Anda di halaman 1dari 13

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/329554835

STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER DALAM BERBAGAI ASPEK

Conference Paper · December 2018

CITATIONS READS

0 12,918

1 author:

Deni Rifkon Khairani

1 PUBLICATION 0 CITATIONS

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Tugas artikel View project

All content following this page was uploaded by Deni Rifkon Khairani on 12 December 2018.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


STUDI TENTANG KESETARAAN GENDER
DALAM BERBAGAI ASPEK
Deni Rifkon Khairani
Mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN Madura),
Jurusan Syari’ah, prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Email: denirifkonkhairani@gmail.com

Abstrak
Pengetahuan Masyarakat tentang Kesetaraan Gender.
Isu kesetaraan gender mulai merebak di Indonesia pada
tahun 1990-an. Walaupun isu gender telah lama merebak
di Indonesia, namun banyak orang yang masih salah
mengartikan tentang konsep gender dan kesetaraan gender.
Selain gender yang sering disamakan dengan arti seks
(jenis kelamin), kemudian salah arti lainnya dimana
kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan
atau keinginan menomorsatukan perempuan yang ada di
belahan dunia. Sebuah penelitian pada kelompok
perempuan petani pedesaan di Jambi mengungkapkan
bahwa pada awalnya masyarakat setempat sangat risih
berbicara dengan kesetaraan gender. Mereka beranggapan
bahwa kesetaraan gender adalah hal yang tidak lazim
dibicarakan, terlalu kasar dan mendukung aliran
liberalisasi serta sekularitas. Penulis memandang
kesetaraan gender ini dapat dijunjung tinggi melalui
perubahan pola pikir masyarakat yang berkembang saat ini.
Pola pikir yang positif tentang kesetaraan gender akan
membantu mengurangi kasus-kasus ketimpangan gender di
Indonesia. Mengubah pola pikir masyarakat tentunya harus
didasarkan pada pengetahuan masyarakat di daerah itu
sendiri. Pekerja sosial khususnya bidang pekerja sosial
feminis bertugas untuk mengubah pola pikir dan
mengedukasi masyarakat baik kaum laki-laki maupun
perempuan.
Kata kunci: jenis kelamin, Islam, dan pendidikan

Abstract
The knowledge of the community about gender
equality. The issue of gender equality began to the
aoutbreak in Indonesia in the 1990s. Although the issue of
gender has long outbreak in Indonesia, but many people
who the concept of gender and gender aquality. In addition
to the gender is often equality with the meaning of sex
(gender), then one of the meaning of the other, where
gender equality as if considered as the actions or desires
come first women in parts of the world. A study on a group
of women rural initially the local people are very
uncomfortable talking with gender equality. They assume
that gender equality is a thing that is not commonly talked
about, too vulgar and supports the flow liberalization as
well as secularity. The writer looked gender equality it can
be in hold dear high through the change the mindset of
people who thriving today. The mindset that positive about
gender equality will help reduce cases than gender in
Indonesia. Change the mindset of people would have to be
based on the knowledge of the people in the area itself.
Social workers, especially in the field of social workers
feminist served to change the mindset and education of
both the men and women.

Keyword: gender, Islam, and education

PENDAHULUAN
Isu-isu tentang perempuan sekarang ini, banyak
mengisi wacana di tengah-tengah masyarakat kita, di
samping wacana-wacana politik dan ekonomi. Isu
perempuan ini menjadi semakin menarik ketika kesadaran
akan ketidak adilan di antara kedua jenis kelamin (laki-laki
dan perempuan) – yang sering di sebut ketidak adilan
gender – ini semakin tinggi di kalangan masyarakat kita.
Perempuan yang sekarang ini jumlahnya lebih besar
dibanding laki-laki belum banyak mengisi dan menempati
sektor-sektor publik yang ikut berpengaruh di dalam
menentukan keputusan-keputusan dan keijakan-kebijakan
penting. Meskipun perempuan memasuki sektor publik,
posisinya selalu berada di bawah laki-laki, terutama dalam
bidang politik. Kenyataan seperti ini tidak hanya terjadi di
Negara-negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga
terjadi di Negara-negara maju seperti Eropa Barat dan
Amerika Serikat.
Berbagai upaya di tempuh untuk mengangkat derajat
dan posisi perempuan agar setara dengan laki-laki melalui
berbagai institusi, baik yang formal maupun yang
nonformal. Tujuan akhir yang ingin di capai adalah
terwujudnya keadilan gender (keadilan sosial) di tengah-
tengah masyarakat. Di antara strategi yang di tempuh untuk
mewujudkan keadilan tersebut adalah melibatkan
perempuan dalam pembangunan. Strategi ini menjadi
dominan di tahun 70-an. Setelah PBB menetapkan decade
pertama pembangunan kaum perempuan, sejak saat itulah
hampir semua pemerintahan dunia ketiga mulai
mengembangkan kementrian peranan wanita dalam
pembangunan.
Pemberian kesempatan yang sama terhadap
perempuan untuk melakukan aktivitas di berbagai bidang
sebagaimana laki-laki ternyata tidak menjamin untuk
terealisasikannya keadilan gender. Penyebab utamanya
adalah rendahnya kualitas sumber daya kaum perempuan
yang mengakibatkan ketidak mampuan mereka bersaing
dengan kaum lelaki dalam pembangunan, sehingga posisi
penting dalam pemerintahan maupun dunia usaha
didominasi oleh kaum lelaki.
(Mansour Fakih, 1997), perbedaan gender sebenarnya
tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidak
adilan gender. Masalah itu akan muncul ketika perbedaan
gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, terutama
bagi kaum perempuan. Untuk memahami bagaimana
keadilan gender menyebabkan ketidak adilan gender perlu
dilihat manifestasi ketidak adilan dalam berbagai
bentuknya, seperi marginalisasi atau proses pemiskinan
ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam
keputusan politik, pembentukan stereotipe atau melalui
pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih
panjang dan lebih lama (burden), serta sosialisasi ideologi
nilai peran gender.
Lalu bagaimana kita menyikapi kondisi seperti itu?
Tentu kita ingin mengupayakan terwujudnya keadilan atau
kesetaraan gender. Sebelum kita melakukan hal itu, kita
perlu tahu terlebih dahulu bagaimana kesetaraan gender ini
di tengah-tengah masyarakat kita di Indonesia. Lebih
khusus lagi kita perlu juga tahu bagaimana kesetaraan
gender menurut Islam dan juga dalam bilang pendidikan?
Permasalahn inilah yang akan dikaji dalam tulisan singkat
ini. Namun, sebelum itu akan dijelaskan terlebih dahulu
konsep gender secara singkat.

Pengertian Gender
Istilah ‘gender’ sudah tidak asing lagi di telinga kita,
tetapi masih banyak di antara kita yang belum memahami
dengan benar istilah tersebut. Gender sering diidentikkan
dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan
jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai
pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilhai, padahal gender
tidak semata-mata demikian.
(Echols dan Shadily, 1983), secara etimologi kata
‘gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti ‘jenis
kelamin’. Dalam Webster’s New World Dictionary, Edisi
1984 ‘gendr’ diartikan sebagai ‘perbedaan yang tampak
antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan
tingkah laku’. Sementara itu dalam Concise Oxford
Dictionary of Current English Edisi 1990, kata ‘gender’
diartikan sebagai ‘penggolongan gramatikal terhadap kata-
kata benda dan kata-kata lain yang berkaitan dengannya,
yang secara garis besar berhubungan dengan jenis serta
ketiadaan jenis kelamin (atau kenetralan).
(http://id.m.wikipedia.org), gender adalah
serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan
memebedakan maskulinitas dan femininitas. Karakteristik
tersebut dapat mencakup jenis kelamin (laki-laki,
perempuan, atau interseks), hal ini di tentukan berdasarkan
jenis kelamin (struktural sosial seperti peran gender), atau
identitas gender. Orang-orang yang tidak mengidentifikasi
dirinya sebagai pria atau wanita umumnya di kelompokkan
ke dalam masyarakat nonbiner atau genderqueer. Beberapa
kebudayaan memiliki peran gender spesifik yang berbeda
dari “pria” dan “wanita” yang secara kolektif di sebut
sebagai gender ketiga seperti golongan bissu di masyarakat
Bugis di Sulawesi dan orang hijra di Asia Selatan.
(http://www.google.co.id), kata ‘gender’ dapat
diartikan sebagai perbedaan peran, fungsi, status dan
tanggung jawab pada laki-laki dan perempuan sebagai hasil
dari bentukan (kontruksi) sosial budaya yang tertanam
lewat proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi
berikutnya. Dengan demikian gender adalah hasil
kesepakatan antar manusia yang tidak bersifat kodrati.
Oleh karenanya gender bervariasi dari satu tempat ke
tempat lain dan dari satu waktu ke waktu berikutnya.
Gender tidak bersifat kodrati, dapat berubah dan dapat
dipertukarkan pada manusia satu ke manusia lainnya
tergantung waktu dan budaya setempat. Definisi gender
menurut berbagai pustaka, ‘Gender’ adalah perbedaan
antara laki-laki dan perempuan dalam peran, fungsi, hak,
tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai
sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat
yang dapat berubah menurut waktu serta kondisi setempat.
Tanggung jawab dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai
sosial, budaya dan adat istiadat dari kelompok masyarakat
yang dapat berubah menurut waktu serta konsisi setempat.
(Nasaruddin Umar, 1999), secara terminologis
‘gender’ oleh Hilary M. Lips didefinisikan sebagai
harapan-harapan budaya terhadap laki-lai dan perempuan.
H.T. Wilson mengartikan ‘gender’ sebagai suatu dasar
untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan
perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang
sebagai akibatnya mereka menjadi laki-laki dan
perempuan. Elaine Showalter mengartikan ‘gender’ lebih
dari sekedar perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari
kontruksi sosial budaya. Ia lebih menekankan gender
sebagai konsep analisi yang dapat digunakan untuk
menjelaskan sesuatu.
Dari beberapa definisi yang dapat dipahami bahwa
gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk
mengidentifikasikan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya.
Gender dalam arti ini adalah suatu bentuk rekayasa
masyarakat (social constructions), bukannya sesuatu yang
bersifat kodrati.

Perbedaan Sex dengan Gender


(Echols dan Shadily, 1983), gender berbeda dengan
sex, meskipun secara etimologis artinya sama yaitu, jenis
kelamin. Secara umum sex digunakan untuk
mengidentifikasi perbedaan laki-laki dan perempuan dari
segi anatomi biologis, sedang gender lebih banyak
berkontraksi kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek
nonbiologi lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan
kepada perkembangan aspek biologis, komposisi kimia dan
hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi, serta
karakteristik biologis lainnya dalam tubuh seorang laki-
laki dan seorang perempuan, maka studi gender lebih
menekankan kepada perkembangan aspek sosial, budaya,
psikologis, dan aspek-aspek non biologis lainnya. Jika
studi sex lebih menekankan kepada aspek anatomi biologi
dan komposisi kimia dalam tubuh laki-laki (maleness) dan
perempuan (femaleness), maka studi gender lebih
menekankan pada aspek maskulinitas (masculinity) dan
(femininity) femininitas seseorang.
(http://www.idntimes.com), ‘sex’ mengacu pada
profil biologis laki-laki, perempuan dan interseks, ‘gender’
adalah istilah yang lebih tepat untuk merujuk pada sikap,
perasaan dan perilaku yang diasosiasikan dengan jenis
kelamin seseorang.
(http://www.pkbi-diy.info), ‘sex’ biologis, dibawa
sejak lahir (nature), tidak dapat di ubah, bersifat universal,
sama dari waktu ke waktu. Sedangkan ‘gender’ dibentuk
oleh sosial (nurture), dapat di ubah, berbeda di setiap
budaya, berbed dari waktu ke waktu.
(Macdonald dkk, 1999), dalam khazanah ilmu-ilmu
sosial, gender diperkenalkan untuk mengacu kepada
perbedaan-perbedaan antara perempuan dengan laki-laki
tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis,
tetapi lebih merujuk kepada perbedaan-perbedaan akibat
bentukan sosial. karena itu, yang dinamakan relasi gender
adalah seperangkat aturan, tradisi, dan hubungan sosial
timbal balik dalam masyarakat dan dalam kebudayaan
yang menentukan batas-batas feminin dan maskulin.
Jadi, gender menjadi istilah kunci untuk menyebut
femininitas dan maskulinitas yang di bentuk secara sosial
yang berbeda-beda dari satu kurun waktu ke kurun waktu
lain, dan juga berbeda-beda menurut tempatnya. Berbeda
dengan sex (jenis kelamin), perilaku gender adalah perilaku
yang tercipta melalui proses pembelajaran, bukan semata-
mata berasal dari pemberian (kodrat) Tuhan yang tidak
dapat diperngaruhi oleh manusia.
Sejarah perbedaan gender antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan terjadi melalui proses yang
sangat panjang dan di bentuk oleh beberapa sebab, seperti
kondisi sosial budaya, kondisi keagamaan, dan kondisi
kenegaraan. Dengan proses yang panjang ini, perbedaan
gender akhirnya sering dianggap menjadi ketentuan Tuhan
yang bersifat kodrati atau seolah-olah bersifat biologis
yang tidak dapat diubah lagi. Sebenarnya yang
menyebabkan awal terjadinya ketidakadilan gender di
tengah-tengah masyarakat.

Kesetaraan Gender Perspektif Islam


Secara umum perempuan selalu di munculkan sebagai
sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ-
organ tubuhnya. Sudah berabad-abad lamanya pandangan
ini mewarnai hampir seluruh budaya manusia dan
kemudian mendapatkan legitimasi dari agama-agama besar
dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan Islam, atau mungkin
juga agama-agama lainnya.
(al-Bari, 1997 dan N.M. Shaikh, 1991), sebelum islam
datang, posisi perempuan berada pada strata sosial yang
tidak imbang dibandingkan dengan strata sosial laki-laki.
Selama berabad-abad kaum perempuan terus menerus
berada di bawah dominasi kaum laki-laki. Nasib
perempuan begitu sengsara dan memperhatikan.
Perempuan di jadikan boneka-boneka istana untuk
memuaskan nafsu para raja atau penguasa, bahkan
perempuan juga dijadikan seperti barang yang dapat
diperjual belikan. Dalam kehidupan rumah tangga,
kedudukan perempuan sepenuhnya berada pada kekuasaan
suaminya. Perempuan tidak memiliki hak-hak yang
semestinya. Kondisi perempuan seperti ini hampir terjadi
di semua bangsa terkenal di dunia pada waktu itu, seperti
bangsa Yunani, Romawi, Cina, India, Persia, dan lain
sebagainya.
(Mansor Fakih, dkk, 2006), Allah menciptakan bentuk
fisik dan tabiat wanita berbeda dengan pria. Kaum pria di
berikan kelebihan oleh Allah subhanahu wata’ala baik
fisik maupun mental atas kaum wanita sehingga pantas
kaum pria sebagai pemimpin atas kaum wanita terdapat di
dalam Al-Quran pada surat An-Nisa’: 35. Sehingga secara
asala nafkah bagi keluarga itu tanggung jawab kaum laki.
Asy syaikh Ibnu Bazz berkata: “Islam menetapkan masing-
masing dari suami istri memiliki kewajiban yang khusus
agar keduanya menjalankan perannya, hingga sempurnalah
bangunan masyarakat di dalam dan di luar rumah. Suami
berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan
istri berkewajiban mendidik anak-anaknya, memberikan
kasih sayang, menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-
tugas lain yang sesuai baginya, mengajar anak-anak
perempuan, mengurusi sekolah mereka, dan mengobati
mereka serta pekerjaan lain yang khusus bagi kaum wanita.
Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dalam
rumahnya berarti iya menyia-nyiakan rumah berikut
penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecahnya
keluarga baik kaiki maupun maknawi.
(al-Kurdi, 1995), di kalangan bangsa Arab sendiri –
sebelum Islam datang – kondisi perempuan sangat
memprihatinkan. Al-Kurdi menggambarkan kondisi
perempuan pada masa Jahiliah dengan panjang lebar
seperti berikut: (1) perempuan terhalang dari hak mewarisi;
(2) suami berhak menceraikan isterinya seenaknya dan
dapat merujuknya kembali kapan pun dia mau, tetapi
sebaliknya si isteri sama sekali pasif dalam masalah ini; (3)
tidak ada batasan dalam masalah jumlah isteri; (4) isteri
merupakan bagian dari harta peninggalan suami; (5)
menanam hidup-hidup anak perempuan sudah menjadi
tradisi yang berkembang di masyarakat Arab Jahiliah; (6)
dalam rangka memperoleh anak yang baik bangsa Arab
Jahiliah menghalalkan perkawinan istibda’ (maksudnya
seorang suami mengizinkan isterinya yang telah bersih
kandungannya kepada salah seorang pemimpin kabilah
yang terkenal keberaniannya, kekuatannya, kemuliaannya,
dan akhlak supaya isterinya bisa mengandung dari orang
tersebut dan setelah itu ia kembali kepada suaminya lahi);
(7) adanya kebiasaan perkawinan syighar (yang berarti
pertukaran anak perempuan, yaitu apabila dua orang
mempunyai dua anak gadis dewasa yang belum kawin,
mereka biasa mempertukarkan anak-anak perempuan iyu
sehingga mahar bagi seorang anak perempuan dianggap
telah terbayar dengan mahar bagi si anak perempuan yang
lain. Jadi, anak perempuan dari seorang ayah berpindah
tangan kepada ayah dari anak perempua yang lain, dan
sebaliknya)
Islam datang untuk melepaskan perempuan dari
belenggu-belenggu kenistaan dan perbudakan terhadap
sesama manusia. Islam memandang perempun sebagai
makhluk yang mulia dan terhormat, makhluk yang
memilikiberbagai hak di samping kewajiban. Islam
mengharamkan perbudakan dan berbuat aniaya terhadap
perempuan. Islam memandang sama antara laki-laki dan
perempuan dalam aspek kemanusiaannya (Q.S. al-Taubat
(9):71), memikul beban-beban keimanan (Q.S. al-Buruj
(85):10), menerima balasan di akhirat (Q.S. al-Nisa’
(4):124), dan pada masalah-masalah lainnya yang banyak
disebutkan dalam al-Quran. Namun demikian, dalam hal
ini masih diakui adanya sedikit perbedaan antara
perempuan dan laki-laki, misalnya dalam hal status
perempuan menjadi saksi, besarnya bagian perempuan
dalam warisan, dan kesempatan perempuan menjadi kepala
negara. Yang pasti secara kodrati perempuan berbeda
dengan laki-laki. Hanya perempuan yang bisa menstruasi,
hamil, melahirkan, dan menyusui.
(Nurul Agustina, 1994), pada perkembangan
selanjutnya, lahirnya politik demokrasi serta munculnya
sistem ekonomi sosialis dan kapitalis di Barat memberikan
kesadaran baru terhadap hak-hak perempuan. Kaum
perempuan tidak mau lagi ditindas sebagaimana yang
mereka alami di tengah-tengah masyarakat feodal. Mereka
menolak dianggap rendah status sosialnya di banding laki-
laki. Mereka menuntut hak-hak nya untuk belajar dan
mendapat penghormatan yang sama. Gerakan mereka ini di
kenal dengan gerakan feminisme, yaitu suatu gerakan dan
kesadaran yang berangkat dari asumsi bahwa kaum wanita
mengalami diskriminasi dan ada usaha untuk menhentikan
diskriminasi tersebut.
(Nasruddin Umar, 1999), studi yang dilaukan
Nasruddin Umar terhadap al-Quran menunjukkan adanya
kesetaraan gender. Dia menemukan lima variabel yang
mendukung pedapatnya, yakni (1) laki-laki dan perempuan
sama-sama sebagai hamba. Hal ini dilihat misalnya dalam
surat al-Hujurat (49):3 dan al-Nahl (16):97;(2) laki-laki dan
perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini terlihat dalam
surat al-Baqarah (2):30 dan al-An’am (6):165;(3) laki-laki
dan perempuan menerima perjanjian primordial seperti
terlihat dalam surat al-A’raf (7):172;(4) Adam dan Hawa
terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Kejelasan terlihat
dalam surat al-Baqarah (2):35 dan 187, al-A’raf (7):20, 22,
dan 23.; dan (5) laki-laki dan perempuan berpotensi meraih
meraih prestasi seperti yang terlihat dalam surat Ali ‘Imran
(3):195, al-Nisa’ (4):124, al-Nahl(16):97, dan Ghafir (40):
40.
(Hamim Ilyas, 2001), persoalan yang sama seperti itu
juga terjadi dalam pemahaman terhadap teks-teks hadis.
Namun dalam bidang hadis ini juga diperngaruhi oleh
status atau kualitas hadis yang oleh para ulama hadis dinilai
berbeda-beda. Memang keberadaan hadis tidak seperti al-
Quran yang sejak turunnya hingga sekarang tidak
diragukan keautentikannya. Hadis tidak seperti al-Quran
karena sampainya hadis kepada kita sangat sarat dengan
peristia-peristiwa historis yang bermuatan sosio-kultural,
terutama bagi para perawi atau sanad yang membawanya
kepada kita. Inilah yang kemudian mempengaruhi kualitas
hadis, sehingga hadis ada yang shahih, hasan, dan dla’if.
Kualitas inilah yang juga ikut mempengaruhi wacana
pemikiran (fikih) tentang perempuan dalam Islam. Dari
sinilah perlu dilakukan kontekstualisasi pemaham hadis,
yaitu usaha penyesuaian dengan dan dari hadis untuk
mendapatkan pandangan yang sejati, orisional, dan
memadai bagi perkembangan atau kenyataan yang
dihadapi. Ini berarti bahwa kontekstualisasi tidak
dilakukan dengan dialog atau saling mengisi di antara
keduanya .

Keaetaraan Gender dalam Bidang Pendidikan


Selanjutnya kita mengkaji secara singkat tentang
kesetaraan gender dalam bidang pendidikan. Kesetaraan
gender dalam bidang pendidikan menjadi sangat penting
mengingat sektor pendidikan merupakan sektor yang
sangat strategis untuk memperjuangkan kesetaraan gender,
di Indonesia kita bisa mengetahui sekarang bahwa
kebijakan-kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
memberi arah pada terciptanya kesetaraan gender.
Kesempatan untuk meningkatkan potensi sumber daya
manusia (SDM) Indonesia baik laki-laki maupun
perempuan tidak dibedakan.
(Ace Suryadi, 2004), peraturan perundang-undang di
Negara kita tentang pendidikan tidak ada yang mengaruhi
kepada ketimpangan gender, tidak ada kebijakan yang
biasa gender terkait dengan kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan di Indonesia mulai dari jenjang
Sekolah Dasar (SD) HINGGA Perguruan Tinggi (PT).
Kalaupun terjadi perbedaan jumlah laki-laki dan
perempuan pada jurusan-jurusan tertentu baik di SMA,
SMK, maupun di PT, bukan karena kebijakan yang di buat
menuntut, tetapi hal ini semata-mata adalah karena pilihan
para peserta didik yang dipengaruhi oleh asumsi perbedaan
kemampuan mereka. Seperti yang di kemukakan oleh Ace
Suryadi, bahwa terjadinya ketimpangan menurut gender
yang tercermin dalam proporsi jumlah peserta didik yang
tidak seimbang menurut jurusan-jurusan atau program –
program studi yang ada pada pendidikan menengah dan
tinggi di sebabkan adanya asumsi perbedaan kemampuan
intelektual dan ketrampilan antara laki-laki dan perempun.
(https://medium.com), usaha untuk menhentikan bias
gender terhadap seluruh aspek kehidupan antara lai dengan
cara pemenuhan kebutuhan praktis gender. Adapun strategi
utama menuju kesetaraan gender dalam pendidikan yaitu
penyediaan akses pendidikan yang bermutu terutama
pendidikan dasar secara merata bagi anak laki-laki dan
perempuan baik melalui pendidikan persekolahan maupun
pendidikan luar sekolah. Penyediaan akses pendidikan
kesetaraan bagi penduduk usia dewasa yang tidak dapat
mengikuti pendidikan persekolahan. Peningkatan
penyediaan pelayanan pendidikan keaksaraan bagi
penduduk dewasa terutama perempuan. Peningkatan
koordinasi, informasi dan edukasi dalam rangka mengurus
utamakan pendidikan berwawasan gender dan
pengembangan kelembagaan institusi pendidikan baik di
tingkat pusat maupun daerah mengenai pendidikan
berwawasan gender.

KESIMPULAN
1. Gender adalah serangkaian karakteristik yang terikat
kepada dan memebedakan maskulinitas dan
femininitas. Karakteristik tersebut dapat mencakup
jenis kelamin (laki-laki, perempuan, atau interseks), hal
ini di tentukan berdasarkan jenis kelamin (struktural
sosial seperti peran gender), atau identitas gender.
Orang-orang yang tidak mengidentifikasi dirinya
sebagai pria atau wanita umumnya di kelompokkan ke
dalam masyarakat nonbiner atau genderqueer.
Beberapa kebudayaan memiliki peran gender spesifik
yang berbeda dari “pria” dan “wanita” yang secara
kolektif di sebut sebagai gender ketiga seperti golongan
bissu di masyarakat Bugis di Sulawesi dan orang hijra
di Asia Selatan.
2. Gender berbeda dengan sex, meskipun secara
etimologis artinya sama yaitu, jenis kelamin. Secara
umum sex digunakan untuk mengidentifikasi
perbedaan laki-laki dan perempuan dari segi anatomi
biologis, sedang gender lebih banyak berkontraksi
kepada aspek sosial, budaya, dan aspek-aspek
nonbiologi lainnya. Kalau studi sex lebih menekankan
kepada perkembangan aspek biologis, komposisi kimia
dan hormon dalam tubuh, anatomi fisik, reproduksi,
serta karakteristik biologis lainnya dalam tubuh
seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka studi
gender lebih menekankan kepada perkembangan aspek
sosial, budaya, psikologis, dan aspek-aspek non
biologis lainnya. Jika studi sex lebih menekankan
kepada aspek anatomi biologi dan komposisi kimia
dalam tubuh laki-laki (maleness) dan perempuan
(femaleness), maka studi gender lebih menekankan
pada aspek maskulinitas (masculinity) dan (femininity)
femininitas seseorang.
3. Secara umum perempuan selalu di munculkan sebagai
sosok yang bermasalah ketika dikaitkan dengan organ-
organ tubuhnya. Sudah berabad-abad lamanya
pandangan ini mewarnai hampir seluruh budaya
manusia dan kemudian mendapatkan legitimasi dari
agama-agama besar dunia, seperti Yahudi, Kristen, dan
Islam, atau mungkin juga agama-agama lainnya.
4. Kesetaraan gender dalam bidang pendidikan menjadi
sangat penting mengingat sektor pendidikan
merupakan sektor yang sangat strategis untuk
memperjuangkan kesetaraan gender, di Indonesia kita
bisa mengetahui sekarang bahwa kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam bidang pendidikan memberi arah
pada terciptanya kesetaraan gender. Kesempatan untuk
meningkatkan potensi sumber daya manusia (SDM)
Indonesia baik laki-laki maupun perempuan tidak
dibedakan.

DAFTAR PUSTAKA
Ace Suryadi dan Ecep Idris. (2004). Kesetaraan
Gender dalam Bidang Pendidikan. Bandung: PT.
Genesindo.
Al-Bari, Haya Binti Mubrak. (1997). Mausu’at al-
Mar’ah al-Muslimah. Alih bahasa: Amir Hamzah
Fachruddin. Jakarta: Darul Falah. Cet. I.
Al-Kurdi, Ahmad al-Hajji. (1995). Ahkam al-Mar’ah
fi al-Fiqh al-Islamiy. Alih bahasa: Moh. Zuhri dan Ahmad
Qorib. Semarang: Dina Utama. Cet.I
Echols, John M. Dan Hasan Shadily. (1983). Kamus
Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XII.
Ema Marhumah dan Lathiful Khuluq (ed).(2001).
Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender
dalam Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet.I
Macdonald, Mandy dkk. (1999). Gender dan
Perubahan Organisasi: Menjembatani Kesenjangan
antara Kebijakan dan Praktik. Alih bahasa: Omi Intan
Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mansour Fakih. (1997). Analisis Gender dan
Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Cet. II.
Nasaruddin Umar. (1999). Argumen Kesetaraan
Jender Perspektif Al-Quran. Jakarta: Paramadina.
N.M. Shaikh. (19991). Woman in Muslim Society.
New Delhi: Kitab Bhavana. Cet. I.
Nurul Agustin. (1994). “Tradisionalisme Islam dan
Feminisme”. Dalam Jurnal Ulumul Quran. (Edisi Khusus)
No. 5, vol. V.
https://medium.com
http://www.pkbi-diy.info
http://www.idntimes.com
http://www.google.co.id
http://id.m.wikipedia.org

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai