Anda di halaman 1dari 27

Case Report Session

Hiperpireksia ec TFA

Oleh:
Hadisty Fauziah Yenri 2240312134

Preseptor:
dr. M.Luthfi Suhaimi, Sp.A(K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR ADNAN WA PAYAKUMBUH
2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin, puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah
SWT dan shalawat beserta salam untuk Nabi Muhammad S.A.W, berkat rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas laporan case report session dengan judul
“Hiperpireksia ec. Tonsilofaringitis Akut dengan Riwayat Kejang” yang merupakan salah satu
tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
RSUP Dr. Adnan WA Payakumbuh.

Dalam usaha penyelesaian tugas case report session ini, penulis mengucapkan terima
kasih
yang sebesar-besarnya kepada dr. M.Luthfi Suhaimi, Sp.A(K) selaku pembimbing dalam
penyusunan tugas ini. Penulis menyadari bahwa didalam penulisan ini masih banyak
kekurangan. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati penulis menerima semua saran dan
kritik yang
membangun guna penyempurnaan laporan case report session ini. Akhir kata, semoga
laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Payakumbuh,September 2023

Penulis

2
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tonsilitis akut dapat didefinisikan sebagai inflamasi tonsil, terutama akibat
infeksi. Tonsilitis akut merupakan bagian dari faringitis yang berkisar dari
infeksi tonsilar terlokalisasi hingga infeksi faring secara umum (faringitis).
Penyakit ini mempengaruhi kedua jenis kelamin dan semua kelompok umur,
tetapi lebih umum pada orang yang lebih muda. 1 Berdasarkan survei epidemiologi tentang
tonsilitis oleh Streptococcus pyogenes di Awka Metropolis, Nigeria terdapat 73 pasien dengan 54
orang
pasien menderita tonsillitis, 11 orang menderita tonsilofaringitis, dan 8 orang dengan faringitis.
Perbandingan antara perempuan dan laki-laki adalah 4:3 dengan rentang usia terbanyak 1-5
tahun (73,97%). Penelitian oleh Abraham di Tanzania, dari 485 pasien tonsilitis, mayoritas
pasien adalah Perempuan (55,7%) dengan kelompok usia paling banyak adalah 1-10 tahun
(42,6%).2,3
Pada 50-80% kasus, patogen penyebabnya adalah virus, misalnya virus
Epstein-Barr (EBV), virus herpes simpleks, virus influenza, dan rhinovirus.
Bakteri yang paling umum adalah Streptococcus betahemolyticus Grup A,
menyebabkan 5-36% kasus.
Bakteri lain yang dapat menginfeksi tonsil dan faring termasuk Haemophilus influenza,
Streptococcus pneumonia, dan Neisseria gonorrhoeae. Abraham (2019) menemukan bakteri
penyebab tonsillitis terbanyak adalah Staphylococcus coagulase negatif (41,7%), diikuti
oleh Streptococcus pyogenes (40%), Bacillus spp (8,3%), Klebsiella
pneumoniae (5,8%), Escherichia coli (2,5%), dan Pseudomonas aeruginosa
(1,7%). Jamur seperti spesies Candida juga dapat menyebabkan sakit
tenggorokan pada pasien yang mengalami gangguan sistem imun.1,3
Tanda dan gejala yang paling banyak ditemui adalah demam dan
peradangan tonsil, diikuti dengan batuk, limfadenitis servikal, nyeri menelan,
dan tampilan exudate pada tonsil. Pada sebagian besar kasus, tonsilitis akan
sembuh dalam lima hingga tujuh hari. Namun, terdapat beberapa potensi
komplikasi serius yang terjadi, bahkan pada individu yang sebelumnya sehat.

3
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Komplikasi dapat bersifat supuratif, termasuk pembentukan abses peritonsillar atau
parapharyngeal, atau non-supuratif, seperti demam rematik atau glomerulonefritis pasca
streptokokus. 1,2

1.2 Batasan Masalah


Batasan penulisan ini mengenai definisi, epidemiologi, klasifikasi, gejala
klinis, patofisiologi, prinsip diagnostik, tatalaksana dan prognosis dari
tonsilofaringitis akut pada anak.
1.3 Tujuan Penulisan
Menambah pengetahuan mengenai tonsilofaringitis akut pada anak.
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan metode tinjauan kepustakaan yang merujuk
pada berbagai literatur.

4
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Faring adalah suatu kantong fibromuskuler yang berbentuk seperti corong
dengan bagian atas yang besar dan bagian bawah yang sempit. Faring
merupakan ruang utama traktus respiratorius dan traktus digestivus. Kantung
fibromuskuler ini mulai dari dasar tengkorak dan terus menyambung ke
esofagus hingga setinggi vertebra servikalis ke-6. Faring terbagi atas
nasofaring, orofaring dan laringofaring (hipofaring).4
Orofaring disebut juga mesofaring, dengan batas atasnya adalah palatum
mole, batas bawah adalah tepi atas epiglottis, batas depan adalah rongga
mulut sedangkan belakang adalah vertebra servikalis. Struktur yang terdapat
di rongga orofaring adalah dinding posterior faring, tonsil palatine, fossa
tonsil serta arkus faring anterior dan posterior, uvula, dan tonsil lingual. 5
Tonsil adalah adalah jaringan padat yang terdiri dari jaringan limfoid yang
terletak di orofaring. Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil faringeal
(adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga-tiganya membentuk
lingkaran yang disebut cincin Waldeyer.4,5,6

Gambar 2.1 Anatomi Faring6

5
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2.2 Definisi
Faringitis adalah istilah yang merujuk pada semua infeksi akut faring,
termasuk tonsillitis dan faringotonsilitis. Ada atau tidaknya keterlibatan tonsil
pada faringitis akut tidak mempengaruhi kerentanan, frekuensi, perjalanan,
atau komplikasi penyakit. Keterlibatan faring merupakan bagian dari
sebagian besar infeksi saluran pernapasan atas dan juga ditemukan bersama
dengan berbagai infeksi menyeluruh akut. Penyakit ini tidak lazim muncul
pada anak dibawah umur 1 tahun, namun insidennya kemudian naik dan terus
meningkat sampai pucaknya pada usia 4-7 tahun lalu berlanjut sampai akhir
masa kanak-kanak dan kehidupan dewasa.7
2.3 Etiologi
Bakteri penyebab faringitis yang umum adalah kelompok streptokokus
beta-hemolitikus dan streptokokus lainnya. Sedangkan pada tonsilitis yang
berhubungan dengan infeksi mononukleosis, agen infeksi yang paling umum
adalah virus Epstein-Barr (terdapat pada 50% anak-anak dan 90% orang
dewasa dengan kondisi ini). Infeksi sitomegalovirus juga dapat menyebabkan
gambaran klinis infeksi mononukleosis, dan diagnosis banding juga termasuk
toksoplasmosis, HIV, hepatitis A, dan rubella.8 Patogen lain yang dapat menyebabkan faringitis
akut adalah virus herpes simpleks, virus influenza, rhinovirus, Neisseria gonorrhoeae, Bacillus
spp, Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa dan
jamur Candida.1,3
2.4 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis bergantung pada penyebab faringitis akut, baik
streptokokus ataupun virus. Namun terdapat tumpang tindih antara tanda dan
gejala sehingga sering tidak mungkin membedakan secara klinis satu bentuk
faringitis dari yang lain.
a. Faringitis virus
Faringitis virus merupakan penyakit yang mulainya relative bertahap, yang biasanya
mempunyai tanda awal seperti demam, malaise, dan anoreksia dengan nyeri tenggorokan sedang.
Nyeri tenggorokan dapat ada pada mulanya, tetapi lebih lazim adalah, nyeri timbul sekitar sehari
sesudah mulainya gejala-gejala, mencapai puncaknya pada hari ke-2 sampai ke-3. Gejala lainnya

6
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
yang dapat timbul adalah suara parau, batuk, dan rhinitis. Pada sebagian kasus,
pada palatum lunak dan dinding faring posterior dapat terbentuk ulkus
kecil. Eksudat dapat muncul pada folikel limfoid palatum dan tonsil. Tanda lain yang dapat
ditemukan adalah limfonodi servikalis yang sering membesar sedang dan keras, dapat disertai
atau tanpa nyeri.
Jumlah sel darah putih pada pemeriksaan berkisar antara 6.000 sampai diatas 30.000,
kenaikan jumlah dengan dominasi sel polimorfonuklear lazim timbul pada awal penyakit.
Keseluruhan penyakit dapat berakhir dalam kurang dari 24 jam dan biasanya tidak
menetap selama lebih dari 5 hari. Komplikasi serius jarang terjadi.7
b. Faringitis streptokokus
Faringitis streptokokus umumnya ditemukan pada anak diatas usia 2 tahun dengan
keluhan bervariasi seperti nyeri kepala, nyeri perut, dan muntah. Gejala yang timbul dapat
disertai dengan demam setinggi 40ºC. Beberapa jam setelah keluhan awal timbul, tenggorokan
akan menjadi nyeri dan pada sepertiga penderita dapat ditemukan pembesaran tonsil, eksudasi,
dan eritema faring. Keluhan nyeri tenggorokan timbul bervariasi, dapat ringan sampai berat,
sehingga
dapat menimbulkan sukar menelan. Dua pertiga penderita hanya menderita eritema ringan, tanpa
pembesaran tnsil dan tampa eksudat. Limfadenopati servikal anterior biasanya terjadi awal, dan
limfonodi sering nyeri.
Demam dapat berlanjut selama 1-4 hari; pada kasus yang sangat berat anak dapat tetap
sakit sampai 2 minggu. Temuan lain yang berkaitan dengan infeksi streptokokus adalah
kemerahan difus pada tonsil dan dinding penyangga tonsil, dengan bintik-bintik ptekie
palatum lunak, dapat ditemukan adanya limfadenitis atau eksudasi folikuler, atau tidak. Tanda ini
lazim ditemui pada faringitis streptokokus namun tidak bersifat diagnostik karena dapat
ditemukan
juga pada faringitis virus.
Istilah streptokokosis merujuk pada variasi sistemik bila ada
infeksi streptokokus akut, diduga berkaitan dengan infeksi streptokokus-hemolitikus yang terjadi
sebelumnya. Pada bayi infeksi ini dapat berbentuk akut, biasanya episode ringan berakhir kurang
dari 1 minggu dan ditandai dengan demam yang bervariasi (dibawah 39ºC), ingus hidung
mukoserosa, dan infeksi faring. Biasanya anak berumur 6 bulan sampai 3 tahun menderita sakit

7
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
yang paling berat. Koriza dengan cairan postnasal, kemerahan faring yang difus, demam,
muntah, dan kehilangan nafsu makan adalah gejala yang mula-mula terjadi. Selama beberapa
hari umumnya demam 38-39,5ºC, yang berlanjut secara tidak teratur selama 4-8 minggu, dan
secara bertahap menjadi normal. Dalam beberapa hari setelah penyakit mulai,
limfonodus mulai membesar dan menjadi nyeri; perjalanan adenopati secara khas parallel dengan
perjalanan demam. Komplikasi setempat lazim terjadi.7
2.5 Patogenesis
Proses peradangan yang berasal dari tonsil disertai dengan hiperemia dan
edema, dengan konversi folikel limfoid menjadi abses kecil yang dialirkan ke
kripti. Ketika tonsil meradang akibat infeksi umum mukosa orofaringeal,
kondisinya disebut catarrhal tonsillitis. Ketika eksudat inflamasi terkumpul di dalam kripti
tonsil, dengan tampilan white spots pada permukaan tonsil yang meradang, sehingga
menimbulkan
gambaran klinis tonsilitis folikular. Terkadang eksudasi dari kripti dapat
bergabung membentuk membran di atas permukaan tonsil, memberikan
gambaran klinis tonsilitis membran. Ketika seluruh tonsil tersumbat dan membengkak, itu
disebut tonsilitis parenkim akut.5
2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Gejala prinsipnya adalah sakit tenggorokan akut, timbulnya demam dan
malaise. Pada pemeriksaan tonsil, tampak membesar, eritem, dan mungkin
memiliki lapisan eksudat yang menutupi. Perdarahan petekie dapat terlihat
pada langit-langit lunak pada infeksi streptokokus dan EBV. Mungkin dapat
ditemukan limfadenopati servikal, khususnya dari kelenjar getah bening jugulodigastrik.
Meskipun diagnosisnya secara klinis, tes darah dapat membantu dalam menilai respons terhadap
pengobatan. Sedangkan peningkatan jumlah limfosit dan tes fungsi hati yang abnormal
menunjukkan adanya glandular fever, peningkatan jumlah sel darah putih dan protein Creaktif
(CRP) akan terjadi pada tonsilitis akut. Usap tenggorokan bukan merupakan pemeriksaan rutin
karena tidak dapat membedakan antara organisme komensal dan yang patogen.9
Tanda dan gejala faringitis akibat streptokokus dan faringitis lainnya
tumpang tindih. Namun, anamnesis dan pemeriksaan fisik harus secara
langsung berfokus pada membedakan antara etiologi virus dan streptokokus,

8
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
untuk menentukan kebutuhan tes streptpkokus. Demam, sakit tenggorokan,
dan eksudat faring dan/atau tonsil adalah temuan yang tidak spesifik. Batuk
bersamaan, rinore, suara serak, diare, dan/atau vesikel orofaringeal sangat
mengarah pada etiologi virus. Meskipun tidak spesifik dalam isolasi, adanya
kombinasi dari ruam scarletiniform, ptekie palatum, eksudat faring, muntah,
dan nodul servikal meingkatkan kemungkinan infeksi streptokokus lebih dari
50%. Stridor, kekakuan leher, memiringkan kepala, keterbatasan pergerakan
leher, drooling, gangguan pernapasan, atau toxic appearance dikhawatirkan
merupakan penyakit yang lebih serius seperti epiglottitis, retrofaringeal abses,
dan sindrom Lemierre mengkhawatirkan penyakit yang lebih serius seperti
epiglottitis, abses retrofaringeal, atau sindrom Lemierre.10
Etiologi virus yang dikenal dari faringitis akut termasuk adenovirus,
rhinovirus, virus Epstein-Barr (EBV), parainflluenza, influenza, coxsackie,
campak, dan virus herpes simpleks. Mycoplasma pneumonia adalah bakteri
penyebab faringitis yang umum. Faringitis dapat menjadi gejala dominan dari
sindrom retroviral akut sekunder akibat infeksi virus human immunode
fiiciency (HIV). Remaja yang aktif secara seksual juga dapat mengalami
faringitis akut yang disebabkan oleh infeksi Neisseria gonore. Mononukleosis,
umumnya disebabkan oleh infeksi EBV atau sitomegalovirus (CMV), sering
disertai dengan faringitis eksudatif, limfadenopati servikal lunak, dan gejala
konstitusional. Pasien immunocompromised rentan terhadap infeksi
oportunistik seperti kandidiasis faring (sariawan) yang disebabkan oleh infeksi Candida
albicans. Corynebacterium diphtheria dan Haemophilus influenzae b adalah penyebab yang
jarang dari faringitis akut di negara maju tetapi dimungkinkan pada imigran baru dan anak-anak
yang tidak divaksinasi. Seseorang yang terinfeksi Francisella tularensis dari konsumsi daging
liar
yang kurang matang dapat menimbulkan faringitis. Traumatic atau kimiawi
faringitis dapat masing-masing berasal dari benda asing atau konsumsi kaustik.10
Tabel 2.1 Diagnosis Banding Tonsilitis/ Faringitis10

9
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Diagnosis dapat dibuat dengan metode deteksi cepat untuk antigen
streptokokus atau dengan biakan sesudah pulasan faring. Bila terdapat eksudat
membranosa pada tonsil, difteri harus dipikirkan. Eksudat membranosa
mononucleosis infeksiosa dapat menyerupai eksudat yang ditemukan pada infeksi
streptokokus dan anak dengan imunisasi tidak lengkap yang terinfeksi difteri.
Tonsil dan dinding faringitis posterior dapat tertutup eksudat putih, kuning, atau kotor.
Membrane mukosa dibawah eksudat biasanya menjadi nekrosis, dan
ulserasi meluas ke dalam mulut dan melibatkan lidah. Lesi amat nyeri dan
disfagia berat.7
2.7 Tatalaksana
Pengobatan tonsilitis akut sebagian besar mendukung dan berfokus pada
menjaga hidrasi, konsumsi kalori yang dapat ditoleransi, serta mengendalikan rasa
sakit dan demam. Ketidakmampuan untuk mempertahankan asupan kalori dan

10
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
cairan oral yang sesuai mungkin membutuhkan hidrasi IV, antibiotik, dan kontrol
nyeri. Kortikosteroid intravena dapat dikelola untuk mengurangi edema faring.
Hambatan jalan nafas mungkin perlu manajemen dengan menempatkan alat jalan
nafas hidung, menggunakan kortikosteroid intravena, dan mengelola oksigen yang
dilembabkan.11
a) Antibiotik
Antibiotik untuk faringitis bakteri sekunder. Karena bahaya ruam papular
menyeruluh, hindari penggunaan ampisilin dan senyawa terkait ketika diduga
infeksi mononucleosis. Reaksi terkait dari antibiotik berbasis penisilin oral
(misalnya, sefaleksin) telah dijelaskan. Oleh karena itu, pengobatan dengan
antibiotik antistreptokokus alternatif, misalnya eritromisin. Kelola antibiotik jika
keadaan disebabkan oleh bakteri, misalnya, kejadian eksudat tonsil, terjadinya
demam, leukositosis, kontak dengan penderita, atau kontak dengan orang yang
memiliki infeksi dengan Streptococcus pyogenes hemolitik grup A (GABHS)
yang terdokumentasi. Dalam beberapa kasus, bakteri dan virus faringitis tidak
dapat dibedakan secara klinis. Menunggu 1-2 hari untuk kultur tenggorokan,
belum terbukti mengurangi kepraktisan pengobatan antibiotik dalam menghindari
demam rematik.11
Kriteria Centor berfungsi untuk mengidentifikasi kemungkinan infeksi
streptokokus pada penderita yang mengalami sakit tenggorokan dan dapat
membantu dalam memutuskan dalam penggunaan antibiotik. Sedangkan pedoman NICE
merekomendasikan antimikroba segera jika pasien secara sistemik tidak sehat, memiliki tanda-
tanda komplikasi seperti abses peritonsillar, atau memiliki komorbiditas yang menempatkan
mereka pada risiko pengembangan komplikasi.
b) Kortikosteroid
Kortikosteroid dapat mempersingkat periode demam dan faringitis pada kasus
infeksi mononukleosis. Pada kasus infeksi mononukleosis yang berat,
kortikosteroid atau gamma globulin dapat menjadi terapi suportif. Gejala
mononukleosis menular mungkin berlangsung selama beberapa bulan.
Kortikosteroid juga diindikasikan untuk pasien dengan obstruksi jalan napas,
anemia hemolitik, penyakit jantung, dan neurologis.11

11
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
c) Infeksi GABHS
Pedoman praktik diagnosis dan manajemen GABHS bahwa hasil yang
diinginkan dari terapi untuk faringitis GABHS adalah pencegahan demam rematik
akut, pencegahan komplikasi pendukung, pengurangan tanda dan gejala klinis,
penurunan dalam transmisi GABHS, dan minimalisasi efek yang berlawanan dari
terapi antimikroba yang tidak sesuai. Penggunaan 10 hari antibiotik adalah pilihan terbaik untuk
faringitis akut. Penisilin intamuskular (yaitu, penisilin benzathine G) diperlukan untuk orang
yang mungkin tidak patuh dengan pengobatan oral selama 10 hari. Penisilin sangat ideal untuk
sebagian besar pasien (kecuali reaksi alergi) karena terbukti aman, efisien, spektrumnya sempit,
dan berbiaya rendah. Agen anti-infeksi yang berbeda yang terbukti layak untuk faringitis
GABHS adalah congener penisilin, sefalosporin, makrolida, dan klindamisin.11
d) Tonsilektomi
Tonsilektomi ditentukan untuk individu yang telah mengalami lebih dari 6
episode faringitis streptokokus (dikonfirmasi oleh kultur positif) dalam 1 tahun, 5 episode dalam
2 tahun berturut-turut atau 3/lebih infeksi selama 3 tahun berturutturut, atau tonsilitis
kronis/berulang dengan keadaan karier streptokokus yang belum menanggapi antibiotik resisten
beta-laktamase. Tonsilitis intermiten setelah tonsilektomi sangat jarang terjadi. Tonsilektomi
mengurangi tumpukan bakteri dari pengumpulan Streptococcus pyogenes beta-hemolytic grup A
(GABHS). Tonsilitis intermiten biasanya karena pertumbuhan kembali jaringan tonsil, yang
ditangani dengan ekstraksi. Tonsilektomi dengan atau tanpa adenoidektomi adalah
pengobatan untuk tonsilitis yang tak berkesudahan.11
Indikasi tonsilektomi1:
- Radang tenggorokan disebabkan oleh tonsilitis akut.
- Episode sakit tenggorokan melumpuhkan dan mencegah fungsi normal.
- Tujuh atau lebih sakit tenggorokan yang didokumentasikan dengan baik
secara klinis, cukup memadai pada tahun sebelumnya atau;
- Lima atau lebih episode seperti itu di masing-masing dua tahun sebelumnya
atau;
- Tiga atau lebih episode seperti itu di masing-masing tiga tahun sebelumnya.
2.8 Komplikasi
Sebagian besar kasus tonsilitis sembuh dalam lima hingga tujuh hari. Namun,

12
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
ada potensi komplikasi serius terjadi, bahkan pada individu yang sebelumnya
sehat. Komplikasi ini dapat bersifat supuratif, termasuk pembentukan abses
peritonsillar/paraphayngeal, atau nonsuppurative, seperti demam rematik atau
glomerulonefritis pasca-streptokokus.1
a) Abses peritonsillar
Abses peritonsilar dikenal juga sebagai quinsy, adalah keadaan nanah
berkumpul di antara kapsul tonsil palatine dan otot konstriktor faring superior. Biasanya terjadi
sebagai komplikasi dari tonsilitis supuratif, tetapi juga dapat terjadi secara spontan. Dalam studi
aspirasi abses peritonsilar, bakteri streptokokus telah menjadi organisme yang paling umum
diisolasi, meskipun sebagian besar infeksi adalah polimikroba, dengan campuran pertumbuhan
aerobik dan anaerob. Abses peritonsilar paling umum terjadi pada dewasa muda
berusia 20 hingga 39 tahun. Diagnosis ditegakkan dengan klinis atau dengan aspirasi jarum yang
dicoba untuk memperoleh nanah. Meskipun pemindaian tomografi terkomputerisasi akan
menunjukkan adanya abses peritonsilar, biasanya tidak diperlukan.
Biasanya pasien datang dengan radang tenggorokan unilateral yang berhubungan dengan
demam dan disfagia. Pada pemeriksaan ada trismus (pembukaan mulut terbatas) dan
pembengkakan palatum unilateral ke arah tonsil, sering (tetapi tidak harus) dengan tonsil yang
meradang. Uvula dapat menyimpang ke sisi yang berlawanan dan pasien mungkin memiliki
suara 'hot potato voice'.1
b) Abses parapharyngeal
Ruang parapharyngeal adalah area berbentuk kerucut di kedua sisi
nasofaring dan orofaring, dengan basisnya di dasar tengkorak dan puncaknya di
tulang hyoid. Meskipun kejadian ini telah berkurang dengan penggunaan dini
antimikroba, kumpulan nanah di daerah ini berpotensi menyebabkan komplikasi
yang mengancam jiwa. Infeksi dapat menyebar melalui bidang fasia yang
mengarah ke mediastinitis, yang berhubungan dengan mortalitas yang signifikan.
Biasanya polimikroba dengan organisme yang berasal dari orofaring. Infeksi
dapat berasal dari berbagai daerah kepala dan leher, termasuk rongga hidung,
sinus paranasal, gigi, kelenjar ludah dan faring.
Sumber yang paling umum adalah infeksi saluran pernapasan gigi dan atas (mis.
Faringitis, tonsilitis). Namun, infeksi primer dapat dimulai beberapa minggu sebelum

13
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
pembentukan abses dan
oleh karena itu penyebabnya mungkin tidak jelas. Biasanya pasien dengan kondisi ini akan tidak
enak badan dengan demam. Mereka mungkin menderita sakit tenggorokan, disfagia dan sakit
leher. Tanda dan gejala lainnya adalah gerakan leher yang berkurang, torticollis, trismus, dan
pembengkakan yang kuat (tetapi fluktuatif) di leher dengan limfadenopati servikal terkait.
Pemeriksaan orofaring dapat mengungkapkan pembengkakan parapharyngeal, yang terlihat di
belakang tonsil. Edema langit-langit mulut lebih sedikit dibandingkan dengan abses peritonsil.
Tes darah dapat menunjukkan peningkatan sel darah putih dan CRP.1
c) Demam rematik
Demam reumatik adalah konsekuensi autoimun dari infeksi streptokokus grup A. Demam
reumatik menyebabkan respon inflamasi umum dan penyakit yang mengenai jantung, sendi, otak
dan kulit secara selektif. Penyakit ini cenderung berulang dan dipandang sebagai penyebab
terpenting penyakit jantung didapat pada anak dan dewasa muda di seluruh dunia. Perjalanan
klinis penyakit demam reumatik/penyakit jantung reumatik dapat dibagi dalam 4 stadium:
Stadium I berupa infeksi saluran napas bagian atas oleh kuman Streptococcus beta hemolyticus
grup A. Keluhan biasanya berupa demam, batuk, rasa sakit waktu menelan, tidak jarang disertai
muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering didapatkan
eksudat di tonsil yang menyertai tanda-tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening
submandibular seringkali membesar.
Infeksi ini biasanya berlangsung 2-4 hari dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Stadium II disebut juga periode laten, berlangsung 1-3 minggu. Stadium III merupakan fase akut
demam reumatik, saat timbulnya berbagai manifestasi klinik demam reumatik/penyakit jantung
reumatik. Stadium IV adalah stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung atau penderita penyakit jantung reumatik tanpa gejala sisa katup tidak
menunjukkan gejala apa-apa.12
d) Glomerulonefritis pasca-streptokokus
Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptokokus merupakan penyebab lesi
ginjal non supuratif terbanyak pada anak. Diperkirakan insiden berkisar 0-28%
pasca infeksi streptokokus. Lebih dari 50% kasus GNAPS adalah asimtomatik.
Kasus klasik atau tipikal diawali dengan infeksi saluran napas atas dengan nyeri
tenggorok dua minggu mendahului timbulnya sembab. Periode laten rata-rata

14
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
antara 10 atau 21 hari setelah infeksi tenggorok atau kulit. Hematuria dapat timbul
berupa gross hematurimaupun mikroskopik. Variasi lain yang tidak spesifik bisa
dijumpai seperti demam, malaise, nyeri, nafsu makan menurun, nyeri kepala, atau lesu.
Hipertensi dapat mendadak tinggi selama 3-5 hari. Setelah itu tekanan darah
menurun perlahan-lahan dalam waktu 1-2 minggu. Edema bisa berupa wajah sembab, edem
pretibial atau berupa gambaran sindrom nefrotik. Asites dijumpai pada sekitar 35% pasien
dengan edem. Bendungan sirkulasi secara klinis bisa nyata dengan takipne dan dispne. Gejala
gejala tersebut dapat disertai oliguria sampai anuria karena penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG).13

15
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB III
LAPORAN KASUS

Identitas
Nama : An. MKS
No.MR : 16.15.31
Umur : 3 tahun 10 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku bangsa : Indonesia
Nama Ibu : Ny. Y
Alamat : Perumahan Padang Tangah Indah
Anamnesis (alloanamnesis dari ibu kandung)
Seorang pasien perempuan usia 3 tahun 10 bulan masuk ke IGD RSUD Dr.Adnan WD
Payakumbuh tanggal 17 September 2023 dengan :
Keluhan utama : Demam yang meningkat 1 hari sebelum masuk ke rumah sakit
Riwayat Penyakit Sekarang
• Demam sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit dan meningkat sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, hilang timbul, tidak menggigil, tidak berkeringat banyak. Suhu
terakhir sebelum masuk rumah sakit 400C yang dicek oleh ibu pasien dirumah. Selama
demam, pasien tidur gelisah dan sering merintih di malam hari.
• Tidak mau makan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit, nyeri saat menelan 1 hari
sebelum masuk rumah sakit.
• Mual muntah tidak ada, diare tidak ada
• Sesak napas tidak ada
• Tidak ada riwayat gigi berlubang dan keluar cairan dari telinga.
• Tidak ada riwayat batuk, pilek
• Tidak ada riwayat trauma kepala.
• BAK jumlah dan warna biasa
• BAB warna dan konsistensi biasa

16
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Riwayat Penyakit Dahulu :
• Riwayat kejang dan dirawat di RS Adnan pada tanggal 02 September-14 September
2023 dengan frekuensi 1 kali, durasi 2 -3 menit, kejang seluruh tubuh, anak sadar setelah
kejang, kejang merupakan periode yang pertama. Pasien sudah 4x kejang selama 3 tahun
terakhir.
• Riwayat campak usia 1 tahun dan dirawat di RS Adnan sampai sembuh.
Riwayat Penyakit Keluarga:
• Ibu memiliki riawayat kejang pada saat usia 1 tahun dan di rawat di rumah sakit.
Riwayat Kelahiran :
Anak lahir normal dengan ekstraksi vakum cukup bulan ditolong dokter di RS Zainab
Pekan Baru , berat lahir 3600 gram panjang 51 cm, langsung menangis
Riwayat Makanan dan Minuman :
Bayi Asi : 2 tahun
Susu formula : 2 tahun - sekarang
Buah biskuit : Sudah diberikan usia 8-10 bulan
Bubur susu : Usia 6-7 bulan
Nasi tim : Usia 8-10 bulan
Nasi keluarga : Sudah diberikan
Anak makanan utama : Nasi
Daging : Sudah diberikan
Ikan : Sudah diberikan
Telur : Sudah diberikan
Sayur : Sudah diberikan
Buah : Sudah diberikan
Kesan : Kualitas dan kuantitas makan cukup
Riwayat Imunisasi:
• BCG : saat lahir, scar (+)
• DPT : umur 2,3,4 bulan
• Polio : umur 2,3,4 bulan
• HiB : umur 2,3,4 bulan
• Hepatitis B : umur saat lahir , 2, 3, 4 bulan

17
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
• Campak : umur 9 bulan
Kesan : Imunisasi dasar lengkap, booster tidak ada
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan
Riwayat Tumbuh Kembang :
 Ketawa : 1 bulan
 Miring : 2 bulan
 Tengkurap : 6 bulan
 Duduk : 6 bulan
 Merangkak : 6 bulan
 Berdiri : 8 bulan
 Lari : 10 bulan
 Bicara : 3 tahun
 Gigi pertama : 5 bulan
Kesan : pertumbuhan normal, perkembangan bicara terlambat
Riwayat Keluarga
Ayah Ibu

Nama A Y

Umur 30 tahun 24 tahun

Pendidikan D3 SMA

Pekerjaan Wiraswasta IRT

Perkawinan I I

Penyakit yang pernah Tidak ada Kejang


diderita

Saudara Kandung
1. By A ( 1 bulan / lahir SC cukup bulan / sehat )
Riwayat Perumahan dan Lingkungan
Rumah tempat tinggal : Permanen dan tinggal di kompleks

18
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Sumber air minum : air galon, air PDAM
Buang air besar : jamban di dalam rumah
Pekarangan : cukup
Sampah : Dibuang di penampungan sampah
Kesan : Sanitasi dan hygiene cukup baik
Pemeriksaan fisik :
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : Sadar
Tekanan darah : 95/60 mmHg
Nadi : 100 x/ menit
Nafas : 20x/ menit
Suhu : 38,50C
Tinggi Badan : 103 cm
Berat Badan : 15,5 kg
BB/U : -2 SD s/d 0 SD
TB/U : 0 SD s/d 2 SD
BB/TB : 96,875%
Gizi : Gizi normal
Kulit : Teraba hangat, turgor kembali cepat
KGB : Tidak terdapat pembesaran KGB
Kepala : Bentuk simetris, normocephal
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Mata :Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik. Pupil isokor diameter 2mm/2mm
Telinga : Tidak ditemukan kelainan
Hidung : Nafas cuping hidung tidak ada, tidak ada kelainan deformitas
Tenggorokan : Tonsil T1-T1, faring hiperemis, detritus tidak ada
Mulut : Mukosa bibir dan mulut basah
Leher : Kaku Kuduk tidak ada, Deviasi trakea tidak ada, JVP 5-2 cmH2O.

Thorax
Paru
Inspeksi : Normochest, retraksi tidak ada.

19
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Palpasi : Fremitus sama kiri dan kanan
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Suara Nafas Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : teraba iktus cordis di 1jari medial linea mid clavicula sinistra RIC V
Perkusi : Tidak dilakukan
Auskultasi : Irama teratur, S1 S2 regular, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Distensi tidak ada
Palpasi : Nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus positif normal
Punggung : Tidak ditemukan kelainan
Alat kelamin : tidak ada kelainan, status pubertas A1P1M1
Ekstremitas : Akral hangat, CRT< 2 detik
Pemeriksaan Laboratorium :
Darah tanggal 17/09/2023
Hb : 12,2 gr/dl
Leukosit : 10.500 /mm3
Trombosit : 255.000/mm3
Gula darah Sewaktu : 135 gr/ml
Kesan: Leukositosis
Daftar Masalah
- Demam
- Nyeri menelan
- Penurunan nafsu makan
- Kejang
Diagnosis Kerja
Hiperpireksia ec tonsilofaringitis akut dengan riwayat kejang
Diagnosis Banding

20
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Hiperpireksia ec infeksi virus
Tatalaksana :
- ML 1600 kkal
- IVFD KaEN 1B 18 tpm makro
- Infus PCT 160 mg selang seling dengan proris supp per 4 jam
- Ambroxol 3x8 mg
- Cefixime 2x80 mg
- Prednison 3x5 mg
- Cetirizine 1x1/4 tab
- Luminal 2x40 mg
- Curcuma 2x1 tab
- Asam folat 1x1 tab
Edukasi
• Menjaga higienitas mulut
• Kompres bila demam
• Memberitahukan cara penanganan kejang dan apa yang harus dikerjakan bila anak
kejang
• Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali
• Memberitahukan bahwa pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya
kejang memang efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Rencana pemeriksaan :
- Pemeriksaan darah lengkap
Prognosis
- Quo ad vitam : Bonam
- Quo ad functionam : Bonam
- Quo ad sanam : Bonam
Follow Up

Tanggal Perjalanan Penyakit

21
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
18/09/2023 S/ Demam sudah turun, tidak menggigil, tidak berkeringat
banyak
Kejang tidak ada
Batuk ada sekali sekali , tidak ada sesak, tidak ada kebiruan
Mual dan muntah tidak ada
Nafsu makan menurun (makan nasi tidak mau)
BAK dan BAB biasa
.
O/ KU: tampak sakit sedang, kesadaran: sadar, HR: 120 x/menit,
RR: 26x/menit, , suhu: 37,6oC.
Mata: konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik
Tenggorok : faring hiperemis (+), detritus tidak ada.
Thoraks: cord dan pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen: distensi (-), supel. hepar tidak teraba, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Hiperpireksia ec. Susp. Bakterial Infection
- Tonsilofaringitis Akut

P/
- ML 1600 kkal
- IVFD KaEN 1B 15 tpm makro
- Infus PCT 160 mg selang seling dengan proris supp per 4
jam
- Ambroxol 3x8 mg
- Cefixime 2x80 mg
- Prednison 3x5 mg
- Cetirizine 1x1/4 tab
- Luminal 2x40 mg

22
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
- Curcuma 2x1 tab
- Asam folat 1x1 tab
19/09/2023 S/ Demam menurun, tidak menggigil, tidak berkeringat banyak
Kejang tidak ada
Batuk ada sekali sekali , tidak ada sesak, tidak ada kebiruan
Mual dan muntah tidak ada
Nafsu makan menurun (makan nasi tidak mau)
BAK dan BAB biasa.

O/ KU: tampak sakit sedang, kesadaran: sadar, HR: 110 x/menit,


RR: 22x/menit , suhu: 36,6oC.
Mata: konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik
Tenggorok : faring hiperemis (+), detritus tidak ada.
Thoraks: cord dan pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen: distensi (-), supel. hepar tidak teraba, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Hiperpireksia ec. Tonsilofaringitis Akut

P/
- ML 1600 kkal
- IVFD KaEN 1B 15 tpm makro
- Infus PCT 160 mg selang seling dengan proris supp per 4
jam
- Ambroxol 3x8 mg
- Cefixime 2x80 mg
- Prednison 3x5 mg
- Cetirizine 1x1/4 tab
- Luminal 2x40 mg

23
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
- Curcuma 2x1 tab
- Asam folat 1x1 tab
- Rencana pulang

20/09/2023 S/ Demam tidak ada


Kejang tidak ada
Batuk tidak ada , tidak ada sesak, tidak ada kebiruan
Mual dan muntah tidak ada
Nafsu makan sudah membaik
BAK dan BAB biasa.

O/ KU: tampak sakit sedang, kesadaran: sadar, HR: 108 x/menit,


RR: 21x/menit , suhu: 36,7oC.
Mata: konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik
Tenggorok : faring hiperemis (-), detritus tidak ada.
Thoraks: cord dan pulmo tidak ditemukan kelainan
Abdomen: distensi (-), supel. hepar tidak teraba, BU (+) normal.
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik

A/
- Hiperpireksia ec. Tonsilofaringitis Akut

P/
- Pasien pulang

24
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
BAB IV
PEMBAHASAN
Seorang anak perempuan umur 3 tahun 10 bulan dirawat di Bangsal Anak
RSUP Dr. Adnan WD Payakumbuh 17 September 2023 dengan diagnosis
Hiperpireksia ec Tonsilofaringitis Akut. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan anamnesis, pasien dating dengan
keluhan demam tinggi sejak 5 hari sebelum masuk RS, demam tidak disertai keringat dingin dan
tidak menggigil. Demam tertinggi mencapai 40ºC. Demam tidak disertai dengan
kejang. Demam adalah kenaikan suhu tubuh yang ditengahi oleh kenaikan titik
ambang regulasi panas hipotalamus. Demam terjadi bila berbagai proses infeksi
dan noninfeksi berinteraksi dengan mekanisme pertahanan hospes. 14 Keluhan lain yang
ditemukan adalah penurunan nafsu makan ± sejak 3 hari sebelum masuk RS, makan tidak mau
dan minum hanya sedikit disertai dengan nyeri menelan yang timbul sejak 1 hari sebelum masuk
RS.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sakit sedang, komposmentis,
tekananan darah 95/60 mmHg, frekuensi nadi 100 kali permenit, frekuensi nafas 20 kali per
menit, suhu 38,5’C, BB 15,5 kg, TB 103 cm, dengan status gizi normal. Pemeriksaan tenggorok
ditemukan tonsil T1- T1 hiperemis, detritus (-), kripti (–), dan dinding posterior faring hiperemis.
Tonsil dan dinding faringitis posterior yang tertutup eksudat umumnya nekrosis dan
menimbulkan ulserasi yang meluas ke dalam mulut dan melibatkan lidah, sehingga dapat
menimbulkan keluhan nyeri dan disfagia.7
Pemeriksaan laboratorium darah didapatkan hasil Hb 12,2 g/dL, leukosit 10.500 /mm 3,
trombosit 255.000 /mm3, dengan kesan leukositosis. Berdasarkan kriteria centor, suhu >38ºC (1),
batuk ada (1), KGB anterior cervical (0), radang tonsil/exudate (0), usia 3-14 tahun (1) sehingga
didapatkan score 3 dengan resiko infeksi streptokokus 28-35% dengan manajemen yang
disarankan adalah terapi empiris dengan atibiotik dan/atau kultur. Pada pasien diberikan
antibiotik golongan sefalosporin yaitu cefixime 2x80mg. Hal ini sesuai dengan penggunaan
antibiotik yang disarankan untuk infeksi streptokokus yaitu golongan sefalosporin, penisilin dan
congener penisilin, makrolida, dan klindamisin. 11

25
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
DAFTAR PUSTAKA

1. Bartlett A, Bola S, Williams LC. Acute tonsillitis and its complications: an


overview. Journal of the Royal Naval Medical Service. 2015; 101.1: 69-73.

2. Okoye EL, Obiweluozor CJ1, Uba BO, Odunukwe FN. Epidemiological


Survey of Tonsillitis Caused By Streptococcus pyogenes among Children in
Awka Metropolis (A Case Study of Hospitals in Awka Community, Anambra
State). Journal of Pharmacy and Biological Sciences. 2016; 11 (3): 54-58.

3. Abraham ZS, Bazilio J, Kahinga AA. Prevalence and Bacteriology of


Tonsillitis among Patients attending Otorhinolaryngology Department at
Muhimbili National Hospital, Dar es Salaam- Tanzania. Medical Journal of
Zambia. 2019; 46 (1): 33-40.

4. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu


kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-7. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2015.

5. Maqbool M, Suhai M. Textbook of Ear, Nose, and Throat Diseases. Edisi 11.
New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. 2007.

6. Morton DA, Foreman KB, Albertine KH. The Big Picture: Gross
Anatomywww.accessmedicine.com. The McGraw-Hill Companies, Inc.

7. Arnold J. Infeksi Saluran Pernafasan Atas. Dalam: Nelson W. ed. Nelson.


Textbook of Pediatrics. Jakarta: EGC, pp 1458-59.

8. Georgalas CC, Tolley NS, Narula A. Tonsillitis. Clinical Evidence. 2009; 10-
503: 1-12.

9. Wolford RW, Schaefer TJ. Pharyngitis. USA: StatPearls Publishing LLC. Di


akses dari: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK519550/#_NBK519550_pubdet 30
Desember 2019.

10. Bochner RE, Gangar M, Belamarich PF. A Clinical Approach to Tonsillitis,


Tonsillar Hypertrophy, and Peritonsillar and Retropharyngeal Abscesses.

26
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
Pediatrics in Review. 2017; 38 (2): 81-89.

11. Alasmari NSH, Bamashmous ROM, Alshuwaykan RMA, Alahmari MAM,


Almubarak RM. Causes and Treatment of Tonsillitis. The Egyptian Journal of
Hospital Medicine. 2017; 69 (8): 2975-298.

12. Fitriany J, Annisa I. Demam reumatik akut. Jurnal Averrous. 2019; 5 (2): 11-25.

13. Lumbanbatu SM. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus pada Anak.


Sari Pediatri. 2003; 5 (2): 58 – 63.

14. Arvin, Ann M. Demam. Dalam: A. Samik Wahab. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Edisi
bahasa Indonesia. Edisi 15 Vol 2. Jakarta: EGC 2000, pp
854-856.

27
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas

Anda mungkin juga menyukai