Anda di halaman 1dari 5

Periode tahun 1969 merupakan masa yang penuh gejolak politik bagi pemerintahan Orde

Baru. Hal tersebut dikarenakan sedang melakukan penataan politik nasional. Namun, pemerintah
pada saat itu tetap memperhatikan sektor pariwisata. Diketahui bahwa menjelang akhir periode
awal Repelita (1969-1983) ini perkembangan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke
Indonesia, menurun. Pada tahun 1982 wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia turun
sebanyak 1,4% dari jumlah wisatawan asing pada tahun 1981. Hal tersebut dipengaruhi oleh
turunnya kegiatan wisata internasional secara global akibat resesi ekonomi yang berkepanjangan
yang merupakan dampak dari dua kali krisis enerji yang terjadi pada awal dan akhir tahun 1970-
an. Anggraeni, J. (2016).

Di masa Orde Baru pembangunan pariwisata mulai mendapat perhatian pemerintah yang
ditandai dengan dituangkannya kebijakan pembangunan kepariwisatan di dalam Pembangunan
Jangka Panjang 25 tahun pertama yang dimulai tahun 1967/68 dan berakhir pada tahun
1998/99. Pembangungan Jangka Panjang tersebut kemudian dijabarkan ke dalam rencana lima
tahunan yang dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita Pertama – Repelita
Keenam) Wahyu. A (2019)
a. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Pertama (1969/70 –
1973/74), peranan Pemerintah dalam mendukung Pembangunan kepariwisataan
dipusatkan pada pengembangan prasa rana obyek pariwisata, dan pelayanan yang
bersifat umum, selebihnya diserahkan pengusahaannya kepada sektor swasta
b. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kedua (1974/75 –
1978/79) ditujukan untuk memperken alkan kebudayaan, keindahan alam dan
kepribadian Indonesia kepada masyarakat wisatawan, dan sekaligus membantu
meningkatkan pendapatan masyarakat dan membuka kesempatan bagi wisatawan
dalam negeri untuk mengenal tanah airnya sendiri.
c. Pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Ketiga (1979/80 – 1983/84)
ditujukan untuk meningkatkan penerimaan devisa, memperluas lapangan kerja
dan memperkenalkan keb udayaan bangsa dengan tetap berupaya melestarikan
keindahan alam dan keunikan budaya yang merupakan daya tarik wisata dan
difokuskan pada 5 (lima) kegiatan pokok, yaitu kegiatankegiatan: (1) promosi
pariwisata luar negeri yang akan lebih diintensifkan langsung ke negara-negara
asal yang mempunyai potensi pasar; (2) Pengembangan pariwisata dalam negeri
yang bertujuan untuk memperkecil mengalirnya devisa ke luar negeri,mendorong
industri dalam negeri serta menciptakan kesempatan kerja bagi masyarakat; (3)
Penataan dan peningkatan obyek wisata akan terus dilakukan sesuai dengan
Rencana Induk Kepariwisataan Nasional; (4) Peningkatan pelayanan wisata
melalui upaya pemberian kemudahan kepada wisatawan yang datang selama
berada dan pada waktu meninggalkan Indonesia. Untuk itu akan dilakukan
berbagai perbaikan dalam pelayanan kepada wisatawan, meliputi penyederhanaan
dalam memperoleh visa, seperti pemberian visa pada waktu tiba (visa on arrival);
memperluas pusat penerangan pariwisata; meningkatka pelayanan sarana
angkutan (penerbangan, kereta api, bis dan lain-lain) meningkatkan pelayanan
hotel dan biro perjalanan; meningkatkan kemampuanpersonal yang melayani
wisata, seperti pramuwisata, juru penerang dan penterjemah; (5) Kegiatan
Penunjang Pariwisata yang meliputi upaya untuk (i) meningkatkan kemampuan
lembaga pendidikan pariwisata melaluipembangunan Institut Pariwisata Nasional
dan pembinaan lembaga Pendidikan pariwisata swasta; (ii) menyusun
undangundang kepariwisataan nasion al sertaperaturanperaturan pelaksanaannya;
(iii) Memberikan bimbingan dan penataran kepada para pengusaha biro
perjalanan, pengu saha restoran, pengusaha hotel, dan pramuwisata.
d. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Keempat (1984/85 –
1988/89) diarahkan pada pengembangan beberapa kawasan wisata terutama
untuk wisata resort baik resort di kawasan pantai (termasuk Tirta), Kawasan
pegunungan maupun resort di kawasan wisata budaya. Disamping itu juga akan
dikembangkan Taman wisata dan hiburan yang potensial.
e. Kebijakan pembangunan kepariwisataan dalam Repelita Kelima (1989/90 –
1994/95) diarahkan pada upaya memupuk rasa cinta tanah air dan bangsa,
memperkenalkan kekayaan dan keunikan budaya, keindahan alam termasuk alam
bahari, serta menanamkan jiwa, semangat dan nilai-nilai luhur bangsa dalam
rangka lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan nasional di sampinguntuk
mendorong peningkatan kegiatan perekonomian nasional.
f. Repelita keenam (1993/94 – 1998/99) yang merupakan tahapan pertama
Pembangunan Jangka Panjang 25 Tahun Kedua, ditetapkan dengan Ketetapan
MPR-RI No. II/MPR/1993 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara 1993 –
1998. Sejalan dengan amanah GBHN 1993, secara umum kebijakan
pembangunan kepariwisataan terus ditingkatkan dan dikembangkan untuk
memperbesar penerimaan devisa, memperluas dan memeratakan kesempatan
usaha dan lapangan kerja, mendorong pembangunan daerah, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, memperkaya kebudayaan nasional dengan
tetap mempertahankan kepribadian bangsa dan tetap terpeliharanya nilai-nilai
agama, mempererat persahabatan antarbangsa, memupuk cinta tanahair, serta
memperhatikan kelestarian fungsi dan mutu lingkungan hidup.
Periode tahun 1969 merupakan masa yang penuh gejolak politik bagi pemerintahan Orde
Baru. Hal tersebut dikarenakan sedang melakukan penataan politik nasional. Namun, pemerintah
pada saat itu tetap memperhatikan sektor pariwisata. Menurut Kodhyat (1996) dinyatakan bahwa
pada tanggal 22 Maret 1969, telah dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 30 Tahun 1969,
tentang Pengembangan Kepariwisataan Nasional. Selain itu, pada tanggal 6 Agustus 1969,
berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 9 Tahun 1969 dibentuk Badan Pengembangan
Pariwisata Nasional (Bapparnas) untuk menjamin pembinaan pengembangan pariwisata secara
efektif dan kontinyu baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Badan yang
beranggotakan pemerintah dan swasta tersebut bertugas membantu Menteri Perhubungan dengan
tetap bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pariwisata.

Menurut Kodhyat (1996) dinyatakan bahwa pada tanggal 22 Maret 1969, telah
dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 30 Tahun 1969, tentang Pengembangan Kepariwisataan
Nasional. Selain itu, pada tanggal 6 Agustus 1969, berdasarkan Instruksi Presiden(Inpres) No. 9
Tahun 1969 dibentuk Badan Pengembangan Pariwisata Nasional(Bapparnas) untuk menjamin
pembinaan pengembangan pariwisata secara efektif dan kontinyu baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun swasta. Badan yang beranggotakan pemerintah dan swasta tersebut bertugas
membantu Menteri Perhubungan dengan tetap bekerjasama dengan Direktorat Jenderal
Pariwisata.
Kemudian, dalam situasi yang serba suram, industri pariwisata mulai skeptis terhadap
Joop Ave (Direktur Jenderal Pariwisata) dan kemampuannya untuk memacu perkembangan
pariwisata Indonesia. Tiba-tiba Joop Ave memunculkan satu kejutan. Tanggal 23-26 November
1982 diselenggarakan loka karya dan rapat kerja Ditjen Pariwisata di TMII. Pengarahan
diberikan oleh tokoh pejabat tinggi pemerintahan, antara lain Prof. Widjojo Nitisastro (Menko
Ekuin/Ketua Bappenas), J.B. Sumarlin, dan Menteri Penerangan Ali Murtopo.
Puncaknya terjadi pada 27 November 1982 dengan diterimanya para peserta loka karya
dan rapat kerja oleh Presiden Soeharto di Istana Negara. Pada kesempatan itu Presiden Soeharto
mengungkapkan hal-hal berikut.
a. Presiden menantang peserta loka karya dan rapat kerja untuk menjadikan pariwisata sebagai
sumber penghasil devisa kedua atau ketiga setelah minyak bumi dan gas alam.
b. Presiden menginstruksikan kepada semua departemen dan instansi terkait untuk mendukung
sektor pariwisata dengan menghilangkan segala hambatan yang ada (Kodhyat, 1996: 87).

Menjelang akhir tahun 1970-an perekonomian Indonesia dapat dikatakan dimanjakan


oleh devisa yang diperoleh dari ekspor minyak bumi. Kemudian terjadi resesi ekonomi utama.
Negara industri mengambil langkah penghematan. Penurunan impor bahan baku oleh negara
industry mengakibatkan penurunan penerimaan devisa negara berkembang.
Menurunnya penerimaan devisa dari minyak bumi, mendorong banyak negara, termasuk
Indonesia untuk mencari sumber devisa alternative. Selain kayu dan tekstil, bidang yang sangat
berpotensi adalah pariwisata. Menangkap peluang tersebut, guna mendorong perkembangan
industri pariwisata, pemerintah mengeluarkan kebijakan bebas visa melalui Keppres No. 15
Tahun 1983 tentang Kebijaksanaan Pengembangan Kepariwisataan. Di samping itu, pemerintah
juga memberi keringanan kepada pengusaha sektor pariwisata perihal perkreditan, perpajakan,
bea masuk dan perizinan. Kodhyat, H. (1996).

DAFTAR PUSTAKA
Kodhyat, H. (1996). Sejarah pariwisata dan perkembangannya di Indonesia. Gramedia
Widiasarana Indonesia untuk Lembaga Studi Pariwisata Indonesia.
Anggraeni, J. (2016). PERKEMBANGAN PENGELOLAAN PARIWISATA DI DAERAH
ISTIMEWA YOGYAKARTA MASA ORDE BARU (1969-1998). Ilmu Sejarah-S1, 1(3).

Wahyu Adrianto, “KEBIJAKAN PARIWISATA DI INDONESIA SEJAK ERA ORDE BARU


SAMPAI ERA REFORMASI”, , Denpasar: PSIK Universitas Udayana, 2019.

Anda mungkin juga menyukai