. 107-158

49
atau kalimat, menentukan nama tempat di peta/sketsa sesuai petunjuk,

menyempurnakan gambar sesuai petunjuk, melakukan gerakan sesuai instruksi,

menjawab pertanyaan mengenai isi kalimat, dialog, atau wacana, menulis angka

dengan cepat, serta menulis teks yang didiktekan.

2- Tes Berbicara (kalâm)

Berbicara adalah aktivitas berbahasa yang penting dalam kehidupan sehari-

hari setelah aktivitas mendengarkan. Berdasarkan bunyi-bunyi bahasa yang

didengarkan, manusia belajar mengucapkan dan akhirnya mampu untuk berbicara.

Sebagai bagian dari kemampuan berbahasa secara produktif, keterampilan

berbicara atau kalâm menuntut penguasaan terhadap beberapa aspek dan kaidah

penggunaan bahasa Arab. Di antaranya adalah penguasaan lafal, struktur, kosakata,

penguasaan topik atau gagasan yang akan disampaikan, dan kemampuan memahami

bahasa interlokutor (lawan bicara). Selain itu, unsur-unsur paralinguistik pun turut

menentukan kejelasan dan ketepatan dalam berbicara, misalnya adalah ekspresi

wajah, nada suara, dan gerakan-gerakan tertentu lainnya.20 Semuanya itu merupakan

bagian dari kegiatan berbicara sebagai suatu bentuk penggunaan bahasa lisan yang

harus diperhatikan agar pesan yang disampaikan dapat dimengerti dengan mudah

oleh penutur asli21 seperti yang dimaksudkan oleh seorang pembicara.

Sesuai dengan tingkat penguasaan kemampuan berbahasa mahasiswa, bentuk

pengajaran berbicara dapat meliputi kegiatan penggunaan bahasa lisan dengan

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 252-253


20

Shalâh 'Abd al-Majîd al-'Arabîy, Ta'allum al-Lughât al-Hayyah wa Ta'lîmuhâ baina al-
21

Nazharîyah wa al-Tathbîq (Beirût: Maktabah Lubnân, 1981), h. 166

50
tingkat kesulitan yang beragam. Bentuk pengajaran berbicara itu dapat bersifat

terkendali dengan isi dan jenis wacana yang ditentukan atau dibatasi, atau dapat

bersifat bebas tergantung pada keinginan dan kreativitas pembicara. Oleh karena itu,

tes berbicara pun secara umum dapat diselenggarakan secara terkendali atau secara

bebas.22

Namun, yang paling menentukan dalam pemilihan bentuk instrumen tes

berbicara tersebut adalah rumusan kompetensi dasar yang diwujudkan secara lebih

nyata melalui indikator-indikator hasil belajarnya. Dalam kurikulum 2004, indikator

yang berhubungan dengan keterampilan berbicara adalah sebagai berikut:

 mengucapkan mufradât baru dengan lafal yang baik dan benar

 mengucapkan materi hiwâr dengan lafal dan intonasi yang baik dan benar

 mendemonstrasikan materi hiwâr secara berpasangan

 melakukan tanya jawab dengan mufradât dan pola kalimat yang diajarkan.

 melakukan tanya jawab tentang bahan bacaan dalam bahasa Arab yang telah

diprogramkan

Pembahasan secara rinci bentuk-bentuk tes berbicara dipaparkan oleh 'Abd

al-Khâliq Muhammad23 dengan mengklasifikasikan bentuk tes berbicara ke dalam

tes pelafalan, tes struktur (qawâ'id), tes berbicara menggunakan rangsang visual,

dan tes melalui wawancara. Yang termasuk tes pelafalan adalah menirukan

pelafalan, melafalkan tekanan (nabr) dan intonasi, membaca nyaring teks yang

sudah dihafal (mis. ayat-ayat Alquran), menyempurnakan kalimat, menjawab

M Soenardi Djiwandono, op. cit., h. 69


22

Muhammad 'Abd al-Khâliq Muhammad, op. cit., h. 107-158


23

51
pertanyaan sesuai sketsa, dan membaca bersuara. Tes struktur (qawâ'id) secara

lisan dapat berupa mengubah kata atau kalimat, menghubungkan kalimat, saling

bertanya jawab, mengubah kalimat pernyataan menjadi pertanyaan, dan

sebagainya. Sedangkan tes berbicara yang menggunakan rangsang visual dapat

berbentuk pertanyan mengenai waktu, jarak, dan ukuran sesuai gambar, membaca

angka, mendeskripsikan gambar, menarasikan aktivitas atau gerakan, serta

menarasikan cerita bergambar. Rangsang yang berupa gambar ini sangat baik

terutama untuk dipergunakan pada anak-anak usia sekolah dasar ataupun

pembelajar bahasa asing tahap awal.24 Tes berbicara juga dapat dilakukan melalui

wawancara dan diskusi. Berbeda dengan teknik diskusi, tes berbicara dengan

teknik wawancara ditandai dengan persiapan berupa daftar pertanyaan yang

terstruktur25 yang harus dijawab oleh mahasiswa. Teknik diskusi dan wawancara

ini biasanya dilakukan terhadap mahasiswa yang kemampuan bahasa Arabnya

sudah dirasa cukup memadai sehingga memungkinkan untuk mengungkapkan

pikiran dan perasaannya.

Bentuk-bentuk tugas kemampuan berbicara yang dipilih tentunya adalah

yang memungkinkan mahasiswa untuk tidak saja mengungkapkan kemampuan

berbahasanya, melainkan juga mengungkapkan gagasan, pikiran, atau perasaannya.

Dengan demikian, tes tersebut bersifat fungsional, di samping dapat juga

mengungkap kemampuan mahasiswa berbicara dalam bahasa Arab mendekati

pemakaiannya secara normal.

Burhan Nurgiantoro, op. cit., h. 254


24

Nic Underhill, Testing Spoken Language: A Handbook of Oral Testing Techniques


25

(Cambridge: Cambridge University Press, 1987), h. 54

52
3- Tes Membaca (qirâ`ah)

Yang menjadi tujuan pokok penyelenggaraan tes membaca adalah

mengukur tingkat pengetahuan untuk memahami bahan bacaan. 26 Tingkat

kemampuan membaca itu tercermin pada tingkat pemahaman terhadap isi bacaan,

baik yang secara jelas diungkapkan di dalamnya (tersurat), maupun yang hanya

terungkap secara tersamar dan tidak langsung (tersirat), atau bahkan sekedar

merupakan implikasi dari isi bacaan. Untuk dapat melakukan kegiatan membaca,

diperlukan beberapa kemampuan sebagai berikut:

a.membedakan huruf dan mengetahui hubungan antara huruf dengan bunyi yang

diwakilinya.

b. mengidentifikasi kata-kata, baik lepas maupun dalam kelompok.

c.memahami makna kata sesuai konteksnya.

d. memahami makna lahir dari urutan kata-kata dalam kalimat

e.mengetahui hubungan dan keterkaitan ide melalui kata-kata pengacu dan kata-

kata perangkai

f. memperoleh kesimpulan

g. menelusuri (skimming, tashaffuh) guna mendapatkan informasi secara

cepat

h. mengkritisi dan mengomentari bacaan

i. memahami tanda-tanda baca

j. memahami gagasan dan kecenderungan penulis melalui tulisannya

k. memahami metode dan teknik penulis dalam menuangkan gagasannya

M Soenardi Djiwandono, op. cit., h. 63


26

53
l. mamahami bentuk kiasan, metafor, dan idiom yang terkandung dalam bacaan

m.kemudahan dan kecermatan membaca

n.kecepatan membaca27

Semua itu merupakan bagian dari perwujudan dari kemampuan memahami

bacaan yang dapat dijadikan dasar dan acuan dalam menyusun butir-butir tes

membaca, di samping indikator-indikator yang tertuang dalam kurikulum 2004 yang

memang perlu dijadikan sebagai acuan utamanya. Daftar indikator yang berkaitan

dengan keterampilan membaca adalah:

a. melafalkan bahan qirâ`ah dengan intonasi yang baik dan benar28

b. menjawab pertanyaan/latihan tentang kandungan bahan qirâ`ah dengan baik dan

benar.29

Dari kedua rumusan tersebut, nampaknya indikator pertama lebih

cenderung berkaitan dengan pelafalan melalui membaca bersuara (qirâ`ah

jahrîyah) daripada pemahaman isi bacaan yang merupakan target utama dari

keterampilan membaca. Oleh karena itu, untuk mengukur pencapaian hasil belajar

yang berupa pelafalan ini dapat digunakan bentuk-bentuk instrumen sebagaimana

yang telah dipaparkan pada bagian tes bunyi bahasa atau tes berbicara.

Sedangkan untuk mengukur kemampuan memahami isi bacaan, terdapat

banyak bentuk instrumen tes yang dapat digunakan. Di antaranya adalah


27
Muhammad 'Abd al-Khâliq Muhammad, op. cit., h. 196-197
28
Rumusan tersebut adalah rumusan yang terdapat dalam dokumen tingkat MI dan MTs.
Sedangkan pada tingkat MA, dengan maksud yang sama, digunakan redaksi: "membaca bahan qirâ`ah
dengan lafal dan intonasi yang baik dan benar."
29
Dengan maksud yang sama, di MA digunakan redaksi: "menjawab
pertanyaan-pertanyaan/latihan tentang pemahaman yang berbentuk objektif mengenai kandungan bahan
qirâ`ah"

54
mencocokkan kata, mencocokkan kalimat, mencocokkan kalimat dengan gambar,

menentukan parafrase, melengkapi wacana, menjawab pertanyaan, dan membuat

ringkasan atau kesimpulan.

4- Tes Menulis (kitâbah)

Menulis merupakan suatu bentuk manifestasi kemampuan berbahasa paling

akhir dikuasai pelajar bahasa setelah kemampuan menyimak, bercakap, dan

membaca. Dibanding tiga kemampuan berbahasa yang lain, keterampilan menulis

lebih sulit dikuasai bahkan oleh penutur bahasa yang bersangkutan sekalipun.30 Agar

seseorang dapat menulis secara runtut dan padu, diperlukan penguasaan yang

memadai mengenai berbagai unsur kebahasaan dan unsur di luar bahasa itu sendiri

yang akan menjadi isi tulisan/karangan. Penguasaan terhadap sistem ejaan, kosakata,

dan struktur tatabahasa harus dimiliki oleh mahasiswa untuk dapat melakukan

kegiatan menulis. Namun agar tulisan runtut dan padu, hal itu saja tidak cukup.

Shînîy dan Abdullâh sebagaimana dikutip oleh 'Abd al-Khâliq Muhammad

menyatakan "menulis merupakan kegiatan bersisi dua: mekanis dan logis. Sisi

mekanis berkaitan dengan kemahiran menulis huruf abjad, mengetahui ejaan dan

tanda baca dalam bahasa asing. Sedangkan aspek logis mencakup pengetahuan yang

memadai tentang tatabahasa, kosakata, dan penggunaan bahasa."31

Kemampuan menulis Arab, baik yang bersifat mekanis maupun logis, yang

diharapkan dapat dicapai oleh mahasiswa perguruan tinggi tercermin dalam rumusan

Burhan Nurgiyantoro, op. cit., h. 270


30

Muhammad 'Abd al-Khâliq Muhammad, op. cit., h. 227


31

55
indikator-indikator yang berhubungan dengan kemampuan menulis dalam kurikulum

2004. Indikator kemampuan menulis yang bersifat mekanis adalah:

a.menulis beberapa huruf Arab yang diprogramkan dalam kata-kata dan kalimat

Arab

b. menulis kalimat-kalimat Arab melalui imlâ` manqûl

c.menulis kalimat-kalimat Arab melalui imlâ` manzhûr

d. menulis kalimat-kalimat Arab melalui imlâ` ikhtibâry32

Sedangkan indikator kemampuan menulis yang bersifat logis adalah:

a.menggunakan mufradât dengan tepat dalam kalimat-kalimat yang disediakan

b. menyusun kalimat dengan menggunakan kata-kata yang disediakan

c.menyusun paragraf sederhana dengan ungkapan-ungkapan yang disediakan

d. menjawab pertanyaan-pertanyaan secara tertulis dengan baik dan benar

e.menyusun kalimat-kalimat sederhana dalam kegiatan insyâ` hur yang mengandung

….

f. menyusun kalimat-kalimat sederhana dalam kegiatan insyâ` muwajjah yang

mengandung ….

g. membuat ^‫ مبتدأ‬dan ‫ خبر‬dalam kegiatan insyâ` muwajjah

32
Pengklasifikasian imlâ` menjadi manqûl, manzhûr, dan ikhtibârîy (ikhtiyârîy?) nampaknya
didasarkan pada tulisan Rusydi Ahmad Thu'aimah. Dalam imlâ` manqûl, mahasiswa hanya menyalin
huruf dan kata-kata dalam bahasa Arab yang ada di papan tulis atau buku pelajaran ke dalam buku latihan
masing-masing. Hal ini berlangsung dengan tetap dipajankannya bentuk tulisan tersebut sehingga
memungkinkan mahasiswa untuk menatapnya kapanpun diperlukan. Dalam imlâ` manzhûr, mahasiswa
menyalin bentuk tulisan Arab setelah mendiskusikan dan membacanya terlebih dahulu. Berbeda dengan
imlâ` manqûl, ketika menyalin dalam imlâ` manzhûr mahasiswa tidak lagi melihat bentuk huruf, kata atau
kalimat Arab yang disalinnya itu. Adapun yang dimaksud dengan imlâ` ikhtibârîy adalah kegiatan di mana
mahasiswa menuliskan kata atau kalimat-kalimat Arab yang dibacakan didiktekan oleh dosen. Istilah dikte
yang dikenal populer pada umumnya mengacu kepada jenis imlâ` ikhtibârîy ini. Lih. Rusydi Ahmad
Thu'aimah, op. cit., h. 190-191

56
h. mengubah bentuk fi'il mudlâri' menjadi bentuk fi'il mâdlî dalam kalimat sesuai

keterangan waktu yang diprogramkan

i. mengubah susunan kalimat dengan struktur jumlah fi'liyah menjadi susunan

kalimat dengan struktur jumlah ismiyah

Bentuk instrumen tes kemampuan menulis yang bersifat mekanis antara lain

meliputi menyalin, dikte, pilihan ganda, melengkapi, mengidentifikasi kesalahan,

dan mengidentifikasi penulisan kata yang disambung/dipisah. Bentuk-bentuk

tersebut dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan dalam hal tanda baca,

penulisan huruf, penulisan hamzah, penulisan tâ marbûthah dan tâ maftûhah, tidak

tertulisnya huruf nûn ketika tanwîn, huruf-huruf yang tertulis tapi tidak dibaca,

huruf-huruf yang dibaca tapi tidak tertulis, penulisan alif layyinah, dan penulisan

singkatan yang umum.

Sedangkan instrumen tes menulis yang bersifat logis dapat berbentuk

menyesuaikan (‫)المطابقة‬, menghubungkan (‫)الربط‬, mendeskripsikan gambar (‫وصف‬

‫)الصورة‬, menyusun kata/kalimat (‫ )تركيب الجمل‬, menggunakan gaya bahasa yang


benar (‫لوب المناسب‬444‫ األس‬4‫تخدام‬444‫)اس‬, memilih bentuk bahasa sesuai tingkat

penggunaannya, serta menyusun dan mengorganisasikan informasi.33

Di samping itu, terdapat suatu jenis tahapan kemampuan menulis yaitu

mengarang terpimpin, atau yang dalam kurikulum disebut insyâ` muwajjah.

Terdapat banyak bentuk tes untuk insyâ` muwajjah antara lain: mengganti kata-

kata tertentu dengan sinonim/antonimnya, menambahkan satu atau beberapa kata

Ibid., h. 234-247
33

57
keterangan, mengubah bentuk kata atau kalimat, melengkapi kalimat atau wacana,

menyusun kalimat, menggabungkan kalimat, dan mengarang melalui

pengembangan pointers-pointers (‫ )عناصر أساسية‬yang telah disediakan.

oo O oo

Daftar Pustaka

- Arikunto, Suharsimi, Dr. Dasar-dasar Pendidikan, Jakarta: Bina Aksara,


1995.

58
- al- Baghdadi, Muhammad Ridha, Dr. al- Ahdaf wa al- Ikhtibarat, Kuwait,
Maktabah al- Falah, 1984.
- Cohen, Andrew D, Testing Language Ability in The Classroom
(Massachusetts: Newbury House Publishers, 1980).
- Djiwandono, M. Soenardi, Tes Bahasa dalam Pengajaran (Bandung: ITB
Bandung, 1996)
- Muhammad, Abduk Khaliq Muhammad, Ikhtibar al – Lughah, Riyadh:
Jami’ah Malik al- Sa’ud, 1989.
- Nurgiyantoro, Burhan, Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra
(Yogyakarta: BPFE, 1987).
- Nur Kancana, Wayan, Drs. Sumartana, P,P,N. Drs. Evaluasi Pendidikan,
Usaha Nasional, 1983.
- Purwanto, Ngalim, M. Drs. M.P. Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi
Pangajaran, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
- Richards, Jack & Theodore S. Rodgers, Approach and Methods in Language
Teaching (New York: Cambridge University Press, 1992).
- Sudjiono, Anas, Prof. Dr. Pengantar Evaluasi Pendidikan, ( Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2002).
- Sabri, Mahir Ismail, Prof. Dr. al- Taqwim al- Tarbawiy, ( Riyadh: Maktabah
al- Rusyd, 2003).

mhs

59

Anda mungkin juga menyukai