Anda di halaman 1dari 8
B. Berbagai Pendekatan Filsafat Islam 1. Pendekatan Historik Secara historik, Islam lahir oleh risalah kenabian Muhammad saw., di Makkah, pada tahun 571 M., dan merupakan produk dari dialektika sejarah kemanusiaan yang berada dalam krisis, untuk memberikan jalan kepada manusia merancang hari depan kehidupannya yang lebih manusiawi. Dialektika antara pribadi (ke-akuan, diri atau nafs) Muhammad saw. yang cerdas dan kritis, yang prihatin melihat realitas kehidupan masyarakat sekitarnya yang mengalami krisis, dan dari proses dialektik itu kemudian Allah menurunkan wahyu sebagai bimbingan dalam proses penyelamatan masyarakat dari suatu krisis, untuk menuju darul Islam, rumah keselamatan dan kedamaian." “\Dialektika Kenabian Muhammad hadir bahkan ketika Nabi belum menerima Nubuat. Realitas yang di depan matanya merupakan faktor eksternal yang dalam batas-batas tertentu diintemalisasi dalam diri Nabi dan melahirkan sikap-sikap yang berbeda dengan kebanyak individu, bahkan bertentangan dengan sistem sosial yang ada. Dialektika kenabian Muhammad merupakan dialektika yang, tidak semata-mata menawarkan perbedaan atau penentangan atas kenyataan yang, ada, melainkan sekaligus memberikan altematif jawaban bagi kehidupan yang lebih baik. Dialektika Kenabian muncul sebagai tanggapan atas krisis yang terjadi, namun pada saat yang sama krisis itu juga dimunculkan kembali dengan pemaknaan yang lain. Sebagaimana sejarah mencatat, praktik kenabian Muhammad telah membuat suatu perubahan total dan radikal menyangkut esensi keberagamaan masyarakat saat itu. Dalam hal ini suatu benturan pemikiran tidak dapat dihindarkan, dan Nabi tetap melakukannya dengan cara yang bijak dan cerdas. Gambaran perilaku Kenabian seperti itu dapat dilihat misalnya dalam karya Ibnu Hisyam dan Alfred Guillaume, The Life of Muhammad; A Translation of Ishaq 's Sirat Rasul Allah, Oxford: Oxford University, 1987. Bandingkan dengan Fazlur Rahman, Prophecy in Islam: Philosophy and Orthodoxy, London: George Allen&Unwin Ltd., 1957, him. 11-20. Dipindai dengan CamSca Nabi Muhammad saw., sejak masa kanak-kanaknya dikenal sangat cerdas, bertanya apa saja kepada pamannya, ketika diajak menemani pamannya pergi ke negeri tetangga, ke Syam (sekarang Syria), di usianya yang masih belia yaitu tujuh tahun, ia menanyakan apakah hakikat penciptaan semua yang ada ini. Di samping daya kritisnya yang tinggi, ia juga mempunyai sifat-sifat positif lainnya, , antara lain shidiq artinya benar kata-katanya, amanah artinya dapat dipercaya, tabligh artinya suka menyampaikan kabar kebenaran dan kebaikan, serta fathanah, artinya sangat cerdas. Bahkan kecerdasan- nya ini dinamakan oleh Ibnu Sina dengan al-hads,? yaitu akal yang suci, karena kemampuannya, mampu menembus dimensi kegaiban. Oleh kecerdasan dan sifat-sifatnya yang positif itulah, maka ketika masyarakatnya menghadapi persoalan yang serius, yang dapat memicu kekerasan, yaitu ketika mereka terlibat pertikaian dan berebut siapa yang berhak untuk mengangkat dan mengembalikan batu hitam yang disucikan (ka’bah) ke tempat asal mulanya, karena bangunan itu sudah selesai diperbaiki, maka Muhammad saw. yang ditunjuk untuk " Al-Hads menurut Ibnu Sina adalah kemampuan potensial yang sangat kuat dalam jiwa manusia yang sedang belajar. Karena itu orang yang sedang belajar bisa melakukan proses belajar melalui diri sendiri dan bisa melalui orang lain, Kalau ada orang belajar lebih cepat melakukan penggambaran intelekrual, maka itu artinya dia sudah memiliki kemampuan potensial sebelum dia melakukan persiapan. Ada orang-orang tertentu yang sangat kuat kemampuan potensialnya, sehingga untuk berhubungan dengan akal aktif dia tidak perlu melakukan usaha yang berat atau belajar. Akibatnya seakan-akan dia mengetahui segala sesuatu dari dalam dirinya dan inilah kemampuan potensial yang tinggi. Jadi al-Hads: merupakan aktifitas intelektual yang berupa kecerdasan, karena al-Hads terjadi dengan sendirinya dalam diri seseorang atau terbentuknya gias (analogi) dalam akal tanpa seorang guru, Dengan kata lain al-Hads adalah kemampuan akal untuk menarik kesimpulan secara tepat dan cepat dari data yang ditunjukkan kepadanya atau melihat melalui semacam iluminasi mental adanya hubungan pasti antara beberapa premis dan kesimpulannya. Lihat M. Saced Sheikh, op. cit., him. 57. uipinaal dengan Vamsca memutuskan dan memberikan jalan keluar untuk menyelesaikannya. Maka berkatalah ia, serahkan kain serban kepadaku, dan kemarilah masing-masing kepala suku, dan pegang ujung-ujung kain itu oleh masing-masing kepala suku dan letakkan batu hitam di tengahnya, lalu angkat bersama-sama dan kembalikan ke asal mulanya.'? Maka keputusannya itu dianggap adil dan diterima bulat oleh masing-masing suku yang terlibat pertikaian itu. Keputusan ini sepenuhnya dibuat karena kecerdasannya, mengingat ketika kejadian itu, ia belum mendapatkan wahyu. Peristiwa itu terjadi ketika ia beruisa 25 tahun. Sebagai warga masyarakat yang berkepribadian unggul dan peduli, maka hatinya sangat gelisah melihat realitas sosial dan ke- hidupan masyarakatnya yang dekaden. Bagaimana tidak gelisah jika ia menyaksikan anak-anak yang lahir perempuan, karena takut miskin lantas dibunuh, perampokan dan penindasan kepada rakyat kecil, fanatisme kesukuan yang seringkali menimbulkan perkelahian dan pembunuhaz, serta sistem ekonomi yang menghalalkan riba dan me- rajalelanya sistem perbudakan. Kegelisahannya mendorong ia pergi pulang, bolak balik ke gua hira untuk merenung dan mencari pencerahan, apakah gerangan yang menyebabkan semua itu terjadi dan bagaimana cara mengatasi dan mengubah serta menjauhkan masyarakatnya dari jurang kehancuran dan kegelapan, menuju masyarakat yang damai dan sejahtera.'* Dalam kepergiannya ke gua hira’ yang kesekian kalinya, turunlah firman yang memerintahkan kepada Nabi Muhammad saw., "Muhammad Husain Haekal, Sejarah Hidup Muhammad, terj. Ali Audab, Jakarta: Pustaka Jaya, 1980, him. 78-79. “Montgomery Watt, “Muhammad”, dalam Berard Lewis (ed.), The Cam- bridge History of Islam, Cambridge: Cambridge University, 1970, khusus pada bagian “The Rise and Domination of the Arabs”. vipindal dengan Vamsca untuk membaca, “igra”, bacalah. Perintah itu diulangi sampai tiga kali, dan ia masih belum menyadari dan mengerti makna yang ter- kandung dalam perintah membaca itu. Barangkali karena dirinya tidak bisa membaca, sehingga sulit memahami suatu perintah yang tidak bisa dilakukannya, bagaimana perintah membaca kepada orang yang buta huruf. Perintah membaca itu, tentu tidak perintah membaca seperti layaknya dilakukan oleh kebiasaan masyarakat, di mana membaca artinya mengeja huruf-huruf. Membaca di sini tentu bukan membaca buku atau karya novel, mengingat di tempat itu juga tidak ada buku bacaan: Perintah membaca yang kemudian menjadi ayat pertama turunnya Alquran 96:1-5 selengkapnya berbunyi sebagai berikut : pe sk oe ty ba ogle Ly OLY! ope piu oustys cis opie Artinya : 1) Bacalah, atas nama Tuhanmu yang telah menciptakan. 2) Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. 3) Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. 4) Yang mengajari (manusia) dengan perantaraan pena (kalam). 5) Dia mengajari manusia apa yang belum diketahuinya. Jika direnungkan makna yang terkandung dari susunan dan konteks ketika ayat-ayat tersebut diturunkan, maka dapat ditarik pengertian bahwa membaca di sini artinya bukan membaca deretan huruf dalam bentuk kata dan kalimat, tetapi membaca realitas sosial yang ada dalam kehidupan masyarakatnya, dengan didasari oleh adanya kesadaran transendental. Pengertian ini diambil “membaca” atas nama Tuhan yang menciptakan. Mem! sosial memerlukan kemampuan konseptual untuk mei mika ‘dan perubahan masyarakat. Kemampuan kons kaitan dengan kecerdasan yang dimiliki Nabi Muh: dari perintah baca realitas mahami dina- eptual itu ber- ammad saw., yang uipinaal dengan Vamsca mampu melampaui dataran fisik, yaitu agal suci, atau al-hads. Membaca realitas dinamik dengan kesadaran Ilahi; yang hadir mem- bukakan mata hatinya, untuk menapaki tangga ontologi memasuki dataran metafisika dan memperoleh pencerahan. Pencerahan intelek'S dengan wawasan tajam hatinya, melahir- kan kesadaran untuk melakukan perubahan total tata kehidupan ma- syarakatnya, dan ia memulainya dengan merombak sistem ketuhanan, yang menjadi basis bangunan kultural suatu masyarakat. Realitas teologi kebendaan telah berkembang ke titik ekstrim yang memuja dan. mempertuhankan ciptaannya sendiri, memutlakkan ideologi, mengabdi kepada keakuan seorang pemimpin dan melahirkan fana- tisme kesukuan yang sempit, yang memicu penindasan dan pertum- pahan darah. Teologi kebendaan inilah yang menjadi sasaran pokok perom- bakan sistem dan tata kehidupan masyarakat, menjadi teologi yang hanya mempertuhankan Pencipta semua yang ada ini, yaitu Allah, bukan ilah-ilah ciptaan manusia. Allah Yang Tunggal, Yang memati- kan dan menghidupkan, menjadi titik pusat dan kembalinya semua ciptaan, alam semesta seisinya, yaitu sistem ketuhanan tauhid,' sebagai jalan menuju keselamatan dan kedamaian. Sistem ketuhan- an tauhid itulah yang menjadi dasar masyarakat baru yang hendak ‘sIntelek merupakan entitas pengetahuan yang merupakan kemampuan kognitif. Yakni kemampuan mengetahui yang dilawankan dengan menghendaki dan kemampaun merasa. Intelek juga merupakan fungsi rasio yang menjadikan ide-ide (konsep, abstraksi), selain itu intelek berarti a) kemampuan untuk mengetahui, mengerti secara konseptual, dan b) kemampuan menghubungkan apa yang diketahui atau dimengerti, Lihat Peter A. Angeles, The Dictionary of Phi- losophy, New York: Harper&Row Publishers, 1981, him. 135. ‘Tauhid merupakan tindakan mengimani Allah sebagai zat tun; sekutu dan tanpa terdiri dari bagian-bagian (terbagi), atau eben dan tunggal (akada duanya) pada Allah dan hanya Allahlah yang bisa menyandang sifat ini, Ibnu Manzur, op. cit,,jilid TV, hlm, 464, areas vipindal dengan Vamsca dibangun, di atas masyarakat lama yang menghancurkan kemanu- siaan, dengan mempertuhankan kebendaaan dan ciptaan manusia sendiri, sehingga manusia jatuh derajatnya, karena menghamba pada ciptaannya sendiri, yang secara kualitatif sebenarnya lebih rendah daripada kualitas dirinya. Manusia menyembah karyanya sendiri inilah yang menjadi ciri pokok masyarakat jahiliyah, yang meren- dahkan kemanusiaan. Melakukan rekonstruksi sejarah kelahiran Islam, dapatlah di- bayangkan adanya proses pemikiran dan perenungan yang mendalam sampai ke akar masalah, yang dilakukan oleh pribadi yang cerdas dan kritis, untuk mencari sebab dekandensi moral mayarakatnya yang makin parah dan mencari jalan keluar penyelamatan sosial. Terbayang sebuah persoalan dilematik, apakah yang menyebabkan terjadinya dekadansi moral itu? apakah karena kesalahan berpikir yang bermuara pada sistem keyakinan ketuhanan, ataukah sebaliknya realitas masyarakat yang membentuk sistem berpikir dan berketuhanan dalam masyarakat. Dilema itu seperti mencari mana yang dahulu ayam atau telur, dan dilema itu harus diakhiri dengan pengambilan pilihan dan keputusan yang tegas, untuk menetapkan ayam atau telur. Oleh karena itu, apa yang dilakukan oleh Muhammad saw., adalah merumuskan dan menjalankan proses transformasi sosial, melalui pendekatan kultural pada periode Makkah dan pendekatan struktural'” pada periode Madinah. Dalam periode Makkah, ia meng- ubah pola berpikir dan pola kesadaran masyarakat, dengan "Sebuah struktur selalu merupakan suatu sistem yang disusun dari berbagai elemen. Fokus dari suatu gerakan struktural tidak terletak pada elemen-elemen itu sendiri melainkan pada peraturan yang mengatur elemen-elemen tersebut. Tetapi sifat sebuah struktur yang menyeluruh adalah berbeda dan bukan Mmengurangi peran dari bagian-bagiannya. Lihat Paula Rubel Abraham Rosman, “Structural Func- tional Analysis”, dalam David Laviason & Melvin E. (eds.), Encyclopedia of Cul- tural Anthropology, New York: Henry H&Company, 1996, Jilid IV, hlm. 1263 vipindal dengan Lamsca meletakkan tekanan pada perubahan total sistem teologi kebendaan kepada sistem akidah tauhid, yang kemudian dikenal sebagai pe- triode Akidah. Setelah sistem akidah tauhid itu mantap, dan masya- rakat baru mulai terbentuk di kota Madinah, maka dalam periode Madinah ini, dilakukan pendekatan struktural, dengan melakukan penataan struktur masyarakat, melalui pemantapan pranata sosial dan hukum-hukum, yang kemudian dikenal dengan periode Syari’ah.'* Jika dilihat data sejarah ini, maka apa yang sudah dikerjakan oleh Nabi Muhammad saw., pada hakikatnya merupakan penjel-maan dari tugas seorang filosof yang sebenamya, paling tidak sebelum ia diangkat menjadi Rasulullah, karena kerasulan itu dimulai dan ditandai sejak diturunkannya wahyu Alquran. Seorang filosof sejati, bukan hanya mereka yang berpikir tentang sesuatu yang besar, tetapi lebih jauh lagi adalah melibatkan dirinya dalam kancah perubahan masyarakatnya, sesuai dengan bangunan pemikirannya itu. Corak pemikirannya yang radikal, menggugat tatanan masya- rakatnya dengan menawarkan perubahan total, memasuki pengem- baraan spiritual, sehingga melahirkan paradigma baru untuk meng- ubah total kehidupan masyarakatnya, melalui akar teologisnya, mencerminkan bahwa ia adalah filosof sejati yang kemudian diang- kat menjadi Rasulullah. Kecerdasannya yang luar biasa memung- kinkannya untuk memahami dan melaksanakan tugas ganda sebagai ‘Lihat Muhammad Husain Hackal, op. cit, lihat khusus pada bagian “Dari Masa Kerasulan Sampai Islamnya Umar”. Dalam periode pendekatan struktural di Makkah, pola misi Nabi menunjukkan pada suatu perubahan terhadap suatu sistem yang sudah terpola dan terbentuk dalam unit sosial masyarakatjahiliyah. Sementara itu ketika pada periode Madinah, Nabi melakukan praktek-praktek fungsional yang, lebih mengarahkan pada proses dinamika di dalam struktur masyarakat tersebut. Kedua pendekatan ini dilakukan oleh Nabi untuk melihat realitas sosial yang terstruktur yang di dalamnya terjadi rangkaian perubahan fungsional dan saling terkait. Lihat praktek kenabian dalam Ibnu Hisyam dan Alfred Guillaume, op.cit. vipindal dengan Lamsca my filosof dan Rasulullah,'? Ini bukan pernyataan yang mengadarads, akan tetapi'sebuah tuntutan yang, wayjar, karena seorang Nabi, juga memberikan pedoman dan cara berpikir yang benar. ; Sebagai seorang filosof, corak dan model pemikirannya sangat terang, yaitu membaca realitas dengan kesadaran ilahiyah. Lantas kesadaran ilahiyahnya membukakan mata hatinya, sehingga hakikat realitas tertangkap jelas. Basis konseptualisasi dari realitas adalah bersifat spiritual. Inilah sunah rasul dalam berpikir. Sunah rasul inilah yang seharusnya dikembangkan menjadi suatu kerangka metodologi dari filsafat Islam. Sehingga filsafat Islam basisnya bukan dan tidak lagi pada pemikiran Yunani yang rasionalistik, tetapi dibangun di atas landasan sunah Rasulullah dalam berpikir, yang bercorak rasional transendental.” “Nabi atau Rasul, adalah orang yang memiliki kemampuan intelektual yang, dengan kemampuannya mampu mengetahui segala sesuatu tanpa bantuan pengajaran dari sumber-sumber luar. Al-Farabi dan Ibnu Sina sangat mendukung Pernyatann tersebut, namun al-Farabi beranggapan bahwa sebelum datang wahyu atas kenabiannya, terlebih dahulu didahului olch pemikiran filosofis sebagaimana yang dialami oleh orang biasa, yaitu mengalami tahap-tahap perkembangan pemikiran yang membedakannya dengan orang lain (selain Nabi). Manusia biasa (selain Nabi) hanya sampai pai da tahap perkembangan tertentu, sedangkan Nabi sudah mampu untuk melebihi batas intelektual mai i 4 nusia biasa. Dalam hal ini, al- Farabi mengemukakan lima tahap ‘perkembangan intelektual: !)intelek potensial (the potential intellect), 2)intelek aktual (the actual intellect), 3)intelek perolehan (the acquired intellect), 4)intelek suci (the Holy Gost), dan 5)intelek transendental (the transcendent intelligence). Pada Nabi, kemarn>puan intelektualnya sudah samp ee tahap intelek aktif (the active intelligence, yang meliputi: the Holy ‘gan eee intelligence), sedangkan manusia biasa (selain nabi) lect). Lihat Fa alu Rahman uP ke-3, yaitu intelek perolehan (the acquired intel- rophecy in Istam: Phi . don: george Allen&Unwin Lid, 1957, him, acne ey aed Ortoory, Lon Konseptual yang khas manusiawi. Jadi, rasi 0 |. Jadi, Tidak Semua pengetahuan intelektual hai ae Pengertian khusus, rasional berart konkh vipinaal aengan Lamsca

Anda mungkin juga menyukai