Anda di halaman 1dari 19

METODOLOGI PENELITIAN THE LIVING AL QUR’AN DAN HADITS

Nur Hidayatullah
Institut Agama Islam Negeri Metro
Jl. Ki Hajar Dewantara No.110 Kota Metro
E-mail: nurhidayatullah.barcelona.11@gmail.com

Abstrak
Problem utama peningkatan dan pengembangan jurnal ilmiah dikalangan perguruan tinggi islam,
baik di PTKIN maupun di PTKIS, selama ini adalah masalah manajerial atau pengelolaan jurnal
ilmiah, selama ini, diakui bahwa semangat menerbitkan jurnal ilmiah masih tinggi, namun tidak
dibarengi dengan kemampuan manajerialnya. Artinya sudah banyak lembaga penerbit yang
menerbitkan jurnal ilmiah tetapi tidak bisa berlanjut dengan baik.Sehingga terkesan jurnal-jurnal
yang terbit hanya sebagai perkenalan dan kenangan belaka.Apalagi ada kewajiban untuk
penerbitan jurnal online dan instrumen akreditasi juga.Melalui tulisan ini, akan mencoba
menjelaskan pengertian, maksud dan juga tujuan dari apa itu penelitian, maksud penelitian,
tujuan penelitian, serta macam-macam penelitian, kemudian dilanjutkan dengan menjelaskan apa
itu Al Qur’an, maksud dari isi Al Qur’an dan lain-lain dan juga hadist pun akan dijelaskan pula.
Dalam satu dasawarsa ini, kajian living Al Qur’an dan living hadist marak dilakukan di
Indonesia. Penelitian mengenal satu fenomena praktek atau ritual banyak dilakukan.kajian dalam
artikel ini mencoba mengeksplor living hadis dan living Al Qur’an, dari sudut genealogi
kemunculan, teori yang bisa digunakan, dan bagaimana aplikasi teknik penelitiannya.1

Abstract
The main problem improvement and development of the scientific journal among Islamic
universities, both in PTKIN on in PTKIS, as long as it is a matter of managerial or processing of
scientific journals, as long as it was recognized that spirit publishes scientific journals are still
high, but it is not coupled with managerial skills. Meaning that many agencies publishers who
publish the journal but did not continue with the good, so impressed journals published only as
an introduction and a memory. More over there is no obligation for publishing online journals
and accreditation instruments also.Through this paper, will try to explain the meaning, intent
and purpose of what it is research, research purpose, research objectives, as well as a variety of
research and than went on to explain what it is about the Qur’an, the purpose of the contents of
the Qur’an and othes and traditions will be explained as well.Within a decade, the study of living
Qur’an and living hadis hadithand has flourished in Indonesia. Number of research about
phenomena of either practices of rituals has been done. The article, departs from that fact,
endeavors to explore model of living hadist and living Qur’an, from its genealogical presence,
theories that have been applied, up to technic which used into various kind of research.
Keywoard: The Living Qur’an dan Hadits

1
Saifuddin Zuhri Qudsy, “Living Hadis: Genealogi, Teori, Dan Aplikasi,” 1.

1
A. Pendahuluan
Penelitian merupakan salah satu proses investigasi yang dilakukan dengan aktif, tekun
dan sistematis, yang bertujuan untuk menemukan dan merevisi fakta-fakta. Penyelidikan
intelektual ini menghasilkan suatu pengetahuan yang lebih mendalam mengenai suatu peristiwa,
tingkah laku, teori, dan hokum, serta membuka peluang bagi penerapan praktis dari pengetahuan
tersebut.Penelitian juga merupakan keharusan yang dimiliki akademisi.Secara sederhana
penelitian dapat dikatakan sebagai syarat untuk menyelesaikan sebuah pendidikan tinggi.Skripsi
untuk tingkat pendidikan strata 1, thesis untuk strata 2, dan disertasi untuk strata 3.Ketiga
tingkatan pendidikan itu dapat diselesaika jika ahasiswa telah menyelesaikan sebuah
penelitian.Akan tetapi sebuah penelitian adalah sebuah upaya mnusia untuk menemukan sebuah
solusi dari sebua masalah atau untuk menemukan sesuatu yang baru dapat mempermudah dan
meningkatkan kualitas hidupnya.
Artikel ini memfokuskan kajian tentang penelitian living Qur’an dan living hadis sebagai
sebuah metode pendekatan baru dalam kajian Al Qur’an. Living Qur’an adalah kajian atau
penelitian ilmiah tentang berbagai peristiwa social terkait dengan kehadiran Al Qur’an dan
keberadaan Al Qur’an disebuah komunitas muslim tertentu.2 Beberapa tahun yang lalu telah
muncul wacana baru di kalangan dosen dan para mahasiswa IAIN yang sebagian besar kini telah
berganti nama menjadi UIN mengenai betapa pentingnya menkaji dan memahami Al Qur’an
dalam jangkauan yang lebih luas lagi, yakni sebagai “The Living Al Qur’an”. Al Qur’an
diinginkan untuk tidak hanya dikenal atau dimengerti sebagai sebuah kitab suci saja, tetapi juga
sebuah kitab yang isinya terwujud atau berusaha untuk diwujudkan dalam kehidupan sehari-
hari.3
Hadits merupakan sumber hokum islam kedua setelah kitab suci Al Qur’an yang ajaran di
dalamnya diamalkan dan dilaksanaan oleh seluruh umat islam dalam usaha meneladani semua
sifat petunjuk sunnah Rasulullah.Dalam banyak hal, segala apa yang dilakukan maupun
dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW selalu digugu dan ditiru oleh seluruh umat islam secara

2
Dedi Junaedi, “Living Qur’an: Sebuh Pendekatan Baru Dalam Kajian Al Qur’an,” 169.
3
Heddy Shri Ahimsa, “The Living Al Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,” 236.

2
literal tekstual, meskipun tidak sedikit pula dari umat islam itu sendiri yang berusaha untuk
melakukan kontekstualisasi atas suatu hadits.4
Selanjutnya pemahaman terhadap hadits juga sangatlah penting bagi seluruh umat islam
dalam merespons berkembangnya zaman pada saat ini yang telah berkembang secara cepat
dalam kehidupan kita. Sejak munculnya perkembangan dalam bidang teknologi informatika
dengan berbagai perangkatnya, menyebabkan kehidupan didunia ini terasa sempit (global), karea
semuanya dapat di ekspose secara komplit dan dengan jangka waktu yang lebih ingkat dan
cepat.5
Mengenai living hadits, living hadits merupakan salah satu dari sunnah Nabi Muhammad
SAW yang dengan secara bebas telah ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim sesuai
dengan situasi yang sedang mereka hadapi. Atau biasa juga disebut dengan sebutan “sunnah
yang hidup” di dalam living hadis terdapat tiga model living hadis yaitu yang pertama adalah
tradisi tulisan, kemudian yang kedua adalah tradisi lisan dan kemudian yang terakhir adalah
tradisi praktek.6

B. The Living Al Qur’an


Sejumlah peneliti sebenarnya telah memberikan banyak mengenai definisi dari The Living
Al Qur’an Syamsuddin misalnya, mengatakan bahwasannya teks Al Qur’an yang “hidup” dalam
masyarakat itulah yang disebut dengan living Al Qur’an. Sementara pelembagaan hasil
penafsiran tertentu dalam suatu cakupan masyarakat disebut dengan “The living Tafsir”.
Kemudaian apakah yang dimaksud dengan “Teks Al Qur’an yang hidup dalam masyarakat?”
tidak lain merupakan suatu bentuk respons masyarakat terhadap teks Al Qur’an dan hasil
penafsiran seseorang. Termasuk dalam pengertian respons masyarakat adalah resepsi mereka
terhadap teks tertentu dan hasil penafsiran tertentu. Sedangkan penulis lain M. Mansur
berpedapat bahwa pengertian The Living Al Qur’an adalah sebenarnya berawal dari Al Qur’an in
everyday life, yang tidak lain adalah fungsi Al Qur’an yang riil dilakukan dan dialami oleh
seluruh masyarakat muslim. Living Qur’an juga dapat diartikan sebagai sebuah fenomena yang
timbul atau yang hidup di tengah kalagan masyarakat muslim terkait dengan Al Qur’an ini
sebagai objek studinya. Oleh karena itu objek kajian living qur’an dapat diartikan sebagai suatu

4
Saifuddin Zuhri Qudsy, “Living Hadis: Genealogi, Teori, Dan Aplikasi,” 178.
5
Muhammad Nurudin, “Aktualisasi Pemahaman Hadits Hukum Dalam Kehidupan Global,” 39.
6
M. Khoiril Anwar, “Living Hadits,” 72.

3
bentuk kajian mengenai berbagai peristiwa social terkait dengan kehadiran Al Qur’an dan
keberadaan Al Qur’an disebuah komunitas muslim tertentu.7
Dalam pengertin lain dijelaskan bahwa dalam kitbnya tentang Al Qur’an dan manusia,
mufassir dan sastrawan perempuan asal mesir, A Ishah Abd Ar-rahman Bint al-Shati mengekui
bahwa perhatian pada hak-hak manusia di zaman modern membuat para mufassir harus
membahas nya juga dari perspektif Al Qur’an. Dalam kajian agama, kajian living Qur’an dan
hadist adalah bagian dari kajian lived religion, practical religion, popular religion, lived islam
yang bertujuan untuk menggali bagaimana manusia dan asyarakat memahami dan menjalani
agama mereka, untuk tidak mengutamakan kaum elit agama (pemikir, otoritas agama,
pengkhotbah dan sebagainya). Metode-metode saintifik social memiliki wilayah kajian agama
dan para sarjana beralih dari kajian-kajian naskah kepada kajian-kajian masyarakat beriman pada
masa kini (present-day living communities of faith). Dalam kitab suci perbandingan (comparative
scripture), living Qur’qn dan hadits menjadi kajian the uses of scripture, yang belum begitu
berkembang. Kajian-kajian antropologis umumnya melakukan pendekatan aspek praktis
pemahaman dan pengamalan agama, seperti symbol, mitos, ritual, samanisme, magis tapi belum
banyak yang membahas aspek pemahaman.penggunakan, dan pengamalan kitab suci dalam
kehidupan sehari-hari.
Ada tiga macam penggunaan kitab suci:Pertama, penggunaan kognitif, pemikiran dan
pemahaman tentang kata dan maknanya penggunaan kognitif ini mencakup beberapa macam
salah satu nya kitab suci menjadi sumber membangun dan mempertahankan doktrin-doktrin atas
ajaran-ajaran, kebenaran-kebenaran tentang siesta dan cara yang benar untuk hidup di
dalamnya.8
Kedua, penggunaan non kognitf kitab suci terjadi dalam banyak situasi, kitab suci di
pajang di rumah-rumah dan bangunan-bangunan public, dan ditulis dalam kaligrafi.Selain itu
kitab suci memiliki kekuatan memberikan berkah, menyembuhkan penyakit dan penolak bala
dan kejahatan, digunakan sebagai mantra dan jimat, ketika diam dan juga ketika bepergian.Bagi
umat Dao, misalnya, kitab suci Dao diletakkan pendetanya di tangan ibu yang sedang melahirkan
agar di berikan kemudahan. Dalam tradisi islam, kitab suci Al Qur’an atau potongan ayat
digunakan atau dibacakan kepada orang yang sakit. Ketika kitab suci digunakan untuk

7
Heddy Shri Ahimsa, “The Living Al Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,” 237–38.
8
Muhamad Ali, “Kajian Naskah Dan Kajian Livin Qur’an Dan Living Hadits,” 150–52.

4
memperkirakan masa depan dan membimbing orang bersangkutan bagaimana menghadapi masa
depan itu. Orang Shikh misalnya membuka halaman berapa saja dari kitab guru girant pada satu
hari dan menjadikannya sebagai petunjuk kehidupan pada hari itu.9
Penggunaan kitab suci juga bisa dikaji dari segi informative dan segi performative.Dari
segi informative, kitab suci dijadikan sumber pengetahuan, doktrin, dan sejarah masa lalu, isyarat
ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Kemudian dari segi performative, kitab suci dialami,
dijadikan sebagai barang suci, misalnya dalam ritual kurban, dijadikan sumber hokum Negara
dan masyarakat, dijadikan alat untuk memberkahi, dilagukan dan dilombakan, dan sebagainya.
Secara umum kitab suci mempunyai kekuatan merubah dalam kehidupan pribadi maupun
masyarakat yang mengimaninya.Ada kelebihan dan kekurangan kajian yang memfokuskan kitab
suci sebagai cara memahami agama-agama. Kelebihan-kelebihan spiritual cukup banyak. Kitab
suci hamper ada disemua agama. Kitab suci cenderung comprehensive bagi keimanan umat
beragama.Kitab suci dianggap otoritatif bagi agama-agama mereka.Kitab suci digunakan
menjadi sumber untuk memahami agama-agama.10Kitab suci ini juga terbuka untuk dikaji
berbgai pendekatan termasuk pendekatan tekstural, literary, sastrawi. Di sisi lain, kajian spirituall
memiliki kekuranga-kekurangan. Kekurangan yang pertama penerimaan dan penggunaan ktab
suci tidak seragam di setiap agama-agama.Kaum beriman menganggap kitab suci mereka
berbeda, dan kitab-kitab suci yang berbeda itu berfungsi scara berbed pula. Kelemahan kedua
adalah terjemah kitab suci tidak semua menangkap makna asli, kekurangan ketiga, pendekatan
spiritual sering kali bersifat elite dan patriarkal, kekurangan keempat, focus kepada teks kitab
suci itu semata kurang konteks hidp teks itu. Untuk kajian Al Qur’an dan hadist yang dimiliki
kekuatan otoritatif pertama dan kedua, kelemahan-kelemahan kajian tekstual itu ditutupi dengan
kajian living texts, teks atau scripture sebagaimana dijalankan dan dipahami penganutnya. 11
Di Indonesia, frasa living hadits ataupun saudara kandung nya living qur’an pada
dasarnya adalah frasa yang dipopulerkan oleh para dosen tafsir hadits (sekarang menjadi prodi
ilmu Al Qur’an dan tafsir dan prodi ilmu hadist) UIN Sunankalijaga melalui buku metodologi
penelitian living qur’an hadist. Akan tetapi jika dilihat kebelakang, istilah living hadist
dipopulerkan oleh Barbara malchaft melalui artikelnya living hadist in tablighi jamaah. Jika
ditelusuri lebih jauh, terma ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari istilah living sunnah, dan

9
Ibid., 151.
10
Heddy Shri Ahimsa, “The Living Al Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,” 222.
11
Muhamad Ali, “Kajian Naskah Dan Kajian Livin Qur’an Dan Living Hadits,” 152.

5
lebih jauh lagi adalah praktek sahabat dan tabiin dengan tradisi madinah yang digagas oleh imam
malik. Jadi pada dasarnya ini bukan baabg baru.hanya seharusnya sisi kebaruannya adalah pada
frasa kata yang digunakan.12
Secara umum, living qur’an dan living hadits artinya mengkaji Al Qur’an dan juga hadits
sebagai teks-teks yang hidup, bukan teks-teks yang mati. Pendekatan living qur’an menekankan
fungsi aspek Al Qur’an sebagai petunjuk an rahmat bgi manusia dan orang beriman, tetapi ini
juga bisa memasukkan peranan Al Qur’an dan hadits dalam berbagai konteks dan kepentingan
kehidupan, baik yang beriman maupun yang tidak beriman. Pendekatan ini juga mengkaji dan
menekankan produk penafsiran dan relevansinya bagi persoalan kini dan di sini. Dalam kaitan ini
Al Qur’an yang dibaca dalam kegiatan sehari-hari muslim menjadi bagian dari kajian living
qur’an bagi muslim yang bertujuan menjadikan Al Qur’an tetap relevan dizaman sekarang.
Perspektif living qur’an menjadikan Al Qur’an lebih membumi.
Kajian living qur’an yang berorientasi akademis ilmiah, tidak terlalu memperhatikan
perdebatan otentisitas Al Qur’an, perdebatan perbedaan metode, dan produk tafsir zaman klasik,
pertengahan dan modern, dan perdebatan pemaksaan dan bukan pemaksaan. Dalam kajian living
qur’an tidak ada perhatian pada penyimpangan-penyimpangan dalam penafsiran Al Qur’an
seperti yang ditulis Muhammad Husain al- dhahabi. Al- dhahabi menguraikan penyimpangan-
penyimpangan tafsir sejarawan, ahli tata bahasa arab, mu’tazilah, syiah imammiyah, khawarij,
sufi, ilmuan dan pembaharu.13Penulis yang lain lagi Muhammad yusuf, mengatakan bahwa
respons sosia; terhadap Al Qur’an dapat dikatakan living qur’an. Baik itu living qur’an dilihat
masyarakat sebagai ilmu dalam wilayah profane (tidak keramat) di satu sisi dan sebagai buku
petunjuk (huda) dalam yang bernilai sacral di sisi yang lain.
Studi mengenai living qur’an adalah studi tentang Al Qur’an tetapi tidak bertumpu pada
eksistensi tekstualnya. Melainkan studi tentang fenomena social yang lahir dengan kehadiran al-
qur’a dalam wilayah geografi tertentu yang mungkin masa tertentu pula. Menawarkan The
Living Qur’an sebagai objek kajian pada dasarnya adalah menawarkan fenomena tafsir atau
penulisan Al Qur’an dalam arti yang lebih luas daripada yang selama ini dipahami, untuk dikaji
dengan menggunakan perspektif yang jug lebih luas, lebih bervariasi. Sementara itu, mengusung
pemaknaan gejala social budaya ke kanch sebuah perbincangan.Sehubungan dengan itu, oerlu

12
Saifuddin Zuhri Qudsy, “Living Hadis: Genealogi, Teori, Dan Aplikasi,” 179.
13
Muhamad Ali, “Kajian Naskah Dan Kajian Livin Qur’an Dan Living Hadits,” 153.

6
disini dipaparkan secara singkat asumsi-asumsi dasar antropologi hermeneutic sebelum kita
membicarakan berbagai macam pemaknaan terhadap Al Qur’an sebagai sebuah kitab yang berisi
sabda-sabda tuhan.
Salah satu asumsi dasar dari paradigm antropologi interpretif adalah bahwa manusia
adalah animal syimbolicun atau hewan yang mampu menggunakan, menciptakan dan
mengembangkan symbol-simbol untuk menyampaikan pesan dari indvidu yang stu kepada
individu yang lain. Symbol disini diartikan sebagai sesuatu yang dimaknai, sehingga pemaknaan
merupakan proses yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan memberikan
makna inilah yang membedakan manusia dengan binatang, dan kemudian mampu membuat
manusia berbahasa.Bahasa merupakan suatu system pemaknaan.Bahasa sebagai perangkat
symbol sebuah bunyi yang paling fundamental dalam kehidupan manusia.Lewat mana manusia
memberikan makna terhadap dunianya.Melalui bahasa inilah manusia berinteraksi terhadap
manusia yang lainnya.Melalui berbahasa terbangun hubungan social dan kebudayaan.Kehidupan
social yang menimbulkan kebudayaan hanya bisa lahir karena adanya interaksi social yang
simbolik, dan interaksi simbolik ini bisa muncul karena adanya bahasa.
Adanya kemamouan berbahasa pada setiap manusia yang normal menunjukkan bahwa
kemampuan simbolik atau kemampuan memberikan makna ini diwarisi oleh manusia secara
genetis.ini merupakan asumsi dasar kedua. Dengan kemamouan ini, manusia tidak pernah lagi
melihat segala sesuatu sebagaimana adanya, tetapi sebagai sesuatu yang telah diberi makna,
karena segala sesuatu dalam kehidupan manusia selalu menjadi objek atau tujusn pemaknaannya.
Pemaknaan atau pemberian makna pada dasarnya adalah kegiatan menghubungkan Sesutu yaitu
symbol itu sendiri dengn Sesutu yang lain, yaitu maknanya pada paparan kognisi (pikiran).
Kalau kemampuan memaknai bersifat genetis, kerangka pemaknaan dan hasil pemaknaan dapat
dikatakan bersifat kultural, bersifat budaya. Kemmpuan melakukan pemaknaan boleh dikatakan
emacam wadah yang diperoleh dri keturunan, sedang isi yang digunakan untuk memberikan,
menempelka makna-makna, merupakan sesuatu yang di dapat dari kehidupan social, lewat
proses sosialisai dan enkulturasi. Ini adalah asumsi yang ketiga.Kemampuan berbahasa, misalnya
merupakan kemampuan yang bersifat universal, yang dimiliki oleh semua manusia yang
normal.14

14
Heddy Shri Ahimsa, “The Living Al Qur’an: Beberapa Perspektif Antropologi,” 240.

7
Dengan bekal kemampuan simbolisasi dan kerangka pemaknaan tersebut maka manusia
selalu memandang dunia dan sekeliling nya sebagai dunia symbol, sebagai belantara symbol
dengan berbagai maknanya.Dala kehidupan sehari-hari symbol-simbol yang mewujudkan bahasa
adalah tulisan-tulisan, yang jika terkumpul menjadi kesatuan dan menyampaikan pesan atau
makna tertentu biasa disebut dengan teks. Suatu belantara symbol pada dasarnya selalu
ditanggapi oleh manusia sebagai suatu symbol yang tersusun dengan cara tertentu dan dapat
dimaknai dengan cara tertentu pula. Oleh karena kehidupan sehari-hari dan lingkungan
kehidupan tersebut merupakan sebuah belantara symbol, maka kehidupan sehari-hari di
lingkungan tersebut juga merupakan sebuah teks yang dapat dibaca dan dimaknai.Di tengah-
tengah antara manusia yang merupkan animal syimbolicum, sebuah benda seperti kitab Al
Qur’an tidak lagi dapat hadir tanpa makna. Begitu pula perlakuan manusia terhadap Al Qur’an
sebagai sebuah jaringan dan sebuah susunan symbol-simbol yaitu huruf-huruf arab adalah
sebuah teks, demikian pula halnya dengan berbagai macam oerlakuan manusia terhadap Al
Qur’an sebagai jaringan dan susunan symbol. Dari sudut pandang ini, The Living Al Qur’an
adalah sebuahjagad simbolis, sebuah syimbolic universe, dan juga sebuah teks, yang dapat
dimaknai. Sebagai sebuah system symbol, Al Qur’an tidak hanya dijadikan objek penafsiran para
ahli tafsir, tetapi juga ditafsirkan oleh setiap muslim, dan bahkan juga oleh mereka yang non
muslim.Dilihat dari perspektif antropologi, setiap individu sebagai animal symbolicum adalah
seorang penafsir.Masing-masing individu tentu memiliki kerangka pemaknaannya sendiri,
sehingga tafsir masing-masing individu adalah benar atau masuk akal dalam kerangka tafsir yang
digunakan.Oleh karena itu pula, disini tidak ada lagi tafsir yang dianggap paling benar. Dengan
demikian setiap individu dapat belajar dari individu lain tentang tafsir-tafsir yang berbeda.15
Dialektika antara Al Qur’an dengan realita akan banyak melahirkan beragam penafsiran.
Ragam penafsiran ini pada gilirannya akan melahirkan wacana dalam ranah pemikiran, serta
tindakan reaksis dalam kehidupan social. Farid Esack dalam bukunya The Qur’an: a Short
Introduction menegaskan, Al Qur’an fulfilis many of function on lives of muslims. Pendapat ini
benar adanya Al Qur’an memang mampu memenuhi banyak fungsi dalam kehidupan umat
muslim. Dalam ranah public, Al Qur’an bisa berfungsi sebagai pengusung perubahan, pembebas
masyarakat tertindas, pencerah masyarakat dari kegelapan dan kejumudan, pendobrak sistm
pemerintahan yang zalim dan amoral, penebar semangat emansipasi dan penebar transformasi

15
Ibid., 241.

8
masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Sedangkan dalam ranah privat, Al Qur’an bisa
menjadi shifa (obat penawar, pemberi solusi) untuk pribadi yang tengah dirundung kesedihan,
tertimpa musibah serta ditimpa persoalan hidup.Dalam hal ini ayat-ayat Al Qur’an berperan
sebagai terapi psikis, penawar dari persoalan hidup yang dialami seseorang.Jiwa yang
sebelumnya merasa resah gelisah menjadi tenang ketika membaca dan meresapi ayat-ayat
tersebut.
Di sisi lain, ada juga yang menjadikan ayat atau surattertentu sebagai shifa atau obat
dalam arti yang sesungguhnya, yaitu untuk mengobati penyakit fisik. Salah satu ayat yang
diyakuni bisa dijadikan obat untuk me-ruqyah orang yang sakit adalah surat Al-Fatihah. Hal ini
didasarkan atas hadis shahih yang diriwayatkan oeh imam bukhari dari abu said al-khudhri
bercerita, beberapa sahabat Nabi Muhammad saw mengadakan perjalanan hingga sampai suatu
daerah perkampungan arab, mereka meminta agar suku disitu menerima mereka sebagai tamu,
tetapi permintaan itu ditolak. Tidak lama kemudian tiba-tiba sang kepala suku terkena serangan
hewan berbisa. Semua penduduk telah berusaha untuk menyembuhkannya, tetapi gagal.Sebagian
dari mereka berkata coba kalian pergi menemui orang-orang yang menginap di dusun ini, siapa
tahu salah stu dari mereka bisa mengobati. Mereka segera pergi menemui para sahabat Nabi saw.
Dan berkata: kepala suku kami terkena sengatan binatang berbisa dan kami telah berusaha denga
segala cara, namun tetap saja gagal. Apakah diantara kalian ada yang bisa mengobati? Salah
seorang sahabat Nabi saw. Menjawab: iya, demi Allah, saya bisa meruqyah, namun karena
kalian telah enggan menjamu kami sebagai tamu, saya tidak akan meruqyah pemimpin kalian
keculi jika diberi upah. Mereka setuju dengan penawaran itu.Yakni dengan membayarkan
sebagian domba mereka. Kemudian sang sahabat tadi membackan surat Al-Fatihah, tak lama
kemudian sang kepala suku langsung sehat seolah ia tidak pernah sakit. Suku itu membayar para
sahabat sesuai perjanjian, swbagian sahabat mengusulkan agar sekawan domba itu dibagikan
bersama. Tetapi sahabat yang meruqyah tadi melarang dan berkata: kita tidak akan membagi-
baginya sebelum kita bertemu dengan Nabi saw lalu menceritakan kejadian ini dan menunggu
perintah beliau. Akhirnya mereka menemui Nabi saw dan mereka menceritakan kejadian tersebut
kepada Nabi saw. Beliau bertanya: bagaimana engkau tahu bahwa surat Al-Fatihah dapat
dibacakan sebagai ruqyah? Kalian telah melakukan hal yang benar.Sekarang bagilah dan berilah
jatah untukku.

9
Dalam riwayat lain Nabi saw juga pernah meruqyah dirinya sendiri dengan membaca
surat al-muawwidhatain, yaitu surat An-Naas dan Al-Falaq ketika beliau sedang sakit. Dan
beberapa keterangan riwayat hadis diatas, dapat dipahami jika kemudian berkembang
pemahaman di masyarakat tentang fadhilah, khasiat serta keutamaan surat-surat tertentu dan
ayat-ayat tertentu didalam Al Qur’an sebagai obat dalam arti yang sesungguhnya.Yaitu untuk
menyembuhkan penyakit fisik.Disamping beberapa fungsi tersebut, Al Qur’an juga tidak jarang
digunakan masyarakat untuk menjadi solusi atas persoalan ekonomi, yaitu sebagai alat untuk
memudahkan datanya rezeki.16
Lazim kita jumpai dalam fenomena yang terjadi sehari hari di masyarakat kita, bahwa ada
surat-surat atau ayat-ayat tertentu di dalam Al Qur’an yang diyakini dapat memancing hadirnya
rezeki, mendatangkan kemulyaan serta berkah bagi orang yang membacanya. Keyakinan seperti
ini pada gilirannya akan melahirkan tradisi membaca surat-surat tertentu pada waktu-waktu
tertentu, baik dilakukan secara pribadi oleh individu-individu di dalam masyarakat, maupun
secara kolektif yng kemudin menjadi ketentun suatu lembaga bagi para anggotanya. Dalam hal
ini lembaga yang lazim melakukan ketentuan tersebut adalah pesantren.17
Salah satu pesantren yang memberlakukan ketentuan berupa ritual pembacaan surat
tertentu, yakni al-waqi’ah setiap hari oleh para ustaz dan santri pada waktu tertentu adalah
pondok pesantren as-siraj al-hasan desa kalimukti kec. Pabedilan kabupaten Cirebon jawa barat.
Menurut penuturan salah seorang ustaz yang juga pengurus pondo pesantren tersebut, ritual
pembacaan surat al-waqi’ah itu dilakukan setiap hari, pada waktu tertentu dan jumlah bilangan
tertentu. Tradisi yang dilaksanakan di pondok pesantren tersebut, dalam ranah studi Al Qur’an
dapat dikategorikan sebagai living Al Qur’an (Al Qur’an yang hidup dalam praktek sehari hari).
Sedangkan menurut penjelasan secara istilah bahwa yang dimaksud dengan living qur’an
adalah gabungan dri dua kata yang berbeda, yaitu living yang berarti hidup dan qur’an yaitu
kitab suci umat islam. Secara sederhana istilah living qur’an dapat diartikan dengan teks Al
Qur’an yang hidup di masyarakat.living qur’an pada hakekatnya bermula dari fenomena qur’an
in everyday life, yakni makna dan fungsi Al Qur’an yang riil dipahami dan dialami masyarakat
muslim. Dengan kata lain memfungikan Al Qur’an dalam kehidupan praksis diluar kondisi
tekstualnya. Pemfungsian Al Qur’an seperti ini muncul karena adanya praktek pemaknaan Al

16
Dedi Junaedi, “Living Qur’an: Sebuh Pendekatan Baru Dalam Kajian Al Qur’an,” 171.
17
Dedi Wahyudi, “trategi Pe elajara Me ye a gka De ga Ko sep Lear i g Revolutio , .d., .

10
Qur’an yang tidak mengacu kepada pemahaman terhadap pesan tekstualnya, tetapi berlandaskan
anggapan adanya fadhillah unit-unit tertentu pada teks Al Qur’an., bagi kepentingan praksis
keseharian kehidupan umat.
Haddy shri ahimsa-putra mengklasifikasikan pemaknaan terhadap living qur’anmenjadi
tiga katagori. Pertama, living qur’an adalah sosok Nabi Muhammad saw yang sesungguhnya.
Hal ini didasarkan pada keterangan siti aisyah ketika ditanya tentang akhlak Nabi Muhammad
saw yang sesungguhnya. Maka beliau menjawab bahwa akhlak Nabi saw adalah Al Qur’an.
Dengan demikian Nabi Muhammad saw adalah “Al Qur’an yang hidup”atau living qur’an kedua,
ungkapan living qur’an juga bisa mengacu kepada masyarakat yang kehidupan sehari-harinya
menggunakanAl Qur’an sebagai kitab acuannya. Mereka hidup dengan mengikuti apa-apa yang
di perintahkan oleh Al Qur’an dan menjauhi hal-hal yang dilarang di dalamnya sehingga
masyarakat tersebut seperti Al Qur’an yang hidup.Al Qur’an yang mewujud dalam kehidupan
sehari hari mereka.Ketiga ungkapan tersebut dapat berarti Al Qur’an bukanlah hanya sebuah
kitab, tetaoi sebuah kitab yang hidup yaitu yang perwujudan dalam kehidupan sehari-harinya
begitu terasa dan nyaa, serta beraneka ragam, tergantung pada bidang kehidupannya.18
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, living qur’an adalah kajian atau penelitian ilmiah
tentang berbagai peristiwa social terkait dengan kehadiran Al Qur’an atau keberadaan Al Qur’an
di sebuah komunitas muslim tertentu. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa living
qur’an adalah suatu kajian ilmiah dalam ranah studi Al Qur’an yang meneliti dialektika antara Al
Qur’an dengan realitas social di masyarakat. Living qur’an juga praktek-praktek pelaksanaan
yang dilakukan masyarakat, berbeda dengan muatan tekstual dari ayat-ayat atau surat-surat di Al
Qur’an itun sendiri. Jika ditelisik secara historis, praktek memperlakukan Al Qur’an, surat-surat
atau ayat-ayat tertentu didalam Al Qur’an untuk kehidupan praksis umat, pada hakekatnya sudah
terjadi pada masa awal islm, yakni pada masa rasulullah saw. Sejarah mencatat bahwa
Rasulullah saw dan para sahabat pernah melkukan praktek ruqyah yaitu mengobati dirinya
sendiri dan orang lain yang menderita sakit dengan membacakan ayat atau surat tertentu yang
terdapat di dalam Al Qur’an.
Dalam prakteknya ada beberapa metode yang bisa digunakan dalam penelitian living
qur’an ini, beberapa metode tersebut antara lain:

18
Dedi Junaedi, “Living Qur’an: Sebuh Pendekatan Baru Dalam Kajian Al-Qur’an,” 173.

11
1. Observasi
Dalam melakukan penelitian, observasi adalah salah satu cara untuk memperoleh data
dengan akurat .secara umum observasi diartikan dengan mengamati dalam rangka memahami,
mencari jawaban, serta mencari bukti terhadap fenomena social anpa mempengaruhi fenomena
yang diobservasi.
Observasi adalah pengumpulan data langsung dari lapangan, data yang diobservasi bisa
berupa gambaran tentang sikap perilku serta tindakan kesalahan interaksi antar manusia.Data
observasi bisa hanya terbatas pada interaksi antar masyarakat tertentu.
Proses observasi dimulai dengan mengidentifikasi tempat yang akan diteliti. Dilanjutkan
dengan penelitian sehingga diperoleh gambaran umum tentang sasaran penelitian, kemudian
menentukan siapa yang akan diobservasi, kapan, berapa lama dan bagaiamana.
Dalam ranah penelitian living qur’an ini, metode observasi memegang peranan yang
sangat penting, yang akan memberikan gambaran situasi riil di lapangan. Bungin mengemukakan
beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi
partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.
Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang
digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana
observer atau peneliti benar-benar terlihat dalam keseharian responden.19
Observasi tidak terstruktur adalah observsi yang dilakukan tanpa menggunakan guide
observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya
pengamatannya dalam mengamati suatu objek.Kemudian observasi kelompok, adalah observasi
yang dilakukan secara berkelompok mengenai sesuatu atau beberapa objek sekaligus.Dalam hal
ini peneliti dapat menjadi observer yang aktif artinya peneliti bisa menjadi bagian dalam
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat yng menjadi objek penelitian. Dengan cara seperti ini,
maka penelitin akan jauh lebih leluasa untuk mendapat data penelitian karena telah dianggap
menjadi bagian dari masyarakat yang menjadi objek dalam suatau penelitian tersebut. Dan
kemudian si peneliti tidak akan dicurigai karena akan mengganggu praktek atau ritual yang biasa
dilakukan oleh masyarakat setempat.

19
Muhamad Ali, “Kajian Naskah Dan Kajian Livin Qur’an Dan Living Hadits,” 219.

12
2. Wawancara
Wawancara adalah sutu proses dalam pengumpulan data melalui cara Tanya jawab antara
narasumber dan si pencari berita (reporter) yang dilaksanakan dengan cara yang sistematis dan
berlandaskan kepada kepentingan penelitian. Metode wawancara dalam penelitian living qur’an
adalah sesuatu yang niscaya. Seorang peneliti tidak akan mendapatkan data atau informasi yang
akurat dari sunber utamanya. Jika dalam peneliyian aktivitas yang berkaitan dengan fenomena
living qur’an di suatu komunitas tertentu, tidak melakukan wawancara dengan poresponden atau
partisipan.
Dalam penelitian living qur’an yang bertujuan untuk mengetahui fenomena interaksi
masyarakat dengan Al Qur’an maka metode wawancara ini sangat mutlak diperlukan. Jika
seorang peneliti ingin melkukan penelitian tentang oraktek pembacaan surat tertentu di dalam Al
Qur’an yang harus dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat tertentu, maka seorang peneliti
dalam melakukan wawancara dengan para responden atau partisipan yang terlihat dalam
pelaksanaan ritual tersebut.
Peneliti bisa menanyakan apa tujuan dari ritual pembacaan surat atau ayat tersebut, apa
motivasinya, kapan pelaksanaannya, berapa kali dibaca, siapa saja peserta nya, dari mana sumber
dananya, apa saja factor pendukung serta factor penghambatnya, serta bagaimanakah dampak
yang di timbulkan atau pengaruh nya terhadap kehidupan kita sehari-hari. Serta pertanyaan
lainnya yang relevan dengan maksud dan tujuan penelitian. Untuk mendapatkan jawaban yang
akurat dan valid, maka seseorang peneliti sudah harus menentukan tokoh-tokoh kunci yang akan
diwawancarai dan digali informasinya. Mereka inilah yang dianggap memiliki data yang akurat
dan valid mengenai ritual yang menjadi objek penelitian kita.Mereka bisa para tokoh agama,
tokoh masyarakat, sesepuh, para pendiri kegiatan, pengurus kegiatan ritual tersebut, dan bisa
juga para jamaah atau anggota yang masuk dalam lingkup ritual tersebut.
3. Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan salah satu alam pengumpulan data dengan cara
menghimpun serta menganalisis dokumen-dokumen, baik dokumen tertulis, gambar maupun
dokumen elektrik. Penelitian mengenai living qur’an tentang ritual keagamaan yang terjadi di
masyarakat akan semaki kuat apabila disertai dengan dokumentasi. Dokumentasi yang dimaksud
bisaberupa dokumen tertulis, seperti agenda kegiatan, tempat kegitan, daftar hadir peserta, materi

13
kegiatan, tempat kegiatan dan sebagainya. Bisa juga dengan dokumen yang tervisualisasikan
seperti dalam bentuk foto, rekaman dalam bentuk video, maupun bisa juga menggunakan bentuk
audio.
Dengan melihat dokumen tersebut yang ada, maka peneliti akan dapat mengamati dan melihat
perkembangan kegiatan tersebut dari waktu ke waktu. Sehingga peneliti akan mampu
menganalisa bagaimanakah respon masyarakat dengan adanya kegiatan ritual tersebut.

Urgensi penelitian living qur’an


Selama ini kajian tentang Al Qur’an lebih di tekankan kepada aspek tekstual dari pada
aspek kontekstual. Dari hasil kajian ini maka munculah karya yang berupa tafsir atau buku yang
ditulis oleh para pengkaji al-qur;an tersebut. Mainstream kajian Al Qur’an selama ini memberi
kesan bahwa tafsir harusdipahami secara teks yang tersurat dalam berbagai karya ulama dan
sarjana muslim. Padahal kita semua mafhum bahwa Al Qur’an tidak hanya terbatas pada suatu
bentuk teks semata. Tetapi, ada konteks lain yang elingkupinya. Dengan demikian, maka
sesungguh nya sebuah penafsiran itu bisa berupa tindakan, sikap serta perilaku masyarakat yang
merespons kehadiran Al Qur’an sesuai dengan tingkat pemahamannya masing-masing.20
Respons masyarakat terhadap ajaran-ajaran serta nilai-nilai Al Qur’an yang kemudian
mereka aplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari, masih sangat kurang mendapatkan perhatian
dari para pengkaji Al Qur’an. Pada titik inilah pengkajian serta penelitian living qur’an
menemukan relevansi dan urgensinya. Kajian dalam bidang living qur’an ini memberikan
kontribusi yng sangat signifikan bagi pengembangan study Al Qur’an. Penelitian living qur’an
ini sangatlah penting untuk kepentingan di bidang dakwah dan pemberdayaan masyarakat,
sehingga merekalebih maksimal dalam mengapresiasi Al Qur’an. Urgensi dari living qur’an yang
lainnya adalah menghadirkan paradigma baru dalam kajian Al Qur’an kontenporer, sehingga
study Al Qur’an tidak hanya berkutat pada wilayah kajian teks saja. Pada wilayah living qur’an
kajian tafsir akan lebih banya mengapresiasi respons dan tindakan masyarakat terhadap
kehadiran Al Qur’an, sehingga tafsir tidak lagi bersifat elitis melainkan bersifat emansipatoris
yang mengajak partisipasi masyarakat.21

20
Dedi Wahyudi, “trategi Pe elajara Me ye a gka De ga Ko sep Lear i g Revolutio , .d., .
21
Dedi Wahyudi, “tudi Pe erapa “trategi Pe elajara Ber asis Multiple I tellige es Dala Mata
Pelajara Pe didika Aga a Isla , 6 .

14
Langkah-langkah penelitian living qur’an
Kajian living qur’an berusaha memotret fenomena social berupa praktek keagamaan dalam
sebuah masyarakat yang didasarkan atas pemahamanny terhadap Al Qur’an. Dengan kata lain,
praktek-praktek ritual keagamaan berupa pembacaan ayat atau surat tertentu, misalnya seperti
yang dilakukan oleh suatu masyarakat berdasarkan keyakinan mereka yang bersumber dari hasil
interaksi mereka dengn Al Qur’an. Karena yang dikaji dalam living Al Qur’an ini fenomena
social maka, model penelitian yang dipakai adalah moel penelitian social dalam hal ini, metode
penelitian kualitatif lebih tepat digunakan dalam metode kajian living qur’an ini. Untuk itu maka
langkah-langkah yang harus ditempuh dalam penelitian ini merujuk pada langkah-langkah serta
prosedur penelitian kualitatif sebagai berikut:
1. Lokasi
Peneliti menjelaskan lokasi penelitian yaitu dengn menyebutkan tempat penelitian,
misalnya di sebuah desa, komunitas, kelompok, atau masyarakat tertentu. Berikutnya peneliti
mengungkapkan alasan tentang adanya fenomena living qur’an, misalnya seperti judul peelitian:
living Al Qur’an di pesantren, selanjutnya peneliti mengungkapkan keunikan atau kekhasan
lokasi penelitian tersebut, yang tidak dimiliki lokasi lain yang berkaitan dengan tema yang akan
diteliti.22
2. Metode dan pendekatan
Peneliti menjelaskan metode serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian yng akan
dilakukannya. Dalam contoh kasus penelitian diatas, misalnya maka peneliti harus
mengungkapkan bahwa metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan
menggunakan pendekatan deskriptif. Metode kualitatif adalah metode penelitian yang ditujukan
untuk memahmi fenomena social dari sudut atau perspektif partisipan, partisipan adalah orang-
orang yang diajak berwawancara, diobservasi, diminta memberikan data, pendapat, pemikiran
dan persepsinya. Sedangkan pendekatan deskriptif adalah pendekatan penelitian yang bertujuan
untuk mengenali dan mempelajari secara intensif suatu unit social: individu, lembaga, kelompok
atau masyarakat.
3. Sumber data
Sumber data yang dimaksud adalah subjek dari mana data itu di peroleh. Subjek atau
sumber data tersebut antara lain:

22
“iti Fajriah, Al-Falah Dan Al-Farah (“tudi Ma’a il Qur’a Da Tafsir Te atik Dala Tafsir Al-Azhar, .

15
a. Pimpinan pondok pesantren as-siroj al-hasan
b. Pengurus pon-pes as-siroj al-hasan
c. Kyai atau ustaz pon-pes as-siroj al-hasan
d. Santri di pon-pes as-siroj al-hasan
e. Masyarakat di sekitar lingkungan pon-pes as-siroj al-hasan
4. Metode pengumpulan data
Untuk mendapatkan daa-data yang terkait dengan tema penelitian digunakan beberapa metode
pengumpulan data sebagai berikut:
Observasi
Wawancara
Dokumentasi

C. The living hadis


Makna living hadis ada perbedaan dikalangan ulama hadis mengenai pengertian hadis dan
sunah, khususnya dikalangan para ulama mutaqqaddimin dan para ulama muta’akhirin. Menurut
ukama mutaqaddimin, hadis adalah perkataan, perbuatan dan ketetapan yang disandarkan kepada
Nabi Muhammad saw. Pasca kenabian, sementara, sunah adalah segala sesuatu yang diambil dari
Nabi saw. Tanpa membatasi waktu. Sedangkan ulam mutaakhirin berpendapat bahwa hadis dan
sunah memiliki pengertian yang sama yaitu segala ucapan, perbuatan dan ketetapan Nabi.
Setelah Nabi wafat, sunah Nabi tetap menjadi ideal yang hendak diikuti oleh generasi muslim
sesudahnya.Mengapa tetap diikiuti oleh semua umat oslam Karena hadis adalah hokum ilam
kedua setelah adanya al-quran.23
Sunnah atau hadist di sini dalam pengertian sebagai sebuah praktek yang disepakati secara
bersama (living Sunnah). Sebenarnya Sunnah relatif identik dengan ijma. kaum Muslimin dan ke
dalamnya termasuk pula ijtihad dari para ulama generasi awal yang ahli dan tokoh-tokoh politik
di dalam aktivitasnya. Dengan demikian, “sunnah yang hidup” adalah sunnah Nabi yang secara
bebas ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim sesuai dengan situasi yang mereka
hadapi.
1. Model-model Living Hadits

23
M. Khoiril Anwar, “Living Hadits,” 125.

16
Living hadis mempunyai tiga model yaitu tradisi tulisan, tradisi lisan dan tradisi praktik. Uraian
yang digagas ini mengisyaratkan adanya berbagai bentuk yang lazim dilakukan di satu ranah dengan
ranah lainya terkadang saling terkait erat. Hal tersebut dikarenakan budaya praktik umat Islam lebih
menggejala dibanding dengan dua tradisi lainya, tradisi lisan dan praktik. Tradisi tulis menulis sangat
penting dalam perkembangan living hadis. Tulis menulis tidak hanya sebatas sebagai bentuk ungkapan
yang sering terpampang dalam tempat-tempat yang strategis seperti bus, masjid, pesantren dan lain
sebagainya. Ada juga tradisi yang kuat dalam khazanah khas Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi
Muhammad saw yang terpampang dalam berbagai tempat tersebut.Model living hadis selanjutnya adalah
tradisi lisan sebagai fokus kajian penulis. Tradisi lisan dalam living hadis sebenarnya muncul seiring
dengan praktik yang dijalankan umat Islam. Seperti bacaan dalam melaksanakan shalat subuh di hari
Jum’at. Di kalangan pesantren yang kyainya hafiz al-Qur’an, shalat subuh hari Jum’at relatif panjang
karena membaca dua ayat yang panjang yaitu Ha mim al-Sajdah dan al-Insan. Model living hadis yang
terakhir adalah tradisi praktik ini banyak dilakukan umat Islam. 24

D. Penutup
Dalam tulisan ini saya mencoba menunjukkan bahwa dalam kehidupan manusia sebagai
animal symbolicum al-Qur’an bukan lagi hanya sebuah kitab yang dimaknai dengan cara yang
sama, tetapi telah menjadi sebuah kitab dengan beraneka ragam pemaknaan, beraneka-ragam
tafsir. Masing-masing tafsir yang diberikan sangat dipengaruhi oleh sistem budaya yang ada
sebelum al-Qur’an itu sendiri muncul atau masuk ke dalam budaya tersebut. Dilihat dari
perspektif ini, setiap bentuk pemaknaan pada dasarnya adalah sah dan dapat dibenarkan,
sehingga tidak ada pemaknaan yang dapat dikatakan paling benar. ‘Kebenaran’ pemaknaan di
sini memang bersifat relatif. Mengingat al-Qur’an—secara empiris—merupakan sebuah
perangkat simbol yang terdiri dari berbagai simbol berupa fonem-fonem bahasa Arab dalam
tulisan Arab, yang tersusun menjadi satuan-satuan tertentu (fonem, morfem, kata, frasa, dst.
hingga juz), maka al-Qur’an juga dapat didekati mengikuti satuan-satuannya, yang seringkali
menimbulkan kesan sebagai pendekatan yang sepotong-sepotong. Bagi sebagian orang
pendekatan semacam ini dianggap tidak tepat sama sekali, sedang bagi orang yang me
lakukannya pendekatan seperti ini dianggap sah-sah saja, sejauh itu dapa memenuhi kebutuhan
tertentu, karena pendekatan semacam ini juga tidak dilarang. Kenyataan bahwa al-Qur’an
merupakan kitab berbahasa Arab—yang bagi mereka yang non-Arab (bahkan juga bagi sebagian

24
Dedi Wahyudi, “trategi Pe elajara Me ye a gka De ga Ko sep Lear i g Revolutio , .d., 6.

17
orang Arab sendiri) makna-maknanya tidak selalu jelas dan mudah dimengerti—, semakin
membuka kemungkinan munculnya pemaknaan yang sangat bervariasi. Variasi penafsiran inilah
yang kemudian menda-sari munculnya berbagai fenomena sosial-budaya dengan nuansa qur’ani
tertentu.
Kehidupan manusia yang telah diwarnai atau dipengaruhi oleh apa yang ada dalam al-
Qur’an dapat kita katakan sebagai fenomena “al-qur’anisasi kehidupan” atau “al-Qur-’an yang
hidup,” The Living al-Qur’an. Qur’anisasi kehidupan atau kehidupan yang qur’ani merupakan
wujud lain dari al-Qur’an sebagai sebuah kitab atau teks. Meskipun demikian, karena ciri-ciri
dan sifat gejala ini berbeda dengan kitab atau teks dalam arti yang sebenarnya, maka upaya-
upaya untuk mempelajari, menjelaskan atau memahaminya, memerlukan metode-metode yang
berbeda pula. Di sinilah kajian al-Qur’an—sebagai sebuah teks yang ‘hidup’ dalam
masyarakat—perlu memanfaatkan paradigma-paradigma yang telah berkembang dalam ilmuilmu
sosial-budaya, seperti antropologi dan sosiologi. Beberapa paradigma dalam antropologi yang
dapat digunakan untuk meneliti, menelaah, atau menafsir “al-Qur’an yang hidup” antara lain
adalah paradigma akulturasi, paradigma fungsional, paradigma struktural, paradigm
fenomenologi dan paradigma hermeneutik. Penggunaan paradigma ini tentunya menuntut
pemahaman yang memadai mengenai paradigmaparadigma ini sendiri. Masalahnya kemudian
adalah, memadaikah pengetahuan kita saat ini mengenai paradigma-paradigma tersebut?
Jawabnya ada pada diri kita sendiri.
Demikianlah pemaparan sekilas tentang Living Qur’an sebagai sebuah metode baru dalam
penelitian serta pengkajian al-Qur’an. Tentu, metode ini masih jauh dari sempurna, sehingga
pembenahan tentang metode ini sebagai salah satu alternatif dalam mengkaji al-Quran harus
terus dilakukan.
Kajian living hadis merupakan satu kajian yang masih sangat terbuka terhadap bentuk
penelitian dalam bidang hadis. Di samping itu, memang masih belum ada kesepakatan dalam
model metode dan analisisnya. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba untuk memancing dan
memantik diskursus kajian living hadis di Indonesia. Sejauh ini kajian living hadis yang
dilakukan baru pada level kajian tradisi dan ritual, saya kira kajian ini masih lebih luas lagi
apalagi dengan meminjam ilmuilmu sosial lain. Sebagai penutup, saya ingin menekankan
beberapa hal sebagai kesimpulan. Pertama, living hadis merupakan satu bentuk kajian atas
praktik, tradisi, ritual, atau perilaku yang hidup di masyarakat yang memiliki landasannya di

18
hadis nabi. Kedua, dalam melakukan penelitian dengan model living hadis selayaknya perlu
dipastikan ditemukannya teks hadis terlebih dahulu, yang berasal dari informan. Karena jika teks
hadisnya tidak ditemukan, maka penelitiannya akan terjatuh dalam kajian-kajian yang dilakukan
dalam bidang studi sosiologi agama ataupun antropologi agama. Ketiga, kajian living hadis
masih membutuhkan metode dan pendekatan. Beberapa metode dan pendekatan yang ditawarkan
adalah fenomenologi, sebagaimana para antropolog melihat suatu tradisi atau ritual di
masyarakat; naratif studies; etnografi, dan di level analisisnya adalah salah satunya dengan
menggunakan sosiologi pengetahuan.

E. Referensi
Dedi Junaedi. “Living Qur’an: Sebuh Pendekatan Baru Dalam Kajian Al-Qur’an,” No.2, Vol. 4 (n.d.).
Dedi Wahyudi. “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep Learning Revolution” Vol. 26
(n.d.).
Dedi Wahyudi, Habibatul Azizah. “Strategi Pembelajaran Menyenangkan Dengan Konsep Learning
Revolution” Vol. 26 (n.d.).
Dedi Wahyudi, Tuti Alafiah. “Studi Penerapan Strategi Pembelajaran Berbasis Multiple Intelligences
Dalam Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam” Vol. 8 (n.d.).
Heddy Shri Ahimsa, Putra. “THE LIVING AL-QUR’AN: Beberapa Perspektif Antropologi,” No.1,
Vol.20 (Mei 2012).
M. Khoiril Anwar. “Living Hadits” Vol. 12 (June 2015).
Muhamad Ali. “Kajian Naskah Dan Kajian Livin Qur’an Dan Living Hadits” Vol.4 (n.d.).
Muhammad Nurudin. “Aktualisasi Pemahaman Hadits Hukum Dalam Kehidupan Global” Vol.1 (March
2015).
Saifuddin Zuhri Qudsy. “Living Hadis: Genealogi, Teori, Dan Aplikasi,” No.1, Vol. 1 (Mei 2016).
Siti Fajriah, M. Maimun. “Al-Falah Dan Al-Farah (Studi Ma’anil Qur’an Dan Tafsir Tematik Dalam
Tafsir Al-Azhar” Vol. 4 (Desember 2016).

19

Anda mungkin juga menyukai