Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Kelainan degeneratif merupakan penyakit yang terjadi akibat kemunduran fungsi
sel tubuh, sehingga tubuh yang semula berfungsi secara normal dapat berkurang
menjadi lebih buruk. Kelainan degeneratif terjadi karena adanya proses penuaan. 1
Proses menua didefinisikan sebagai proses yang mengubah seorang dewasa sehat
menjadi seorang yang rentan dengan berkurangnya sebagian besar cadangan sistem
fisiologis dan meningkatnya kerentanan terhadap berbagai penyakit. Proses
degenerasi bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang yang berusia lanjut,
melainkan suatu hal yang normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir
dengan kematian. Namun demikian, kelainan degeneratif lebih terlihat pada usia
lebih dari 40 tahun.1
Kelainan degeneratif tulang adalah kelainan yang timbul akibat dari proses
degenerasi sel tulang, berkurangnya massa otot dan menurunnya densitas tulang.
Dimana hal ini akan menyebabkan beberapa penyakit pada tulang. 2 Oleh karena itu,
diperlukan beberapa pemahaman mengenai penyakit yang dapat terjadi pada saat
tulang mengalami degenerasi.
Dalam bidang Orthopedi, penyakit ini meliputi kelainan yang terjadi pada
persendian, otot, tendon, bursa dan kartilago sendi yang banyak menyerang golongan
lanjut usia. Secara biokimiawi, proses degenerasi pada kartilago sendi diawali karena
hilangnya proteoglikan, yaitu komponen dasar dari matrik kartilago. Kemunduran
matrik inilah yang menyebabkan serat-serat kolagen kehilangan daya suportnya
sehingga kartilago mengalami fibrilasi ( pemendekan ).1

iv
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tulang dan Sendi

1. Anatomi dan Histologi Tulang 3

a. Tulang panjang, yaitu tulang yang berbentuk silindris, yang terdiri dari
difisis dan epifisis yang berfungsi untuk menahan berat tubuh dan
berperan dalam pergerakan.
b. Tulang pendek, yaitu tulang yang berstruktur kuboid yang biasanya
ditemukan berkelompok yang berfungsi memberikan kekuatan dan
kekompakkan pada area yang pergerakannya terbatas. Contoh tulang
pergelangan tangan dan kaki
c. Tulang pipih, yaitu tulang yang strukturnya mirip lempeng yang
berfungsi untuk memberikan suatu permukaan yang luas untuk
perlekatan otot dan memberikan perlindungan. Contoh sternum,
scapulae, iga, tulang tengkorak.
d. Tulang irreguler, yaitu tulang yang bentuknya tidak beraturan dengan
struktur tulang yang sama dengan tulang pendek. Contoh tulang
vertebrae dan tulang panggul.
e. Tulang sesamoid, yaitu tulang kecil bulat yang masuk dalam formasi
persendian yang bersambung dengan kartilago, ligamen atau tulang
lainnya. Contoh patella.

v
Gambar 1. Bagian tulang

Tulang adalah jaringan ikat khusus yang terdiri atas materi antar sel
berkapur yaitu matriks tulang, dan 3 jenis sel yaitu osteosit, osteoblas, dan
osteoklas
a. Matriks tulang

50% dari berat matriks tulang adalah bahan anorganik, yang


teristimewa dan banyak dijumpai adalah kalsium dan fosfor, namun
bikarbonat, sitrat, magnesium, kalium, dan natrium juga ditemukan. 3
Bahan organik dalam matriks tulang adalah kolagen tipe I da substansi
dasar, yang mengandung agregat proteoglikan dan beberapa
glikoprotein struktural spesifik. Glikoprotein tulang bertanggung jawab
atas kelancaran kalsifikasi matriks tulang. Jaringan lain yang
mengandung kolagen tipe I biasanya tidak mengapur dan tidak
mengandung glikoprotein tersebut. Karena kandungan kolagen tinggi,
matriks tulan yang terdekalsifikasi terikat kuat dengan pewarna serat
kolagen.3

vi
Gabungan mineral dan serat kolagen memberikan sifat keras dan
ketahanan pada jaringan tulang. Setelah tulang terdekalsifikasi,
bentuknya tetap terjaga, namun menjadi fleksibel mirip tendon.
Walaupun bahan organik dari matriks tulang sudah menghilang, bentuk
tulang masih tetap terjaga, namun menjadi rapuh, mudah patah dan
hancur bila dipegang. 3
b. Osteoblas

Osteoblas bertanggung jawab atas sintesis komponen organik


matriks tulang (kolagen tipe I, proteoglikan, dan glikoprotein). Deposisi
komponen anorganik dari tulang juga bergantung pada adanya osteoblas
aktif. Osteoblas hanya terdapat pada permukaan tulang, dan letaknya
berseblahan, mirip epitel selapis. Bila osteoblas aktif menyintesis
matriks, osteoblas memiliki bentuk kuboid sampai silindris dengan
sitoplasma basofilik. Bila aktivitas sintesisnya menurun seltersebut
dapat menjadi gepeng dan sifat basofilik pada sitoplasmanya akan
berkurang.3
c. Osteosit
Osteosit berasal dari osteoblas, terletak di dalam lakuna yang
terletak di antara lamela-lamela matriks. Hanya ada satu osteosit di
dalam satu lakuna. Bila dibandingkan dengan osteoblas, osteosit yang
gepeng dan berbentuk kenari tersebut memiliki sedikit retikulum
endoplasma kasar dan kompleks Golgi serta kromatin inti yang lebih
padat. Sel-sel ini secara aktif terlibat untuk mempertahankan matriks
tulang, dan kematiannya diikuti oleh resorpsi matriks tersebut.3
d. Osteoklas
Sel motil bercabang yang sangat besar. Bagian badan sel
mengandung sampai 50 inti atau bahkan lebih. Pada daerah terjadinya
resorpsi tulang, osteoklas terdapat di dalam lekukan yang terbentuk

vii
akibat kerja enzim pada matriks, yang dikenal dengan lakuna Howsip.
Osteoklas berasal dari penggabungan sel-sel sumsum tulang
belakang.Osteoklas mengeluarkan kolagenase dan enzim proteolitik lain
yang menyebabkan matriks tulang melepaskan substansi dasar yang
mengapur.3

Gambar 2. Histologi tulang

Tulang bagian dalam dan luar di lapisi oleh pembentuk tulang dan
jaringan ikat yang disebut periosteum dan endosteum.
a. Periosteum
Terdiri atas lapisan luar serat-serat kolagen dan fibroblas. Berkas
serat kolagen periosteum memasuki matriks tulang dan mengikat
periosteum pada tulang. Lapisan periosteum yang lebih banyak
mengandung sel berpotensi membelah melalui mitosis dan berkembang
menjadi osteoblas. Sel ini disebut sel osteoprogenitor dan sel ini
berperan penting pada pertumbuhan dan perbaikan tulang.4
b. Endosteum
Melapisi semua rongga dalam di dalam tulang dan terdiri atas
selapis sel osteoprogenitorgepeng dan sejumlah kecil jaringan ikat.

viii
Karenanya, endosteum lebih tipis daripada periosteum. 4 Fungsi utama
periosteum dan endosteum adalah memberi nutrisi kepada jaringan
tulang dan menyediakan osteoklas beru secara kontinu untuk perbaikan
atau pertumbuhan tulang.4

Gambar 3. Lapisan tulang

Anatomi Tulang Belakang


Kolumna vertebralis (Gambar 4) disusun oleh 33 vertebra, 7 vertebra
servikalis (C), 12 vertebra torakalis (T), 5 vertebra lumbalis (L), 5 vertebra
sakralis (S), dan 4 vertebra koksigeus (pada umumnya 3 vertebra koksigeus di
bawah bersatu). Struktur kolumna vertebralis ini fleksibel karena bersegmen
dan disusun oleh tulang vertebra, sendi-sendi, dan bantalan fibrokartilago yang
disebut diskus intervertebralis.2

ix
Gambar 4. Rangka dilihat dari posterior, memperlihatkan kolumna vertebralis

Karakteristik Umum Vertebra


Vertebra terdiri dari korpus berbentuk bulat di anterior dan arkus
vertebra di posterior. Kedua struktur ini mengelilingi ruangan yang disebut
foramen vertebralis dan dilalui oleh medula spinalis. Arkus vertebra terdiri atas
sepasang pedikuli yang berbentuk silinder, yang membentuk sisi arkus, serta
sepasang lamina pipih yang melengkapi arkus vertebra di posterior. 2
Terdapat tujuh prosesus yang berasal dari arkus vertebra: satu prosesus
spinosus, 2 prosesus transversus, dan 4 prosesus artikularis (Gambar 2.2).
Prosesus spinosus atau spina, mengarah ke posterior dari pertemuan kedua
lamina. Prosesus transversus mengarah ke lateral dari pertemuan lamina dan
pedikulus. Prosesus spinosus dan prosesus transversus berperan sebagai
pengungkit dan tempat melekatnya otot dan ligame. 2
Prosesus artikularis terletak vertikal dan terdiri atas 2 prosesus
artikularis superior dan 2 prosesus artikularis inferior. Kedua prosesus
artikularis superior dari satu arkus vertebra bersendi dengan kedua prosesus
artikularis inferior dari arkus vertebra yang terletak di atasnya, membentuk dua
sendi sinovial. 2
Pedikuli mempunyai lekukan di pinggir atas dan bawah, membentuk
insisura vertebralis superior dan inferior. Pada setiap sisi, insisura vertebralis
superior dari sebuah vertebra bersama dengan insisura vertebralis inferior
vertebra di dekatnya membentuk foramen intervertebralis. Pada rangka yang
bersendi, foramen-foramen ini menjadi tempat lewatnya nervus spinalis dan
pembuluh darah. Radiks anterior dan radiks posterior nervus spinalis bergabung
menjadi satu di dalam foramina dan membentuk nervus spinalis segmentalis. 2

x
Gambar 5. A: Kolumna vertebralis tampak lateral. B: Ciri-ciri umum berbagai vertebra

Sendi-Sendi Kolumna Vertebralis


Vertebra saling bersendi melalui sendi kartilaginosa di antara
korporanya dan sendi sinovial di antara prosesus artikulasinya. Sisipan di antara
korpora vertebra adalah fibrokartilago diskus intervertebralis. Diskus
intervertebralis paling tebal di daerah servikal dan lumbal sehingga
memungkinakan gerakan kolumna vertebralis yang paling besar. Diskus ini
berperan sebagai penahan (shock absorber) goncangan apabila beban kolumna
vertebralis tiba-tiba meningkat. Akan tetapi, gaya pegasnya menurun dengan
bertambahnya usia.2
Masing-masing diskus terdiri atas anulus fibrosus di bagian luar dan
nukleus pulposus di bagian sentral. Anulus fibrosus terdiri atas fibrokartilago,
yang melekat erat pada korpora vertebra dan ligamentum longitudinal anterior

xi
dan posterior kolumna vertebralis.2 Nukleus pulposus merupakan massa
gelatinosa yang berbentuk lonjong pada orang muda. Biasanya di bawah
tekanan dan terletak sedikit ke posterior dari pinggir anterior diskus. Fasies
anterior dan posterior korpora vertebra yang terletak di dekatnya dan berbatasan
dengan diskus diliputi oleh lapisan tipis kartilago hialin. 2
Sifat nukleus pulposus yang semi cairan memungkinkan perubahan
bentuk dan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang antara satu dan yang
lain. Peningkatan beban kolumna vertebralis yang tiba-tiba menyebabkan
nukleus pulposus menjadi pipih. Keadaan ini dimungkinkan oleh sifat pegas
dari anulus fibrosus yang terdapat di sekelilingnya. Apabila dorongan dari luar
terlalu besar untuk anulus fibrosus, anulus dapat robek. Akibatnya herniasi
nukleus pulposus terjadi, penonjolan keluar nukleus ke dalam kanalis
vertebralis, dimana nukleus ini dapat menekan radiks nervus spinalis, nervus
spinalis atau bahkan medula spinalis. 2
Dengan bertambahnya usia, nukleus pulposus mengecil dan diganti oleh
fibrokartilago. Serabut-serabut kolagen anulus berdegenerasi, dan menyebabkan
anulus tidak selalu berisi nukleus pulposus di bawah tekanan. Pada usia lanjut,
diskus menjadi tipis, kurang elastis, dan tidak dapat lagi dibedakan antara
nukleus dan anulus. 2

Ligamentum Vertebra
Ligamentum longitudinal anterior dan posterior berjalan turun sebagai
pita utuh di fasies anterior dan posterior kolumna vertebralis dari tengkorak
sampai ke sakrum. Ligamentum longitudinal anterior lebar dan kuat, melekat
pada permukaan dan sisi-sisi korpora vertebra dan diskus intervertebralis.
Ligamentum longitudinal posterior lemah dan sempit serta melekat pada
pinggir posterior diskus.
Sedangkan ligamentum diantara dua vertebra terdiri atas:

xii
1. Ligamentum supraspinosium : ligamentum ini berjalan di antara ujung-
ujung spina berdekatan.
2. Ligamentum interspinosum : ligamentum ini menghubungkan spina yang
berdekatan.
3. Ligamentum intertransversum: ligamentum ini berjalan di antara prosesus
transversus yang berdekatan.
4. Ligamentum flavum : ligamentum ini menghubungkan lamina vertebra
yang berdekatan

Gambar 6.
A: Sendi-sendi di regio servikalis, torakalis, dan lumbalis kolumna vertebralis. B: Vertebra
lumbalis III dilihat dari atas, memperlihatkan hubungan di antara diskus intervertebralis dan
kauda ekuina.

2. Anatomi Sendi 3

Sendi merupakan perhubungan antar tulang sehingga tulang dapat


digerakkan. Secara fungsional sendi dapat dibagi atas luas geraknya yaitu:

xiii
a. Synarthrosis : sendi yang tidak bergerak sama sekali. Articulatio fibrosa
yaitu hubungan antar tulang dengan fibrous seperti pada sutura
tengkorak.
b. Ampiarthrosis: sendi yang bergeraknya sedikit. Articulatio cartilaginea
yaitu hubungan antar tulang disatukan oleh tulang rawan cartilago
hyalin atau fibro cartilago seperti pada art.sacroiliaca.
c. Diarthrosis: sendi yang bergerak bebas atau luas. Articulatio synovialis
mempunyai karakteristik terdapat ruangan spesifik yang memungkinkan
gerakan menjadi lebih bebas. Pada ruang ini terdapat cairan “Synovialis”
yang berfungsi sebagai pelumas, yang dihasillkan oleh lapisan dalam
pembungkus sendi (Capsule joint) yang disebut membrana synovialis.
Ujung-ujung tulang yang ditutupi tulang rawan dan di perkuat dibagian
luarnya oleh kapsula sendi dan ligamentum. Kapsula sendi ada dua
lapisan, yaitu:
1. Bagian luar disebut stratum (membrana) fibrosum.
2. Bagian dalam disebut stratum (membrana) synovialis.

Klasifikasi sendi berdasarkan bentuk permukaan sendi:


a. Sendi peluru atau art. Globaidea (ball dan socket). Sendi ini
memberikan gerakan yang terbesar. Kepala sendi yang agak bulat dari
tulang panjang masuk ke dalam rongga yang sesuai berbentuk cekung
memungkinkan gerakan fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi, dan
gerak panduan atau sirkumduksi. Jenis sendi ini digolongkan ke dalam
sendi bersumbu tiga. Contoh sendi ini adalah art humeri dan art coxae.
b. Sendi bujur telur atau art. Ellipsoidea (ellipsoid). Sendi ini merupakan
modifikasi dari sendi peluru. Gerakan sedikit terbatas dan tergolong ke
dalam sendi bersumbu dua. Meskipun dapat fleksi, ekstensi, abduksi dan
adduksi, namun tidak rotasi. Sebagai contoh sendi-sendi
metacarpophalangea dan jari-cari tangan (art. radiocarpal)

xiv
c. Sendi geser (gliding, atrhrodial, plane). Permukaan-permukaan sendi
berbentuk tak beraturan, biasanya datar atau sedikit lengkung. Satu-
satunya gerakan yang dapat dilakukan adalah menggeser, karenanya
disebut nonaxial. Contoh-contoh terdapat dalam tulang – tulang tarsal
dan carpal, dan juga processus articularis dari verterbrae.
d. Sendi putar atau art. Trocoidea (trocoid). Gerakan pada sendi jenis ini
terjadi di dalam bidang transversal dengan longitudinal. Contoh-contoh
dari sendi ini ialah art.radioulna dan art. Atlanto epistrophica pada rotasi
kepala.
e. Sendi pelana atau art. Sellaris (sellar). Sendi ini berbentuk seperti
pelana. Sendi bersumbu dua yang dapat bergerak fleksi, ekstensi,
abduksi, dan adduksi, seperti pada art. Carpometacarpal dari ibu jari.
f. Sendi engsel atau art. Throchlearis (ginglysum/hing). Gerakan pada
sendi ini ada di dalam bidang sagital dengan sumbu transversal. Fleksi
dan ekstensi terjadi pada siku (art.cubiti), pergelangan kaki (art.
talocrurales) dan sendi interphalangea.

xv
Gambar 7. Sendi

xvi
B. Kelainan Degeneratif Tulang
1. Osteoporosis
Definisi
Osteoporosis adalah suatu penyakit degeneratif pada tulang yang ditandai
dengan menurunnya massa tulang, dikarenakan berkurangnya matriks dan
mineral yang disertai dengan kerusakan mikro arsitektur dari jaringan tulang,
sehingga terjadi penurunan kekuatan tulang. World Health Organization (WHO)
secara operasional mendefinisikan osteoporosis berdasarkan Bone Mineral
Density (BMD), yaitu jika BMD mengalami penurunan lebih dari -2,5 SD dari
nilai rata-rata BMD pada orang dewasa muda sehat (Bone Mineral Density T-
score < -2,5 SD).4 Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang paling banyak
ditemukan pada manusia, lebih jauh lagi menjadikannya masalah kesehatan
masyarakat yang utama. Setiap orang dapat terkena penyakit ini tanpa
memandang jenis kelamin, ras, dan usia, tetapi prevalensinya akan meningkat
seiring bertambahnya usia individu.5

Klasifikasi5
Osteoporosis didefinisikan secara operasional menurut massa tulang,
diukur sebagai BMD. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasikan
osteopenia dan osteoporosis berdasarkan hubungan risiko patah tulang dengan
BMD. Kriteria dibagi menjadi normal, osteopenia, dan osteoporosis. Kriteria
normal ditandai dengan deviasi standar BMD 1 atau kurang dari rata-rata
referensi (skor t −1 atau lebih besar). Osteopenia ditandai dengan BMD antara 1
dan 2,5 standar deviasi di bawah rata-rata referensi (skor t antara -1 dan −2,5).
Selain itu, osteoporosis dicirikan oleh BMD lebih dari 2,5 standar deviasi di
bawah rata-rata referensi (skor t kurang dari -2,5).
Selanjutnya, WHO mendefinisikan ambang batas kepadatan mineral
tulang, berdasarkan asosiasi risiko patah tulang dengan kepadatan mineral tulang.

xvii
Etiologi5
Osteoporosis adalah penyakit multifaktorial. Ini paling umum terjadi pada
wanita yang lebih tua terutama pada periode pascamenopause, tetapi beberapa
pria juga berisiko tinggi. Faktor risiko keduanya jenis kelamin termasuk usia
lebih dari 65 tahun, merokok, riwayat keluarga patah tulang, dan indeks massa
tubuh yang tidak normal. Penyebab sekunder osteoporosis termasuk pengobatan
kronis dengan glukokortikoid, gangguan gastrointestinal, diabetes mellitus,
rheumatoid arthritis, penyakit hati, enteropati gluten, dan multiple myeloma dan
gangguan hematologi lainnya.

Faktor risiko
Faktor risiko osteoporosis dibagi menjadi dua kategori berdasarkan fitur
yang dapat dimodifikasi, sebagai berikut : faktor risiko yang dapat dimodifikasi
dan faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi terdiri dari kurangnya aktivitas
fisik, asupan, paparan sinar matahari yang lebih sedikit, konsumsi minuman
tinggi kafein dan tinggi alkohol, penggunaan glukokortikoid, dan merokok
tembakau. Kurang gerak atau olahraga akan menghambat proses pembentukan
massa tulang, sehingga BMD akan berkurang. Asupan harian yang baik dapat
mengurangi dampak osteoporosis dan penyakit kronis lainnya. Ada bukti bahwa
kualitas status gizi yang tinggi dengan asupan buah, sayur, dan makanan yang
mengandung protein, kalsium, dan vitamin D yang tepat setiap hari memiliki
efek positif pada kualitas tulang. Sebaliknya, asupan kalori dan alkohol tinggi
telah dikaitkan dengan massa tulang yang lebih rendah dan tingkat patah tulang
yang lebih tinggi. Pola diet dengan asupan tinggi produk susu, buah-buahan, dan
biji-bijian setiap hari terbukti berkontribusi positif terhadap kesehatan tulang.
Selain itu, perencanaan diet yang baik dapat memiliki efek potensial dalam
mendorong kesehatan tulang. Sedangkan kekurangan vitamin K, terutama
vitamin K2, menyebabkan penurunan pembuangan kalsium dan memperparah

xviii
risiko pengapuran pembuluh darah. Peningkatan asupan vitamin K2 telah
terbukti mengurangi risiko kesehatan terkait kalsium.
Kurang paparan sinar matahari terkait dengan kekurangan vitamin D
dikaitkan dengan penyakit seperti osteoporosis dan dapat menyebabkan patah
tulang. Vitamin D dapat diperoleh tidak hanya dari sumber makanan, tetapi juga
disintesis di kulit melalui paparan sinar matahari. Konsumsi minuman berkafein
tinggi dan alkohol tinggi dapat menyebabkan pengeroposan tulang, serta tulang
rapuh dan rusak. Konsumsi kafein dan alkohol yang tinggi dapat menghambat
proses pembentukan massa tulang dan bersifat toksik bagi tubuh. Glukokortikoid
cenderung memperlambat pembentukan tulang dan mempercepat resorpsi tulang.
Mereka menurunkan diferensiasi dan pematangan osteoblas yang penting untuk
pembentukan tulang, selanjutnya menurunkan jumlah dan perannya. Selain itu,
sejumlah besar glukokortikoid menyebabkan apoptosis osteoblas, dan
bertanggung jawab untuk mengurangi pembentukan tulang. Osteosit yang terlibat
dalam perbaikan kerusakan mikro tulang juga akan mengalami apoptosis dan,
selanjutnya, menurunkan kekuatan dan kualitas tulang. Glukokortikoid juga
memperluas ekspresi sitokin, terutama reseptor aktivator ligan NF-kappa b
(RANKL), yang berperan dalam diferensiasi osteoklas dan kemudian
menurunkan penghambatan osteoklas, yang menyebabkan peningkatan resorpsi
tulang. Glukokortikoid juga berkontribusi terhadap keropos tulang dengan secara
tidak langsung menurunkan resorpsi kalsium, menekan hormon pertumbuhan dan
seks, dan mengubah hormon paratiroid. Namun, hiperparatiroidisme sekunder
subklinik meningkatkan resorpsi tulang. Ada hipotesis yang menyatakan faktor
genetik yang mungkin berperan membuat seseorang lebih rentan terhadap efek
samping glukokortikoid, tetapi masih jauh dari kesimpulan. Perokok tembakau
sangat rentan terhadap osteoporosis karena tembakau mengandung zat aktif yang
mengganggu tulang. penyerapan serta kadar dan aktivitas hormon, sehingga
komposisi sel tulang menjadi lemah. Asap tembakau mengubah massa tulang
dengan mengubah massa tubuh, sistem metabolisme hormon paratiroid-vitamin

xix
D, hormon adrenal, hormon seks, dan meningkatkan stres oksidatif pada tulang.
Selain itu, tembakau mempengaruhi massa tulang secara langsung pada proses
osteogenesis dan angiogenesis tulang.
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi terdiri dari riwayat keluarga,
jenis kelamin, usia, ras, dan defisiensi estrogen. Kepadatan massa tulang wanita
pascamenopause sangat terkait dengan banyak faktor risiko materi genetik yang
diwariskan. Dalam berbagai penelitian, banyak penulis menyatakan faktor
keturunan sebagai salah satu faktor risiko osteoporosis yang paling signifikan.
Diakui bahwa variabel keturunan mempengaruhi ketebalan tulang jangka
panjang paling ekstrim selama 25 tahun. Riwayat keluarga osteoporosis dan
patah tulang sangat terkait dengan risiko osteoporosis. Catatan patah tulang
sebelumnya dan riwayat keluarga osteoporosis pada anggota keluarga dekat
(seringkali ibu) merupakan indikator penting dari bahaya osteoporosis di masa
depan pada wanita pascamenopause. Osteoporosis lebih sering ditemukan pada
wanita, terutama pada usia tua karena penurunan estrogen. Ibu hamil juga
berisiko tinggi terkena osteoporosis karena proses tumbuh kembang janin
membutuhkan banyak kalsium. Osteoporosis biasanya dianggap sebagai penyakit
lansia dengan BMD rendah dan prevalensinya meningkat seiring bertambahnya
usia. Proses penuaan mengubah struktur, fungsi, dan komposisi tulang dan
selanjutnya menyebabkan osteoporosis. Identifikasi proses penuaan pada
osteoporosis dapat dideteksi sejak individu berusia 40 tahun. Ras kulit putih dan
keturunan Asia memiliki predisposisi yang lebih tinggi terhadap osteoporosis.
Hal ini umumnya disebabkan oleh konsumsi kalsium yang rendah. Selain itu,
intoleransi laktosa yang menyebabkan kurangnya konsumsi produk hewani
meningkatkan risiko penyakit ini. Defisiensi estrogen dikaitkan dengan
osteoporosis. Defisiensi estrogen adalah penyebab utama keropos tulang pada
wanita setelah menopause dan selama beberapa tahun sebelum menopause
sebenarnya, serupa dengan yang diamati pada tahun-tahun awal
pascamenopause. Wanita dengan konsentrasi sisa estrogen yang lebih rendah

xx
mengalami keropos tulang dan patah tulang yang lebih progresif, meskipun hal
ini mungkin dikacaukan oleh efek berat badan atau steroid seks lainnya. Selain
itu, wanita dengan kanker payudara yang menerima aromatase inhibitor sebagai
terapi adjuvan cenderung kehilangan tulang dan mempertahankan peningkatan
tingkat fraktur fragilitas. Mekanisme peran estrogen pada osteoporosis
disarankan oleh estrogen receptor-α (ERα). Osteoblas dan osteoklas memediasi
efek pertahanan estrogen pada kortikal dan tulang cancellous. Osteoblas ERα
merangsang akrual tulang kortikal sebagai respons terhadap regangan mekanis,
terlepas dari estrogen. Estrogen memperpanjang kelangsungan hidup osteoblas
dan osteosit dengan melemahkan apoptosis yang penting dalam memperpendek
umur osteoklas. Mereka juga mempengaruhi umur osteosit sebagai sel berumur
panjang yang terletak di matriks dan memainkan beberapa peran dalam adaptasi
homeostatis tulang terhadap kekuatan mekanik.

Patofisiologi
Penyebab utama osteoporosis adalah gangguan dalam remodeling tulang
sehingga mengakibatkan kerapuhan tulang. Terjadinya osteoporosis secara
seluler disebabkan oleh karena jumlah dan aktivitas sel osteoklas melebihi dari
jumlah dan aktivitas sel osteoblas (sel pembentukan tulang). Keadaan ini
mengakibatkan penurunan massa tulang.6,7
Selama pertumbuhan, rangka tubuh meningkat dalam ukuran dengan
pertumbuhan linier dan dengan aposisi dari jaringan tulang baru pada permukaan
luar korteks. Remodeling tulang mempunyai dua fungsi utama : 1 untuk
memperbaiki kerusakan mikro di dalam tulang rangka untuk mempertahankan
kekuatan tulang rangka, dan 2 untuk mensuplai kalsium dari tulang rangka untuk
mempertahankan kalsium serum. Remodeling dapat diaktifkan oleh kerusakan
mikro pada tulang sebagai hasil dari kelebihan atau akumulasi stress. Kebutuhan
akut kalsium melibatkan resorpsi yang dimediasi-osteoklas sebagaimana juga
transpor kalsium oleh osteosit. Kebutuhan kronik kalsium menyebabkan

xxi
hiperparatiroidisme sekunder, peningkatan remodeling tulang, dan kehilangan
jaringan tulang secara keseluruhan.8
Remodeling tulang juga diatur oleh beberapa hormon yang bersirkulasi,
termasuk estrogen, androgen, vitamin D, dan hormon paratiroid (PTH), demikian
juga faktor pertumbuhan yang diproduksi lokal seperti IGF-I dan IGF–II,
transforming growth factor (TGF), parathyroid hormone-related peptide
(PTHrP), ILs, prostaglandin, dan anggota superfamili tumor necrosis factor
(TNF). Faktor-faktor ini secara primer memodulasi kecepatan dimana tempat
remodeling baru teraktivasi, suatu proses yang menghasilkan resorpsi tulang oleh
osteoklas, diikuti oleh suatu periode perbaikan selama jaringan tulang baru
disintesis oleh osteoblas.8
Pada dewasa muda tulang yang diresorpsi digantikan oleh jumlah yang
seimbang jaringan tulang baru. Massa tulang rangka tetap konstan setelah massa
puncak tulang sudah tercapai pada masa dewasa. Setelah usia 30 - 45 tahun,
proses resorpsi dan formasi menjadi tidak seimbang, dan resorpsi melebih
formasi. Ketidakseimbangan ini dapat dimulai pada usia yang berbeda dan
bervariasi pada lokasi tulang rangka yang berbeda; ketidakseimbangan ini
terlebih-lebih pada wanita setelah menopause. Kehilangan massa tulang yang
berlebih dapat disebabkan peningkatan aktivitas osteoklas dan atau suatu
penurunan aktivitas osteoblas. Peningkatan rekrutmen lokasi remodeling tulang
membuat pengurangan reversibel pada jaringan tulang tetapi dapat juga
menghasilkan kehilangan jaringan tulang dan kekuatan biomekanik tulang
panjang.8

Diagnosis
Rupanya, osteoporosis tidak menunjukkan manifestasi klinis apa pun
hingga berkembang menjadi patah tulang. Stereotip ini menyebabkan banyak
pasien osteoporosis salah mengartikan penyakitnya karena tidak memiliki tanda
dan gejala apapun. Di sisi lain, banyak pasien dengan nyeri pinggul atau kaki

xxii
ringan percaya bahwa mereka mengalami osteoporosis. Pernyataan ini tidak
dapat diterjemahkan ke status tanpa fraktur. Sebagai perbandingan, nyeri tanpa
adanya patah tulang atau kelainan bentuk tulang lainnya lebih terkait dengan
penyakit tulang lain seperti osteomalacia. Fraktur vertebra sering ditemukan
sebagai manifestasi klinis osteoporosis yang nyata. Kira-kira dua dari tiga patah
tulang belakang dilaporkan tidak menunjukkan gejala. dan mereka didiagnosis
dalam pencitraan dada atau perut secara kebetulan. Patah tulang pinggul juga
banyak ditemukan, kira-kira ditemukan 15 dari 100 wanita dan 5 dari 100 pria
berusia delapan puluhan. Fraktur ekstremitas atas seperti fraktur Colles juga
dapat terjadi. Jenis patah tulang ini lebih mungkin ditemukan pada wanita
pascamenopause. Pasien dengan patah tulang osteoporosis biasanya melaporkan
riwayat tidak ada atau hanya sedikit trauma yang menimbulkan rasa sakit. Pasien
mungkin hanya mengeluh jatuh dari posisi berdiri atau duduk. 5
Beberapa karakteristik nyeri yang berhubungan dengan osteoporosis
adalah sebagai berikut: terlokalisir pada tingkat vertebra tertentu dari tulang
belakang toraks tengah ke bawah hingga lumbal atas; dicirikan sebagai nyeri
menusuk atau tumpul, diperburuk oleh gerakan; dalam beberapa kasus, nyeri
menjalar ke perut; dalam banyak kasus, itu menyebabkan kejang otot dan
diperburuk oleh aktivitas dan sebaliknya; dan memiliki aktivitas sehari-hari yang
sangat terbatas karena nyeri yang diperburuk oleh gerakan. Pasien dengan patah
tulang pinggul kronis dapat mengeluh nyeri pada lutut medial, paha medial, paha
anterior, pantat posterior, dan/atau selangkangan selama aktivitas menahan
beban; sangat kurang rentang gerak, terutama rotasi dan fleksi internal; dan
pinggul yang terlibat biasanya diputar ke luar dalam posisi istirahat.5
Selain dengan anamnesis keluhan utama, pendekatan menuju diagnosis
juga dapat dibantu dengan adanya riwayat fraktur yang terjadi karena trauma
minimal, adanya faktor imobilisasi lama, penurunan tinggi badan pada orang tua,
kurangnya paparan sinar matahari, asupan kalsium, fosfor dan vitamin D, dan
faktor-faktor risiko lainnya. Obat-obatan yang dikonsumsi dalam jangka panjang

xxiii
juga dapat digunakan untuk menunjang anamnesis, yaitu misalnya konsumsi
kortikosteroid, hormon tiroid, antikonvulsan, heparin. Selain konsumsi obat-
obatan, juga konsumsi alkohol jangka panjang dan merokok. Tidak kalah
pentingnya, yaitu adanya riwayat keluarga yang pernah menderita osteoporosis.9

Pada pemeriksaan fisik : yang harus diukur adalah tinggi badan dan berat
badan, demikian juga dengan gaya jalan penderita, deformitas tulang, leg-lenght
inequality , dan nyeri spinal. Hipokalsemia yang terjadi dapat ditandai oleh
adanya iritasi muskuloskeletal, yaitu berupa tetani. Adduksi jempol tangan juga
dapat dijumpai, fleksi sendi metacarpophalangeal, dan ekstensi sendi
interphalang. Penderita dengan osteoporosis sering menunjukkan kifosis dorsal
atau gibbus (Dowager’s hump) dan penurunan tinggi badan. Selain itu juga
didapatkan protuberansia abdomen, spasme otot paravertebral, dan kulit yang
tipis (tanda McConkey). 9

Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Radiologis pada Osteoporosis
Hingga saat ini deteksi osteoporosis merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Diagnosis penyakit osteoporosis kadang - kadang baru diketahui
setelah terjadinya patah tulang punggung, tulang pinggul, tulang pergelangan
tangan atau patah tulang lainnya pada orang tua, baik pria atau wanita. Biasanya
dari waktu ke waktu massa tulangnya terus berkurang, dan terjadi secara luas dan
tidak dapat diubah kembali. Biasanya massa tulang yang sudah berkurang 30 –
40% baru dapat dideteksi dengan pemeriksaan X-ray konvensional. Karena
kurangnya sensitivitas terhadap diagnosis osteoporosis, maka saat ini
pemeriksaan dengan radiologi konvensional tidak dianjurkan lagi.10
Gambaran radiologis yang khas pada osteoporosis adalah penipisan
korteks dan daerah trabekular yang lebih lusen. Hal ini akan tampak pada tulang-
tulang vertebrae yang memberika gambaran picture frame vertebrae. Gambaran

xxiv
osteoporosis pada foto polos akan menjadi lebih radiolusen tetapi baru terdeteksi
setelah terjadi penurunan massa tulang sekitar 30%. Variabilitas faktor teknis
dalam pengambilan foto polos, dan variasi jenis serta ketebalan jaringan lunak
yang tumpang tindih dengan vertebrae akan mempengaruhi gambaran
radiologisnya dalam menilai densitas tulang. Selain itu adanya kompresi
vertebrae akan meningkatkan densitas tulang karena terjadi perpadatan trabekula
dan pembentukan kalus. Tetapi ada pendapat lain yang menyatakan bahwa angka
30% itu karena berdasarkan misinterpretasi pada penelitian in vitiro yang telah
dilakukan 40 tahun yang lalu. Lachman dan Whelan menunjukkan bahwa hal
tersebut benar untuk daerah kortikal sedangkan pada tulang-tulang yang
mempunyai kadar trbakelua tinggi osteoporosis dapat dilihat secara radiogram
bila terjadi defisit mineral tulang sebesar 8-14%.9
Terdapat 6 kriteria yang dianjurkan dalam menentukan osteoporosis vertebrae:7

1) Peningkatan daya tembus sinar pada korpus vertebrae atau penurunan


densitas tulang.
2) Hilangnya trabekula horizontal disertai semakin jelasnya trabekula
vertikal.
3) Pengurangan ketebalan korteks bagian anterior korpus vertebrae.
4) Perubahan end plates baik secara absolut maupun relatif dengan
membandingkan antara korpus vertebra dengan end plates.
5) Abnormalitas bentuk vertebrae dapat berupa bentuk baji, bikonkaf,
fraktur kompresi (bila tinggi kedua tepi vertebra berkurang).
6) Metode terakhir dalam diagnosis osteoporosis dengan menemukan
fraktur spontan atau setelah trauma ringan pada foto vertebra.

Pada seseorang yang mengalami fraktur, diagnosis pasti ditegakkan


bedasarkan gejala, pemeriksaan fisik, dan rontgen tulang. Pemeriksaan lebih
lanjut mungkin diperlukan untuk menyingkirkan keadaan lain yang dapat
menyebabkan osteoporosis. Beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan adalah

xxv
pemeriksaan massa tulang secara radiologis berupa DEXA (Dual Energy X-ray),
Pemeriksaan laboratorium berupa parameter biokimiawi untuk bone turnover,
radioisotop, serta MRI (magnetic Resonance imaging).10,11
Gambaran radiologi pada osteoporosis memiliki tujuan untuk mengukur
berkurangnya kepadatan tulang dan untuk diagnosis. Untuk menentukan
tingkatan dan diagnosis dapat dilakukan menggunakan gambaran radiologi
sederhana. Gambaran radiologi konvensional yang khas pada osteoporosis adalah
adanya penipisan korteks dan trabecular yang lebih lusen. 10,11

Tatalaksana
Tujuan utama pengobatan osteoporosis adalah untuk mencegah patah
tulang akibat kerapuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Dengan
demikian, kemampuan untuk menilai risiko patah tulang sangat penting dalam
mengidentifikasi pasien yang memenuhi syarat untuk intervensi. Penatalaksanaan
osteoporosis terdiri dari pengobatan non-farmakologis dan farmakologis.5

Pengobatan Non Farmakologi


Penatalaksanaan lini pertama osteoporosis adalah modifikasi gaya hidup
yang berguna untuk mencegah komplikasi penyakit. Meningkatkan tingkat
aktivitas fisik; menyarankan latihan menahan beban, penguatan otot, dan
keseimbangan secara teratur, yang disesuaikan dengan masing-masing pasien;
memastikan asupan kalsium dan status vitamin D yang memadai; menyarankan
asupan kalsium harian yang tepat yang paling baik dicapai melalui diet;
mengidentifikasi dan memodifikasi faktor risiko jatuh seperti ketajaman
penglihatan, menghindari pengobatan yang mempengaruhi keseimbangan,
mengurangi ancaman jatuh di lingkungan (alas kaki licin, pencahayaan tidak
memadai, rintangan); hindari merokok; dan mengurangi asupan alkohol.5

xxvi
Pengobatan Farmakologis
Secara teoritis, osteoporosis dapat diobati dengan cara meghambat kerja
osteoklas (anti resorptif) dan/ atau meningkatkan kerja osteoblas (stimulator
tulang). Walaupun demikian, saat ini obat yang beredar pada umumnya bersifat
anti resorptif. Yang termasuk golongan obat anti resorptif adalah estrogen, anti
estrogen, bifosfonat, dan kalsitonin. Sedangkan yang termasuk stimulator tulang
adalah Na-fluoride, PTH dan lain sebagainya. Kalsium dan vitamin D tidak
mempunyai efek anti resorptif maupun stimulator tulang, tetapi diperlukan untuk
optimalisasi mineralisasi osteoid setelah proses formasi oleh osteoblas.
Kekurangan kalsium akan menyebabkan peningkatan produksi PTH
(hiperparatidroidisme sekunder) yang dapat menyebabkan pengobatan
osteoporosis menjadi tidak efektif.9
Terapi osteoporosis telah menjadi subjek penelitian yang mendalam.
Suplementasi estrogen telah dibuktikan dapat menurunkan secara bermakna
kecepatan pengurangan tulang dan kalsium pada perempuan pasca menopause,
tetapi terpai ini tmapaknya tidak memulihkan perubahan struktural yang sudah
terjadi di tulang. Asupan kalisum dalam makanan yang adekuat sebelum usia 30
tahun tampaknya menurunkan risiko osteoporosis pada usia selanjutnya,
mungkin dengan meningkatkan densitas tulang maksimum. Suplementasi
kalsium pada tahap kehidupan selanjutnya dapat sedikit memperlambat laju
kehilangan tulang. Terapi lain yang menjanjikan adalah pemberian suatu
golongan obat yang dikenal dengan bifosfonat. Golongan obat yang lebih baru,
modulator reseptor estrogen selektif (selectif estrogen receptor modullator,
SERM), tampaknya memberikan efek bermanfaat bagi massa tulang seperti yang
dihasilkan oleh estrogen, tetapi tanpa disertai efek samping terapi estroge
konvensional yang berpotensi bahaya. Pemberian kalsitonin akhirnya dapat
mengurangi frekuensi fraktur vertebrae dan mungkin bermanfaat bagi pasien
yang tidak dapat mentoleransi terapi estrogen.12

xxvii
2. Osteoartritis
Definsi
Penyakit sendi Degeneratif dan Inflamasi yang ditandai dengan
perubahan patologik pada seluruh struktur sendi. Perubahan patologis yang
terjadi meliputi hilangnya tulang rawan sendi hialin, diikuti penebalan dan
sklerosis tulang subkondral, pertumbuhan osteofit pada tepi sendi, teregangnya
kapsul sendi, sinovitis ringan dan kelemahan otot yang menyokong sendi karena
kegagalan perbaikan kerusakan sendi yang disebabkan oleh stress mekanik yang
berlebih. Osteoartritis (OA) adalah gangguan sendi yang bersifat kronis, yang
ditandai dengan adanya degenerasi tulang rawan sendi, hipertrofi pada tepi
tulang, dan perubahan pada membran sinovial. Gangguan ini disertai dengan
nyeri, biasanya setelah aktivitas berkepanjangan, dan kekakuan, khususnya pada
pagi hari atau setelah inaktivitas.13

Etiologi13
Berdasarkan etiopatogenesisnya, OA dibedakan menjadi dua yaitu
osteoartritis primer dan osteoartritis sekunder. Osteoartritis primer disebut juga
osteoartritis idiopatik yaitu osteoartritis yang kausanya tidak diketahui dan tidak
ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan lokal pada
sendi. Sedangkan osteoartritis sekunder adalah osteoartritis yang didasari oleh
adanya kelainan endokrin (seperti acromegaly, hyperparathyroidisme dan
hyperuricemia), inflamasi, posttraumatik, metabolik (seperti rickets,
hemochromatis, chondrocalcinosis, dan ochronosis), kelainan pertumbuhan,
herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama.
Defek primer pada osteoartritis idiopatik maupun osteoartritis sekunder
adalah hilangnya kartilago sendi akibat perubahan fungsional kondrosit (sel-sel
yang bertanggung jawab atas pembentukan proteoglikan, yaitu glikoprotein yang

xxviii
bekerja sebagai bahan seperti semen dalam tulang rawan dan kolagen). OA
merupakan penyakit gangguan homeostasis metabolisme kartilago dengan
kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang penyebabnya belum jelas
diketahui.

Faktor risiko13
 Umur : lnya OA, faktor usia adalah yang terkuat. Prevalensi dan beratnya OA
semakin meningkat dengan bertambahnya umur. OA hampir tidak pernah
pada anak-anak, jarang pada umur di bawah 40 tahun dan sering pada umur di
atas 60 tahun. Akan tetapi harus diingat bahwa OA bukan akibat menua saja.
Perubahan tulang rawan sendi pada usia lanjut berbeda dengan perubahan
pada OA.
 Jenis Kelamin : Wanita lebih sering terkena OA lutut dan OA sendi lainnya,
dan lelaki lebih sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher. Secara
keseluruhan, di bawah 45 tahun frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-
laki dan wanita, tetapi di atas 50 tahun (setelah menopause) frekuensi OA
lebih banyak pada wanita daripada pria. Hal ini menunjukkan adanya peran
hormonal pada patogenesis OA.
 Suku Bangsa : Prevalensi dan pola terkenanya sendi pada OA nampaknya
terdapat perbedaan diantara masing-masing suku bangsa. Misalnya OA paha
lebih jarang diantara orang-orang kulit hitam dan Asia daripada Kaukasia, OA
lebih sering dijumpai pada orang-orang Amerika asli (Indian) dari pada orang-
orang kulit putih. Hal ini mungkin berkaitan dengan perbedaan cara hidup
maupun perbedaan pada frekuensi kelainan kongenital dan pertumbuhan.
 Genetik : Faktor herediter juga berperan pada timbulnya OA, misalnya pada
seorang wanita dengan ibu yang mengalami OA pada sendi-sendi interfalang
distal (nodus Herbenden) akan mengalami 3 kali lebih sering OA pada sendi-

xxix
sendi tersebut, dibandingkan dengan seorang wanita dengan ibu tanpa OA
tersebut.
 Kegemukan dan Penyakit Metabolik : Berat badan yang berlebih nyata
berkaitan dengan meningkatnya risiko untuk timbulnya OA baik pada wanita
maupun pada pria. Kegemukan ternyata tidak hanya berkaitan dengan OA
pada sendi yang menanggung beban, tapi juga pada OA sendi lain. Di
samping faktor mekanis (karena meningkatnya beban mekanis), diduga
terdapat faktor lain (metabolik) yang berperan pada timbulnya OA
 Cedera Sendi, Pekerjaan, dan Olahraga : Pekerjaan berat yang menggunakan
seluruh sendi ataupun dengan pemakaian satu sendi yang terus menerus
(misalnya tukang pahat, pemetik kapas) berkaitan dengan peningkatan risiko
OA tertentu. Demikian juga cedera sendi dan olahraga berkaitan dengan risiko
terjadinya OA yang lebih tinggi (misalnya robeknya meniscus, ketidakstabilan
ligament).
 Kelainan Pertumbuhan : Kelainan kongenital dan pertumbuhan (misalnya
penyakit Perthes dan dislokasi kongenital paha) telah dikaitkan dengan
timbulnya osteoartritis paha pada usia muda. Mekanisme ini juga diduga
berperan pada lebih banyaknya OA pada laki-laki dan ras tertentu.Tingginya
kepadatan tulang dikatakan dapat meningkatkan risiko timbulnya OA. Hal ini
mungkin timbul karena tulang yang lebih padat (keras) tak membantu
mengurangi benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi. Akibatnya
tulang rawan sendi menjadi lebih mudah robek.

Patofisiologi Osteoartritis 6
OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodellingtulang, dan
inflamasi. Terdapat fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis yaitu
fase inisiasi, fase inflamasi, nyeri, fase degradasi.
 Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi
berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami

xxx
replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu
komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin - like growth factor
(IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni
stimulating factors (CSFs). Faktor - faktor ini menginduksi khondrosit untuk
mensintesis asam deoksiribo nukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan
proteoglikan. IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi.
 Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF
sehingga meningkatnya pro inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang
mempengaruhi sendi. IL-1 (Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α
(TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan gelatinase
untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk inflamasi
memiliki dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi,
dan menghasilkankerusakan pada sendi.
 Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan
penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan
trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga
menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini
mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin
yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya
mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan tendo,
ligamen serta spasme otot - otot. Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit
yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis
serta kenaikan tekanan vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses
remodelling trabekula dan subkondrial.
 Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu
meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran makrofag
didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas mekanis,

xxxi
material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan memproduksi sitokin
aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang khondrosit untuk
memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks rawan
sendi. Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang berlawanan
selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang degradasi
komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan merangsang
sintesis.

Manifestasi Klinis13
Pasien OA biasanya berusia lebih dari 40 tahun dan osteoartritis lutut
lebih banyak terjadi pada penderita dengan kelebihan berat badan. Pada
umumnya, pasien osteoartritis mengatakan bahwa keluhan-keluhan yang
dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan. Berikut
adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien osteoartritis :
 Nyeri Sendi : Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya
bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Perubahan
ini dapat ditemukan meski osteoartritis masih tergolong dini (secara
radiologis). Umumnya rasa nyeri tersebut akan semakin bertambah berat
sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur, hambatan
gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu
arah gerakan saja).Berdasarkan hasil Magnetic Resonance Imaging (MRI),
didapat bahwa sumber dari nyeri yang timbul diduga berasal dari peradangan
sendi (sinovitis), efusi sendi, dan edema sumsum tulang. Osteofit merupakan
salah satu penyebab timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi
neurovaskular menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju
ke osteofit yang sedang berkembang. Hal ini akan menimbulkan nyeri.
 Hambatan Gerakan Sendi : Gangguan ini biasanya semakin bertambah berat
secara perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri. Gangguan pergerakan

xxxii
pada sendi disebabkan oleh adanya fibrosis pada kapsul, osteofit atau
iregularitas permukaan sendi.
 Kaku Pagi Hari : Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam
diri atau tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil
dalam waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari.
 Krepitasi atau rasa gemeretak dapat timbul pada sendi yang sakit : Gejala ini
umum dijumpai pada pasien osteoartritis lutut. Pada awalnya hanya berupa
perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk .
 Perubahan Bentuk Sendi (Deformitas) : Perubahan bentuk sendi ditemukan
akibat kontraktur kapsul serta instabilitas sendi karena kerusakan pada tulang
rawan sendi.
 Pembengkakan Sendi Yang Asimetris : Pembengkakan sendi yang dapat
timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi yang biasanya tidak banyak (<100
cc) atau karena adanya osteofit, sehingga bentuk permukaan sendi berubah .
 Tanda - Tanda Peradangan : Adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan,
gangguan gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan) karena
adanya sinovitis. Biasanya tanda ini tidak menonjol dan timbul pada
perkembangan penyakit yang lebih jauh. Gejala ini sering dijumpai pada
osteoartritis lutut .Perubahan gaya berjalan.Gejala ini dapat mengganggu
kemandirian pasien osteoartritis, terlebih pada pasien lanjut usia. Keadaan ini
selalu berhubungan dengan nyeri, karena menjadi tumpuan berat badan.
Perubahan gaya berjalan terutama terjadi pada osteoartritis lutut.

Diagnosis13
Diagnosis Osteoartritis biasanya didasarkan pada gambaran klinis dan
radiografi. Pada penderita osteoartritis, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada
sendi yang terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik.
Gambaran radiografi sendi yang mendukung diagnosis OA adalah : Penyempitan
celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menanggung

xxxiii
beban), Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral, Osteofit pada pinggir
sendi, Perubahan struktur anatomi sendi.
Kriteria diagnosis osteoartritis lutut menggunakan kriteria klasifikasi
American College of rheumatology seperti tercantum pada tabel berikut :

Tabel 1. Kriteria klasifikasi Osteoartritis menurut American College of Rheumatology 13

Pemeriksaan Penunjang13
Pada penderita OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang
terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik. Gambaran
Radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah :
a. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris ( lebih berat pada bagian
yang menanggung beban seperti lutut ).
b. Peningkatan densitas tulang subkondral ( sklerosis ).
c. Kista pada tulang
d. Osteofit pada pinggir sendi
e. Perubahan struktur anatomi sendi.

xxxiv
Menurut Kellgren dan Lawrence (1963) secara radiologis Oseoartritis
diklasifikasikan sebagai berikut (Ziad, 2013) :
a. Grade 0 : Normal, tidak terdapat gambaran osteoartritis
b. Grade 1 :Ragu-ragu, tanpa osteofit, penyempitan persendian meragukan
c. Grade 2 :Minimal, osteofit sedikit pada tibia dan patella dan permukaan
sendi menyempit asimetris.
d. Grade 3 :Moderate, adanya osteofit moderate pada beberapa tempat,
permukaan sendi menyempit, dan tampak sklerosis subkondral.
e. Grade 4 :Berat, adanya osteofit yang besar, permukaan sendi menyempit
secara komplit, sklerosis subkondral berat, dan kerusakan permukaan
sendi.

Pemeriksaan Laboratorium pada OA biasanya tidak banyak berguna.


Pemeriksaan darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) masih dalam
batas-batas normal. Pemeriksaan imunologi masih dalam batas-batas normal.
Pada OA yang disertai peradangan sendi dapat dijumpai peningkatan ringan sel
peradangan ( < 8000 / m ) dan peningkatan nilai protein.Pemeriksaan imunologi
(ANA, faktor rheumatoid, dan komplemen) masih dalam batas-batas normal.

Tatalaksana13
Tujuan penatalaksanaan pasien yang mengalami osteoartritis adalah untuk
edukasi pasien, pengendalian rasa sakit, memperbaiki fungsi sendi yang terserang
dan menghambat penyakit supaya tidak menjadi lebih parah. Pengelolaan
osteoartritis berdasarkan atas sendi yang terkena dan berat ringannya osteoartritis
yang diderita. Penatalaksanaan osteoartritis terbagi atas 3 hal, yaitu : Terapi non-
farmakologis
a. Edukasi : atau penjelasan kepada pasien perlu dilakukan agar pasien dapat
mengetahui serta memahami tetang penyakit yang dideritanya, bagaimana

xxxv
agar penyakitnya tidak bertambah semakin parah, dan agar persediannya
tetap terpakai.
b. Terapi fisik atau rehabilitasi : Terapi ini dilakukan untuk melatih pasien agar
persendiannya tetap dapat dipakai dan melatih pasien untuk melindungi
sendi yang sakit, Penurunan berat badan, Berat badan yang berlebih
merupakan faktor yang memperberat osteoartritis. Oleh karena itu, berat
badan harus dapat dijaga agar tidak berlebih dan diupayakan untuk
melakukan penurunan berat badan apabila berat badan berlebih.
c. Terapi farmakologis :

Analgetik
Asetaminofen adalah terapi farmakologi ssistemik pertama yang
direkomendasikan untuk OA lutut dan pinggul oleh The American Collegeof
Rheumatology, European League AgainstRheumatism, American Academy
of Orthopaedic Surgeons dan organisasi lainnya. Analgesik murni lainnya
telah efektif yaitu tramadol, analgesik yang bekerja di sentral, dan analgesik
opioid. Namun,keduanya memiliki insidensi yang tinggi terhadap efek
samping yang tidak bisa ditoleransi.
Meski ada kekhawatiran terhadap keamanan dan publisitas terbaru
tentang risiko kardiovaskular, NSAID dan inhibitor siklo-oksigenase-
2(COX-2) tetap menjadi terapi OA; obat ini adalah satu-satunya obat yang
secara konsisten telah menunjukkan efek mengurangi nyeri OA dalam
jangka panjang. Glukosamin maupun kondroitin sulfat tidak ada yang lebih
baik dibandingkan plasebo,COX-2 meringankan nyeri lebih baik dalam 2
tahun. Pemilihan dalam menggunakan NSAID untuk OA harus didasarkan
pada beberapa faktor,seperti kecocokan dosis, kenyamanan dokter dan
pasien, dan harga. Ketika NSAID digunakan pada pasien risiko kejadian
gastrointestinalnya meningkat, dapat ditambahkan proton pumpinhibitor atau
misoprositol. Obat Anti Inflamasi Non Steroid (OAINS), Inhibitor COX-2

xxxvi
(Siklooksigenase-2), dan Asetaminofen untuk mengobati rasa nyeri yang
timbul pada Osteoartritis, penggunaan OAINS dan inhibitor COX-2 dinilai
lebih efektif daripada penggunaan asetaminofen. Namun karena risiko
toksisitas OAINS lebih tinggi dari pada asetaminofen, maka tetap menjadi
obat pilihan pertama dalam penanganan rasa nyeri pada osteoartritis. Cara
lain untuk mengurangi dampak toksisitas dari OAINS adalah dengan cara
mengkombinasikannya dengan menggunakan inhibitor COX-2
Keamanan dan kemanjuran dari obat anti inflamasi harus selalu
dievaluasi agar tidak menyebabkan toksisitas. Contoh: Ibuprofen : untuk
efek antiinflamasi dibutuhkan dosis 1200 - 2400mg sehari. Naproksen : dosis
untuk terapi penyakit sendi adalah 2x250 - 375mg sehari. Bila perlu
diberikan 2x500mg sehari.

Kostikosteroid
Injeksi kortikosteroid intraartikular mengurangi nyeri dalam jangka
pendek,terutama pada rasa nyeri yang sangat; terapi ini juga berguna untuk
mengurangi nyeri yang tidak responsif dengan terapi sistemik optimal.Injeksi
intra-artikular pada sendi yang sama lebih dari 3 atau 4 kali setahun tidak
dianjurkan karena kekhawatiran efek sampingnya terhadap kartilago artikular
dan struktur sendi yang mengelilinginya.

Hialuronan
Injeksi intra-artikular hialuronan ditujukan sebagai suplementasi
viskous karena dimaksudkan untuk meningkatkan viskositas cairan sinovial
pada OA untuk mengembalikan keadaan mendekati normal. Namun, karena
waktu paruh hialuronan secara in vivo pendek, efek mengurangi nyerinya
mungkin hasil dari mekanisme yang dihubungkan dengan nonviskositas.
Beberapa hialuronan tersedia untuk penggunaan pada OA lutut. Masing-
masing telah bermanfaat mengurangi rasa nyeri yang merupakan hasil dari

xxxvii
penggunaan obat ini dalam 6 bulan atau lebih lama. Meskipun kontroversi
tetap ada mengenai batasan pengurangan rasa nyeri yang merupakan hasil
penggunaan obatini, agak aman dan ditoleransi baik.

Operasi
Pasien dengan gejala tidak terkontrol secara adekuat dengan terapi medis dan
dengan derajat sedang sampai berat dan gangguan fungsional harus
dipertimbangkan menjalani operasi, terutama pada lutut atau pinggul yang
sendinya bergejala. Implan modern mengurangi nyeri dan telah terbukti dapat
tahan lama dan memeperbaiki fungsional. Artroplasti telah terbukti
memperbaiki kualitas hidup pasien dengan OA lutut dan pinggul dan
merupakan satu dari beberapa penalaksanaan yang maju dalam 30 tahun
terakhir. Sebagai tambahan pada artroplasty, beragam prosedur digunakan
pada OA termasuk debridement artroskopi, artrodesis dan teknik penyusunan
kembali sendi. Beberapa pendekatan lain pada terapi OA sedang diteliti oleh
industri farmasi dan bioteknologi dan oleh peneliti akademik. Terapi bedahi
ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi rasa
sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang
mengganggu aktivitas sehari-hari.

3. Spondilosis
Definisi14

Spondilosis adalah penyakit degeneratif tulang belakang yang disebabkan


oleh proses degenerasi yang progresif pada diskus intervertebralis. Proses
degeneratif tersebut mengakibatkan menyempitnya jarak antar vertebra,
mengakibatkan terjadinya osteofit, penyempitan kanalis spinalis dan foramen
intervertebralis dan iritasi pada persendian posterior. Rasa nyeri pada spondilosis

xxxviii
ini dapat disebabkan oleh terjadinya osteoartritis dan tertekan radiks oleh
kantong durameter yang mengakibatkan iskemik dan radang.

Gambar 8. Low Back Pain akibat Spondilosis14


Spondilosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra
atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita.
Faktor utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondilosis
lumbal adalah usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur
yang jelek. Pada faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh
orang yang berusia 40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam
menyebabkan perkembangan spondilosis lumbar. Spondilosis lumbal seringkali
merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur tulang yang terbentuk karena
adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses degenerasi umumnya terjadi pada
segmen L4 – L5 dan L5 – S1. Komponen-komponen vertebra yang seringkali
mengalami spondilosis adalah diskus intervertebralis, facet joint, corpus vertebra
dan ligamen (terutama ligamen flavum).

Manifestasi klinis14
Banyak orang dengan spondilosis pada sinar-X tidak memiliki gejala
apapun. Faktanya, spondilosis ada pada 27%-37% orang dapat tanpa gejala. Pada
sebagian besar riset, spondilosis menyebabkan nyeri punggung dan nyeri leher
akibat adanya kompresi saraf. Kompresi di servikal dapat menyebabkan nyeri di
leher, bahu dan sakit kepala. Kompresi saraf spinal dapat disebabkan oleh
tonjolan diskus dan tonjolan tulang pada sendi faset pasien spondilosis,
menyebabkan penyempitan pada foramen intervetebre tempat keluar dari kanalis

xxxix
spinalis yang disebut dengan foraminal stenosis. Bahkan jika mereka tidak cukup
besar untuk secara langsung menekan saraf, diskus yang menggembung dapat
menyebabkan radang lokal dan menyebabkan saraf di tulang belakang menjadi
lebih sensitif, meningkatkan rasa sakit. Herniasi diskus juga menyebabkan
terdorongnya ligamen vetebre dan menyebabkan rasa sakit.
Gejala spondilosis meliputi nyeri lokal di daerah spondilosis, biasanya di
punggung atau leher. Spondilosis pada tulang belakang leher bisa menyebabkan
sakit kepala. Namun, masih kontroversi apakah spondilosis ringan, seperti
tonjolan tulang kecil dan diskus yang sedikit menonjol tidak menekan saraf yang
menyebabkan sakit punggung.17 Hal ini karena kebanyakan orang paruh baya dan
orang tua memiliki temuan abnormal pada pemeriksaan rontgen spondilosis,
bahkan saat mereka benar-benar bebas dari rasa sakit. Oleh karena itu, faktor lain
kemungkinan merupakan kontributor utama terhadap nyeri punggung mereka.
Spondilosis lumbal menggambarkan adanya osteofit yang timbul dari
vertebra lumbalis. Osteofit biasanya terlihat pada sisi anterior, superior, dan sisi
lateral vertebra. Pembentukan osteofit timbul karena terdapat tekanan pada
ligamen. Apabila hal ini mengenai saraf, maka akan terjadi kompresi pada saraf
tersebut, dan dari hal itu dapat menimbulkan rasa nyeri, baik lokal maupun
menjalar, parastesia atau mati rasa, dan kelemahan otot.15
Jika diskus hernia dari spondilosis menyebabkan saraf terjepit, rasa sakit
bisa masuk ke tungkai kaki. Misalnya, herniasi yang besar terjadi pada diskus di
tulang belakang lumbar dapat menyebabkan kompresi saraf dan menyebabkan
rasa sakit yang berasal dari punggung bawah dan kemudian menyebar ke kaki.
Nyeri yang menjalar dari pangkal ke ujung ini disebut radikulopati. Persarafan
skiatik yang membentang dari punggung bawah kaki sampai kaki, terpengaruh.
Radikulopati dan skiatika sering menyebabkan mati rasa dan kesemutan (sensasi
pin dan jarum) pada ekstremitas.15

xl
Gambar 9. Nyeri Skiatika
Nyeri punggung karena osteofit yang menonjol biasanya akan lebih buruk
dengan berdiri lama, duduk, dan membungkuk maju dan seringkali lebih baik
dengan perubahan posisi yang sering dan berjalan. Terdapat perbedaan
manisfestasi nyeri punggung, seperti LBP akibat osteoarthritis sendi facet
biasanya lebih buruk dengan berjalan dan berdiri dan lega dengan lentur ke
depan.16
Apabila terjadi penekanan yang amat berat, kelemahan ekstremitas yang
terkena dapat terjadi. Jika hernia diskus mendorong sumsum tulang belakang, ini
bisa menyebabkan luka pada sumsum tulang belakang (mielopati). Spondilosis
dengan mielopati mengacu pada spondilosis yang melukai sumsum tulang
belakang. Spondilosis tanpa mielopati mengacu pada spondilosis tanpa cedera
pada sumsum tulang belakang. Gejala mielopati meliputi mati rasa, kesemutan,
dan kelemahan. Misalnya, hernia yang besar terjadi pada diskus di tulang
belakang servikal dapat menyebabkan mielopati servikal jika cukup besar untuk
mendorong sumsum tulang belakang dengan gejala mati rasa, kesemutan, dan
kelemahan di lengan dan kemungkinan kaki.16

Diagnosis17
Diagnosis spondilosis dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan
radiologi seperti sinar-X film polos, MRI, atau CT scan. Sinar-X dapat

xli
menunjukkan taji tulang (Osteofit) pada korpus vertebra di tulang belakang,
penebalan sendi facet (sendi yang menghubungkan tulang belakang satu sama
lain), dan penyempitan ruang diskus intervertebralis. Foto polos dapat menilai
adanya spondilosis namun tidak sepesifik apabila dibandingkan dengan MRI.
CT scan tulang belakang mampu memvisualisasikan tulang belakang
secara lebih rinci dan dapat mendiagnosis penyempitan saluran tulang belakang
(stenosis tulang belakang) saat ini. MRI mahal tapi menunjukkan detail terbesar
di tulang belakang dan digunakan untuk memvisualisasikan diskus
intervertebralis, termasuk tingkat herniasi diskus, jika ada. MRI juga digunakan
untuk memvisualisasikan vertebra, sendi facet, saraf, dan ligamen di tulang
belakang dan dapat dengan andal mendiagnosis saraf terjepit.

Gambar 10. Gambaran spondilosis (kiri) pada foto polos (kanan) pada MRI. (A),(B),(C)
menunjukan jenis spesifik osteofit.

xlii
Tabel 2.1. Perubahan degeneratif pada pemeriksaan MRI
Ciri Deskripsi
Perubahan  Berkurangnya tinggi vertebrae
tulang vertebrae Meningkatnya diamere anterior-
posterior Pembentukan osteofit
 Hourglass reshaping
Degenerasi  Berkurangnya tinggi diskus
diskus  Diskus bulging /menonjol
intervertebrae  Simetris
 Asimetris Herniasi
 Melewati annulus fibrosus tapi
tidak sampe PLL
 Melewati annulus fibrosus dan
PLL
 Melewati annulus fibrosus, PLL
dan duramarer
 Sequestrasi
Perubahan PLL  Hipertropi
 Osifikasi

Perubahan  Hipertropi Osifikasi


Ligamentum  Kalsifikasi
Flacum
Perubahan  Spondililistesis/subluksasi
structural lain Stenosis kanalis spinalis Autofusi
vertebrae
 Kifosis
Patologis pada  Kompresi Spinal Cord
Medulla  Penggepengan (perataan) Spinal
Spinalis cord Tambatan Spinal Cord

Pemeriksaan Radiologi (MRI maupun X-ray) dapat menentukan grading


mernurut Kellgren, adapun kunci parameter grading ini berupa osteofit, tinggi
diskus intervertebralis dan sclerosis dari end plate vertebra, yaitu:18
 Grade 0 (normal) : Tidak ada perubahan degeneratif

xliii
 Grade 1 (minimal/awal) : Pembentukan osteofit minimal di anterior,
tidak adapengurangan dari tinggi discus intervertebrae dan tidak
ada sklerosis pada end plate.
 Grade 2 (ringan) : Pembentukan osteofit anterior yang jelas, sedikit
pengurangan tinggi diskus intervertebralis (<25%) dan tampak
sedikit skleroris pada end plate.
 Grade 3 (sedang) : Pembentukan osteofit anterior yang jelas,
penyempitan sedang pada ruang diskus (25- 75%), sklerosis pada
endplate dan sclerosis pada osteofit terlihat jelas.
 Grade 4 (berat) : Pembentukan osteofit yang besar dan multiple,
penyempitan yang berat pada ruang diskus (>75%), dan sklerosis pada
endplate yang ireguler.

Tatalaksana
Tidak ada pengobatan untuk membalikkan proses spondilosis, karena ini
adalah proses degeneratif. Perawatan untuk spondilosis menargetkan nyeri
punggung dan nyeri leher yang dapat menyebabkan spondilosis. Karena itu,
pengobatan spondilosis ini mirip dengan pengobatan nyeri punggung dan nyeri
leher. Pengobatan yang tersedia termasuk dalam beberapa kategori: obat-obatan,
perawatan diri, latihan dan terapi fisik, terapi tambahan alternatif (chiropractics
and akupunktur), prosedur invasif minimal seperti suntikan, dan pembedahan.

4. Spondilolistesis
Definsi

Spondilolistesis adalah subluksasi ke depan dari satu korpus vertebrata


terhadap korpus vertebrata lain dibawahnya. Hal ini terjadi karena adanya defek
antara sendi pacet superior dan inferior (pars interartikularis). Kebanyakan
penderita tidak menunjukkan gejala atau gejalanya hanya minimal, dan sebagian

xliv
besar kasus dengan tindakan konservatif memberikan hasil yang baik.
Spondilolistesis dapat terjadi pada semua lever vertebrata, tapi yang paling sering
terjadi pada vertebrata lumbal bagian bawah.19
Dua etiologi utama spondylolisthesis adalah “isthmic” terkait dengan
spondylolysis dan “degeneratif” terkait dengan degenerasi sendi faset posterior
dan/atau diskus intervertebralis. Spondilolisthesis degeneratif kebanyakan terjadi
pada level L4-5, dibandingkan dengan spondilolisthesis isthmic, yang paling
sering terjadi pada level lumbosakral (L5-S1). Spondylolisthesis isthmic muncul
pada sebagian besar individu dengan spondylolisthesis. 68% dari siswa kelas satu
dengan spondylolysis telah terbukti memiliki spondylolisthesis isthmic terkait.
Dalam penelitian lain, 80% anak dengan LBP dan spondilolisis ditemukan
memiliki hubungan isthmic spondylolisthesis.20

Manifestasi Klinis
Low back pain adalah gejala yang umum ditemukan pada spondilolistesis.
Dapat juga ditemukan sciatic pain dari bokong ke bagian posterior kaki. Hal ini
diikuti dengan terbatasnya gerakan kaki. Dari studi eksperimental didapatkan
bahwa gerakan fleksi, ekstensi tidak terlalu bermakna dalam menimbulkan
spondilolistesis. Diduga bahwa gerakan puntiran (torsinal) menjadi penyebab
rusaknya pars interartikularis sehingga terjadi spondilolistesis. Konsentrasi
tertinggi dari biomekanikal terdapat lumbal, terutama di pars interartikularis. 18

Diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan18:


a. Foto polos

xlv
Gambar 11. Spondilosistesis L4-5.

b. MRI

Gambar 12. Spondilolistesis Lumbal pada MRI

xlvi
Ada dua metode klinis untuk mengukur derajat slip pada spondilolistesis
yakni metode Meyerding dan Taillard. Metode Meyerding: permukaan superior
sakrum dibagi empat bagian sepanjang diameter anterior posterior. Derajat slip
dihitung sesuai dengan pembagian tersebut.21

Gambar 13. Mengukur derajat slip dengan metode Meyerding

Metode Taillard: derajat slip dihitung dalam persentase, seberapa lebar


pergeserannya dalam diameter anterior posterior. Bila ada sklerosis dan kelainan
bentuk sakrum sehingga mengukur dengan cara diatas sulit, maka digunakan
modifikasi yakni dengan mengukur body L5.

xlvii
Gambar 14. Mengukur derajat slip dengan metode Taillard.

Pengukuran derajat slip penting untuk menentukan tindakan pengobatan.


Pada anak dan dewasa muda ini juga penting untuk melihat progresivitas. Untuk
derajat slip lebih besar 50% penilaian sudut slip juga penting. Sudut ini dibentuk
oleh garis yang melalui permukaan superior dari dua vertebrata. Bila permukaan
superior sakrum tumpul garis dibentuk sepanjang bagian belakang vertebral
body. Cara lain dapat dengan mengukur sakral inklinasi, yakni sudut yang
dibentuk antara posterior sakral body cortex dari S1 dan garis vertikal. Semakin
tinggi derjat slip semakin besar kecendrungan slipnya dikemudian hari.22

Tatalaksana23
Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservatif. Pengobatan non
operatif diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit
neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan,
stretching exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal
terpenting dalam manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien.

xlviii
Pasien dengan defisit neurologis atau pain yang mengganggu aktifitas,
yang gagal dengan non operatif manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila
radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray
disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50%
atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade
spondilolistesis walaupun tanpa gejala fusi harus dilakukan. Dekompresi tanpa
fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena neural kompresi. Bila
manajemen operative dilakukan pada adolescent, dewasa muda maka fusi harus
dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila dilakukan
operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda, progresivitas slip
lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi
lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah,
aktivitas rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse.

5. Facet Joint Arthropathy


Definisi
Facet Joint Arthropathy merupakan penyakit degeneratif yang mengenai
sendi facet tulang belakang. Degenerasi yang terjadi diawali dengan degradasi
tulang rawan sendi kemudian menyebabkan erosi dan penyempitan celah sendi,
serta terjadinya sklerosis pada tulang subchondral.24

Manifestasi klinis
 Nyeri
Gejala nyeri yang dirasakan bisa lokal dan menjalar. Gejala lokal dirasakan
berupa back pain di area terjadinya kelainan sendi facet. Penjalaran nyeri
terjadi karena infiltrasi ataupun stimulasi elektrik terhadap serabut saraf
yang terkena. Kelainan yang mengenai sendi facet lumbal akan dirasakan
sampai ke ekstremitas bawah hingga dibawah lutut tanpa adanya defisit

xlix
neurologis. Nyeri bisa dirasakan hilang timbul, biasanya akan meningkat di
pagi hari, saat istirahat, aktivitas fisik berat, dan ekstensi lumbal atau
gerakan rotasi pinggang. Nyeri bisa juga dirasakan ke area abdomen dan
pelvis. 25

Gambar 15. Penjalaran nyeri facet joint pain. a. penjalaran ke bagian anterior. b.
penjalaran kebagian tubuh posterior, frekuensi penjalaran tersering di area
berwarna biru tua.2

Diagnosis
a. Pemeriksaan Konvensional
Penilaian radiologis awal untuk menilai keluhan nyeri pinggang bisa
dilakukan berupa rontgen thorakolumbal atau lumbosakral AP, lateral, dan
obliq. Rontgen oblig merupakan pemeriksaan terbaik untuk menilai sendi
facet karena posisi nya berada di obliq (Scottie dog). Kelainan degeneratif
yang dapat ditemukan berupa; penyempitan celah sendi, sklerosis, hipertrofi
tulang, dan osteofit. Bisa juga ditemukan adanya intraarticular gas (vacum
phenomenom) dan spondilolistesis.26

l
Gambar 16. Radiologi konvensional lumbal posisi, AP (A), lateral (B), obliq kiri (C),
dan obliq kanan (D).29
b. CT-Scan
Dibandingkan dengan radiografi standar, CT-Scan dapat
menggambarkan sendi facet lebih jelas. Pada CT-scan kita dapat melihat
penyempitan ruang sendi dengan sklerosis dan erosi subkondral,
pertumbuhan berlebihan osseous dan / atau hipertrofi dari ligamentum
flavum. Tanda sekunder dapat ditemukan intraarticular gas, efusi sendi, dan
spondilolistesis. Penarikan terhadap sendi facet selama subluksasi dapat
menyebabkan terbentuknya gas di ruang intraartikular.26

li
Gambar 17. CT-Scan vertebrae lumbal. Potongan sagital (A) dan aksial (B)
menunjukkan adanya degenerasi sendi facet dengan anterolistesis L4, juga ditemukan
osteofit, hilangnya ruang antar sendi, dan sklerosis subkondral.19

c. MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) adalah modalitas diagnostik
noninvasif dan nonionisasi yang menggambarkan jaringan lunak dengan
sangat baik. Kelebihan MRI dapat menggambarkan keterlibatan struktur
jaringan saraf disekitarnya. Proses degeneratif kronis dapat melibatkan
peradangan sinovial dan edema intrartikular yang dapat dideteksi dengan
MRI. Adanya cairan berlebih dan kista sinovial sendi facet sangat signifikan
untuk sugestif spondilolistesis, tapi tidak spesifik membuktikan asalnya dari
sendi facet.27

Gambar 18. MRI vertebrae lumbal. Peradangan aktif sinovial dan edema intra
artikular; potongan aksial (a) dan sagital (b,c).28

Tatalaksana
Tatalaksana Facet Joint Arthropathy adalah :

lii
1. Analgetik : Terapi awal yang dapat diberikan berupa terapi anti nyeri
seperti; asetaminofen, NSAID, muscle relaxan.
2. Steroid : Pemberian terapi steroid untuk mengurangi inflamasi sehingga
dapat mencegah progresifitas degenerasi dan nyeri.
3. Bedah : Tindakan pembedahan yang dapat dilakukan berupa stabilisasi
dekompresi (laminectomy).28

6. Spinal Canal Stenosis


Definisi
Spinal kanal stenosis adalah suatu kondisi penyempitan kanalis spinalis
atau foramen intervertebralis disertai dengan penekanan akar saraf yang keluar
dari foramen tersebut. Struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap
penyempitan kanal meliputi struktur tulang dan jaringan lunak. Struktur tulang
meliputi: osteofit sendi facet (merupakan penyebab tersering), penebalan lamina,
osteofit pada corpus vertebra, subluksasi maupun dislokasi sendi facet
(spondilolistesis), hipertrofi atau defek spondilolisis, anomali sendi facet
kongenital. Struktur jaringan lunak meliputi: hipertrofi ligamentum flavum
(penyebab tersering), penonjolan annulus atau fragmen nukleus pulposus,
penebalan kapsul sendi facet dan sinovitis, dan ganglion yang bersal dari sendi
facet. Akibat kelainan struktur tulang jaringan lunak tersebut dapat
mengakibatkan beberapa kondisi yang mendasari terjadinya spinal canal
stenosis.29,30

Manifestasi Klinis30
1. Nyeri punggung merupakan gejala yang timbul akibat penekanan terhadap
struktur sekitar kelainan.
2. Nyeri seperti terbakar pada bokong atau kaki (linu panggul) : Tekanan pada
saraf tulang belakang dapat mengakibatkan rasa sakit di daerah pasokan

liii
saraf. Rasa sakit dapat digambarkan sebagai nyeri atau rasa seperti terbakar.
Ini biasanya dimulai di daerah bokong dan memancarkan ke kaki. Rasa sakit
di kaki yang sering disebut "sciatica."
3. Mati rasa atau kesemutan pada bokong atau kaki : Saat tekanan pada saraf
meningkat, mati rasa dan kesemutan sering disertai nyeri terbakar. Meskipun
tidak semua pasien akan mempunyai keluhan nyeri terbakar dan mati rasa
dan kesemutan pada kedua kakinya.
4. Kelemahan di kaki atau "foot drop" : Setelah tekanan pada saraf mencapai
tingkat kritis, kelemahan dapat terjadi pada satu atau kedua kaki. Beberapa
pasien akan memiliki drop foot, atau merasakan kaki mereka di tanah saat
berjalan.
5. Lebih sedikit nyeri dengan bersandar ke depan atau duduk : Studi dari
lumbar tulang belakang menunjukkan bahwa bersandar ke depan benar-
benar dapat menambah ruang yang tersedia untuk saraf. Banyak pasien
merasa nyaman ketika membungkuk ke depan dan terutama dengan duduk.
Nyeri biasanya diperparah dengan berdiri tegak dan berjalan. Beberapa
pasien memperhatikan bahwa mereka bisa naik sepeda statis atau berjalan
bersandar pada keranjang belanja. Berjalan lebih dari 1 atau 2 blok,
bagaimanapun, dapat membuat pada linu panggul menjadi semakin parah
atau terjadi kelemahan.
6. Abnormal fungsi usus / dan atau fungsi kandung kemih
7. Hilangnya fungsi seksual

Gambaran Radiologis
1. Radiologi Konvensional : Pemeriksaan radiologi konvensional dapat
membantu menentukan adanya tanda stenosis spinal berupa degenerasi tulang
dan alignment corpus vertebra posisi lateral dan coronal. Sensitifitas dan
spesifisitas pemeriksaan radiologi konvensional untuk penilaian stenosis
spinal yakni 86 % dan 96 %.28

liv
2. Magnetic resonance imaging (MRI) : Magnetic resonance imaging (MRI)
merupakan metode pemeriksaan noninvasif dan cocok untuk mengevaluasi
stenosis spinal dalam keadaan istirahat. Pemerikasaan MRI ini dapat
membedakan jaringan lunak dan menilai status diskus intervertebralis.
Gambar potongan sagital bisa berguna untuk mendiagnosis stenosis sentral
berupa penyempitan kanalis intervertebral. Selain itu juga dengan menilai
foramen intervertebralis dan lemak sekitar disekitar radiks.28

Gambar 19. Gambaran stenosis spinal pada MRI dengan tidak adanya lemak sekitar
serabut saraf.25

3. CT-Scan : CT-Scan dapat digunakan untuk mengevaluasi kanalis spinalis


dan membedakan kompresi kanalis spinalis yang disebabkan oleh diskus,
ligamen, dan struktur tulang. Keterbatasan CT-Scan ini tidak dapat
menggambarkan serabut saraf dan medula spinalis karena memililki densitas
yang sama dengan cairan serebrospinal.28

Tatalaksana Spinal Canal Stenosis


a. Non operatif : Pilihan pengobatan non operatif difokuskan untuk
mengembalikan fungsi dan menghilangkan rasa sakit. Pemberian obat
anti-inflamasi untuk mengurangi rasa nyeri yang disebabkan oleh tekanan
pada saraf tulang belakang, dan mengurangi inflamasi (pembengkakan) di

lv
sekitar saraf. Obat yang bisa digunakan seperti Nonsteroid
antiinflammatory drugs (NSAID); aspirin dan ibuprofen.
Kortison adalah anti inflamasi kuat. Injeksi kortison pada sekitar saraf
atau diruang epidural bisa mengurangi pembengkakan dan rasa sakit.
Pemberian steroid injeksi hanya untuk mengurangi inflamasi, tidak dapat
mengurangi gangguan neurologis yang terjadi.29
b. Talaksana operatif : Pembedahan untuk stenosis spinal umumnya ditunda
pada pasien yang memiliki kualitas hidup yang buruk karena rasa sakit
dan kelemahan. Ada dua pilihan operasi utama untuk mengobati stenosis
tulang belakang lumbal: laminektomi dan fusi spina. Kedua opsi dapat
menghilangkan rasa sakit yang sangat baik. Prosedur Laminektomi
melibatkan pengeluaran tulang, taji tulang, dan ligamen yang menekan
saraf. Prosedur ini juga dapat disebut "dekompresi." Laminektomi dapat
dilakukan dengan operasi terbuka, di mana dokter melakukan sebuah
sayatan yang besar untuk mengakses tulang belakang. Prosedur ini juga
dapat dilakukan dengan menggunakan metode minimal invasif, di mana
dibuat beberapa sayatan kecil. 30
Jika arthritis telah berlanjut terhadap ketidakstabilan tulang belakang,
kombinasi dekompresi dan stabilisasi atau spinal fusion dapat dianjurkan.
Pada spinal fusion, dua atau lebih vertebra disatukan bersama-sama.
Cangkok tulang diambil dari tulang panggul atau tulang pinggul yang
digunakan untuk memadukan tulang belakang. Fusion menghilangkan
gerakan antara tulang dan mencegah terjadinya selip yang akan
memperburuk setelah operasi.30

lvi

Anda mungkin juga menyukai