Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH PERBANDINGAN MADZHAB

SEPUTAR KADAR AIR


Diajukan sebagai Tugas Mata Kuliah Fiqih Muqarin

Dosen Pengampu :
Muhammad Idzhar, Lc., M.H.
Disusun Oleh
Kelompok 1 (HTN 2)
NAMA NIM
1. SOFIATUN HASANAH : 22216090
2. UMMAR AHMAD SYAHID : 2221609091
3. FAHRUL : 2221609068

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS
SAMARINDA
TAHUN 2023
PRAKATA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat
dan hidayah-Nya kepada kami, baik dalam kesempatan maupun kesehatan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah Perbandingan Mazhab Seputar Kadar Air dalam
Bersuci yang diberikan oleh bapak Muhammad Idzhar, Lc., M.H. selaku dosen
pengampu mata kuliah Fiqih Muqarin.

Shalawat serta salam tak lupa kita curahkan kepada junjungan kita yaitu Nabi
Muhammad SAW beserta para sahabat dan pengikut beliau hingga akhir zaman.
Makalah yang bertemakan “Perbandingan Mazhab Seputar Kadar Air dalam
Bersuci” ini disusun sebagai tugas mata kuliah Fiqih Muqarin. Makalah ini disusun
guna mengetahui tentang Perbandingan Mazhab Seputar Kadar air dalam Bersuci.

Kami dari penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam menyusun makalah ini. Penulisan makalah ini masih belum
sempurna, baik dari segi bahasa maupun dari segi penyusunannya. Oleh sebab itu,
kami meminta maaf dan menerima kritik dan saran yang diberikan oleh para
pembaca. Akhir kata, semoga kehadiran makalah ini dapat memberikan manfaat
kepada para pembaca.

Samarinda, 13 Septembe 2023

Kelompok I

2
3
DAFTAR ISI

PRAKATA ...............................................................................................................ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ..............................................................................................1


B. Rumusan Masalah .........................................................................................1
C. Tujuan ...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Wudhu .........................................................................................3


B. Perintah Wudhu .............................................................................................4
C. Rukun-Rukun Wudhu ...................................................................................5
D. Syarat-Syarat Wudhu ....................................................................................6
E. Sunnah-Sunnah Wudhu .................................................................................7
F. Hal yang Membatalkan Wudhu ....................................................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................................................11
B. Saran ..............................................................................................................11

DAFTAR PUSTAKA

4
5
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Status air, terutama dalam kaitannya dengan ibadah, wajib dipahami dengan
baik. Terdapat ragam perbedaan pendapat (ikhtilaf) di antara ulama mazhab,
termasuk di dalamnya mazhab Syafi‘i, yang notabene mazhab yang dianut mayoritas
kaum muslimin di Indonesia.

Memahami keragaman pendapat ulama ini menjadi syarat penting, dalam


rangka murâ‘ât al-khilâf (menjaga perbedaan pendapat), agar jawaban suatu kasus
dapat dirumuskan dengan lebih relevan dan cocok diterapkan (implementatif).

Demikian juga ragam pendapat ini penting dipahami masyarakat umum agar
dapat dijadikan panduan, digunakan sesuai kondisi dan situasi masing-masing orang.
Hal ini karena boleh mengikuti pendapat yang lemah (al-‘amal bi-al-marjȗh) atau
pendapat ulama yang tidak lebih utama (taqlîd al-mafdhûl).

Pada bagian ini akan dikemukakan ragam perbedaan pendapat dalam mazhab
Syafi‘i mengenai bidang thaharah (bersuci), secara spesifik tentang status air, agar
dapat digunakan sebagai panduan dalam beribadah.

B. Rumusan Masalah
Berikut adalah rumusan masalah yang kami dapatkan berdasarkan tema,
antara lain:

1. Apakah macam-macam air untuk bersuci ?


2. Apa saja pembagian air untuk bersuci ?
3. Apa saja perbandingan mazhab seputar kadar air dalam bersuci?

1
C. Tujuan
Adapun tujuan dibuatnya rumusan masalah di atas, antara lain:

1. Untuk mengetahui macam-macam air untuk bersuci.


2. Untuk mengetahui apa saja pembagian air untuk bersuci.
3. Untuk mengetahui apa saja perbandingan mazhab seputar kadar air dalam
bersuci.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Macam-macam Air untuk Bersuci


Thoharah merupakan bersuci yakni membersihkan diri dari najis maupun
kotoran yang merupakan salah satu bagian terpenting saat hendak melakukan ibadah.
Adapun macam-macam air diantaranya sebagai berikut:
1. Air Hujan
Air hujan merupakan air yang turun Allah SWT dari langit, melalui malaikat
mikail untuk menyegarkan dan membasahi bumi. Air hujan ini bersifat suci
mensucikan, sehingga sah digunakan sebagai mandi, berwudhu dan lain
sebagainya.

Meskipun di zaman sekarang air hujan banyak mengandung air asam yang
tinggi akan tetapi hukumnya tetap tidak berubah. Sebagaimana dalam Al-Qur’an:

‫َوه َُو الَّ ِذي َأرْ َس َل ال ِّريَا َح بُ ْشرًا بَ ْينَ يَ َديْ َرحْ َمتِ ِه َوَأ ْنز َْلنَا ِمنَ ال َّس َما ِء َما ًء طَهُورًا‬

Artinya: “Dia lah yang meniupkan angin pembawa kabar gembira dekat sebelum
kedatangan rahmat-nya ; dan Kami turunkan dari langit air yang amat bersih.” (QS.
Al-Furqan : 48).

2. Air Laut atau Air Asin

3
Air laut atau air asin merupakan air yang suci lagi mensucikan yang dapat
digunakan untuk berwudhu, mandi, membersihkan diri dari najis atau kotoran dan
lain sebagainya. Sebagaimana dalam sebuah hadits dikatakan:

ِ‫ َسَأ َل َر ُج ٌل َرسُوْ َل هللا‬: ‫ال‬ ِ ‫ َع ِن َأبِي هُ َر ْي َرةَ َر‬s ‫ يَا َرسُوْ َل هللاِ ِإنَّا نَرْ َكبُ البَحْ َر َونَحْ ِم ُل َم َعنَا‬: ‫ال‬
َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬ َ َ‫فَق‬
‫ هُ َو الطَّهُوْ ُر‬: ‫ضُأ ب ِما َ ِء البَحْ ِر ؟ فَقَا َل َرسُوْ َل هللاِ صلى هللا عليه وسلم‬ ِ ‫ضْأنَا بِ ِه ع‬
َّ ‫َط ْشنَا َأفَنَتَ َو‬ َّ ‫القَلِ ْي َل ِمنَ ال َما ِء فَِإ ْن تَ َو‬
‫َماُؤ هُ ال ِحلُّ َم ْيتَتُهُ رواه الخمسة‬

Artinya: Dari Abi Hurairah ra bahwa ada seorang bertanya kepada


Rasulullah SAW,”Ya Rasulullah, kami mengaruhi lautan dan hanya membawa
sedikit air. Kalau kami gunakan untuk berwudhu, pastilah kami kehausan.
Bolehkah kami berwudhu dengan air laut ?”. Rasulullah SAW menjawab,”(Laut)
itu suci airnya dan halal bangkainya.” (HR. Abu Daud 83, At-Tirmizi 79, Ibnu
Majah 386, An-Nasai 59, Malik 1/22).

3. Air Sungai
Air sungai dianggap sama karakternya dengan air sumur maupun mata air.
Seiring berkembangnya zaman air sungai sudah banyak terkena pencemaran,
meskipun tidak najis tetapi dapat membahayakan bagi kesehatan. Oleh karena itu
tidak semua air sungai ya dapat membersihkan atau mensucikan, pilihlah air
sungai yang benar – benar bersih. Namun tetap pada dasarnya air sungai adalah air
suci yang mensucikan.

4. Air Sumur

Air sumur merupakan air yang suci lagi mensucikan. Karena air sumur terjaga
dan muncul dari dasar tanah. Sebagaimana dalam sebuah hadits dikatakan:

4
َ ُ‫ضُأ ِم ْن بِْئ ِر ب‬
‫ضا َعةَ َو ِه َي بِْئ ٌر ي ُْلقَى فِيهَا ْال ِحيَضُ َولُحُو ُم‬ َّ ‫ يَا َرسُو َل هَّللا ِ َأتَتَ َو‬: ‫ قِي َل‬: ‫ي قَا َل‬
ِّ ‫ع َْن َأبِي َس ِعي ٍد ْال ُخ ْد ِر‬
ِ ‫ ْال ِكال‬s : ُّ‫ َر َواهُ َأحْ َم َد َوَأبُو دَا ُود َوالتِّرْ ِم ِذي‬. ‫ْال َما ُء طَهُو ٌر الَ يُنَ ِّج ُسهُ َش ْي ٌء‬
ِ ‫ب َوالنَّ ْتنُ ؟ فَقَا َل َرسُو ُل هَّللا‬

Artinya: “Dari Abi Said Al-Khudhri ra berkata bahwa seorang bertanya,`Ya


Rasulullah, Apakah kami boleh berwudhu’ dari sumur Budho’ah?, padahal sumur itu
yang digunakan oleh wanita yang haidh, dibuang ke dalamnya daging anjing dan
benda yang busuk. Rasulullah SAW menjawab,’Air itu suci dan tidak dinajiskan oleh
sesuatu.” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi).

5. Air Telaga
Air telaga merupakan air yang sifatnya suci dan juga mensucikan. Air telaga
ini sama dengan air danau yang dapat digunakan untuk berwudhu, mandi,
membersihkan najis dan lain sebagainya.

6. Air Es atau Salju


Air salju sama dengan air hujan, hanya saja air salju berupa butiran butiran air
yang keras dan dingin seperti air es. Air salju ini biasanya ada di bagian kutub
utara dan antartika (bukan kutub) yang sifatnya adalah suci dan mensucikan.

7. Air Embun
Air embun merupakan air yang ada pada dedaunan di pagi hari, atau
rerumputan di pagi hari. Hukum dari air embun ini adalah suci dan mesucikan,
sehingga dapat digunakan untuk berwudhu, mandi dan lain sebagainya.

B. Pembagian Air untuk Bersuci dalam Fiqh


Ada beberapa pembagian air dalam ilmu fiqih, diantaranya adalah sebagai berikut:

5
1. Air Mutlak ( suci mensucikan)
Air mutlak atau air suci mensucikan merupakan air yang masih murni dan
dapat digunakan untuk bersuci tanpa adanya qayid atau ikatan yang tetap. Air ini
dapat digunakan untuk berwudhu, menyuci dan lain sebagainya.

2. Air Musyamas
Air musyammas merupakan air yang dipanaskan oleh sinar matahari.
Biasanya wadah yang digunakan terbuat dari logam selain emas dan perak
seperti besi maupun tembaga. Air musyammas ini makruh hukumnya jika
digunakan untuk berwudhu, mandi dan sebagainya, namun dibolehkan jika
untuk mencuci pakaian.
3. Air Suci Tidak Mensucikan
Air suci tidak menyucikan ini terbagi menjadi dua bagian yakni air
musta’mal dan air mutaghayar. Air musta’mal adalah air yang telah digunakan
untuk bersuci yakni untuk menghilangkan hadats (wudhu dan mandi).
Sedangkan air mutaghayar adalah air yang telah mengalami perubahan dan
salah satu sifatnya telah mengalami percampuran dengan barang suci lainnya
sehingga hilang kemutlakannya, sehingga air ini tidak dapat digunakan untuk
bersuci. Contohnya adalah air susu, air teh, air kelapa dan sebagainya.
4. Air Mus’tamal
Air musta’mal merupakan air yang sedikit namun sudah digunakan
untuk bersuci, sehingga sudah tidak bisa lagi digunakan untuk bersuci. Dapat
dikatakan air musta’mal juga apabila air yang sedang kita pakai untuk bersuci
lalu air cucurannya jatuh pada suatu bejana yang tidak sampai dua kullah,
maka air tersebut termasuk air musta’mal.
5. Air Mutanajis

6
Air mutanajis adalah air yang terkena najis yang jumlahnya tidak
sampai dua kullah. Namun jika air tersebut sampai hingga dua kullah maka
masih boleh menggunakannya selama rasa, bau dan warnanya tidak berubah.

C. Perbandingan Mazhab Seputar Kadar Air dalam Bersuci

Dari segi sah tidaknya untuk bersuci, air terbagi menjadi tiga bagian: air suci
mensucikan (thahur), air suci tidak mensucikan (thahir ghairu thahur), dan air najis
(mutanajjis).Danuntuk masing-masing bagian dari tiga bagian tersebut ada
pembahasan tersendiri.

1. Air Suci Mensucikan


Air suci mensucikan (thahur) adalah semua air yang turun dari langit atau
yang bersumber dari dalam tanah. Di mana salah satu dari tiga sifatnya tidak ada
yang berubatr, yaitu: warna, rasa, dan aroma, baik disebabkan oleh sesuatu dan
lain hal yang menghilangkan kesucian air tersebut dan juga bukan air bekas.23
Nanti juga akan kami bahas hal-hal apa saja yang menghilangkan kesucian air dan
hal apa saja yang mewajibkan Pengunaannya.

2. Perbedaan Air Suci Mensucikan dengan Air Suci


Perbedaan antara air suci mensucikan dengan air suci (thahir) adalah bahwa
air suci mensucikan dapat digunakan untuk melakukan ibadah dan amal
keseharian. Dengan air ini, wudhu dapat dilakukan, mandi wajib juga dapat
dilakukan. Sebagaimana bolehnya air tersebut digunakan untuk membersihkan
najis dan kotoran, baik yang melekat pada tubuh, pakaian maupun kotoran lain.
Lain halnya dengan air suci saja, tidak dapat digunakan dalam ibadah, seperti
wudhu, mandi wajib, atau semacarnnya. Sebagaimana pula tidak dapat digunakan
untuk membersihkan najis maupun kotoran Penggunaannya dibolehkan hanya

7
pada hal-hal keseharian saja, seperti untuk minum, mandi, cuci pakaian, perkakas,
dan sebagainya.

3. Hukum Air dan Mensucikan


Mengenai hukum air suci dan mensucikan ini ada dua bagian:Pertama,
mengenai dampak yang timbul secara syar'i dari penggunaan air tersebut. Bahwa
air suci mensucikan ini dapat menghilangkan hadats kecil dan hadats besar. Jadi
sah berwudhu maupun mandi wajib dengan air ini.

4. Kapan Air Kesucian Tetap Terjaga?


Ada kalanya air mengalami perubahan, baik warna, rasa, hingga baunya,
namun tetap suci dan dapat digunakan untuk keperluan ibadah, seperti whudhu dan
mandi, asalkan hal itu tidak sampai menimbulkan bahaya atau penyakit. Kalau
sampai anggota tubuh menjadi sakit disebabkan penggunaan air tersebut, tentu
dalam keadaan seperti ini ia tidak dibolehkan penggunaannya, baik untuk wudhu
atau mandi, dan semacanmya. Karena, di daerah-daerah tertentu yang terpencil
semisal gurun sahara yang airnya secara umum telah berubah, maka syariat
membolehkan mereka menggunakannya sepanjang tidak ada air lairy dan mereka
sanggup menjaga diri dari pengaruh buruk air tersebut

5. Air Suci Tidak Mensucikan


Air suci tidak mensucikan ada tiga macam:
Pertama; Air suci mensucikan yang tercampur dengan sesuafu yang bersih. Misalnya,
air suci mensucikan tercampur dengan sari bunga mawar, atau air adonan dan
semacarnnya, maka hal itu menghilangkan kadar suci mensucikannya dan hanya
menjadi air suci atau air bersih saja.

8
Bentuk kedua; Hendaknya benda cair yang mencamPuri air suci mensucikan itu
berbeda dalam semua sifatnya, yaitu; warna, rasa, dan bau. Seperti cuka, misalnya, ia
punya warna, rasa, dan bau yang berbeda. Sekiranya air cuka jatuh ke dalam suatu
tempat air murni, di mana rasa, bau, dan warnanya, menjadi seperti cuka, maka air
tersebut adalah suci namun tidak mensucikan. Tidak boleh menggunakannya untuk
ibadah.

Ketiga; Hendaknya air itu berubah dikarenakan aspal atau yang semacamnya. Tetapi,
kesuciannya hilang apabila rasa dan warnanya berubah. Adapun kalau yang berubah
hanya baunya saja, maka ia tetap air suci lagi mensucikan (thahur). Perubahan yang
ada tidak berpengaruh apa-apa.

6. Hukum Air Suci dari Najis


Telah kami sebutkan sebelumnya mengenai hukum air suci mensucikan serta
berbagai hal yang terkait. Kali ini secara lebih detil akan kami urai penjelasan
mengenai air suci tidak mensucikan (air bersih) serta air najis. Air suci tidak
mensucikan tidak berlaku untuk digunakan dalam beribadah, berwudhu, mandi
junub, dan sejenisnya. Sebagaimana pula tidak sah untuk menghilangkan najis dari
badary pakaian ataupun tempat apa pun. Jadi, air ini tidak bisa menghapus hadats
maupun kotoran atau najis.32 Sementara air najis sendiri tidak boleh digunakan
dalam hal ibadah maupun untuk keperluan sehari-hari. Sebagaimana air tersebut
tidak boleh digunakan untuk berwudhu ataupun mandi junub. Demikian pula air
tersebut tidak boleh digunakan untuk memasak maupun membuat adonan
makanan dan semacamnya.

9
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Kebersihan yang sempurna menurut syara’ disebut thaharah, merupakan
masalah yang sangat penting dalam beragama dan menjadi pangkal dalam beribadah
yang menghantarkan manusia berhubungan dengan Allah SWT. Tidak ada cara
bersuci yang lebih baik dari pada cara yang dilakukan oleh syarit Islam, karena
syariat Islam menganjurkan manusia mandi dan berwudlu. Walaupun manusia masih
dalam keadaan bersih, tapi ketika hendak melaksanakan sholat dan ibadah-ibadah
lainnya yang mengharuskan berwudlu, begitu juga dia harus pula membuang kotoran
pada diri dan tempat ibadahnya dan mensucikannya karena kotoran itu sangat
menjijikkan bagi manusia

B. Saran
Dalam makalah ini tentunya masih banyak kekurangan, maka dari itu kami
mengharapkan kritikan dan saran yang sifatnya membangun dari Bapak/Ibu dosen
yang membawakan mata kuliah ini juga pendapat serta tambahan dari teman-
teman sekalian.

10
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar. Buku Riasalah fi Al-Fiqh Al-Muyassar Cet. I


(riyadh: Madar Al-Wathoni Lin Nasyr, tt), hal. 19.
Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqulani, Fathul Baari Syarah Shahih Al-Bukhari,
Cet I (Jakarta Selatan, Pustaka Azam, 2001), hal. 306.
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqih Thaharoh, Jl. Cipinang Muara Raya No. 63 (Jakarta
Timur: Pustaka Al-Kautsar), 2004, hal. 200-203.
Drs. H. Ibnu Mas'ud, Drs. H. Zainal Abidin S. Fiqih Madzhab Imam
Syafi'i (Bandung), 2007, hal. 56.
Ibrahim Muhammad Al-Jamal. Fiqih Muslimah (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hal.
14-16.
Muhammad Ajib, Lc., MA, Fiqih Wudhu Versi Madzhab Syafi’iy (Jakarta), 2019, hal.
16-33.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin, An-Nihayah fi Gharib Al-Hadits wa Al-
Atsar, Cet. 5 (Mesir: Jannatul Afkar, 2008), hal. 428.

11

Anda mungkin juga menyukai