Anda di halaman 1dari 5

PARADIGMA DAN REPOSISI BIROKRASI

A. Pengertian Paradigma
Indrawijaya dan Pranoto (2011) merumuskan paradigma semacam pandangan dunia, model
atao pola yang dapat diterima, kerangka acuan. Syafiie (2006) memaknai paradigma adalah corak
berfikir seseorang atau sekelompok orang. Kuhn (1970) mengatakan bahwa paradigma merupakan
suatu cara pandang, nilai-nilai, metode-metode prinsip dasar atau cara memecahkan suatu masalah,
yang dianut suatu masyarakat ilmiah pada suatu masa tertentu.
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa paradigma adalah cara memandang akar persoalan
atau substansi utama sebagai suatu fenomena atau gejala sosial yang bisa terlihat sebagai suatu
keberlakuan umum.
Paradigma lama adalah nilai-nilai dominan yang telah berjalan, sedangkan Paradigma baru adalah
cara pandang muktahir yang berisi prinsip-prinsip dasar untuk suatu perubahan. Sebagai contoh
paradigma Weber yang lama tentang birokrasi yang ideal dan modern adalah birokrasi yang
mampu memenuhi kriteria legal rasional, efisien, hirarkis dan bersifat impersonal dalam hubungan
kerjanya. Contoh paradigma baru tentang birokrasi, yaitu adanya elaborasi terhadap paradigma
birokrasi Weberian. Pembaru David Osborne dan Ted Gaebler menyarankan prinsip-prinsip atau
paradigma birokrasi yang berbeda, antara lain :
a. Catalyctic goverment : steering rather than rowing.
Pemerintah sebagai katalis, lebih baik menyetir dari pada mendayung. Pemerintah dan
birokrasinya disarankan untuk melepaskan bidang-bidang atau pekerjaan yang sekiranya sudah
dapat dikerjakan oleh masyarakat sendiri.
b. Community-owned goverment : Empowering rather than serving
Pemerintah adalah milik masyarakat. Pemerintah akan bertindak lebih utama jika memberikan
pemberdayaan kepada masyarakat untuk mengurus masalahnya secara mandiri, dari pada
menjadikan masyarakat tergantung terhadap pemerintah.
c. Competitive goverment : injecting competition into service delivery.
Pemerintahan yang kompetitip adalah pemerintahan yang memasukan semangat kompetisi
dalam birokrasinya. Pemerintah perlu menjadikan birokrasinya saling bersaing, antar bagian
dalam memberikan pendampingan dan penyediaan regulasi dan barang-barang kebutuhan
publik.
B. Mengubur Paradigma Lama
Buruknya birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi Indonesia,
masih banyak pejabat tinggi pemerintah Indonesia yang memamfaatkan posisi mereka untuk
memperkaya diri sendiri dan orang tergekat.
Hasil penelitian political and Economic Risk Consultancy (PERC) beberapa tahun yang lalu,
menempatkan Indonesia sebagai negara dengan tingkan korupsi yang cukup tinggi dan sarat
dengan kronoisme. Riset yang dilakukan oleh PERC cukup mencegangkan kita, sehingga
memunculkan suatu pertanyaan “ada apa di balik semua kejadian di Indonesia terkait dengan
birokrasi ?.
Salah satu penjelasanya menurut Rozi (2006:122) karena masih adanya paradigma lama birokrasi,
birokrasi di Indonesia diperbolehkan dan dibiarkan berpolitik dalam memperoleh kekuasaan
Legislatif dan eksekutif. Selain itu, birokrasi dan partai politik bisa saling memampaatkan posisi
mereka untuk memperkaya diri sendiri dan orang terdekat. Praktik kolusi untuk perkara yang
menyangkut urusan birokrasi dan pengusaha bisa diatur oleh pihak birokrasi dan politisi.
Kolusi dan kronolisme menjadi salah satu ciri lama birokrasi di indonesia yang perlu diubah dan
dikubur dalam-dalam Rozi (20006:124). Selain itu contoh praktik birokrasi yang terlalu hirarkis
terlihat ketika ada kebiasaan kerja bahwa tanpa memperhatikan tingkat urgensi setiap urusan atau
pekerjaan harus menunggu petunjuk, perintah dan persetuan dari atasan. Akibatnya kreativitas,
inisiatif dan sikap kemandirian birokrasi dalam memberikan pelayanan menjadi sangat kurang.
Kualitas pelayanan birokrasi dinilai masyarakat menjadi buruk, lamban dan berbelit-belit. Hal ini
berbeda sekali dengan pelayanan dunia swasta yang memberikan layanan interaktif, kompetitif
yang bersaing. Kalau tidak begitu pihak swasta khawatir akan ditinggalkan oleh para
pelanggannya.
Jika membandingkan kualitas pelayan publik yang diberikan pihak swasta dan pihak
birokrasi pemerintahan seharusnya pihak birokrasi pemerintahan dalam memberikan pelayanan
publik harus jauh lebih baik jika dibandingkan dengan pihak swasta, karena tujuan dari birokrasi
pemerintahan dengan jelas ditegaskan orientasi pelayanan, sedangkan swasta orientasi keuntungan,
yang bisa saja pelayanannya tidak baik, tetapi kenyataannya justru terbalik pihak swasta yang
pelayanannya baik karena kalau tidak demikian para pelangganya bisa jadi meninggalkannya Rozi
(2006:126).
C. Membangun Paradigma Baru
Birokrasi perlu berpolitik atau tidak, merupakan persoalan yang sering dibahas dalam studi
ilmu politik. Untuk kasus Indonesia jika kita menengok kembali pada era orge lama dan era orde
baru, dalam praktiknya birokrasi terlihat dalam kepengurusan dan pemenangan partai politik
pemerintah. Walaupun dalam dua zaman tersebut, sebagaimana kalangan aktor politik, para
ilmuwan politik dan cendekiawanpun ada yang berbeda pandangan. Ada yang menyatakan setuju
(pro) dan ada yang menyatakan menolak (kontra) terhadap peran birokrasi dalam kehidupan
politik.
Mereka yang pro terhadap ide birokrasi boleh berpolitik antara lain mendasarkan diri pada
asumsi bahwa semua orang mempunyai hak untuk memilih dan hak dipilih, sehingga tidak rasional
membatasi peran politik pegawai negeri. Pembatasan seperti ini menurut kubu ini dicarikan
alasannya sebagai tindakan pelanggaran Hak Asasi manusia (HAM). Khususnya soal-soal hak
rakyat, kubu ini juga berpandangan suatu yang mustahil mengisolasi birokrasi dari proses politik
karena sebagai pelaksana kebijakan mereka perlu dilibatkan dalam perumusan kebijakan.
Sedangkan mereka yang kontra , lebih mendasarkan diri pada pertimbangan kenyataan
politik bahwa sangan sulit bagi masyarakat luas yang dilayani dan tidak adil bagi partai politik
lainnya, bila birokrasi boleh dan harus berperan ganda sebagai pegawai pemerintah yang notabene
yang menjadi pelayan masyarakat, sekaligus bertindak sebagai aktor politik. Dampaknya birokrasi
tersebut bisa bertindak diskriminatif dan menyalahgunakan fasilitas, dana dan program untuk
kepentingan poitiknya, mengalahkan kepentingan umum. Kubu ini mengharuskan birokrasi
(pegawai negeri) untuk menjadi aktor politik dengan catatan harus keluar dari status kepegawainnya
atau tetap menjadi birokrat dengan keharusan bertindak netral dari keterlibatannya menjadi
pengurus partai politik.
Charles E. Lindblom mengingatkan bahwa keasyikan birokrasi bermain dalam partai
politik, pada titik tertentu akan menghasilkan birokrasi yang korup, tidak efisien dan anormal.
Bagian penting yang relevan diperhatikan untuk menyusun dan membangun paradigma baru
untuk birokrasi Indonesia ke depan antara lain :
1. Adanya keinginan perlu tumbuhkan kesadaran baru di kalangan PNS dan pejabat struktural
dan fungsional bahwa rakyat banyak yang diwakili di MPR/DPR (Legislatif)lah yang
berkuasa, sedangkan pemerintah dan birokrasi hanya merupakan pelaksana (eksekutif dan
administrator). Birokrasi adalah public servant yang digaji dan dibayai oleh pajak yang
dipungut dari masyarakat.
Konsekuennya pembuatan peraturan pemerintah (PP), instruksi presiden, keputusan menteri
dan yang sejenisnya perlu dibatasi dan tidak boleh bertentangan dengan aspirasi luas
masyarakat, konstitusi desa. UU buatan parlemenlah yang seharusnya banyak diberlakukan.
Petunjuk pelaksana tidak boleh bertentangan dengan UU. Judicial Review perlu diadakan
untuk menguji konsistensi dan inkonsistensi suatu kebijakan.
2. Birokrasi perlu transparan dalam kegiata-kegiatannya dan dalam membuat ketentuan-
ketentuan teknis harus terbuka dan mengikutsertakan wakil-wakil atau kelompok
kepentingan dalam masyarakat, tidak memihak suatu partai politik.
3. Pejabat pemimpin birokrasi perlu “merakyat”, mau turun ke lapangan ke bidang
tanggungjawabnya. Mau melakukan inspeksi mendadak untuk kemudian melakukan
koreksi internal.
4. Keinginan kelompok masyarakat LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) agar segala sesuatu
yang sudah bisa dikerjakan dan diurus oleh masyarakat, biarkan dikerjakan oleh masyarakat
itu sendiri.biarkan asosiasi, lembaga swadaya masyarakat, masyarakat adat, paguyuban,
usaha semi swasta atau koperasi yang menangani.
Perlu ditegakkan prinsip untuk memboarkan anggota masyarakat yang melayani angota
masyarakat yang lain.

Adapun taearan paradigma birokrasi Indinesia di masa depan sebagai berikut :


1. Mengedepankan Etika dan Moral.
Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan , para birokrat sebaiknya dapat
memperlihatkan perilaku yang baik sebagai manusia yang terkait dengan nilai dan norma
moral yang baik.
2. Birokrasi yang Rasional-egaliter.
Perlu ditumbuhkan cara berpikir dan cara kerja yang rasional, yang jika dikatkan dengan
tugas dan tanggung jawab sebagai birokrat, yaitu dengan berpikir dan bekerja dengan
menggunakan rasio (nalar sehat) bukan dengan emosi dan tahayul, proaktif dengan memiliki
kreativitas mandiri tidak dengan kebiasaan meminta petunjuk dari atasan, mencari inovasi-
inovasi yang praktis terkait dengan pelayanan publik.
3. Birokrasi dalam bertindak perlu mengedepankan profesional.
Birokrasi dalam menjalankan tugas kepemerintahannya harus sadar bahwa tugas utamanya
melayani masyarakat, bukan masyarakat yang melayani birokrat.
4. Birokrasi yang ProPartisipan-outonomus bukan komando hirarkis.
Birokrasi Indonesia di masa akan datang perlu mendukung dan melakukan peran
pemberdayaan danmemerdekakan masyarakat untuk berkarya, berkreativitas, dan turu
berpartisipasi.
5. Birokrasi yang transparan dalam rekrutmen calon PNS (Pegawai Negeri Sipil).
6. Birikrasi dengan prinsip netralitas politik.

D. Reposisi Birokrasi di Indonesia


Rozi (2006) mendefinisikan bahwa reposisi adalah bergantinya posisi lama suatu institusi ke
posisinya yang baru. Posisi lama birokrasi Orde Baru adalah menjadi bagian atau pendukung dari
Golkar sebagau mesin politik untuk memenangkannya di setiap pemilihan umum. Reposisi yang
ditawarkan untuk birokrasi di Indonesia, menurut Rozi (2006:147) adalah birokrasi ada di posisi
netralitas politik birokrasi. Indikator reposisi itu tercapai bila birokrasi tidal lagi dikeluhkan oleh
masyarakat karena bertindak diskriminatif atau masih menjadi pengurus, menyalahgunakan
fasilitas, dana, program atau terang-terangan menjadi pendukung aktif partai politik tertentu peserta
pemilu, di waktu yang akan datang. Terkait dengan pemahanan reposisi birokrasi tersebut penulis
beranggapan bahwa sebaiknaya birokrasi berada dipersimpangan politik birokrasi, tidak memihak
pada salah satu kekuatan politik.

Anda mungkin juga menyukai