Anda di halaman 1dari 8

Astana Giribangun

Astana Giribangun merupakan makam


keturunan Kerajaan Mangkunegaran. Ternyata
makam itu memiliki daya mistis dalam sejarah
perjalananya. Muncul mitos bahwa makam
tersebut merupakan tempat sakral dan tidak
bisa diperlakukan sembarangan.
Posisi dan keberadaan Astana Panagdegan di
atas Astana Giribangun di lereng barat Gunung
Lawu tepatnya terletak di Desa Karang
Bangun, Kecamatan Matesih, Kabupaten
Karanganyar, Jawa Tengah. Sebagai leluhur di
atasnya melindungi atau orang Jawa
menyebutnya "hamemayungi" menjadi payung
keberadaan makam anak cucunya.
Beberapa kejadian dan fenomena mistis
membuktikan keberadaan Astana Mangadeg,
komplek pemakaman para penguasa Istana
Mangkunegaran, salah satu pecahan dinasti
Mataram. Makam itu merupakan Raja
Mangkunegoro III (sebutan jawa;
Mangkunegoro III) keturunan Raja Mataram
Panembahan Senopati selalu melindungi dan
merestui makam anak cucu di bawahnya.
Salah satu yang dimakamkan disini adalah
Kanjeng Pangeran Adi Pati arya Sri
Mangkunegara I. Pangeran Adi terkenal
dengan sebutan Pangeran Samber Nyowo.
Tokoh kesohor raja Mangkunegaran dikenal
sakti mandraguna dan selalu menjadi rujukan
raja-raja Mataraman baik Surakartan (Solo)
dan Ngayogyokarto Hadiningrat (Yogya).
Kejadian-kejadian mistis itu seolah-olah kedua
raja dan sesepuh Mangkunegaran yang
dimakamkan di sini di antaranya Kanjeng
Pangeran Adi Pati Arya Sri Mangkunegara I,
atau disebut Pangeran Samber Nyowo
memberikan restu maupun memberikan
perlindungan pada saat-saat tertentu dari
kejahatan atau perbuatan tangan-tangan jahil.
Beberapa peristiwa dan fenomena mistis aneh
terjadi di antaranya saat makam Presiden
Kedua Indonesia, HM Soeharto digali. Suasana
pemakaman Soeharto di Astana Giribangun
kala itu sedang redup, tak ada awan. Hanya
angin yang berhembus pelan saat itu.
Soeharto dimakamkan pada Minggu Wage, 27
Januari 2008 setelah Azan Asar sekitar pukul
15.30 WIB. Keluarga besar Soeharto dan
sejumlah tokoh ternama baik dari dalam
maupun luar negeri.
Sebelum penggalian, keluarga besar Soeharto
melakukan upacara Bedah Bumi. Tujuannya
adalah agar penggalian dapat berjalan lancar
dan selamat. Upacara tersebut dipimpin oleh
Begug Purnomosidi mantan Bupati Wonogiri.
Upacara dimulai dengan menancapkan linggis
ke tanah pemakaman sebanyak tiga kali. Yang
pertama, tidak terjadi apapun dan begitu pula
dengan yang kedua. Namun, kejadian yang
membuat merinding bulu kuduk terjadi saat
linggis mengoyak tanah untuk kali ketiganya.
"Tiba-tiba, duar! Terdengar suara ledakan yang
sangat keras bergema di atas kepala kami,"
kata juru kunci makam keluarga Soeharto di
Astana Giribangun Soekirno.
Para penggali makam dan orang-orang di
sekitarnya sontak kaget mendengar ledakan itu.
Mereka saling berpandangan. Bingung.
Mencoba mereka-reka dan mencari-cari dari
mana asal suara menggelegar itu.
"Bukan bunyi petir, lebih mirip suara bom
besar meledak di atas cungkup Astana
Giribangun," kata Sukirno.
Anehnya, tak ada yang porak poranda. Tak ada
benda yang bergeser karena suara ledakan itu.
Terbesit di pikiran, mungkin itu suara ghaib.
Semua yang ada di tempat itu terdiam, terpaku.
Lalu, suara Begug Purnomo Sidi memecah
keheningan.
"Bumi mengisyaratkan penerimaan terhadap
jenazah beliau," tutur Sukirno, menirukan
kalimat Bupati Wonogiri.
Tidak hanya itu yang dialami sang juru kunci
Astanagiribangun Sukirno. Beberapa bulan
sebelum kematian Soeharto, terjadi longsor
mendadak di bawah Perbukitan Astana
Giribangun.
Selain pengalaman menggali makam Soeharto,
pria kelahiran Karanganyar tahun 1953 itu juga
masih ingat ketegangan terjadi di Astana
Giribangun, tahun 1998, saat kekuasaan
Soeharto berakhir. Masa di mana-mana
menghujat dan ingin mengadili Soeharto
beserta keluarganya.
Terjadi pula perebutan tanah-tanah serta
pengerusakan aset negara yang saat itu
dikuasai Soeharto di beberapa daerah. Hingga
merembet ada kabar, makam keluarga Soeharto
itu bakal diserang dan akan dirusak oleh ribuan
masa.
"Bersama warga saya memasang drum-drum di
tengah jalan. Di depan pertigaan di depan SD
Ibu Tien yang terletak di tanjakan menjelang
Astana. Kami memalang puluhan batang
bambu ori berduri. Siapa yang melintas dengan
berjalan kaki sekalipun, tak bakal gampang
menembusnya," tutur Sukirno.
Malam-malam pun terasa panjang. Orang-
orang kampung dan desa secara bersama-sama
dengan pengurus dan berjaga di sekitar
makam. Dari pesawat komunikasi HT
terdengar sandi, misalnya 1.000 "kuda
lumping" yang artinya ada seribu pengedara
sepeda motor menuju dan bergerak mengarah
ke Astana. Atau lima ratus "gerobak" atau 500
pengendara mobil juga.
"Anehnya tak pernah sekalipun mereka hendak
melempari Astana dan merusak bangunan
makam di sini benar-benar tiba," kata Sukirno.
Sukirno berkeyakinan arwah para leluhur raja
Mangkunegaran datang dan melindungi sebab
arwah leluhur bagi orang Jawa diyakini masih
bersemayam dan jika dalam situasi darurat
akan muncul dan melakukan perlindungan.
Apalagi leluhur mereka yaitu Kanjeng
Pangeran Adi Pati arya Sri Mangkunegara I,
yang terkenal dengan sebutan Pangeran
Samber Nyowo atau Aji Panglimunanya.

Dinding batu dengan ukiran | Foto: Kevinalegion


Menurut beberapa informasi, untuk masuk ke
lokasi ini sebenarnya hanya diperkenankan
dikunjungi oleh para keturunan raja-raja
Mangkunagaran. Beruntung beberapa
rombongan TMII ini diperkenankan masuk
oleh para penjaga makam, walaupun juga tak
banyak yang mengunjungi tempat
peristirahatan Raja Mangkunegara I atau
Pangeran Sambernyowo dan lebih dikenal
dengan nama Raden Mas Said yang memiliki
kesaktian luar biasa saat melawan penjajah
Belanda, ini juga alasannya mengapa Gubernur
VOC memberikan julukan Pangeran
Sambernyowo karena dalam setiap
peperangan, selalu membawa maut musuh-
musuhnya. Tapi kompleks makam ini sangat
terawat dan tertata rapi oleh para penjaga
makam.

Bagi masyarakat Solo yang ikut serta dalam


ziarah ini, cerita-cerita kesaktian Pangeran
Sambernyowo sangat melekat di otak mereka,
Pangeran Sambernyowo menjadi tokoh penting
ketika belanda memecah belah kerajaan
mataram, selama 16 tahun Pangeran
Sambernyowo berjuang untuk memukul
mundur pasukan Belanda di negeri mataram.
Namun, setelah Belanda mundur dan Raja dari
kerajaan Mataram kosong, justru Pakubuwono
III yang diangkat menjadi raja. Keputusan
inilah yang akhirnya pecah menjadi kerajaan
Surakarta dan Kerajaan Ngayogyakarta, serta
keraton Mangkunegara yang dipegang
langsung oleh Pangeran Sambernyowo yang
dinobatkan sebagai Raja Mangkunegaran I,
silakan baca cerita lengkapnya di Perjanjian
Salatiga.

Pemakaman ini jugalah, sebelumnya menjadi


tempat bertapa Pangeran Sambernyowo dan
mendapatkan pusaka untuk mengusir penjajah
Belanda di bumi Mataram.
Tak banyak tempat yang saya bisa eksplor
disini karena keterbatasan waktu dan betapa
luasnya lokasi yang berada di kaki gunung
Lawu ini. Enggak kebayang bagaimana
Pangeran Sambernyowo pada saat dahulu bisa
menjelajahi lokasi yang sangat luas ini.

Anda mungkin juga menyukai