Anda di halaman 1dari 12

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329443571

HAKIKAT ILMU DALA M PERSPEKTIF AL-GHAZALI

Article · December 2018

CITATIONS READS

0 988

1 author:

Yusliadi Yusliadi
STAIN pamekasan
3 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Yusliadi Yusliadi on 06 December 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


HAKIKAT ILMU DALA M PERSPEKTIF
AL-GHAZALI
Yusliyadi
Yusliyadi@gmail.com

Abstrak :
Dalam dekade terakhir ini, usaha pengkajian dan pengembangan ilmu
pengatahuan dari waktu kewaktu semakin bertambah meningkat, terutama karena
adanya kaitan dengan kecendrungan yang semakin tumbuh terhadap pemahaman
dan penafsiran ajaran Islam secara rasional. Selain itu juga karena adanya
keinginan untuk lebih memperkenalkan khazanah intlektual dan spiritual para
cendikiawan muslim masa lampau sebagai suatu sisi lain dari pusaka budaya yang
mereka wariskan. Salah satu diantaranya adalah Imam Al-Ghazali yang dikenal
dengan gelar hujjatul islam, seorang ulama dan pemikir besar dalam dunia islam
yang sangat produktif dalam menulis. Kitab-kitab yang ditulis Al-Ghazali
meliputi berbagai bidang ilmu pada zaman itu, seperti Al-Quran, Akidah, ilmu
kalam, ushul fikh, tasawwuf, mantiq, falsafah, kebatinan (Batiniyah) dan lain-lain.
Adapun karya yang sangat menumental dan sekaligus membuatnya sangat
dominan pengaruhnya dalam pemikiran ummat adalah Tahafut Al-Falsafah, Ihya’
ulumu ad-Din dan al-Munqidz mina’ Dh-Dhalal.
Al-Ghazali adalah seorang pemikir besar dalam sejarah pemikiran islam,
beliau adalah seorang ahli hukum fikh, filosof dan sufi, dalam pemikiran Al-
Ghazali mengakui fase-fase yaitu fase sebelum uzlah, masa uzlah dan sesudah
uzlah. Usaha Al-Ghazali dengan sifat kritis beliau berusaha untuk mencari
pengatahuan dan kebenaran hakiki termasuk mencari hakikat ilmu. Oleh karena
dia memutuska untuk mencari kebenaran yang pasti dimana obyek yang diketahui
dalam suatu cara tertentu yang sama sekali tidak memberikan peluang bagi
masuknya keraguan, oleh karena itu beliau membagi ilmu menjadi dua. Ilmu
sebagai proses dan ilmu sebagai produk.
Al-Ghazali adalah penegak tasawuf baru yang mengkompromikannya
dengan fiqih dan teologi. Ketiga bidang itu sebelumnya merupakan bidang-bidang
yang tidak pernah bisa bertemu, bahkan dipandang saling bertentangan satu sama
lain.
Kata kunci : Ilmu, Al-Ghazali.
A. Pendahuluan
Ilmu merupakan hal penting dalam islam. Ia merupakan kebutuhan utama
bagi manusia dalam mengemban peran sebagai kholifah di muka bumi ini, tanpa
ilmu musthail seorang manusia mampu melangsungkan kehidupan sehari-hari
didunia ini dengan baik. Al-Ghazali berpendapat bahwa untuk mendapat
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, seseorang itu hendaklah mempunyai ilmu
dan kemudian wajib untuk diamalkan dengan baik dan ikhlas. Keutamaan ilmu
tersebut sebenarnya adalah peluang manusia untuk mendapatkan drajat yang lebih
baik, dengan dapat menzahirkan existensi manusia itu sendiri.
Sedangkan pada hakekatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan
suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetehuan, karena sebelumnya manusia
lebih banyak berfikir menurut gagasan-gagasan magis dan mitologis yang bersifat
gaib dan tidak rasional. Dengan cetusan revolusi ilmiah itulah manusia pun mulai
sadar bahwa dunia ini dengan segala fenomena-fenomena hidup dan kehidupan di
dalamnya merupakan kenyataan-kenyataan obyektif yang dapat diamati dan di
geluti secara sistematis dan rasional. Sejak abad ke-17, ilmu pengetahuan empiris
berkembang dengan pesat, namun perkembangan itu juga membawa dampak
negatif, yaitu dengan mundurnya refleksi filosofis ilmu. Metode ilmu eksekta
seringkali diterapkan secara tidak relevan pada bidang penyelidikan yang
sebenarnya memerlukan metode yang khas. Akhirnya alternatife dalam
metodologi untuk mengimbangi pendekatan timpang emperistis-positivistis yang
cenderung luput menangkap dimensi penghayatan manusia. Dalam kenyataannya
makin banyak manusia, semakin banyak pula pertanyaan dan problematka
keilmuan yang menyelimutinya. Manusia ingin mengetahui darimana dan
bagaimana proses munculnya ilmu pengetahuan asal mula akunya sendiri, perihal
nasibnya, perihal kebebasannya serta kemungkinan-kemungkinan. Orangpun
semakin tidak puas dengan ilmu yang ada dan mereka terus mencari apakah
hakikat ilmu itu, untuk apa dan bagaimana orang agar sampai kepada ilmu. Hal
inilah yang melatar belakangi munculnya filsafat sains yang bidang kajiannya
tentu saja berbeda dengan kajian filsafat secara umum. Dengan argumen-argumen
di atas manusiapun menyadari bahwa sains modern bukanlah satu-satunya pilihan
mencari jawaban dari setiap pertanyaan keilmuan yang muncul. Dengan
paradigma yang berbeda dapat diciptakan sains yang berbeda yang mungkin lebih
membahagiakan manusia. Sejarah sains juga telah membuktikan dalam peradaban
Mesir, Cina dan Islam sendiri pernah ada suatu sistem pengetahuan yang mampu
memenuhi kebutuhan manusia-fisik, mental, dan spiritual dengan bersandar pada
paradigma yang diyakini kebenarannya yang telah terbukti keabsahannya.1 Maka
di mulailah gerakan pencarian alternatif-alternatif hakikat ilmu itu.

B. Al-Ghazali dan Latar Belakang Kehidupannya


Nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, lahir pada tahun
1059 di Ghazaleh suatu kota kecil yang terletak di dekat arus khurasan. Di masa
mudanya ia belajar di Nisyapur kemudian ke khurasan yang pada waktu itu
merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia
kemudian menjadi murid imam al-Haramain al-Juwaini Guru besar pada
Madrasah al-Nizamain Nisyapur.2
Al-Ghazali adalah keluarga pemintal benang Wol (Ghazali Shuf). Pada masa
kanak-kanak beliau belajar fiqh di Tus pada Imam Al-Razkani, kemudian beliau
pindah untuk belajar teologi, logika dan filsafat di Naisabur. Ia kemudian
memperdalam ilmunya pada Madrasah Nizamiyyat di Bagdad di bawah
bimbingan Imam Haramain. Pada Madrasah ini al-Ghazali mengkaji berbagai
ilmu pengetahuan. Ia kemudian di angkat sebagai pemimpin Madrasah tersebut
setelah Gurunya meninggal dunia dan tetap di sana selama empat tahun.3 Ayahnya
juga seorang sufi yang sangat wara’ dan meninggal ketika al-Ghazali berusia
muda. Sebelum meninggal ia menitipkan al-Ghazali kepada sufi lain untuk
memperoleh bimbingan. Untuk menambah pengalamannya al-Ghazali
meninggalkan jabatannya sebagai Guru dan mengembara ke Siria, Mesir dan
Mekkah, tetapi akhirnya kembali ke Naisapur selanjutnya ke Tus tempat
kelahirannya. Di sanalah ia meninggal pada tanggal 14 jumadil Akhir pada tahun
505 H./9 januari 1111 M.4 Sebelum wafat yakni ketika beliau berada di Bagdad, ia
selain mengajar juga memberikan bantahan-bantahan terhadap pikiran-pikiran
golongan Bathiniyah, kaum Islamiyah dan para filosof. Pada saat itu \pulalah al-
Ghazali senantiasa di bayangi oleh keraguan-keraguan terhadap apa yang pernah
di ikhtiarkan sehingga ia pun mengidap penyakit yang tidak bisa diobati, ia
kemudiann meninggalkan pekerjaanya dan berangkat ke Damsyik. Di kota inilah
1
Mahdi Ghulsyani, The holy Qur’an and the Science of Nature, diterjemahkan Agus Efendi
dengan judul : Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, (Bandung : Mizan, 1991), 21.
2
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1978), 41.
3
Mahmud Qasim, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, (Qairo : Dar al-Ma’rif, 1997), 38.
4
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), 97-98.
ia memperoleh inspirasi dan membuka jalan baginya untuk memilih jalan ber-
uzlah sebagai cara terbaik dalam menapaki kehidupan ini.5 Melalui jalan uzlah
inilah al-Ghazali akhirnya memperoleh berkas cahaya dari Tuhan yang
menentramkan jiwanya. Dia menemukan jalan hidup yang ia yakini dan
dirasakannya penuh dengan kedamaian, yakni tasawuf. Al-Ghazali tidak lagi
mengandalkan akal semata-mata, tetapi di samping tetap menghargai akal sebagai
karunia Tuhan juga ada berupa nur yang dilimpahkan kepada hambanya yang
bersungguh-sungguh mencari kebenaran. Bagi al-Ghazali akal kadang kala
menyeret seseorang kepada pemahaman yang menyesatkan apabila tidak di
landasi iman yang kokoh.6 Al-Ghazali kian hari semakin tekun beribadah dan
berupaya untuk tidak terpengaruh dengan berbagai kesenangan duniawi dan
segala tanda-tanda kebesaran. Ia bertahan dalam hidup dan dalam suasana yang
serba kekurangan, larut dalam hidup kerohanian dan senantiasa mengutamakan
kepentingan ukhrawi. Dialah orang pertama dalam filsafat sufistik dan tokoh
pembesar pembela Aqidah Islam. Setelah berkhalawat di tanah suci dan
memperoleh apa yang dia cari ia berusaha untuk menyumbangkan segenap tenaga
dan pikirannya membela agamanya dari paham-paham sesat.7
C. Hakikat Ilmu
Mengenai hakikat ilmu secara mutlak (tidak dikaitkan dengan objek atau
disiplin ilmu tertentu), para ulama islam atau para pakar berbeda pandangan
apakah ia merupakan sesuatu yang daruri, (a priori), yang dapat dikonsepsi
sifatnya begitu saja sehingga tidak memerlukan definisi, atau nazari (infrensial),
tetapi sulit mendefinisikannya, melainkan hanya bisa lebih jelas dikonsepsi
dengan analisis/klasifikasi dan contoh, atau nazari yang tidak sulit didefinisikan.8
Jumhur ulama (Bayaniyyun) mengakui sulitnya pendefinesian ilmu, sebab
ternyata dikalangan mereka sendiri bermunculan aneka definisi dan masing-
masing hanya membenarkan definisinya sendiri. Definisi-definisi terkuat adalah
sebagai berikut.

5
Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : CV. Rosda Karya Karya, 1988), 166.
6
Yunasril Ali, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), 68.
7
Endang Daruni Asdi & A. Husnan Aksa, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar, (Yogyakarta :Karya
Kencana, Cet. I, 1981), 18.
8
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung : CV.
Pustaka Setia, 2007), 89.
1. Definisi Ibnu Rusyd (520-595 H/ 1126-1198 M) :
.‫أن العلم اليقيىن هو معرفة الشيئ على ماهو عليه‬

Artinya : Sesungguhnya ilmu yaqini adalah mengetahui sesuatu


9
sebagaimana realitasnya sendiri.
2. Definisi Ibnu Hazm (384-456 H/ 924-1064 M)
.‫العلم هو تيقن الشيئ على ماهو عليه‬

Artinya : Ilmu adalah meyakini sesuatu sebagaimana ralitasnya sendiri.10


3. Definisi Juwaini (419-478 H) dan Baqilani (keduanya dari Asy’ariyah), dan
Abu Ya’la (dari Hanabilah) sebagai berikut :
.‫العلم معرفة العلوم على ماهو به‬

Artinya : Ilmu adalah mengatahui objek ilmu sesuai realitasnya.11


4. Definisi Mu’tazilah :
.) ‫هو إعتقاد الشيئ على ما هو به مع توطني النفس اىل املعتقد ( إذا وقع ضرورة أو نظر‬

Artinya : Ilmu adalah mengitikadkan (mempercayai) sesuatu sesuai dengan


kenyataannya disertai ketenangan dan ketetapan jiwa padanya (bila ia
muncul secara daruri atau nazari).
Seperti dirumuskan Abd. Al-Jabbar bahwa Ilmu adalah :
.‫ما يقتضى سكون النفس وثلج الصدر وطماءنينة القلب‬

Artinya : Apa yang menghasilkan ketenangan jiwa, kesejukan dada, dan


ketentraman hati.12
5. Definisi para filosof kuno :
،‫ أونطباع صورته ىف الذهن سواء كان الشيء كلياأم جزئيا‬،‫انء نه حصول صورة الشيئ لدى العقل‬

.‫موجودا أومعلوما‬

Artinya : Ilmu adalah terhasilkannya gambar sesuatu pada akal, sama saja
apakah sesuatu itu merupakan universal atau partikuler, baik ada maupun
tiada.13

9
Ibnu Rusyd, Tahafut al-Tahafut, (Bairut : Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993), 296.
10
Ibn Hazm, Ali Ibn Ahmad, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam,(Bairut:Dar Al-Kutub al-Ilmiyah,jld.I), 38.
11
Al-Juwaini, Al-Irsyad, (Mesir : Matba’ah al-Madani, 1983), 12-13.
12
Ibid., 14.
6. Definisi Asy-Syaukani (w. 1255 H), dari family Zaidi yang didukung Qannuji,
sebagai berikut :
.‫العلم صفة ينكشف هبا املطلوب انكسافا اتما‬

Artinya : Ilmu adalah sifat yang dengannya apa yang dicari terbuka secara
sempurna.
7. Sedangkan Eko Ariwidodo (Dosen tetap mata kuliah ilmu logika, filsafat ilmu,
dan hermeneutika di TBI IAIN Madura), berasumsi bahwa ilmu atau sains itu
hanya berurusan semata-mata dengan fakta tidak mendapat dukungan dari
praktek sains itu sendiri.14
Dari beberapa pandangan tentang pengertian ilmu diatas Al-Ghazali
berpendapat bahwa makna lebih penting ketimbang lafazh, oleh karena itu Al-
Ghazali menguraikan tiga definisi tentang ilmu tersebut, yaitu definisi esensial
(haqiqi), definisi formal-differensial (rasmi), dan definisi redaksional-eksplanatif
(lafzi). Karena fungsi dan tujuan difenisi adalah memperjelas apa yang belum
jelas, ia hanya diperlukan untuk mengonsepsi sesuatu yang tidak dapat dikonsepsi
secara a priori seperti satuan makna simple. Ia tidak menegaskan apakah
pengonsepsian hakikat ilmu itu a priori atau inferensial, tetapi ditegaskannya
bahwa hakikat ilmu sulit didefinisikan secara hakiki, baik karena esensi, fungsi
dan persyaratan definisi sendiri, maupun karena pendifenisian hakikat ilmu selalu
terkait dengan konsep ontologis pembuatnnya. Dan bagi Al-Ghazali, ilmu secara
subtansial hanya satu tidak ada pemisahan pada ilmu lahir dan ilmu batin, kecuali
dari segi objeknya.15
Karena itu, menurutnya dan menurut Al-Juwaini, pengonsepsian hakikat
ilmu lebih mudah dengan analisis/klasifikasi untuk memproleh makna formal, dan
dengan contoh untuk memproleh makna esensial. Dengan analisis ilmu berbeda
dengan iradah (kehendak), qudrah (kemampuan) dan sifat jiwa lain, Dan berbeda
dengan I’tiqad (presuposisi), zann (dugaan kuat), syak (skeptik), jahl (ketidak
tahuan) dan apa yang diperoleh bukan dengan pembuktian dan berawal dari
skeptik. Jika ilmu dengan syak dan zann karena pada dua yang terakhir tidak dapat

13
Ja’far Al-Sahbani, Nazariyyat al-Ma’rifah (Bairut : al-Dar Al-Islamiyah, 1990), 20.
14
Eko Ariwidodo, Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika, ejournal
http://www.researchgate.net/publication/326765294
15
Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, (Bairut : Dar al-Fikr, jld. I), 145.
kepastian (jazm) ia berbeda dengan I’tiqad dalam arti memastikan lebih dahulu
satu dari dua alternatif dalam posisi yang sebenarnya posisi skeptik, disertai
tasawwuf (bersitegguh) padanya tanpa menyadari kemungkinan benarnya
alternatif lain. I’tiqad dalam arti ini, (presuposisi) sekalipun sesuai denga realitas
objek substansinya sendiri merupakan salah satu bentuk jahl (kebodohan),
maskipun dari sudut relasinya dengan objek bisa berbeda dengan jahl, yakni bila
sesuai dengan realitas objek. Dengan demikian hakikat ilmu tidak cukup hanya
dengan sesuianya kepercayaan atau pernyataan denga realitas objek, tapi juga
mengenai ilmu infrensial, harus berdasarkan metode ilmiah tertentu yang
berpangkal pada skeptik dan putusan itu merupakan keyakinan yang pasti. Metode
analitik dengan ketiga kriteria ilmu menyangkut aspek aspek ontologies,
epistimologis dan aksiologis yang diajukan Al-Ghazali dan inilah yang diikuti dan
dirumuskan Ar-Razi bahwa ilmu adalah putusan akal yang pasti dan sesuai
dengan realitas objek berdasarkan metode ilmiah (mujib) tertentu.16
Dan menurutnya ada dua jalan untuk memperoleh ilmu, yaitu jalan a prori
yang berupa akala a priori (badihat al-aql) dan empiri sensual dasar (awa’il al-
hasisi), dan penalaran berdasarkan premis-premis yang berakar palan a priori.
Akan tetapi, ia mengakui bahwa ilmu diperoleh pula dengan dengan cara
mengikuti orang yang diperintahkan Alloh untuk diikuti, maskipun bukan ilmu a
priori dan tanpa argument, sehingga yang mengiktikadkan dan menyatakan sudah
memiliki ilmu dan ma’rifah mengenai objek tersebut. Karena pernyataan yang
pasti dari subjek selain Nabi tentang wahyu yang diterima Nabi dan sesuai dengan
realitas wahyu dan Nabi sendiri berdasarkan metode ilmiah tersebut juga disebut
ilmu, sedangkan yang yang tanpa argument adalah I’tikad, dan yang tidak pasti
adalah zann atau syak.17
Bagi Al-Ghazali, ada tiga macam tasdiq (assent) secara gradual. Pertama :
zann (dugaan kuat), yaitu kecondongan jiwa kepada salah satu dari dua perkara
dengan mengakui kemungkinan sebaliknya, tetapi kemungkinan ini tidak
menghalangi kecondongan pada yang pertama.

16
Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 133.
17
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97.
Kedua : I’tiqad jazim (kepercayaan yang teguh/tetap), yaitu tasdiq yang
pasti, yaitu seseorang tidak ragu dan tidak merasa adanya kemungkinan benar
pada kepercayaan lain. Akan tetapi, bila kepercayaan sebaliknya itu diriwayatkan
secara kuat dari manusia yang paling pintar dan terpercaya disisinya, seperti Nabi,
hal itu menimbulkan keragua tertentu terhadap kepercayaannya. Inilah
kepercayaan yang mayoritas kepercayaan mayoritas masyarakat awam dari
kalangan muslimin, yahudi dan nashrani mengenai doktrin-doktrin keagamaan
dan mazhabnya bahkan mayoritas kepercayaan ahli kalam mengenai doktrin-
doktrin keagamaan dan argument-argumen dialektik atau apologetiknya yang
mereka terima berdasarkan prasangka baik dan popularitas tokoh-tokohnya, serta
penulakan secara a priori terhadap mazhab lain dan dibesarkan dalam tradisi ini
sejak masa kanak-kanak.
Ketiga : ilmu yaqini, yaitu tasdiq yang kebenarannya diyakini secara pasti,
disertai keyakinan yang pasti pula bahwa keyakinannya yang pasti itu benar,
yakni keduanya tidak mengandung kemungkinan lupa, salah atau bahkan keliru,
dan tak terbayang pendapatnya akan berubah dengan alasan apapun. Kalaupun
diinformasikan pernyataan yang berlawanan dari nabi, misalnya, dengan bukti
kesalahan adalah mukjizatnya, hal ini tidak mempengaruhi pendapatnya,
melainkan membuatnya menertawakan, membodohkan, mendustakan, dan
menyalahkan pembawa informasi atau nabi palsu itu. Jika masih terlintas
dibenaknya kemungkinan bahwa Alloh menjadikan nabi-Nya mampu melihat
rahasia yang berlawanan dengan pendapat orang itu, putusannya itu bukahlah ilmu
yaqini. Ilmu macam ini misalnya ilmu-ilmu a priori, misalnya bahwa sebagian
lebih kecil dari keseluruhan, seseorang tidak berada didua tempat pada waktu
yang sama, dan hukum-hukum kontradiksi lain, serta ilmu-ilmu yang diperoleh
dari bukti-bukti yang menimbulkan keyakinan yang pasti seperti ini.18
Karena itu, dengan mengatakan zann hanya bisa diakui dalam dunia dan
disiplin ilmu praksis (amal dan ilmu amali), seperti ilmu fiqih dan ilmu-ilmu
empirik-eksperimental (tarbiyah), iman (keyakinan keagamaan) terbagi tiga kelas
srecara gradual, yaitu iman awam, yang berdasarkan taqlid murni (mengekor/ikut
tanpa argument), iman mutakallimin, yaitu didukung oleh semacam argument, dan

18
Al-Ghazali , al-Mustofa min Ilm al-Usul, 43.
iman arifin (yang memiliki ma’rifah), yaitu dengan berdasarkan mukasyafah
(penyingkapan) dan musyahadah (penyaksian) melalui riyadhah (latihan spiritual)
dan mujahadah (perjuangan) tertentu.19
Ketiga drajad tasdiq/iman ini diumpamakan dengan tasdiq terhadap adanya
si Zaid dirumah. Drajad pertama dicapai berdasarkan taqlid semata kepada orang
yang menginformasikan hal itu, yang dipercayai berdasarkan pengalaman bahwa
ia benar. Demikian iman awam yang memeluk agama warisan dari orang tua atau
guru. Disini muslim sama saja dengan umat Yahudi dan Nashrani dari sudut
mempercayai sesuatu tanpa argument. Hanya saja, mereka mempercayai yang
salah, sedangkan muslim mempercayai yang benar. Drajat kedua, kita mendengar
pembicaraan dan suara si Zaid dari dalam rumah sedangkan kita diluar rumah,
sehingga kepercayaan kita lebih kuat ketimbang semata-mata berdasarkan
informasi orang lain. Akan tetapi hal ini masih mengandung kemungkinan salah,
sebab suara kadang bermiripan, maskipun kita tidak menyadarinya. Drajad ketiga,
kita masuk kedalam rumah sehingga menyaksikan si Zaid secara langsung dengan
mata kepala sendiri (musyahadah). Inilah ma’rifah haqiqiyah (penyaksian yang
meyakinkan), yang mustahil mengandung kemungkinan salah. Drajad inipun
gradual, sperti terangnya cahaya, kuatnya konsentrasi dan sebagainya.20
Ilmu macam itulah (ilmu yaqini) yang dicari Al-Ghazali dan menjadi puncak
dari filsafat ilmunya, sperti dinyatakan sebagai berikut :
.ْٙ‫قت انؼهى يا‬ٛ‫ انؼهى بحقائق األيٕز فالبد طهب حق‬ٙ‫ أٔال إًَا يطهٕب‬: ٙ‫ َفس‬ٙ‫فقهج ف‬
َّ‫قاز‬ٚ‫ب ٔال‬ٚ‫بقٗ يؼّ ز‬ٚ‫ُكشف يُّ انًؼهٕو اَكشافا ال‬ٚ ٘‫ ْٕانر‬ُٙٛ‫ق‬ٛ‫ اٌ انؼهى ان‬ٙ‫فظسن‬
ٌٕ‫ك‬ٚ ٌ‫ُبغٗ أ‬ٚ ‫س ذانك بم األياٌ يٍ انخطأ‬ٚ‫خسغ انقهب نخقد‬ٚ‫ ٔال‬،‫ايكاٌ انغهط ٔانْٕى‬
‫قهب انحجس ذْبا ٔانؼصا ثؼباَا‬ٚ ٍ‫ٍ يقازَت نٕححدٖ باظٓاز بطالَّ يثال ي‬ٛ‫ق‬ٛ‫يقازَا نه‬
: ‫ ٔقال انقائم‬.‫ اذػهًج أٌ انؼشسة اكثس يٍ انثالثت‬َٙ‫ فا‬.‫ٕزد ذانك شكا ٔايكاَا‬ٚ ‫نى‬
‫ أقهب ْرِ انؼصا ثؼباَا ٔقهبٓا ٔشاْدث ذانك يُّ نى أشك‬َٙ‫م أ‬ٛ‫البم انثالثت اكثس بدن‬
‫ًا‬ٛ‫ فأياانشك ف‬.ّٛ‫ت قدزحّ ػه‬ٛ‫ف‬ٛ‫حصم نّ يُّ اال انخؼجب يٍ ك‬ٚ ‫ ٔنى‬ٙ‫بسببّ فٗ يؼسفخ‬
ٍ‫قُّ ػهٗ ْرا انُٕع ي‬ٛ‫ ثى ػهًج أٌ كم ياال أػهًّ ػهٗ ْرا انٕجّ ٔال اح‬,‫ػهًخّ فال‬
.ُٙٛ‫ق‬ٚ ‫س بؼهى‬ٛ‫ٍ فٕٓ ػهى الثقت بّ ٔال أياٌ يؼّ ٔكم ػهى ال أياٌ يؼّ فه‬ٛ‫ق‬ٛ‫ان‬

19
Saeful Anwar, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi, 97.
20
Ibid., 99.
Artinya : Lalu aku berkata dalam diriku : pertama-tama apa yang kucari
adalah ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Maka haruslah lebih dahulu
mengatahui apa itu hakikat ilmu. Lalu, tampakkah kepadaku bahwa ilmu
yaqini adalah sesuatu yang dengannya objek ilmu terbuka dengan
keterbukaan yang tidak mengandung keraguan dan kemungkinan salah serta
wahm (estimasi). Kalbu mimang sulit untuk menentukan hal itu, tetapi rasa
aman dari kesalahan harus menyertai keyakinan sedemikian rupa, sehingga
kalaupun ia dinyatakan salah oleh seseorang yang mampu mengubah batu
menjadi emas, atau mengobah tongkat menjadi ular, misalnya, hal ini tidak
menimbulkan sedikitpun keraguan atau kemungkian salah dalam diriku.
Sebab, bila aku mengatahui bahwa 10 lebih banyak dari 3, lalu orang lain
mengatakan, tidak, melainkan 3 lebih banyak dari 10, dengan bukti bahwa
aku bisa mengubah tongkat ini menjadi ular dan kusaksikan memang
terbukti demikian, hal itu tidak menggoyahkan ma’rifah-ku dan tidak
menghasilkan apa-apa dalam diriku selain kekaguman atas kemampuannya
mengenai hal itu. Adapun skeptik dalam diriku tidak. Kemudian aku tahu
bahwa setiap sesuatu yang tidak aku ketahui dengan cara seperti ini, dan aku
tidak meyakininya dengan tingkat kepastian sperti ini, adalah ilmu tak dapat
dipengangi dan tidak dapat menimbulkan rasa aman, sedang setiap ilmu
yang tidak dapat menimbulkan rasa aman bukanlah ilmu yaqini.21
Metode analitik dengan ketiga kereteria ilmu yang diajukan Al-Ghazali di
atas sebenarnya merupakan refleksi pemikiran khususnya logika, para filosof
sebelumnya sperti Alfarabi dan Ibnu Sina. Dan atas jasa Al-Ghazali-lah metode
analitik dan klasifikasi kedalam ilmu, I’tiqad, zann, syak, wahm (lawan zann) dan
jahl. Menjadi popular dan kokoh dalam kultur keilmuan islami sesudahnya, baik
dalam ilmu kalam atau ilmu ushul fiqh dari berbagai mazhab.
D. Penutup
1. Kesimpulan
Al-Ghazali hidup ketika suasana pemikiran keagamaan dan kefilsafatan di
dunia Islam memperlihatkan perkembangan dan keragaman, khususnya mengenai
keragaman ilmu pengetahuan. Sejarah hidupnya menunjukan bahwa ia dalam
usahanya mencari kebenaran menempuh proses yang panjang dengan mempelajari
hampir seluruh sistem dan metode pemikiran pada masanya.
Bagi al-Ghazali pengetahuan yang diperoleh melalui akal bisa saja salah
karena pengetahuan yang di peroleh akal berhubungan dengan al-hiss dan al-
wahm semata. Al-Ghazali menolak teori kausalitas para filosof, tetapi menerima
metode demostratif mereka sebagai alat yang penting bagi pencapaian kepastian
rasional dalam berbagi ilmu pengetahuan.

21
Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal, (Mesir : Maktabah wa Marba’ah, 1952), 10.
Bagi al-Ghazali bukan ilmu namanya kalau tidak membawa ketenangan dan
kedamaian baik pada dirinya dan pada masyarakat luas.
Daftar Pustaka
Ghulsyani, Mahdi. The holy Qur’an and the Science of Nature, diterjemahkan
Agus Efendi dengan judul : Filsafat Sains menurut Al-Qur’an, Bandung :
Mizan, 1991.
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang,
1978.
Qasim, Mahmud, Dirsat Al-Falsafat al-Islamy, Qairo : Dar al-Ma’rif, 1997.
Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1996.
Poerwantana, dkk., Seluk Beluk Filsafat Islam, Bandung : CV. Rosda Karya
Karya, 1988.
Ali, Yunasril, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam,Jakarta : Bumi
Aksara, 1991.
A. Husnan Aksa, & Endang Daruni Asdi, Filsuf-Filsuf Dunia dalam Gambar,
Yogyakarta :Karya Kencana, Cet. I, 1981.
Anwar, Saeful, Filsafat Ilmu Al-Ghazali Demensi Ontologi dan Aksiologi,
Bandung : CV. Pustaka Setia, 2007.
Rusyd, Ibnu. Tahafut al-Tahafut, Bairut : Dar al-Fikr al-Lubnani, 1993.
Ali Ibn Ahmad, Ibn Hazm, Al-Ihkam fiUsul al-Ahkam, Bairut:Dar Al-Kutub al-
Ilmiyah, jld.I.
Al-Juwaini, Al-Irsyadd. Mesir : Matba’ah al-Madani, 1983.
Al-Sahbani, Ja’far. Nazariyyat al-Ma’rifah, Bairut : al-Dar Al-Islamiyah, 1990.
Ariwidodo, Eko. Pradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genitika,
ejournal http://www.researchgate.net/publication/326765294
Al-Ghazali, al-Munqis min al-Dalal,(Mesir : Maktabah wa Marba’ah, 1952.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai