Anda di halaman 1dari 4

Sepeda sejarah

Pada sabtu tanggal 17 September 2022, aku diajak Mas Zikri untuk ikut sepedaan di
minggu pagi tanggal 18 September 2022. kemudian aku ajak Cikta untuk ikut sepedaan jugaa
dan paginyaa, Mas Zikri dan kawan kawan kesiangan, akhirnya aku dan Cikta sepedaan sendiri
sesuai rute yang telah diberikan oleh Mas Zikri. Aku dan Cikta berangkat dari rumah pukul
06.00 WIB ke arah Pasar Kotagede dari jalan Gedong
Kuning, kemudian dilanjut melewati Pasar Kotagede, nah
Pasar Kotagede ini memiliki sejarah lohh!! Bangunan
Pasar Kotagede juga disebut sebagai cagar budaya. Pasar
Kotagede ini merupakan pasar tertua di Yogyakarta. Pasar
ini dibangun pada masa kerajaan Mataram tepatnya pada
masa pemerintahan Panembahan Senopati di abad-16.
Pasar Kotagede pada jaman dulu merupakan melting pot
atau tempat asimilasi budaya dari para pedagang dan pembeli dengan latar belakang
budaya,ras,dan etnis yang berbeda.

Setelah dari pasar kotagede, aku dan cikta melanjutkan


bersepeda menuju ke Masjid Gedhe Mataram. Aku dan cikta singgah
sejenak untuk melihat keindahan arsitektur Masjid Gedhe Mataram.
Ohh iyaa, karena ini temanya sepeda sejarah, tentunya Masjid Gedhe
Mataram ini juga memiliki sejarah. Masjid Kotagede ini dibangun
pada zaman Kerajaan Mataram pada tahun 1586 oleh Panembahan
Senapati bersama-sama dengan masyarakat setempat yang umumnya
Hindu dan Buddha. Perpaduan arsitektur bangunan antara hindu dan
islam menjadi keunikan tersendiri dari masjid ini. Keaslian dari
bangunan Masjid Gedhe Mataram masih tetap dipertahankan hingga
sekarang sebab Kanjeng Panembahan Senopati memang berpesan
bahwa bangunan fisik dari masjid ini tidak boleh diubah kecuali
memang terdapat kerusakan yang perlu diperbaiki. Selain untuk
beribadah, masjid ini juga dijadikan tempat wisata sejarah.karena
keunikannya loh.

Setelah sekitar 15 menit di masjid mataram, kemudian aku


dan cikta lanjut ke benteng cepuri. Benteng cepuri ini terletak
dipinggir jalan kesatriya. Agak terpencil sih dan kadang kalau tidak
jeli melihatnya, pasti tidak terlihat jika itu adalah sebuah benteng.
Benteng cepuri Kotagede menurut Babad Tanah Jawi mulai
dibangun tahun 1507 Jawa (1585 Masehi) dan selesai pada tahun
1516 Jawa (1594 Masehi), keterangan tersebut juga sesuai dengan
yang tertera dalam Babad Momana. Dinding cepuri merupakan
salah satu
komponen dalam perkotaan tradisional yang berfungsi
sebagai pembatas dunia luar (jaba beteng) antara komunitas
rakyat dengan komunitas kerabat raja (jeron beteng). Selain
itu, keberadaan cepuri dapat juga diinterpretasikan sebagai
benteng pertahanan. Hal tersebut dibuktikan dengan
keberadaan jagang (parit pertahanan) yang berada di sisi
barat, selatan dan timur. Jagang ini memiliki kedalaman 1-3
meter dengan lebar 20-30 meter. Aku dan cikta hanya sejenak
berada dibenteng cepuri untuk mengambil gambar dan
melanjutkan perjalanan menuju Makam Hastorenggo serta tempat penyimpanan watu gilang dan
watu gatheng.

Makam Hastorenggo merupakan komplek makam


keluarga Sultan Hamengkubuwono VIII. Dahulu
merupakan ruang inti dari kraton Mataram Islam.
Disebelah selatan kompleks makam terdapat bangunan
yang digunakan untuk menyimpan peninggalan sejarah
berupa watu gilang dan watu gatheng. Watu gilang
dipercaya sebagai bekas singgasana Panembahan Senopati,
sedangkan watu gatheng merupakan batu mainan Raden
Rangga. Konon retakan di watu gilang adalah bekas
benturan kepala ki Ageng Mangir, menantu
sekaligusmusuh Panembahan Senopati. Watu Gilang menjadi jejak kejayaan Kerajaan Mataram
yang kini tertinggal di Kotagede Yogyakarta. Pada era kepemimpinan Panembahan Senopati,
Watu Gilang merupakan tempat duduk atau singgasana sang raja saat memerintah Kerajaan
Mataram. Watu Gilang ini berbentuk persegi berbahan batu adesit berukuran 2 x 2 meter dengan
tinggi 30 cm.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 5 menit melewati gang-gang kecil, akhirnya aku
dan cikta sampai juga di Omah UGM. Sejujurnya, aku tidak menyangka bahwa Omah UGM
berada di dalam gang kecil yang hanya bisa dilalui 1 motor. Saat sampai sana, ternyata juru
kunci omah UGM sedang pergi, jadi aku dan cikta hanya melihat-lihat
bagian depan omah UGM. Betapa takjubnya, ada banyak tanaman yang
indah dan terrawat. Ada pendopo juga yang sepertinya biasa digunakan
warga sekitar untuk acara-acara tertentu. Omah UGM ini sebenarnya dulu
milik seseorang yang bernama Parto Darsono. Sayangnya, rumah ini sudah
lama tidak dihuni. Sampai tahun 2006, gempa besar melanda Yogyakarta,
sebagian dari bangunan rumah ini runtuh. Akhirnya pihak UGM membeli
bangunan ini dan merenovasinya. Jadilah sebuah cagar budaya yang masih
eksis sampai saat ini.

Setelah puas berfoto-foto, kamipun melanjutkan perjalanan pulang.


Diperjalanan pulang, kami melihat rumah indhisce. Rumah dengan
nuansa Belanda ini memiliki pagar rumah hijau kuning membentang
tinggi di halaman depan rumah. Dinding luarnya berwarna putih dengan
batu-batuan hitam yang bersih. Beberapa tanaman terlihat menghiasi
rumah menimbulkan rumah ini terlihat sejuk dan asri. Rumah Pocong
Sumi menjadi salah satu bangunan cagar budaya di Yogyakarta dan
dijaga oleh seorang penjaga dan ahli kunci bernama Nono (60 tahun).
Rumah ini dibangun pada tahun 1860 oleh Atmo Sudigdo. Keluarga
Atmo memiliki 5 org anak, dimana salah satunya menjadi menteri agama
pertama di Indonesia era Soeharto yaitu Prof. Dr. Muhammad Rasjidi.

Didekat rumah indhisce, ada langgar dhuwur. Langgar


dhuwur adalah langgar keluarga yang berada diloteng atas
beberapa rumah di Kotagede. Terletak disisi depan barat rumah
(tempat yang dianggap paling terhormat). Langar dhuwur
dibangun dengan konstruksi kayu yang ditopang jikin tembok.
Dahulu letak langgar-langgar dhuwur membentuk melingkari
Kraton Mataram di Kotagede. Sehingga sering dianalogikan
dengan masjid pathok Negara Keraton Yogyakarta. Saat ini,
hanya tinggal dua langgar dhuwur yang terisa, yaitu milik
keluarga A. Charis Zubair di Boharen dan Keluarga Alm. Dalhar
Anwar di Jagalan.

Kemudian disebelah langgar dhuwur, ada rumah yang nampak beda dari rumah rumah
biasanya, ternyata itu adalah Rumah Pesik. Rumah mewah kuno dengan perpaduan arsitektur
khas Jawa dan Eropa ini dikenal dengan nama Rumah Pesik. Tak hanya desain bangunannya
yang unik, tempat ini juga menyimpan koleksi barang bersejarah di dalamnya. Setelah berpuluh-
puluh tahun ditutup untuk umum, kini wisatawan dapat melihat dan berfoto di tiap-tiap sudut
Rumah Pesik. Dari luar, Rumah Pesik ini sudah nampak mencolok dengan tampilan tembok
berwarna hijau terang dengan ornamen khas Jawa dan sentuhan budaya Barat di sepanjang
sisinya. Sebelum dibuka untuk umum, biasanya wisatawan akan berfoto di gang kecil dengan
latar belakang tembok hijau ini. Di tembok depan rumah ini juga tertampang plakat yang berisi
informasi bahwa mantan Presiden Polandia sekaligus penerima Nobel Perdamaian Lech Walesa
pernah menginap di Rumah Persik ini pada 2010 lalu. Sayangnya, aku dan cikta hanya lewat saja
dan melihatnya dari luar jadi tidak bisa melihat koleksi-koleksi barang bersejarah. Ini adalah
tujuan terakhir dari sepeda sejarah kami dan sepeda sejarah kami berakhir dengan makan bubur
di lapangan karang.

Anda mungkin juga menyukai