Anda di halaman 1dari 2

Menikmati Dinamika Hidup dengan Stoisisme

4 Mei 2021

Zeno dari Citium (336-264 SM) memberikan kita suatu cara atau metode untuk hidup
bahagia dengan cara yang paling realistis. Sebuah jalan hidup yang membuat seorang kaisar
(Marcus Aurelius) dan bahkan seorang budak (Epictetus) pada zamannya mampu hidup merdeka
dengan segala tekanan hidup. Orang - orang menyebut metode Zeno ini dengan sebutan
stoisisme. Sebuah aliran filsafat yang sudah ada sejak kurang lebih 2300 tahun yang lalu yang
populer bahkan di era kini. Stoisisme merupakan aliran filsafat yang sangat praktis untuk
dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Menerapkan stoisisme Sangat mudah dan jauh dari
bayangan seseorang terkait filsafat yang terbayang-bayang sebagai sesuatu yang ngawang-
ngawang dan jelimet.

Bahagia menjadi salah satu concern yang sering dibahas, dikaji dan di kejar dalam
kehidupan manusia. Mengejar kebahagiaan adalah seseuatu yang alami bagi manusia. Terlepas
bahagia itu apa ? bagaimana tiap orang mengartikan kebahagiaan? Manusia menghadapi realitas
bahwa terkadang bahagia saja tidak cukup atau terdapat permasalahan untuk mencapai
kebahagiaan. Entahlah tapi memang bagi segaian orang untuk bahagia saja itu rumit dan
beberapa lagi justru tersakiti oleh sesuatu yang awalnya dianggap kebahagiaan olehnya.

Pada masa ke masa selalu ada permasalahan baru dalam kehidupan sosial manusia.
Manusia yang tidak tangguh menghadapi permasalahan hidup bisa kemudian menghadapi
depresi dari depresi tingkat rendah hingga depresi tingkat tinggi. Sudah menjadi informasi yang
umum bahwa tekanan hidup, stress dan depresi adalah tantangan di tengah dinamika hidup yang
harus dihadapi manusia selama masih dalam keadaan hidup. Kasus depresi semakin meningkat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melakukan kajian dan mendapati bahwa dalam satu dekade
saja terdapat peningkatan 20% kasus depresi. Sebuah bukti bahwa di era modern ini telah terjadi
peningkatan masyarakat yang mengalami depresi, kekhawatiran, kecemasan dan sebagainya.

Banyak hal yang menjadi sumber emosi negative yang nantinya juga akan berakibat pada
stress. Ada yang stress karena sering terjebak macet, pendapat atau komentar buruk dari orang
lain, cibiran haters di sosial media, dosen pembimbing skripsi yang kurang asyik diajak
konsultasi, tekanan dari atasan di kantor dan sebagainya. Banyak kejadian random di dunia ini
yang tidak bisa kita kendalikan dan anehnya sebagian memilih untuk bersedih karena sesuatu
yang tidak bisa dikendalikan. Adakah yang berubah ketika kita memikirkan terlalu banyak hal
yang tidak bisa kita kendalikan ? Padahal jika kita renungi sesuatu yang tidak bisa dikendalikan
memang tidak perlu terlalu dipikirkan karena kita tidak punya kendali untuk mengubahnya. Iya,
penulis renungi memang hal yang tidak bisa dikendalikan memang tidak selayaknya
mengganggu kedamaian dan ketenangan jiwa kita. “terusik atau tidaknya seseorang, bukan
dikarenakan oleh tindakan dari luar, melainkan prinsip – prinsip, dan tanggapannya terhadap hal
ekstrenal” (Enchrideon, 5).

Stoisisme mendikotomi kendali dalam hidup kita menjadi dua yaitu sesuatu yang bisa
kita kendalikan, dan sesuatu yang di luar kendali kita. Sesuatu yang bisa kita kendalikan
contohnya persepsi kita, emosi kita, dan upaya kita. Sesuatu yang di luar kendali kita contohnya
pendapat orang lain atas usaha kita, kejadian alam dan hidup yang random, macet di jalan dan
sebaginya. Ketika orang lain menghina kita hal itu ada di luar kita dan kejadia tersebut pada
dasarnya adalah netral. Ketika persepsi kita negative atas hinaan orang lain maka kejadia di luar
kendali kita yang awalnya netral itu kemudian menjadi negatif pula, mengikuti persepsi kita atas
kejadian yang sesungguhnya adalah hal yang netral. Persepsi negatif akan kejadian yang di luar
kendali pada satu titik akan membuat kita mengalami emosi negatif berupa kesedihan dan
perasaan derita (Suffering). Padahal sebenarnya kita punya kendali penuh pada persepsi kita,
apabila kita memilih untuk mengabaikan hinaan dari orang lain atau mempersepsikan hinaan
orang lain sebagai saran untuk memperbaiki diri maka kita tidak akan menderita karena kejadian
tersebut. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain untuk terus menerus memuji kita hanya
karena kita mempersepsikan pujian sebagai hal yang positif ? padahal pujian belum tentu positif
bukan ? persepsi kita saja yang menganggap pujian orang lain itu sebagai hal yang positif dan
hinaan orang lain itu negative. Padahal keduanya sebenarnya di luar kendalu kita dan bersifat
netral.

Gimana ? asyik kan belajar filsafat ? Sangat praktis bukan untuk hidup sehari-hari ? Ayo
kita belajar filsafat bersama-sama. Selamat membaca buku-buku stoisisme, selamat berpikir dan
selamat belajar. Selamat mengkritisi tulisan sederhana ini dan sampai jumpa di tulisan
berikutnya.

Referensi Menulis:

Bertens, K. 2013. Etika. Yogyakarta : Penerbit Kanisius

Manampiring, Henry. 2019. Filosofi Teras. Jakarta : PT Kompas Media Nusantara.

Anda mungkin juga menyukai